Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit


2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Upaya klasifikasi kelapa sawit sudah dimulai sejak empat abad yang lalu
(abad ke 16) dan dilanjutkan pada abad-abad selanjutnya. Seperti halnya dengan
upaya pengklasifikasian jenis-jenis tumbuhan lainnya ataupun hewan, para ahli
berbeda pendapat mengenai klasifikasi kelapa sawit. Hal ini dapat dimengerti,
karena dimasa lampau Ilmu Taksonomi maupun ilmu-ilmu yang berkaitan
dengannya belum berkembang seperti sekarang, dan peralatan yang tersedia pun
masih sederhana. Dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
diperoleh data dan informasi baru yang memungkinkan para ahli untuk
mengadakan perubahan, penyesuaian dan pembetulan.
Taksonomi kelapa sawit yang umum diterima sekarang adalah sebagai
berikut:
Divisi

: Tracheophyta

Anak divisi

: Pteropsida

Kelas

: Angiospermae

Anak kelas ( Subdivisi )

: Monocotyledoneae

Bangsa ( Ordo )

: Spadiciflorae ( Arecales )

Suku ( Familia )

: Palmae ( Arecaceae )

Anak suku ( Subfamilia )

: Cocoideae

Universitas Sumatera Utara

Marga ( Genus )

: Elaeis

Jenis ( Spesies )

: Elaeis guineensis Jacq.

Nama Elaeis guineensis

diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

berdasarkan pengamatan pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique,


kawasan Hindia Barat, Amerika Tengah. Kata Elaeis (Yunani ) berarti minyak,
sedangkan kata guineensis dipilih berdasarkan keyakinan Jacquin bahwa kelapa
sawit berasal dari Guinea ( Afrika ). Jenis-jenis lain dari marga Elaeis antara lain
adalah E.madagascariensis Becc. dan E. melanococca sekarang lebih banyak
dipakai nama Corozo oleifera (Bailey, 1940).
2.1.2 Varietas Tanaman Kelapa Sawit
Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal. Varietasvarietas itu dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau
berdasarkan warna kulit buahnya. Selain varietas-varietas tersebut, ternyata
dikenal juga beberapa varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan,
antara lain mampu menghasilkan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan
varietas lain.
Pembagian varietas kelapa sawit berdasarkan tebal tempurung dan daging
buah, yaitu:
1.

Dura
Tempurung cukup tebal antara 2-8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut

pada bagian luar tempurung. Daging buah relatif tipis dengan persentase daging
buah terhadap buah bervariasi antara 35-50%.

Universitas Sumatera Utara

Kernel (daging biji) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah.
Dalam persilangan, varietas Dura dipakai sebagai pohon induk betina.
2.

Pisifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging

buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi, sedangkan
daging biji sangat tipis. Jenis Pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina
yang steril sebab bunga betina gugur pada fase dini. Oleh sebab itu, dalam
persilangan dipakai sebagai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara
Pisifera dengan Dura akan menghasilkan varietas Tenera.
3.

Tenera
Varietas ini mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu

Dura dan Pisifera. Varietas inilah yang banyak

ditanam di perkebunan-

perkebunan pada saat ini. Tempurung sudah menipis, ketebalannya berkisar antara
0,5-4 mm, dan terdapat lingkaran serabut di sekelilingnya. Persentase daging buah
terhadap buah tinggi, antara 60-96% (Satyawibawa, dkk, 1992).
2.2 Panen dan Pengolahan Hasil
2.2.1 Panen
Panen kelapa sawit terutama didasarkan pada saat kadar minyak mesokarp
mencapai maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum, yaitu pada saat
buah mencapai tingkat kematangan tertentu (ripe). Kriteria kematangan yang tepat
ini dapat dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada tiap
tandan.

Universitas Sumatera Utara

Penyelidikan

yang

dilakukan

terhadap

400

tandan

kelapa

sawit

menunjukkan adanya hubungan linier antara jumlah yang rontok pada tiap tandan
dan persentasi minyak yang terdapat pada mesokarp kelapa sawit yang
bersangkutan. Kenaikan jumlah yang rontok dari 5 sampai 74% buah
menunjukkan kenaikan kandungan minyak pada mesokarp sebesar 5% dan kadar
asam lemak bebas meningkat dari 0,5% menjadi 2,9% (Ketaren, 1986).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memanen kelapa sawit adalah
penentuan tingkat kematangan yang tepat, biaya panen, cara panen, frekuensi
panen dan sistem pengangkutan yang digunakan. Tingkatan fraksi kematangan
buah dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Tingkatan Fraksi Kematangan Buah
NO.
1

Keterangan
Mentah

Fraksi

Jumlah Berondolan

Keterangan

00

Tidak ada

Sangat mentah

1-10 buah luar

Mentah

memberondol
2

Matang

12,5-25% buah luar

Kurang matang

memberondol
2

25-50% buah luar

Matang I

memberondol
3

50-75% buah luar

Matang II

memberondol

Lewat

matang

75-100% buah luar

Lewat matang I

memberondol
5

Buah dalam juga

Lewat matang II

memberondol, ada buah


yang busuk

Universitas Sumatera Utara

2.2 Cara Panen


Cara pemanenan buah sangat mempengaruhi jumlah dan mutu minyak yang
dihasilkan. Sebaiknya pemanenan dilakukan terhadap semua tandan buah yang
telah matang. Berdasarkan tinggi tanaman, ada tiga cara panen yang umum
dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Untuk tanaman yang
tingginya 2-5 m digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos. Sedangkan
tanaman dengan ketinggian 5-10 m dipanen dengan cara berdiri dan menggunakan
alat kampak siam. Cara egrek digunakan untuk pemanenan tanaman dengan tinggi
diatas 10 m,dengan alat arit bergagang panjang (egrek) (Suyatno, 1994).
Tandan buah yang telah dipanen sebaiknya tidak mengalami masa
penyimpanan, dengan kata lain, bahwa tandan buah setelah dipanen sebaiknya
segera diolah. Lama masa penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari dua hari. Sebab
penyimpanan yang lama akan merusak minyak. Penyimpanan dilakukan di lokasi
penumpukan buah, dan pada penyimpanan harus diperhatikan letak penumpukan
tandan, sehingga tandan yang pertama disimpan harus yang pertama kali diolah
(first in first out).
2.2.1 Pengolahan Hasil
Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di pabrik bertujuan untuk
memperoleh minyak sawit yang berkualitas baik. Proses tersebut berlangsung
cukup panjang dan memerlukan kontrol yang cermat. Dimulai dari pengangkutan
TBS atau brondolan dari Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) ke pabrik sampai
dihasilkannya minyak sawit dan hasil-hasil samping lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Secara ringkas, tahap-tahap proses pengolahan TBS sampai dihasilkan


minyak akan diuraikan lebih lanjut berikut ini.
1.

Stasiun Timbangan
Langkah pertama adalah melakukan penimbangan hasil panen yang diterima

di pabrik. Penimbangan penting dilakukan sebab akan diperoleh angka-angka


yang terutama berkaitan dengan produksi perkebunan, pembayaran upah para
pekerja, penghitungan rendemen minyak sawit. Penimbangan dilakukan di atas
jembatan timbang dengan sistem komputerisasi. Jika diangkut dengan kendaraan
truk atau traktor gandengan, penimbangan dilakukan sebelum pembongkaran dan
pemuatannya kedalam keranjang rebusan. Sesudah itu ditimbang lagi dalam
keadaan kosong. Jika pengangkutan dilakukan langsung dalam keranjang rebusan
diatas lori, hasil dapat langsung ditimbang, sedangkan berat kosong ditentukan
secara berkala saja sekali setahun (Mangoensoekarjo, dkk, 2008).
2.

Stasiun Penerimaan Buah


Tandan Buah Segar (TBS) yang telah ditimbang kemudian dibawa ke

Stasiun Penerimaan Buah. Di pintu Loading Ramp, buah disortir berdasarkan


fraksi kematangannya. Loading Ramp terdiri dari 15 pintu dengan sistem hidrolik.
Buah yang telah matang kemudian dimasukkan ke dalam lori melalui Loading
Ramp untuk selanjutnya dibawa ke Stasiun Perebusan (Pardamean, 2008).

Universitas Sumatera Utara

3.

Stasiun Rebusan
Perebusan merupakan awal proses pengolahan buah yang hasilnya sangat

menentukan terhadap keberhasilan proses pengutipan atau kehilangan (losses)


minyak atau inti pada proses selanjutnya. Proses perebusan yang sempurna akan
memaksimalkan efektifitas pengutipan minyak, sedangkan perebusan yang kurang
sempurna akan menyebabkan peningkatan losses. Oleh karena itu proses
perebusan yang sempurna mutlak harus dilakukan sehingga capaian rendemen
dapat meningkat dan losis dapat ditekan.
Selain itu, TBS mengandung sejumlah zat yang harus dimusnahkan terlebih
dahulu untuk mencapai pengolahan yang efisien. Suasana lembab dengan suhu
tinggi dalam rebusan akan menginaktifkan enzim-enzim lipase dan lipoksidase
yang terdapat dalam buah sehingga proses hidolisis minyak menjadi asam lemak
bebas dan proses oksidasi minyak dapat dihentikan. Oleh karena itu tandan yang
dipanen harus diusahakan dapat direbus (sterilisasi) secepatnya.
Dalam tahap ini menggunakan sistem tiga puncak (triple peak). Sistem tiga
puncak artinya tiga kali menaikkan tekanan dan dua kali membuang air kondensat
selama proses perebusan berlangsung. Keuntungan menggunakan sistem tiga
puncak ini diantaranya: persentase buah tidak membrondol lebih kecil, kehilangan
minyak dalam ampas lebih kecil dan proses klarifikasi minyak lebih baik.
Perebusan dengan sistem tiga puncak (triple peak). Puncak pertama tekanan
sampai 2,3 kg/cm2, puncak kedua tekanan sampai 2,5 kg/cm2. Dan di puncak
ketiga tekanan sampai 3,0 kg/cm2. Lama perebusan dilakukkan selama 90 menit
sedangkan siklus perebusannya 100 menit (Sunarko, 2009).

Universitas Sumatera Utara

4.

Stasiun Penebah
Setelah perebusan yang sempurna, buah sudah dalam keadaan mudah

dilepaskan dari tandannya. Daging buah sudah lunak dan lemah, dan zat-zat yang
mengganggu pada pengolahan selanjutnya sudah dimusnahkan atau dibuat
nonaktif. Inti juga sudah mulai lekang dari tempurungnya (cangkangnya). Tandan
buah telah siap untuk pekerjaan pemisahan.
Pemisahan yang dilakukan terdiri atas pemisahan buah dari Tandan Buah
Kosong (TBK) dengan penebahan, pemisahan minyak dari daging buah dengan
pengempaan, pemisahan biji dari ampas kempa dengan penghembusan serabut,
pemisahan minyak dari air dengan pengendapan, dan pemisahan inti dari biji
dengan pemecahan biji dan pemisahan cangkang. Penebahan adalah untuk
melepaskan buah dan kelopak (calyx) dari tandan yang sudah direbus. Penebah
adalah suatu alat berbentuk teromol mendatar yang sedikit miring dengan kisi-kisi
yang bercelah sedikit lebih besar daripada ukuran berondolan (Hariyanto, 2007).
Keranjang rebusan (lori) yang berisi tandan rebus diangkat dengan keran
pengangkat (hoisting crane) dan dituangkan isinya ke atas talang pengumpan
(auto feeder). Yang penting penebah (thresher) menerimanya dengan jumlah yang
konstan dan teratur sesuai dengan kapasitas olah. Auto feeder berfungsi mengatur
masuknya buah yang sudah direbus ke bantingan (thresher) secara kontinu dan
merata sehingga proses perontokan brondolan dapat berlangsung maksimal.
Kecepatan auto feeder diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas
pabrik.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam bantingan/penebah/thresher, berlangsung proses perontokan


brondolan dari janjangan. Akibat adanya bantingan tandan buah di dalam thresher
yang berputar dengan kecepatan 23 rpm. Semakin besar berat rata-rata tandan,
semakin besar rpm nya.
Untuk menyempurnakan proses perontokan, disamping siku pengarah yang
telah terpasang, masih perlu ditambah cakar yang dipasang sejajar dengan kisi
thresher. Cakar ini berfungsi untuk mancabik-cabik tandan akar brondolan yang
berada di dalam ikut membrondol. Cakar dibuat dari besi dan berjumlah 12 buah.
Brondolan hasil dari thresher, diangkut dengan elevator ke digester.
5.

Stasiun Kempa
Brondolan yang telah terlepas dari tandannya kemudian diangkut ke bagian

pengadukan (digester). Alat yang digunakan untuk pengadukan adalah sebuah


tangki vertikal yang dilengkapi dengan lengan-lengan pengaduk di bagian
dalamnya. Lengan-lengan pengaduk ini diputar oleh motor listrik yang dipasang
di bagian atas dari alat. Putaran lengan-lengan pengaduk berkisar 25-26 rpm.
Tujuan utama dari proses pengadukan ini yaitu mempersiapkan daging buah untuk
pengempaan (pressing) sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari
daging buah dengan kerugian yang sekecil-kecilnya.
Selanjutnya, buah hasil pengadukan langsung masuk ke alat pengempaan
yang persis berada dibawah digester. Pada PKS, umumnya digunakan screw press
sebagai alat pengempaan untuk memisahkan minyak dari daging buah. Tekanan
dari daging buah diperoleh dari alat tersebut yang berputar berlawanan arah
dengan kecepatan yang sama (Hariyanto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pengaturan tekanan pada alat screw press sangat menentukan efisiensi


ekstraksi minyak, dimana tekanan yang dipakai adalah 35-40 ampere. Selama
proses pengempaan berlangsung, air panas ditambahkan ke dalam screw press.
Hal ini bertujuan untuk pengenceran (dillution) sehingga massa buah tidak terlalu
rapat. Hasil akhir dari proses pengempaan ini adalah minyak kasar yang akan
diolah lebih lanjut di stasiun klarifikasi serta ampas dan biji yang akan diolah di
stasiun biji (Pahan, 2011).
6.

Stasiun Klarifikasi
Stasiun klarifikasi yaitu stasiun pengolahan di PKS yang bertujuan untuk

melakukan pemurnian minyak dari kotoran-kotoran, seperti padatan lumpur dan


air. Minyak kasar yang diperoleh dari proses pengempaan perlu dibersihkan dari
kotoran, baik yang berupa padatan (solid), lumpur (sludge), maupun air. Tujuan
dari pembersihan ini adalah untuk memperoleh minyak dengan kualitas sebaik
mungkin dan dapat dipasarkan dengan harga yang layak.
Minyak sawit kasar yang melalui proses pemurnian atau klarifikasi bertahap
akan menjadi minyak sawit mentah yang kemudian disimpan di tangki
penimbunan sebelum pengiriman. Sedangkan sisa olahan yang berupa lumpur,
masih dapat dimanfaatkan dengan proses daur ulang untuk diambil minyak
sawitnya (Pahan, 2011).

Universitas Sumatera Utara

7. Stasiun Biji
Proses pemisahan biji-serabut dari ampas pengempaan bertujuan terutama
untuk memperoleh biji sebersih mungkin. Kemudian, dari biji tersebut harus
menghasilkan inti sawit secara rasional, yakni kerugian yang sekecil-kecilnya
dengan hasil inti sawit yang setinggi-tingginya.
Biji sawit yang telah dipisah pada proses pengadukan, diolah lebih lanjut
untuk diambil minyaknya. Sebelum dipecah, biji sawit dikeringkan dalam silo
minimal 14 jam dengan sirkulasi udara kering pada suhu 500 C, sehingga inti
sawit mengerut dan memudahkan inti sawit terpisah dari cangkangnya. Pemisahan
inti sawit dan cangkang didasarkan pada berat jenis keduanya. Alat yang
digunakan adalah hydrocyclone separator. Inti dan tempurung dipisahkan oleh
aliran alir yang berputar dalam sebuah tabung. Dalam keadaan tersebut inti sawit
akan mengapung dan cangkang tenggelam. Proses selanjutnya adalah pencucian
inti sawit dan cangkang sampai bersih. Untuk menghindari kerusakan akibat
mikroorganisme, maka inti sawit harus dikeringkan pada suhu 800C dah diolah
lebih lanjut menjadi minyak inti sawit (PKO) (Fauzi, dkk, 2002).
2.2.2 Hasil Olahan Tanaman Kelapa Sawit
Pada dasarnya ada dua macam hasil olahan utama pengolahan tanaman
kelapa sawit, yaitu:
1.

Minyak Sawit
Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% perikarp dan 20% buah yang

dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40%. Secara
anatomi , bagian-bagian buah tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Perikarpium, terdiri dari:


a. Eksokarp yaitu kulit buah yang keras dan licin
b. Mesokarp yaitu daging buah yang berserabut dan mengandung minyak
dengan rendemen paling tinggi.
2. Biji, mempunyai bagian:
a. Endokarp yaitu kulit biji = tempurung berwarna hitam dan keras.
b. Endosperm (kernel= inti = daging buah), berwarna putih dan dari bagian
ini akan menghasilkan minyak inti sawit setelah melalui ekstraksi.
c. Lembaga atau Embrio.
Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi
yang tetap. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida,
yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai
asam lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linoleat.
Minyak sawit berwarna merah jingga karena kandungan pigmen karotenoida
(terutama -karotena). Karotenoid sangat larut dalam minyak dan merupakan
hidrokarbon dengan banyak ikatan tidak jenuh. Bila minyak dihidrogenasi maka
akan terjadi hidrogenasi karotenoid sehingga warna merah berkurang. Selain itu,
perlakuan pemanasan akan mengurangi warna pigmen (Winarno, 1984).
Kandungan karotene dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam
minyak dari jenis Tenera kurang lebih 500-700 ppm; kandungan tokoferol
bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi.

Universitas Sumatera Utara

Pembentukan lemak dalam buah sawit mulai berlangsung beberapa minggu


sebelum matang. Oleh karena itu, penentuan saat panen adalah sangat menentukan
(kritis). Kandungan minyak tertinggi dalam buah adalah pada saat buah akan
memberondol. Karena itu kematangan tandan biasanya dinyatakan dengan jumlah
buahnya yang memberondol. Seminggu sebelum matang, yaitu 19 minggu setelah
penyerbukan, minyak yang terbentuk baru 6 7%. Pada hari-hari terakhir
menjelang pematangannya pembentukan minyak berlangsung dengan cepat
sehingga mencapai maksimumnya, yaitu sekitar 50% berat terhadap daging buah
segar pada minggu ke-20 setelah penyerbukan (Mangoensoekarjo, dkk, 2008).
2.

Inti Sawit
Bentuk inti sawit bulat padat atau agak gepeng berwarna cokelat hitam. Inti

sawit mengandung lemak, protein, serat dan air. Pada pemakaiannya, lemak yang
terkandung di dalamnya (disebut minyak inti sawit) diekstraksi dan sisanya atau
bungkilnya yang kaya protein dipakai sebagai bahan makanan ternak.
Minyak inti sawit juga dapat mengalami hidrolisis. Hal ini lebih mudah
terjadi pada inti pecah dan inti berjamur. Faktor yang menentukan pada
peningkatan kadar Asam Lemak Bebas minyak inti sawit adalah kadar asam
permulaan, proses pengeringan yang tidak baik, kadar air akhir dalam inti sawit
kering dan kadar inti pecah. Inti sawit pecah yang basah akan menjadi tempat
biakan mikroorganisme (jamur) (Mangoensoekarjo, dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Dalam keadaan normal kadar Asam Lemak Bebas permulaan minyak inti
sawit tidak lebih dari 0,5%, sedangkan pada akhir pengolahan tidak lebih dari 1%.
Dengan demikian kenaikan kadar Asam Lemak Bebas akibat pengolahan hanya
0,5%. Jadi pembentukan Asam Lemak Bebas lebih banyak terjadi pada
penimbunan, yaitu jika tempat penimbunannya lembap dan atau kadar air inti
sawit terlalu tinggi melebihi kadar air .
Pada suhu tinggi inti sawit dapat mengalami perubahan warna. Minyaknya
akan lebih berwarna lebih gelap dan lebih sulit dipucatkan. Suhu tertinggi pada
pengolahan minyak sawit adalah pada perebusan yaitu sekitar 130oC. Suhu kerja
maksimum dibatasi setinggi itu untuk menghindarkan terlalu banyak inti yang
berubah warna. Brondolan dan buah yang lebih tipis daging buahnya atau lebih
tipis

cangkangnya

adalah

lebih

peka

terhadap

suhu

tinggi

tersebut

(Mangoensoekarjo, dkk, 2008).


2.3

Kehilangan ( Losses) Minyak Sawit Selama Pengolahan


Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya losses, antara lain:

1. Pada proses perebusan, yaitu air kondensat


Dalam proses perebusan, minyak yang terbuang 0,7%. Air kondensat
dengan kandungan minyak ini akan dikeluarkan oleh operator setiap kali kondisi
perebusan mencapai peak-peak yang ditetapkan. Umumnya, hal ini disebabkan
karena holding time/waktu di puncak ketiga terlalu lama.

Universitas Sumatera Utara

2. Pada proses penebahan


Kerugian yang terjadi pada proses penebahan ada dua macam yaitu,
kehilangan minyak yang terserap oleh oleh tangkai tandan kosong dan kehilangan
minyak dalam buah yang masih tertinggal pada tandan (USF/Unstripped Fruit).
Tingkat kematangan buah dan metode perebusan buah sangat menentukan.
Semakin tinggi tingkat kematangan dan semakin lama waktu perebusan, semakin
besar kemungkinan minyak keluar dari daging buah karena daging buah semakin
lunak. Pada proses penebahan, minyak tersebut terserap oleh tandan (Pahan,
2011).
3. Pada proses pengempaan, yaitu ampas pressan dan biji
Pengaturan tekanan alat kempa (screw press) sangat mempengaruhi efisiensi
ektraksi minyak. Tekanan yang tinggi akan mengakibatkan kehilangan minyak
dalam jumlah kecil dan biji pecah dalam jumlah besar. Dan tekanan yang kecil
akan mengakibatkan kehilangan minyak dalam jumlah besar dan biji pecah dalam
jumlah kecil. Pada saat proses pengepresan berlangsung, sebagian minyak yang
keluar akan diserap oleh permukaan biji secara alamiah.
4. Pada proses pemurnian minyak, yaitu pada lumpur (sludge)
Sludge merupakan fasa campuran yang masih mengandung minyak. Di
PKS, sludge diolah kembali pada minyak yang masih terkandung didalamnya.
Pengolahan tersebut umumnya menggunakan decanter yang menghasilkan 3 fase,
yaitu light phase, heavy phase dan solid. Light phase merupakan fase cairan
dengan kandungan minyak yang cukup tinggi. Oleh karena itu, fase ini harus
segera dikembalikan ke COT untuk diproses kembali.

Universitas Sumatera Utara

Heavy phase merupakan fase cairan dengan sedikit kandungan minyak


sehingga fase ini dikirim ke bak fat pit dan diteruskan ke limbah. Solid merupakan
padatan dengan kadar minyak maksimum 3,5% dari berat sampel yang akan
diaplikasikan sebagai pupuk di kebun (Pahan, 2011).
Tabel 2. Losses Minyak Terhadap Contoh di PKS Adolina
NO

URAIAN

NORMA

1.

Air Kondensat

0,50%

2.

Janjangan Kosong

1,85%

3.

Ampas pressan

3,90%

4.

Biji

0,80%

5.

Sludge Separator

0,60%

6.

Drab Akhir

0,50%

2.3.1 Faktor yang mempengaruhi efisiensi ekstraksi pada ampas pressan


Pokok permasalahan dalam hal kehilangan minyak yang terikut pada ampas
dalam pengempaan adalah faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor
penyebabnya adalah tekanan kempa yang pergunakan pada pengempaan yang
sesuai agar kehilangan minyak dapat ditekan sedikit mungkin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan minyak yang terikut dalam
ampas pada proses pengempaan adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Pemanenan buah yang terlalu dini (buah masih mentah)


Semakin tua umur dari tanaman kelapa sawit, maka ukuran buah dari kelapa
sawit akan semakin besar. Kadar minyak yang dihasilkan pun akan semakin
tinggi. Umur tanaman kelapa sawit yang baik untuk dipanen adalah pada saat
tanaman tersebut mencapai umur 2,5-3 tahun dengan melihat jumlah brondolan
yang jatuh atau rontok. Oleh karena itu, jika pemanenan buah terlalu dini
dilakukan, maka minyak diperoleh dari pengolahan kelapa sawit akan
menghasilkan jumlah yang sangat sedikit, sebab buah masih mentah dan lumpur
yang dihasilkannya dari pengolahan tersebut akan bertambah banyak.
2. Waktu dan kondisi operasi perebusan buah
Perebusan dengan waktu yang cepat dan tekanan uapnya yang rendah akan
mengakibatkan kurangnya kematangan pada buah sehingga sulit memperoleh
minyak pada proses pengepresan. Jika waktu perebusan terlalu lama akan
menyebabkan peresapan minyak pada celah-celah serabut meningkat. Akibatnya
kurangnya kadar air pada serat serabut sehingga minyak akan sulit dikeluarkan
pada proses pengepresan.
3. Proses pengadukan
Prinsip dari proses pengadukan adalah untuk mengaduk massa buah
sehomogen mungkin untuk memperoleh daging buah yang benar-benar terlepas
dari bijinya. Tujuannya adalah agar serabut pada biji tidak banyak tertinggal, yang
dapat menimbulkan kehilangan minyak pada ampas presan setelah pengepresan.

Universitas Sumatera Utara

4. Tekanan pengempaan
a. Bila tekanan kempa telalu rendah akan mengakibatkan :
-

Bahan bakar ampas masih basah, sehingga pembakaran oleh boiler tidak
sempurna

Kehilangan minyak pada ampas bertambah

Pemisahan ampas pada biji tidak sempurna sehingga proses pengolahan


biji akan mengalami kesulitan

b. Bila tekanan kempa terlalu tinggi akan mengakibatkan :


-

Kadar biji pecah bertambah sehingga kehilangan minyak dalam biji naik

Hasil produksi akan meningkat

Daya kerja screw press menjadi lambat

5. Alat pengukur tekanan yang tidak standar lagi


Pemakaian alat pengukur tekanan yang tidak standar lagi pada stasiun
pengempaan akan menyebabkan pemerasan minyak menjadi tidak optimal karena
tekanan dapat berubah-ubah setiap waktu dan bila tidak dikontrol secara nyata,
maka kehilangan minyak dalam ampas pressan akan meningkat.
6. Kelalaian pekerja
Kelalaian pekerja dalam mengoptimalkan dan menjalankan alat pada stasiun
pengempaan dapat menimbulkan kehilangan minyak pada ampas pressan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang pemakaian alat yang dimiliki
oleh pekerja dan kemungkinan juga disebabkan oleh lingkungan kerja yang

Universitas Sumatera Utara

kurang kondusif serta alat-alat yang diinginkan juga sudah dalam jangka waktu
yang lama (Naibaho, 1996).
7. Kekurangan bahan bakar pada ketel uap (boiler)
Ketel uap merupakan alat untuk memproduksi atau menghasilkan uap dari
bahan baku air dengan menggunakan bahan bakar fiber (ampas) dan cangkang.
Kekurangan bahan bakar pada boiler akan mengakibatkan kurangnya pasokan
energi listrik untuk menggerakkan atau memanaskan alat-alat pabrik. Karena
energi listrik yang didapat berkurang, maka secara otomatis tenaga untuk
menggerakkan mesin kempa akan berjalan lambat sehingga proses pengolahan
tidak berjalan sempurna akibatnya pengutipan minyak dan inti menjadi rendah.
2.4

Standar Mutu
Minyak sawit memegang peranan penting dalam perdagangan dunia. Oleh

karena itu, syarat mutu harus menjadi perhatian utama dalam perdagangannya.
Istilah mutu minyak sawit dapat dibedakan menjadi dua arti. Pertama, benar-benar
murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Kedua, pengertian mutu
minyak sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan
spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar Asam Lemak Bebas,
air, kotoran, logam dan ukuran pemucatan (Fauzi, dkk, 2002).
Kebutuhan mutu minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri
pangan dan nonpangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian,
kesegaran, kemurnian dan aspek higienisnya harus diperhatikan. Rendahnya mutu
minyak sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Diantaranya, ada beberapa

Universitas Sumatera Utara

faktor yang secara langsung berkaitan dengan standar mutu minyak sawit terhadap
Tandan Buah Segar seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Mutu Minyak Sawit, Inti Sawit pada PKS Adolina
BULAN / TAHUN
URAIAN

1.Mutu

NORMA

DESEMBER

DESEMBER

DESEMBER

2009

2010

2011

Minyak

Sawit
Kadar ALB

3,00

4,01

4,14

4,24

Kadar Air

0,150

0,162

0,150

0,150

Kadar Kotoran

0,020

0,020

0,019

0,020

dalam tankos

0,39

0,50

0,49

0,49

dalam Drab Akhir

0,30

0,29

0,29

0,31

dalam

0,55

0,58

0,58

0,60

buah dalam tankos

0,16

0,07

0,00

0,00

dalam biji

0,10

0,09

0,09

0,09

Total Losis

1,50

1,53

1,45

1,49

Q.P.M

93,91

93,79

94,14

93,97

6,50

6,70

6.60

6,84

2.Losis Minyak
Terhadap TBS

Ampas

Kempa

Tekanan

Vaccum

Universitas Sumatera Utara

Drier
3.Mutu Inti Sawit
Kadar ALB

2,00

1,20

1,25

1,12

Kadar Air

7,00

7,91

7,13

7,43

Kadar Kotoran

6,00

6,96

5,87

5,57

dalam cangkang

0,22

0,21

0,17

0,19

Dalam tankos

0,05

0,02

0,00

0,00

Dalam

0,28

0,23

0,24

0,24

Total losis

0,55

0,46

0,41

0,43

Q.P.I

89,70

91,07

92,20

90,40

4.Losis

Inti

Terhadap TBS

ampas

cyclone

2.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak sawit


1.

Asam Lemak Bebas ( free fatty acid )


Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang ikut dalam minyak sawit

sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen


minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam
lemak bebas dalam minyak sawit. Kenaikan kadar asam lemak bebas ditentukan
mulai dari saat tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik.

Universitas Sumatera Utara

Kenaikan ALB ini disebabkan dengan adanya reaksi hidrolisa pada minyak
sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktorfaktor panas, air, keasaman dan katalis (enzim).
Jika dinding sel pecah atau rusak karena proses pembusukan atau karena
pelukaan mekanik, tergores atau memar karena benturan. Enzim akan
bersinggungan dengan minyak dan reaksi hidrolisis akan berlangsung dengan
cepat. Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar Asam
Lemak Bebas yang terbentuk.
Pembentukan asam lemak bebas oleh mikroorganisme (jamur dan bakteri
tertentu) juga dapat terjadi bila suasananya sesuai, yaitu pada suhu rendah
dibawah 50oC, dan dalam keadaan lembap dan kotor. Oleh karena itu, minyak
sawit harus segera dimurnikan setelah pengutipannya. Pemanasan sampai suhu
90oC akan menginaktifkan enzimya dan menghancurkan mikroorganismenya.
Peningkatan kadar Asam Lemak Bebas juga dapat terjadi pada proses
hidolisa di pabrik. Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu
oleh air dan berlangsung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada
suhu tertentu merupakan bahan pembantu dalam proses pengolahan. Untuk itu,
setelah akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan dengan
bejana hampa pada suhu 90oC. Sebagai ukuran standar mutu dalam perdagangan
internasional untuk ALB ditetapkan sebesar 5% (Satyawibawa, dkk, 1992).
2.

Kadar Air

Universitas Sumatera Utara

Jumlah kandungan air pada hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan
bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Untuk memperpanjang daya tahan
suatu bahan, maka sebagian air dihilangkan sehingga mencapai kadar air tertentu.

Proses pengeringan minyak sawit dilakukan dengan sistem pengeringan


hampa udara untuk mengurangi kadar air dalam minyak hingga di bawah 0.8%
dengan syarat kondisi minyak yang akan diproses suhunya harus stabil 90 C dan
kadar air tidak melebihi 0.8%. Karena pada kadar air kurang dari 0,8%
mikroorganisme juga tidak dapat berkembang (Winarno, 1984).
3.

Kadar Kotoran
kadar pengotor dan zat terlarut adalah keseluruhan bahan-bahan asing yang

tidak larut dalam minyak. Pengotor yang tidak terlarut dinyatakan sebagai % zat
pengotor terhadap lemak dan minyak. Pada umunya, penyaringan hasil minyak
sawit jernih dimurnikan dengan sentrifugasi. Dengan proses tersebut kotorankotoran yang berukuran besar memang dapat disaring, tetapi kotoran yang
berukuran kecil hanya melayang-layang di dalam minyak sawit sebab berat jenis
nya sama dengan minyak sawit. Padahal alat sentrifugasi tersebut dapat berfungsi
dengan prinsip kerja yang didasarkan pada perbedaan berat jenis (Marunduri,
2009).
kotoran yang terdapat dalam minyak sawit dibagi 3, yaitu kotoran yang
tidak larut dalam minyak, misalnya lendir, biji, partikel jaringan, serat-serat yang
berasal dari kulit, abu atau mineral-mineral Fe, Cu, Mg dan Ca. Kotoran tersebut
dapat dipisahkan dengan cara mekanis: pengendapan, penyaringan dan

Universitas Sumatera Utara

sentrifugasi. Kotoran yang kedua adalah kotoran yang berbentuk suspense koloid
dalam minyak, misalnya karbohidrat, fosfolipid, senyawa yang mengandung
Nitrogen dan senyawa kompleks lainnya. kotoran tersebut dapat dihilangkan
dengan cara uap panas, elektrolisa dan dilanjutkan dengan cara mekanis.
Kotoran yang ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam minyak, misalnya
Asam Lemak Bebas, sterol dan hidrokarbon yang dihasilkan dari hidrolisis
trigliserida dan zat warna karotenoid dan klorofil.
2.5

Kandungan Nutrisi Minyak Sawit

1.

Kandungan Kalori dan Vitamin


Minyak kelapa sawit seperti jenis lemak dan minyak nabati lainnya

memiliki nilai kalori sebesar 9 kkal/g, dimana nilai kalori untuk nilai protein dan
karbohidrat masing-masing 4 kkal/g. Minyak dan lemak nabati merupakan sumber
vitamin A, D dan E serta berfungsi sebagai pembawa vitamin K. Minyak kelapa
sawit merupakan sumber minyak yang kaya vitamin A, dimana kandungan
betakaroten mencapai 1.000 mg/kg. Serta Vitamin E yang merupakan salah satu
antioksidan alami yang paling efektif yang terdapat dalam minyak nabati.
2.

Kandungan Asam Lemak Esensial dan Asam Lemak Tidak Jenuh


Minyak kelapa sawit terdiri dari 50% asam lemak tidak jenuh. Asam lemak

tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit berupa asam linoleat yang dibutuhkan
secara esensial untuk nutrisi manusia dan hewan. Kekurangan asam lemak
esensial akan

menimbulkan

gangguan

metabolisme

yang

menyebabkan

pertumbuhan terhambat, dermatitis dan gangguan reproduksi (Seto, 2001).


3.

Kandungan Kolestrol

Universitas Sumatera Utara

Kadar kolestrol dalam minyak sawit relatif rendah, hanya sekitar 10 ppm
saja atau sebesar 0,001% dalam CPO. Bahkan dari hasil penelitian dinyatakan
bahwa kandungan kolestrol dalam satu butir telur setara dengan kandungan
kolestrol dalam 29 liter minyak sawit (Fauzi, dkk, 2002).
2.6

Pemanfaatan Minyak Sawit

1.

Minyak Kelapa Sawit Sebagai Obat


Kandungan minor dalam minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku

dalam industri farmasi. Diantara kandungan minor yang sangat berguna tersebut
antara lain karoten dan tokoferol. Karoten merupakan sumber provitamin A yang
dapat mencegah kebutaan (defisiensi Vitamin A) dan pemusnahan radikal bebas
yang selanjutnya juga bermanfaat untuk mencegah kanker, arterosklerosis serta
memperlambat proses penuaan.

Sedangkan unsur tokoferol dikenal sebagai

antioksidan alam dan juga sebagai sumber vitamin E.


2.

Minyak Kelapa Sawit sebagai Bahan Pangan


Minyak kelapa sawit telah digunakan sebagai minyak goreng sejak lama

sekali, bahkan sebelum orang mengenal proses rafinasi. Setelah mengalami


rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat RBD (Refined,
Bleached, Deodorized), minyak sawit digunakan untuk membuat berbagai produk
yang lebih tinggi nilainya. Produk-produk pangan yang menggunakan minyak
sawit sebagai bahan baku ataupun bahan suplemennya antara lain minyak goreng,
margarine, shortening berbagai macam dressing, produk-produk mie termasuk
mie instant, produk-produk snack-extruded dan sebagainya (Seto, 2001).
3.

Minyak Kelapa Sawit sebagai Bahan Non-Pangan

Universitas Sumatera Utara

Selain sebagai bahan baku untuk industri pangan, minyak sawit mempunyai
potensi yang cukup besar untuk digunakan di industry nonpangan, dari industri
farmasi sampai industri oleokemikal. Produk nonpangan tersebut dihasilkan
melalui proses hidrolisa (splitting).
Oleokemikal adalah bahan baku industri yang diperoleh dari minyak nabati,
termasuk di antaranya adalah minyak sawit dan minyak inti sawit. Produksi utama
minyak yang digolongkan dalam oleokemikal adalah asam lemak, metal ester,
lemak alkohol, asam amino dan gliserin.
4.

Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit


Pemanfaatan limbah padat termasuk Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

yang tersedia dalam jumlah besar dan berkesinambungan sepanjang tahun.


Sampai saat ini, TKKS belum dimanfaatkan seluruhnya, sebagian besar TKKS
masih dibakar pada Incenerator dan abunya dipergunakan sebagai pupuk Kalium
di perkebunan kelapa sawit. Pembakaran ini telah dilarang karena pencemaran
udara yang ditimbulkan, juga dibutuhkan biaya operasi dan pemeliharaan yang
tinggi. TKKS dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti bahan energi
alternatif, mulsa, kompos, bahan pengisi kertas atau pulp, bahan partikel arang
briket, polipot, dsb (Nainggolan, dkk, 2011).
2.7 Penetapan Kadar Minyak dengan Metode Sokhletasi
Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam
pelarut minyak dan lemak. Pelarut minyak dan lemak yang biasa dipergunakan
dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline
karbon disulfida, karbon tetraklorida dan n-heksan. Serta pelarut yang digunakan

Universitas Sumatera Utara

harus dapat mengekstraksi substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material


lainnya. Tetapi cara ini kurang efektif, karena pelarut mahal dan lemak yang
diperoleh harus dipisahkan dari pelarutnya dengan cara diuapkan.
Penentuan kadar lemak dengan pelarut, selain lemak juga terikut fosfolipida,
sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen lainnya. Karena itu hasil
analisanya disebut lemak kasar (crude fat). Pada garis besarnya, analisa lemak
kasar ada dua macam yaitu cara kering dan cara basah.
Pada cara kering, bahan dibungkus atau ditempatkan dalam thimble,
kemudian dikeringkan dalam oven untuk menghilangkan airnya. Pemanasan harus
secepatnya dan dihindari suhu yang terlalu tinggi. Untuk itu, dianjurkan dengan
vakum oven (suhu 700C) dengan tekanan vakum. Karena sampel kering maka
pelarut yang dipilih harus bersifat tidak menyerap air. Apabila bahan masih
mengandung air yang tinggi maka bahan pelarut akan sulit masuk ke dalam
jaringan/sel dan pelarut menjadi penuh dengan air selanjutnya ekstraksi lemak
kurang efisien. Selain itu, adanya air akan menyebabkan zat-zat yang larut dalam
air akan ikut pula terekstraksi bersama lemak sehingga hasil analisa kurang
mencerminkan yang sebenarnya (Sudarmadji, dkk, 1989).
Penentuan kadar lemak dan minyak dengan cara ekstraksi kering dapat
menggunakan alat yang dikenal dengan nama soxhlet. Ekstraksi dengan soxhlet
ini dilakukan secara terputus-putus. Pada ekstraktor soxhlet, pelarut dipanaskan
dalam labu didih sehingga menghasilkan uap. Uap tersebut kemudian masuk ke
kondensor melalui pipa kecil dan kemudian keluar dengan fase cair. Kemudian,
pelarut masuk ke dalam selongsong berisi padatan.

Universitas Sumatera Utara

Pelarut akan membasahi sampel dan tertahan di dalam selongsong sampai


tinggi pelarut dalam pipa sifon sama dengan tinggi pelarut di selongsong.
Kemudian, pelarut seluruhnya akan mengalir masuk kembali ke labu didih dan
begitu seterusnya. Peristiwa ini disebut dengan efek sifon.
Kekurangan dari metode ini diantaranya yaitu cairan akan mengallir ke
dalam labu setelah tinggi pelarut dalam selongsong sama dengan pipa sifon. Hal
ini menyebabkan ada bagian sampel yang berkontak lebih lama dengan cairan
daripada bagian lainnya, sehingga sampel yang berada di bawah akan terekstraksi
lebih banyak daripada bagian atas, akibatnya ekstraksi menjadi tidak merata.
Selain itu, pada ekstraktor soxhlet terdapat pipa sifon yang berkontak langsung
dengan udara ruangan, maka akan terjadi perpindahan panas dari pelarut panas di
dalam pipa ke ruangan, sehingga suhu di dalam soxhlet tidak merata (Bintang,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai