Oleh :
BAGIAN I
PENDAHULUAN
Lembaga Peradilan sebagai sebuah institusi kenegaraan yang berfungsi untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan berkewajiban
untuk membuat tata kerja yang baku agar memudahkan bagi para pencari keadilan
dalam berperkara dan mewujudkan efesiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pejabat
pengadilan dalam menyelesaikan perkara.
Masih banyak masyarakat mengeluhkan mengenai prosedur dan sistem kerja
penerimaan dan pelayanan masyarakat
bukan hanya menyangkut martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust)
terhadap peradilan agama, namun juga menyangkut persoalan ketepatan dan
kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti
berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas
terhadap
peradilan agama itu salah satunya disebabkan ketidakjelasan prosedur dan alur
penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin
berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari
oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai
pengadilan agama.
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang isinya tidak diubah baik dalam UU No. 3
Tahun 2006 maupun dalam UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan
Kedua Tentang Peradilan Agama disebutkan : Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini.
Adapun hal-hal yang telah diatur secara khusus menurut undang-undang
organik di lingkungan peradilan agama antara lain :
1. Perkara cerai talak diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya
tertutup, sedang pembacaan putusan tetap dilakukan dalam siding terbuka untuk
umum (Pasal 33 dan 34 UU No. 7 Tahun 1989);
5. Perdamaian wajib dilaksanakan oleh hakim dalam perkara perceraian pada setiap
persidangan sampai perkara diputus. Pada sidang pertama suami istri harus datang
secara pribadi untuk perdamaian tersebut, kecuali salah satu pihak berada di luar
negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dilakukan untuk
keperluan tersebut (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
6. Gugatan perceraian wajib menghadirkan keluarga atau orang dekat masing-masing
pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan saksi dalam perkara
tersebut (Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989);
7. Gugatan Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak
tuduhan dan / atau mengingkari tersebut;
8. Biaya
dalam perkara cerai talak maupun cerai gugat dibebankan kepada pihak
BAGIAN II
DASAR HUKUM ALUR PERKARA
HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA
A.
HIR
2.
3.
4.
5.
UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal Banding bagi
Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa
dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
6.
7.
8.
9.
Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI., dan
Surat Keputusan Mahkamah Agung RI., meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Tentang Penyelesaian
Perkara;
g.
Perkara Perdata;
h.
Administrasi;
i.
Khusus;
j.
k.
l.
Surat Edaran
Surat Edaran
Surat Edaran
Surat Edaran
Surat Edaran
Surat Edaran
MA-RI Nomor 07
Setempat;
r.
s.
t.
Surat Edaran
MA-RI Nomor 02
v.
Surat Edaran
x.
Surat Edaran
11.
adalah
pengumpulan
yang
sistematis
dari
keputusan
Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim
lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama. 4 Hakim
tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Negara
Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent jadi bebas
memilih antara meninggalkan yurisprudensi
perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus
berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu sudah
usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan
masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi
itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.5
12.
B.
4 Kamus Fockema Andrea, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi (1998 : 14).
5 Abdul Manan, op.cit., halaman 7.
6 Bagir Manan, op.cit.., halaman 12.
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 8
yang berdasarkan atas hukum- bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada
aturan hukum tertentu.
2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk mewujudkan
harus berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law)
dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice).
4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang
BAGIAN III
ALUR PERKARA HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA
TAHAP 1 : MEJA INFORMASI
A.
yang
dapat
menimbulkan
purbasangka
dan
penyalahgunaan
wewenang. Untuk itu, hakim, majelis hakim, pejabat kepaniteraan, dan semua
aparat di lingkungan peradilan agama dilarang menerima tamu dari pihak atau
yang berkepentingan dengan suatu perkara yang belum diputus, sedang atau
sudah diperiksa dan diputus, kecuali menyangkut proses administrative dari
perkara tersebut.
Apabila karena ada suatu pertimbangan tertentu yang menurut petugas
meja I harus diterima dan tidak bisa dielakkan sehingga harus diterima, maka
pertemuan tersebut harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak boleh
hanya salah satu pihak saja. Meskipun demikian, harus melalui presedur yang
benar, yakni pihak yang akan menghadap harus mengajukan permohonan dan
wajib memberitahu lawan mengenai kehendak menghadap tersebut. Apabila tata
cara ini tidak/belum ditempuh, maka kehendak menghadap tersebut oleh Petugas
Meja Informasi harus menolaknya.
B.
kepaniteraan, kejurusitaan, hakim, dan tugas pimpinan pengadilan agama. Hal ini
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 11
administratif
perkaranya
di
pengadilan
agama,
maka
petugas
meja
informasi
berfareasi tergantung pada perkaranya. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam
perkara cerai talak dan cerai gugat, yakni :
a. Perkara cerai talak, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama
ini adalah :
1).
2).Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.
3). Photo copy KTP milik pemohon.
4).
T 3,
Tunai).
b. Perkara cerai gugat, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama
ini adalah :
1).
2). Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.
3). Photo copy KTP milik penggugat.
4). Uang panjar biaya perkara sesuai radius, dengan rumus P2, T 3;
5). Perkara prodeo, harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari
kepala desa/kelurahan (pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009) atau surat
keterangan social lainnya seperti
disampaikan oleh Petugas Meja Informasi, dan oleh pihak berperkara telah memenuhi
beberapa persyaratan tersebut, maka langkah berikutnya (tahap ke 2)
pihak
a.
perkara
baru
dan
pelawan
dibebani
biaya
untuk
pemanggilan
dan
b.
c.
2)
3)
Photo copy kartu anggota advokat bagi yang menggunakan jasa advokat;
4)
5)
6)
3.
Petugas meja
berkas dengan
5.
Jika gugatan/ permohonan belum dibuat oleh pihak berperkara, Petugas Meja I
memberikan penjelasan agar ia meminta bantuan kepada Advocat (posbakum)
untuk memberi bantuan membuat surat gugatan/ permohonan.
6.
penjelasan dan penafsiran panjar biaya perkara yang kemudian dituangkan dalam
SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar).9
a)
Surat kuasa untuk membayar (SKUM) dibuat oleh Petugas Meja I rangkap 4
(empat) dan menyerahkannya kepada :
a)
b)
c)
Dalam menentukan panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM, Petugas Meja I harus
memperhatikan hal-hal berikut ini :
a) Dalam menentukan panjar biaya perkara Petugas Meja I berpedoman pada SK Ketua Pengadilan
Agama Tentang Panjar Biaya Perkara. SK ini merujuk pada PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP,
PERMA RI No. 2 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Surat Wakil Ketua MA-RI
masing-masing : No. 33/WK-MA.N.Y/IX/2008 tanggal 26 September 2008 tentang PP No. 53 tahun
2008 dan No. 42/WK-MA.N.Y/XI/2008 tanggal 4 November 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP
No. 53 tahun 2008 serta peraturan terkait lainnya;
b) Surat keputusan ketua pengadilan agama tentang panjar biaya perkara harus ditempel pada papan
pengumuman pengadilan agama;
c) Dalam penaksiran panjar biaya perkara perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1) Jumlah pihak-pihak yang berperkara;
2) Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak;
3) Dalam perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya pemanggilan para pihak untuk
sidang ikrar talak;
4) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan
kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara.
d)
7.
Nomor Perkara (dalam tahap ini SKUM belum diberi nomor perkara);
Nama
Penggugat/Pemohon
(harus
sudah
ditulis
lengkap
nama
Pemohon/Penggugat);
Alamat
(harus
ditulis
lengkap
sebagaimana
tersebut
dalam
surat
gugatan/permohonan);
Terbilang (harus ditulis sejumlah uang panjar biaya perkara sebagaimana angka
(4) dengan huruf);
Untuk pembayaran (harus ditulis dengan jelas maksud pembayaran panjar biaya
perkara itu sesuai perihal dalam surat gugatan/permohonan);
Tempat pengadilan agama, tanggal, bulan, dan tahun (harus ditulis tempat
pengadilannya, tanggal dibuatkan SKUM oleh Petugas Meja I, bulan dan tahun).
Penyetor
(harus
sudah
ditulis
nama
lengkap
dan
tanda
tangan
Penggugat/Pemohon);
Kasir Pengadilan Agama (dalam tahap ini belum ditulis nama dan tanda tangan
Kasir);
8.
9.
Jika pihak berperkara tidak mampu untuk membayar biaya perkara, petugas Meja I
memberikan penjelasan untuk mengajukan gugatan/ permohonan secara prodeo.
pihak
yang
mau
berperkara
menerima
kembali
surat
pemohon melakukan pembayaran sejumlah uang panjar biaya perkara yang tercatat
dalam SKUM tersebut ke bank yang ditunjuk dengan menyerahkan sejumlah SKUM
(rangkap 4) kepada Teller Bank.
Adapun yang dilakukan oleh Teller Bank yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama
itu biasanya melakukan hal-hal sebagai berikut :
a)
Teller Bank yang ditunjuk menerima Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
rangkap 4 (empat) dari Pemohon/Penggugat;
b)
Teller Bank yang ditunjuk menerima sejumlah uang sebagaimana tercantum dalam
SKUM yang dibuat oleh Petugas Meja I;
c)
Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda validasi dalam SKUM itu rangkap 4
(empat);
d)
Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda paraf di dalam SKUM itu rangkap 4
(empat);
e)
SKUM;
f)
Teller Bank yang ditunjuk mengambil 1 (satu) SKUM berwarna hijau yang telah
divalidasi dan diparaf untuk disimpan di Bank;
g)
Teller Bank yang ditunjuk mengembalikan SKUM warna putih, kuning, dan merah
setelah divalidasi dan diparaf oleh Teller Bank kepada Pemohon/Penggugat.
Nomor rekening yang dibayar oleh pihak penggugat/pemohon yang tercantum
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) adalah nomor rekening milik Pengadilan
Agama tempat pihak penggugat/pemohon berperkara. Biasanya nomor rekening itu
sudah dicetak dalam SKUM, sehingga tidak dimungkinkan untuk diubah atau
dimanipulasikan oleh siapapun termasuk oleh Petugas Meja I.
Pembayaran panjar biaya perkara ke Bank yang ditunjuk, masing-masing
pengadilan agama berbeda-beda dalam praktiknya, artinya pihak Bank yang ditunjuk itu
mengirimkan petugas Tellernya ke pengadilan agama dan di pengadilan agama telah
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 17
disiapkan ruangan khusus untuk pembayaran panjar biaya perkara, hal ini biasanya
apabila perkara di pengadilan agama itu cukup banyak seperti Pengadilan Agama
Jember, Pengadilan Agama Banyuwangi, Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dan
lain-lain, dan yang banyak para pihak berperkara sendiri yang harus mendatangi bank
yang ditunjuk oleh pengadilan agama, hal ini dikarenakan perkara yang masuk ke
pengadilan agama tidak cukup banyak.
Pihak penggugat/pemohon setelah melakukan pembayaran sejumlah uang
panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk itu, maka biasanya pada hari itu juga
kembali ke pengadilan agama untuk mendaftarkan perkaranya ke Kasir untuk
mendapatkan
nomor
perkara.
Namun
tidak
tertutup
kemungkinan
pihak
kembali
mendaftar
ke
pengadilan
agama,
karena
meskipun
pihak
pemberian
nomor
perkara
dalam
SKUM
maupun
dalam
surat
penggugat/pemohon
setelah
membayar
panjar
biaya
perkara
sebagaimana tercatat dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) melalui Bank yang
ditunjuk oleh pengadilan agama, maka penggugat/pemohon menghadap ke kasir
pengadilan agama untuk mendaftarkan diri sebagai pihak yang ingin berperkara.
Adapun
kasir
pengadilan
agama
berkewajiban
untuk
menerima
2.
Kasir memberikan cap tanda lunas, nomor perkara, dan menandatangani pada
SKUM;
3.
Kasir memberikan cap nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada setiap halam
pertama bagian atas kanan surat gugatan/permohonan dan sekaligus mencatat
nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada cap tersebut.
4.
Nomor urut perkara yang ditulis dalam SKUM dan setiap halaman pertama surat
gugatan/permohonan
Nomor urut perkara pada pengadilan agama adalah berurutan selama waktu satu
tahun yang dimulai dari tanggal masuknya perkara pertama di bulan januari dan
berakhir sampai dengan masuknya perkara terakhir pada bulan desember;
6.
Kasir membukukan uang panjar biaya perkara ke dalam buku jurnal keuangan
perkara.10
7.
Kasir harus teliti dalam mencatat uang panjar biaya perkara itu ke dalam BJKP
(Buku Jurnal Keuangan Perkara) karena masing-masing perkara terdapat jenis dan
tingkatan yang berbeda.11
8.
Kasir sebelum memasukkan atau mencatat seluruh kegiatan dalam buku induk
keuangan perkara, maka kasir harus mencatat terlebih dahulu ke dalam buku kas
pembantu.12
9.
10 Buku Jurnal Keuangan Perkara dibuat perperkara yang meliputi seberapa besar pemasukan sesuai
dengan SKUM dan sejumlah pengeluaran untuk biaya perkara itu sampai dengan putusan.
11 BJKP (Buku Jurnal Keuangan Perkara) terdiri dari 6 jenis dan tingkatan, yakni : 1). KI.PA. 1/a : untuk
perkara permohonan, 2). KI.PA. 1/b : untuk perkara gugatan, 3). KI.PA. 2
:untuk perkara
banding, 4). KI.PA. 3 : untuk perkara kasasi, 5). KI.PA. 4 : untuk perkara penijauan kembali, 6). KI.PA. 5 :
untuk permohonan eksekusi.
12 Buku kas pembantu dibuat oleh kasir perhari yang diisi meliputi jumlah saldo hari yang lalu dan
ditambah pemasukan hari ini, dan setiap harinya ditandatangani oleh kasir dengan mengetahui panitera.
kepada Penggugat/Pemohon
13 Setelah melakukan tugas-tugas sebagaimana angka 1 s.d. 10, kasir berkewajiban untuk
mengadministrasi biaya perkara tersebut dengan langkah-langkah :
a) Hak-hak kepaniteraan berupa biaya pendaftaran dikeluarkan dari BJKP (Buku Jurnal Keuangan
Perkara : KI-PA1) dan BIKP (Buku Induk Keuangan Perkara : KI-PA6) setelah diterimanya panjar
biaya perkara;
b) Biaya materai dan hak redaksi dikeluarkan pada saat perkara diputus;
c) Setelah dikeluarkan dari KI-PA1 dan KI-PA6, biaya pendaftaran dan hak redaksi dibukukan dalam
BPH2K (Buku Penerimaan Hak-Hak Kepaniteraan : KI-PA8);
d) Penerimaan dan pengeluaran uang hak kepaniteraan lainnya sebagai PNBP dibukukan dalam
buku tersendiri;
e) Semua pengeluaran yang merupakan hak-hak kepaniteraan merupakan pendapatan Negara;
f) Seminggu sekali pemegang kas menyerahkan uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan
penerima untuk disetorkan ke kas Negara. Setiap penyerahan uang dicatat dalam kolom 19 (kolom
keterangan) KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal dan tandatangan serta nama bendaharawan
penerima;
g) Pengeluaran untuk proses perkara meliputi : 1). Panggilan, 2). Pemberitahuan, 3). Pelaksanaan
sita, 4). Discente, 5). Sumpah, 6). Penerjemah, dan 7). Eksekusi. Kesemuanya harus dicatat
secara tertib dalam buku jurnal masing-masing.
h) Pemegang kas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang
bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu yang dibuat rangkap 2, lembar pertama
disimpan oleh pemegang kas dan lembar kedua diserahkan kepada panitera sebagai laporan;
i) Buku jurnal keuangan perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan
pengeluaran biaya untuk setiap perkara :
1.
Pengadilan tingkat pertama dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal putusan;
2.
Pengadilan tingkat banding, kasasi, dan PK dimulai dari penerimaan panjar ditutup setelah
pbt;
3.
Eksekusi dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal selesai eksekusi;
4.
Buku jurnal diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani ketua dan
halaman lainnya diparaf;
5.
Jumlah halaman setiap buku jurnal dinayatakan oleh ketua pada halaman pertama dan
ditandatangani ketua;
6.
Buku induk keuangan perkara penuh dan pindah ke buku selanjutnya , maka pada buku baru
itu ditulis halaman, dimulai dari halaman s.d. (nomor halaman melanjutkan nomor
buku sebelumnya), ditandatangani ketua dan stempel;
7.
Buku induk keuangan perkara digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan
perkara dan pengeluaran dari seluruh perkara (kecuali permohonan eksekusi) dan dicatat
menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal yang terkait, yang
dimulai setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan;
8.
Buku keuangan biaya eksekusi digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan
pengeluaran eksekusi menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal
eksekusi;
9.
Buku penerimaan uang hak-hak kepnaiteraan digunakan untuk mencatat penerimaan uang
hak-hak kepaniteraan dan kolom keterangan diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor,
serta tanda tangan dan nama bendaharawan penerima;
10. Buku induk keuangan perkara, buku keuangan biaya eksekusi dan buku penerimaan hak-hak
kepaniteraan diberi nomor halaman. Halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh ketua
dan halaman lainnya diparaf;
11. Banyaknya halaman dan tandatangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari
masing-masing buku, dan keterangan tersebut ditandatangani oleh ketua;
12. Penutupan buku induk keuangan perkara dan buku keuangan biaya eksekusi dilakukan oleh
panitera dan diketahui oleh ketua;
13. Pada setiap penutupan buku induk keuangan perkara harus dijelaskan sisa uang menurut buku
kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di bank, serta perincian dari uang tersebut;
14. Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut buku kas dengan uang kas
sesungguhnya, maka harus dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut;
15. Ketua menandatangani buku induk keuangan perkara harus meneliti kebenaran keadaan uang
menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas maupun yang
tersimpan di bank dengan disertai bukti penyimpanan di bank;
16. Ketua setiap saat dapat memerintahkan panitera untuk menutup buku induk keuangan perkara
dan meneliti kebenaran setiap penerimaan dan pengeluaran uang perkara sesuai dengan buku
jurnal dan meneliti keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada dalam brankas
maupun disimpan di bank, sertai bukti-buktinya;
17. Penutupan buku induk keuangan perkara atas dasar perintah ketua hendaknya dilakukan
secara mendadak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan berita acara
pemeriksaan;
Buku jurnal dan buku induk keuangan setiap tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun
sebelumnya.
2.
1).
Nomor perkara;
4).
Petitum gugatan/permohonan.
14
3.Petugas Meja II
5.
Ketua pengadilan agama menerima berkas secara lengkap dari Panitera untuk
dibaca dengan maksud untuk menentukan siapa-siapa hakim yang secara khusus
dalam perkara yang khusus pula memiliki kemampuan lebih dari pada yang lain
untuk menangani perkara yang khusus itu.
2.
Ketua Pengadilan Agama membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan
menyidangkan dengan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak perkara
didaftarkan.16
Register mediasi (RI-PA15) yang kolomnya terdiri dari nomor urut, nomor perkara, para pihak, nama
mediator, hasil mediasi dan keterangan.
16 Apabila ketua pengadilan agama karena kesibukannya berhalangan untuk membuat PMH, maka ia
dapat melimpahkan tugas tersebut untuk seluruhnya atau sebagiannya kepada wakil ketua pengadilan
agama atau hakim senior yang bertugas di pengadilan agama itu (Buku II, halaman 25).
3.
secara tetap,17 kecuali dalam perkara tertentu ketua dapat membentuk majelis
khusus, misalnya ekonomi syariah, sengketa wakaf, waris, dll.
4.
Ketua Pengadilan menyerahkan berkas perkara secara utuh kepada Panitera yang
didalamnya telah dilampirkan susunan majelis yang dibuat oleh Ketua
dalam
Petugas Meja II mencatat tanggal Penetapan Majelis Hakim dan nama Majelis
Hakim yang di tetapkan oleh ketua ke dalam Buku Register Perkara.
6.
Setelah dicatat tanggal PMH dan majelis hakimnya di Buku Register Perkara, maka
Petugas Meja II menyerahkan berkas tersebut kepada panitera melalui wakil
penitera.19
sebagai berikut :
1.
Panitera menerima berkas secara utuh yang didalamnya juga telah ada Penetapan
Majelis Hakim (PMH) yang dibuat oleh Ketua;
17 Ketentuan ketua majelis dalam persidangan pengadilan agama adalah : a). Ketua dan wakil ketua
pengadilan agama selalu menjadi ketua majelis; 2). Ketua majelis adalah hakim senior pada pengadilan
tersebut. Senioritas tersebut didasarkan pada lamanya seorang menjadi hakim; 3). Tiga orang hakim
yang menempati urutan senioritas terakhir dapat saling menjadi ketua mejelis dalam perkara yang
berlainan (Buku II, halaman 26).
18 Biasanya dalam praktik yang perkaranya banyak, berkas perkara yang telah ditetapkan majelis
hakimnya diambil kembali oleh Petugas Meja II untuk dicatat mengenai tanggal penetapan majelis hakim
dan nama majelis hakim ke dalam Buku Register Perkara, kemudian baru diserahkan secara utuh pula
kepada Panitera lewat Wapan.
19 Bisa juga Petugas Meja II setelah menerima berkas yang yang didalamnya terdapat PMH yang
ditetapkan oleh Ketua, belum mencatat terlebih dahulu ke dalam buku register perkara, namun sekalian
lengkap penunjukan PP, JSP, dan PHS.
2.
akan
4.
Petugas Meja II mencatat tanggal penunjukan Panitera Pengganti (PP) dan Juru
Sita Pengganti (JSP) berikut nama masing-masing yang ditunjuk itu ke dalam Buku
Register Perkara.
5.
Petugas Meja II menyerahkan berkas perkara secara utuh yang dilampiri juga
berupa PMH (Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera
Pengganti), dan SP-JSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti)
kepada Majelis
PMH
(Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera Pengganti), dan SPJSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti);
2.
Ketua majelis mempelajari berkas dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
harus sudah dibuat PHS (Penetapan Hari Sidang). Khusus pemeriksaan perkara
perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
gugatan/permohonan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama;
20 Penunjukan panitera pengganti dan juru sita pengganti dibuat dalam bentuk surat penunjukan yang
ditandatangani oleh panitera.
21 Dalam praktik standart operating prosedurnya adalah petugas meja II mengambil berkas perkara yang
telah ditunjuk PPnya dan JSPnya oleh Panitera untuk kemudian diserahkan kepada Wakil Panitera.
3.
4.
Ketua Majelis
Petugas Meja II dalam bentuk instrument agar dicatat tanggal penetapan PHS
dalam Buku Register Perkara.
6.
Ketua Majelis
Penetapan Hari Sidang (PHS) kepada JSP (Juru Sita Pengganti) yang ditunjuk oleh
Panitera untuk dilakukan pemanggilan kepada pihak-pihak berperkara.
TAHAP 9 : JURU SITA PENGGANTI (JSP)
Pada tahap kesembilan ini, berkas perkara yang telah diterima oleh Ketua
Mejelis Pengadilan Agama untuk ditindaklanjuti sebagaimana diuraikan di atas, maka
Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Juru Sita Pengganti (JSP) untuk
melakukan pemanggilan.
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Juru Sita Pengganti (JSP) Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut :
1.
Juru Sita Pengganti (JSP) menerima salinan PHS (Penetapan Hari Sidang) dari
Panitera Pengganti atas perintah Ketua Majelis;
2.
Berdasar surat penunjukan Juru Sita Pengganti yang dibuat oleh Panitera dan
berdasar Salinan PHS yang dibuat Ketua Majelis, maka Juru Sita Pengganti itu
mempersiapkan relaas panggilan baik untuk pihak penggugat maupun pihak
tergugat dengan tepat sesuai identitas dan alamat yang tercantum dalam surat
gugatan penggugat.
3.
kasir.
22 Sebelum ketua majelis membuat penetapan hari sidang (PHS) terlebih dahulu harus
dimusyawarahkan dengan para anggota majelis.
4.
Kasir meneliti kembali surat penunjukan JSP, Salinan PHS, dan memperhatikan
tabel radius yang ditetapkan oleh ketua pengadilan agama untuk mengeluarkan
biaya panggilan kepada JSP;
5.
Kasir mencatat pengeluaran biaya panggilan yang diberikan kepada JSP (Juru Sita
Pengganti)
itu
Keuangan Perkara.
6.
Juru sita pengganti setelah menerima uang panggilan dari Kasir melakukan
panggilan kepada pihak berperkara atau kuasanya ditempat tinggal pihak masingmasing secara resmi dan patut, atau kepada pihak yang ditunjuk oleh undangundang dalam keadaan tertentu.23
7.
keadaan pemanggilan sebagaimana diuraikan dalam catatan kaki angka (6), maka
JSP menyerahkan relaas panggilan itu kepada Ketua Majelis melalui Panitera
Pengganti (PP), dengan mencatat dalam buku kendali yang pegang JSP;
8.
Panitera Pengganti (PP) menerima relaas panggilan dari Juru Sita Pengganti (JSP)
dengan membubuhkan paraf tanda terima dalam catatan yang dibuat oleh JSP
dalam buku kendali yang dipegangnya. Selanjutnya PP
memasukkan relaas
Register Perkara.
dikirimkan.
PENUTUP
Sebagian masyarakat pencari keadilan masih ada yang mengeluhkan
mengenai prosedur penerimaan perkara di lingkungan peradilan agama. Bahkan di
lingkungan peradilan agama banyak berkeliaran oknum-oknum mafia peradilan dengan
menawarkan berbagai iming-iming untuk memudahkan penyelesaian perkara kepada
pihak-pihak berperkara sesuai keinginan, dan segalanya mudah diatur tergantung
transaksi yang disepakati antara oknum mafia peradilan dengan pihak-pihak
berperkara. Hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan oleh ketiadaannya pusat
infomasi di pengadilan agama tersebut atau sebenarnya telah ada, namun belum
berjalan secara optimal.
Keluhan masyarakat tersebut di atas ternyata bukan hanya menyangkut
martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan agama
semata, ternyata juga merembet kepada persoalan keterbukaan informasi, ketepatan
dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti
berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas
terhadap
disebabkan karena
ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini
berakibat para pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh
para mafia peradilan, baik dari oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun
oknum-oknum bukan pegawai pengadilan agama.
Permasalahan di atas harus segera diakhiri. Hal ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga
peradilan agama, sehingga martabat, kehormatan, dan integritas dapat terpelihara
secara terhormat dan dihormati. Untuk itu, peradilan agama dan segenap aparat
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 29
pendukungnya
harus
menjunjung
tinggi
etika
secara
proporsionalitas
dan
yang
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Abdul Manan, SH., SIP,. M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di