Anda di halaman 1dari 30

ALUR PENERIMAAN PERKARA DI

LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

Oleh :

DR. HASBI HASAN,SH., MH.


DR. AHMAD MUJAHIDIN, SH.MH
DR. H. BUNYAMIN ALAMSYAH, SH.M.Hum
Disampaikan dalam Diklat CJE (Continuing Judicial
Education) Lingkungan Peradilan Agama

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 1

BAGIAN I
PENDAHULUAN
Lembaga Peradilan sebagai sebuah institusi kenegaraan yang berfungsi untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan berkewajiban
untuk membuat tata kerja yang baku agar memudahkan bagi para pencari keadilan
dalam berperkara dan mewujudkan efesiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pejabat
pengadilan dalam menyelesaikan perkara.
Masih banyak masyarakat mengeluhkan mengenai prosedur dan sistem kerja
penerimaan dan pelayanan masyarakat

oleh pengadilan agama. Keluhan tersebut

bukan hanya menyangkut martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust)
terhadap peradilan agama, namun juga menyangkut persoalan ketepatan dan
kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti
berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas
terhadap

pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga

peradilan agama itu salah satunya disebabkan ketidakjelasan prosedur dan alur
penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin
berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari
oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai
pengadilan agama.
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang isinya tidak diubah baik dalam UU No. 3
Tahun 2006 maupun dalam UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan
Kedua Tentang Peradilan Agama disebutkan : Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang

berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini.
Adapun hal-hal yang telah diatur secara khusus menurut undang-undang
organik di lingkungan peradilan agama antara lain :
1. Perkara cerai talak diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 2

meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon


(pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
2. Perkara cerai gugat diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman Penggugat;


3. Pemanggilan bagi tergugat/ termohon ghaib (tidak jelas alamatnya di seluruh

wilayah Indonesia), pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan surat


gugatan/permohonan pada papan pengumuman di pengadilan agama dan
mengumumkannya melalui satu atau beberapa mess media yang ditetapkan oleh
pengadilan agama. Pengumuman dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara
panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan. Jika tergugat tidak hadir maka diputus verstek (Pasal 27 PP No. 9 Tahun
1975).
4. Pemeriksaan perkara perceraian di lingkungan peradilan agama dilakukan secara

tertutup, sedang pembacaan putusan tetap dilakukan dalam siding terbuka untuk
umum (Pasal 33 dan 34 UU No. 7 Tahun 1989);
5. Perdamaian wajib dilaksanakan oleh hakim dalam perkara perceraian pada setiap

persidangan sampai perkara diputus. Pada sidang pertama suami istri harus datang
secara pribadi untuk perdamaian tersebut, kecuali salah satu pihak berada di luar
negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dilakukan untuk
keperluan tersebut (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
6. Gugatan perceraian wajib menghadirkan keluarga atau orang dekat masing-masing

pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan saksi dalam perkara
tersebut (Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989);
7. Gugatan Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina atau mengingkari

anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak
tuduhan dan / atau mengingkari tersebut;
8. Biaya

dalam perkara cerai talak maupun cerai gugat dibebankan kepada pihak

yang mengajukan perceraian.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 3

BAGIAN II
DASAR HUKUM ALUR PERKARA
HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA
A.

Dasar Hukum Alur Perkara Pengadilan Agama


Berdasar UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman bahawa
pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatau
perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 1 Dalam bidang
hukum acara peradilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan yang tidak menyimpang dari
Syariah Islam.2
Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
yang hidup di masyarakat dilakukan apabila sudah tidak ditemukan lagi dalam
undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum
acara peradilan agama khususnya dalam hal alur perkara diantaranya diatur
dalam :
1.

HIR

(Herziene Inlandsch Reglement) untuk Jawa dan Madura, RBg

(Rechtsreglement Voor De Buitengewesten) untuk luar Jawa dan Madura.


Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di Pengadilan Agama, kecuali
dalam hal yang sudah diatur secara khusus dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan
UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan Kedua Atas UU No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

misalnya pembebanan biaya

perkara yang harus dibayar oleh penggugat/pemohon, pembuktian dengan


alasan syiqaq, gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan zina (lian)
dan beberapa ketentuan lain yang diatur secara khusus. 3

1 UU Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 10 (1).


2 UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3 Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH.,S.IP.,M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan
Peradilan Agama, Yayasan Al-Himah, Jakarta, 2000, halaman 5

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 4

2.

B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvordering) diperuntukkan untuk


golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie
gerecht, dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof, maka
B.Rv. sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi hal-hal yang diatur dalam B.Rv.
banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini.
Misalnya tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi
dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya;

3.

BW ( Burgerlijke Wetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa Indonesia


disebut dengan KUH Perdata, terdapat juga sumber hukum acara perdata
khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d
1993.

4.

WvK (Wetboek van Koophandel ), yang dalam bahasa Indonesia dikenal


dengan KUH Dagang. Dalam kaitan dengan hukum dagang ini, terdapat juga
hukum acara perdata yang diatur dalam failissements Verordering (aturan
kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 Nomor 348.

5.

UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal Banding bagi
Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa
dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.

6.

UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan


perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang hukum acara
perdata dalam praktik peradilan di Indonesia.

7.

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah


Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana undang-undang
perkawinan tersebut.

8.

UU Nomor 14 Tahun 1985, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UU


Nomor 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan
kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.

9.

UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan


Pertama dan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
dalam undang-undang ini, khususnya Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 5

acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah sama dengan


hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.
10.

Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI., dan
Surat Keputusan Mahkamah Agung RI., meliputi :
a.

PERMA-RI Nomor : 1 Tahun 2001 Tentang Permohonan Kasasi Perkara


Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formil;

b.

Keputusan KMA Nomor : KMA/42/SK/III/2002 Tentang Perubahan


Keputusan Ketua MA Nomor : 027A/SK/VI/2000 Tentang Biaya Perkara
Yang Dimohonkan Kasasi;

c.

Keputusan KMA Nomor : KMA/042/SK/III/2001 Tentang Perubahan


Keputusan Ketua MA Nomor : 02A/SK/VI/2000 Tentang Biaya Perkara
Perdata dan Tata Usaha Negara Yang Dimohonkan Peninjauan Kembali;

d.

Keputusan KMA Nomor : KMA/028/SK/V/1996 Tentang Biaya Permoho


nan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara
Perdata;

e.

Surat Edaran MA-RI Nomor : 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Surat


Edaran MA-RI Nomor : 4 tahun 1998 Tentang Biaya Administrasi;

f.

Surat Edaran MA-RI Nomor : 3 Tahun 2000

Tentang Penyelesaian

Perkara;
g.

Surat Edaran MA-RI

Nomor : 01 Tahun 1996 Tentang Petunjuk

Permohonan Pemeriksaan Sengketa

Kewenangan Mengadili Dalam

Perkara Perdata;
h.

Surat Edaran MA-RI

Nomor : 05 Tahun 1994 Tentang Biaya

Administrasi;
i.

Surat Edaran MA-RI

Nomor : 06 Tahun 1994 Tentang Surat Kuasa

Khusus;
j.

Surat Edaran MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 Tentang Legalisasi Surat;

k.

Surat Edaran MA-RI Nomor 01 Tahun 1994 Tentang Pengawasan dan


Pemeriksaan Administrasi Perkara;

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 6

l.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 05 Tahun 1993 Tentang Pembinaan

Pengawasan Oragnisasi dan Tata Kerja Serta Pejabat Kepaniteraan


Pengadilan;
m.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 02 Tahun 1990 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 1989;


n.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 03 Tahun 2002 Tentang Penanganan

Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem;


o.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal


130 HIR/154 RBg);
p.

Surat Edaran

MA-RI Nomor : MA/KUMDIL/P/01/II/2002 Tentang

Petunjuk Penerimaan Tamu;


q.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 07

Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan

Setempat;
r.

Surat Edaran MA-RI Nomor 03 Tahun 2001 Tentang Perkara-Perkara


Hukum Yang Perlu mendapat Perhatian Pengadilan;

s.

Surat Edaran MA-RI Nomor 07 Tahun 1992 Tentang Pengawasan dan


Pengurusan Biaya Perkara;

t.

Surat Edaran

MA-RI Nomor 02

Tahun 1993 Tentang Pengiriman

Laporan Oleh PA dan PTA;


u.

Surat Edaran MA-RI Nomor : MA/KUMDIL/012/I/K/1994 Tentang Tata


Cara Penerimaan Perkara;

v.

Surat Edaran

MA-RI Nomor : 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 Tentang

Pelaksanaan Pola Bindalmin Peradilan Agama;


w.

Surat Edaran MA-RI Nomor 01 Tahun 1993 Tentang Pengawasan dan


Pengurusan Biaya Perkara;

x.

Surat Edaran

MA-RI Nomor : 43/TUADA-AG/III-UM/X/1992 Tentang

Biaya Perkara di Lingkungan Peradilan Agama;


y.

Surat Edaran MA-RI Nomor : 12/TUADA-AG/III-UM/II/1992 Tentang Pola


Pembinaan dan Administrasi Kepaniteraan Peradilan Agama;

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 7

11.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan


yurisprudensi

adalah

pengumpulan

yang

sistematis

dari

keputusan

Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim
lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama. 4 Hakim
tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Negara
Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent jadi bebas
memilih antara meninggalkan yurisprudensi

dengan memakai dalam suatu

perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus
berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu sudah
usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan
masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi
itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.5
12.

Buku II, Pedoman Pelaksanaan dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi


Revisi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 2010.

B.

Alur Penerapan Hukum dalam Pembuatan Putusan


Kebebasan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara yang
ditanganinya tidaklah tanpa resiko. Atas nama kebebasan yang diberikan oleh
undang-undang, hakim sebagai manusia biasa dapat juga menyalahgunakan
kekuasaan tersebut, untuk itu harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa
harus mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakekat kekuasaan kehakiman.
Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalam bentuk-bentuk sebagai
berikut :6
1. Hakim hanya memutus menurut hukum. Setiap putusan hakim harus dapat

menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu


perkara kongkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dalam sebuah negara

4 Kamus Fockema Andrea, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi (1998 : 14).
5 Abdul Manan, op.cit., halaman 7.
6 Bagir Manan, op.cit.., halaman 12.
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 8

yang berdasarkan atas hukum- bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada
aturan hukum tertentu.
2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk mewujudkan

keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi


hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan
hukum yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang
berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu
putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan atau
menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, maka
tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.
3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum, hakim

harus berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law)
dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice).
4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang

sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasan. Di Amerika Serikat ,


mekanisme ini ditempuh melalui impeachment yaitu suatu peradilan oleh
kongres (trial by Congress). Lembaga impeachment ini mengandung makna
tindakan terhadap hakim tidak mudah, selain berdasarkan alasan-palasan yang
khusus (disebutkan dalam UUD), juga forumnya tidak mudah (yaitu kongres). 7
Hal ini di satu pihak dimaksudkan untuk melindungi kebebasan hakim, di pihak
lain untuk mencegah hakim dari perbuatan tercela. Perlu ditegaskan bahwa
tindakan terhadap hakim seperti proses impeachment tidak mengenai
pelaksanaan fungsi yustisialnya. Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat
menindak hakim karena putusanya dianggap kurang adil. Tindakan terhadap
hakim hanya mengenai tingkah laku pribadi yang merugikan negara atau
menurunkan martabat kekuasaan kehakiman.

7 UUD Amerika Serikat, Pasal 4.


Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 9

BAGIAN III
ALUR PERKARA HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA
TAHAP 1 : MEJA INFORMASI
A.

Kegunaan Meja Informasi


Keluhan masyarakat mengenai tata cara penerimaan dan pelayanan
pengadilan agama terhadap masyarakat pencari keadilan akhir-akhir ini sungguh
tidak mencerminkan sebagai lembaga hukum di bidang al akhwalussakhsiyyah. Di
di lingkungan peradilan agama banyak berkeliaran oknum-oknum mafia peradilan
dengan menawarkan berbagai iming-iming untuk memudahkan penyelesaian
perkara kepada pihak-pihak berperkara sesuai keinginan, dan segalanya mudah
diatur tergantung transaksi yang disepakati antara oknum mafia peradilan dengan
pihak-pihak berperkara.

Hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan oleh

ketiadaannya pusat infomasi di pengadilan agama tersebut atau sebenarnya telah


ada, namun belum berjalan secara optimal. Sehingga kedatangan para pihak ke
kantor pengadilan agama yang notabene tidak tahu menahu tentang tata cara
berperkara di pengadilan agama, maka keadaan inilah para oknum mafia
peradilan dengan berbagai cara dan rayuan telah siap untuk memangsanya.
Keluhan masyarakat tersebut di atas ternyata bukan hanya menyangkut
martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan
agama semata, ternyata juga merembet kepada persoalan keterbukaan informasi,
ketepatan dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila
dibiarkan pasti berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat
secara luas terhadap pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradilan agama itu salah satunya yang paling dominan adalah
disebabkan karena ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di
pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin berperkara di
pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari oknumoknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai
pengadilan agama.
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 10

Permasalahan di atas harus segera diakhiri. Hal ini dimaksudkan untuk


menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga
peradilan agama, sehingga martabat, kehormatan, dan integritas dapat terpelihara
secara terhormat dan dihormati. Untuk itu, peradilan agama dan segenap aparat
pendukungnya harus menjunjung tinggi etika secara proporsionalitas dan
profesionalitas. Untuk itu perlu dengan sungguh-sungguh diwujudkan fungsi
pelayanan dan keterbukaan dalam penerimaan dan pelayanan pihak-pihak yang
sedang berpekara di pengadilan agama dengan menunjuk seseorang atau
beberapa yang secara professional bertugas pada Meja Informasi.
Pentingnya diadakannya Meja Informasi dengan petugas yang terdidik
untuk mampu memberikan informasi hal-hal yang berkaitan dengan teknis yudisial
maupun non teknis yudisial adalah untuk menjauhkan segala kemungkinan
hubungan

yang

dapat

menimbulkan

purbasangka

dan

penyalahgunaan

wewenang. Untuk itu, hakim, majelis hakim, pejabat kepaniteraan, dan semua
aparat di lingkungan peradilan agama dilarang menerima tamu dari pihak atau
yang berkepentingan dengan suatu perkara yang belum diputus, sedang atau
sudah diperiksa dan diputus, kecuali menyangkut proses administrative dari
perkara tersebut.
Apabila karena ada suatu pertimbangan tertentu yang menurut petugas
meja I harus diterima dan tidak bisa dielakkan sehingga harus diterima, maka
pertemuan tersebut harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak boleh
hanya salah satu pihak saja. Meskipun demikian, harus melalui presedur yang
benar, yakni pihak yang akan menghadap harus mengajukan permohonan dan
wajib memberitahu lawan mengenai kehendak menghadap tersebut. Apabila tata
cara ini tidak/belum ditempuh, maka kehendak menghadap tersebut oleh Petugas
Meja Informasi harus menolaknya.
B.

Tugas Meja Informasi


Petugas meja informasi adalah petugas yang tahu sedikit tentang banyak
mengenai

seluk beluk tugas pokok dan fungsi masing-masing pejabat

kepaniteraan, kejurusitaan, hakim, dan tugas pimpinan pengadilan agama. Hal ini
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 11

dimaksudkan untuk memberikan informasi awal kepada pihak-pihak berperkara di


pengadilan agama, lebih-lebih kepada pihak yang akan berperkara, maka petugas
meja informasi harus mampu menjelaskan dan menunjukkan kepada pihak
berperkara tersebut mengenai alur berperkara di pengadilan agama.
Adapun tugas pokok Petugas Meja Informasi di lingkungan peradilan
agama diantaranya sebagai berikut :
1. Calon Penggugat / Pemohon menghadap Petugas Meja Informasi bahwa ia

akan berperkara di pengadilan agama;


2. Petugas informasi menanyakan tentang kelengkapan syarat

administratif

pengajuan perkara, dan panjar biaya perkara;


3. Petugas informasi menyiapkan check list tentang kelengkapan syarat-syarat

pengajuan perkara di pengadilan agama;


4. Calon penggugat/pemohon yang tidak bisa baca tulis, diberikan penjelasan

tentang tata cara pembuatan surat gugatan atau permohonan.


5. Calon penggugat/pemohon yang tidak bisa membuat surat gugat/permohonan

sendiri disarankan untuk meminta bantuan kepada advokat/posbakum;


6.

Apabila tidak mampu untuk membayar disarankan untuk prodeo.

7. Apabila calon pemohon/penggugat ternyata sudah lengkap syarat pengajuan

perkaranya

di

pengadilan

agama,

maka

petugas

meja

informasi

memerintahkan agar calon pemohon/penggugat menghadap kepada petugas


meja I;
8. Adapun syarat kelengkapan pengajuan perkara di pengadilan agama adalah

berfareasi tergantung pada perkaranya. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam
perkara cerai talak dan cerai gugat, yakni :
a. Perkara cerai talak, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama

ini adalah :
1).

Surat permohonan cerai talak, dibuat minimal rangkap 6 (3 untuk


majelis, 2 untuk pemohon dan termohon, dan 1 untuk meja II );

2).Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.
3). Photo copy KTP milik pemohon.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 12

4).

Uang panjar biaya perkara sesuai radius, dengan rumus P2,

T 3,

ditambah P1 dan T1 untuk ikrar talak.


5). Perkara prodeo, harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari
kepala desa/kelurahan (pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009) atau surat
keterangan social lainnya seperti

: KKM (Kartu Keluarga Miskin),

JASKESMAS (Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat), PKH (Kartu


Program Keluarga Harapan), atau kartu

BLT (Bantuan Langsung

Tunai).
b. Perkara cerai gugat, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama
ini adalah :
1).

Surat permohonan cerai gugat, dibuat minimal rangkap 6 (3 untuk


majelis hakim, 2 untuk penggugat dan tergugat, dan 1 untuk meja II );

2). Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.
3). Photo copy KTP milik penggugat.
4). Uang panjar biaya perkara sesuai radius, dengan rumus P2, T 3;
5). Perkara prodeo, harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari
kepala desa/kelurahan (pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009) atau surat
keterangan social lainnya seperti

: KKM (Kartu Keluarga Miskin),

JASKESMAS (Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat), PKH (Kartu


Program Keluarga Harapan), atau BLT (Kartu Bantuan Langsung
Tunai).

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 13

TAHAP 2 : PETUGAS MEJA I


Setelah pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama mendapat
penjelasan dan check list

mengenai kelengkapan syarat-syarat berperkara yang

disampaikan oleh Petugas Meja Informasi, dan oleh pihak berperkara telah memenuhi
beberapa persyaratan tersebut, maka langkah berikutnya (tahap ke 2)

pihak

berperkara menghadap ke Petugas Meja I untuk menyerahkan beberapa persyaratan


tersebut.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Petugas Meja I setelah
pihak berperkara menghadap kepadanya adalah sebagai berikut :
1.

Petugas Meja I Menerima surat gugatan, permohonan, perlawanan (verzet),


pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan eksekusi. Adapun beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh Petugas Meja I adalah meliputi :
Perlawanan atas putusan verstek berupa verzet tidak didaftar sebagai

a.

perkara

baru

dan

pelawan

dibebani

biaya

untuk

pemanggilan

dan

pemberitahuan pihak-pihak yang ditaksir oleh petugas meja I;


Perlawanan pihak ketiga atau disebut dengan derden verzet didaftar sebagai

b.

perkara baru dalam register gugatan;


Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu diserahkan kepada

c.

Petugas Meja I adalah :


1)

Surat gugatan atau permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan


agama yang berwenang;

2)

Surat kuasa khusus dalam hal penggugat atau pemohon menguasakan


kepada pihak lain;

3)

Photo copy kartu anggota advokat bagi yang menggunakan jasa advokat;

4)

Bagi kuasa insidentil harus ada surat keterangan tentang hubungan


keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat izin khusus dari atasan
bagi PNS dan anggota TNI/Polri.8

5)

Salinan putusan untuk permohonan eksekusi;

6)

Salinan surat-surat yang dibuat di luar negeri harus disahkan oleh


kedutaan atau perwakilan Indonesia di negara tersebut dan harus

SE-TUADA ULDILTUN MA-RI No. MA/KUMDIL/8810/1987

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 14

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang


disumpah. Bila di Negara tersebut tidak ada kedutaan / perwakilan RI
yang ada hanya kamar dagang, dapat disahkan oleh kamar dagang;
2.

Surat gugatan/permohonan diserahkan kepada meja I sebanyak jumlah pihak


ditambah 3 (tiga) rangkap termasuk aslinya untuk majelis hakim;

3.

Petugas meja

I menerima dan memeriksa kelengkapan

berkas dengan

menggunakan daftar periksa (check list);


4.

Memeriksa kelengkapan berkas perkara.

5.

Jika gugatan/ permohonan belum dibuat oleh pihak berperkara, Petugas Meja I
memberikan penjelasan agar ia meminta bantuan kepada Advocat (posbakum)
untuk memberi bantuan membuat surat gugatan/ permohonan.

6.

Petugas Meja I mempersiapkan

SKUM panjar biaya perkara dengan memberi

penjelasan dan penafsiran panjar biaya perkara yang kemudian dituangkan dalam
SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar).9
a)

Surat kuasa untuk membayar (SKUM) dibuat oleh Petugas Meja I rangkap 4
(empat) dan menyerahkannya kepada :

a)

Lembar warna hijau untuk bank yang bersangkutan;

b)

Lembar warna putih untuk penggugat/pemohon;

c)

Lembar warna merah untuk kasir;

Dalam menentukan panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM, Petugas Meja I harus
memperhatikan hal-hal berikut ini :
a) Dalam menentukan panjar biaya perkara Petugas Meja I berpedoman pada SK Ketua Pengadilan
Agama Tentang Panjar Biaya Perkara. SK ini merujuk pada PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP,
PERMA RI No. 2 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Surat Wakil Ketua MA-RI
masing-masing : No. 33/WK-MA.N.Y/IX/2008 tanggal 26 September 2008 tentang PP No. 53 tahun
2008 dan No. 42/WK-MA.N.Y/XI/2008 tanggal 4 November 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP
No. 53 tahun 2008 serta peraturan terkait lainnya;
b) Surat keputusan ketua pengadilan agama tentang panjar biaya perkara harus ditempel pada papan
pengumuman pengadilan agama;
c) Dalam penaksiran panjar biaya perkara perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1) Jumlah pihak-pihak yang berperkara;
2) Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak;
3) Dalam perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya pemanggilan para pihak untuk
sidang ikrar talak;
4) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan
kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 15

d)
7.

Lembar warna kuning untuk dilampirkan dalam berkas;

Setelah pihak berperkara melengkapi beberapa persyaratan untuk berperkara di


pengadilan agama oleh Petugas Meja I, termasuk di dalamnya Petugas Meja I telah
menuliskan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) berupa :

Nomor Perkara (dalam tahap ini SKUM belum diberi nomor perkara);
Nama

Penggugat/Pemohon

(harus

sudah

ditulis

lengkap

nama

Pemohon/Penggugat);

Alamat

(harus

ditulis

lengkap

sebagaimana

tersebut

dalam

surat

gugatan/permohonan);

Panjar biaya perkara (harus ditulis angka secara jelas);

Terbilang (harus ditulis sejumlah uang panjar biaya perkara sebagaimana angka
(4) dengan huruf);

Untuk pembayaran (harus ditulis dengan jelas maksud pembayaran panjar biaya
perkara itu sesuai perihal dalam surat gugatan/permohonan);

Tempat pengadilan agama, tanggal, bulan, dan tahun (harus ditulis tempat
pengadilannya, tanggal dibuatkan SKUM oleh Petugas Meja I, bulan dan tahun).

Penyetor

(harus

sudah

ditulis

nama

lengkap

dan

tanda

tangan

Penggugat/Pemohon);

Kasir Pengadilan Agama (dalam tahap ini belum ditulis nama dan tanda tangan
Kasir);

8.

Teller Bank (dalam tahap ini teller bank menuliskan apa-apa).

Petugas meja I menyerahkan kembali surat gugatan/ permohonan kepada calon


penggugat atau pemohon untuk membayar sejumlah uang panjar perkara yang
tercatat dalam SKUM tersebut ke bank yang ditunjuk.

9.

Jika pihak berperkara tidak mampu untuk membayar biaya perkara, petugas Meja I
memberikan penjelasan untuk mengajukan gugatan/ permohonan secara prodeo.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 16

TAHAP 3 : BANK YANG DITUNJUK


Setelah

pihak

yang

mau

berperkara

menerima

gugatannya/permohonannya dari Petugas Meja I kemudian

kembali

surat

calon penggugat atau

pemohon melakukan pembayaran sejumlah uang panjar biaya perkara yang tercatat
dalam SKUM tersebut ke bank yang ditunjuk dengan menyerahkan sejumlah SKUM
(rangkap 4) kepada Teller Bank.
Adapun yang dilakukan oleh Teller Bank yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama
itu biasanya melakukan hal-hal sebagai berikut :
a)

Teller Bank yang ditunjuk menerima Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
rangkap 4 (empat) dari Pemohon/Penggugat;

b)

Teller Bank yang ditunjuk menerima sejumlah uang sebagaimana tercantum dalam
SKUM yang dibuat oleh Petugas Meja I;

c)

Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda validasi dalam SKUM itu rangkap 4
(empat);

d)

Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda paraf di dalam SKUM itu rangkap 4
(empat);

e)

Teller Bank yang ditunjuk

tidak menulis nomor perkara yang tercantum dalam

SKUM;
f)

Teller Bank yang ditunjuk mengambil 1 (satu) SKUM berwarna hijau yang telah
divalidasi dan diparaf untuk disimpan di Bank;

g)

Teller Bank yang ditunjuk mengembalikan SKUM warna putih, kuning, dan merah
setelah divalidasi dan diparaf oleh Teller Bank kepada Pemohon/Penggugat.
Nomor rekening yang dibayar oleh pihak penggugat/pemohon yang tercantum

dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) adalah nomor rekening milik Pengadilan
Agama tempat pihak penggugat/pemohon berperkara. Biasanya nomor rekening itu
sudah dicetak dalam SKUM, sehingga tidak dimungkinkan untuk diubah atau
dimanipulasikan oleh siapapun termasuk oleh Petugas Meja I.
Pembayaran panjar biaya perkara ke Bank yang ditunjuk, masing-masing
pengadilan agama berbeda-beda dalam praktiknya, artinya pihak Bank yang ditunjuk itu
mengirimkan petugas Tellernya ke pengadilan agama dan di pengadilan agama telah
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 17

disiapkan ruangan khusus untuk pembayaran panjar biaya perkara, hal ini biasanya
apabila perkara di pengadilan agama itu cukup banyak seperti Pengadilan Agama
Jember, Pengadilan Agama Banyuwangi, Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dan
lain-lain, dan yang banyak para pihak berperkara sendiri yang harus mendatangi bank
yang ditunjuk oleh pengadilan agama, hal ini dikarenakan perkara yang masuk ke
pengadilan agama tidak cukup banyak.
Pihak penggugat/pemohon setelah melakukan pembayaran sejumlah uang
panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk itu, maka biasanya pada hari itu juga
kembali ke pengadilan agama untuk mendaftarkan perkaranya ke Kasir untuk
mendapatkan

nomor

perkara.

Namun

tidak

tertutup

kemungkinan

pihak

penggugat/pemohon tidak langsung kembali ke pengadilan agama untuk mendaftarkan


perkaranya ke kasir, namun menunda pada hari-hari berikutnya atau pada hari-hari
yang tidak ditentukan batas waktunya, terhadap hal ini tidak diatur batas waktunya
untuk

kembali

mendaftar

ke

pengadilan

agama,

karena

meskipun

pihak

penggugat/pemohon telah membayar uang panjar biaya perkaranya di bank yang


ditunjuk belum berarti sudah terjadi ikatan dengan pengadilan agama, karena
pengadilan agama belum mendaftarkan perkara pihak penggugat/pemohon itu dalam
bentuk

pemberian

nomor

perkara

dalam

SKUM

maupun

dalam

surat

gugatannya/permohonannya atau mencatat dalam buku jurnal keuangan perkara.


TAHAP 4 : KASIR PERKARA PENGADILAN AGAMA
Pihak

penggugat/pemohon

setelah

membayar

panjar

biaya

perkara

sebagaimana tercatat dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) melalui Bank yang
ditunjuk oleh pengadilan agama, maka penggugat/pemohon menghadap ke kasir
pengadilan agama untuk mendaftarkan diri sebagai pihak yang ingin berperkara.
Adapun

kasir

pengadilan

agama

berkewajiban

untuk

menerima

penggugat/pemohon itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :


1.

Kasir menerima berkas gugatan penggugat/permohonan pemohon yang berisi


didalamnya berupa rangkap surat gugatan/permohonan, SKUM warna putih,
merah, dan kuning yang telah divalidasi dan paraf oleh teller bank yang ditunjuk
oleh pengadilan agama, dan lampiran-lampiran lainnya.
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 18

2.

Kasir memberikan cap tanda lunas, nomor perkara, dan menandatangani pada
SKUM;

3.

Kasir memberikan cap nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada setiap halam
pertama bagian atas kanan surat gugatan/permohonan dan sekaligus mencatat
nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada cap tersebut.

4.

Nomor urut perkara yang ditulis dalam SKUM dan setiap halaman pertama surat
gugatan/permohonan

adalah diurutkan sesuai dengan

nomor urut pada Buku

Jurnal Keuangan Perkara;


5.

Nomor urut perkara pada pengadilan agama adalah berurutan selama waktu satu
tahun yang dimulai dari tanggal masuknya perkara pertama di bulan januari dan
berakhir sampai dengan masuknya perkara terakhir pada bulan desember;

6.

Kasir membukukan uang panjar biaya perkara ke dalam buku jurnal keuangan
perkara.10

7.

Kasir harus teliti dalam mencatat uang panjar biaya perkara itu ke dalam BJKP
(Buku Jurnal Keuangan Perkara) karena masing-masing perkara terdapat jenis dan
tingkatan yang berbeda.11

8.

Kasir sebelum memasukkan atau mencatat seluruh kegiatan dalam buku induk
keuangan perkara, maka kasir harus mencatat terlebih dahulu ke dalam buku kas
pembantu.12

9.

Kasir setelah mencatat semuanya sebagaimana angka 1 s.d. 8, maka kasir


mengambil satu SKUM warna merah untuk disimpan di kasir sebagai bukti
pembayaran;

10. Kasir setelah melakukan hal-hal sebagaimana

angka 1 s.d. 9, maka kasir

menyerahkan berkas perkara yang berisi sejumlah surat gugatan/permohonan dan

10 Buku Jurnal Keuangan Perkara dibuat perperkara yang meliputi seberapa besar pemasukan sesuai
dengan SKUM dan sejumlah pengeluaran untuk biaya perkara itu sampai dengan putusan.
11 BJKP (Buku Jurnal Keuangan Perkara) terdiri dari 6 jenis dan tingkatan, yakni : 1). KI.PA. 1/a : untuk
perkara permohonan, 2). KI.PA. 1/b : untuk perkara gugatan, 3). KI.PA. 2
:untuk perkara
banding, 4). KI.PA. 3 : untuk perkara kasasi, 5). KI.PA. 4 : untuk perkara penijauan kembali, 6). KI.PA. 5 :
untuk permohonan eksekusi.
12 Buku kas pembantu dibuat oleh kasir perhari yang diisi meliputi jumlah saldo hari yang lalu dan
ditambah pemasukan hari ini, dan setiap harinya ditandatangani oleh kasir dengan mengetahui panitera.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 19

lainnya termasuk SKUM warna putih dan kuning

kepada Penggugat/Pemohon

agar didaftarkan kepada Meja II13; dan


11. Bila

dianggap perlu kasir memberikan

penjelasan secukupnya kepada

penggugat/pemohon yang berkenaan dengan perkara yang diajukan.


TAHAP 5 : MEJA II

13 Setelah melakukan tugas-tugas sebagaimana angka 1 s.d. 10, kasir berkewajiban untuk
mengadministrasi biaya perkara tersebut dengan langkah-langkah :
a) Hak-hak kepaniteraan berupa biaya pendaftaran dikeluarkan dari BJKP (Buku Jurnal Keuangan
Perkara : KI-PA1) dan BIKP (Buku Induk Keuangan Perkara : KI-PA6) setelah diterimanya panjar
biaya perkara;
b) Biaya materai dan hak redaksi dikeluarkan pada saat perkara diputus;
c) Setelah dikeluarkan dari KI-PA1 dan KI-PA6, biaya pendaftaran dan hak redaksi dibukukan dalam
BPH2K (Buku Penerimaan Hak-Hak Kepaniteraan : KI-PA8);
d) Penerimaan dan pengeluaran uang hak kepaniteraan lainnya sebagai PNBP dibukukan dalam
buku tersendiri;
e) Semua pengeluaran yang merupakan hak-hak kepaniteraan merupakan pendapatan Negara;
f) Seminggu sekali pemegang kas menyerahkan uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan
penerima untuk disetorkan ke kas Negara. Setiap penyerahan uang dicatat dalam kolom 19 (kolom
keterangan) KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal dan tandatangan serta nama bendaharawan
penerima;
g) Pengeluaran untuk proses perkara meliputi : 1). Panggilan, 2). Pemberitahuan, 3). Pelaksanaan
sita, 4). Discente, 5). Sumpah, 6). Penerjemah, dan 7). Eksekusi. Kesemuanya harus dicatat
secara tertib dalam buku jurnal masing-masing.
h) Pemegang kas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang
bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu yang dibuat rangkap 2, lembar pertama
disimpan oleh pemegang kas dan lembar kedua diserahkan kepada panitera sebagai laporan;
i) Buku jurnal keuangan perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan
pengeluaran biaya untuk setiap perkara :
1.
Pengadilan tingkat pertama dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal putusan;
2.
Pengadilan tingkat banding, kasasi, dan PK dimulai dari penerimaan panjar ditutup setelah
pbt;
3.
Eksekusi dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal selesai eksekusi;
4.
Buku jurnal diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani ketua dan
halaman lainnya diparaf;
5.
Jumlah halaman setiap buku jurnal dinayatakan oleh ketua pada halaman pertama dan
ditandatangani ketua;
6.
Buku induk keuangan perkara penuh dan pindah ke buku selanjutnya , maka pada buku baru
itu ditulis halaman, dimulai dari halaman s.d. (nomor halaman melanjutkan nomor
buku sebelumnya), ditandatangani ketua dan stempel;
7.
Buku induk keuangan perkara digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan
perkara dan pengeluaran dari seluruh perkara (kecuali permohonan eksekusi) dan dicatat
menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal yang terkait, yang
dimulai setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan;
8.
Buku keuangan biaya eksekusi digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan
pengeluaran eksekusi menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal
eksekusi;

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 20

Pada tahal kelima ini, pihak penggugat/pemohon setelah menghadap ke kasir


pengadilan agama untuk mendaftarkan diri sebagai pihak yang ingin berperkara, maka
langkah selanjutnya adalah menghadap ke Petugas Meja II Pengadilan Agama.
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh pihak berperkara dan Petugas Meja II
adalah sebagai berikut :
1.

Pihak berperkara menyerahkan berkas gugatan /permohonan yang berisi


didalamnya berupa rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi cap
nomor perkara dan tanggal pendaftaran oleh kasir, SKUM warna putih, dan kuning
yang telah divalidasi dan paraf oleh teller bank yang ditunjuk oleh pengadilan
agama dan juga telah diberi cap tanda lunas, nomor perkara, dan tanda tangan
kasir, serta lampiran-lampiran lainnya.

9.

Buku penerimaan uang hak-hak kepnaiteraan digunakan untuk mencatat penerimaan uang
hak-hak kepaniteraan dan kolom keterangan diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor,
serta tanda tangan dan nama bendaharawan penerima;
10. Buku induk keuangan perkara, buku keuangan biaya eksekusi dan buku penerimaan hak-hak
kepaniteraan diberi nomor halaman. Halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh ketua
dan halaman lainnya diparaf;
11. Banyaknya halaman dan tandatangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari
masing-masing buku, dan keterangan tersebut ditandatangani oleh ketua;
12. Penutupan buku induk keuangan perkara dan buku keuangan biaya eksekusi dilakukan oleh
panitera dan diketahui oleh ketua;
13. Pada setiap penutupan buku induk keuangan perkara harus dijelaskan sisa uang menurut buku
kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di bank, serta perincian dari uang tersebut;
14. Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut buku kas dengan uang kas
sesungguhnya, maka harus dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut;
15. Ketua menandatangani buku induk keuangan perkara harus meneliti kebenaran keadaan uang
menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas maupun yang
tersimpan di bank dengan disertai bukti penyimpanan di bank;
16. Ketua setiap saat dapat memerintahkan panitera untuk menutup buku induk keuangan perkara
dan meneliti kebenaran setiap penerimaan dan pengeluaran uang perkara sesuai dengan buku
jurnal dan meneliti keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada dalam brankas
maupun disimpan di bank, sertai bukti-buktinya;
17. Penutupan buku induk keuangan perkara atas dasar perintah ketua hendaknya dilakukan
secara mendadak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan berita acara
pemeriksaan;
Buku jurnal dan buku induk keuangan setiap tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun
sebelumnya.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 21

2.

Petugas meja II mendaftar gugatan/permohonan tersebut dalam Buku Register


14

Perkara Gugatan/ Permohonan,15 dengan mencatat:

1).

Nomor perkara;

2). Tanggal pendaftaran;


3).

Nama Para pihak berperkara;

4).

Petitum gugatan/permohonan.

Dalam menggunakan buku register perkara gugatan/permohonan, petugas meja II harus


memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Buku register diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh ketua dan
halaman lainnya diparaf;
b. Banyaknya halaman pada setiap buku register dinyatakan pada halaman awal dan keterangan
tersebut ditandatangani oleh ketua. Apabila penuh, maka halaman awal ditulis : Buku register ini
merupakan lanjutan dari buku sebelumnya terdiri dari . Halaman.
c. Buku register induk perkara memuat seluruh data perkara dalam tigkat pertama, banding, kasasi,
PK, dan eksekusi;
d. Perkara ekonomi syaraiah adalah perkara gugatan, maka harus dicatat dalam buku register induk
perkara gugatan;
e. Buku register harus diganti setiap tahun dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya;
f. Buku register induk perkara gugatan dan permohonan ditutup setiap bulan. Nomor urut setiap bulan
dimulai dari nomor 1, sedangkan nomor perkara berlanjut untuk satu tahun;
g. Penutupan buku register setiap akhir bulan ditandatangani petugas register dan diketahui
paniteradengan perincian sebagai beriktu :
1) Sisa bulan lalu : perkara;
2) Masuk bulan ini
: perkara;
3) Putus bulan ini
: perkara.
4) Sisa bulan ini
: . Perkara.
h. Penutupan buku register setiap akhir tahun ditandatangani oleh panitera dan diketahui ketua,
dengan perincian sebagai berikut :
1) Sisa tahun lalu
: perkara;
2) Masuk tahun ini
: perkara;
3) Putus tahun ini
: perkara.
4) Sisa tahun ini
: perkara.
i. Buku register permohonan banding, kasasi, dan PK ditutup setiap akhir tahun dengan rekapitulasi
sebagai berikut :
1) Sisa tahun lalu
: perkara;
2) Masuk tahun ini
: perkara;
3) Putus tahun ini
: perkara.
4) Sisa akhir bulan
: . Perkara.
5) Sudah dikirim
: . Perkara.
Belum dikirim
: perkara.
15 Buku Register Perkara di pengadilan agama adalah meliputi : 1. Register induk gugatan (RI-PA1G, 2).
Register induk perkara permohonan (RI-PA1P), 3). Register permohonan banding (RI-PA2), 4).
Register permohonan kasasi (RI-PA3), 5). Register permohonan peninjauan kembali (RIPA4),6).Register penyitaan barang bergerak (RI-PA5), 7). Register penyitaan barang tidak bergerak
(RI-PA6), 8). Register surat kuasa khusus (RI-PA7), 8). Register eksekusi (RI-PA8), 9). Register akta
cerai (RI-PA9), 10). Register perkara jinayat (RI-PA10), 11) Register permohonan pembagian harta
peninggalan diluar sengketa (RA-PA11), 12). Register ekonomi syariah (RI-PA12), 13). Register itsbat
ruyatul hilal dan pemberian nasehat/keterangan tentang perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan awal waktu shalat (RA-PA13), 14). Register eksekusi putusan Basyarnas (RI-PA14), 15).

14

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 22

3.Petugas Meja II

mengatur berkas perkara dalam map berkas perkara serta

melengkapinya dengan instrument-instrumen yang diperlukan untuk memproses


perkara tersebut;
4.

Mengembalikan satu rangkap surat gugatan/permohonan dan SKUM warna putih


kepada penggugat/pemohon.

5.

Petugas meja II menyerahkan berkas perkara gugatan/permohonan kepada Ketua


melalui wapan dan Panitera untuk Pembuatan Penetapan Majelis Hakim.

TAHAP 6 : KETUA PENGADILAN AGAMA


Pada tahap ke-enam ini, pihak penggugat/pemohon setelah menghadap pada
Petugas Meja II Pengadilan Agama, dan Petugas Meja II memeriksa kelengkapan
proses pendaftaran dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan pendaftaran, maka
pihak berperkara telah sah dan resmi untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan
agama. Setelah Petugas Meja II menyelesaikan tugas-tugasnya dalam proses
pendaftaran perkara sebagaimana diuraikan di atas, maka langkah berikutnya adalah
menindaklanjuti seluruh berkas pendaftaran perkara itu kepada Ketua Pengadilan
Agama.
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama adalah sebagai
berikut :
1.

Ketua pengadilan agama menerima berkas secara lengkap dari Panitera untuk
dibaca dengan maksud untuk menentukan siapa-siapa hakim yang secara khusus
dalam perkara yang khusus pula memiliki kemampuan lebih dari pada yang lain
untuk menangani perkara yang khusus itu.

2.

Ketua Pengadilan Agama membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan
menyidangkan dengan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak perkara
didaftarkan.16

Register mediasi (RI-PA15) yang kolomnya terdiri dari nomor urut, nomor perkara, para pihak, nama
mediator, hasil mediasi dan keterangan.

16 Apabila ketua pengadilan agama karena kesibukannya berhalangan untuk membuat PMH, maka ia
dapat melimpahkan tugas tersebut untuk seluruhnya atau sebagiannya kepada wakil ketua pengadilan
agama atau hakim senior yang bertugas di pengadilan agama itu (Buku II, halaman 25).

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 23

3.

Pada pengadilan agama yang banyak perkaranya, biasanya Ketua Pengadilan


Agama telah menetapkan susunan majelis hakim

dalam jangka waktu tertentu

secara tetap,17 kecuali dalam perkara tertentu ketua dapat membentuk majelis
khusus, misalnya ekonomi syariah, sengketa wakaf, waris, dll.
4.

Ketua Pengadilan menyerahkan berkas perkara secara utuh kepada Panitera yang
didalamnya telah dilampirkan susunan majelis yang dibuat oleh Ketua

dalam

bentuk PMH (Penetapan Majelis Hakim).18


5.

Petugas Meja II mencatat tanggal Penetapan Majelis Hakim dan nama Majelis
Hakim yang di tetapkan oleh ketua ke dalam Buku Register Perkara.

6.

Setelah dicatat tanggal PMH dan majelis hakimnya di Buku Register Perkara, maka
Petugas Meja II menyerahkan berkas tersebut kepada panitera melalui wakil
penitera.19

TAHAP 7 : PANITERA PENGADILAN AGAMA


Pada tahap ketujuh ini, berkas pendaftaran perkara yang telah diproses oleh
Ketua Pengadilan Agama sebagaimana diuraikan di atas, maka berkas pendaftaran
perkara tersebut diserahkan kembali kepada Panitera Pengadilan Agama untuk
diproses lebih lanjut.
Adapun hal-hal

yang dilakukan oleh Panitera Pengadilan Agama adalah

sebagai berikut :
1.

Panitera menerima berkas secara utuh yang didalamnya juga telah ada Penetapan
Majelis Hakim (PMH) yang dibuat oleh Ketua;

17 Ketentuan ketua majelis dalam persidangan pengadilan agama adalah : a). Ketua dan wakil ketua
pengadilan agama selalu menjadi ketua majelis; 2). Ketua majelis adalah hakim senior pada pengadilan
tersebut. Senioritas tersebut didasarkan pada lamanya seorang menjadi hakim; 3). Tiga orang hakim
yang menempati urutan senioritas terakhir dapat saling menjadi ketua mejelis dalam perkara yang
berlainan (Buku II, halaman 26).
18 Biasanya dalam praktik yang perkaranya banyak, berkas perkara yang telah ditetapkan majelis
hakimnya diambil kembali oleh Petugas Meja II untuk dicatat mengenai tanggal penetapan majelis hakim
dan nama majelis hakim ke dalam Buku Register Perkara, kemudian baru diserahkan secara utuh pula
kepada Panitera lewat Wapan.
19 Bisa juga Petugas Meja II setelah menerima berkas yang yang didalamnya terdapat PMH yang
ditetapkan oleh Ketua, belum mencatat terlebih dahulu ke dalam buku register perkara, namun sekalian
lengkap penunjukan PP, JSP, dan PHS.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 24

2.

Panitera membuat SP3 (Surat Penunjukkan Panitera Pengganti) yang

akan

mendampingi Majelis Hakim dalam persidangan dan SPJP (Surat Penunjukkan


Jurusita Pengganti).20
3.

Panitera menyerakhan berkas perkara kepada Petugas Meja II melalui wakil


panitera.21

4.

Petugas Meja II mencatat tanggal penunjukan Panitera Pengganti (PP) dan Juru
Sita Pengganti (JSP) berikut nama masing-masing yang ditunjuk itu ke dalam Buku
Register Perkara.

5.

Petugas Meja II menyerahkan berkas perkara secara utuh yang dilampiri juga
berupa PMH (Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera
Pengganti), dan SP-JSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti)

kepada Majelis

Hakim yang ditetapkan dalam PMH tersebut .


TAHAP 8 : KETUA MAJELIS HAKIM
Pada tahap kedelapan ini, berkas pendaftaran perkara yang telah diterima
oleh Panitera Pengadilan Agama dari Ketua sebagaimana diuraikan di atas, maka
berkas pendaftaran perkara tersebut diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang
ditunjuk berdasar pada PMH (Penetapan Majelis Hakim) yang dibuat oleh Ketua
Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut.
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut :
1.

Ketua majelis menerima

berkas perkara secara utuh yang dilampiri

PMH

(Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera Pengganti), dan SPJSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti);
2.

Ketua majelis mempelajari berkas dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
harus sudah dibuat PHS (Penetapan Hari Sidang). Khusus pemeriksaan perkara
perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
gugatan/permohonan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama;

20 Penunjukan panitera pengganti dan juru sita pengganti dibuat dalam bentuk surat penunjukan yang
ditandatangani oleh panitera.
21 Dalam praktik standart operating prosedurnya adalah petugas meja II mengambil berkas perkara yang
telah ditunjuk PPnya dan JSPnya oleh Panitera untuk kemudian diserahkan kepada Wakil Panitera.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 25

3.

Ketua Majelis membuat Penetapan Hari Sidang (PHS) dengan memperhatikan


jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat
persidangan;22

4.

Ketua Majelis

menyerahkan instrumen penetapan hari sidang melalui Panitera

Pengganti kepada Petugas Meja II.


5.

Ketua Majelis memerintahkan kepada Panitera Pengganti

untuk lapor kepada

Petugas Meja II dalam bentuk instrument agar dicatat tanggal penetapan PHS
dalam Buku Register Perkara.
6.

Ketua Majelis

memerintahkan Panitera Pengganti untuk menyerahkan salinan

Penetapan Hari Sidang (PHS) kepada JSP (Juru Sita Pengganti) yang ditunjuk oleh
Panitera untuk dilakukan pemanggilan kepada pihak-pihak berperkara.
TAHAP 9 : JURU SITA PENGGANTI (JSP)
Pada tahap kesembilan ini, berkas perkara yang telah diterima oleh Ketua
Mejelis Pengadilan Agama untuk ditindaklanjuti sebagaimana diuraikan di atas, maka
Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Juru Sita Pengganti (JSP) untuk
melakukan pemanggilan.
Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Juru Sita Pengganti (JSP) Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut :
1.

Juru Sita Pengganti (JSP) menerima salinan PHS (Penetapan Hari Sidang) dari
Panitera Pengganti atas perintah Ketua Majelis;

2.

Berdasar surat penunjukan Juru Sita Pengganti yang dibuat oleh Panitera dan
berdasar Salinan PHS yang dibuat Ketua Majelis, maka Juru Sita Pengganti itu
mempersiapkan relaas panggilan baik untuk pihak penggugat maupun pihak
tergugat dengan tepat sesuai identitas dan alamat yang tercantum dalam surat
gugatan penggugat.

3.

Setelah Juru Sita Pengganti mempersiapkan relaas panggilan kepada pihak-pihak


berperkara, kemudian JSP

mengajukan permohonan biaya panggilan kepada

kasir.
22 Sebelum ketua majelis membuat penetapan hari sidang (PHS) terlebih dahulu harus
dimusyawarahkan dengan para anggota majelis.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 26

4.

Kasir meneliti kembali surat penunjukan JSP, Salinan PHS, dan memperhatikan
tabel radius yang ditetapkan oleh ketua pengadilan agama untuk mengeluarkan
biaya panggilan kepada JSP;

5.

Kasir mencatat pengeluaran biaya panggilan yang diberikan kepada JSP (Juru Sita
Pengganti)

itu

ke dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara dan Buku Induk

Keuangan Perkara.
6.

Juru sita pengganti setelah menerima uang panggilan dari Kasir melakukan
panggilan kepada pihak berperkara atau kuasanya ditempat tinggal pihak masingmasing secara resmi dan patut, atau kepada pihak yang ditunjuk oleh undangundang dalam keadaan tertentu.23

23 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemanggilan adalah :


1). Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan
kepada lurah/kepala desa dengan mencatat nama penerima, untuk diteruskan kepada yang
bersangkutan (pihak berperkara yang dipanggil);
2). Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang minimal 3 (tiga) hari kerja;
3).Pemanggilan terhadap pihak yang berada di luar yurisdiksi dilaksanakan dengan meminta bantuan
pengadilan agama di mana para pihak berada, dan pengadilan agama yang diminta bantuan
tersebut harus segera mengirim relaas kepada pengadilan agama yang meminta bantuan;
4). Relaas panggilan kepada tergugat untuk sidang pertama harus dilampiri salinan surat gugatan, dan
JSP memberitahukan kepada pihak tergugat bahwa ia boleh mengajukan jawabannya secara lisan
atau tertulis dalam persidangan;
5). Apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilannya dilaksanakan melalui Bupati/Walikota
setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan
agama;
6). Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya.
Jika ahli warisnya tidak dikenal atau tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan
dilaksanakan melalui kepala desa/lurah;
7). Pemanggilan dalam perkara perkawinan dan tergugat/termohon tidak diketahui tempat tinggalnya
(ghoib), pemanggilan dilaksanakan :
a)
Melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya yang ditetapkan oleh ketua
pengadilan agama;
b)
Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana tersebut di atas harus
dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu antara pengumuman pertama dan
kedua selama 1 (satu) bulan. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan
ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan;
c)
Pemberitahuan (PBT) isi putusan ditempel pada papan pengumuman pengadilan agama
selama 14 (empat belas) hari;
8). Pemanggilan terhadap tergugat/termohon yang berada di luar negeri harus dikirim melalui
Departemen Luar Negeri c.q. Dirjen Protokol dan Konsuker Departemen Luar Negeri dengan
tembusan disampaikan kepada Kedutaan Besar Indonesia di Negara yang bersangkutan.
Pemanggilan ini tidak perlu dilampiri surat panggilan tetapi permohonan tersebut dibuat tersendiri
yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan (relaas). Meskipun surat panggilan (relaas) itu
tidak kembali atau tidak dikembalikan oleh Derektorat Jenderal Protokol dan Konseler Deplu,
panggilan ini sudah dianggap sah, resmi, dan patut (Surat Ketua MA kepada Ketua PA Batam No.
055/75/91/UMTU/Pdt/1991, tanggal 11 Mei 1991). Adapun tenggang waktu antara pemanggilan
dengan persidangan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 27

7.

Setelah Juru Sita Pengganti

melakukan pemanggilan dalam bentuk apapun

keadaan pemanggilan sebagaimana diuraikan dalam catatan kaki angka (6), maka
JSP menyerahkan relaas panggilan itu kepada Ketua Majelis melalui Panitera
Pengganti (PP), dengan mencatat dalam buku kendali yang pegang JSP;
8.

Panitera Pengganti (PP) menerima relaas panggilan dari Juru Sita Pengganti (JSP)
dengan membubuhkan paraf tanda terima dalam catatan yang dibuat oleh JSP
dalam buku kendali yang dipegangnya. Selanjutnya PP

memasukkan relaas

panggilan itu ke dalam berkas perkara bersangkutan;


9.

Panitera Pengganti (PP) sebelum memasukkan relaas panggilan itu ke dalam


berkas sebagaimana angka (8) mencatat terlebih dahulu dalam instrument
mengenai tanggal pemanggilan dalam perkara itu, dan instrument tersebut
diserahkan kepada Petugas Meja II.

10. Petugas Meja II mencatat

tanggal panggilan dan jenis panggilan dalam Buku

Register Perkara.

dikirimkan.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 28

PENUTUP
Sebagian masyarakat pencari keadilan masih ada yang mengeluhkan
mengenai prosedur penerimaan perkara di lingkungan peradilan agama. Bahkan di
lingkungan peradilan agama banyak berkeliaran oknum-oknum mafia peradilan dengan
menawarkan berbagai iming-iming untuk memudahkan penyelesaian perkara kepada
pihak-pihak berperkara sesuai keinginan, dan segalanya mudah diatur tergantung
transaksi yang disepakati antara oknum mafia peradilan dengan pihak-pihak
berperkara. Hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan oleh ketiadaannya pusat
infomasi di pengadilan agama tersebut atau sebenarnya telah ada, namun belum
berjalan secara optimal.
Keluhan masyarakat tersebut di atas ternyata bukan hanya menyangkut
martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan agama
semata, ternyata juga merembet kepada persoalan keterbukaan informasi, ketepatan
dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti
berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas
terhadap

pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga

peradilan agama itu salah satunya yang paling dominan adalah

disebabkan karena

ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini
berakibat para pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh
para mafia peradilan, baik dari oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun
oknum-oknum bukan pegawai pengadilan agama.
Permasalahan di atas harus segera diakhiri. Hal ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga
peradilan agama, sehingga martabat, kehormatan, dan integritas dapat terpelihara
secara terhormat dan dihormati. Untuk itu, peradilan agama dan segenap aparat
Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 29

pendukungnya

harus

menjunjung

tinggi

etika

secara

proporsionalitas

dan

profesionalitas. Untuk itu perlu dengan sungguh-sungguh diwujudkan fungsi pelayanan


dan keterbukaan dalam penerimaan dan pelayanan pihak-pihak yang sedang
berpekara di pengadilan agama dengan menunjuk seseorang atau beberapa

yang

secara professional bertugas pada Meja Informasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Abdul Manan, SH., SIP,. M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di

lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2005.


2. Dr.Ahmad Mujahidin, Sh. MH., Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama

(Dilengkapi Format Formulir Beperkara), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2012.


3. Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi


2010.
4. Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun
1955-2011.
5. Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Pusdiklat Teknis Peradilan, Praktek Kejurusitaan
Pengadilan, Edisi Revisi, 2008.
6. Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Pusdiklat Teknis Peradilan, Panitera Pengadilan
Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab, 2008.

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 30

Anda mungkin juga menyukai