Anda di halaman 1dari 4

PENGARUH PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI

BATING AGENT PADA PROSES PENYAMAKAN FUR KELINCI TERHADAP


KUALITAS FISIK
Raden Raya Sahaya, Kusmajadi Suradi, Husmy Yurmiaty
email : rayasahaya@gmail.com
Minat Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Anorganik Fakultas Kimia Universitas
Padjadjaran dan Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik Yogyakarta mulai tanggal 20 Februari
sampai dengan 9 April 2012. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan
enzim papain dan mendapatkan persentase penggunaan enzim papain terbaik sebagai bating
agent pada proses penyamakan fur kelinci terhadap kualitas fisik kulit. Penelitian dilakukan
secara eksperimen terhadap 20 lembar kulit kelinci keturunan New Zealand White berumur 6-7
bulan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan penggunaan enzim
papain kasar 0,5% (P 1 ), 1% (P 2 ), 1,5% (P 3 ), 2% (P 4), dan 2,5% (P 5 ) yang dihitung dari berat
kulit kelinci dan diulang sebanyak 4 kali. Peubah yang diamati adalah kualitas fisik fur kelinci
(kekuatan tarik, ketahanan sobek, dan kemuluran kulit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
enzim papain berpengaruh terhadap kualitas fisik fur kelinci. Penggunaan enzim papain sebesar
2% memberikan kualitas fisik terbaik dengan kekuatan tarik sebesar 2311,30 N/cm2 , ketahanan
sobek sebesar 126,78 N/cm, dan kemuluran kulit sebesar 49,00%.
Kata kunci

: papain, fur kelinci, kualitas fisik.


PENDAHULUAN

Kulit berbulu kelinci yang masih mentah


(pelt) dapat diolah menjadi barang-barang
siap pakai, namun sebelumnya harus diproses
terlebih dahulu melalui beberapa tahapan
yang kompleks dan saling berkaitan agar sifat
kulit yang semula labil menjadi stabil
terhadap pengaruh kimia, fisis, dan biologis
pada tingkat tertentu melalui proses
penyamakan (Judoamidjojo, 1981).
Penyamakan kulit berbulu pada kelinci
terdiri dari tiga tahap, salah satunya adalah
tahap pendahuluan (beam house). Beam
house terdiri dari washing, soaking, fleshing,
furtightening, degreasing, bating, dan
pickling.
Bating bertujuan untuk membuka
tenunan kulit lebih sempurna dengan sistem
enzim yang bekerja untuk menghidrolisis
serat kolagen dan elastin serta membuang
bahan-bahan yang tidak diinginkan pada
proses penyamakan, seperti protein globular,
sisa-sisa epidermis, dan sisa-sisa kelenjar
lemak (Judoamidjojo, 1981).

Enzim-enzim yang penting pada tahap


bating adalah protease dan lipase. Salah satu
bahan yang mengandung enzim protease
adalah papain.
Papain dapat digunakan pada proses
penyamakan kulit dalam larutan penyamak
pada pH 5 dengan suhu 40o C (Liu Yan He
Xiangqi, 1998) dan dapat melembutkan kulit
yang dihasilkan (Teknologi Pangan dan Gizi
IPB, 1989).
Banyaknya
protein
kulit
yang
terhidrolisis akibat persentase penggunaan
enzim papain pada tahap bating akan
menentukan kualitas fisik kulit yang
dihasilkan. Variabel yang dapat digunakan
untuk menentukan nilai kualitas fisik kulit
yaitu kekuatan tarik, ketahanan sobek, dan
kemuluran kulit yang ditentukan oleh
kepadatan, ketebalan, dan kandungan kolagen
pada kulit (Yurmiaty, 1991).
Bating agent dalam proses bating
digunakan pada kisaran 1-2% dari berat kulit
setelah proses fleshing pada penyamakan
kulit (Purnomo dan Wazah, 1984b). Bating
yang dilakukan dengan penggunaan enzim
yang terlalu tinggi mengakibatkan kulit

menjadi tipis, lemas, dan mudah sobek,


namun jika penggunaan enzim terlalu rendah
kulit menjadi tebal, berkerut, dan kasar
(Judoamidjojo, 1981). Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh
penggunaan
enzim
papain
untuk
mendapatkan persentase penggunaan enzim
papain terbaik sebagai bating agent pada
proses penyamakan fur kelinci terhadap
kualitas fisik kulit (kekuatan tarik, ketahanan
sobek, dan kemuluran kulit).

MATERI DAN METODE


Penelitian menggunakan kulit kelinci
awet garam dari keturunan New Zealand
White berumur 6-7 bulan sebanyak 20 lembar
diperoleh dari daerah Lembang, Bandung,
Jawa Barat, dan papain kasar diperoleh dari
isolasi dengan metode freeze drying.
Penelitian dilakukan secara eksperimen
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 tingkat persentase enzim
papain kasar yaitu 0,5% (P 1 ), 1% (P 2 ), 1,5%
(P 3 ), 2% (P4 ), dan 2,5% (P 5 ). Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 4 kali.

langsung dimasukkan pada freeze drier (T 45 s.d. 50o C).


Penyamakan Kulit Kelinci Berbulu
Tahapan penyamakan kulit kelinci
berbulu adalah (1) penimbangan kulit kelinci
awet garam, (2) pencucian kulit dari kristalkristal garam, (3) perendaman kulit (soaking),
(4) pembuangan daging (fleshing), (5)
penguatan
bulu
(furtightening),
(6)
pembuangan lemak (degreasing), (7)
pengikisan protein (bating), (8) pengasaman
(pickling), (9) penyamakan (tanning), (10)
pemeraman (ageing), (11) pembasahan, (12)
penetralan (neutralizing), (13) penyamakan
ulang (retanning) menggunakan syntan, (14)
peminyakan
(fat
liquoring),
(15)
pementangan dan pengeringan kulit, (16)
pengamplasan kulit (buffing), dan (17)
pelemasan kulit (stacking).
Peubah yang Diamati
1. Kekuatan tarik (SNI 06-1795-1990).
2. Ketahanan sobek (SNI 06-1794-1990).
3. Kemuluran (SNI 06-1795-1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isolasi Enzim Papain Kasar
Tahapan isolasi enzim papain kasar
adalah (1) penyadapan getah buah pepaya
muda, (2) penyadapan getah dilakukan dalam
wadah plastik dan langsung disimpan dalam
keadaan dingin (termos berisi es batu), (3)
getah dilarutkan dengan akuades dan
dimasukkan ke dalam lemari es sampai getah
menjadi beku, dan (4) getah yang sudah beku

Hasil analisis pengaruh perlakuan


terhadap
kualitas
fisik
fur
kelinci
menunjukkan bahwa penggunaan enzim
papain sebagai bating agent pada proses
penyamakan fur kelinci berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kualitas fisik yaitu
kekuatan tarik, ketahanan sobek, dan
kemuluran (Tabel 1).

Tabel 1. Uji Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Fur Kelinci
Perlakuan
Peubah yang
Diamati
P1
P2
P3
P4
P5
Kekuatan Tarik
779,94
1649,00
2055,37
2311,30
1631,21
(N/cm2 )
d
bc
ab
a
c
Ketahanan Sobek
58,26
69,55
102,45
126,78
78,51
(N/cm)
d
cd
b
a
c
Kemuluran
35,50
38,17
44,50
49,00
42,33
(%)
cd
Bcd
ab
a
abc
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata (P<0,05)

Tabel 1. menunjukkan bahwa kekuatan tarik


fur kelinci pada perlakuan penggunaan enzim
papain sebagai bating agent sebesar 1,5%
(P 3 ) dan 2% (P 4) satu sama lain tidak berbeda
nyata, tetapi berbeda nyata (P<0,05) lebih
tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal
ini disebabkan pada penggunaan enzim
papain 1,5% (P 3 ) dan 2% (P 4 ) mampu
menghidrolisis dan membuang bagian kulit
yang tidak dibutuhkan pada proses
penyamakan dan mengakibatkan terbukanya
serat-serat pada kulit (kolagen), sehingga
memudahkan kolagen untuk berikatan dengan
krom sebagai bahan penyamak yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kekuatan fisik
kulit (kekuatan tarik dan ketahanan sobek).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Mustakim,
dkk. (2007) bahwa terikatnya bahan
penyamak ke dalam molekul-molekul protein
penyusun
kulit
akan
mengakibatkan
terbentuknya ikatan silang antara bahan
penyamak dengan rantai polipeptida yang
menentukan tinggi rendahnya kekuatan fisik
kulit samak. Semakin stabil dan semakin
banyak krom yang masuk ke dalam jaringan
kulit, maka kekuatan fisik kulit samak akan
semakin meningkat.
Kemampuan hidrolisis enzim papain
pada
kulit
yang
berlebihan
akan
mengakibatkan penurunan kualitas fisik kulit,
diperlihatkan pada penggunaan enzim papain
sebesar 2,5% (P5 ). Penurunan tersebut dapat
disebabkan oleh terlalu banyaknya protein
kulit yang terhidrolisis, sehingga terdapat
serat kulit yang ikut terurai dan dapat
memperlebar tenunan ikatan serat kulit.
Menurut OFlaherty, dkk. (1978) kadar bahan
penyamak atau krom yang berlebihan dalam
kolagen akan menurunkan kekuatan kulit
karena rantai polipeptida terlalu banyak
menerima bahan penyamak yang melebihi
batas muatan serabut kulit dan serabut
kolagen pun akan terputus.
Ketahanan sobek fur kelinci tertinggi
pada perlakuan penggunaan enzim papain
sebagai bating agent sebesar 2% (P 4) nyata
berbeda (P<0,05) dengan perlakuan lainnya.
Hal ini disebabkan persentase enzim papain
pada perlakuan ini dapat menghidrolisis
protein kulit dengan baik, sehingga membuka
tenunan serat-serat kulit khususnya kolagen
pada sudut anyaman tertentu yang dapat
memudahkan bahan penyamak berikatan

dengan kolagen dan menghasilkan ketahanan


sobek yang maksimal. Hal ini didukung oleh
pendapat Mustakim, dkk. (2007) bahwa
masuknya atau terikatnya bahan penyamak ke
dalam molekul-molekul protein penyusun
kulit yang mengakibatkan terbentuknya
ikatan silang antara bahan penyamak dengan
rantai polipeptida menentukan tinggi
rendahnya kekuatan fisik dari kulit samak.
Semakin stabil dan semakin banyak krom
yang masuk ke dalam jaringan kulit maka
kekuatan fisik kulit samak akan semakin
meningkat karena meningkatnya konsentrasi
bahan penyamak krom akan meningkatkan
ikatan kromium ke dalam protein kulit pada
proses penyamakan yang lebih lama dan akan
menghasilkan lebih banyak krom yang terikat
pada kolagen, namun hidrolisis protein yang
berlebihan mengakibatkan penurunan kualitas
fisik kulit. Hal ini terjadi pada perlakuan
penggunaan enzim papain 2,5% (P 5 ),
sehingga serat kulit (kolagen) dapat ikut
terhidrolisis. Wilson (1941) mengemukakan
bahwa aktivitas enzim yang kuat pada proses
bating akan menghidrolisis serat kolagen.
Kolagen
adalah
protein
berserat
komponen utama dalam kulit samak. Jika
kolagen terhidrolisis, maka tenunan serat
kulit akan semakin lebar dan semakin banyak
bahan penyamak (krom) yang masuk dan
berikatan dengan kolagen kulit, sehingga
mengakibatkan penurunan kualitas fisik kulit.
Hal ini sesuai dengan pernyataan OFlaherty,
dkk. (1978) bahwa kadar krom yang
berlebihan dalam kolagen justru akan
menurunkan kekuatan fisik kulit samak
seiring dengan bertambahnya jumlah krom
yang terikat, sehingga rantai polipeptida
terlalu banyak menerima bahan penyamak
melebihi batas kemampuan muatan serabut
kulit sehingga serabut kolagen terputus.
Kemuluran fur kelinci pada perlakuan
penggunaan enzim papain sebagai bating
agent sebesar 1,5% (P 3) dan 2% (P4 ) satu
sama lain tidak berbeda nyata, tetapi berbeda
nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan
penggunaan enzim papain 1,5% (P 3 ) dan 2%
(P 4 ) cukup untuk menghidrolisis kulit,
khususnya elastin, sehingga menghasilkan
kemuluran yang maksimal.
Kemuluran kulit berkaitan dengan
kelemasan atau elastisitas kulit yang

dihasilkan. Kulit samak menjadi lemas karena


terjadi reduksi elastin pada proses pengikisan
protein kulit (bating). Muljono Judoamidjojo
(1981) mengemukakan bahwa serabut elastin
yang lebih tegak dengan anyaman rapat
(padat) menghasilkan kulit yang mempunyai
daya kemuluran yang kecil, sebagaimana
terjadi pada perlakuan P 2 dan P 1 , tetapi bila
serabut lebih horizontal dan anyaman lebih
longgar (lunak) maka kulit akan lebih mulur.
Kemuluran kulit dengan nilai yang tinggi
juga dapat disebabkan bahan penyamak krom
yang digunakan. Menurut Fahidin dan
Muslich (1999) bahan penyamak khrom
merupakan metode yang digunakan untuk
menghasilkan kulit jadi yang lebih lemas dan
lembut, daya tarik dan mulurnya (tensile
strength) lebih tinggi.
Penurunan kemuluran kulit dapat terjadi
terjadi akibat adanya penurunan jumlah
elastin dalam kulit akibat terlalu banyak
terhidrolisis enzim papain pada persentase
yang tinggi, diperlihatkan pada perlakuan P 5
(2,5%). Fahidin dan Muslich (1999)
mengemukakan bahwa elastin merupakan
protein fibrous yang membentuk serat-serat
yang sangat elastis karena mempunyai rantai
asam amino yang membentuk sudut. Sudutsudut tersebut menjadi lurus pada saat
mendapat tegangan dan akan kembali seperti
semula apabila tegangan tersebut dilepaskan,
sedangkan hilangnya elastin pada protein
kulit dapat mengurangi elastisitas kulit.

KESIMPULAN
Penggunaan enzim papain sebagai bating
agent berpengaruh terhadap kualitas fisik fur
kelinci. Penggunaan enzim papain sebesar
2% dari berat kulit memberikan pengaruh
terbaik terhadap kualitas fisik fur kelinci,
yaitu kekuatan tarik sebesar 2311,30 N/cm2 ,
ketahanan sobek sebesar 126,78 N/cm, dan
kemuluran kulit sebesar 49,00 %.

DAFTAR PUSTAKA
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan
Teknologi Kulit. Diktat. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
20-101.
Judoamidjodjo, M. 1981. Dasar Teknologi
dan Kimia Kulit. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian-IPB. Bogor. 42-47.
Kanagy, J. R. 1977. Physical and
Performance Properties of Leather.
Chapter 64 Vol IV In The Chesmistry
And Technology Of Leather. OFlaherty,
F.W. R.Lollar, (Eds). Kreieger R. E.
Publisher. Co Hungtinton, New York.
201-209.
Liu Yan He Xianqi. 1998. Application of
Papain in Bating Process of Leather
Making. Department of Leather Eng. Of
S.C.U.U. Chengdu. Leather Science and
Engineering. China.
Mustakim, I. Thohari, dan I. A. Rosyida.
2007. Tingkat Penggunaan Bahan Samak
Krom pada Kulit Kelinci Samak Bulu
Ditinjau dari Kekuatan Sobek, Kekuatan
Jahit, Penyerapan Air, dan Organoleptik.
Jurnal Ilmu Dan Teknologi Hasil
Ternak. Universitas Brawijaya. Malang.
2 (2) : 14-27.
OFlaherty, F., W.T. Roddy, and R.H.
Lollar. 1978. The Chemistry and
Technology of Leather. Vol 1. Reinhold
Publishing Co. New York.
Purnomo, E. dan Wazah. 1984b. Teknologi
Penyamakan Kulit. Akademi
Teknologi Kulit. Departemen
Perindustrian RI. Yogyakarta. 12-17.
Teknologi Pangan dan Gizi. 1989. Enzim
Papain dari Papaya, Bawang Goreng
Kemasan, Produk Awetan Tempe, dan
Produk Awetan Tahu. Tekno Pangan dan
Agroindustri Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 159.
Wilson, J. A. 1941. Modern Practice in
Leather Manufacture. Reinhold
Publishing Corporation. New York.
237-271.
Yurmiaty, H. 1991. Pengaruh Pakan, Umur
Potong, dan Jenis Kelamin terhadap
Bobot Hidup, Karkas, dan Sifat Dasar
Kulit Kelinci Rex. Disertasi. Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai