PENDAHULUAN
dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku. Ini harus dipegang
sebagai keyakinan kepercayaan. Dasarnya adalah percaya dan inilah agama.
Padewasaan ini adalah dasar pelaksanaan umumnya yang terkait dengan
upacara yadnya seperti pernikahan, dan lain-lain. Padewasaan ini biasanya
didasarkan pada wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh. Dimana salah semua
bagian tersebut merupakan satu system yang tidak terlepas satu sama lain dan
amat sangat menentukan baik buruk, sukses ataupun tidaknya pelaksanaan
upacara.
Berdasarkan paparan di atas, dipandang perlu untuk mengkaji tentang
padewasaan dan wariga karena peran penting yang ada pada wariga kaitannya
dengan kehidupan beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
suara.
Wyakarana (Tata bahasa): adalah sebagai suplemen batang tubuh
upacara harian.
b) Kelompok Upaweda
Upaweda adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan
wedangga. Ada empat bidang Upaweda yaitu :
penggunaan senjata.
Gandharwaweda: adalah kitab yang membahas berbagai aspek
cabang ilmu seni mengajarkan tentang tari, seni suara atau musik.
Arthasastra: adalah ilmu tentang politik pemerintahan negara.
Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik.
2.2.1
Wewaran
Wewaran berasal dari kata wara yang dapat diartikan sebagai hari,
seperti hari senin, selasa dll. Masa perputaran satu siklus tidak sama cara
menghimpunnya. Siklus ini dikenal misalnya dalam sistim kalender Hindu dengan
istilah bilangan, sebagai berikut;
1. Eka wara; luang (tunggal)
2. Dwi wara; menga (terbuka), pepet (tertutup).
3. Tri wara; pasah, beteng, kajeng.
4. Catur wara; sri (makmur), laba (pemberian), jaya (unggul), menala
(sekitar daerah).
5. Panca wara; umanis (penggerak), paing (pencipta), pon (penguasa), wage
(pemelihara), kliwon (pelebur).
6. Sad wara; tungleh (tak kekal), aryang (kurus), urukung (punah), paniron
(gemuk), was (kuat), maulu (membiak).
7. Sapta wara; redite (minggu), soma (senin), anggara (selasa), budha
(rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara (sabtu). Ingkel; mina
(ikan), taru (kayu), sato (binatang), buku (tumbuhan menjalar), wong
(manusia), manuk (burung).
8. Asta wara; sri (makmur), indra (indah), guru (tuntunan), yama (adil),
ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma (pemelihara).
9. Sanga wara; dangu (antara terang dan gelap), jangur (antara jadi dan
batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung), erangan
(dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi).
10. Dasa wara; pandita (bijaksana), pati (dinamis), suka (periang), duka (jiwa
seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh (taat/menurut), manusa
(sosial), raja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur), raksasa (keras).
Disamping pembagian siklus yang merupakan pembagian masa dengan
nama-namanya, lebih jauh tiap wewaran dianggap memiliki nilai yang
dipergunakan untuk menentuk ukuran baik buruknya suatu hari. Nilai itu disebut
urip atau neptu yang bersifat tetap. Karena itu nilainya harus dihafalkan.
2.2.2
Wuku
6
langkir, medangsia,
pujut,
Pahang,
krulut,
merakih,
tambir,
medangkungan, matal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, klawu, dukut
dan watugunung.
2.2.3
Tanggal Panglong
Selain perhitungan wuku dan wewaran ada juga disebut dengan Penanggal
2.2.4
Sasih
7
2.2.5
Dauh
Yang dimaksud dengan dauh adalah waktu/ jam menurut perputaran bumi
pada sumbunya, yaitu berulang setiap 24 jam dimulai sejak terbitnya matahari jam
05.30. Menggunakan dauh sebagai acuan kegiatan dikelompokkan menjadi lima
jenis, yaitu:
1. Dawuh Sekaranti (berdasarkan jumlah urip Saptawara dan Pancawara,
dikaitkan dengan penanggal/ pangelong, selama siang hari saja/ 12 jam
dalam lima dawuh)
2. Panca Dawuh (pembagian waktu selama 24 jam menjadi lima dawuh)
3. Astha Dawuh (pembagian waktu selama 24 jam menjadi delapan dawuh)
4. Dawuh Kutila Lima (pembagian waktu selama 24 jam menjadi lima
dawuh dikaitkan dengan penanggal dan pangelong)
Redite = Siang; 7.00 7.54 dan 10.18 12.42, malam; 22.18 24.42 dan
3.06 - 4.00
Coma = Siang; 7.54 10.18, malam; 24.42 3.06
Anggara = Siang; 10.00 11.30 dan 13.00 15.06, malam; 19.54 22.00
2.30 3.06
Wraspati = Siang; 5.30 7.54 dan 12.42 14.30, malam; 20.30 22.18
2.2.6
Wetu
Yang dimaksud dengan wetu adalah kodrat atau kehendak Hyang Widhi
perjalanan
tarikhnya
masih
dibicarakan
bagaimana
cara
dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan
dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1
hari koreksi dalam seratusan tahun. Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1
hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang
dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya
yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal
ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup
bagus, hanya memerlukan 1 hari koreksi dalam seratusan tahun.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra).
Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam
orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari
tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan
satu sasih tambahan. Penambahan sasih ini masih agak rancu peletakannya. Inilah
tantangan bagi dunia aritmatika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir
sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun
baru Saka (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai
paruh-awal bulan April.
Tahun baru bagi penanggalan Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi,
bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa).
Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun
1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1
bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi
kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi
angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum
itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna
penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun dibelakang
angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha)
sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).
Banyak piodalan pura di Bali ditetapkan menurut kalender Saka. Beberapa
hari suci juga berdasarkan tahun Saka, misalnya Hari Raya Nyepi dan Hari Suci
11
Siwaratri. Dewasa ayu untuk berbagai keperluan pertanian dan industri juga
sangat bergantung kepada tahun Saka, karena tahun Saka erat kaitannya dengan
perjalanan musim.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Wariga merupakan cabang ilmu yang merupakan bagian daripada Jyotisa
pada Wedangga Weda Smrti.
2) Wariga dan padewasaan adalah cara menentukan ala ayu atau baik
buruknya hari kaitannya dengan kehidupan keagamaan masyarakat Bali.
3) Padewasaan hari ada beberapa system diantaranya system wewaran, wuku,
tanggal panglong, sasih dan dauh.
4) Kesemua system padewasaan tersebut memiliki andil atau peran yang
sama dalam menentukan baik buruknya hari berdasarkan perhitungannya
sendiri.
5) Patokan penggunaan padewasaan dan wariga dikemas dalam kalender saka
Bali.
6) Kalender Bali didasarkan atas perhitungan posisi dan peredaran matahari
sekaligus bulan, yang membedakan dengan perhitungan pada kalender
masehi ataupun kalender Jawa.
3.2 Saran
1) Masyarakat hendaknya mengindahkan ajaran-ajaran nenek moyang yang
pastinya bermanfaat guna bagi kehidupan yang masih relevan di
aplikasikan dalam kehidupan sekarang.
2) Segala yang kita yakini akan membawa kebaikan pada kita hendaknya kita
pelihara dan diamalkan dengan kesungguhan hati.
3) Semua yang kita lihat dan rasakan ada sebab di belakangnya. Mari kita
hilangkan prinsip gugon tuwon nak mula keto.
4) Masyarakat Hindu hendaknya bisa lebih kritis menerima informasi dan
mengembangkan kreativitas dalam hal penyiaran keagamaan.
13
DAFTAR PUSTAKA
14