Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Weda adalah ajaran maha agung yang kekal abadi, sepanjang hayat dan
bersifat universal. Weda sangat relevan diaplikasikan dalam tiap detail kehidupan
manusia. Weda juga bersifat fleksibel, bisa dipadukan dengan ilmu terapan
apapun.
Banyak aspek tata keilmuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara ada pada Weda, khususnya Weda Smrti seperti Nitisastra, Ayur
Weda, Gandharwa dan Jyotisa. Nitisastra disebut dengan ilmu kepemimpinan/
leadership, Ayur Weda disebut ilmu kedokteran, Gandharwa disebut ilmu seni, dan
Jyotisa disebut ilmu astronomi. Semua induk ilmu tersebut menjadi acuan atau
dasar bagi umat Hindu dalam kehidupan yang masih konstan diaplikasikan meski
jaman telah serba canggih.
Contoh riil pengaplikasian hal di atas adalah masih banyaknya masyarakat
khususnya orang Hindu Bali yang menggunakan loloh, simbuh atau bahan herbal
sebagai alternatif pengobatan meski di masyarakat telah banyak berkembang obatobatan instan seperti pil, kapsul ataupun sirop. Salah satu yang tidak kalah penting
dan menjadi salah satu unsur penting dalam tata kehidupan social ataupun religi
masyarakat Hindu adalah ilmu astronomi yang oleh masyarakat Bali popular
dengan nama wariga.
Wariga adalah dasar perhitungan baik buruknya hari yang dijadikan acuan
bagi masyarakat untuk melaksanakan yadnya ataupun suatu pekerjaan. Tidak ada
satupun kegiatan vital masyarakat Hindu Bali yang ingkar dari keberadaan wariga.
Ini membuktikan bahwa masyarakat Hindu adalah masyarakat yang cerdas, dan
kitab suci Weda telah memperhitungkan ilmu yang relevan sepanjang masa. Sebut
saja pelaksanaan upacara keagamaan seperti perkawinan, memulai berdagang
bahkan hingga hal yang bertaraf kecil seperti memotong kayu dan hal lain tidak
luput dari sentuhan wariga. Penentuan hari baik berdasarkan perhitungan menurut
wariga disebut padewasan (dewasa). Jadi dewasa tidak lepas dari ilmu wariga
1

dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku. Ini harus dipegang
sebagai keyakinan kepercayaan. Dasarnya adalah percaya dan inilah agama.
Padewasaan ini adalah dasar pelaksanaan umumnya yang terkait dengan
upacara yadnya seperti pernikahan, dan lain-lain. Padewasaan ini biasanya
didasarkan pada wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh. Dimana salah semua
bagian tersebut merupakan satu system yang tidak terlepas satu sama lain dan
amat sangat menentukan baik buruk, sukses ataupun tidaknya pelaksanaan
upacara.
Berdasarkan paparan di atas, dipandang perlu untuk mengkaji tentang
padewasaan dan wariga karena peran penting yang ada pada wariga kaitannya
dengan kehidupan beragama.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam karya
tulis ini sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan Wariga dan Padewasaan?
2) Bagaimana perhitungan padewasaan dalam wariga?
3) Bagaimana kalender Bali berdasarkan wariga

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan tujuan dari
karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pengertian Wariga dan Padewasaan.
2) Untuk mengetahui perhitungan padewasaan dalam wariga.
3) Untuk mengetahui kalender Bali berdasarkan wariga.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Wariga dan Padewasaan


Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh
umat Hindu khususnya di Bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan
keberhasilan dalam jalannya upacara. Kedua ilmu itu merupakan salah satu
cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau Jyotisa
Sastra sebagai salah satu wedangga. Untuk jelasnya Weda adalah kitab suci
agama Hindu yang pada dasarnya bersumber dari wahyu Tuhan diterima oleh
Sapta Rsi.
Weda dibagi menjadi 2 (dua) kelompok besar yang disebut:
1) Weda Sruti dibagi atas tiga bagian yaitu :
a) Bagian Mantra terdiri atas empat himpunan (samhita) yang disebut Catur
Weda Samhita yaitu:
Rg Weda Samhita
Samaweda Samhita
Yayurweda Samhita
Atharwaweda Samhita
b) Brahmana (Karna Kanda)
Brahmana berarti doa. Jadi kitab Brahmana adalah kitab yang berisi
himpunan doa-doa dipergunakan untuk keperluan Yaja.
c) Upanisad (Jnana Kanda)
Upanisad adalah himpunan mantra-mantra yang membahas berbagai
aspek teori mengenai ketuhanan.
2) Weda Smrti : adalah kelompok Weda lahir dari ingatan sebagai penjelasan
terhadap Sruti. Jadi isinya tidak bertentangan dengan Sruti. Weda Smrti ini
dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
a) Kelompok Wedangga (Batang tubuh weda) terdiri dari enam bidang
Weda antara lain :

Siksa (Phonetika): isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara


yang tepat dalam mengucapkan mantra serta tinggi rendah tekanan

suara.
Wyakarana (Tata bahasa): adalah sebagai suplemen batang tubuh

yang memuat pengertian tata bahasa yang benar dalam Weda.


Chanda (Lagu): adalah cabang weda yang khusus membahas aspek

ikatan bahasa yang disebut lagu.


Nirukta (Sinonim): isinya terutama memuat berbagai penafsiran

otentik mengenai kata-kata yang terdapat dalam Weda.


Jyotisa (Astronomi): memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang

diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yaja.


Kalpa (Ritual): memuat berbagai ajaran mengenai tata cara
melakukan Yaja, penebusan dosa dan lain-lain yang berhubungan
dengan upacara keagamaan, baik upacara besar, upacara kecil dan

upacara harian.
b) Kelompok Upaweda
Upaweda adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan
wedangga. Ada empat bidang Upaweda yaitu :

Ayurweda: adalah kitab-kitab yang menurut materi isinya


menyangkut bidang ilmu kedokteran. Kitab ini juga membahas
pengetahuan mengenai jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat
dijadikan obat, cara pembuatan serbuk dan tablet. Jadi Ayurweda

adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis.


Dhanurweda: adalah sebagai ilmu militer atau ilmu panahan.
Dhanurweda memuat keterangan tentang training, mengenai acara
penerimaan senjata, acara latihan pemakaian dan penggunaan dan

penggunaan senjata.
Gandharwaweda: adalah kitab yang membahas berbagai aspek

cabang ilmu seni mengajarkan tentang tari, seni suara atau musik.
Arthasastra: adalah ilmu tentang politik pemerintahan negara.
Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik.

Dari uraian di atas, Weda sebagai pengetahuan suci ternyata mencakup


semua bidang ilmu, termasuk di dalamnya Jyotisa. Jyotisa adalah tergolong Weda
4

Smrti kelompok Wedangga yang berarti ilmu Astronomi / Astrologi di Indonesia


khususnya di Bali dikenal dengan Wariga. Demikian istilah Jyotisa yang artinya
ilmu Astronomi/Astrologi dipergunakan di India dan istilah Wariga yang memiliki
arti yang sama dipergunakan di Indonesia khususnya di Bali.
Dalam lontar Keputusan Sunari mengatakan bahwa kata wariga berasal
dari dua kata, yaitu wara yang berarti puncak/istimewa dan ga yang berarti
terang. Sebagai penjelasan dikemukakan .iki uttamaning pati lawan urip,
manemu marga wakasing apadadang, ike tegesing wariga, dari penjelasan ini
jelas yang dimaksud dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan keterangan
dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari.
Disamping itu, penentuan hari baik berdasarkan perhitungan menurut
wariga disebut padewasan (dewasa). Jadi dewasa tidak lepas dari ilmu wariga
dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku. Kata dewasa
terdiri dari kata; de yang berarti dewa guru, wa yang berarti apadang/lapang
dan sa yang berarti ayu/baik. Dengan demikian jelas bahwa dewasa adalah satu
pegangan yang berhubungan dengan pemilihan hari yang tepat agar semua jalan
atau perbuatan itu lapang jalannya, baik akibatnya dan tiada aral rintangan.

2.2 Perhitungan Padewasaan Dalam Wariga


Masalah wariga dan dewasa mencakup pengertian pemilihan hari dan saat
yang baik, ada perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang menyangkut masalah
wewaran, wuku, tanggal, sasih dan dauh dimana kedudukan masing-masing
waktu itu secara relative mempunyai pengaruh yang didalilkan sebagai berikut:

Wewaran alah dening wuku

Wuku alah dening tanggal panglong

Tanggal panglong alah dening sasih

Sasih alah dening dauh

Dauh alah dening wetu (keheningan hati).

2.2.1

Wewaran

Wewaran berasal dari kata wara yang dapat diartikan sebagai hari,
seperti hari senin, selasa dll. Masa perputaran satu siklus tidak sama cara
menghimpunnya. Siklus ini dikenal misalnya dalam sistim kalender Hindu dengan
istilah bilangan, sebagai berikut;
1. Eka wara; luang (tunggal)
2. Dwi wara; menga (terbuka), pepet (tertutup).
3. Tri wara; pasah, beteng, kajeng.
4. Catur wara; sri (makmur), laba (pemberian), jaya (unggul), menala
(sekitar daerah).
5. Panca wara; umanis (penggerak), paing (pencipta), pon (penguasa), wage
(pemelihara), kliwon (pelebur).
6. Sad wara; tungleh (tak kekal), aryang (kurus), urukung (punah), paniron
(gemuk), was (kuat), maulu (membiak).
7. Sapta wara; redite (minggu), soma (senin), anggara (selasa), budha
(rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara (sabtu). Ingkel; mina
(ikan), taru (kayu), sato (binatang), buku (tumbuhan menjalar), wong
(manusia), manuk (burung).
8. Asta wara; sri (makmur), indra (indah), guru (tuntunan), yama (adil),
ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma (pemelihara).
9. Sanga wara; dangu (antara terang dan gelap), jangur (antara jadi dan
batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung), erangan
(dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi).
10. Dasa wara; pandita (bijaksana), pati (dinamis), suka (periang), duka (jiwa
seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh (taat/menurut), manusa
(sosial), raja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur), raksasa (keras).
Disamping pembagian siklus yang merupakan pembagian masa dengan
nama-namanya, lebih jauh tiap wewaran dianggap memiliki nilai yang
dipergunakan untuk menentuk ukuran baik buruknya suatu hari. Nilai itu disebut
urip atau neptu yang bersifat tetap. Karena itu nilainya harus dihafalkan.
2.2.2

Wuku
6

Disamping perhitungan hari berdawarkan wara sistim kalender yang


dipergunakan dalam wariga dikenal pula perhitungan atas dasar wuku (buku)
dimana satu wuku memilihi umur tujuh hari, dimulai hari minggu (raditya/redite).
Satu tahun kalender pawukon = 30 wuku, sehingga 1 tahun wuku = 30 x 7
hari = 210 hari. Adapun nama-nama wukunya sebagai berikut; Sita, landep, ukir,
kilantir, taulu, gumbreg, wariga, warigadean, julungwangi, sungsang, dunggulan,
kuningan,

langkir, medangsia,

pujut,

Pahang,

krulut,

merakih,

tambir,

medangkungan, matal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, klawu, dukut
dan watugunung.

2.2.3

Tanggal Panglong
Selain perhitungan wuku dan wewaran ada juga disebut dengan Penanggal

dan panglong. Masing masing siklusnya adalah 15 hari. Perhitungan penanggal


dimulai 1 hari setelah (H+1) hari Tilem (bulan Mati) dan panglong dimulai 1 hari
setelah (H+1) hari purnama (bulan penuh). Padewasaan yang berhubungan dengan
tanggal pangelong dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1. Padewasasan menurut catur laba (empat akibat: baik buruk berhasil
gagal)
2. Padewasaan berdasarkan penanggal untuk pawiwahan (misalnya hindari
menikah pada penanggal ping empat karena akan berakibat cepat jadi
janda atau duda)
3. Padewasaan berdasarkan pangelong untuk pawiwahan (misalnya hindari
pangelong ping limolas karena akan berakibat tak putus-putusnya
menderita)
4. Padewasaan berdasarkan wewaran, penanggal, dan pangelong (misalnya:
Amerta dewa, yaitu Sukra penanggal ping roras, baik untuk semua
upacara)

2.2.4

Sasih
7

Sasih secara harafiahnya sama diartikan dengan bulan. Sama sepertinya


kalender internasional, sasih juga ada sebanyak 12 sasih selama setahun,
perhitungannya menggunakan perhitungan Rasi sesuai dengan tahun surya (12
rasi = 365/366 hari) dimulai dari 21 maret. adapun pembagian sasih tersebut
adalah;

Kedasa = Mesa = Maret April.

Jiyestha = Wresaba = April Mei.

Sadha = Mintuna = Mei Juni.

Kasa = Rekata = Juni Juli.

Karo = Singa = Juli Agustus.

Ketiga = Kania = Agustus September.

Kapat = Tula = September Oktober.

Kelima = Mercika = Oktober November.

Kenem = Danuh = November Desember.

Kepitu = Mekara = Desember Januari.

Kewulu = Kumba = Januari Februari.

Kesanga = MIna = Februari Maret.

2.2.5

Dauh
Yang dimaksud dengan dauh adalah waktu/ jam menurut perputaran bumi

pada sumbunya, yaitu berulang setiap 24 jam dimulai sejak terbitnya matahari jam
05.30. Menggunakan dauh sebagai acuan kegiatan dikelompokkan menjadi lima
jenis, yaitu:
1. Dawuh Sekaranti (berdasarkan jumlah urip Saptawara dan Pancawara,
dikaitkan dengan penanggal/ pangelong, selama siang hari saja/ 12 jam
dalam lima dawuh)
2. Panca Dawuh (pembagian waktu selama 24 jam menjadi lima dawuh)
3. Astha Dawuh (pembagian waktu selama 24 jam menjadi delapan dawuh)
4. Dawuh Kutila Lima (pembagian waktu selama 24 jam menjadi lima
dawuh dikaitkan dengan penanggal dan pangelong)

5. Dawuh Inti (waktu yang tepat berdasarkan pertemuan Panca dawuh

dengan Astha dawuh).


Inti dauh ayu adalah saringan dari pertemuan panca dawuh dengan
asthadawuh, antara lain;

Redite = Siang; 7.00 7.54 dan 10.18 12.42, malam; 22.18 24.42 dan

3.06 - 4.00
Coma = Siang; 7.54 10.18, malam; 24.42 3.06
Anggara = Siang; 10.00 11.30 dan 13.00 15.06, malam; 19.54 22.00

dan 23.30 - 1.00


Buda = Siang; 7.54 8.30 dan 11.30 12.42, malam; 22.18 23.30 dan

2.30 3.06
Wraspati = Siang; 5.30 7.54 dan 12.42 14.30, malam; 20.30 22.18

dan 3.06 5.30


Sukra = Siang; 8.30 10.18 dan 16.00 17.30, malam; 17.30 19.00 dan
24.42 2.30

Saniscara = Siang; 11.30 12.42, malam; 22.18 23.30

2.2.6

Wetu
Yang dimaksud dengan wetu adalah kodrat atau kehendak Hyang Widhi

sebagai Yang Maha Kuasa mengatur dan menetapkan segalanya.Dalam pengertian


ini ditafsirkan bahwa ala ayuning dewasa dapat dikecualikan dalam keadaan yang
sangat mendesak, tetapi menggunakan upacara dan upakara tertentu. Misalnya
jika tidak dapat dihindarkan melaksanakan upacara penguburan mayat secara
massal sebagai korban peperangan, huru-hara, dll. maka padewasaan dapat
dikecualikan dengan upacara maguru piduka, macaru ala dewasa, mapiuning di
Pura Dalem, Ngererebuin, dll.
Makna kalimat alah dening adalah kalah dengan atau ditafsirkan lebih
lengkap sebagai pertimbangkan juga
Pelaksanaan padewasaan dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar, yaitu:
1) Padewasaan sadina artinya sehari-hari, dan
2) Padewasaan masa artinya berkala.

Padewasaan sadina ditentukan oleh Wewaran dan Pawukon (wuku). Semut


sadulur adalah padewasaan menurut Pawukon, pada saat mana terjadi pertemuan
urip Pancawara dan urip Saptawara menjadi 13 (tiga belas) beruntun tiga kali,
yaitu: Sukra Pon, Saniscara Wage, dan Redite Kliwon. Hari-hari itu jatuh pada
Wuku: Kulantir, Tolu, Julungwangi, Sungsang, Medangsia, Pujut, Tambir,
Medangkungan, Prangbakat, Bala, Dukut, dan Watugunung.
Kala gotongan adalah pertemuan urip Saptawara dan urip Pancawara14
(empat belas), yaitu Sukra Kliwon pada Wuku: Tolu, Sungsang, Pujut,
Medangkungan, Bala, Watugunung; Saniscara Umanis pada Wuku: Tolu,
Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung; dan Redite Paing pada
Wuku: Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu.
Di samping itu ada juga dewasa yang tidak baik untuk atiwa-tiwa (Pitra
Yadnya/ Ngaben) menurut Pawukon, yaitu: Dungulan, Kuningan, Langkir, dan
Pujut, meskipun dalam Wuku itu ada hari-hari yang bukan Semut Sadulur atau
Kala Gotongan; jika untuk menanam mayat atau makingsan di geni saja masih
dibolehkan.

2.3 Kalender Bali Berdasarkan Wariga


Kalender atau penanggalan Bali sangat penting dalam kehidupan seharihari masyarakat Bali. Tidak seperti kalender lain yang macamnya puluhan di
dunia, kalender Bali sangat istimewa. Penanggalan Bali adalah penanggalan
"konvensi". Tidak astronomis seperti penanggalan Islam, tidak pula aritmatis
seperti penanggalan Jawa, tetapi 'kira-kira' ada di antara keduanya.
Penanggalan Bali mirip penanggalan luni-solar. Berdasarkan posisi
matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena
sepanjang

perjalanan

tarikhnya

masih

dibicarakan

bagaimana

cara

perhitungannya. Ada beberapa cara yang dicoba diterapkan beberapa tahun


(sistem Nampih Sasih) kemudian kembali ke cara sebelumnya (Malamasa).
Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya.
Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk
itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan
10

dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan
dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1
hari koreksi dalam seratusan tahun. Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1
hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang
dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya
yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal
ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup
bagus, hanya memerlukan 1 hari koreksi dalam seratusan tahun.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra).
Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam
orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari
tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan
satu sasih tambahan. Penambahan sasih ini masih agak rancu peletakannya. Inilah
tantangan bagi dunia aritmatika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir
sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun
baru Saka (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai
paruh-awal bulan April.
Tahun baru bagi penanggalan Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi,
bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa).
Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun
1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1
bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi
kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi
angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum
itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna
penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun dibelakang
angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha)
sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).
Banyak piodalan pura di Bali ditetapkan menurut kalender Saka. Beberapa
hari suci juga berdasarkan tahun Saka, misalnya Hari Raya Nyepi dan Hari Suci
11

Siwaratri. Dewasa ayu untuk berbagai keperluan pertanian dan industri juga
sangat bergantung kepada tahun Saka, karena tahun Saka erat kaitannya dengan
perjalanan musim.

12

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Wariga merupakan cabang ilmu yang merupakan bagian daripada Jyotisa
pada Wedangga Weda Smrti.
2) Wariga dan padewasaan adalah cara menentukan ala ayu atau baik
buruknya hari kaitannya dengan kehidupan keagamaan masyarakat Bali.
3) Padewasaan hari ada beberapa system diantaranya system wewaran, wuku,
tanggal panglong, sasih dan dauh.
4) Kesemua system padewasaan tersebut memiliki andil atau peran yang
sama dalam menentukan baik buruknya hari berdasarkan perhitungannya
sendiri.
5) Patokan penggunaan padewasaan dan wariga dikemas dalam kalender saka
Bali.
6) Kalender Bali didasarkan atas perhitungan posisi dan peredaran matahari
sekaligus bulan, yang membedakan dengan perhitungan pada kalender
masehi ataupun kalender Jawa.

3.2 Saran
1) Masyarakat hendaknya mengindahkan ajaran-ajaran nenek moyang yang
pastinya bermanfaat guna bagi kehidupan yang masih relevan di
aplikasikan dalam kehidupan sekarang.
2) Segala yang kita yakini akan membawa kebaikan pada kita hendaknya kita
pelihara dan diamalkan dengan kesungguhan hati.
3) Semua yang kita lihat dan rasakan ada sebab di belakangnya. Mari kita
hilangkan prinsip gugon tuwon nak mula keto.
4) Masyarakat Hindu hendaknya bisa lebih kritis menerima informasi dan
mengembangkan kreativitas dalam hal penyiaran keagamaan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Gde Rawi.tt. Kalender Bali. Denpasar: Pelawa Sari.


Pramana, A.E. 2012. Pembahasan Lontar Wariga: Makna dan Fungsi wariga
Dalam
Suatu
Yajna.
(Online),
(Available
at:
http://adhityadoc.blogspot.com/2012/06/pembahasan-lontar-warigamakna-dan.html, diakses tanggal 11 Januari 2014).
Sutarya, Gede. 2011. Wariga Bali, jalan Pembebasan. (Online), (Available at:
http://warigabali.metrobali.com/?p=6, diakses tanggal 11 Januari 2014).
Umaseh. 2013. Ilmu wariga. (online), (available at: http://umaseh.com/blog/ilmuwariga/, diakses tanggal 11 Januari 2014).
Yayasan Bali Galang. 2014. Wewaran/Pewarigaan. (Online), (Available at:
http://babadbali.com/pewarigaan/pewarigaan.php, diakses tanggal 11
Januari 2014).

14

Anda mungkin juga menyukai