Disusun Oleh :
Lastina Fahrurnisa
22020112140018
A.12.1
tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan akhirnya koma.
Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen.
Pada kasus kegawatdaruratan hipoglikemia intervensi keperawatan pertama yang diberikan
adalah dengan memberikan glukagon pada penderitanya. Glukagon adalah peptida (protein)
hormon yang diproduksi oleh pankreas. Glukagon diproduksi setiap kali tubuh membutuhkan
gula lebih untuk produksi energi, yang dilakukan melalui respirasi selular. Glukagon
merupakan antagonis dari insulin yang disekresi pada saat kadar gula darah dalam darah rendah
(Corwin, 2009).
Menurut Soemadji (2006) dan Rush & Louies (2004) hipoglikemia diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. Hipoglikemia ringan memiliki ciri-ciri seperti
masih dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, penurunan glukosa
(stresor) merangsang saraf simpatis, sekresi adrenalin ke p.d: perspirasi, tremor, takikardia,
palpitasi, gelisah dan penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf parasimpatis lapar, mual,
dan tekanan darah turun.
Hipoglikemia sedang memiliki ciri-ciri seperti hipoglikemi masih dapat diatasi sendiri,
tetapi mengganggu aktivitas sehari-hari, otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai sumber
energi timbul gangguan pada system saraf pusat : headache, vertigo, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional, penurunan fungsi rasa, gangguan
koordinasi gerak, dan double vision.
Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa serta pada system saraf pusat mengalami
gangguan berat: disorientasi, kejang, penurunan kesadaran adalah ciri-ciri dari terjadinya
hipoglikemia berat.
Terdapat sebuah jurnal penelitian mengenai keefektifan pemberian intervensi pada
penderita koma hipoglikemik dengan memberikan glukagon intravena atau dengan dekstrosa
intravena. Dalam jurnal ini dibandingkan antara keefektifan pemberian glukagon intravena (1
mg) dengan dekstrosa intravena (25 g). Diketahui bahwa kedua obat ini sama-sama efektif
diberikan kepada penderita hipoglikemia dengan kadar glukosa yang sama di Accident and
Emergency Departement, Royal Infirmary, Edinburgh, United Kingdom. Dalam penelitian ini
didapatkan hasil bahwa glukagon memiliki waktu lebih lambat dalam mengembalikan kadar
glukosa kembali normal dan mengembalikan ke tingkat kesadarannya kembali. Akan tetapi
pengobatan menggunakan glukagon lebih memiliki efek samping yang ringan dan dapat
diterima oleh pasien. Glukagon maupun dekstrosa sama-sama menimbulkan efek samping
seperti mual muntah dan pusing kepala, namun efek samping pusing kepala dan muntah lebih
banyak dialami oleh pasien yang diberikan terapi dekstrosa intravena.
Untuk mengurangi resiko hipoglikemia berikut ada beberapa cara yang dilakukan yaitu
salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien. Pendidikan
kesehatan pada pasien telah terbukti meningkatkan hasil dari hipoglikemia, tetapi tidak untuk
mengurangi dari angka kejadian. Obat-obatan yang mungkin mengakibatkan hipoglikemia
harus ditinjau kembali oleh baik pasien maupun anggota keluarga secara teratur. Gejala dan
manajemen hipoglikemia harus didiskusikan pada setiap kunjungan. Instruksi tertulis juga
harus diberikan kepada pasien karena terkadang perawat mungkin mengalami kepanikan dalam
situasi darurat. Pasien juga harus didarankan untuk segera memberitahu dokter apabila mereka
mengalami hipoglikemik. Beberapa pasien dengan hipoglikemi tinggi mungkin mengalami
gejala adrenergik, termasuk berkeringat, kelelalahan, kelemahan dan jantung berdebar,
meskipun tingkat plasma glukosa berada jauh diatas 70 mg/dl. Oleh karena itu untuk
penanganan pertama yang dapat dilakukan pasien adalah dengan mengkonsumsi glukagon
yang harus dibawa kemana saja mereka pergi sehingga dapat mengurangi angka kejadian
keparahan waktu datang ke ruang kegawatdaruratan. Sayangnya banyak pasien yag
mengabaikan hal tersebut.
Intervensi diet juga perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya hipoglikemi. Karbohidrat
meningkatkan kadar glukosa darah. Pasien harus memahami pilihan karbohidrat yang paling
mungkin yang paling cepat dan tepat untuk membalikkan hipoglikemia. Berikut beberapa
strategi yang dapat membalikkan keadaan hipoglikemia (Unger, 2013):
a. Jika gula darah 60 mg/dl, makan atau minum karbohidrat sebesar 15 gram, periksa
kembali glukosa darah setelah 15 menit. Jika hasil masih menunjukkan 60 mg/dl, ulangi
pengobatan dengan tambahan 15 gram karbohidrat. Tes ulang kembali glukosa darah
setelah 15 menit, jika glukosa darah tetap 60 mg/dl ulangi pengobatan dengan tambahan
15 gram karbohidrat dan hubungi dokter.
b. Formula yang berguna untuk membantu pasien muncul aman dari hipoglikemia tanpa
menyebabkan Rebound hipoglikemia adalah (100-glukosa darah) 0.2 = gram karbohidrat
yang diperlukan untuk koreksi tepat glukosa darah. Jadi, jika glukosa darah adalah 50
mg/dl, mengkonsumsi 100-50 = 50;50 x 0.2 = 10 gram karbohidrat.
c. Contoh makanan yang mengandung 15 gram karbohidrat adalah tablet glukosa (3 hingga
5 gram tablet), 4 ons jus atau soda biasa, 1 sendok makan madu atau gula meja, 1 kotak
kecil kismis, 1 botol glukosa ditembak cair.
d. Pasien dengan riwayat Haaf harus memiliki akses ke sebuah kit glukagon darurat di rumah
dan di tempat kerja mereka. Pasien dengan hipoglikemia berat yang tidak bisa terangsang
harus disuntik dengan glukagon 1 mg intramuskular oleng anggota keluarga atau teman.
Hal ini akan menghasilkan pembalikan cepat hipoglikemia.
e. Pasien yang menjadi hipoglikemik saat menggunakan inhibitor -glukosidase ( AGI,
acarbose atau miglitol) tidak akan menanggapi sukrosa. Glukosa oral (dekstrosa) harus
digunakan untuk mengobati hipoglikemia karena penyerapannya tidak dihambat oleh AGI,
glukagon juga akan efektif membalikkan hipoglikemia
Pasien yang menggunakan insulin campuran analog juga harus menghindari
melewatkan makan karena ini mungkin memicu hipoglikemia. Pola makan dan injeksi
insulin dipisahkan menyebabkan variabilitas glikemik dan hipoglikemia dengan asumsi
tingkat glukosa pra makan > 80 mg/dl, maka insulin harus disuntikkan 15 menit sebelum
makan sehingga kenaikan konsentrasi insulin akan cocok waktu puncak penyerapan
karbohidrat dari usus, jika kadar glukosa adalah < 80 mg/dl, suntikan harus diberikan baik
pada saat makan atau segera setelah makan.
Faktor latihan juga dapat mencegah terjadinya hipoglikemia. Latihan meningkatkan
pemanfaatan glukosa oleh otot rangka dan meningkatkan risiko hipoglikemia. Faktor
risiko hipoglikemia yang berhubungan dengan latihan adalah termasuk aktivitas fisik,
intensitas olahraga yang berlebih dan tidak terbiasa dan modus (misalnya, seorang pasien
yang berjalan pada treadmill setiap hari tapi sekarang memutuskan untuk bermain ski
lintas alam), hal tersebut akan mengakibatkan asupan karbohidrat tidak memadai dalam
kaitannya dengan nsulin ambient on board (insuin dari dosis sebelumnya yang masih
aktif), Haaf dan kegagalan untuk melakukan SMBG sebelum dan selama latihan. Risiko
exercise-induced hipoglikemia dapat dikurangi dengan melakukan SMBG sebelum dan
dalam waktu 30 menit untuk mengakhiri sesi latihan. Target glukosa pra latihan harus 120180 mg/dl. Kadar glukosa darah harus diobati sebelum latihan dengan mengkonsumsi 15
gram karbohidrat. Menyesuaikan dosis insulin sebelum olahraga adalah bijaksana(Unger,
2013).
Monitor glukosa selain penting dalam hal menfgontrol diabetus juga diperlukan dalam
pengujian glukosa terstruktur yang menyediakan cara efektif untuk memprediksi
terjadinya hipoglikemia. Pengujian glukosa secara terstruktur memungkinkan pasien dan
dokter untuk mengidentifikasi pola-pola tertentu glikemik yang dapat dikoreksi dengan
farmakologi atau intervensi gaya hidup. Pengujian dilakukan setiap sebelum dan 2 jam
setelah makan selama 3 hari sebelum pasien dijadwalkan janji untuk bertemu dokter.
Perbedaan antara kadar glukosa pra makan dan 2 jam setelah makan disebut sebagai .
Respon fisiologis untuk makan harus menghasilkan positif 0-50 mg/dl. Sebagai contoh,
seorang pasien memeriksa glukosa darah sebelum makan malam dan mencatat 125mg/dl.
Kemudian dia menentukan bahwa 9 unit insulin akan diperlukan untuk makan. Dia
menyuntikkan insulin 15 menit sebelum makan karenanya glukosa pra makan adalah > 80
mg/dl. Kadar glukosa postprandial 2 jam adalah 145 ( = +20 mg/dl). Dengan demikian,
pasien memberikan jumlah insulin yang benar untuk menutupi jumlah konsumsi
karbohidrat dalam makanan itu. Apabila menunjukkan hasil negatif menyiratkan bahwa
ada ketidakcocokan yang terjadi antara dosis bolus insulin dan jumlah karbohidrat yang
dikonsumsi (Unger, 2013).
DAFTAR PUSTAKA