Wahyu kembali ke LPK NI sekitar pukul 12.30 WIB. Setelah tiba di tempat
tujuan, bersama Andhi, mereka menemui Lisyaningsih dan menanyakan kepemilikan
motor dan dijawab bahwa motor tersebut kepunyaan Puji Sumarah yang dititipkan di
LPK NI.
Setelah itu terjadilah perdebatan. Intinya karena Puji terlambat mengangsur,
berbekal SKP motor harus ditarik. Lisyaningsih menanyakan sertifikat fidusia. Andhi
pun menanyakan sertifikat tersebut kepada Surayadi. Setelah mendapat penjelasan
dari Suryadi via telepon yang menyatakan bahwa sertifikat fidusia ada di kantor,
kedua debt collector ini merasa punya alas hak, dan tanpa seizin Lisyaningsih
maupun Puji Sumarah, motor tersebut dituntun ke Adira.
Tentu saja tindakan ini membuat berang Puji Sumarah dan Lisyaningsih.
Kemudian melaporkan tindakan Andhi dan Wahyu serta Suryadi ke polisi. Mereka
menyatakan perbuatan dua debt collector itu melawan hukum.
Tindakan melawan hukum tersebut adalah, tanpa sertifikat fidusia, motor
yang ditarik ke Adira belum menjadi objek jaminan fidusia. Terlebih lagi, penarikan
motor dilakukan Andhi dan Wahyu tanpa seizin pemiliknya maupun Lisyaningsih
sebagai orang yang dititipi motor oleh Puji sehingga menderita kerugian Rp10 juta.
Oleh penuntut umum, saat perkara ini mulai disidangkan, perbuatan Wahyu
dan Andhi didakwa melanggar aturan Pasal 363 ayat (1) keempat KUHP Tentang
Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan. Dalam pasal tersebut disebutkan :
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Namun, majelis Pengadilan Negeri Mungkid melepaskan kedua terdakwa.
Putusan diucapkan majelis hakim pada 11 November 2011 menyatakan Andhi dan
Wahyu sebagai terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun,
itu bukan merupakan tindak pidana, demikian majelis hakim dalam putusan itu.
UU Jaminan Fidusia mengatur eksekusi objek jaminan, yaitu pada Pasal 29.
Tanpa mempertimbangkan pasal ini, majelis kasasi menilai majelis pengadilan
tingkat pertama salah menerapkan hukum. Yaitu membenarkan kedua terdakwa
mengambil sepeda motor karena hanya berpatokan pada Pasal 15 ayat (3) UU
Jaminan Fidusia yang menyatakan : Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia
mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri.
Menurut majelis kasasi, bila debitor cedera janji, penerima fidusia (Adira)
berhak menjual objek jaminan fidusia. Karena itu majelis PN Mungkid dinilai
mengabaikan ketentuan Pasal 30 dalam UU Jaminan Fidusia. Yaitu pemberi fidusia
saat eksekusi wajib menyerahkan objek jaminan fidusia. Tapi, kedua terdakwa saat
eksekusi tak menemui Puji selaku pemberi fidusia. Bahkan, jaminan fidusia belum
ada pada saat eksekusi dilakukan.
Namun, karena ada keterlambatan angsuran, majelis kasasi menilai itu adalah
hubungan keperdataan berdasarkan perjanjian antara Puji dengan Adira. Sehingga
tidak ada sifat melawan hukum yang dilakukan debt collector yang melaksanakan
perintah Suryadi. Karena itu, persoalan kedua pihak adalah kewenangan hakim
perdata untuk memeriksa dan mengadili.
B. Analisis Kasus
Perbuatan para Debt Collector yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan
terkait dalam mengeksekusi benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut
adalah merupakan tindak pidana. Baik perusahaan Pembiayaan maupun Debt
Collector yang digunakan jasanya tidak berhak mengeksekusi barang tersebut secara
langsung tanpa adanya putusan Pengadila yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368 KUHPidana tersebut berbunyi :
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
4
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
Dalam kasus ini, jika kita melihat dari beberapa ciri-ciri fidusia sebagai berikut :
1. Sebagai Jaminan Pelunasan Hutang
Fidusia tidak menciptakan hak milik sebenarnya meskipun hak milik atas
benda berpindah kepada kreditur.Hak milik hanya terbatas sampa debitur melunasi
hutangnya kepada kreditur. Menurut pendapat modern, hak milik fidusia merupakan
hak milik terbatas sehingga hanya melahirkan hak jaminan dan bukan hak milik
sementara menurut pendapat zaman Romawi, fidusia melahirkan hak milik
didasarkan bahwa perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir, yakni hak
milik telah berpindah ketika telah terjadi levering atau penyerahan.
2. Constitutum Posessorium
Dalam perjanjian fidusia, benda tetap dikuasai debitur walapun hak milik atas
benda telah berpindah ke tangan kreditur.Hal ini berbeda dengan gadai dimana benda
harus dilepaskan dari kekuasaan debitur dan hak milik atas benda tersebut tetap
berada pada debitur.
Oleh karena itu, dalam fidusia dinamakan constitutum posessorium yaitu
penyerahan hak milik dengan melanjutkan penguasaan atas benda jaminan.
3. Droit de Preference
Terdapat dalam Pasal 27 UU Fidusia, yakni memberikan kedudukan yang
mendahului kepada kreditur penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.Dalam hal ini
penerima fidusia (kreditur) memiliki hak preferen, yaitu hak yang didahulukan
terhadap kreditur lainnya.Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia
(kreditur) untuk mengambil pelunasan piutangnya atau hasil eksekusi benda yang
menjadi objek jaminan fidusia. Akibatnya ia memiliki hak untuk menjual benda
fidusia sebagai jaminan pelunasan hutang debitur lebih dulu dari kreditur lainnya.
5
Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pada ciri-ciri diatas disebutkan bahwa hak yang didahulukan dihitung sejak
tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia pada Kantor
Pendaftaran Fidusia, namun pada kasus diatas disebutkan bahwa jaminan fidusia
baru didaftarkan setelah Puji melaporkan pada tanggal 1 April 2011.
Hal tersebut mengungkapkan bahwa masih terdapat banyak kekurangan atau
kelemahan dalam jaminan fidusia yang dituangkan dalam Undang-undang No.42
Tahun 99. Hal ini antara lain :
1. Tidak diatur jangka waktu pendaftaran akta jaminan fidusia.
2. Rawan terjadi fidusia ulang, dan berpotensi konflik karena tidak ada jangka
waktu pendaftaran.
3. Tidak ada sangsi yang tegas terhadap pengikatan jaminan fidusia yang
dilakukan dibawah tangan
4. Tidak ada sangsi yang tegas terhadap penggunaan kuasa jual yang jelasjelas bertentangan dengan cara-cara eksekusi sesuai UU No.42 Tahun 1999
sehingga berpotensi tidak memberikan rasa keadilan bagi debitur
5. Maraknya penggunaan kuasa menjaminkan secara di bawah tangan
berpotensi konflik juga mengingat terkait dengan keabsahan tanda tangan
dalm kuasa tersebu, kecuali dilegalisasi oleh notaris atau dibuat kuasa
notarial.
6. Kantor Pendaftaran Jaminan fidusia belum dibuka sampai ke pelosok-pelosok
wilayah Indonesia, karena kebanyakan konsumen perusahaan pembiayaan
banyak bertempat tinggal di pelosok-pelosok.
Dengan adanya kelemahan tersebut, maka pada tanggal 5 Maret 2013 telah
diberlakukan fidusia online, yaitu pendaftaran jaminan fidusia online oleh
KEMENKUMHAM RI. Di satu disi keberadaan fidusia online menciptakan
kemudahan dalam pendaftaran jaminan fidusia. Namun di sisi lain, karena hal
tersebut adalah inovasi baru, maka ada hal-hal yang masih perlu dikaji secara yuridis
agar akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris dapat dipertanggungjawabkan
sebagai alat bukti yang kuat dan sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan
eksekutorial.