Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

Suspek Hepatoma dengan Anemia Hipokromik Mikrositik


dan Sindrom Dispepsia

Oleh:
Puga Sharaz Wangi
I1A009032

Pembimbing:
dr. Enita Rakhmawati Kurniaatmaja M.Sc, Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Januari, 2014

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus

Suspek Hepatoma dengan Anemia Hipokromik Mikrositik


dan Sindrom Dispepsia

Oleh

Puga Sharaz Wangi

Pembimbing

dr. Enita Rakhmawati Kurniaatmaja M.Sc, Sp.PD

Banjarmasin, Januari 2014


Telah setuju diajukan

..

dr. Enita Rakhmawati Kurniaatmaja M.Sc, Sp.PD

Telah selesai dipresentasikan

dr. Enita Rakhmawati Kurniaatmaja M.Sc, Sp.PD

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................19
BAB IV PENUTUP...............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Hepatoma merupakan satu di antara jenis tumor yang paling sering


ditemukan dengan insidens dan mortalitas yang meningkat dalam tahun-tahun
terakhir. Hepatoma menempati urutan ketujuh dari kanker yang tersering dan
urutan yang keempat dari penyebab tersering kematian terkait kanker di seluruh
dunia.1 Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah
hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari
seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah
karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000
populasi.1
Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati. Hepatoma biasa dan
sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi
hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting
hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. Bayi dan anak kecil
yang terinfeksi virus ini lebih mempunyai kecenderungan menderita hepatitis
virus kronik daripada dewasa yang terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya.
Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Tampaknya virus ini
mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma.2
Pemeriksaan Alfa Feto Protein (AFP) sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis penyakit hepatoma ini. Penggunaan ultrasonografi (USG), Computed
Tomographic Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting

untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui ukuran tumor. Komplikasi yang


sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas,
ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.3
Kebanyakan pasien dengan hepatoma meninggal dalam waktu 1 tahun
setelah didiagnosis. Kelangsungan hidup tergantung pada ukuran tumor dan
penyakitnya saat didiagnosis. Pasien dengan sirosis memiliki kelangsungan hidup
yang lebih pendek. Penatalaksanaan secara bedah dapat menyembuhkan hanya
kurang dari 5% pasien. Penyebab kematian ialah perdarahan (varises,
intraperitoneal) dan cachexia.3
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 38 tahun
yang didiagnosis suspek hepatoma dengan anemia hipokromik mikrositik dan
sindrom dispepsia. Pasien dirawat dari tanggal 22 Desember 2013 sampai dengan
1 Januari 2014 sebagai pasien rawat titipan di ruang Anyelir (bangsal kulit
kelamin) RSUD Ulin Banjarmasin.

BAB II
LAPORAN KASUS

1.

2.

Identitas pasien
Nama

: Ny. N

Umur

: 38 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Banjar

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Bumipah, Aluh-aluh, Kabupaten Banjar, Kalsel

MRS

: 22 Desember 2013 pukul 13.30 WITA

RMK

: 1-08-07-73

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 Desember 2013.

3.2.I

KELUHAN UTAMA
Nyeri perut.

3.2,II RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien mengeluh nyeri perut sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya, nyeri perut dirasakan di daerah ulu
hati atau perut bagian atas, kemudian nyeri perut menyebar hingga ke
bagian bawah perut. Nyeri terasa seperti diremas-remas dan perih. Dari

skala 1-10, pasien mengaku nyeri yang dirasakannya bernilai 9 hingga 10.
Nyeri yang dirasakan muncul perlahan-lahan, kadang terasa kadang
menghilang (hilang timbul). Selain itu, pasien juga mnegeluh muntahmuntah, juga sejak 2 mingu sebelum masuk rumah sakit. Muntahan seperti
air dan encer, tidak ada darah dan tidak ada lendir. Nafsu makan pasien
juga menurun, namun pasien masih dapat minum. Tidak ada keluhan sesak
napas. Kentut dan buang air besar masih bisa dilakukan oleh pasien,
namun tinja yang keluar, menurut pasien, jadi sedikit dan warnanya msih
kuning seperti biasanya. Buang air kecil masih lancar. Pasien mengaku
tidak pernah mengonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama. Pasien
juga mengaku tidak pernah meminum minuman beralkohol. Karena
keluhan-keluhan yang dirasakannya, pasien dibawa ke puskesmas Aluhaluh. Dari puskesmas, pasien diberi obat suntik, namun nyeri yang
dirasakannya tidak berkurang. Dari puskesmas Aluh-aluh, pasien dirujuk
ke RS Ulin.
3.2.III RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat sakit kuning.
3.2.IV RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien mengaku di keluarganya tidak ada yang memiliki keluhan
serupa, tidak ada riwayat sakit kuning.

3.

Pemeriksaan fisik
KU

: tampak sakit sedang

Kesan gizi

: Kurang

Berat badan

: 40 kg

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 100/80 mmHg pada lengan kanan dengan

GCS

: 4-5-6

tensimeter aneroid
Laju nadi

: 90 kali/menit, kuat angkat, teratur

Laju nafas

: 18 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler)

: 36,8oC

Kepala dan leher


Kulit

: pigmentasi normal, tugor cepat kembali

Kepala

: normosefali

Leher

: pembesaran KGB (-/-), nyeri tekan (-/-),


JVP 5+5 cmH20

Mata

: konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga

: nyeri tekan (-/-) serumen minimal (-/-)

Hidung

: sekret (-/-)

Mulut

: mukosa lembap, ulkus (-)

Toraks
Paru

Ins

: dada datar, tarikan nafas simetris

Pal

: Fremitus vokal simetris

Per

: Suara perkusi sonor (+/+)

Aus : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)


Jantung

Ins

: Ictus cordis tidak terlihat

Pal

: Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula


sinistra, getaran/ thrill (-)

Per

: Suara perkusi pekak, batas kanan ICS IV linea


parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea
midclavicula sinistra

Aus : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar


suara bising
Abdomen
Inspeksi

: Cembung, sikatrik (-), venektasi (-), kaput


medusa (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Shifting dullness (-) undulasi (-)

Palpasi

: Turgor cepat kembali, nyeri tekan


+ + - - - - Hepar teraba 9 cm di bawah arcus costa, 5 cm di
bawah prosesus xypoideus. Konsistensi keras,
berdungkul-dungkul, tepi rata.
Lien membesar, Scuffner III

Eksremitas
Atas

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

4.

Pemeriksaan penunjang
Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Desember 2013
Pemeriksaan
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
MCV
MCH
MCHC
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
HbsAg

5.

Hasil

Referensi

9,3
10.300
3,89
27,9
316.000
14,7
71,8
23,9
33,3
103
374
76
35
0,6
Negatif

12,0-16,0
4.000-10.500
3,90-5,50
37,00 47,00
150.000-450.000
11,5 14,7
80,0-97,0
27,0-32,0
32,0-38,0
<200
0 - 46
0 45
10 - 50
0,6 1,2
Negatif <1,00
Positif > 1,00

Satuan
g/dL
/uL
juta/uL
vol%
/uL
%
Fl
Pg
%
mg/dl
U/I
U/I
mg/dl
mg/dl

Daftar masalah
Berdasarkan data-data di atas didapatkan beberapa daftar masalah:

6.

- Nyeri perut bagian kanan atas


- Hepatomegali
- Splenomegali
- Anemia hipokromik mikrositik
- Peningkatan transaminase
- Anoreksia
Rencana awal
1. Nyeri perut kanan atas, hepatomegali, peningkatan transaminase,
anoreksia
a. Assessment : 1. Suspek Hepatoma
b. Planning
: 1. Diagnostik : Laboratorium : cek liver function
test,

bilirubin

total/direk/indirek,

elektrolit, anti HIV, anti HAV, anti


HCV, AFT, LDH

10

Radiologi : USG abdomen, CT scan


abdomen dengan kontras
2. Terapetik

: IVFD RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul
PO Curcuma 3 x 1 tablet
Vitamin B6 B12 3 x 1 tablet

3. Monitoring : KU, subjektif, SGOT/SGPT, LFT


4. Edukasi

: Tirah baring, disiplin minum obat

2. Anemia hipokromik mikrositik


a. Assessment : 1. Anemia e.c. perdarahan
2. Anemia defisiensi besi
3. Anemia hemolitik
b. Planning

: 1. Diagnostik : cek kadar besi serum, MDT


2. Terapetik

: Transfusi PRC 1kolf

3. Monitoring : KU, tanda vital, kadar Hb


4. Edukasi

: Penjelasan

mengenai

keadaan

pasien ini, penanganan, prognosis

11

12

13

14

15

16

Tabel 2 . Hasil pemeriksaan USG tanggal 23 Desember 2013.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar & gallbladder

ukuran membesar, sudut tumpul, bilier tidak


melebar. Tampak massa solid hiperekhoik,
batas tegas, ukuran bervariasi, dengan area
nekrotik di dalamnya pada kedua liver.
normal
ukuran normal, tidak tampak ektasis/batu/kista
normal

Lien & pankreas


Ren dekstra et sinistra
Vesica urinaria
Asites (+)
Kesimpulan:

massa solid multipel dengan area nekrotik kedua liver, kesan


HCC, dengan asites

Tabel 3. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 Desember 2013

Pemeriksaan
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
MCV

Hasil

Referensi

9,4
11.100
3,88
27,7
305.000
12,5
71,5

12,0-16,0
4.000-10.500
3,90-5,50
37,00 47,00
150.000-450.000
11,5 14,7
80,0-97,0
17

Satuan
g/dL
/uL
juta/uL
vol%
/uL
%
fl

MCH
MCHC
GDS
LDH
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
SGOT
SGPT
Protein total
Albumin
Ureum
Kreatinin
AFP

24,2
33,9
101
8146
3,89
2,01
1,88
491
75
6,6
3,5
52
0,6
32,49

27,0-32,0
32,0-38,0
<200
225-450
0,20-1,20
0,00-0,40
0,20-0,60
0 - 46
0 45
6,2-8,0
3,5-5,5
10 - 50
0,6 1,2
< 5,80

pg
%
mg/dl
U/L
mg/dl
mg/dl
mg/dl
U/I
U/I
g/dL
g/dl
mg/dl
mg/dl
UI/ml

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri perut 2 minggu yang
awalnya dirasakan di perut bagian atas lalu menyebar hingga ke bagian bawah
perut, terasa diremas-remas dan perih, muncul perlahan-lahan, hilang timbul;
18

mual, muntah berupa air, tanpa darah dan tanpa lendir; dan penurunan nafsu
makan. Keluhan-keluhan pasien tersebut bersifat tidak khas dan pendekatan
diagnostik sementara berpusat pada kelainan gastrointestinal.
Nyeri perut merupakan variasi kondisi dari yang bersifat sangat ringan
sampai yang bersifat fatal. Dapat berasal dari nyeri viseral abdomen akibat
rangsang mekanik (seperti regangan atau spasme) atau kimiawi (seperti inflamasi
atau iskemia), yang bersifat tumpul, rasa terbakar dan samar batas lokasinya.
Sedangkan nyeri peritoneum parietal lebih bersifat tajam dan lokasinya lebih
jelas.4
Berdasarkan lokasi nyeri di abdomen, dapat diduga sumber nyerinya. Bila
dirasakan nyeri di regio epigastrium, dapat diduga sumber nyeri berasal dari
gaster, pankreas, atau duodenum. Bila nyeri dirasakan di regio kuadran kanan
atas, dapat diduga sumber nyeir berasal dari hati, duodenum, atau kandung
empedu. Bila nyeri dirasakan di kuadran kiri atas, dapat diduga nyeri berasal dari
pankreas, limpa, gaster, kolon, atau ginjal.4

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesan gizi pasien kurang dengan berat
badan 40 kg, tanda vital masih dalam batas normal, konjungtiva kedua mata
pucat, abdomen tampak cembung, tidak tampak venektasi; pada perkusi abdomen
ditemukan suara pekak pada regio hipokondrium kanan, regio epigastrium, regio
lumbal kanan dan regio umbilikus; shifting dullness (-), pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan dan regio epigastrium;

19

hepar teraba 9 cm di bawah arcus costae dan 5 cm di bawah prosesus xipoidehus,


dengan konsistensi keras, berdungkul-dungkul dan tepi rata; lien membesar
hingga sejuah Scuffner III. Dengan temuan hepatomegali dan hepar yang teraba
keras dan berdungkul-dungkul/berbenjol-benjol, maka pendekatan diagnostik
pasien ini kini lebih diarahkan pada penyakit hepatologi. Kemungkinan pasien ini
telah menderita sirosis hepatis atau hepatoma (karsinoma hepar).
Terdapat kriteria Soebandri diagnosis untuk sirosis hepatis, yaitu: 1)
spider nevi; 2) venektasi; 3) asites (dengan atau tanpa edema kaki); 4)
splenomegali;

5)

varises

esofagus

(hematemesis

melena);

6)

rasio

albumin:globulin terbalik; 7) palmar eritem. Bila ditemukan 5 dari 7 poin di atas,


maka diagnosis sirosis hepatis dapat ditegakkan secara klinis. pada pasien ini
hanya didapatkan 1 dari kriteria tersebut yaitu splenomegali, sehingga diagnosis
sirosis hepatis belum dapat ditegakkan secara klinis.5 Sedangkan untuk diagnosis
hepatoma masih memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lainnya.
Timbulnya hepatoma mungkin tidak terduga sampai terjadi penurunan
kondisi pasien sirosis yang sebelumnya stabil.6 Gejala pada pasien hepatoma
termasuk cachexia, nyeri pada perut, penurunan berat badan, kelemahan,
abdominal fullness dan bengkak, penyakit kuning, dan mual yang berhubungan
dengan gejala.6 Kemunculan asites, kemungkinan perdarahan, yang menunjukkan
trombosis vena portal atau hati dengan tumor atau pendarahan dari tumor
nekrotik.Perut bengkak terjadi sebagai akibat dari asites karena penyakit hati
kronis yang mendasarinya atau mungkin karena tumor yang berkembang dengan
pesat. Kadang-kadang, nekrosis pusat atau perdarahan akut ke dalam rongga

20

peritoneum menyebabkan kematian. Di negara-negara dengan program surveilans


aktif, hepatoma cenderung diidentifikasi pada tahap awal.7 Penyakit kuning
biasanya karena gangguan pada saluran intrahepatik oleh penyakit hati yang
mendasarinya. Hematemesis terjadi mungkin disebabkan karena adanya varises
oesophagus akibat hipertensi portal. Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien.
Pasien mungkin dapat tidak menunjukkan gejala.7
Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography
Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun
Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya HCC.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC.
Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.8
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan pembesaran hati yang lembut,
kadang-kadang dengan massa yang dapat di palpasi. Di Afrika, presentasi khas
pada pasien muda adalah massa yang berkembang pesat pada perut. Hepatomegali
adalah tanda dari fisik yang paling umum, terjadi pada 50-90% pasien. Bruit perut
dicatat dalam 6-25%, dan asites terjadi pada 30-60% pasien. Auskultasi mungkin
mengungkapkan bruit pada tumor atau friction rub ketika prosesnya telah meluas

21

ke permukaan hati.Ascites harus diperiksa oleh bagian sitologi. Splenomegali


terutama karena hipertensi portal. Berat badan dan wasting otot yang umum,
terutama dengan tumor yang tumbuh dengan cepat atau besar. Demam ditemukan
pada 10-50% pasien, dari penyebab yang tidak jelas. Tanda-tanda penyakit hati
kronis dapat hadir, termasuk sakit kuning, dilatasi vena abdomen, eritema palmar,
ginekomastia, atrofi testis, dan edema perifer.4
Pada pemeriksaan laboratorium saat pasien datang tanggal 22 Desember
2013, didapatkan kelainan berupa kadar hemoglobin yang rendah (9,3 gram/dl),
MCH dan MCV rendah (23,9 pg dan 71,8 fl), kadar SGOT dan SGPT yang
meningkat (374 dan 76 U/I) dan HbsAg negatif. Kadar Hb, MCH, dan MCV yang
rendah menunjukkan pasien menderita anemia hipokromik mikrositik yang dapat
disebabkan oleh defisiensi besi, malnutrisi atau penyakit kronis. Penyebab anemia
ini masih harus ditelusuri dengan pemeriksaan penunjang seperti morfologi darah
tepi atau pemeriksaan kadar besi serum.4
Selain itu didapatkan kadar SGOT dan SGPT meningkat, dengan SGOT
lebih

meningkat

dibandingkan

SGPT. Pemeriksaan

SGOT

dan

SGPT

berhubungan dengan kerusakan hepatoseluler. Apabila terjadi kerusakan


mitokondria atau kerusakan parenkim sel maka yang terlihat meninggi adalah
SGOT daripada SGPT. Peningkatan titer SGOT 8 kali lipat seperti pada pasien ini
dapat terjadi pada sirosis hepatis, hepatitis kronik, atau tumor hepar. Pemeriksaan
HBsAg menunjukkan hasil negatif, kemungkinan pasien memang tidak menderita
hepatitis kronik atau tidak terinfeksi virus hepatitis B, atau pasien pernah
terinfeksi dan sembuh. Sehingga untuk membuktikan apakah pasien menderita

22

hepatitis B kronik masih diperlukan pemeriksaan penunjang yang lain yaitu anti
HBs dan HbeAg. Sedangkan pada tumor hepar, titer SGOT dan SGPT pada
karsinoma hepatoseluler pada waktu permulaan biasanya tidak memperlihatkan
kenaikan kecuali apabila penyakit dasarnya adalah sirosis hati. Bila tumor
semakin besar dan kerusakan hati makin hebat dapat ditemukan peninggian SGOT
dan SGPT. Namun hal ini juga masih belum spesifik untuk tumor hepar, sehingga
diperlukan pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan alfa fetoprotein (AFP), alkali
fosfatase (ALP) dan gamma glutamil transferasi (gamma GT) dan USG.8
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh
sel hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60%70% dari pasien HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau
sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal juga dapat ditemukan juga pada
kehamilan. Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy
prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91%
dari pasien HCC, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lagi penanda HCC,
seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-L-fucosidase serum, dll, tetapi tidak
ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan
PIVKA-2.9
Pada tanggal 23 Desember 2013 dilakukan pemeriksaan USG abdomen
pada pasien dengan hasil ukuran membesar, sudut tumpul, tampak massa solid
hiperekhoik, batas tegas, ukuran bervariasi, dengan area nekrotik di dalamnya

23

pada kedua liver. Kesimpulan dari USG abdomen tersebut adalah massa solid
multipel dengan area nekrotik kedua liver, kesan HCC (hepatocellular
carcinoma), dengan asites. Hasil dari USG ini memperkuat dugaan diagnosis
hepatoma (karsinoma hepatoseluler). USG dapat sensitif dalam mendeteksi
hepatoma, dan tergantung dari operatornya, dapat mendeteksi lesi-lesi yang kecil.
Hepatoma dengan massa yang kecil dapat tampak hiperekhoik homogen, dan
dapat menyerupai hemangioma. Massa hepatoma yang kecil juga dapat tampak
hipoekhoik.

Massa

hepatoma

yang

besar

seringkali

bervariasi

dalam

ekhogenisitas. Masih diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk diagnosis


pasti, seperti pemeriksaan AFP dan FNAB.9
Pemeriksaan USG hati merupakan alat skrining yang sangat baik. Dua
karakteristik

kelainan

vaskular

berupa

hipervaskularisasi

massa

tumor

(neovaskularisasi) dan trombosis oleh invasi tumor. Perkembangan yang cepat


dari gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas.
Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur eko jaringan hati lebih mudah
dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal
maupun kelainan parenkim difus. Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering
diketemukan adanya hepar yang membesar, permukaan yang bergelombang dan
lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dengan parenkim
hati normal.9
Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap yang dapat
menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG
gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scan yang saat ini

24

teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi


apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scan, multislice yang sanggup
membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun
tidak terlewatkan. Untuk menentukan ukuran dan besar tumor, dan adanya invasi
vena portal secara akurat, CT / heliks trifasik scan perut dan panggul dengan
teknik bolus kontras secara cepat harus dilakukan untuk mendeteksi lesi vaskular
khas pada HCC. Invasi vena portal biasanya terdeteksi sebagai hambatan dan
ekspansi dari pembuluh darah. CT scan dada digunakan untuk menghilangkan
diagnosis adanya metastasis.9
Pada tanggal 24 Desember 2013 didapatkan hasil pemeriksaan
laboratorium

lagi,

yaitu

LDH

8146

U/L,

Bilirubin

total/direk/indirek

3,89/2,01/1,88 mg/dl; SGOT 491 U/L, SGPT 75 U/L, dan AFP 32,49 UI/ml.
Tingginya kadar LDH berdasarkan hasil pemeriksaan ini menunjukkan proses
inflamasi dan kerusakan jaringan yang sangat progresif pada pasien. Kadar
bilirubin total, direk, dan indirek yang meningkat tidak spesifik untuk penyakit
tertentu tetapi memperjelas adanya suatu gangguan di hepar yang menyebabkan
bilirubin tereksresi kembali ke dalam darah walaupun jumlahnya tidak terlalu
besar. Hasil yang penting di sini adalah kadar AFP yang tinggi, yaitu 32,49 UI/ml.
Naik 560% atau 5 kali lipat dari nilai normalnya. Alfa fetoprotein (AFP)
merupakan protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk
sacdan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Protein ini diekspresikan
dari pembelahan hepatosit dan sel oval peribilier sehingga biasanya dapat
ditemukan peningkatan sedang dari regenerasi hati. Peningkatan kadar AFP

25

hingga lebih dari 60-80% sangat sugestif untuk diagnosis hepatoma. Namun kadar
AFP pada tiap-tiap kasus yang dicurigai hepatoma dapat bervariasi pula. Sehingga
menurut studi terbaru, kombinasi pemeriksaan AFP, SGOT, SGPT dan HPSE
(heparanase) dapat meningkatkan nilai prediktif hepatoma hingga 96%.10
Karena penegakkan diagnosis pasti masih belum dapat dibuktikan, pasien
direncanakan untuk dilakukan FNAB (fine needle aspiration biopsy) dengan
bantuan USG (USG guiding) pada tanggal 28 Desember 2013. Namun, hingga
tanggal 1 Januari 2014 hal ini belum dapat dilakukan, diduga karena banyaknya
antrian pasien untuk pemeriksaan USG atau karena pasien sendiri yang belum
juga memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan.
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan
intravena ringer laktat, dan kemudian ditambah dengan pemberian larutan
intravena dekstrosa 5% untuk maintenance

kebutuhan cairan per hari dan

menambah asupan nutrisi untuk energi pasien. Injeksi ranitidin diberikan pada
pasien untuk mengurangi asam lambung atau dispepsia yang umum terjadi pada
pasien-pasien rawat inap lama.
Selain terapi suportif, pasien juga diberikan terapi simptomatik, berupa
injeksi ketorolak dan Profenid (ketoprofen) suppositoria sebagai analgesik untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan pasien, Curcuma (pulverised curcuma roots)
tablet dan Methioson (methionine 100 mg, choline bitartrate 100 mg, vit B1 2
mg, vit B2 2 mg, vit B6 HCl 2 mg, vit B12 0,67 mcg, vit E 3 mg, biotin 100 mcg,
pantothenate acid 3 mg, folic acid 400 mcg, nicotinamide 6mg) tablet sebagai
hepatoprotektor.

26

Karena pasien memiliki nilai Hb di bawah 10 g/dL, maka diberikan pula


transfusi PRC 1 kolf per hari untuk mengoreksi hal ini. Kemudian setelah
transfusi seharusnya dilakukan pemeriksaan darah rutin kembali untuk
mengetahui apakah nilai Hb setelah transfusi sudah meningkat atau belum.
Namun pada pasien ini, pemeriksaan darah rutin hanya dilakukan 2 kali yaitu
saaat masuk rumah sakit dan dua hari setelahnya. Kemungkinan tenaga medis
yang merawat pasien lupa untuk memeriksakan darah rutin pasien lagi atau
pemeriksaan darah rutin tidak dilakukan karena kondisi pasien dinilai dengan
pertimbangan penilaian klinis pasien pasca transfusi saja.
Pada pasien dalam kasus ini masih diperlukan beberapa tahapan diagnostik
lagi untuk memastikan diagnosis hepatoma, namun pasien memutuskan
menghentikan rawat inap atas permintaannya sendiri pada tanggal 2 Januari 2014.

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 38 tahun yang


didiagnosis suspek hepatoma dengan anemia hipokromik mikrositik dan sindrom
dispepsia Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan

laboratorium,

dan

pencitraan

27

melalui

USG.

Pasien

telah

ditatalaksana dengan terapi suportif dan simptomatik Setelah pasien dirawat


selama 9 hari dari tanggal 22 Desember 2013 sampai dengan 1 Januari 2014,
pasien memutuskan untuk menghentikan rawat inap atas permintaannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Seeff, L.B. Introduction: The burden of hepatocellular carcinoma.


Gastroenterology. 2004; 127(5): 1-4.

2.

Bartosch, B. Hepatitis B and C viruses and hepatocellular carcinoma. Viruses.


2010; 2: 1504-9.

3.

Befeler, A., Bisceglie, A. Hepatocellular carcinoma: diagnosis and treatment.


Gastroenterology. 2002; 122: 1609-19.

28

4.

Budihusada, U. Karsinoma Hati. Dalam: Aru, W, S., Bambang, S., Idrus, A.,
Marcellus, S.K., Siti, S., (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing, 2009; h: 310 - 16.

5.

Hillebrand, D.J., Sandowski, S.A., Hepatocellular carcinoma. Hepatobiliary


Disease. 2000; 2(1): 1-10

6.

Cormier, J.N., Thomas, K.T., Chari, R.S. Management of hepatocelluler


carcinoma. Journal of Gastrointestinal Surgery. 2006; 10(5): 761-80.

7.

Llovet, J.M., Fuster, J., Bruix, J. The Barcelona approach: diagnosis, staging,
and treatment of hepatocellular carcinoma. Liver Transplantation. 2004;
10(2): 115-120.

8.

Saffroy, R., Pham, P., Reffas, M. New perspectives and strategy research
biomarkers for hepatocellular carcinoma. Clinical Chemistry of Laboratory
Medicine. 2007; 45(9): 1169-79.

9.

Colli, A., Fraquelli, M., Casazza, G. Accuracy of ultrasonography, spiral CT,


magnetic resonance, and alpha-fetoprotein in diagnosing hepatocellular
carcinoma. American Journal of Gastroenterology. 2006; 101(3): 513-23.

10. Jelic,S., Sotiropoulos, G. Hepatocellular carcinoma: ESMO clinical practice


guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology. 2010;
21(5): 59-64.

29

Anda mungkin juga menyukai