Anda di halaman 1dari 7

ANALISA PERAMBATAN RETAK PADA PIPA BAWAH LAUT

AKIBAT STRESS CORROSION CRACKING DENGAN METODE NUMERIK


Putu Aditya Setiawan1, Murdjito2, Heri Supomo3
1
Mahasiswa Teknik Kelautan FTK-ITS
2
Staf Pengajar Teknik kelautan FTK-ITS
3
Staf Pengajar Teknik Perkapalan FTK-ITS
Abstrak
Dewasa ini perpipaan merupakan sarana transportasi fluida yang paling diminati dalam dunia industri minyak
dan gas. Akan tetapi permasalahan yang dialami dalam proses instalasi maupun perawatan pipa juga sangat
beragam, diantaranya adalah stress corrosion cracking (SCC) yang bisa menyebabkan kegagalan pada sistem
perpipaan dalam waktu yang sangat singkat. Berbagai penelitian dilakukan untuk memprediksi pengaruh SCC
terhadap umur pipa bawah laut, baik dengan uji fisik maupun dengan uji numerik. Penelitian ini menggunakan
metode numerik, yakni memprediksi umur operasi pipa dengan metode pendekatan matematis yang berdasar
pada parameter-parameter yang berkaitan dengan proses korosi dan retak. Laju korosi dan laju perambatan retak
dimodelkan secara non-linear, dengan berdasar pada kondisi lingkungan dan sifat material terhadap korosi dan
perlakuan panas. Model laju korosi berkaitan erat dengan nilai pH dan suhu, sedangkan model laju retak
dipengaruhi oleh stress intensity, fracture toughness, dan beberapa parameter lingkungan. Fast crack terjadi
pada +45% dari tebal pipa yang mengakibatkan umur pipa berkurang hingga 96% ketika perambatan retak telah
mencapai kondisi fast crack.
Kata Kunci : stress corrosion cracking, pipa bawah laut, laju korosi, laju retak, non-linear, fast crack,
perambatan retak.
1.

Pendahuluan

Pipa merupakan suatu teknologi dalam mengalirkan


fluida seperti minyak, gas atau air dalam jumlah besar
dan jarak yang jauh melalui laut atau daerah di lepas
pantai (Soegiono, 2007). Karena medan yang dilalui
oleh saluran pipa sangat beragam, yakni mulai dari
dalam laut, dataran rendah, lembah, dan di dalam
tanah, maka dalam pengoperasiannya akan banyak
ditemui berbagai macam persoalan, baik masalah
kelelahan (fatigue), korosi (corrosion), dan retak
(crack). Dari ketiga jenis permasalahan yang biasa
dialami pipa, maka korosi dan keretakan menjadi
persoalan yang sangat diperhatikan karena efek
lanjutan dari korosi dan retak ini bisa mengakibatkan
kebocoran dan ledakan yang sangat merugikan baik
dari segi struktur maupun ekonomis.
Korosi adalah permasalahan yang selalu timbul ketika
suatu material baik metal maupun non metal berada
pada lingkungan yang korosif. Sedangkan pada
pipabawah laut maka permasalahan korosi menjadi
sangat diperhatikan karena konfigurasi pipa yang

bermacam-macam dan lingkungan air laut yang sangat


korosif. Apabila korosi ini terjadi dan dipadukan
dengan adanya tegangan yang mengenainya (stress
atau strain) maka besar kemungkinan suatu pipa akan
mengalami keretakan (crack) yang akibatnya bisa
sangat berbahaya.
Adanya keretakan membuat kekuatan pipa berkurang,
penurunan kekuatan pipa sebanding dengan
penambahan panjang retak sampai pipa tidak mampu
lagi menahan beban yang diberikan fluida. Pada pipa
yang terpasang di dalam laut mempunyai peluang
terjadi retak (crack) yang besar. Hal ini bisa
disebabkan karena adanya beban arus (stress) maupun
karena adanya korosi yang diikuti dengan adanya
tekanan fluida pada pipa yang biasa disebut dengan
istilah Stress Corrosion Cracking (SCC).
2.

Korosi Retak Tegang

Stress Corrosion Cracking (SCC) adalah keretakan


akibat adanya tegangan dan media korosif secara

bersamaan (Supomo, 2003). SCC terjadi karena


adanya tiga kondisi yang saling berkaitan, yakni
adanya tegangan, lingkungan yang korosif, dan
temperatur yang tinggi. Secara real, kejadian SCC
sering terjadi pada peralatan perpipaan pada industri
minyak dan gas.

sempit dan sangat susah diprediksi. Sifatnya yang


menjalar ke arah kedalaman semakin memperparah
kondisi material yang telah terserang korosi lubang ini
(Davis, 2000). Sifat korosi lubang tidak menyebabkan
berkurangnya tebal material, akan tetapi merubah sifat
ulet material menjadi lebih getas dari sebelumnya.
Mekanisme kegagalan komponen logam akibat retak
yang terjadi karena adanya SCC terbagi menjadi dua
fase, yakni fase pemicuan dan fase penjalaran. Fase
pemicuan adalah fase ketika pembangkit tegangan
terbentuk. Pada fase ini terjadi serangan terhadap
bagian-bagian logam material yang bersifat anoda
sehingga mengakibatkan timbulnya cekukan atau
lubang. Ketika tegangan melebihi kekuatan luluh
material, maka material akan mengalami deformasi
plastik, yakni ikatan-ikatan pada struktur kristalnya
putus sehingga bentuk material berubah secara
permanen. Sedangkan pengertian fase penjalaran
adalah fase yang akhirnya menyebabkan kegagalan.
Pada fase penjalaran ini dikenal istilah retak awal dan
fase perambatan retak (Jones, 1992).

Tegangan

Media
Korosif

Temperatur
Tinggi

Gambar 1. Keterkaitan tiga kondisi penyebab SCC


(Falakh, 2010)
Stress corrosion bisa meningkat pada material yang
dimuati secara mekanis pada lingkungan yang korosif.
Permukaan material akan larut pada lokasi dimana
permukaan material tersebut mengalami tegangan
yang tinggi. Penyebab dari korosi tegangan ini antara
lain adalah beban/tegangan, kondisi elektro-kimia
yang sangat bervariasi, atau juga bisa karena aktifitas
mikrobiologi yang terdapat pada suatu material.
Beberapa interaksi ini menyebabkan beban mekanik
menjadi semakin berat pada permukaan suatu
material, dan akibatnya akan terbentuk lubang korosi
(korosi sumuran) yang merupakan awal dari
terbentuknya crack (keretakan) pada suatu material.
(NPL,2000)

3.

Pemodelan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur


operasi pipa terhadap stress corrosion cracking pada
kondisi lingkungan yang telah ditentukan yakni pH
sebesar 6.4 sedangkan suhu pipa mencapai 80 oC.
pemodelan awal yang dilakukan adalah mengetahui
tebal efektif pipa dengan perumusan yang dikeluarkan
ASME B31.8.

t =

PD
+C
2 SEFT

(1)

Dengan
P : Tekanan internal (880 Psi)
D : Diameter (20 Inch)
S : Yield strength (65,000 Psi)
E : Longitudinal joint factor (1)
F : Faktor desain (0.8)
T : Temperature derating factor (1)
C : Corrosion allowance (0.125 Inch)

Gambar 2. Korosi lubang


(corrosionclinic.com/pitting)
Proses retak awal pada material akan sangat
berbahaya ketika terjadi korosi lubang (pitting
corrosion) karena korosi ini terjadi pada celah yang

Hasil yang didapat adalah 0.2942 Inch. Hasil


perhitungan tebal pipa harus disesuaikan dengan code

(API 5L), dan didapat tebal efektif pipa adalah sebesar


0.312 Inch (7.8 mm).

Tabel 1. Hasil laju korosi pada API 5L x-65 pada


variasi pH
T (oC)
25
25
25
25
25

Pemodelan berikutnya adalah pipa 3D yang terkena


beban arus sebesar 0.7 knots menggunakan bantuan
software (Ansys 12). Hasil tekanan yang didapat dari
pemodelan pipa 3D pada Ansys adalah 0.0022 Psi.
Pemodelan berikutnya adalah memprediksi laju korosi
pada pipa akibat media korosif. Metode yang
digunakan adalah membandingkan hasil uji fisik pada
material yang sama dengan pendekatan matematika
yang didasarkan pada reaksi kimia yang terjadi pada
pipa. Reaksi pembentukan korosi pada pipa baja
karbon (API 5L x-65) akibat lingkungan H 2 S adalah
sebagai berikut:
Fe + 2H 2 S

FeS + H 2

pH
3.5
4
4.5
5
6

CR (mpy)
21.83
6.43
-

Tabel 2. Hasil laju korosi pada API 5L x-65 pada


variasi suhu
T (oC)
25
35
45
55
65

(2)

Hasil dari reaksi pada persamaan (1) adalah baja


karbon melepas ion pada daerah anodik, sedangkan
pada katodik terjadi evolusi hidrogen. Pendekatan
matematika yang dilakukan berdasar pada pendapat
Levenspiel, yakni:

W
d
A FeS
v=
= k H 2S
dt

t (jam)
6
6
6
6
6

t (jam)
6
6
6
6
6

pH
4.5
4.5
4.5
4.5
4.5

CR (mpy)
21.83
26.02
29.48

Berdasar pada tabel 1 dan 2 maka bisa diplotkan garis


linear pada grafik perbandingan nilai antara laju
korosi terhadap suhu dan pH.

(3)

Persamaan (3) menyebutkan bahwa berat material


yang hilang akibat korosi (loss of thickness) setara
dengan perubahan konsentrasi specimen pada
konstanta tertentu, nilai konstanta ini dikemukakan
oleh Vant hoff.

d (ln k )
Q
=
dT
RT 2

Gambar 3. Plot log CR terhadap 1/T


(4)

Gambar 3 didapat dari persamaan matematika berikut:

Persamaan (4) dimasukkan pada persamaan (3)


disatukan dengan melakukan pengintegralan terlebih
dahulu pada persamaan (4) sehingga didapat nilai k.
Hasil persamaan matematikanya adalah
W
d

Q
A FeS =
log
log k0 + n log H 2 S
dt
2,3RT

W
d

A FeS
d log
dt
Q = 2,3R
1

(5)

pH

(5)

Hasil nilai dari plot pada gambar 3 akan menghasilkan


nilai Q yakni sebesar 17.78 kkal/mol yang digunakan
dalam persamaan laju korosi. Selanjutnya adalah
membuat plot antara nilai log CR terhadap log pH
seperti pada gambar 4.

Persamaan (5) kemudian didiferensialkan terhadap


nilai log pH dan log T yang didapat dari uji fisik pada
material seperti pada tabel 1 dan 2.

Dan
a 12


2
3

W
a
a
a
a
f = 3 3.74 6.3 + 6.32 2.43
2
W
W
W
W
1 a
W

(9)

Dengan
P : Tekanan hoop
B: Ketebalan pipa memanjang
W: Ketebalan pipa
X: Jarak titik pusat ke r paling dalam
: Panjang retak awal
r1: Jarak titik pusat ke r paling dalam
r2: Jarak titik pusat ke r paling luar

Gambar 4. Plot log CR terhadap log pH


Gambar 4 didapat dari persamaan matematika berikut:

W
d

A FeS
d log
dt
n =
d log[H 2 S ]

Tekanan hoop didapat dari pengurangan tekanan


internal terhadap tekanan eksternal akibat arus laut
yakni 879.99 Psi . Sementara B diasumsikan 1 karena
analisa keretakan adalah ke arah ketebalan. Secara
dapat dilihat pada gambar 5.

(6)

Hasil yang didapat adalah nilai n yakni sebesar 0.59.


setelah nilai konstanta diketahui, maka persamaan laju
korosi pada pipa API 5L x-65 menjadi

v(mpy ) = 1.23 H 2 S

1.14

T 373
exp 5.96

373

(7)

Dengan
v
: Laju korosi (mils/day)
H 2 S : Komposisi H 2 S dalam larutan (ppm)
T : Suhu pipa

Gambar 5. Geometri retak awal pipa (Hetzberg, 1996)

4. Perhitungan Retak

Hasil SIF yang didapat pada retak awal ( = 0.1 mm)


adalah sebesar 2.30 Mpam. Berikut adalah hasil SIF
untuk variasi nilai .

Perhitungan retak pada pipa menggabungkan antara


kondisi liear elastik dan elatis plastik. Hal ini
disebabkan bahwa sifat asal material adalah linear
elastik, akan tetapi karena pengaruh suhu pada metrial
pipa menyebabkan sifat material berubah pada fase
penjalaran retak, sementara pada fase pemicuan sifat
material akan cederung linear elastik (Young, 2005).
Konsep keretakan seperti menyebabkan perambatan
retak tergantung pada besar nilai stress intensity factor
(SIF) pada pipa ditinjau dari panjang retakan yang
terjadi. Dalam bukunya, Heltzberg mengungkapkan
bahwa besar SIF pada pipa (hollow cylinder) adalah
sebagai berikut:
K=

P
BW

a
x
3 + 1.9 + 1.1
W
W

2
a r a

1 + 0.251 1 1 f

W r2 W

Tabel 3. Hasil SIF pada variasi


Nilai (mm)

Komponen
SIF
(Mpam

0.1

0.5

1.5

5.61

2.30

5.13

7.28

9.07

13

25.6

59.5

setelah mendapat hasil SIF, perhitungan selanjutnya


adalah menentukan fracture toughness pipa. Young
berasumsi bahwa besar fracture toughness pada
retakan tertentu sama dengan besar tegangan ijin
dikalikan factor geometri retakan.
K C = y a

(8)

(10)

Dengan
K c : Fracture toughness (Mpam)
y : Tegangan izin (Mpa)

Setalah melakukan meshing sensitivity analysis, hasil


yang didapat dari pemodelan Ansys menunjukkan
angka 9.0951 Mpa, atau mempunyai nilai error
sebesar 0.27%.

: Retak awal (mm)

Perhitungan rambat retak pipa mempertimbangkan


faktor lingkungan yakni suhu, konstanta gas, dan
energi aktivasi, oleh karena itu sifat rambat retak pada
pipa cenderung ke arah elatis plastis. Cepat rambat
retak pada pipa akan bertambah seiring dengan
bertambahnya retakan, dan akan menjadi sangat cepat
ketika retakan telah mencapai zona plastis SCC.

Hasil fracture toughness yang didapat untuk masingmasing panjang retak awal sesuai kondisi pada SIF
adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Fracture toughness pada variasi
Nilai (mm)

Komponen
KC
(Mpam

0.1

0.5

1.5

5.61

7.94

17.8

25.1

30.7

35.5

50.2

59.5

Secara umum persamaan rambat retak pada SCC bisa


dituliskan sebagai berikut:

Melihat pada tabel 3 dan 4, maka dapat diketahui


panjang retak kritis adalah 5.6145 mm karena harga
SIF sama dengan harga fracture toughness. Dalam
penelitiannnya, Young, Wilkening, Morton, Richey
dan Lewis mengungkapkan bahwa panjang daerah
plastis pada material yang diserang SCC sama dengan
2 kali panjang daerah plastis pada kondisi tanpa SCC
(pengaruh suhu dan korosi). Sehingga dari data pada
tabel 3 dan 4 maka dapat diambil kesimpulan bahwa
panjang retak kritis material pada kasus SCC adalah
sebesar.

da
m
= C (K a K SCC )
dt
Dengan
a=

(11)

C = Konstanta material
K = SIF pada (Mpam)
K SCC = SIF pada c (Mpam)
m = Bulging factor
Sedangkan bulging factor adalah perbandingan antara
SIF lengkung terhadap SIF datar, persamaan
penyelesainnya adalah

a pSCC = (7.8 5.6145) * 2

2a
m( a) = 1 + 0.314
Rt
Dengan

= 4.317 mm

Guna verifikasi hasil digunakan juga pemodelan


menggunakan software (Ansys), pemodelan di Ansys
dilakukan pada = 1.5 mm. Menggunakan pemodelan
2D dengan mengambil bagian lokal dari retakan.
Gambar geometri model dan meshing terlihat pada
gambar 6.

2a
0.00084

Rt

(12)

R = Jari-jari pipa (mm)


t = Ketebalan pipa (mm)
= Panjang retak (mm)
Akan tetapi karena ada pengaruh suhu dan korosi,
maka digunakan persamaan Arrhenius.

Qapp

a A0 exp
(13)

RT
Dengan
A 0 = Pre-exponential number (1021)
R = Konstanta gas (8.31 J/mol)
Q = Energi aktivasi (17.78 kkal/mol)
T = Suhu (80 oC)
Young, Wilkening, Morton, Richey, dan Lewis
menambahkan bahwa komposisi energi yang
dikeluarkan pada proses retak karena SCC

Gambar 6. Meshing pada model pipa

Berdasar pada tabel (6), dapat dilihat bahwa umur


pipa bertambah seiring dengan bertambahnya tebal
pipa. Penambahan ketebalan 0.2 meter pada pipa
memberikan penambahan umur operasi pipa hingga
9%. Berikut adalah grafik perbandingan laju korosi
pada t=7.8 mm dan t= 8 mm.

mempunyai harga yang identik dengan nilai K pada


retakan tertentu. Energi retakan akan menjadi sangat
besar ketika mencapai titik plastis.

J a = K a < K SCC ; J ac = K ac K SCC

(14)

Nilai energi yang dilepas pada proses SCC untuk


menahan retakan setara dengan jumlah fracture
toughness pada fase retakan tertentu.

J SCC = J C = K C = K SCC

(15)

Berdasar pada persamaan 13, 14, dan 15, maka


persamaan penyelesaian untuk menghitung laju
rambat retak adalah
Qapp
K
da

a=
= A0 C a . exp
(16)

dt
K SCC
RT
Hasil yang didapat dari perhitungan laju rambat retak
pada pipa dengan menggunakan persamaan (16)
adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Umur operasi pipa pada variasi , t=7.8 mm
m

(mm) CR (mmpy)
0.1
0.069
0.5
0.069
1
0.069
2
0.069
3
0.069
4
0.069
5
0.069

Gambar 7. Grafik crack growth rate pada pipa


Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan
hasil perhitungan laju retak pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Diantara penelitian yang dijadikan bahan
pembanding adalah penelitian Falakh pada tahun
2009. Penelitian Falakh dilakukan pada material yang
mempunyai tegangan ijin sebesar 35000 Psi dan
kandungan H 2 S mencapai 1% pada retak awal = 2
mm. Berikut adalah plot titik untuk model laju retak
dan penelitian Falakh.

CGR (mmpd) PCT (Th) RCT (Th)


0.000234485
22
50
0.001296567
7
14
0.002715251
3
7
0.006366758
<2
3
0.013487598
<1
1
0.033745123
0.121279639
-

Keterangan :
PCT = plastic crack time (waktu terjadi fast crack)
RCT = real crack time (waktu terjadi real crack)
CR= corrosion rate (milimeter per year)
CGR= crack growth rate (milimeter per day)

Pada tabel (5) merupakan hasil perhitungan laju retak


rambat pada tebal 7.8 mm dengan memperhatikan
variasi nilai . Selain analisa pada t efektif,
perhitungan juga dilakukan pada t real, yakni sebesar
8 mm. berikut hasil perhitungan umur operasi pipa t=8
mm.
Tabel 6. Umur operasi pipa pada variasi , t=8 mm
(mm) CR (mmpy)
0.1
0.069
0.5
0.069
1
0.069
2
0.069
3
0.069
4
0.069
5
0.069

Gambar 4.18. Verifikasi prediksi retakan dengan


retakan Falakh (2009)

CGR (mmpd) PCT (Th) RCT (Th)


0.000214947
24
53
0.002599139
7
15
0.004083198
3
8
0.00585776
<2
3
0.012102556
<1
1
0.028903766
0.095423397
-

5. Kesimpulan
Penelitian mengenai perambatan retak pada pipa
bawah laut akibat SCC memberikan kesimpulan
bahwa laju korosi internal pada pipa bawah laut

bergantung pada harga pH dan T, terbukti dari


persamaan penyelesaian yang didapatkan yakni

Cozelj L, Mavko B, Riesch-oppermann H, BriickerFoit A, 1995, Propagation of Stress Corrosion


Crack in Steam Generator Tubes, International
Journal of Pressure Vessel and Piping 62
(1995) 000-000

T 373
exp 5.96

373

Sedangkan harga SIF pada pipa t=8 mm ketika terjadi


retak awal 0.1 mm, 0.5 mm, 1 mm, 1.5 mm, 2 mm, 4
mm, dan 5.843 mm berturut-turut adalah 2.62, 5.83,
8.28, 10.29, 12.33, 23.74, dan 60.71 dalam satuan
Mpam. Fast crack pada pipa t=7.8 mm terjadi pada
=3.483 mm sedangkan pada pipa t=8 mm fast crack
v(mpy ) = 1.23 H 2 S

1.14

API Specification 5L, 2000, Specification for Line


Pipe Forty-Second Edition. Washington D.C
Supomo, Heri, 2003, Buku Ajar Korosi, Jurusan
Teknik Perkapalan FTK-ITS, Surabaya.

terjadi pada =3.686 mm. Laju retakan berbentuk


non-linear dengan umur operasi pipa pada t=0.1 mm
mencapai 24 tahun.

Levenspiel O, 1999, Chemical Reaction Engineering


Third Edition, New York : John Wiley & Sons
Jones, R. H, 1992, Stress-Corrosion Cracking, USA :
ASM International

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir.
Murdjito, M.Sc. Eng dan Bapak Ir. Heri Supomo,
M.Sc selaku dosen pembimbing dalam penelitian
tentang analisa perambatan retak pada pipa bawah laut
akibat SCC.

Davis, J.R, 2000, Corrosion : Understanding The


Basic, Ohio : ASM International
Anderson, T.L, 1994, Fracture Mechanics :
Fundamental and Application, Texas : CRC
Press

Daftar Pustaka

Bai. Y, 2001, Pipelines and Risers, Norway :


Stavanger University College

Hertzberg R, 1996, Deformation and Fracture


Mechanics of Engineering Materials, New
York : John Wiley and Sons

Chakrabarti, S.K, 2005, Handbook of Offshore


Engineering volume I, Illinois USA

Broek, D, 1989, Elementary Engineering Fracture


Mechanics, USA: Kluwer Academic Publisher

Pudji T, Piping Component, Universitas Mercubuana


B.R.D. Gerus, 1974, Detection and Mitigation of
Weight Loss Corrosion in Sour Gas Gathering
System, Shell Canada Ltd

Yoda, M., 1980, The J-integral fracture toughness for


Mode II, International Journal of Fracture,
16(4), pp. R175-R178

Al Awadi K, 2006, Assessments of Pipelines Defects

Leung A.Y.T. & Hu J.D, 1997, Mode II Stress


Intensity Factor for a Circular Ring or a Hollow
Cylinder with a Radial Crack, International
Journal of Pressure Vessel and Piping 72
(1997) 149-156

Patricio M & Mattheij M.A.A, 2000, Crack


Propagation Analysis
Phan, A.V, 2005, 2-D Fracture Analysis, University
of South Alabama

Young G, Wilkening W, Morton D, Richey E, Lewis


N, 2005, The Mechanism and Modelling of
Intergranular Stress Corrosion Cracking of
Nickel-Chromium-Iron Alloys Exposed to High
Purity Water, The minerals, Metals, and
Materials Society

Arrhenius S, 1997, Arrhenius Equations, IUPAC


Compendium of Chemical Terminology
Soegiono, 2007, Pipa Laut, Surabaya: Airlangga
University Press

Anda mungkin juga menyukai