Anda di halaman 1dari 7

EFEK JERA EKSEKUSI MATI

Oleh : dr. Ratna Dewi Pangestuti, M.Sc., Sp.KJ


Pro kontra tentang eksekusi bagi pelaku kejahatan masih menjadi perdebatan
hingga kini.
Hukuman mati suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa
pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan aras seorang akibat
perbuatannya. Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara,
termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya
dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika
Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:

Hukuman pancung : hukuman dengan cara potong kepala


Sengatan listrik : hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian

dialiri listrik bertegangan tinggi


Hukuman gantung : hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
Suntik mati : hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
Hukuman temabak : hukuman dengan cara menembak jantung sesorang,
biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak

melihat
Rajam : hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
Hingga juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik

hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di


dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah
menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah
menghapuskan

mati

untuk

seluruh

kategori

kejahatan,

11negara

menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30


negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati,
dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadapan
hukuman mati.
Hingga beberapa akhir bulan lalu, sejumlah terpidana mati tahap dua
dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Diantaranya, duo Bali
Ninde, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Dua warganegara Australia itu

terbukti menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram ke Indonesia. Secara


hukum, Bandar narkoba layak untuk dijatuhi hukuman berat. Pro kontra pun
terjadi. Ada yang tidak menyetujui tentang hukuman mati, khususnya dari
pihak penggiat HAM, karena dianggapnya mencederai hak hidup seseorang.
Sementara dari pihak BNN, menyatakan sah-sah saja. Dengan alasan untuk
memberikan efek jera, dan itu didasari oleh putusan pengadilan, bukan
putusan perseorangan. Namun, kali ini kita tidak akan membahas eksekusi
mati untuk para bandar narkoba saja, namun juga akan membahas eksekusi
mati untuk terorisme.
Memang, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa fungsi dilakukannya
hukman adalah sebgai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati dan siapa
yang melanggar diberi sanksi hukuman sehingga terwujudnya rasa
kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. Percumalah aturan dibuat bila
tidak ada sanksi yang diterapkan bila aturan itu dilanggar karena tidak ada
efek jera atau pengaruh bagi si pelanggar aturan tersebut. Sehingga tak asing
lagi kalau sebagian masyaraka sangat yakin kalau hukuman mati sangat
diperlukan karena selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang
lain untuk tidak melakukan pelanggaran, juga dapat memberikan rasa aman
dan terlindung bagi setiap orang. Sesuai dengan pasal 28 G UUD 1945 yang
berbunyi setiap orang berhak atas perlindungan. Bagaiman mungkin rasa
aman dan terlindung itu dapat terjadi, bila si pelaku kejahatan tersebut masih
diberi kesempatan di dunia ini. Selain itu, dukungan hukuman mati mayoritas
didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis
akan mencegah banyak orang membunuh karena gentar akan hukuman yang
sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat jera dan bisa juga
membunuh lagi jika tidak jera, pada hukman mati penjahat pasti tidak akan
bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya
memelihata kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku
kejahatan yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya
hukuman. Seeringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi
kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban
sendiri, keluarga, kerabat, ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.

Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku, tentu
vonis bisa dirubah dengan prasyarat yang jelas.
Namun, perlu kita ketahui juga, sampai sekarang ini tidak ada efek jera
huukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan (Pengacara Senior
Todung Mulya Lubis, tribunnews.com), seperti yang dikatakan oleh Jeffrey A.
Fagan. Professor of Law School (www.law.columbia.edu). Ia berpendapat
bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan hukuman mati menimbulkan
efek jera terhadap pelaku contohnya kejahatan narkotika. Selain itu, studi
ilmiah secara konsisten juga gagal menunjukkan adanya bukti meyakinkan
bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman
lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan
antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan,
praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam
meberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Oleh karena itu, pada artikel ini, kami akan membahas pro kontra
efek sebenarnya dari eksekusi mati yang sempat menjadi trending topic
beberapa waktu lalu.
PRO
...Dalam Working Group on Penalties di Roma (16 Juili 1998), Lawrence
Maharaj (The Attorney General of Trinidad and Tobago) menyatakan, We
want to make it quite clear that we do not consider the death penalty to be ah
human right issue. hhtp://hukum.kompasiana.com/2015/03/05/berbagaipandangan-mengenai-hukuman-mati-705182.html
Beberapa profesional mengatakan bahwa hukuman mati pantas diberikan
kepada teroris karena si pelaku ini selain telah melanggar hak hidup dan juga
hak atas perlindungan setiap orang, juga telah mengganggu keamanan,
ekonomi, pariwisatan serta mengganggu dan mengancam stabilitas negara
yang berdampak luas bagi masyarakat.
Dari data yang didapatkan 5 peristiwa besar terorisme di Indonesia dari
tahun 2002 yaitu : Bom Bali 2002, JW Marriot, Kedubes Australia, Bom Bali
2005, Bom Cirebon 2011. Telah menewaskan 248 jiwa dan 486 orang lukaluka. Sangatlah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang teroris

yang telah membunuh ratusan jiwa orang. Agar tidak terjadi korban-korban
lagi, pelaku harus di hukum mati dan harus dicari otak dan permasalahan ini
agar tindakan-tindakan seperti ini tidak terjadi lagi. Sehingga dapat tercipta
yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28 G dan juga dapat melindungi
masyarakat luas.
Bahkan Ketua Sub Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati Soegondo berpendapat bahwa
hukuman mati sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sehingga dengan
sangat jelas hukuman mati dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan
konstitusi. Dan perlu diketahui oleh kita bersama. Hukuman mati
dimaksudkan bukan hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku, tapi juga
untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat tidak
melakukan tindak kejahatan.
Beralih ke USA, penelitian lain yang dilakukan Eric G. Lambert et al
dengan responden kaum muda, yakni para mahasiswa lintas warna kulit di
berbagai universitas di negara bagian Michigan, AS juga menghasilkan
dukungan yang tinggi terhadap dipertahankannya hukuman mati. Sebanyak
62% responden penelitian mendukung hukuman mati diteruskan dan 12%
tidak bersikap.
Angka yang tercatat pada the Death Penalty Information Center, USA
menunjukkan bahwa sampai tahun 2011 masih sekitar 65% responden
penelitian di AS yang mewakili masyarakat dari berbagai strata sosial, warna
kulit dan agama mendukung hukuman mati tetap dipertahankan. Di beberapa
negara bagian AS dimana angka kejahatan tinggi dan hukuman mati sering
dijatuhkan, maka tingkat dukungan masyarakatnya cenderung lebi tinggi lagi.
Penelitian oleh Scott Vollum et al pada tahun 2009 di Texas dan California
menghasilkan dukungan 72,6% dan responden yang dimintai pendapatnya
tentang hukuman mati. Tingginya dukungan publik dalam mempertahankan
hukuman mati untuk kasus kasus pembunuhan dengan pemberatan diakui
sebagai alasan utama mengapa para pembentuk undang-undang tetap
mempertahankan hukuman mati sebagai bagian dari kebajikan koreksi

(correctional policy) terhadap kejahatan dalam sistem hukum dan peradilan di


AS ( Diana Falco & Tina Fruiburger, 2011).
Maka dari itu, secara garis besar, dapat disimpulkan : Negatif bila
hukuman mati dihapus:
1. Kejahatan akan meningkat karena tidak takut dijatuhi hukuman yang
berat.
2. Biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk hukuman penjara seumur
hidup.
3. Akan ada rasa tidak aman dalam hidup rakyat karena takut akan
penjahat yang berkeliaran diantara mereka.
4. Keadilan tidak diterapkan dengan baik karena tidak ada pembalasan
yang setimpal bagi kejahatan berat seperti pembunuhan.
Positif bila hukuman mati tetap dijalankan:
1. Kejahatan yang tidak dapat ditoleransi dengan uang atau apapun di
dunia ini bisa terbalaskan.
2. Mencegah banyak orang untuk membunuh atau berbuat kejahatan
berat lainnya karena gentar akan hukuman yang sangat berat.
3. Pembunuh yang sudah dieksekusi bisa dipastikan tidak membunuh lagi
sehingga tidak memakan korban lainnya.
4. Menegakkan harga nyawa manusia mahal dan hanya bisa dibayar
dengan nyawa sehingga seseorang tidak dapat seenaknya membunuh
orang lain.
5. Kebencian dan rasa takut terhadap pelaku kejahatan akan hilang karena
penjahat telah dieksekusi.
6. Biaya yang dikeluarkan lebih sedikit daripada hukuman penjara
seumur hidup.
7. Penyelidikkan akan kasus akan lebih teliti karena tidak mau salah
eksekusi.

KONTRA
... Pertama, yaitu abolisionisme yaitu sebuah pandangan yang menyatakan
bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak paling mendasar dari setiap

inidvidu yakni hak untuk hidup. Menurut pandangan ini, hukuman mati sama
dengan tindakan inhuman (bengis, keji), degrading (penistaan), dan killing
(pembunuhan). Pandangan ini adalah pandangan mayoritas dianut oleh negaranegara di dunia. http://hukum.kompasiana.com/2015/03/05/berbagai-pandanganmengenai-hukuman-mati-705182.html
Seperti yang sudah dicantumkan sebelumnya, perlu kita ketahui bersama
sampai sekarang ini tidak ada yang bisa membuktikan kalau efek jera dari
hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan (Pengacara senior Todung
Mulya Lubis, tribunnews.com), atau seperti yang di katakan oleh Jeffrey A.
Fagan. Professor of Law and Public Health dari Columbia Law School, bahwa
tidak ada bukit ilmiah yang menyatakan hukuman mati menimbulkan efek jera
terhadap pelaku contohnya kejahatan narkotika. Terlihat jelas di Indonesia yang
juga menerapkan hukuman mati pada para tindak kejahatan narkotika seperti yang
tertera pada UU NOMOR 22 TAHUN 1997.
Sebuah penelitian yang dilakukan RM. B. Hanindya Mahendhrata, yang
berjudul Analisis Mengenai Eksistensi Pidana Mati Di Indonesia (Suatu Kajian
Masyarakat), menyatakan bahwa, dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa
sudah banyak terbukti, dimana dampak-dampak psikologis suatu eksekusi pidana
mati tidak ada satupun dampak piskologis positif di antara semuanya itu.
Hukuman mati tidak pernah terbukti mampu mengembalikan keadaan yang
terganggu akibat suatu kejahatan. Dengan diterapkannya pidana mati, efek jera
jelas tidak terwujud, karena hingga saat ini masih banyak saja kejahatan serupa,
yang diancam dengan pidana mati tetap terjadi. Apabila negara tidak menghormati
nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa
seseorang, maka ada kemungkinan besar akan berkurang pulalah hormat orang
pada nyawa lagi, perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing-mancing
suatu penyusulan terhadapnya.
Selain itu, hukuman mati tidak akan membuat masalah yang dibuatnya
kembali menjadi normal kembali. Masih banyak cara untuk menjatuhkan
hukuman kepada pelaku kejahatan ini misalnya hukuman seumur hidup, atau
bahkan hukuman kumulatif hingga ratusan tahun seperti yang dilakukan di banyak
negara contohnya Amerika. Dan bukan dengan untuk mengambil hak hidup

mereka karena itu menentang Pasal 28 A UUD 1945 yang menjelaskan Setiap
orang berhak untuk hidup dan kehidupannya. Dan juga bertentangan dengan
Deklarasi Universal of Human Rights.

Anda mungkin juga menyukai