Anda di halaman 1dari 18

Appendicitis during Pregnancy: The

Clinical Experience of
a Secondary Hospital
Soo Jung Jung, Do Kyung Lee, Jun Hyun Kim, Pil Sung Kong, Kyung
Ha Kim, Sung Woo Bae1
Department of Surgery, Busan St. Marys Medical Center, Busan,

Department of

Surgery, Good Moonhwa Hospital, Busan, Korea

Tujuan Appendisitis adalah kondisi paling umum yang menyebabkan operasi


intra-abdominal untuk masalah diluar kehamilan pada orang hamil. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguji pengalaman kami dan menganalisis
karakteristik klinis dan hasil klinis pada kehamilan dengan appendisitis yang
dilaporkan di korea.
Metode Kami melaporkan 25 kasus appendisitis pada kehamilan yang dirawat di
good moon huwa hospital dari Januari 2004 sampai maret 2010. Kami juga
menganalisis appendisitis pada kehamilan melalui laporan jurnal yang dilaporkan
dikorea antara tahun 1970 sampai 2008.
Hasil Kejadian appendisitis akut pada kehamilan adalah 1/568 kelahiran. Ratarata usia adalah 27,92 tahun, usia kehamilan saat pertama kali ditemukan gejala
adalah 10 pasien pada trimester pertama (40%), 14 pasien pada trimester kedua
(56%) dan 1 pasien pada trimester ketiga (4%). Dari 25 kasus, 21 diterapi dengan
open appendectomy dan 4 dengan laparoskopi appendectomy. Komplikasi post
operasi ditemukan 2 dengan infeksi luka post operasi dan satu dengan aborsi
spontan.
Kesimpulan Pengalaman kami menunjukkan operasi appendisitis pada pasien
hamil bisa sukses dilakukan di RS kelas dua.

INTRODUCTION
Appendicitis adalah salah satu kondisi paling sering yang membutuhkan
laparotomi selama kehamilan untuk penyakit non obstetric dan ditemukan pada
1:1500 kehamilan. Karena posisi dari appendix berubah seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan dan karena gejala pada kehamilan juga bervariasi,
diagnosis dari appendisitis pada kehamilan sulit ditegakkan. Diagnosis dan terapi
yang tertunda akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi, dimana bisa
menyebabkan kegawatan pada ibu dan janin. Untuk mengurangi resiko tersebut,
diagnosis dan terapi secara dini sangat penting untuk dilakukan. Kebanyakan dari
literatur korea yang membahas tentang appendicitis pada kehamilan dilaporkan
oleh tersier hospital seperti pada rumah sakit pendidikan. Untuk itu kami
melaporkan, serta dibantu dengan kajian literatur, 25 kasus pada kehamilan yang
diterapi di RS kelas dua kami. Melalui laporan ini kami akan membuktikan bahwa
operasi appendicitis pada kehamilan mungkin untuk dilakukan di RS kelas dua
dengan hasil yang sangat baik. Dan kami akan membahas tentang hal yang
berguna untuk menegakkan diagnosis dan tehnik operasi. Seperti halnya
menyediaan review lieratur untuk mengidentifikasi kemungkinan pengembangan
di masa mendatang.
METODE
Dari total 25 wanita hamil yang menjalani operasi appendectomy yang
dilakukan oleh dua ahli bedah dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi dan hasilnya positip appendicitis di RS moon huwa antara januari
2004 - maret 2010 kemudian diseleksi untuk mengikuti penelitian retrospective
yang dilakukan melalui rekam medik dan wawancara via telepon. Korean jurnal
yang dipublikasikan oleh asosiasi akademik kemudian di pilih dari hasil pencarian
diinternet mengenai appendicitis pada kehamilan yang dipublikasikan oleh

asosiasi akademik korea ditemukan 425 kasus appendicitis pada kehamilan yang
dilaporkn pada 14 artikel ilmiah yang dipublikasikan dari 1970-2008. Dalam
jurnal tersebut dibahas mengenai literatur review, info pasien termasuk usia,
kehamilan yang keberapa, usia kehamilan, waktu yang diperlukan dari awal
muncul gejala sampe dilakukan operasi. Manifestasi klinik dan hasil pemeriksaan
fisik yang ditemukan: suhu tubuh, jumlah leukosit, ratio neutrofil, posisi appendix
saat dilakuan operasi, masa perwatan di RS, penemuan histopatologi, komplikasi
post operasi dan hasil kelahirannya. Semua dianalisis dan dikategorikan : usia
kehamilan dibagi menjadi 3 : 0-14 minggu (trimester 1), 15-28 mnggu (trimester
2), dan 29 mingggu keatas (trimester 3).

HASIL
Dari total 25 pasien yang melakukan pembedahan setelah di diagnosis dengan
appendicitis akut total kelahiran ada 14,203 selama periode waktu penelitian. Akut
appendicitis mengenai satu dari setiap 568 kehamilan. Usia rata-rata pasien adalah
27,92 tahun ( antara 19-38 tahun) dan satu pasien berusia lebih muda dari 20
tahun (4%); usia dari 4 pasien antara 20-24 (16%) 13 pasien berusia 25-29 (52%),
3 pasien berumur antara 30-34 tahun (12%) dan 4 pasien berumur 35 tahun keatas
(16%). jumlah primipara 12 pasien (48%) dan multipara 13 (52%). Menurut usia
kehamilan 10 pasien pada trimester 1 (40%) 14 pasien pada trimester kedua (56%)
1 pasien pada trimester ketiga kehamilan (4%). Tujuh belas pasien menjalani
operasi dalam 24 jam pertama dari onset gejala (68%) 4 pasien dalam 48 jam
setelah muncul gejala (16%) dan 4 pasien setelah lebih dari 48 jam (16%).
Nyeri abdominal dilaporkan pada semua kasus, nausea dilaporkan pada 16
kasus (64%) dan muntah-muntah dalam 9 kasus (36%). Pada pengukuran suhu
melalui aksila 19 pasien dibawah 37,30C (76%) dan 6 pasien 370C atau lebih
(24%). Untuk nyeri tekan dan nyeri tekan lepas dilaporkan pada semua kasus,

lokasi nyeri tekannya diaporkan 17 kasus dititik Mc Burney (68%) pada 7 kasus
didaerah umbilical sebelah kanan (28%) dan pada satu kasus perut kanan atas
(4%). Menurut jumlah leukositnya 6 kasus (24%) menunjukkan kurang dari
10.000mm3 dan 12 kasus (48%) antara 10.000-15.000mm3, 6 kasus (24%) 1500020000mm3 dan satu kasus (4%) lebih dari 20000mm3. Pada ratio neutrofil, 8
kasus (32%) menunjukkan kurang dari (70%) dan 17 kasus (68%) menunjukkan
(70%) atau lebih.
Untuk diagnosis appendicitis, USG dilakukan pada semua kasus. Anestesi
general juga dilakukan pada semua kasus. Laparotomi dilakukan pada 21 kasus
(84%), sedang laparoskopi dilakukan pada 4 kasus (16%). Dari 21 pasien yang
menjalani laparotomi insisi Mc Burney diakukan pada 10 pasien, sedangkan insisi
transversal 11 pasien. posisi appendix berada pada kanan bawah abdomen 18
kasu, pada area umbilical kanan 6 kasus, dan pada abdomen kanan atas 1 kasus.
Hasil histopatologi menunjukkan appendicitis supuratif pada 24 kasus (96%) dan
gangren pada 1 kasus (4%). Tidak dilaporkan adanya kematian pada ibu. Pada
kelompok laparotomi dilaporkan terdapat 2 kasus dengan infeksi luka post
operasi. Tapi tidak ditemukan komplikasi pada kelompok laparoscopi. Lama
tinggal di RS bervariasi dari 3-17 hari dengan rata-rata lama tinggal di RS 6,2hr.
Rata-rata lama tinggal di RS pada kelompok laparoskopi 3,8 hari sedangkan pada
kelompok laparotomi 6,7 hari. Pemberian obat tokolitik post operasi, itu diberikan
pada 6 pasien di kelompok laparotomi sedangkan pada pasien dikelompok
laparoskopi tidak membutuhkan obat tersebut. Pada 2 minggu post operasi,
dilaporkan 1 kasus terdapat aborsi spontan. Melalui permintaan dari pasien
multipara dengan 3 anak yang tidak menyadari kehamilannya sampai dilakukan
test kehamilan sebelum operasi, dilakukan aborsi buatan. Dari 23 ibu yang bias di
follow-up tidak ditemukan adanya kelahiran premature dan rata-rata usia
melahirkan 38 minggu.

DISKUSI
Tingkat kejadian apendisitis selama kehamilan telah dilaporkan berkisar
dari 1 per 1.000 kelahiran sampai 1 per 5.533 kelahiran. Menurut Babaknia et.al
yang melakukan analisis dari 500.000 pengiriman, kejadiannya berkisar 1 sampai
1.500 kelahiran. Secara keseluruhan, tingkat kejadian diketahui 0.05 sampai 0.2%.
Di Korea, 10 studi telah melaporkan kejadian berkisar 1-131 pengiriman sampai
1 - 5281 pengiriman, dengan rata-rata 1-665 pengiriman (246 apendisitis kasus
dalam 163.708 kelahiran) (Tabel 2-4). Termasuk hasil penelitian kami, dimana
tingkat kejadian rata-rata di Korea adalah 1-656 pengiriman ( kasus apendisitis
271 pada 177.911 kelahiran ), yang lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan
Babania et al. dimana tingkat kejadiannya berada pada 1 per 1000 kehamilan.
Dalam segi usia, sebagian besar literatur melaporkan insiden tertinggi
Terdapat dalam kelompok usia 20 sampai 30, dengan beberapa perbedaan sesuai
kriteria klasifikasi. Dalam penelitian kami, 17 pasien (68%) adalah pada
kelompok usia 20 sampai 29, yang mendudugi bagian terbesar, diikuti oleh 7
pasien (28%) di usia 30-an atau lebih tua. Menurut studi Kim et al. [21],
kelompok usia 20 sampai 30 menunjukkan kejadian terbesar dengan 28 pasien
(65,1%), diikuti oleh 14 pasien (32,6%),di usia 30-an atau lebih tua, yang
merupakan rasio yang relatif tinggi. Hal ini diduga karena perkawinan yang
terlambat, yang dapat meningkatkan angka kejadian lebih lanjut di masa depan
karena sebagai bagian dari fenomena sosial dan budaya di Korea pada saat ini.
Singkatnya, kejadian apendisitis selama kehamilan menunujukan kejadian
tertinggi pada usia 20-an , tetapi tingkat kejadian juga ditemukan sangat tinggi
pada perempuan usia 30-an, sesuai dengan meningkatnya jumlah kehamilan pada
wanita yang lebih tua.
Appendisitis akut dapat berkembang selama kehamilan. Menurut Gomez
dan Wood., Babaknia et al., Popkin et al., dan literatur dari korea, appendisitis

selama kehamilan paling sering terjadi pada trimester kedua kehamilan, dimana
hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian kami. Kim et al., melaporkan
bahwa tingkat kejadian tertinggi ditunjukan selama trimester pertama kehamilan.
Sementara Kim et al., dan Cho et al., melaporkan kejadian tertinggi pada trimester
tiga kehamilan. Dalam kasus Lee et al., dilaporkan tidak ada tingkat perbedaan
kejadian appendisitis selama kehamilan antara trimester kehamilan.
Membuat atau menegakkan diagnosis apendisitis selama kehamilan hanya
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sangat sulit, karena berbagai faktor
fisiologis dan berbagai gejala normal yang muncul selama kehamilan (anoreksia,
mual dan muntah) dan faktor-faktor lain termasuk perubahan posisi apendiks
sesuai dengan pembesaran rahim dan relaksaki otot perut. Selain itu, pembatasan
penggunaan pemeriksaan dengan radiologi karena adanya janin dapat menunda
penegakkan

diagnosis.

Keterlambatan

dalam

penegakan

diagnosis

dan

keterlambatan dalam pengobatan, dapat menyebabkan terjadinya perforasi,


meningkatkan tingkat kematian pada janin dan ibu, dan peningkatan terjadinya
komplikasi yang serius. Secara umum, beberapa point penting, seperti gejala
klinis, pemeriksaan fisik, dan tes darah dapat digunakan untuk mendiagnosis
adanya appendisitis, dan pemeriksaan ultrasonografi atau computed tomography
(CT) adalah pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan. Alvarado Skor paling
sering digunakan dan memberikan nilai seperti, 1 untuk adanya rasa sakit di perut
yang menjalar/bermigrasi, 1 untuk hilangnya nafsu makan, 1 untuk mual atau
muntah, 2 untuk tanda nyeri di daerah perut kanan bawah, 1 untuk tanda rebound,
1 untuk demam, 2 untuk leukositosis, dan 1 untuk peningkatan jumlah neutrofil,
totalnya terdiri dari 10 tanda. Menurut Oh et al., penilaian Alvarado Skor dengan
hasil 7 atau lebih tanda yang positif mungkin dapat menandakan adanya kasus
apendisitis pada orang dewasa. Namun pada wanita hamil yang menunjukan
gejala, mual, muntah, demam, dan peningkatan jumlah leukosit dan neutrofil

merupakan suatu temuan fisiologis yang ditemukan pada kehamilan, jadi tanda ini
tidak ideal untuk menegakan diagnosis. Menurut Brown et al., penelitian yang dia
lakukan pada gejala klinis dan pemeriksaan fisik terdapat temuan dari 7 laporan
dengan 450 paien, 345 (76,7%) menunjukan gejala mual, 228 pasien (50,7%)
menunjukan gejala muntah, 295 (65,6%) menunjukan gejala demam, 450 pasien
(100%) benar-benar menunjukan gejala nyeri perut kanan bawah., 412 pasien
(91,6%) menunjukan nyeri perut kanan atas, 327 (72,7%) menunjukan gejala
iritasi peritoneal, dan 309 pasien (68,7%) menunjukan gejala kontraksi rahim.
Hasil Penelitian ini diperoleh nilai predileksi positif dan negatif dan odds ratio,
tetatpi mereka melaporkan bahwa tidak ada indikator klinis yang berguna untuk
mempredileksi kejadian apendistis selama kehamilan. Menurut beberapa literaur
dari Korea, adanya nyeri perut terjadi hampir di semua kasus, namun mual
dilaporkan 13 sampai 82,1% dari total kasus, muntah 8,7-71,4%, demam 3,6
sampai 50%, dan nyeri perut kanan bawah 26,7-100%. Dalam penelitian kami,
nyeri perut dilaporkan dalam semua kasus , mual pada 16 pasien (64%), muntah
pada 9 pasien (36%), demam pada 6 pasien (24%), dan nyeri perut kanan bawah
pada 17 paisen (68%) (Tabel 2).
Di dalam lampiran nyeri perut kanan bawah di posisikan pada tahap awal
kehamilan, namun karena adanya transposisi apendiks ke daerah umbilcal kanan
atau daerah perut kanan atas akibat perkembangan kehamilan seperti, pembesaran
rahim akibatnya nyeri perut pun juga akan berubah. Beberapa studi terbaru
melaporkan adanya perkembangan nyeri perut kanan bawah karena apendisitis
selama kehamilan, meskipun nyeri perut kanan bawah sangatlah umum pada
wanita hamil tanpa apendisitis. Kadang-kadang sulit untuk mengkonfirmasi nyeri
perut pada pasien apendisitis selama kehamilan karena adanya perubahan posisi
apendiks selama kehamilan akibat pembesaran rahim, dinding peritoneal terpisah
dari apendiks , gejala perangsangan peritoneum akan berkurang karena relaksasi

pada otot peritoneum selama kehamilan. Menurut beberapa laporan, tanda


Rovsing dan Psoas tidak ditemukan pada 2/3 wanita hamil. Tanda The Alder
diketahui dapat digunakan, namun sebuah studi melaporkan bahwa hal tersebut
tidak cukup membantu. Gejala nyeri perut dapat digunakan pada semua kasus
kecuali pada kasus apendisitis selama kehamilan.
Perhatian lebih harus diberikan pada penegakkan diagnosis dari hasil tes
pada appendisitis selama kehamilan. Dalam kehamilan normal jumlah leukosit
meningkat 12.000 mm 3. Dalam lampiran, Menurut Hee dan Viktrup untuk Seo
dan Kim., jumlah leukosit pada pasien appendisitis selama kehamilan secara
signifikan meningkat dibandingkan dengan ibu hamil normal. Kim et al.,
melaporkan bahwa perforasi appendisitis diduga dengan tingkat leukosit dari
16.000 mm3 atau lebih. Namun, menurut beberpa studi dari Korea, peningkatan
jumlah neutrofil ditemukan dari 7,1 menjadi 41,7% dan 0 sampai 58,8% pada ibu
hamil dengan appendisitis. Oleh karena, pasien dengan jumlah leukosit dan
neutrofil yang normal tidak bebas dari kecurigaan appendisitis (tabel 3). Dalam
kasus kami 7 pasien (28%) memiliki jumlah leukosit yang normal dan 8 (32%)
memiliki kisaran neutrofil yang normal ketika nilai normal leukosit ditetapkan
12.000 mm3. Enam pasien (24%) menunjukan jumlah leukosit 16.000 mm3 atau
lebih, dan salah satu dari mereka didiagnosis dengan apendisitis gangren,
sementara pasien yang tersisa didiagnosis dengan appendisitis supuratif. Oleh
karena itu, interpretasi dari tingkat leukosit dan neutrofil pada pasien yang diduga
dengan appendisitis selama kehamilan, harus ditegakkan secara hati-hati karena
seperti yag disebutkan diatas, tidak ada peningkatan jumlah leukosit atau neutrofil
bukan berarti tida ada appendisitis, dan adanya peningkatan jumlah leukosit
ataupun neutofil bukan berarti selalu ada appendisitis. Peningkatan jumlah
neutrofil disertai dengan gejala prodormal infesi apendiks dapat membantu dlam
penegakan diagnosis apendisitis, dan jika tingkat leukosit sangat tinggi,

kemungkinan perforasi harus dipertimbangkan, dan operasi darurat harus


dilakukan.
Dalam artikel tentang operasi appendisitis selama kehamilan, hasil negatif
adanya appendisitis bervariasi dari 15 sampai 50%. Rasionya adalah 15 sampai
35% ketika dokter bedah umum melakukan operasi, sementara rasio 25 sampai
50% saat dokter kandungan melakukan operasi. Menurut beberapa literatur Korea,
rasio berada di kisaran 15 sampai 36,4%. Pemeriksaan radiologis diperlukan
untuk mengurangi penemuan tingkat negatif apppendisitis setelah operasi, namun
karena radiasi bahaya pada janin, ultrasonorgrafy sering digunakan sebagai
gantinya. Menurut Lim et al., pada tes yang dilakukan pada 45 wanita hamil yang
diduga dengan appendisitis, tapi 3 pasien pada trimester ketiga kehamilan tidak
didiagnosis, sementara tersisa 42 pasien didiagnosis. Dari 42 pasien didiagnosis,
16 pasien didiagnosis dengan appendisitis sementara, 26 tersisa dikonfirmasi
dengan memiliki lampiran yang normal, dengan 100% sensitivitas, spesifisitas
96% dan akurasi 98%. Zhang et al., melaporkan bahwa dari 65 pasien, 26 pasien
(40%) didiagnosis menggunakan ultrasonography. Karena hasil yang multilateral
dari ultrasonography, studi tentang diagnosa menggunakan CT resonasi magnetik
atau pencitraan sedang berlangsung saat ini. Menurut Freeland et al.,
ultrasonography dilakukan pada 43 wanita hamil, namun hanya 5 pasien (11,6%)
didiagnosis dengan appendisitis, dan defnitif diagnois apendisitis dilakukan
melalui pemeriksaan hitopatologi. Dari 38 (88,4%) pasien lainnya di deteksi
dengan ultrasonography, dan 9 pasien (23,7%) dari 38 yang terdektesi dengan
appendisitis melalui pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan CT dilakukan pada
13 pasien yang tidak didiagnosis dengan appendisitis melalui ultrasonography,
agar untuk menghindari resiki kecacatan pada janin, Dosis radiasi disimpan di
bawah ambang batas dari 0,005-0,15 Gy; di trimester pertama kehamilan, 0,024
Gy (2,4 rad), dan pada trimestter ketiga kehamilan, 0,046 Gy (4,6 rad). Mengenai

timbulnya kanker pada bayi, akibat paparan radiasi 5rad dalam probabilitas 1 /
2,000 untuk 1 /1,000, tetapi hal ini tidak terjadi, namun studi lanjut diperlukan.
Freeland et al., menyarankan algoritma diagnostik pada pencitraan untuk pasien
dengan apendisitis selama kehamilan, tetapi paling aman metode diagnosis
dengan pencitraan adalah menggunakan ultrasonography. Kami melakukan USG
untuk penelitian ini, dan kami menggunakan hasilnya sebagai kriteria diagnosis
dengan pencitraan praoperasi.
Ketika diagnosis ini dibuat dengan apendisitis, operasi segera dapat
mengurangi resiko untuk ibu dan janin. Operasi dapat dilakukan dengan
appendektomi terbuka tradisional atau laparoskopi appendektomi, yang baru-baru
ini diperkenalkan. Sebelum tahun 1990, laparotomi adalah pilihan karena operasi
laparoskopi merupakan suatu kontraindikasi kehamilan. Namun, operasi
laparoskopi dilakukan untuk adnexal torsi dan kista ovarium selama kehamilan
oleh dokter spesialis kebidanan di akhir tahun 80-an, dan ahli bedah
melakukannya untuk laparoskopi kolesistektomi dan appendektomi. Akibatnya,
luaran hasil operasi laparoskopi telah dibenarkan bahwa tidak lebih buruk
dibandingkan dengan laparotomi dari segi keamanan; akibatnya, operasi
laparoskopi juga sudah dilakukan cukup sering baru-baru ini untuk apendisitis
selama kehamilan. Dalam studi literatur menurut nezhat et al. menganalisis 93
pasien yang menjalani operasi laparoskopi selama kehamilan dan mengkonfirmasi
bahwa operasi laparoskopi selama kehamilan itu tidak berbahaya. Mereka juga
menganalisa jenis risiko yang mungkin terlibat dalam operasi laparoskopi selama
kehamilan. Resiko yang pertama adalah resiko kerusakan uterus akibat trokar
yang disebabkan oleh pembesaran uterus dengan peningkatan usia kehamilan atau
untuk memasukkan dari jarum veress. Untuk mencegah risiko ini, nezhat et al.
menyarankan teknik terbuka menggunakan kanula hasson. Resiko yang kedua
adalah resiko ketidakseimbangan asam-basa, yang dapat terjadi karena adanya gas

10

co2 yang digunakan selama operasi laparoskopi dan resiko janin asidosis karena
hiperkarbia. Untuk meminimalkan resiko meningkatnya hiperkarbia dan asidosis,
tekanan intra-abdominal harus dipertahankan pada 20 mmhg atau di bawahnya,
dan waktu operasi harus dipersingkat. Waktu yang dianjurkan untuk operasi
laparoskopi pada kehamilan diketahui yaitu pada trimester pertama dan kedua
kehamilan, dimana trimester ketiga kehamilan diketahui sebagai kontraindikasi.
Namun, kasus operasi laparoskopi pada trimester ketiga kehamilan telah
dilaporkan baru-baru ini. Sebuah jurnal skrining pada operasi laparoskopi yang
dilakukan untuk apendisitis selama kehamilan menunjukkan bahwa machado dan
Grant

memberikan saran untuk membatasi tekanan

intra-abdominal dari 10

sampai 20 mmhg dan waktu operasi dalam waktu 60 menit untuk hasil yang baik
untuk janin dan ibu. Namun, tindak lanjut jangka panjang pada anak-anak setelah
dilahirkan tidak dilakukan. Menurut mereka hanya satu laporan dari 11 anak-anak
yang lahir setelah laparoskopi appendektomi selama kehamilan yang

tidak

mengalami pertumbuhan atau keterbelakangan perkembangan yang ditemukan


pada 1 sampai 8 tahun tindak lanjut pasca operasi. Di samping itu, dari 637 pasien
yang menjalani laparoskopi appendektomi, 155 pasien merupakan usia kehamilan,
dan 26 pasien tersebut telah memasuki trimester ketiga kehamilan. Berdasarkan
studi, tindakan operasi laparoskopi pada trimester ketiga kehamilan itu sulit
dikarenakan adanya pembesaran uterus sehingga menghalangi pandangan dan
alat-alat yang digunakan. Karena itu, operasi laparoskopi harus dilakukan oleh
ahli bedah. Dari penelitian pada 61 penderita apendisitis selama kehamilan, park
dan sul membandingkan 46 pasien yang menjalani appendektomi terbuka
terhadap 15 pasien yang mengalami laparoskopi appendektomi. Menurut studi,
rata-rata tinggal di rumah sakit pada kelompok laparotomi 8,3 hari sementara
yang dari kelompok laparoskopi adalah 4,1 hari, memperlihatkan perbedaan
signifikan secara statistik. Dari segi komplikasi paska operasi, kelompok

11

laparotomi dilaporkan 6 kasus infeksi dari luka, 1 kasus ileus, 1 kasus aborsi, dan
4 kasus kelahiran prematur dibandingkan dengan kelompok laparoscopy
melaporkan tidak adanya komplikasi. Pada penelitian pada 43 pasien dengan
apendisitis selama kehamilan, kim et al.

membandingkan 21 pasien dari

kelompok laparotomy dengan 22 pasien dari kelompok laparoscopy. Rata-rata


lama tinggal di rumah sakit pada kelompok laparotomi 6,7 hari sementara yang
dari kelompok laparoscopy adalah 5,1 hari, memperlihatkan perbedaan signifikan
secara statistik. Dari segi komplikasi pasca operasi, kelompok laparotomy
dilaporkan adanya 2 kasus infeksi dari luka. Menurut studi sekarang, operasi
laparoscopic telah dilakukan pada 4 pasien sejak desember 2009. Ukuran sampel
pada kelompok laparoscopy itu terlalu kecil untuk dibandingkan dengan
kelompok laparotomi, tetapi kelompok laparoscopy menunjukkan tinggal di
rumah sakit lebih singkat dibandingkan dengan kelompok laparotomi, dan tidak
ada komplikasi seperti luka infeksi, aborsi, atau kelahiran prematur. Pada studi
sekarang, pasien dengan usia kehamilan minimal 20 minggu tidak menjalani
operasi laparoscopic dikarenakan pasien dengan usia kehamilan 20 minggu atau
lebih tidak dianjurkan untuk menjalani karena ditakutkan kerusakan uterus akibat
dari pembesaran uterus dan sulitnya mendapat penglihatan yang jelas. Di samping
itu dikarenakan rumah sakit kami tidak didukung dengan sistem pelayanan, klaim
asuransi kesehatan untuk operasi laparoscopic sudah ada sejak juli 2009; sesuai
dengan operasi laparoscopic pertama kali yang telah dilakukan pada desember
2009. Meskipun operasi laparoskopi untuk apendisitis selama kehamilan dapat
mengurangi luka infeksi dan dapat berkontribusi cepat untuk pemulihan
berdasarkan tingkat penurunan rasa sakit, berkurangnya berkembangnya ileus
pasca operasi, diagnosis dan pengobatan dapat dilakukan secara serentak,
berdasarkan kontraindikasidari suatu studi melaporkan peningkatan angka
kematian janin sebagai akibat dari operasi laparoscopic. Namun, menurut studi

12

baru-baru ini di operasi laparoskopi selama kehamilan, angka kematian janin


pada operasi laparoskopi ini lebih rendah dari atau sama dengan operasi
laparotomi. Park dan sul, kim et al., nezhat et al. Machado dan Grant melaporkan
tingkat kematian janin lebih rendah 1 %. Dalam studi sekarang ini, empat kasus
operasi laparoscopic telah dilakukan, dan tidak ada aborsi, stillbirths atau
kelahiran prematur telah dilaporkan. Berdasarkan hasil diatas, jika tekanan intraabdominal dan waktu operasi bisa dikendalikan, kerusakan uterus bisa dicegah
melalui teknik terbuka. Pembedahan laparoscopic dapat digunakan untuk
apendisitis selama kehamilan. Hal ini menguntungkan dalam hal rata-rata lama
tinggal di rumah sakit dan komplikasi pasca operasi. Namun, laparoscopic
appendectomy yang harus didirikan sebagai standar pengobatan untuk apendisitis
selama kehamilan, tindak lanjut jangka panjang terhadap anak yang lahir setelah
menjalani operasi itu diperlukan. Ketika tidak ada kasus pertumbuhan atau
keterbelakangan perkembangan yang ditemukan selama jangka panjang lebih dari
10 tahun atau lebih, operasi laparoskopi dapat secara signifikan mengganti
laparotomi konvensional untuk pengobatan apendisitis selama kehamilan.
Apendisitis selama kehamilan memiliki risiko untuk ibu atau janin bahkan
setelah operasi. Komplikasi pasca operasi tersebut dapat diklasifikasikan untuk
ibu dan janin. Dari segi komplikasi pada ibu, angka kematian ibu adalah 24 % di
awal studi, tapi sekarang, tidak ada angka kematian ibu yang telah dilaporkan
yang dilihat dari awal operasi, pengembangan antibiotik, dan berkembangnya
teknik anestesi dan teknik bedah. Komplikasi lain dari kematian ibu termasuk luka
infeksi, ileus pasca operasi, obstruksi usus, komplikasi pernafasan, abses intraabdominal dan kelahiran prematur. Di antara 315 pasien yang dikonfirmasi
memiliki komplikasi pada kelompok appendectomy terbuka di korea, 34 pasien
( 10.8 % ) telah memiliki luka infeksi, 6 pasien ( 1,9 % ) ileus pasca operasi, 1
pasien ( 0,3 % ) memiliki komplikasi pernafasan, 3 pasien ( 1 % ) memiliki abses

13

intra-abdominal, dan 22 pasien ( 7 % ) memiliki kehamilan prematur ( tabel 4 ).


Dalam studi kami, 21 pasien dari kelompok appendectomy terbuka, hanya 2
pasien ( 9.5 % ) yang dilaporkan mengalami infeksi dari luka dan tidak ada
komplikasi lain yang ditemukan. Menurut lee et al., 16,7 % tingkat infeksi
berkembang pada wanita hamil satu terjadi perforasi. Menurut seo dan kim, rasio
berkembangnya infeksi dari luka pada wanita tidak hamil adalah 14,7 %, dan pada
ibu hamil rasionya adalah 26,5 %, menunjukkan infeksi akibat luka lebih pada
wanita hamil. Alasan mengenai infeksi pada luka yang lebih tinggi terjadi pada
wanita hamil mungkin karena keterlambatan diagnosis dan penundaan dalam
operasi, yang selanjutnya dapat terjadi perforasi. Yilmaz et al. melaporkan bahwa
tingkat kejadian perforasi pada apendisitis pada masa kehamilan adalah 40 persen
dan tingkat tersebut berhubungan dengan waktu dari onset gejala sampai
pembedahan. Resiko perkembangan perforasi tinggi ketika waktu dari awal gejala
sampai pembedahan melebihi 20 jam. Menurut yilmaz et al., peningkatan usia
kehamilan tidak terkait dengan perforasi, yang berbeda dari hasil kajian lain. Di
samping itu yilmaz et al. melaporkan bahwa peningkatan kehamilan prematur ini
dipengaruhi oleh peningkatan perforasi dan usia kehamilan. Zhang et al.
melaporkan 1,6 % tingkat kelahiran prematur pada kasus apendisitis nonperforasi, tapi 25 % tingkat kehamilan prematur telah diamati pada kasus
apendisitis perforasi.
Komplikasi untuk janin termasuk aborsi, stillbirth, anomali congenital, dan
keterbelakangan pertumbuhan intrauterin. Di awal studi, angka kematian janin
dilaporkan 40 hingga 50 %, tetapi telah mengalami penurunan berdasarkan dari
awal operasi dan perkembangan antibiotik, teknik anestesi dan teknik bedah,
sistem monitoring janin, dan neonatal intensif care. Baru-baru ini, angka kematian
janin pada apendisitis non komplikasi telah dilaporkan 1,5 sampai 4 %, tapi
dalam kasus apendisitis perforasi, angka ini masih tinggi 21 sampai 35 %. Zhang

14

et al. melaporkan 1,6 % angka kematian janin dalam kasus apendisitis nonperforated, tetapi tingkat ini meningkat menjadi 25 persen pada kasus apendisitis
perforasi. Mazze dan kallen melaporkan dari 778 bayi, 41 bayi ( 5,3 % ) terlihat
memiliki deformasi kongenital. Dalam kasus di korea, dari 375 pasien ditemukan
ada 8 kasus ( 2,1 % ) dari aborsi spontan, 6 kasus ( 1,6 % ) dari terancam aborsi, 9
kasus ( 2,4 % ) aborsi buatan, 7 kasus ( 1,9 % ) dari stillbirth, dan 2 kasus ( 0,5
% ) dari keterbelakangan pertumbuhan intrauterin ( tabel 4 ). Pada studi sekarang,
1 kasus ( 4 % ) dari aborsi spontan dan 1 kasus ( 4 % ) aborsi buatan terlihat.
Berdasarkan hasil tersebut, sejak kemungkinan adanya komplikasi dalam
apendisitis selama kehamilan akan lebih tinggi pada kasus apendisitis perforasi,
operasi awal yang segera adalah penting.
Dalam kesimpulan, laporan mengenai apendisitis selama kehamilan sebagian
besar telah dilaporkan oleh universitas rumah sakit atau rumah sakit tersier di
korea. Pada studi sekarang, 25 operasi kasus apendisitis selama kehamilan
dilakukan di rumah sakit sekunder dilaporkan, dan hasil tidak lebih buruk
daripada yang rumah sakit tersier. Mengingat hasil kajian mengkonfirmasi
peningkatan komplikasi pasca operasi pada ibu dan janin dengan perkembangan
apendisitis perforasi, yang paling penting dari mengobati apendisitis dalam
kehamilan adalah membuat sebuah diagnosis dini dan memutuskan operasi segera
yang bermakna. Dalam kasus wanita hamil dengan sakit perut, dijelaskan melalui
pemeriksaan fisik,tes diagnostik dan ultrasonografi dilakukan terlepas dari usia
kehamilan sebelum melakukan operasi awal. Di samping itu dalam kasus gejala
yang berlangsung selama jangka waktu atau dari leukocytosis, resiko perforasi
tinggi, dan apendisitis harus dicurigai. Jika nyeri perut didapatkan terakhir dan
hasil tes normal tidak boleh dianggap sebagai normal. Dari segi metode operasi,
appendectomy terbuka bukan satu-satunya pilihan; sebuah laparoscopic
appendectomy ini lebih menguntungkan dari sisi lama tinggal di rumah sakit dan

15

infeksi dari luka. Namun, prinsip-prinsip dalam operasi pada kerusakan organ,
tekanan intraabdominal dan waktu operasi juga harus bisa dijaga pada operasi
laparoscopic. Setelah menyelesaikan untuk mengumpulkan data melalui tindak
lanjut, operasi laparoscopic dapat ditegakkan sebagai standar pengobatan untuk
apendisitis dalam kehamilan.

16

17

18

Anda mungkin juga menyukai