RESOLUSI KONFLIK
Imam Sutrisno
12510019
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Isu merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan secara serius dalam proses
penanganan konflik karena hampir tidak mungkin melakukan penanganan konflik
dengan baik tanpa terlebih dahulu menangani isu-isu yang menjadi penyebab
kemunculan konflik tersebut. Dari segi dampak yang dapat ditimbulkan maka isu
biasanya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni isu pokok / isu utama dan
isu sampingan / isu tambahan, dimana kedua hal tersebut juga penting untuk
dipahami agar dapat menentukan skala prioritas tindakan secara relevan dan efektif
dalam proses penanganan konflik atau resolusi konflik. Penjelasan mengenai kedua
macam isu tersebutlah yang nantinya akan menjadi konten pokok dalam makalah ini,
tujuannya agar pembaca dapat memahami lebih mendalam sehingga dapat
membedakan dengan tegas mana yang termasuk sebagai isu utama dan mana yang
dimaksud sebagai isu tamabahan.
Disamping itu, isu juga terklasifikasi berdasarkan jenis dan karakteristiknya. Dalam
sosiologi konflik klasifikasi ini merupakan salah satu pemahaman pokok yang wajib
dipahami oleh para penggiat sosiologi atau para pekerja masyarakat. Pemahaman
yang mendalam mengenai klasifikasi isu berdasarkan jenis dan karakternya ini
diharapkan dapat membantu proses pemetaan baik untuk keperluar kerja-kerja
keilmuan teoritis maupun praksis. Adapun jenis-jeis isu tersebut jika diklasifikan
berdasarkan jenis dan karakteristiknya meliputi, isu Hak Asasi Manusia (HAM), Isu
Budaya, Isu Gender, Isu Identitas, isu Kekuasaan/politik. Penjelasan mengenai isuisu tersebut juga akan diterangkan dalam makalah ini.
Sesuai dengan panduan tugas dalam Lembar Kerja III, makalah ini tidak hanya dibuat
dalam rangka menjelaskan berbagai defisini mengani klasifikasi isu seperti yang telah
diterangkan sebelumnya. Namun dalam makalah ini, nantinya pembaca juga akan
II.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan klasifikasi isu?
2. Apa yang dimaksud dengan isu pokok/utama dan isu tambahan/sampingan?
3. Apa yang dimaksud dengan Isu Budaya, Isu HAM, Isu Identitas, Isu Gender dam
Isu Politik/Kekuasaan?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik dalam internal DPR RI antara kubu
5.
6.
7.
8.
proses tersebut?
9. Siapa saja stakeholder yang berkepentingan dan terlibat dalam konflik tersebut
III.
Tujuan
1. Menjelaskan
definisi
dari
klasifikasi
isu,
isu
pokok/utama
dan
isu
tambahan/sampingan, isu Budaya, Isu HAM, Isu Gender, Isu Identitas serta Isu
Kekuasaan/politik.
2. Menganalisis dan menjelaskan mengenai konflik yang terjadi di DPR RI dari segi
penyebab, kronologi, keterlibatan tokoh dan lembaga, proses mediasi,
kepentingan-kepeentingan dan dampak atau potensi dampak yang muncul dari
berbagai aspek.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Isu
Isu Tambahan/Sampingan
Demikian pula dengan isu tambahan, kita dapat melakukan identifikasi atau
pelacakan dengan menelusuri sifat-sifat / karakteristik isu tersebut, kronologi (proses
kemunculan) sebuah wacana sehingga menjadi isu, serta sejauh mana isu tersebut
benar-benar dapat dibuktikan sebagai unsur utama yang menyebakan kemunculan
suatu masalah atau konflik serta seberapa besar dan signifikant isu tersebut
berpengaruh terhadap berbagai pihak yang terkait dalam sebuah masalah atau konflik.
Jika sebuah isu berasal dari sebuah opini yang tidak jelas validitas dan sumbernya
maka sangat mungkin isu ini hanya muncul untuk kepentingan-kepentingan tertentu
yang biasanya bersifat provokatif, pengalihan perhatian publik atau bahkan bertujuan
merubah secara mendasar peta msalah/konflik yang terjadi. Isu-isu semacam ini
biasanya muncul pada saat sebuah konflik atau masalah telah muncul ke permukaan,
jadi hampir dapat dipastikan bahwa isu-isu tersebut bukanlah merupakan penyebab
utama kemunculan masalah sehingga tidak dapat digolongkan sebagai isu utama
melainkan hanya suatu isu tamabahan yang di buat dengan tujuan-tujuan tertentu
yang beragam dan berbeda di setiap kasus.
3. Klasifikasi Isu Berdasarkan Aspek Sosial
- Isu Budaya
Dalam persfektif resolusi konflik atau konflik sosial isu budaya dapat dimaknai
sebagai wacana-wacana yang berkaitan erat dengan kebudayaan, bisa berwujud
wacana yang mempersoalkan perbedaan antar kebuadayaan yang satu dengan
lainnya (persolan identitas), wacana perbenturan kebudayaan, akulturasi yang
timpang dan lain sebagainya dalam konteks budaya yang dapat berpotensi
menimbulkan kesalah pahaman dan masalah dalam dua kelompok masyarakat
atau lebih.
Terdapat berbagai macam wujud permasalahan atau konflik yang berlatar
belakang kebudayaan. Bisa juga terjadi dalam satu kelompok masyarakat yang
mendiami wilayah yang sama, semisal soal perebutan hak-hak ulayat yang
menyangkut kepemilikan tanah atau hak atas kepemilikan otoritas tertentu dalam
konteks adat dan tradisi.
-
HAM
dimaknai
sebagai
tindakan-tindakan
pelanggaran
nilai-nilai
Isu Gender
Isu gender pada awalnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari isu-isu
HAM pada umumnya, namun dalam perkembangannya dengan tujuan agar
pewacanaan lebih fokus dan masif maka isu gender saat ini menjadi isu sendiri
dengan kajian-kajian yang lebih spesifik dari sekedar persoalan gender sebagai
sebuah hak asasi manusia yang layak diperjuangkan. Konflik yang bersumber
pada ketidaksetaraan gender menjadi perhatian utama dalam persfektif sosiologi
-
konflik.
Isu Identitas
Merupakan bagian penting dari isu kebudayaan yang mendapat perhatian dalam
masyarakat modern. Hal ini berkaitan erat dengan gencarnya kritik terhadap
persfektif positivisme yang dominan dan hegemonik. Positivisme dianggap
bertanggung jawab dalam mengaburkan batas-batas identitas kelompok
masyarakat bahkan hingga ke tataran individu. Positivisme sebagaimana kritik
yang dilayangkan oleh mazhab frankfurt, memaksakan penyeragaman identitas
melalui hegemoni wacana dominan yang di klaim memiliki kebenaran yang
bersifat universal.
Isu Kekuasaan
Isu kekuasaan adalah isu yang berkaitan erat dengan persoalan demokrasi dan
politik, dimana tak jarang isu ini dapat menjadi salah satu penyebab konflik
vertikal maupun horizontal. Isu perebutan kekuasaan sering kali menjadi pemicu
kemunculan konflik yang melibatkan msayarakat hingga ke tataran grassroots dan
tidak jarang mengakibatkan perpecahan dalam kelompok yang sebelumnya
bersatu, oleh karenanya isu kekuasaan dalam konteks tertentu memiliki potensi
destruksi yang cukup signifikan dan luas. Sebagaimana isu-isu lain, sosiologi
konflik melihat isu kekuasaan dalam hubungannya sebagai potensi yang dapat
Konflik yang terjadi dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 20142019 (DPR RI) sebenarnya merupakan konflik baru yang muncul sebagai rentetan dari
konflik Pemilu Presiden (Pilpres) yang terjadi sebelumnya. Meskipun secara hukum
konflik Pilpres telah dinyatakan selesai dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah
Konstitusi yang menetapkan Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenag
dalam Pilpres lalu, namun secara politik konflik ini masih berlanjut hingga ke parlemen
(senayan).
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa semenjak Pilpres telah terjadi dua
polarisasi kekuatan politik besar di Indonesia yang terdiri dari Koalisi Merah Putih yang
mengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Koalisi Indonesia Hebat
yang mengusung pasangan Calon Joko Widodo-Jusuf Kalla. Setelah Pilpres usai,
polarisasi ini secara garis besar masih bertahan dan melanjutkan perseteruan di senayan,
masing-masing kubu koalisi memiliki argumentasinya sendiri. Kubu Koalisi MerahPutih tetap mempertahankan Koalisinya dalam parlemen dengan alasan untuk menjadi
kekuatan penyeimbang dari eksekutif yang notabene merupakan bagian dari kubu kualisi
lawan. Demikian juga dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat beralasan agar dapat
membantu dan memperlancar kinerja eksekuti (khususnya Presiden dan Wakil Presiden
terpilih) dalam mengimplementasikan agenda-agenda politik dan pembangunanan yang
telah direncanakan sebelumnya.
Demi mewujudkan kepentingannya tersebut kemudian masing-masing kubu koalisi
berusaha mendapatkan kursi kemimpinan komisi dalam DPR RI. Sejak proses pemilihan
inilah perseteruan antara kedua kubu koalisi mulai berlangsung terbuka dan alot.
Kronologi Konflik
Perebutan Kursi Ketua dalam DPR RI adalah awal dari konflik terbuka dari dua kubu
koalisi. Proses tersebut diawali dengan pemilihan Ketua DPR dan MPR yang berlangsung
hingga larut malam tanpa adanya kesepakatan. Pada saat itu kubu Koalisi Indonesia
Hebat terancam tidak dapat mengusulkan paket calon Ketua karena keterbatasan jumlah
dukungan dan terjanggal aturan yang berlaku.
Setlah proses pemilihan berlangsung lama dan alot, akhirnya komposisi pimpinan dalam
DPR mapun MPR saat itu dikuasai oleh kubu Koalisi Merah Putih karena memiliki
jumlah amggota fraksi yang jauh lebih besar dari kubu lawannya. Hal ini kemudia
membuat Koalisi Indonesia Hebat merespon dengan membuat DPR tandingan untuk
melawan komposisi pimpinan yang telah sepenuhnya dikuasai oleh Kubu Koalisi Merah
Putih. Selain itu dalam sidang paripurna berikutnya Kolisi Indonesia Hebat melayangkan
Mosi Tidaj Percaya terhadap empat pimpinan DPR yang terdiri dari Setya Novanto
(Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), dan Taufik Kurniawan
(PAN).
-
Konflik panjang antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di DPR RI
mengundang perhatian sejumlah kalangan, tidak terkecuali para pengamat politik dan
pengamat ekonomi. Muncul kekhawatiran bahwa perseterusn yang terjadi dapat dilihat
sebagai bentuk instabilitas politik oleh pihak-pihak luar yang saling berkepentingan
dengan Indonesia. Jika demikian yang terjadi maka kondisi politik yang tercitra demikian
dapat berpengaruh pada memburuknya iklim investasi. Investor tentu akan berfikir ulang
untuk berinvestasi di Indonesia dengan ketidakpastian situasi politik serta jaminan
keamanan yang rendah karena masih rentan konflik. Menurut pengamat ekonomi, sedikit
banyak konflik yang terjadi di DPR RI telah berpengaruh pada Bursa Saham, trand
sebagaian penjualan saham menurun dan ada indikasi kelesuan untuk beberapa saham
yang diperdagangkan. Jika konflik ini tidak segera teratasi, diprediksikan perekonomian
Indonesia akan terdampak negatif dan semakin memburuk.
Disamping itu, perseteruan yang terjadi di DPR RI akan melemahkan kepercayaan rakyat
terhadap lembaga-lembaga pemerintah karena tidak mampu mencerminkan kedewasaan
berpolitik, hal ini tentu saja merupakan indikasi buruk bagi kemajuan demokrasi di
Indonesia.
-
Dorongan untuk segera berdamai muncul dari banyak pihak tidak terkecuali Presiden dan
Wakil Presiden ikut menghimbau agar kedua Koalisi yang sedang berseteru segera
menemukan titik temu agar konflik tidak berlarut-larut dan berkepanjangan. Hal ini demi
menjaga kepentingan bersama yang lebih besar dan lebih perioritas.
Beberapa waktu setelah itu, langkah mediasipun dilakukan melalui mekanisne lobi
pimpinan partai yang di fasilitasi oleh beberapa tokoh politik senior. Pertemuan ini dapat
terselenggara juga oleh karena ada kesamaan kepentigan pada saat itu, yakni pembahasa
RUU MD3. Dari pertemuan-pertemuan yang terselenggara dan lobi-lobi yang dilakukan
para petinggi partai terjalinlah beberapa kesepakatan kedua belah pihak sebagai syarat
untuk mengakhiri perseteruan.
Pada awalnya Koalisi Merah Putih (KMP) menawarkan 3 Komisi untuk Koalisi
Indonesia Hebat (KIH). Namun setelah proses lobi panjang dilakukan KMP akhirnya
memberikan 21 Kursi pimpinan untuk KIH.
-
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Setya Novanto
Fadli Zon
Pramono Anung
Aburizal Bakrie
Joko Widodo
Jusuf Kalla
Hatta Rajasa
8. Prabowo Subianto
9. Ahmad Bsarah
10. Efendi Simbolon
11. DLL
BAB III
KESIMPULAN
Jika diklasifikasikan , maka konflik yang terjadi dalam DPR RI tersebut merupakan konflik yang
bersumber dari kepentingan kekuasaan. Dalam bab pembahasan serta lampiran kliping koran
yang disertakan dapat dilihat bahwa konflik kekuasaan dapat berwujud sebagai sebuah konflik
besar dan berdampak secara luas dan signifikan. Konlik kukuasaan sangat determinan terhadap
aspek lain seperti, sosoal, ekonomi hukul dan bahkan budaya.
Satu hal penting yang dapat dijadikan pelajaran adalah, bahwa dalam menganalisis konflik
kekuasaan kita (masyarakat) harus mampu berdiri dan melihat secara kritis tanpa ikut
terprovokasi dan menjadi loyalis reaksioner terhadap keuatan olitik tertentu. Posisi kritis
setidaknya akan menghindarkan kita dari dampak-dampak negatif yang mungkin saja dapat
muncul dari konflik kekuasaan yang berlangsung.
Tragedi 1965 cukuplah menjadi pelajaran berhaga bagi kita semua, dimana banyak manusia di
bantai, di buang/diasingkan dan dipenjarakan tanpa alasan yang jelas. Masyarakat yang
terprovokasi ikut menjadi bagian penting yang memperparan tragedi tersebut. Untuk itu
kekuasaan harus dapat dilihat sebagai sesuatu yang dibaliknya terdapat berbagai macam
kepentingan yang dapat saling bertabrakan satu dengan lainnya baik dengan cara-cara yang
beradab hingga ke cara-cara terkejam yang bahkan sulit dibayangkan dapat terjadi.