Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh
manusia. Kelenjar ini dapat ditemui dileher. Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur
kecepatan tubuh membakar energy, membuat protein dan mengatur kesensitifan tubuh
terhadap hormone lainnya. Kelenjar tiroid dapat distimulasi dan menjadi lebih besar
oleh epoprostenol.
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka
akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia.
Struma / gondok adalah pembesaran dari kelenjar tiroid. Struma merupakan
penyakit kelenjar tiorid yang dapat dijumpai dalam praktek sehari-hari. Anamnesis
yang tepat , pemeriksaan fisik dan penilaian klinis memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan diagnosis penyakit tiroid baik yang disertai dengan
hipotiroid atau hipertiroid.

BAB II
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS
Nama

: Tn. M

Usia

: 23 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Alamat

: Lamaran RT 02/ 06 , Karawang

Status pekerjaan

: Tidak Bekerja

Status pernikahan

: Belum Menikah

Suku bangsa/agama

: Indonesia/ Islam

No Rekam Medis

: 00593801

Tanggal masuk

: 3 Juli 2015

1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal rengasdengklok pada tanggal 6 Juli 2015
secara allonamnesiskepada ibu pasien.
-

Keluhan utama
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan tambahan
Benjolan di leher, tidur gelisah, sulit menelan, sulit berbicara, pendengaran
terganggu, berkeringat banyak, penurunan berat badan setahun terakhir,sesak,
batuk tidak berdahak, merasa berdebar-debar

Riwayat penyakit sekarang


Os. Mengeluh demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit yang
dirasa terus menerus. Pasien sudah minum obat warung namun demam masih
terus dirasa. Keluhan batuk, pilek, mual, muntah disangkal oleh pasien. Buang
air besar dan air kecil lancar. Tanda-tanda perdarahan juga disangkal, dan
2

selama ini demam hanya diukur menggunakan tangan dan demam teraba tidak
terlalu tinggi.
Pasien juga memiliki benjolan di tengah leher yang ukurannya cukup
besar. Awalnya pasien mengalami penurunan berat badan sejak kurang lebih
satu tahun yang lalu. Semenjak berat badannya turun, benjolan di leher mulai
terlihat dan semakin lama membesar. Benjolan membuat pasien sulit untuk
menelan dan berbicara. Saat menelan benjolan ikut bergerak.
Selain keluhan benjolan tersebut, pasien juga mengeluh ada keringat
yang berlebih. Pasien sering merasa kepanasan dan berkeringat baik siang
maupun malam hari. Pasien menjadi sering gelisah saat tidur malam.
Sepanjang perjalanan penyakit ini, pasien juga mengeluhkan pendengarkan
mulai berkurang sehingga menjadi agak sulit untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Namun orangtua pasien tidak ingat persis kapan pendengaran
pasien berkurang.
-

Riwayat Penyakit Dahulu


Pernah dirawat di RSUD Karawang sekitar 6 bulan yang lalu akibat lemas dan
mulai munculnya benjolan di leher.
OS menyangkal terdapat riwayat penyakit asma dan alergi. Penyakit diabetes
melitus dan hipertensi juga tidak ada. Riwayat penyakit kanker ataupun
penyakit lainnya yang membutuhkan terapi tertentu disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Os mengaku tidak terdapat keluarga dengan keluhan serupa.

Riwayat pengobatan
Tidak ada riwayat berobat kecuali ke RSUD Karawang 6 bulan yang lalu
untuk periksa benjolan di leher.

Riwayat Kebiasaan
Os. memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan minum alkohol disangkal. Os
jarang berolahraga. Kesehariannya mengonsumsi makanan yang cukup
bergizi termasuk mengandung garam. Namun orangtua pasien tidak
3

mengetahui apakah garam beriodium atau tidak.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal rengasdengklok pada tanggal 6 Juli 2015.
A. STATUS GENERALIS
KU

: Tampak sakit sedang, agak gelisah

Kesadaran

: Compos mentis, GCS E4 M6 V5

Kesan Gizi

: Gizi cukup

Tanda Vital

Tek. Darah

: 110/70mmHg

Nadi

: 100x/menit,regular,kuat,isi cukup,equal

Pernapasan

:20x/menit, reguler

Suhu

: 36,5C

Kepala : normosefali, rambut berwarna hitam, keriting, distribusi merata, tidak


kering dan tidak mudah dicabut
Mata : eksoftalmus (+)/(+), Konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-),
sekret (-)/(-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, RCL (+)/(+), RCTL (+)/
(+), ptosis (-)/(-), nistagmus (-) /(-), lagoftalmus (-)/(-)
Telinga, Hidung,Tenggorokan
Telinga :
- Inspeksi :
Preaurikuler : hiperemis (-)/(-)
Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-)
Liang telinga : lapang, serumen (+)/(+), otorhea (-)/(-)
Hidung :
- Inspeksi : deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi septum (-)/
(-), edema (-)/(-)
- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris (-)/(-), etmoidalis(-)/(-), frontalis(-)/
(-)
4

Tenggorokan dan rongga mulut :


- Inspeksi :
Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
Palatum mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus
faring simetris, penonjolan (-)
Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-), hiperemis (-)
Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)
Pursed lips breathing (-), karies gigi (-), kandidisasis oral (-)
Leher
Tiroid terlihat dan teraba membesar. Lihat status lokalis.
Pembesaran kelenjar getah bening tidak teraba membesar.
Tidak terdapat peningkatan JVP
Trakea teraba di tengah dan tidak ada deviasi
Thoraks
- Paru
Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi sela iga (-/-), bentuk
dada normal, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi dada simetris, vocal fremitus simetris, pelebaran sela iga

(-)/(-)
Perkusi :
Sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan
Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga V
Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga VIII
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba pada 2 cm di lateral linea midklavikula

sinistra ICS V, thrill (-)


Perkusi : batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dekstra, batas
jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, ikterik (-), venektasi (-), smiling umbilicus (-), caput medusae
(-), sikatriks (-).
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-), Hepar tidak teraba,
Lien tidak teraba. Ballotement (-).

Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-)/(-)


Ekstremitas
Atas
: Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-)/(-),
deformitas (-) Ptekie (+)
Bawah
: Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik, edema (-)/(-),
deformitas (-)Ptekie (+)
B. STATUS LOKALIS REGIO COLLI ANTERIOR
1. Inspeksi

Lokasi : kedua lobus

Ukuran : besar, 12 cm pada pengukuran, permukaan rata

Jumlah : uninodusa

Bentuk : apakah difus (leher terlihat bengkak)

Gerakan : ikut bergerak dengan gerakan menelan

Pulsasi : tidak nampak adanya pulsasi pada permukaan


benjolan.

2. Palpasi
Permukaan : rata tidak berbenjol-benjol
Suhu: teraba hangat
Gerakan saat menelan :batas bawah dapat diraba, tidak dapat diraba

trachea.
Konsistensi : kenyal
nyeri tekan : ada

Limfonodi dan jaringan sekitar : tidak teraba pembesaran.

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan hematologi tanggal 3 Juli 2015 di IGD

Parameter
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Ureum
Creatinin
Glukosa darah sewaktu

Hasil
11,8 g/dl
10,31 x103/L
221 x 103/L
35,6 %
22,3 mg/dl
0,37 mg/dl
97 mg/dl

Nilai Rujukan
13,0-18,0 g/dl
3,80-10,60 x103/L
150-440 x103/L
40,0-52,0 %
15,0-50,0 mg/dl
0,60-1,10 mg/dl
<140 mg/dl

PEMERIKSAAN IMUNOLOGI
S. TYPHOSA H
S. H. PARATYPHI A
S.H PARATYPHI B
S. H PARATYPHI C
S. TYPHOSA O
S.O PARATYPHI A
S. O PARATYPHI B
S. O PARATYPHI C

NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
(+) 1/320
(+) 1/80
(+) 1/80
NEGATIF

1.5 DIAGNOSIS KERJA


Struma Nodular Toksik
1.6 DIAGNOSIS BANDING

Goiter mulinodular Toksik


Karsinoma Tiroid

1.7 PENATALAKSANAAN
Ringer laktat 20 tetes per menit
Sanmol 3 x 500 mg
Ranitidin 2 x 1 amp
Dexametason 3x 2 G i.v
7

Cefepim 2x100
Thyrozol 2x10

1.8 FOLLOW-UP BANGSAL


5 Juli 2015 pukul 06.00.
Subject

Leher besar sejak 6 bulan, hiperaktif,


sering

berkeringat,

berdebar-debar,

batuk tidak berdahak, berat badan 1


Object

tahun terakhir turun, sesak


Compos mentis, agak gelisah
TD: 130/60
N:117
S:36,5
P:28
Kepala : CA-/- SI-/- , mata sedikit
exoftalmus
Leher : KGD dbn, tiroid membesar.
Thorax :S1s2 reg, M(-), G(-)
SN vesk +/+, rh -/-,wh -/Abdomen: supel, BU + N, NT + pada
epigastrium,

splenomegali

(-),

hepatomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat (+) pada
Hasil Pemeriksaan penunjang
Tatalaksana

seluruh akral ekstremitas


Ringer laktat 20 tetes per menit
Sanmol 3 x 500 mg

Ranitidin 2 x 1 amp

6 Juli 2015 pukul 06.00


Subject
Object

Batuk, sesak, nyeri epigastrium.


Compos mentis, agak gelisah
TD: 130/60
N:108
S:36,5
P:24
Kepala : CA-/- SI-/- , mata sedikit
exoftalmus
Leher : KGD dbn, tiroid membesar.
Thorax :S1s2 reg, M(-), G(-)
SN vesk +/+, rh -/-,wh -/Abdomen: supel, BU + N, NT + pada
epigastrium,

splenomegali

(-),

hepatomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat (+) pada
Hasil Pemeriksaan penunjang
Tatalaksana

seluruh akral ekstremitas


Ringer laktat 20 tetes per menit
Sanmol 3 x 500 mg
Ranitidin 2 x 1 amp
Dexametason 3x 2 G i.v
Cefepim 2x100
Thyrozol 2x10

Pada tanggal 6 juli 2015 pada pukul 13.00 pasien meminta untuk pulang paksa
dengan alasan biaya. Pemeriksaan elektrolit dan fungsi hati tidak jadi dilakukan.

1.9 PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Functionam: dubia ad bonam
Ad Sanationam: ad bonam
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pasien ini datang dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasa terus menerus dan suhu yang tidak terlalu tinggi pada
perabaan. Tidak ada keluhan lain pada pasien seperti batuk, pilek, mual, muntah.
Tidak ada keluhan dari buang air besar dan buang air kecil.
Diluar keluhan demam, pasien memiliki benjolan pada leher yang mulai terlihat
sejak 6 bulan yang lalu yang terasa semakin membesar. Benjolan mulai terlihat ketika
pasien mengalami penurunan berat badan sejak setahun terakhir. Benjolan pada leher
kemungkinan adalah adanya pembesaran pada kelenjar di leher yaitu tiroid. Benjolan
pada leher ini berdiameter 12 cm, berjumlah 1, teraba kenyal dan ikut bergerak saat
gerakan menelan. Selain penurunan berat badan, ada keluhan mudah merasa panas
dan sering berkeringat banyak. Terdapat keluhan juga sulit tidur malam karena pasien
gelisah. Semua keluhan ini menunjukkan adanya peningkatan metabolisme tubuh
seperti apa yang didapattkan pada penderita hipertiroid. Benjolan yang terletak pada
tengah leher kemungkinan benjolan yang berasal dari kelenjar tiroid dimana bila ada
gangguan pada kelenjar tersebut maka dapat mempengaruhi metabolism seseorang.
Benjolan yang timbul di leher yang dapat menjurus ke banyak kemungkinan
penyakit.

10

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Kelenjar Tiroid
1.1.1. Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus
depan. Kelenjar tiroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran
3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid
berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan
kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian
membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk
sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di
basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan
tertentu masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk
kelenjar tiroid yang letaknya abnormal, seperti persisten duktud
tyroglossus, tiroid servikal, tiroid lingual, sedangkan desensus yang
terlalu jauh akan membentuk tiroid substernal. Branchial pouch
keempat ikut membentuk kelenjar tiroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar

11

tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12


masa kehidupan intrauterin.

1.1.2. Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli
media dan fascia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak
trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tiroid
melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak
pada permukaan belakang kelenjar tiroid.
Tiroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan
menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial.
Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu
bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari a. Tiroidea Superior
(cabang dari a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a.
Subklavia). Setiap folikel limfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler,

12

dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari


pleksus perifolikular.
Nodus Limfatikus tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas
istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi
bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran

13

keganasan.

14

15

.
1.1.3. Histologi Kelenjar Tiroid
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara
mikroskopis terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar
dengan diameter antara 50-500 m. Dinding folikel terdiri dari
selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam
lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis.
Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry.
Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas
protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000).

16

1.1.4. Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu
Tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3),
yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan
sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk
organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat
dalam

tyroglobulin

sebagai

monoiodotirosin

(MIT)

atau

diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT


menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar
tiroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya
tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk
selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid
terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxinebinding pre-albumine, TPBA).
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30
jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat
proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai
kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal,
jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3
(reversed T3, 3,3,5 triiodotironin) yang tidak aktif, yang
digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler.

17

Pengaturan faal tiroid :


Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang
hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang
selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan
hiperfungsi.
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta).
Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel
tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu
produksi hormon meningkat.
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback)
Kedua hormon (T3 dan T4) ini mempunyai umpan balik di
tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap
rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid :

18

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya
bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena
resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati
menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol,
tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat
empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi
tiroid

kadar

kolesterol

hipotiroidisme

kolesterol

rendah.
total,

Sebaliknya

kolesterol

ester

pada
dan

fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme
dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain

menyebabkan

gangguan
miopati,

metabolisme
tonus

traktus

kreatin

fosfat

gastrointestinal

meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan


faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
2.2 STRUMA
2.2.1 DEFINISI

19

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka
akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia.
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Distribusi dan frekuensi
a. Orang
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %)
dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259
orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang
diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang
terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).
b. Tempat dan Waktu
Penelitian Ersoy di Jerman pada tahun 2009 dilakukan palpasi atau
pemeriksaan benjolan pada leher dengan meraba leher 1.018 anak ditemukan 81 anak
(8,0%) mengalami struma endemis atau gondok.35 Penelitian Tenpeny K.E di Haiti
pada tahun 2009 menemukan PR struma endemis 26,3 % yang dilakukan
pemeriksaan pada 1.862 anak usia 6-12 tahun.
Penelitian Arfianty di Kabupaten Madiun tahun 2005 dengan sampel 40 anak yang
terdiri dari 20 anak penderita gondok dan 20 anak bukan penderita gondok

20

menunjukan PR GAKY 31,9 % di Desa Gading (daerah endemik) dan 0,65 % di Desa
Mejaya (daerah non endemik).
2.2.3. ETIOLOGI
Adanya struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat terjadi oleh karena ukuran selselnya bertambah besar atau oleh karena volume jaringan kelenjar dan sekitarnya
yang bertambah dengan pembentukan struktur morfologi baru. Yang mendasari
proses itu ada 3 hal utama. Yaitu :
1.Gangguan perkembangan, seperti terbentuknya kista (kantongan berisi cairan)
atau jaringan tiroid yang tumbuh di dasar lidah (misalnya pada kista tiroglosus
atau tiroid lingual).
2.Proses radang atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves dan penyakit
tiroiditis Hashimoto.
3.Gangguan metabolik (misal, defisiensi iodium) serta hyperplasia, misalnya pada
struma koloid dan struma endemic.
2. 2.4 FAKTOR RESIKO
a. Host
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun
dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada.
Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin tua
akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan
tubuh dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya
usia.
b. Agent
Agent adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang
terdapat dalam jumlah yang berlebihan atau kekurangan. Agent kimia penyebab
struma adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia yang dapat menggangu hormogenesis
tiroid. Goitrogen menyebabkan membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat
dalam kandungan kol, lobak, padi-padian, singkong dan goitrin dalam rumput liar.
Goitrogen juga terdapat dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium,
21

phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara


berlebih.
Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang merupakan
salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus anak-anak yang
sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana sebelumnya tidak diketahui.
Adanya hipertiroidisme mengakibatkan efek radiasi setelah 5-25 tahun kemudian.
c. Environment
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali
mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat struma endemik adalah
di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi
profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah
Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi
2.2.5 KLASIFIKASI STRUMA
Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
22

penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit


berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa
berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan
tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
23

Meningkatnya

kadar

hormon

tiroid

cenderung

menyebabkan

peningkatan

pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil


pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukannya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat
dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma
diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh
kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma
endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon
oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan
akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai
rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas
dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka
yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin.
Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik
berat di atas 30 %.
24

Berdasarkanmorfologinya
struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.StrumaHyperplasticaDiffusa
Suatustadiumhiperplasiakibatkekuranganiodine(baikabsolutataupun
relatif).Defisiensi iodine dengan kebutuhan excessive biasanya terjadi selama
pubertas, pertumbuhan, laktasi dan kehamilan. Karena kurang iodine kelenjar
menjadihiperplasiuntukmenghasilkantiroksindalamjumlahyangcukupbanyak
untukmemenuhikebutuhansupplyiodineyangterbatas.Sehinggaterdapatvesikel
pucatdenganselepitelkolumnertinggidankoloidpucat.Vaskularisasikelenjarjuga
akan bertambah. Jika iodine menjadi adekuat kembali (diberikan iodine atau
kebutuhannya menurun) akan terjadi perubahan di dalam struma koloides atau
kelenjarakanmenjadifaseistirahat.
b.StrumaColloidesDiffusa
Inidisebabkankarenainvolusivesikeltiroid.Bilakebutuhanexcessiveakan
tiroksin oleh karena kebutuhan yang fisiologis (misal, pubertas, laktasi,
kehamilan,stress, dsb.) atau defisiensi iodine telah terbantu melalui hiperplasi,
kelenjar akan kembali normal dengan mengalami involusi. Sebagai hasil vesikel
distensidengankoloiddanukurankelenjarmembesar.
c.StrumaNodular
Biasanyaterjadipadausia30tahunataulebihyangmerupakansequelaedari
strumacolloides.Strumanodulerdimungkinkansebagaiakibatkebutuhanexcessive
yanglamadaritiroksin.Adagangguanberulangdarihiperplasitiroiddaninvolusi
pada masingmasing periode kehamilan, laktasi, dan emosional (fase kebutuhan).
Sehinggaterdapatdaerahhiperinvolusi,daerahhiperplasidandaerahkelenjarnormal.
25

Adadaerahnodulhiperplasidanjugapembentukannoduldarijaringantiroidyang
hiperinvolusi.Tiap folikel normal melalui suatu siklus sekresi dan istirahat untuk
memberikankebutuhanakantiroksintubuh.Saatsatugolongansekresi,golonganlain
istirahatuntukaktifkemudian.
Padastrumanodular,kebanyakanfolikelberhentiambibagiandalamsekresi
sehinggahanyasebagiankecilyangmengalamihiperplasi,yanglainnyamengalami
hiperinvolusi(involusiyangberlebihan/mengecil)
2.3 STRUMA TOKSIK
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma
diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering
adalah

penyakit

Grave

(gondok

eksoftalmik/exophtalmic

goiter),

bentuk

tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.


Penyakit Graves (goiter difusa toksika) dipercaya disebabkan oleh suatu antibodi
yang merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan.
2.3.1 Etiologi 1,3
Grave dissease adalah sindrom hiperplasia tiroid difus, dan paling sering pada
wanita; sindrom ini mempunyai etiologi autoimun dan terkait dengan tiroiditis
autoimun. Gejala khas termasuk hipertiroiditis, biasanya disertai struma dan gejala
oftalmik. Kebanyakan pasien memiliki imunoglobulin perangasang tiroid yang
beredar dalam tubuh yang menyebabkan sekresi berlebihan hormon tiroid dengan

26

cara mengikuti reseptor TSH pada sel tiroid. Disebut juga basedows, flajanis,
parrys disease, dan difuse toxic goiter.

2.3.2 PATOGENESIS

4,5,6

Penyakit Graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang


penyebabnya tidak diketahui. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan
ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya
risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor
Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.Terdapat predisposisi familial kuat
pada sekitar 15% pasien Graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan sama
dan kira-kira 50% keluarga pasien dengan penyakit Graves mempunyai autoantibodi
tiroid yang beredar di darah. Dari kasus-kasus hipertiroidisme yang paling banyak
adalah penyakit grave. Insidensi tertinggi pada kelompok usia 15-40 tahun. Terdapat
kecenderungan familial dan hubungan dengan antigen histokompatibilitas HLA-DR3
dan B8 pada ras Kaukasia, HLA-Bw36 pada orang Jepang, dan HLA-Bw46 pada
orang Cina. Penderita penyakit grave sering menderita penyakit autoimun lain (misal,
anemia pernisiosa) dan terjadi tumpang tindih dengan penyakit hashimoto. Penyakit
grave adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya autoantibodi kelas IgG
dalam serum yang ditujukan untuk melawan reseptor TSH pada sel tiroid. Kombinasi
antibodi dengan reseptor TSH menyebabkan stimulasi sel untuk menghasilkan
hormon tiroid.
2.3.1

MANIFESTASI KLINIS
Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/

struma difus, discrtai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai

27

oftalmopati

(terutama

eksoftalmus)

dan

kadang-kadang

dengan

dermopati.

Manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan


merupakan karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis. Gejala tirotoksikosis yang
sering ditemukan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hiperaktivitas, iritabilitas
Palpitasi
Tidak tahan panas dan keringat berlebih
Mudah lelah
Berat badan turun meskipun makan banyak
Buang air besar lebih sering

Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:

Takikardi, fibrilasi atrial

Tremor halus, refleks meningkat

Kulit hangat dan basah

Rambut rontok

Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari

hipertiroidisme

dan 3 gejala tambahan khusus :

Seluruh kelenjar terangsang sehingga kelenjar sangat membesar, menyebabkan


suatu benjolan di leher (gondok, goiter).

Eksoftalmus (mata menonjol). Hal ini terjadi sebagai akibat dari penimbunan zat
di dalam orbit mata.

Penonjolan kulit diatas tulang kering.

2.3.4. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik kelenjar tiroid digambarkan pada gambar dibawah. Tiroid
melekat erat pada trakea anterior, dipertengahan antara cekungan sternum dan
kartilago tiroid, biasanya mudah dilihat dan diraba.
Ada tiga langkah pemeriksaan;
1. Dengan penerangan baik yang datang dari belakang pemeriksa, pasien disuruh
28

menelan seteguk air. Perhatikan kelenjar saat naik atau -turun. Pembesaran dan
penonjolan (nodul) biasanya dapat dilihat.
2. Raba kelenjar dari anterior. Secara lembut tekan dengan jempol satu sisi kelenjar
untuk memutar lobus lain ke depan dan raba saat pasien menelan.
3. Raba kelenjar dari belakang pasien dengan tiga jari tengah masing-masing lobus
sementara pasien menelan. Suatu gambaran kelenjar dapat diketahui pada kulit
leher dan diukur. Nodul-nodul dapat diukur dengan cara yang sama. Jadi
perubahan-perubahan ukuran pada kelenjar atau pada nodul nodul dapat
diikuti.
Pada pemeriksaan fisik, bagian bulbus masing-masing lobus yang teraba
dari kelenjar tiroid normal berukuran kira-kira 2 cm pada dimensi vertikal. dan
kira-kira 1 cm pada dimensi horizontal di atas istmus. Pembesaran kelenjar tiroid
disebut goiter. Pembesaran yang menyeluruh disebut goiter difus; pembesaran yang
tidak beraturan atau bertonjol-tonjol disebut goiter nodular.
2.3.5. DIAGNOSIS
1. Anamnesa
a. Penderita datang dengan keluhan adanya benjolan pada leher depan bagian
tengah
b. Usia dan jenis kelamin : nodul tiroid timbul pd usia < 20 tahun atau > 50
tahun dan jenis kelamin laki-laki resiko malignancy tinggi (20-70%).
c. Riwayat radiasi daerah leher & kepala pada masa anak-anak malignancy
33-37%
d. Kecepatan tumbuh tumor. Nodul jinak membesar lama (tahunan), nodul ganas
membesar dengan cepat (minggu/bulan)
e. Gangguan

menelan,

sesak

nafas,

suara

serak

&

nyeri

(akibat

penekanan/desakan dan/atau infiltrasi tumor sebagai pertanda telah terjadi


invasi ke jaringan atau organ di sekitarnya)
f. Asal dan tempat tinggal (pegunungan/pantai)
29

g. Benjolan pada leher, lama, pembesaran


h. Riwayat penyakit serupa pada keluarga
i. Struma toksik :

Kurus, irritable, keringat banyak

Nervous

Palpitasi

Hipertoni simpatikus (kulit basah dingin & tremor)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita posisi duduk dengan
kepala sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.
sternokleidomastoideus relaksasi sehingga tumor tiroid mudah dievaluasi.
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan
beberapa komponen berikut :

Lokasi : lobus kanan, lobus kiri, ismus

Ukuran : besar/kecil, permukaan rata/noduler

Jumlah : uninodusa atau multinodusa

Bentuk : apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler


lokal

Gerakan : pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut


bergerak

b.

Pulsasi : bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa
berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua
tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi :

Perluasan dan tepi

30

Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat
diraba trachea dan kelenjarnya.

Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

Hubungan dengan m. sternocleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam


daripada musculus ini.

c.

Limfonodi dan jaringan sekitar

Auskultasi
Pada auskultasi perlu diperhatikan adanya bising tiroid yang
menunjukkan adanya hipertiroid.

2.3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
Pemeriksaan kadar TSH, T3 total, Free T4, dan T4 total. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya
sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya
kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk
mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Radiologi
Thorax : adanya deviasi trakea, retrosternal struma, coin lesion (papiler), cloudy
(folikuler).
Leher AP lateral evaluasi jalan nafas untuk intubasi pembiusan.
3. USG

31

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di
layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainankelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan
kemungkinan karsinoma.
Dilakukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul di posterior yang secara
klinis belum dapat dipalpasi. Di samping itu, dapat dipakai untuk membedakan nodul
yang padat atau kistik serta dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan
biopsy aspirasi jarum halus.
4. Scanning tiroid (pemeriksaan sidik tiroid)
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian
berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
Memakai uptake I yang didistribusikan ke tiroid untuk menentukan fungsi tiroid.
Normalnya uptake 15-40 % dalam 24 jam. Bila uptake > normal disebut hot area,
sedangkan jika uptake < normal disebut cold area (pada neoplasma)
5. Pemeriksaan sitologi melalui biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus. Cara
pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan diagnosis suspek maligna ataupun
benigna.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
32

2.3.8. Diagnosis Banding 4,5,6


1. Goiter Toksik Multinodular
Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang
mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid.
Struma nodular toksik (Plummers disease) pertama sekali dideskripsikan oleh Henry
Plummer pada tahun 1913. struma nodular toksik merupakan penyebab hipertiroid
terbanyak kedua setelah Graves disease. Kelainan ini terjadi pada pasien-pasien tua
dengan goiter multinodular yang lama. Oftalmopati sangatlah jarang. Klinis pasien
menunjukkan takikardi, kegagalan jantung atau aritmia dan kadang-kadang
penurunan berat badan, nervous, tremor dan berkeringat. Pemeriksaan fisik
memperlihatkan goiter multinodular yang dapat kecil atau cukup besar dan bahkan
membesar sampai substernal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan TSH
tersupresi dan kadar T3 serum yang sangat meningkat, dengan peningkatan kadar T4
serum yang tidak terlalu menyolok. Scan radioiodin menunjukkan nodul fungsional
multipel pada kelenjar atau kadang-kadang penyebaran iodin radioaktif yang tidak
teratur dan bercak-bercak. Hipertiroidisme pada pasien-pasien depgan goiter
multinodular sering dapat ditimbulkan dengan pemberian iodin (efek "jodbasedow"
atau hipertiroidisme yang diinduksi oleh iodida). Beberapa adenoma tiroid tidak
mengalami efek efek ini didorong oleh kelebihan produksi hormon karena kadar
iodida sirkulasi yang tinggi. Ini adalah mekanisme untuk berkembangnya
hipertiroidisme setelah pemberian obat antiaritmia amiodaron . Penanganan goiter
nodular toksika cukup sukar. Penanganan keadaan hipertiroid dengan hipertiroid
dengan obat-obat antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal tampaknya akan
menjadi terapi pilihan, namun sering pasien-pasien ini sudah tua dan memiliki
penyakit lain sehingga pasien-pasien ini seringkali merupakan pasien dengan risiko
operasi yang buruk. Nodul toksik dapat dihancurkan dengan 131-I, tapi goiter
multinodular akan tetap ada, dan nodul-nodul lain dapat menjadi toksik, sehingga
33

dibutuhkan dosis ulangan 131-I. Amiodaron adalah obat antiaritmia yang


mengandung 37,3% iodin. Dalam tubuh, obat ini disimpan dalam lemak,
miokardium, hepar dan paru-paru dan memiliki waktu paruh kira-kira 50 hari. Kirakira 2% pasien diobati dengan amiodaron mengalami tirotoksis. Hal ini menimbulkan
masalah yang paling sukar. Pasien yang mendapat amiodaron mempunyai penyakif
jantung serius yang mendasari, dan pada banyak kasus obat ini tidak dapat
dihentikan. Jika tirotoksikosis ringan, dapat dikendalikan dengan metimazol 40-60
mg sehari, sementara terapi amiodaron diteruskan. Jika penyakit berat, KClO 4 dengan
dosis 250 mg tiap 6 jam dapat ditambahkan untuk menjenuhkan iodida trap dan
mencegah ambilan iodida lebih lanjut. KClO 4 jangka panjang telah dihubungkan
dengan anemia aplastik dan butuh pemamtauan. Satu-satunya jalan untuk
menghilangkan cadangan hormon tiroid yang besar adalah pembedahan untuk
mengangkat goiter.
2. Karsinoma tiroid
Suatu pertumbuhan yang ganas dari kelenjar tiroid. Keganasan tiroid
dikelompokkan menjadi karsinoma tiroid berdiferensi baik, yaitu bentuk papiler,
folikuler, atau campuran keduanya, karsinoma meduler yang berasal dari sel
parafolikuler

yang

mengeluarkan

kalsitonin

(APUD-oma),

dan

karsinoma

berdiferensiasi buruk/anaplastik. Karsinoma sekunder pada kelenjar tiroid sangat


jarang dijumpai. Perubahan dari struma endemik menjadi kasinoma anaplastik dapat
terjadi terutama pada usia lanjut. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologi,
pemeriksaan FNAB belum dapat menggantikan pemeriksaan ini.
2.3.7 PENATALAKSANAAN
1. Bed rest
2. PTU 100-200 mg (propilthiouracil)

34

Merupakan obat anti-tiroid, dimana bekerjanya dengan prevensi pada sintesis dan
akhir dari tiroksin. Obat ini bekerja mencegah produksi tiroksin (T4). Diberikan dosis
3x 100 mg/hari tiap 8 jam sampai tercapai eutiroid. Bila menjadi eutiroid
dilanjutkan dengan dosis maintenance 2 x 5 mg/hari selama 12-18 bulan.
Lugol 5 10 tetes
Obat ini membantu mengubah menjadi tiroksin dan mengurangi vaskularisasi
serta kerapuhan kelenjar tiroid. Digunakan 10-21 hari sebelum operasi. Namun
sekarang tidak digunakan lagi, oleh karena propanolol lebih baik dalam mengurangi
vaskularisasi dan kerapuhan kelenjar. Dosis 3 x 5-10 mg/hari selama 14 hari.
Iodium
5. Radioterapi
Biasanya diberikan pada pasien yang telah diterapi dengan obat anti-tiroid.
Indikasi radioterapi adalah pasien pada awal penyakit atau pasien dengan resiko
tinggi untuk operasi dan untuk pasien dengan hipotiroid rekuren. Radioterapi
merupakan kontraindikasi bagi wanita hamil dan anak-anak.
6. Operatif
a. Isthmulobectomy , mengangkat isthmus
b. Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram
c. Tiroidectomi total, semua kelenjar tiroid diangkat
d. Tiroidectomy subtotal bilateral, mengangkat sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri.
e. Near total tiroidectomi, isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal
sinistra dan sebaliknya.
7. RND (Radical Neck Dissection),
Mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher sisi yang bersangkutan dengan
menyertakan

n.

accessories,

sternocleidomastoideus

dan

v.

jugularis

eksterna

m.omohyoideus

serta

dan

interna,

kelenjar

m.

ludah

submandibularis.

35

BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1.Thyroid

goiter.

Available

on

http://www.endocrineweb.com/conditions/thyroid/thyroid-goiter.accessed

on

july

6,2015.
2.Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Kedokteran : Dari Sel ke Sistem, 2nd ed .
EGC: Jakarta.
3.Sabiston,david.1995. Buku Ajar Bedah. Bagian 1: hal 415- 425.EGC: Jakarta.
4.Sudoyo, aru dkk. Ilmu Penyakit Dalam jilid lll. Edisi lV.Kelenjar tiroid,
Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Hal 1933-1943.EGC : Jakarta
5.Struma. Available on : http://ababar.blogspot.com/2008/12/struma.html . Accessed
on july 07th 2015.
6.

Hypertiroidism.

Available

on

http://www.mayoclinic.com/health/hyperthyroidism/DS00344/DSECTION=symptom
s. Accessed on july 2, 2011.
7.

StrumaNonToksik.

Available

on

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter%20II.pdf. Accessed
on july 2, 2011 .

36

Anda mungkin juga menyukai