Kepribadian
Pendahuluan
Perkembangan metode penelitian dalam bidang psikologi, tidak hanya terkait
dengan teknik analisis data statistik. Penelitian yang dilakukan tidak hanya membuktikan
suatu hipotesis penelitian yang diajukan. Chaplin (dalam Robins, Fraley & Krueger,
2007) menjelaskan bahwa pada tahun-tahun 1960an awal 1980an, penelitian dalam
psikologi kepribadian mengalami masa gelap. Hal ini didukung oleh adanya kritikan
Walter Mischel pada tahun 1968, bahwa pada masa tersebut yang menyatakan adanya
kesimpulan dini terkait dengan adanya perbedaan individu. Pada masa tersebut dikatakan
bahwa perbedaan individu (dalam hal ini adalah kepribadian) tidak berfungsi sepenuhnya
dalam memprediksikan dan memahami perilaku manusia.
Kebangkitan psikologi kepribadian dimulai pada akhir masa 1980an yang ditandai
dengan adanya banyaknya pembuatan alat ukur tentang kepribadian (Swann & Seyle,
2005). Kritikan terhadap pembuatan alat ukur ini berdatangan pada masa kebangkitan
psikologi kepribadian. Secara umum dianggapnya kurang menggunakan metodologi dan
statistik yang menunjang reliabilitas dari alat ukur tersebut. Terkait dengan kritikankritikan tersebut, maka berangsur-berangsu penelitian tentang psikologi kepribadian
mulai berkembang dengan mengikuti perkembangan metode penelitian. Pada umumnya
penelitian ini masih bersifat korelasi antara hasil pengukuran self report dengan outcome
subjek penelitian.
Pada titik tertentu, penelitian tentang kepribadian terbatas pada korelasi bivariate
dan analisis regresi, masih dirasa kurang menarik dan kurang berdaya guna, baik untuk
kepentingan keilmuan maupun terapan (aplikasi/praktek). Dalam dekade terakhir,
penelitian dalam psikologi sudah lebih berkembang kompleksitasnya. Kekompleksitasan
ini tercermin pada metode penelitian (korelasi bivariate dan analisis regresi) dan tujuan
dalam penelitiannya. Kondisi ini tidak lagi berorientasi pada pembuktian hipotesis atau
pertanyaan penelitian, namun juga terkait dengan adanya usaha untuk membuktikan
model yang disusun berdasarkan konseptual dengan data lapangan yang diperoleh. Salah
satu tujuan dari uji model ini adalah untuk membuat atau memperbarui teori-teori yang
sudah lama dalam psikologi. Sebagai contoh, kita lihat model perilaku dari Kurt Lewin.
Lewin (Weiten & Lloyd, 2006) mengeluarkan model perilaku dengan menyampaikan
bahwa perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan kepribadian (B = f P x E).
Berdasarkan konsep tersebut banyak hal yang berkembang, seperti adanya pendapat
bahwa
lingkungan
membentuk
kepribadian
melalui
penghayatan
budayanya
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan mediator dan
moderator, mengingat dalam penelitian sosial termasuk dalam psikologi, sering
dipertukarkan makna kedua variabel tersebut. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui
tantangan-tantangan yang dihadapi dalam model mediator dan moderator. Tujuan ketiga
adalah untuk mengetahui pendekatan statistic yang digunakan dalam pengujian model ini.
Model Mediator
Konsep dasar model mediator ini adalah suatu mekanisme yang menjelaskan
bagaimana satu variabel mempengaruhi variabel lainnya (Baron & Kenny, 1986; James
& Brett, 1984). MacKinnon (2007) menjelaskan bahwa relasi yang kompleks dapat
diperlihatkan pada adanya variabel ketiga yang terletak diantara hubungan causa antara
independent variabel (IV) dan dependenet variabel (DV). Tipe relasi ini dikenal dengan
mediation, dan variabel ketiga tersebut dikenal dengan variabel mediator (M). Judd &
Kenny, (1981); MacCorquodale & Meehl, (1948); Rozeboom, (1956) menjelaskan
konsep mediator ini sebagai dampak tidak langsung (indirect effect), intervening variable
atau intermediate effects (Chaplin dalam Robins, Kraley & Krueger, 2007). Untuk
menjelaskan lebih komperhensif dari model mediator ini dapat dilihat pada gambar 1
berikut.
a (B1)
IV
DV
a (B3)
IV
DV
b (B2)
c (B4)
M
statistik sebagai berikut (pada umumnya mengunakan least square estimators). Tiga
model statistik tersebut adalah sebagai berikut:
DV = B0 + B1 (IV)
(1)
Me = B0 + B2 (IV)
(2)
DV = B0 + B3 (IV) + B4 (M)
(3)
2.
3.
Setelah melakukan estimasi atas parameter yang ada, maka untuk mengatakan apakah
suatu variabel berperan sebagai mediator, maka harus memperhatikan 4 kondisi sebagai
berikut:
1. relasi IV dan DV signifikan (persamaan 1),
2. relasi IV dan Me signifikan (persamaan 2),
3. relasi Me dan DV juga signifikan setelah mengontrol IV.
4. peran IV terhadap DV menjadi berkurang setelah Me dikontrol.
Dengan memenuhi empat kondisi tersebut di atas, maka jika peran IV terhadap DV lebih
kecil dibandingkan peran IV dan Me terhadap DV, maka dikatakan Me adalah variabel
mediator, dan model yang diajukan terbukti sebagai model mediating.
Model Moderator
Seperti halnya konsep mediator, pada model moderator pun melibatkan adanya
variabel ketiga selain IV dan DV pada penelitian. Model moderator melibatkan variabel
ke tiga sebagai variabel moderator. Secara umum variabel moderator dijelaskan sebagai
variabel yang dapat mempengaruhi arah dan atau kekuatan hubungan antara IV atau
varibel predictor dan DV atau variabel criterion. Variabel ini dapat saja meningkatkan,
menurunkan atau merubah relasi yang ada antara IV dan DV. Variabel yang berfungsi
sebagai variabel moderator ini, pada umumnya adalah karakteristik individual (jenis
kelamin, coping) atau contextual (dukungan sosial, lingkungan keluarga), dapat
berbentuk kualitatif (jenis kelamin, ras atau kelompok) atau kuantitatif (tingkat dari
reward, tingkat resistensi dll). (James & Brett, 1984; Baron & Kenny, 1986; & Chaplin
(dalam Robins, Fraley & Krueger, 2007; Jandasek, Grayson, Holmbeck dan Rose (dalam
Hersen & Gross, 2008); MacKinnon, 2007). Chaplin menambahkan, bahwa untuk
mengetahui model moderator dapat diibaratkan dengan kondisi it depends yang akan
mnejelaskan setiap pertanyaan yang diajukan. Misalkan, apakah kecemasan seseorang
akan mempengaruhi kinerjanya sebagai seorang karyawan? Maka jawaban yang muncul
tergantung pada...(it depend on...), variabel yang muncul tersebut menjelaskan adanya
peran variabel moderator. Grayson, Holmbeck dan Rose (dalam Hersen & Gross,
2008)menjelaskan model moderator tersebut dalam gambar 2 berikut ini.
Tidak seperti pada mediator, bahwa antar variabel harus berpengaruh langsung
secara signifikan, baru dapat diukur kekuatan mediatornya, maka pada model moderator,
tidak membutuhkan syarat tersebut. Hal ini dikarenakan model moderator ini adalah
model linear sederhana. Chaplin (dalam Robins, Fraley & Krueger, 2007) menegaskan,
bahwa evaluasi moderator dapat dilakukan dengan menggunakan hierarchical regression
(bisa juga yang berbentuk ordinal, seperti logistic regression). Persamaan regresi untuk
model moderator ini dapat dilihat pada persamaan regresi berikut ini. Model ini
melakukan dua tahap pengujian statistik, yang pertama adalah melakukan regresi antara
IV dan Mo terhadap DV, kedua adalah dengan menambahkan product IV dan Mo, pada
regresi yang pertama (Cohen, 1978, dalam Chaplin pada Robins, Fraley & Krueger,
2007). Persamaan regresi yang biasa dihasilkan dari model moderator ini adalah sebagai
berikut:
Y = B0 + B1X + B2Mo
(4)
(5)
Dimana B0 adalah intercept, B1, B2, B3 adalah koefisien regresi yang belum terstandard
untul IV (X), moderator (Mo) dan product (Mo*X). Hipotesis moderator terbukti jika efek
product terhadap DV terbukti signifikan. Hal ini membedakan pada persamaan 4, bahwa
IV dan Mo, keduanya berperan sebagai antiseden dari DV.
Manfaat Penggunaan Model Mediator dan Moderator
Beberapa penelitian yabng telah dilakukan menunjukkan bahwa model meditor dan
moderator ini tidak hanya berhasil untuk meningkatkan kualitas dari pengembangan
konsep-konsep yang terdapat dalam psikologi, khususnya psikologi kepribadian.
Penelitian yang dilakukan Chandler, 1973 menjelaskan bahwa model mediator sangat
berperan untuk menguji apakah variabel self-centeredness mampu mereduksi kenakalan
remaja dalam program role-modeling yang dikembangkannya. Sementara itu Bickman,
1998, menjelaskan bahwa model mediator ini digunakannya untuk melakukan evaluasi
terhadap Family Empowerment Project. Bickman membuat kurikulum pelatihan yang
dirancang untuk orangtua yang mempunyai anak yang sedang dalam program
improvement kesehatan mentalnya. Dengan menggunakan model mediator ini, Bickman
mampu menunjukkan hasil evaluasi, bahwa program pelatihan yang dirancang terbukti
mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy orangtua, dimana hal ini dimediatori
oleh antisipasi terhadap perubahan. Sehingga dapat dirancang intervensi selanjutnya
untuk subjek yang sama (dalam Petrosino, 2000).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model mediator,
kita dapat memperoleh informasi sejauh mana sebuah intervensi dapat bermanfaat. Selain
itu juga dapat diperoleh informasi apakah intervensi tersebut harus dilanjutkan atau
dirubah. Untuk subjek yang mengalami intervensi, juga dapat diperoleh informasi,
apakah sudah layak untuk intervensi tahap selanjutnya atau cukup pada tahap tertentu
saja. Program evaluasi yang menggunakan mediator berpotensi untuk warning system
terkait dengankeberhasilan programnya.
Pada sisi lain, model moderator pun mempunyai manfaat untuk kepentingan praktis,
bukan hanya dalam hal teoritis. Seperti halnya model mediator, model moderator juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelatihan atau intervensi.
Evaluator biasanya mencari dampak moderator setelah mendapatkan laporan dampak
utama dari interfensi yang diberikan. Dengan mengetahui fungsi moderator akan
memperkuat analisa dari dampal utama sebuah intervensi. Baron dan Kenny (1986)
menegaskan, pada umumnya, para peneliti berhenti menganalisa jika vaiabel independent
tidak menunjukkan dampak yang signifikan terhadap variabel dependent, padahal masih
dapat diolah variabel lain yang berperan sebagai moderator.
Gortmaker dan Wiecka (1999) mengevaluasi program prevensi obesitas pada siswa
sekolah di Boston. Pada program ini secara menyeluruh menunjukkan hasil yang
signifikan. Bahkan mereka menemukan informasi tambahan yang menguatkan program
prevensi selanjutnya dengan membuat program khusus berdasarkan gender dan ras
subjek. Hal ini dikarenakan, pada evaluasi program prevensi yang dilakukan
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap program obesitas pada siswa perempuan.
Penelitian lain dilakukan oleh Adam (1970). Adam melakukan eksperimen terhadap
sekelompok anak yang nakal dengan melakukan eksperimen memberikan perlakuan
konseling kelompok intensif. Hasil eksperimen menjelaskan bahwa treatment yang
diberikan tidak memberikan dampak pada subjek penelitian. Kemudian dia mencoba
melakukan evaluasi dengan melakukan pengujian moderator, yaitu dengan melibatkan
sekelompok anak yang sudah pernah diberikan treatment sebelumnya oleh psikolog klinis
(sebelum eksperimen dimulai), ternyata menunjukkan hasil konseling yang bagus.
Dengan demikian, aspek pengalaman subjek penelitian dalam menghadapi seorang
profesional untuk melakukan treatment tertentu, memberikan dampak terhadap
keberhasilannya dalam mengikuti program konseling. Mark, Hofmann, dan Reichardt
(dalam Petrosino, 2000) menjelaskan bahwa dengan melakukan analisis moderator,
seorang evaluator dapat terpacu untuk mencari teori tentang mengapa sebuah program
dapat memberikan dampak yang berbeda. Dengan demikian, analisis moderator tidak
berhneti pada menghasilkan alternatif lain dari program yang dibuat, namun juga
mengembangkan konseptual yang mendasari suatu program.
antara model teoritis dengan data dari penelitian. Teknik statistik yang dapat digunakan
untuk membuktikan model mediator dan moderator ada dua, yaitu dengan menggunakan
regresi dan structural equation modelling (SEM). Pembahasan selanjutnya akan
dipisahkan untuk model mediator dan moderator dengan pendekatan regresi dan SEM.
prediktor untuk persamaan ketiga, dimana C adalah variabel dependennya. Baron dan
Kenny (1986) lebih menyarankan untuk menggunakan simultaneous entry dibandingkan
hierarchical entry pada persamaan ketiga. Hal ini dikarenakan dampak B terhadap C
dapat diuji setelah mengontrol A, dan dampak A pada C dapat diuji juga setelah
mengontrol B (berdasarkan pada prinsip path analysisi). Signifikansi path B C pada
persamaan ketiga ini menguji kondisi ketiga. Dampak A pada C di persamaan kedua
(pada saat B tidak dikontrol), untuk menguji kondisi 4. Secara khusus, maka korelasi A
dengan C seharusnya kurang pada persamaan ketiga dibandingkan pada persamaan
kedua.
Pada penelitian sebelumnya dijelaskan apakah akan terjadi pengaruh predictor
outcome dari signifikan (p< .05) menjadi tidak signifikan (p > .05) setelah mediator
dilibatkan pada model tersebut. Jandasek, Grayson, Bolmbeek dan Rose (dalam Hersen &
Gross, 2008, menyatakan bahwa strategi tersebut mengandung kecacatan, bagaimanapun
penurunan dari signifikan menjadi tidak signifikan sangat mungkin sekali terjadi.
Misalnya sangat mungkin terjadi penurunan koefisien regresi dari .28 menjadi .27, namun
tidak dari .75 menjadi .35. Hal ini menjelaskan bahwa, sangat memungkinkan model
mediation yang signifikan tidak terjadi pada saat dampak prediktor terhadap outcome
turun dari signifikan menjadi tidak signifikan setelah melibatkan variabel mediator.
Sebaliknya sangat mungkin terjadi peran mediator meskipun secara statistik, dampak
prediktor terhadap outcome tetap signifikan meskipun setelah adanya keterlibatan
variabel mediator.Penurunan dari signifikan menjadi tidak signifikan ini memerlukan
suatu pengujian, sehingga penurunan tersebut memenuhi standard uji signifikansi. Untuk
itu perlu dilakukan Sobel test (Sobel, 1988).
dihipotesiskan (C). Pertama kali yang akan diukur adalah dampak langsung dari A C.
Jika diperoleh hasil yang cocok (fit) pada model dampak langsung, maka dilanjutkan
dengan menguji kecocokan pada keseluruhan model yaitu A B C. Jika untuk model
keseluruhan ini cocok, maka dilanjutkan dengan menguji kecocokan pada model A B
dan B C, untuk mengetahui koefisien path analysis.dalam kondisi ini maka diharuskan
semua path (A C, A B dan B C) dalam model A B C harus signifikan
(analogi dari model regresi sebelumnya).
Langkah terakhir untuk menggunakan SEM dalam menguji model mediator adalah
dengan melakukan pengujian model A B C denga dua kondisi yaitu (1) jika path A
C diarahkan menjadi 0 dan ketika (2) jika path A C tidak diarahkan. Pengujian
kecocokan dilakukan dengan melihat perbedaan antara dua model chi-squares. Dampak
mediasi akan terjadi jika penambahan path A C pada model yang sudah tetap tidak
akan meningkatkan kecocokan pada model. Dengan kata lain signifikansi path A C
berkurang menjadi tidak signifikan pada saat mediator dilibatkan pada analysis tersebut
(analogi dari pendekatan regresi) (Jandasek, Grayson, Holmbeck dan Rose, dalam Hersen
& Gross, 2008).
Sebagai informasi tambahan, Jandasek dkk. Menjelaskan bahwa penggunaan SEM
untuk menguji dampak mediasi, maka perlu untuk membedakan dampak tidak langsung
(indirect) dan mediasi (mediated). Jandasek dkk, menjelaskan bahwa dampak tidak
langsung dapat berfungsi sebagai dampak mediasi jika path A c tidak signifikan (tidak
ada dampat mediasi dan hanya ada path A B dan B C yang signifikan, ada dampak
tidak langsung, tapi tidak ada dampak mediasi, karena dampak langsung A c tidak
signifikan). Hal ini dapat terlihat pada penelitian yang dilakukan Capaldi, Crosby dan
Clark (1996). Capaldi dkk melakukan penelitian longitudinal yang dianalisis dengan
menggunakan SEM. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa agresi pada
keluarga (tercermin pada agresi yang terjadi pada hubungan intim pasangan muda)
dimediasi oleh tingkat perilaku anti sosialnya di masa remaja. Hasil penelitian yang lebih
komprehensif menyebutkan kalau dampak langsung prediktor terhadap criterion tidak
signifikan, meskipun path predictor mediator dan mediator criterion signifikan.
Dengan kata lain meskipun nampak ada dampak tidak langsung antara prediktor dan
criterion namun tidak menemukan adanya mediator. Hasil akhir dari penelitian Capaldi
dkk menjelaskan bahwa terjadi kecocokan kriteria untuk dampak tidak langsung, namun
tidak terjadi kecocokan kriteria untuk dampak mediasi.
Krueger, 2007). Seharusnya hal tersebut tidak lagi menjadi satu isu yang perlu
diperdebatkan. Lebih lanjut Chaplin menjelaskan keyakinan beberapa peneliti, bahwa
situasi lebih memiliki kekuatan untuk memprediksikan perilaku manusia dibandingkan
dengan kepribadian, hendaknya sudah mulai pudar. Hal ini dikarenakan ada beberapa
penelitian yang telah menegaskan bahwa hal tersebut belum terbukti secara langsung
(Funder & Ozer, 1983). Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian Funder dan Ozer
adalah penelitian yang dilakukan oleh Kenny, Mohr dan Lavesque (2001). Kenny dkk
menjelaskan bahwa varian yang menjelaskan perilaku manusia lebih besar berkaitan
dengan dengan faktor personal dibandingkan dengan faktor situasi maupun interaksi
situasi dan person (situasi x person).
Penelitian-penelitian tersebut mendasari suatu asumsi bahwa kepribadian tetap
memberikan peran pada perilaku manusia. Chaplin menegaskan bahwa pengaruh
kepribadian pada outcome apapun tidak hanya sekedar menjumlahkan aspek-aspek
kepribadian yang ada dalam diri individu. Sebagai contoh, kinerja sales terbukti
dikarenakan ada dua kepribadian yaitu extraversion dan conscientiousness. Model ini
adalah model linear, namun bukan berarti bahwa kinerja sales merupakan hasil
penjumlahan dari dua kepribadian tersebut. Dalam perkembanganya penelitian yang
melibatkan aspek kepribadian mempertanyakan apakah kepribadian merupakan konstruk
yang cukup kuat berperan sebagai prediktor. Pertanyaan tersebut memberikan peluang
adanya perkembangan penggunaan variabel mediator dan moderator pada penelitian
psikologi kepribadian.
Krueger, Schmutte, Caspi, Moffitt, Campbell, dan Silva
(1994) menjelaskan
bahwa, kepribadian dapat bermanfaat sebagai IV, namun lemah sebagai variabel
explanatory. Alasan aspek kepribadian lemah sebagai variabel explanatory karena adanya
mekanisme operasionalisasi definisi kepribadian yang kurang spesifik. Sebagai contoh
adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh
sebagai
moderator
pada
hubungan
antar
faktor
situasi
dengan
yang dilakukan oleh Dance dan Neufel (1988). Dala penelitiannya Dance dan Neufel,
mendapatkan informasi interaksi pasien dan treatmen di psikologi klinis adalah negatif.
Temuan negatif ini, menurut mereka karena adanya metode dan analisis data yang
konfensional. Dari proses tersebut disadari perlunya usaha untuk memanupulasi faktor
situasi agar treatment yang diberikan pada pasien lebih bermanfaat.
Kesimpulan
Dari apa yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat dipahami bahwa metode
penelitian dalam psikologi terus berkembang, tidak terkecuali dalam psikologi
kepribadian. Penelitian-penelitian awal yang terbatas pada adanya pembuktia hipotesis
pengaruh IV terhadap DV ikut berkembang dengan ditemukannya analisis variabel
ketiga. Apalagi telah dipahami bahwa penjelasan peran kepribadian pada munculnya
perilaku manusia merupakan suatu usaha yang lemah, bila tidak mneyertakan adanya
variabel lain. Kedudukan konstruk kepribadian yang lebih dipandang sebagai kesatuan
yang cenderung menetap dan tidak mudah berubah, lebih sering menempatkan kontruk
kepribadian sebagai IV. Padahal hasil riset yang menempatkan kepribadian sebagai IV
mengalami kendala yang cukup kuat untuk mengambil manfaat dari hasil penelitian
tersebut karena kurang spesifik dalam operasionalisasi variabelnya.
Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan penelitian dalam psikologi
kepribadian tersebut cukup dapat diatasi setelah dikenalkannya mode mediator dan
moderator. Walaupun pada awalnya lebih banyak berkembang dalam bidang psikologi
sosial, namun akhir-akhir ini telrah banyak penelitian dala psikologi kepribadian yang
menggunakan model ini juga. Dengan menggunakan model ini, maka tidak lagi
mengalami kesulitan dalam menjelaskan kontribusi hasil penelitian yang menyebutkan
adanya korelasi antara konstruk kepribadian dengan outcome. Dengan lebih
memperdalam kajian korelasi konstruk kepribadian dan outcome dengan lebih memahami
kondisi spesifik yang menyertai atau tidak menyertai (model moderator). Selain itu juga
dengan memperhatikan pengujian hipotesis tentang mengapa korelasi antar kepribadian
dan outcome itu terbentuk (model mediator). Hal ini dikarenakan, dengan mengetahui
korelasi kepribadian dan outcome hanya akan diperoleh informasi awal. Tidak akan
mendapatkan pembahasan yang lebih komprehensif bagaimana bisa berkorelasi.
Daftar Pustaka
Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The moderator mediator variable distinction in
social psychological research: Conceptual, strategic, and statistical considerations.
Journal of Personality and Social Psychology, 51, 11731182.
Capaldi, D. M., Crosby, L., & Clark, S. (1996, March). The prediction of aggression in
young adult intimate relationships from aggression in the family of origin: A
mediational model. Paper presented at the meeting of the Society for Research on
Adolescence, Boston.
Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied multiple regression/correlation analysis for the
behavior sciences (2nd ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Dance, K. A., & Neufeld, R. W. J. (1988). Aptitude treatment interaction research in the
clinical setting: A review of attempts to deal with the patient uniformity myth.
Psychological Bulletin, 104, 192213.
Funder, D. C., & Ozer, D. J. (1983). Behavior as a function of the situation. Journal of
Personality and Social Psychology, 44, 107112.
Hersen, M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of Clinical Psychology, Volume 2: Children
and Adolescents, New Jersey: JohnWiley & Sons, Inc.
James, L. R., & Brett, J. M. (1984). Mediators, Moderators, And Tests For Mediation.
Journal of Applied Psychology, 69, 307321.
Kenny, D. A., Mohr, C. D., & Levesque, M. J. (2001). A social relations variance
partitioning of dyadic behavior. Psychological Bulletin, 127, 128141.
Krueger, R. F., Schmutte, P. S., Caspi, A., Moffitt, T. E.,Campbell, K.,&Silva, P. A.
(1994). Personality traits are linked to crime among men and women: Evidence
from a birth cohort. Journal of Abnormal Psychology, 103, 328338.
MacKinnon, D.P. (2007) Introduction to Statistical Mediation Analysis. New York:
Lawrence Erlbaum Associates.
Matsumoto, D. (Ed.). (2001). The handbook of culture and psychology. Oxford:, UK
Oxford University Press.