Anda di halaman 1dari 18

Penempatan Model Mediator dan Moderator pada Penelitian Psikologi

Kepribadian

Ayu Dwi Nindyati


Program Studi Psikologi Universitas Paramadina
ayu.nindyati@paramadina.ac.id
Tb. Zulrizka Iskandar
Fakultas Psikologi Universitas Padjdjaran

Pendahuluan
Perkembangan metode penelitian dalam bidang psikologi, tidak hanya terkait
dengan teknik analisis data statistik. Penelitian yang dilakukan tidak hanya membuktikan
suatu hipotesis penelitian yang diajukan. Chaplin (dalam Robins, Fraley & Krueger,
2007) menjelaskan bahwa pada tahun-tahun 1960an awal 1980an, penelitian dalam
psikologi kepribadian mengalami masa gelap. Hal ini didukung oleh adanya kritikan
Walter Mischel pada tahun 1968, bahwa pada masa tersebut yang menyatakan adanya
kesimpulan dini terkait dengan adanya perbedaan individu. Pada masa tersebut dikatakan
bahwa perbedaan individu (dalam hal ini adalah kepribadian) tidak berfungsi sepenuhnya
dalam memprediksikan dan memahami perilaku manusia.
Kebangkitan psikologi kepribadian dimulai pada akhir masa 1980an yang ditandai
dengan adanya banyaknya pembuatan alat ukur tentang kepribadian (Swann & Seyle,

2005). Kritikan terhadap pembuatan alat ukur ini berdatangan pada masa kebangkitan
psikologi kepribadian. Secara umum dianggapnya kurang menggunakan metodologi dan
statistik yang menunjang reliabilitas dari alat ukur tersebut. Terkait dengan kritikankritikan tersebut, maka berangsur-berangsu penelitian tentang psikologi kepribadian
mulai berkembang dengan mengikuti perkembangan metode penelitian. Pada umumnya
penelitian ini masih bersifat korelasi antara hasil pengukuran self report dengan outcome
subjek penelitian.
Pada titik tertentu, penelitian tentang kepribadian terbatas pada korelasi bivariate
dan analisis regresi, masih dirasa kurang menarik dan kurang berdaya guna, baik untuk
kepentingan keilmuan maupun terapan (aplikasi/praktek). Dalam dekade terakhir,
penelitian dalam psikologi sudah lebih berkembang kompleksitasnya. Kekompleksitasan
ini tercermin pada metode penelitian (korelasi bivariate dan analisis regresi) dan tujuan
dalam penelitiannya. Kondisi ini tidak lagi berorientasi pada pembuktian hipotesis atau
pertanyaan penelitian, namun juga terkait dengan adanya usaha untuk membuktikan
model yang disusun berdasarkan konseptual dengan data lapangan yang diperoleh. Salah
satu tujuan dari uji model ini adalah untuk membuat atau memperbarui teori-teori yang
sudah lama dalam psikologi. Sebagai contoh, kita lihat model perilaku dari Kurt Lewin.
Lewin (Weiten & Lloyd, 2006) mengeluarkan model perilaku dengan menyampaikan
bahwa perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan kepribadian (B = f P x E).
Berdasarkan konsep tersebut banyak hal yang berkembang, seperti adanya pendapat
bahwa

lingkungan

membentuk

kepribadian

melalui

penghayatan

budayanya

(Matsumoto,2001), baru dapat berpengaruh pada perilaku.


Dekade terakhir, uji model menjadi salah satu alternatif desain penelitian yang
memuaskan peneliti. Oleh karena itu, penggunaannya pun mulai sering digunakan. Salah
satu uji model yang mulai banyak dipergunakan, namun secara konseptual belum cukup
banyak dibahas, adalah model yang melibatkan variabel ketiga dalam penelitian. Variabel
ketiga ini adalah variabel penelitian di luar variabel bebas dan variabel terikat. Secara
umum dapat peran variabel ketiga dapat dibagi dalam dua fungsi (Baron & Kenny, 1986),
yaitu (a) fungsi moderator dan (b) fungsi mediator.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan mediator dan
moderator, mengingat dalam penelitian sosial termasuk dalam psikologi, sering
dipertukarkan makna kedua variabel tersebut. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui
tantangan-tantangan yang dihadapi dalam model mediator dan moderator. Tujuan ketiga
adalah untuk mengetahui pendekatan statistic yang digunakan dalam pengujian model ini.

Model Mediator
Konsep dasar model mediator ini adalah suatu mekanisme yang menjelaskan
bagaimana satu variabel mempengaruhi variabel lainnya (Baron & Kenny, 1986; James
& Brett, 1984). MacKinnon (2007) menjelaskan bahwa relasi yang kompleks dapat
diperlihatkan pada adanya variabel ketiga yang terletak diantara hubungan causa antara
independent variabel (IV) dan dependenet variabel (DV). Tipe relasi ini dikenal dengan
mediation, dan variabel ketiga tersebut dikenal dengan variabel mediator (M). Judd &
Kenny, (1981); MacCorquodale & Meehl, (1948); Rozeboom, (1956) menjelaskan
konsep mediator ini sebagai dampak tidak langsung (indirect effect), intervening variable
atau intermediate effects (Chaplin dalam Robins, Kraley & Krueger, 2007). Untuk
menjelaskan lebih komperhensif dari model mediator ini dapat dilihat pada gambar 1
berikut.
a (B1)
IV

DV

a (B3)
IV

DV

b (B2)

c (B4)
M

Gambar 1. Diagram jalur mode mediation.


Catatan: B1, B2, B3, and B4 adalah koefisien regresi dari persamaan regresi 1, 2, dan 3
yang digunakan untuk memprediksi jalurnya.
Sumber: Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). Journal of Personality and Social
Psychology, 51, 11731182.

Berdasarkan gambar 1 di atas, maka dapat diperoleh penjabaran terkait dengan


konseptualisasi model mediator. Model pertama mengindikasikan adanya relasi
sederhana antara IV dan DV. Untuk dapat membuktikan adanya model mediator, maka
pada relasi IV dan DV ini tidak boleh nol. Hal ini dikarenakan, jika tidak ada korelasi
antara IV dan DV, maka sudah dapat dipastikan tidak dapat diukur adanya dampak
mediator. Model ke dua menggambarkan adanya model mediation. Dalam model tersebut
dampak langsung IV terhadap DV dialihkan melalui mediator (M) dengan menggunakan
jalur b dan c. Jika IV dan DV berkorelasi melalui M maka jalur a menjadi nol, dan
korelasi antara IV dan DV dapat dikatakan bah wa variabel M berperan penuh sebagai
mediator. Jika jalur a tidak menjadi nol, namun lebih kecil dibandingkan jalur a, maka
dapat dikatakan bahwa fungsi mediation dari variabel M hanya sebagaian.
James dan Brett (1984) menegaskan, bahwa asumsi terjadinya full mediation pada
dasarnya adalah korelasi sebab akibat yang linier. Prinsip ini diilustrasikan dalam bentuk
x m y, dimana x adalah antiseden, m adalah mediator dan y adalah consequence.
Antiseden x diharapkan dapat mempengaruh consequence y secara tidak langsung, karena
harus melewati mediator m. Jika terjadi proses mediasi yang lengkap, maka diasumsikan
bahwa model tersebut adalah linier causal. Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa
x berdampak langsung pada m, sedangkan m berdampak langsung pada y, dan x tidak
akan berdampak pada y pada saat m tetap atau konstan.
Baron dan kenny (1986) menjelaskan terdapat empat kondisi yang harus dipenuhi
untuk dapat menjelaskan model mediation. Kondisi tersebut mengikuti adanya tiga model

statistik sebagai berikut (pada umumnya mengunakan least square estimators). Tiga
model statistik tersebut adalah sebagai berikut:

DV = B0 + B1 (IV)

(1)

Me = B0 + B2 (IV)

(2)

DV = B0 + B3 (IV) + B4 (M)

(3)

Dari tiga model statistic tersebut dapat dipahami sebagai berikut:


1.

pesamaan 1 menjelaskan relasi dasar antara IV dan DV dan mengestimasikan


besarnya B1, berarti mencerminkan koefisien path a pada model pertama di
gambar 1.

2.

persamaan 2 memberikan estimasi terhadap B2 (relasi antara IV dan Me) yang


berarti menjelaskan adanya koefisien path b, terlihat pada model 2 pada gambar
1.

3.

persamaan 3 mengestimasikan B4 yang menjelaskan path c (relasi antara Me dan


DV) pada model kedua dan B3 yang menjelaskan path a pada gambar 1.

Setelah melakukan estimasi atas parameter yang ada, maka untuk mengatakan apakah
suatu variabel berperan sebagai mediator, maka harus memperhatikan 4 kondisi sebagai
berikut:
1. relasi IV dan DV signifikan (persamaan 1),
2. relasi IV dan Me signifikan (persamaan 2),
3. relasi Me dan DV juga signifikan setelah mengontrol IV.
4. peran IV terhadap DV menjadi berkurang setelah Me dikontrol.
Dengan memenuhi empat kondisi tersebut di atas, maka jika peran IV terhadap DV lebih
kecil dibandingkan peran IV dan Me terhadap DV, maka dikatakan Me adalah variabel
mediator, dan model yang diajukan terbukti sebagai model mediating.

Dengan demikian, penempatan variabel mediator akan memberikan pengembangan


yang baru dalam menjelaskan pengaruh beberapa variabel terhadap suatu variabel.
Bahwa tidak semua variabel berkedudukan sebagai variabel yang menyebabkan
perubahan pada variabel lain. Ternyata ada variabel yang dapat menjadi intervening bagi
suatu variabel satu untuk mempengaruhi variabel lainnya. Apalagi dalam bidang
psikologi, termasuk psiklogi kepribadian, tidak mungkin hanya memperhatikan satu
variabel yang dapat menyebabkan perubahan pada variabel lainnya.

Model Moderator
Seperti halnya konsep mediator, pada model moderator pun melibatkan adanya
variabel ketiga selain IV dan DV pada penelitian. Model moderator melibatkan variabel
ke tiga sebagai variabel moderator. Secara umum variabel moderator dijelaskan sebagai
variabel yang dapat mempengaruhi arah dan atau kekuatan hubungan antara IV atau
varibel predictor dan DV atau variabel criterion. Variabel ini dapat saja meningkatkan,
menurunkan atau merubah relasi yang ada antara IV dan DV. Variabel yang berfungsi
sebagai variabel moderator ini, pada umumnya adalah karakteristik individual (jenis
kelamin, coping) atau contextual (dukungan sosial, lingkungan keluarga), dapat
berbentuk kualitatif (jenis kelamin, ras atau kelompok) atau kuantitatif (tingkat dari
reward, tingkat resistensi dll). (James & Brett, 1984; Baron & Kenny, 1986; & Chaplin
(dalam Robins, Fraley & Krueger, 2007; Jandasek, Grayson, Holmbeck dan Rose (dalam
Hersen & Gross, 2008); MacKinnon, 2007). Chaplin menambahkan, bahwa untuk
mengetahui model moderator dapat diibaratkan dengan kondisi it depends yang akan
mnejelaskan setiap pertanyaan yang diajukan. Misalkan, apakah kecemasan seseorang
akan mempengaruhi kinerjanya sebagai seorang karyawan? Maka jawaban yang muncul
tergantung pada...(it depend on...), variabel yang muncul tersebut menjelaskan adanya
peran variabel moderator. Grayson, Holmbeck dan Rose (dalam Hersen & Gross,
2008)menjelaskan model moderator tersebut dalam gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Diagram jalur model Moderation.


Sumber. Hersen, M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of Clinical Psychology, Volume
2: Children and Adolescents.

Tidak seperti pada mediator, bahwa antar variabel harus berpengaruh langsung
secara signifikan, baru dapat diukur kekuatan mediatornya, maka pada model moderator,
tidak membutuhkan syarat tersebut. Hal ini dikarenakan model moderator ini adalah
model linear sederhana. Chaplin (dalam Robins, Fraley & Krueger, 2007) menegaskan,
bahwa evaluasi moderator dapat dilakukan dengan menggunakan hierarchical regression
(bisa juga yang berbentuk ordinal, seperti logistic regression). Persamaan regresi untuk
model moderator ini dapat dilihat pada persamaan regresi berikut ini. Model ini
melakukan dua tahap pengujian statistik, yang pertama adalah melakukan regresi antara
IV dan Mo terhadap DV, kedua adalah dengan menambahkan product IV dan Mo, pada
regresi yang pertama (Cohen, 1978, dalam Chaplin pada Robins, Fraley & Krueger,
2007). Persamaan regresi yang biasa dihasilkan dari model moderator ini adalah sebagai
berikut:
Y = B0 + B1X + B2Mo

(4)

Y = B0 + B1X + B2Mo + B3 Mo*X

(5)

Dimana B0 adalah intercept, B1, B2, B3 adalah koefisien regresi yang belum terstandard
untul IV (X), moderator (Mo) dan product (Mo*X). Hipotesis moderator terbukti jika efek
product terhadap DV terbukti signifikan. Hal ini membedakan pada persamaan 4, bahwa
IV dan Mo, keduanya berperan sebagai antiseden dari DV.
Manfaat Penggunaan Model Mediator dan Moderator

Beberapa penelitian yabng telah dilakukan menunjukkan bahwa model meditor dan
moderator ini tidak hanya berhasil untuk meningkatkan kualitas dari pengembangan
konsep-konsep yang terdapat dalam psikologi, khususnya psikologi kepribadian.
Penelitian yang dilakukan Chandler, 1973 menjelaskan bahwa model mediator sangat
berperan untuk menguji apakah variabel self-centeredness mampu mereduksi kenakalan
remaja dalam program role-modeling yang dikembangkannya. Sementara itu Bickman,
1998, menjelaskan bahwa model mediator ini digunakannya untuk melakukan evaluasi
terhadap Family Empowerment Project. Bickman membuat kurikulum pelatihan yang
dirancang untuk orangtua yang mempunyai anak yang sedang dalam program
improvement kesehatan mentalnya. Dengan menggunakan model mediator ini, Bickman
mampu menunjukkan hasil evaluasi, bahwa program pelatihan yang dirancang terbukti
mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy orangtua, dimana hal ini dimediatori
oleh antisipasi terhadap perubahan. Sehingga dapat dirancang intervensi selanjutnya
untuk subjek yang sama (dalam Petrosino, 2000).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model mediator,
kita dapat memperoleh informasi sejauh mana sebuah intervensi dapat bermanfaat. Selain
itu juga dapat diperoleh informasi apakah intervensi tersebut harus dilanjutkan atau
dirubah. Untuk subjek yang mengalami intervensi, juga dapat diperoleh informasi,
apakah sudah layak untuk intervensi tahap selanjutnya atau cukup pada tahap tertentu
saja. Program evaluasi yang menggunakan mediator berpotensi untuk warning system
terkait dengankeberhasilan programnya.
Pada sisi lain, model moderator pun mempunyai manfaat untuk kepentingan praktis,
bukan hanya dalam hal teoritis. Seperti halnya model mediator, model moderator juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelatihan atau intervensi.
Evaluator biasanya mencari dampak moderator setelah mendapatkan laporan dampak
utama dari interfensi yang diberikan. Dengan mengetahui fungsi moderator akan
memperkuat analisa dari dampal utama sebuah intervensi. Baron dan Kenny (1986)
menegaskan, pada umumnya, para peneliti berhenti menganalisa jika vaiabel independent

tidak menunjukkan dampak yang signifikan terhadap variabel dependent, padahal masih
dapat diolah variabel lain yang berperan sebagai moderator.
Gortmaker dan Wiecka (1999) mengevaluasi program prevensi obesitas pada siswa
sekolah di Boston. Pada program ini secara menyeluruh menunjukkan hasil yang
signifikan. Bahkan mereka menemukan informasi tambahan yang menguatkan program
prevensi selanjutnya dengan membuat program khusus berdasarkan gender dan ras
subjek. Hal ini dikarenakan, pada evaluasi program prevensi yang dilakukan
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap program obesitas pada siswa perempuan.
Penelitian lain dilakukan oleh Adam (1970). Adam melakukan eksperimen terhadap
sekelompok anak yang nakal dengan melakukan eksperimen memberikan perlakuan
konseling kelompok intensif. Hasil eksperimen menjelaskan bahwa treatment yang
diberikan tidak memberikan dampak pada subjek penelitian. Kemudian dia mencoba
melakukan evaluasi dengan melakukan pengujian moderator, yaitu dengan melibatkan
sekelompok anak yang sudah pernah diberikan treatment sebelumnya oleh psikolog klinis
(sebelum eksperimen dimulai), ternyata menunjukkan hasil konseling yang bagus.
Dengan demikian, aspek pengalaman subjek penelitian dalam menghadapi seorang
profesional untuk melakukan treatment tertentu, memberikan dampak terhadap
keberhasilannya dalam mengikuti program konseling. Mark, Hofmann, dan Reichardt
(dalam Petrosino, 2000) menjelaskan bahwa dengan melakukan analisis moderator,
seorang evaluator dapat terpacu untuk mencari teori tentang mengapa sebuah program
dapat memberikan dampak yang berbeda. Dengan demikian, analisis moderator tidak
berhneti pada menghasilkan alternatif lain dari program yang dibuat, namun juga
mengembangkan konseptual yang mendasari suatu program.

Pendekatan Statistik Untuk Uji Model Mediator dan Moderator


Pengujian statistik untuk model mediator dan moderator diperlukan untuk
memberikan kekuatan ilmiah dari pengujian model tersebut. Sehingga tidak hanya dapat
dipahami secara konseptual, namun juga memiliki kekuatan pembuktian kesesuaian

antara model teoritis dengan data dari penelitian. Teknik statistik yang dapat digunakan
untuk membuktikan model mediator dan moderator ada dua, yaitu dengan menggunakan
regresi dan structural equation modelling (SEM). Pembahasan selanjutnya akan
dipisahkan untuk model mediator dan moderator dengan pendekatan regresi dan SEM.

Pendekatan Regresi Untuk Menguji Model Mediator


Pendekatan regresi untuk menguji model mediator yang banyak dijadikan acuan
adala yang disampaikan Baron dan Kenny (1986). Menurut Baron dan Kenny, ada empat
kondisi yang harus dipenuhi untuk suatu variabel agar dapat berperan sebagai variabel
mediator. Empat kondisi tersebut memenuhi model yang terdapat pada gambar 1, yaitu:
1. prediktor (A) harus terbukti berhubungan (associated) secara signifikan dengan
variabel yang dihipotesiskan sebagai mediator (B)
2. prediktor (A) harus terbukti berhubungan (associated) dengan variabel dependen (C)
secara signifikan
3. variabel yang dihipotesiskan sebagai mediator (B) harus berhubungan dengan
variabel dependen (C) setelah mengontrol dampak dari prediktor (A).
4. dampak prediktor terhadap variabel dependen berkurang setelah dikendalikan oleh
mediator.
Secara umum dapat dipahami bahwa korelasi pertama antara prediktor dan variabel
dependen harus signifikan, demikian juga antara mediator dan variabel dependen, untuk
membuktikan adanya perang mediating. Dengan kata lain jika perdktor dan variabel
dependen tidak terbukti berhubungan, maka tidak akan ada dampak yang signifikan untuk
dimediasi.
Keempat kondisi tersebut dapat dites dengan menggunakan analisis multiple
regresi. Strategi ini sama dengan yang dilakukan untuk menguji path analysis (Cohen &
Cohen, 1983). Untuk menguji signifikansi path A B (kondisi 1 ) dilakukan analisis
regresi yang pertama. Untuk menguji signifikansi path A C (kondisi 2), juga
dilakukan analisis regresi yang kedua. Pada akhirnya A dan B secara simultan sebagai

prediktor untuk persamaan ketiga, dimana C adalah variabel dependennya. Baron dan
Kenny (1986) lebih menyarankan untuk menggunakan simultaneous entry dibandingkan
hierarchical entry pada persamaan ketiga. Hal ini dikarenakan dampak B terhadap C
dapat diuji setelah mengontrol A, dan dampak A pada C dapat diuji juga setelah
mengontrol B (berdasarkan pada prinsip path analysisi). Signifikansi path B C pada
persamaan ketiga ini menguji kondisi ketiga. Dampak A pada C di persamaan kedua
(pada saat B tidak dikontrol), untuk menguji kondisi 4. Secara khusus, maka korelasi A
dengan C seharusnya kurang pada persamaan ketiga dibandingkan pada persamaan
kedua.
Pada penelitian sebelumnya dijelaskan apakah akan terjadi pengaruh predictor
outcome dari signifikan (p< .05) menjadi tidak signifikan (p > .05) setelah mediator
dilibatkan pada model tersebut. Jandasek, Grayson, Bolmbeek dan Rose (dalam Hersen &
Gross, 2008, menyatakan bahwa strategi tersebut mengandung kecacatan, bagaimanapun
penurunan dari signifikan menjadi tidak signifikan sangat mungkin sekali terjadi.
Misalnya sangat mungkin terjadi penurunan koefisien regresi dari .28 menjadi .27, namun
tidak dari .75 menjadi .35. Hal ini menjelaskan bahwa, sangat memungkinkan model
mediation yang signifikan tidak terjadi pada saat dampak prediktor terhadap outcome
turun dari signifikan menjadi tidak signifikan setelah melibatkan variabel mediator.
Sebaliknya sangat mungkin terjadi peran mediator meskipun secara statistik, dampak
prediktor terhadap outcome tetap signifikan meskipun setelah adanya keterlibatan
variabel mediator.Penurunan dari signifikan menjadi tidak signifikan ini memerlukan
suatu pengujian, sehingga penurunan tersebut memenuhi standard uji signifikansi. Untuk
itu perlu dilakukan Sobel test (Sobel, 1988).

Pendekatan SEM Untuk Menguji Model Mediator


Pendekatan SEM dipilih jika seorang peneliti ingin mengetahui lebih dari satu
variabel yang diukur dari konstruk variabel laten yang ada. Misalkan ada laten variabel
prediktor (A), laten variabel mediator yang dihipotesiskan (B) dan variabel outcome yang

dihipotesiskan (C). Pertama kali yang akan diukur adalah dampak langsung dari A C.
Jika diperoleh hasil yang cocok (fit) pada model dampak langsung, maka dilanjutkan
dengan menguji kecocokan pada keseluruhan model yaitu A B C. Jika untuk model
keseluruhan ini cocok, maka dilanjutkan dengan menguji kecocokan pada model A B
dan B C, untuk mengetahui koefisien path analysis.dalam kondisi ini maka diharuskan
semua path (A C, A B dan B C) dalam model A B C harus signifikan
(analogi dari model regresi sebelumnya).
Langkah terakhir untuk menggunakan SEM dalam menguji model mediator adalah
dengan melakukan pengujian model A B C denga dua kondisi yaitu (1) jika path A
C diarahkan menjadi 0 dan ketika (2) jika path A C tidak diarahkan. Pengujian
kecocokan dilakukan dengan melihat perbedaan antara dua model chi-squares. Dampak
mediasi akan terjadi jika penambahan path A C pada model yang sudah tetap tidak
akan meningkatkan kecocokan pada model. Dengan kata lain signifikansi path A C
berkurang menjadi tidak signifikan pada saat mediator dilibatkan pada analysis tersebut
(analogi dari pendekatan regresi) (Jandasek, Grayson, Holmbeck dan Rose, dalam Hersen
& Gross, 2008).
Sebagai informasi tambahan, Jandasek dkk. Menjelaskan bahwa penggunaan SEM
untuk menguji dampak mediasi, maka perlu untuk membedakan dampak tidak langsung
(indirect) dan mediasi (mediated). Jandasek dkk, menjelaskan bahwa dampak tidak
langsung dapat berfungsi sebagai dampak mediasi jika path A c tidak signifikan (tidak
ada dampat mediasi dan hanya ada path A B dan B C yang signifikan, ada dampak
tidak langsung, tapi tidak ada dampak mediasi, karena dampak langsung A c tidak
signifikan). Hal ini dapat terlihat pada penelitian yang dilakukan Capaldi, Crosby dan
Clark (1996). Capaldi dkk melakukan penelitian longitudinal yang dianalisis dengan
menggunakan SEM. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa agresi pada
keluarga (tercermin pada agresi yang terjadi pada hubungan intim pasangan muda)
dimediasi oleh tingkat perilaku anti sosialnya di masa remaja. Hasil penelitian yang lebih
komprehensif menyebutkan kalau dampak langsung prediktor terhadap criterion tidak
signifikan, meskipun path predictor mediator dan mediator criterion signifikan.

Dengan kata lain meskipun nampak ada dampak tidak langsung antara prediktor dan
criterion namun tidak menemukan adanya mediator. Hasil akhir dari penelitian Capaldi
dkk menjelaskan bahwa terjadi kecocokan kriteria untuk dampak tidak langsung, namun
tidak terjadi kecocokan kriteria untuk dampak mediasi.

Pendekatan Regresi Untuk Menguji Model Moderator


Satu aspek yang harus diperhitungkan terlebih dahulu sebelum menguji model
moderator secara statistik adalah jenis dari variabel prediktor dan atau moderatornya
apakah kontinyu atau dikotomi. Seperti yang telah dijelaskan, dampak moderator adalah
dampak interaksi. Jika jenis variabelnya adalah kontinyu, maka teknik analisis yang dapat
digunakan adalah multiple regresi (Cohen dan Cohen, 1983).
Cara yang dilakukan adalah dengan menguji terlebih dahulu dampak prediktor dan
moderator terhadap outcome, kemudian disusul dengan dampak interaksi antara prediktor
dan moderator (product) terhadap outcome. Teknik entry ini dapat menggunakan
hierarchical, stepwise atau simultaneous. Meskipun metode entry dapat dilakukan
dengan berbagai cara, Jandasek dkk menyarankan agar tetap memperhatikan dampak
utama dari prediktor dan moderator terhadap outcome. Fungsi moderator akan muncul
jika R2 pada hasil multi regresi meningkat pada saat melibatkan product (prediktor x
moerator) dibandingkan harga R2 pada dampak prediktor dan moderator terhadap
outcome (Baron & Kenny, 1986; Chaplin dalam Robins, Fraley & Krueger,2007).

Penggunaan Variabel Mediator dan Moderator pada Penelitian Psikologi


Kepribadian
Penelitian-penelitian dalam psikologi kepribadian dihadapkan pada satu isu utama
yaitu terkait dengan seberapa kuat aspek kepribadian mampu memprediksi outcome yang
mencerminkan perilaku manusia dalam berbagai aspek (Chaplin, dalam Robins, Fraley &

Krueger, 2007). Seharusnya hal tersebut tidak lagi menjadi satu isu yang perlu
diperdebatkan. Lebih lanjut Chaplin menjelaskan keyakinan beberapa peneliti, bahwa
situasi lebih memiliki kekuatan untuk memprediksikan perilaku manusia dibandingkan
dengan kepribadian, hendaknya sudah mulai pudar. Hal ini dikarenakan ada beberapa
penelitian yang telah menegaskan bahwa hal tersebut belum terbukti secara langsung
(Funder & Ozer, 1983). Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian Funder dan Ozer
adalah penelitian yang dilakukan oleh Kenny, Mohr dan Lavesque (2001). Kenny dkk
menjelaskan bahwa varian yang menjelaskan perilaku manusia lebih besar berkaitan
dengan dengan faktor personal dibandingkan dengan faktor situasi maupun interaksi
situasi dan person (situasi x person).
Penelitian-penelitian tersebut mendasari suatu asumsi bahwa kepribadian tetap
memberikan peran pada perilaku manusia. Chaplin menegaskan bahwa pengaruh
kepribadian pada outcome apapun tidak hanya sekedar menjumlahkan aspek-aspek
kepribadian yang ada dalam diri individu. Sebagai contoh, kinerja sales terbukti
dikarenakan ada dua kepribadian yaitu extraversion dan conscientiousness. Model ini
adalah model linear, namun bukan berarti bahwa kinerja sales merupakan hasil
penjumlahan dari dua kepribadian tersebut. Dalam perkembanganya penelitian yang
melibatkan aspek kepribadian mempertanyakan apakah kepribadian merupakan konstruk
yang cukup kuat berperan sebagai prediktor. Pertanyaan tersebut memberikan peluang
adanya perkembangan penggunaan variabel mediator dan moderator pada penelitian
psikologi kepribadian.
Krueger, Schmutte, Caspi, Moffitt, Campbell, dan Silva

(1994) menjelaskan

bahwa, kepribadian dapat bermanfaat sebagai IV, namun lemah sebagai variabel
explanatory. Alasan aspek kepribadian lemah sebagai variabel explanatory karena adanya
mekanisme operasionalisasi definisi kepribadian yang kurang spesifik. Sebagai contoh
adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh

Chaplin, yang menyebutkan bahwa

extraversion terbukti berkaitan dengan kemampuan memimpin seseorang. Penjelasan


lebih lanjut hasil penelitian ini juga menimbulkan suatu permasalahan. Hal ini
dikarenakan tidak ada yang dapat digunakan dalam penemuan tersebut untuk mengajari

orang lain bagaimana meningkatkan kemampuan kepemimpinannya. Pemasalahan


pertama muncul pada saat dikatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang lebih baik
adalah dengan menjadi individu yang lebih extrovert. Tidak adanya penjelasan
bagaimana menjadi individu yang lebih extrovert menjadi saran tersebut kurang
bermakna, karena kurang spesifik. Selain itu, berdasarkan teori kepribadian saran-saran
tersebut tidak dapat ditindaklanjuti. Teori kepribadian menyebutkan bahwa extraversion
dipandang sebagai sifat yang stabil dan cenderung sulit untuk dirubah.
Memahami uraian di atas, maka penggunaan model mediation untuk menjelaskan
mengapa konstruk kepribadian dapat berkorelasi dengan variabel outcome menjadi
penting untuk dilakukan. Hipotesis penelitian yang menyertakan konstruk kepribadian
sebagai variabel mediator masih terbilang jarang. Kondisi ini terjadi karena pada
umumnya konstruk kepribadian dipandang sebagai entities yang relatif stabil dan
menetap, yang kurang memungkinkan terjadinya perubahan karena pemberian treatment
atau keberadaan variabel lain. Dengan demikian meletakkan variabel kepribadian di
tengah relasi antara variabel kepribadian yang dipengaruhi oleh IV mungkin tidak akan
selalu berhasil. Meskipun demikian, tetap ada beberapa kondisi atau circumtances yang
memungkinkan untuk menempatkan variabel kepribadian berperan sebagai variabel
mediator. Salah satu kondisi yang memungkinkan variabel kepribadian sebagai variabel
mediator adalah jika diposisikan sebagai state daripada trait. Sebagai state, berarti
kepribadian dipengaruhi oleh adanya faktor situasi. Kondisi lainnya adalah adanya
variabel yang muncul karena memang sudah inheren pada individu seperti jenis kelamin.
Sementara itu penerapan model moderator pada penelitian kepribadian dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah dengan menerapkan prinsip penggunaan
moderator yang mengkombinasikan konstruk kepribadian seseorang menjadi dua, tiga
atau lebih kombinasi yang interaktif. Cara kedua adalah dengan memperlakukan konstruk
kepribadian

sebagai

moderator

pada

hubungan

antar

faktor

situasi

dengan

memanipulasinya pada eksperiment tertentu. Cara ini dikenal dengan penelitian


kepribadian eksperimental (West, Aiken & Krull, 1996). Dengan dua cara tersebut dapat
diperoleh hasil penelitia kepribadian yang lebih memuaskan. Sebagai contoh penelitian

yang dilakukan oleh Dance dan Neufel (1988). Dala penelitiannya Dance dan Neufel,
mendapatkan informasi interaksi pasien dan treatmen di psikologi klinis adalah negatif.
Temuan negatif ini, menurut mereka karena adanya metode dan analisis data yang
konfensional. Dari proses tersebut disadari perlunya usaha untuk memanupulasi faktor
situasi agar treatment yang diberikan pada pasien lebih bermanfaat.

Kesimpulan
Dari apa yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat dipahami bahwa metode
penelitian dalam psikologi terus berkembang, tidak terkecuali dalam psikologi
kepribadian. Penelitian-penelitian awal yang terbatas pada adanya pembuktia hipotesis
pengaruh IV terhadap DV ikut berkembang dengan ditemukannya analisis variabel
ketiga. Apalagi telah dipahami bahwa penjelasan peran kepribadian pada munculnya
perilaku manusia merupakan suatu usaha yang lemah, bila tidak mneyertakan adanya
variabel lain. Kedudukan konstruk kepribadian yang lebih dipandang sebagai kesatuan
yang cenderung menetap dan tidak mudah berubah, lebih sering menempatkan kontruk
kepribadian sebagai IV. Padahal hasil riset yang menempatkan kepribadian sebagai IV
mengalami kendala yang cukup kuat untuk mengambil manfaat dari hasil penelitian
tersebut karena kurang spesifik dalam operasionalisasi variabelnya.
Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan penelitian dalam psikologi
kepribadian tersebut cukup dapat diatasi setelah dikenalkannya mode mediator dan
moderator. Walaupun pada awalnya lebih banyak berkembang dalam bidang psikologi
sosial, namun akhir-akhir ini telrah banyak penelitian dala psikologi kepribadian yang
menggunakan model ini juga. Dengan menggunakan model ini, maka tidak lagi
mengalami kesulitan dalam menjelaskan kontribusi hasil penelitian yang menyebutkan
adanya korelasi antara konstruk kepribadian dengan outcome. Dengan lebih
memperdalam kajian korelasi konstruk kepribadian dan outcome dengan lebih memahami
kondisi spesifik yang menyertai atau tidak menyertai (model moderator). Selain itu juga
dengan memperhatikan pengujian hipotesis tentang mengapa korelasi antar kepribadian

dan outcome itu terbentuk (model mediator). Hal ini dikarenakan, dengan mengetahui
korelasi kepribadian dan outcome hanya akan diperoleh informasi awal. Tidak akan
mendapatkan pembahasan yang lebih komprehensif bagaimana bisa berkorelasi.

Daftar Pustaka
Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The moderator mediator variable distinction in
social psychological research: Conceptual, strategic, and statistical considerations.
Journal of Personality and Social Psychology, 51, 11731182.
Capaldi, D. M., Crosby, L., & Clark, S. (1996, March). The prediction of aggression in
young adult intimate relationships from aggression in the family of origin: A
mediational model. Paper presented at the meeting of the Society for Research on
Adolescence, Boston.
Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied multiple regression/correlation analysis for the
behavior sciences (2nd ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Dance, K. A., & Neufeld, R. W. J. (1988). Aptitude treatment interaction research in the
clinical setting: A review of attempts to deal with the patient uniformity myth.
Psychological Bulletin, 104, 192213.
Funder, D. C., & Ozer, D. J. (1983). Behavior as a function of the situation. Journal of
Personality and Social Psychology, 44, 107112.
Hersen, M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of Clinical Psychology, Volume 2: Children
and Adolescents, New Jersey: JohnWiley & Sons, Inc.
James, L. R., & Brett, J. M. (1984). Mediators, Moderators, And Tests For Mediation.
Journal of Applied Psychology, 69, 307321.
Kenny, D. A., Mohr, C. D., & Levesque, M. J. (2001). A social relations variance
partitioning of dyadic behavior. Psychological Bulletin, 127, 128141.
Krueger, R. F., Schmutte, P. S., Caspi, A., Moffitt, T. E.,Campbell, K.,&Silva, P. A.
(1994). Personality traits are linked to crime among men and women: Evidence
from a birth cohort. Journal of Abnormal Psychology, 103, 328338.
MacKinnon, D.P. (2007) Introduction to Statistical Mediation Analysis. New York:
Lawrence Erlbaum Associates.
Matsumoto, D. (Ed.). (2001). The handbook of culture and psychology. Oxford:, UK
Oxford University Press.

Petrosino, A. (2000) Mediators and Moderators in The Evaluation of Programs for


Children: Current Practice and Agenda for Improvement. Evaluation Review, Vol.
24, No. 1, 47 - 72
Robins, R.W.., Fraley, R.C. & Krueger, R.F. (2007) Handbook of Research Methods in
Personality Psychology. New York: The Guilford Press.
Sobel, M. E. (1988) Direct and indirect effect in linear structural equation models. In J. S.
Long (Ed.), Common problems/proper solutions: Avoiding error in quantitative
research (pp. 4664). Beverly Hills, Ca: Sage.
Swann, W. B., & Seyle, C. (2005). Personality psychologys comeback and its emerging
symbiosis with social psychology. Personality and Social Psychology Bulletin, 31,
155165.
Weiten, W. & Lloyd, M.A. (2006). Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in
the 21st Century. Canada: Thomson Wadsworth.
West, S. G., Aiken, L. S., & Krull, J. (1996). Experimental personality designs:
Analyzing categorical by continuous variable interactions. Journal of Personality,
64, 147.

Anda mungkin juga menyukai