Anda di halaman 1dari 19

HAKIKAT NEGARA HUKUM

Prinsip pokok negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut :
1. Supremasi Hukum (supremacy of law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan
dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang
tertinggi. Pengakuan normativemengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan
hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian
terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang supreme. Bahkan, dalam republik yang menganut
sistem presidentialyang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala
negara. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala
Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (equality before the law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan
dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam
segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang
bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.
Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui affirmative actions yang tidak
termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat
hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat
diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas legalitas
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law),
yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan
atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku
dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip
frijsermessen yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri
beleid-regels atau policy rules yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas
jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan,
setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Karena itu, kekuasaan selalu
harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.

Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-organ pendukung yang independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan
pemerintahan yang bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan
kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum,
lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi
independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan
pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan
kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk
tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk
kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk
menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak
memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari
kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun
juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses
pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan
putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai mulut undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi
penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap
Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar
warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga
Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus
pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip independent and impartial judiciary tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiaptiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi
dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya

memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk
menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas
undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk
sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.
Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena
itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya
melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam
rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting
suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajibankewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu
Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya
perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau
dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang
bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak
dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan
akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan
bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat atau negara hukum yang demokratis. Dengan
perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana
di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang
dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara
hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional
Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan
negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar
rule-driven, melainkan tetap mission driven, tetapi mission driven yang tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum,
sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan
dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak

pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip representation in ideas
dibedakan dari representation in presence, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan
gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan,
pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja
dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.
NEGARA HUKUM PEMBANGUNAN
Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Kusumaatmadja, yaitu :
1.

Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang
diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;

2.

Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.

OTDA MASA ORBA


Otonomi Daerah dalam era orde baru 1965-1998

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, merupakan koreksi dan
penyesuaian baru dari UU nomor 1965 sesuai dengan pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Undang-undang Nomor
5 Tahun 1974 lahir sesudah adanya pengarahan politis mengenai pemerintahan daerah dalam GBHN. Undangundang ini lahir sebagai pelaksanaan Tap MPR No.IV Tahun 1973 dan juga di bawah rangka UUD 1945. UU Nomor 5
Tahun 1974 dinilai sangat bernuansa sentralistis dan kurang memperhatikan kedudukan DPRD sebagai badan
legislatif yang berdiri sendiri.
A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah
Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan politik. Pemerintahan Orde
Baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
Untuk itu diperlukan pemerintahan yang stabil dari Pusat sampai ke daerah. Selanjutnya dibuatlah berbagai undangundang yang sentralistis, mengurangi kegiatan Partai Politik dan memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD.
Bahkan di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk dengan istilah penguasa tunggal dan
menomorduakan peran DPRD dan demokrasi.
Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai (PPP dan PDI) di samping dominasi Golkar.
Pengukuhan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat
sampai ke Daerah.
B. Asas pemerintahan yang digunakan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974
UU Nomor 5 Tahun 1974 sesuai dengan judulnya Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah bersifat limitatif
dan dalam pemberian otonomi setengah hati dengan sebutan buntutnya diberikan tetapi kepalanya tetap dipegang
dan dikuasai sepenuhnya oleh Pusat. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan asas bersama-sama
dengan seimbang dan serasi yaitu:
- Asas Dekonsentrasi
- Asas Desentralisasi
- Asas Pembantuan
Dengan pembangunaan tiga asas ini dalam sistem pemerintahan daerah secara sekaligus, maka hal ini mengaburkan
makna otonomi daerah dan dalam prakteknya, Pemerintah Pusat lebih bertitik berat pada pelaksanaan asas
dekonsentrasi. Hal ini nampak jelas dalam hal:
a. kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah
Kabupaten/Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan
diputuskan oleh Pemerintah.
b. Tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tigkat desa.
C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah menurut UU Nomor 5 Tahun 1974

1. Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam pasal 13 menyebutkan bahwa: Pemerintahan Daerah adalah Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 13 ayat (1)). Kedudukan DPRD lemah. Kepala Daerah Tingkat I
karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi yang disebut Gubernur, Kepala Daerah Tingkat II karena
jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang disebut Bupati/Walikota.
Dalam rangka pelaksananan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Wilayah
Administratif, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat pemerintahan umum di daerah
(Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan/Kota Administratif.
Dengan demikian, maka dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam
kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin badan eksekutif
dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif.
Rumusan dan arti pemerintah daerah, sering ditafsirkan sepihak oleh pihak eksekutif dalam melaksanakan
kebijaksanaan daerah, yaitu dengan memakai istilah kebijaksanaan Pemda, yang dalam banyak hal tidak
memberitahu atau mengkonsultasikan kebijaksanaan tersebut kepada DPRD.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengenal lembaga Badan Pemerintah Harian (BPH) atau Dewan
Pemerintah Daerah (DPD). Tapi di lain pihak menurut pasal 64 UU nomor 5 Tahun 1974, diadakan lembaga baru ialah
Badan Pertimbangan Daerah yang anggotanya terdiri dari pimpinan DPRD dan unsur fraksi yang belum terwakilkan
dalam pimpinan DPRD. Di samping itu ada jabatan baru yang lain, yaitu jabatan Asisten Sekretaris Wilayah/Daerah.
2. Kepala Daerah
Menurut pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitdikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara
Pimpinan DPRD/ Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Dalam
Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5
orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Daerah DPRD/Pimpinan Fraksifraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Kemudian hasil diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.
Dalam diri kepala daerah terdapat 2 fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin
penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan fungsi sebagai
Kepala Wilayah yang memimpin penyelengaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan
Pusat di daerah.

D. Kewenangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974


1. Kewenangan Otonomi
UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang kewenang Daerah. Hanya disebut bahwa
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku (pasal 7). Ketentuan ini merupakan pasal karet yang sewaktu-waktu bisa ditambah dan
dikurangi sesuai kehendak Pemerintah. Untuk memudahkan Pemerintah, diberlakukan prinsip: Wewenang atau
urusan yang diserahkan kepada Daerah, dapat ditarik kembali. Kewenangan yang tidak diserahkan kepada Daerah,
berarti tetap wewenang Pemerintah Pusat.
2. Tugas Pembantuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah atau
pemerintahan daerah yang lebih rendah urusan tugas pembantuan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan
kepada yang menugaskannya. Adapun tata cara pemberian tugas pembantuan diatur dalam pasal 12 UU No 5 Tahun
1974 sebagai berikut:
(1) Dengan peraturan perundangan-undangan, Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada pemerintah daerah
otonomi untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
(2) Dengan peraturan daerah, Pemerintah Daerah Otonom Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah
Otonom Tingkat II untuk melaksanakan tugas pembantuan.
(3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam (1) dan (2) tersebut di atas, disertai dengan
pembiayaannya.
3. Dekonsentrasi
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya) juga menjalankantugas dekonsentrasi.

E. Prinsip Otonomi yang Dianut UU Nomor 5 Tahun 1974


a. Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
b. Otonomi adalah hak, wewenang dan sekaligus kewajiban.

F. Keuangan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974


Sumber pendapat Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah sendiri yang terdiri dari:
- hasil pajak daerah
- hasil restribusi daerah
- hasil perusahaan daerah
- lain-lain usaha daerah yang sah
2. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari:
- sumbangan dari pemerintah
- sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
3. Lain-lain pendapatan yang sah.
OTDA MASA REFORMASI
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999,
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yang disusul dengan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan
otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945. UU No 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7
Mei 1999, lebih terkenal dengan nama UU Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan ketetapan MPR RI No
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan juga di bawah rangka UUD 45.
Seperti proses lahirnya beberapa UU Tentang Pemerintahan Daerah sebelumnya, juga UU No 22 Tahun 1999 ini
terkesan merupakan pergeseran pendulum dari satu ekstrim yang satu ke satu ekstrim yang lainnya, sesuai dengan
kondisi politik saat itu. UU No 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran pendulum yang cukup drastis dari kondisi
sentralistis kea rah desentralisasi yang lebih luas.
A. Latar belakang situasi dan suasana pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lahir dalam suasana hiruk pikuk reformasi dan menandai perubahan rezim
Orde Baru.
Ditengah-tengah maraknya arus reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, menuntut pelaksanaan demokrasi
dari Pusat sampai Daerah. Untuk itu maka DPR dan DPRD harus berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalankan
kontrol dan pengawasan terhadap pihak eksekutif.
Merealisasi tuntutan diatas, maka dibentuklah undang-undang yang intinya merombak paradigma pembangunan
ekonomi kearah pembangunan yang serasi di semua bidang termasuk peran legislatif dan yudikatif.
Sistem kenegaraan yang selama orde baru bertitik berat pada peran eksekutif (executive heavy) yang dominant, kini
bergeser kea rah pemberdayaan bidang legislatif secara proporsional sehingga dapat mengontrol dan mengawasi
pihak eksekutif dari pusat sampai daerah.
Mengakhiri dominasi Presiden sebagai Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal itu, terutama di
Daerah, dibuatlah undang-undang yang materinya membatasi kewenangan Kepala Daerah dan memantapkan
kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai badan perwakilan rakyat yang memiliki kekuatan seimbang dengan
Kepala Daerah atau bahkan terkesan penjungkir balikan rumusan pasal 13 UU nomor 5 Tahun 1974. ada kesan,
peran legislatif lebih dominant berhadapan dengan peran eksekutif.
Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. DPRD memilih dan menetapkan Kepala Daerah, sedangkan
Presiden hanya mengesahkan sebagaimana sarana administratif. Dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah
melalui persyaratan perundang-undangan.
B. Asas pemerintahan yang digunakan sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 secara formal menggunakan asas desentralisasi, dengan memperkuat fungsi
DPRD dalam pembuatan Peraturan Daerah. DPRD mempunyai kewenangan memilih dan memberhentikan Kepala
Daerah.
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 hanya menunjuk Gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi di samping
desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur asas pembantuan hingga pengaturan tentang Pemerintah Daerah.
C. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah sesuai UU nomor 22 Tahun 1999
Sesuai isi UU nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 daerah
otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk itu, dirumuskan:
1. Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonomi.
2. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU No 22 Tahun
1999)
3. daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Adapun Susunan Pemerintahan Daerah adalah
sebagai berikut:

a. Kepala Daerah Provinsi (Gubernur), Kepala Daerah Kabupaten (Bupati), Kepala Daerah Kota (Walikota), Camat,
Lurah/Kepala Desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif
Daearah.
c. Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah daerah.
e. Dalam menjalankan tugasnya, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, bupati dan walikota
bertanggun jawab kepada DPRD kabupaten/kota.
D. Kewenangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di rumuskan dalam pasal 7-13 tentang kewenanga daerah dengan rinci dan
intinya:
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain (pasal 7
ayat 1)
Kewenangan lain sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pemberian dan
pemberdayaan sunber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi,
dan standarisasi nasional.
Kewenanga Pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan
penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan
kewenangan yang diserahkan tersebut.
Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Daerah tidak saja berwenang di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut.
Dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi provinsi sebagai wilayah administratif mendapat kewenangan yang
ditempatkan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintahan
Tugas pembantuan pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertemtu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaanya dan mempertanggung jawabkannya kepada Pemerintah.
E. Prinsip Otonomi yang dianut UU No 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengganti prinsip otonomi Orde Baru dengan
1. Otonomi luas, nyata , dan bertanggung jawab
2. Penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipasif, adil dan merata dengan memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4. Otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekonsentrasi
F. Ketentuan tentang keuangan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 jo UU 25 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab,
diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan antara
pusat dan daerah. Peraturan daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat.
Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lainlain pendapatan daerah yang sah (pasal 79). Sesuai isi pasal 6 UU No 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri:
1. Bagian daerah dari penerimaan PBB dan penerimaan dari sumber daya alam;
2. Dana Alokasi Umum;
3. Dana Aloasi Khusus.
Adapun pembiayaan tugas Pemerintahan Daerah dan DPRD di biayai dari dan atas beban APBD ( pasal 78 ayat1)
Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari atas beban APBN ( pasal 78 ayat 2)
Pengesahan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan.
G. Hubungan pengawasan pemerintah pusat terhadapan daerah sesuai UU No 22 Tahun 1999
Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah dalam Undang-undang 22 Nomor 5 Tahun
1974, yang terdiri dari pengawasan umum, preventif dan represif, maka sebagai koreksi atas sifat otonomi yang
sentralistik maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya mengenal pengawasan represif.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Daerah yang tidak bisa menerima keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda atau dibatalkan karena bertentangan
atau tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat

reformasi yang salah kaprah dan kurang memahami sistem perundangan-undangan yang sudah ada, dengan alasan
demi penimgkatan pendapatan asli daerah.
H. Pengaturan Daerah
Sejak lahirnya Undang-undang Desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan Undang-Undang Dasar
1945, mengakui esitensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan
otonomi daerah. Kalau pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah,
pengaturan desa ditempatkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi
kedua undang-undang tersebutmerupakan kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintahan daerah.
Undang-undang No 22 Tahun 1999 dalam ketentuan umum pasal 1. o, dan pasal 93 -111 mengatur tentang otonomi
desa sebagai berikut:
1. Desa atau disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mangatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (Ketentuan Umum
Pasal 1,o).
2. Pemerintah Desa terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Perwakila Desa.
3. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan Desa barsama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan terhadap pemerintahan Desa.
4. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat Desa.
5. Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melaui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas
kepada Bupati.
6. Kewenangan Desa Mencakup:
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
Kewenangan yang oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan
pemerintah;
Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabuten.
Sumber pendapatan desa terdiri atas:
Pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong,
dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah); bantuan dari pemerintah kabupaten (bagian dari perolehan pajak dan
restribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah
kabupaten); bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi; sumbangan dari pihak ketiga; dan pinjaman desa
(pasal 107, UU Nomor 22 Tahun 1999)
Maksud Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
kewenangan di bidang pemerintahan.
Otonomi nyata maksudnya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang
tertentu secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekwensi pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi.
10 paradigma baru bagi perubahan tata pemerintahan daerah:
1. Struktur /konstruksi pemerintah daerah di ubah yakni kepala daerah dan perangkat desa
2. Cara pemilihan kepala daerah di ubah dengan meniadakan intervensi dari pusat. Pemilihan bupati walikota
dilakukan secara paket bersama wakil daerah dan keputusan final ditangan DPRD. Kecuali pemilihan gubernur dan
wakil gubernur masih diperlukan konsultasi pimpinan DPRD dengan Presiden, mengiat mereka masih merangka
sebagai wakil pemerintah pusat.
3. Pengaturan tentang susunan organisasi dan pegawai daerah otonomi diserahkan sepenuhnya pada pemerintah
daerah.
4. Kewenangan daerah diperbesar.
5. Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau kota.
6. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasari kepada bentuk subsidi daerah otonom dan inpres
yang diubah menjadi bentuk bagi hasil.
7. Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan kepada pemahaman represif.
8. Hubungan kepala daerah dengan birokrasi dirasionalkan.
9. Penekanan disain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
10. Untuk memberdayakan masyarakat adat otonomi desa yang dijamin dalam UUD 1945 dihidupkan kembali. Dalam
konteks ini desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli
dan hak asal usul.
Hubungan legislatif dengan eksekutif menurut UU No 22 Tahun 1999:
1. DPRD bukan lagi bagian dari pemerintah daerah, DPRD menjalankan tugas legislatif sedangkan pemerintah
daerah menjalankan tugas eksekutif
2. Kalau dulu DPRD mengajukan calon kepala daerah untuk dipilih satu diantaranya oleh pemerintah tanpa terikat
pada hasil pemungutan suara oleh DPRD, pada masa sekarang setelah melakukan penyaringan bakal calon DPRD

provinsi berkonsultasi dengan Presiden untuk menetapkan para calon gubernur, sedangkan bupati atau walikota
dipilih dan ditetapkan oleh DPRD tanpa berkonsultasi cengan pemerintah pusat.
3. Pada masa lalu gubernur atau bupati atau walikota selaku wakil pusat mengawasi DPRD dan menurut UU No 22
Tahun 1999 DPRD yamg mengawasi gubernur/walikota/bupati dan berhak meminta pertanggung jawaban kepada
mereka.
4. dahulu dibedakan hak DPRD dengan hak anggota DPRD pada masa UU No22 Tahun1999 hak DPRD sekaligus
hak anggota DPRD

PILKADA PEMILUKADA 2015


Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang
masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki
pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan
DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi,
maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal
40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung
(Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung
(perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak
untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam
memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4
UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah,
diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang
diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU
No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi
demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat
langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program
desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada
taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama,
dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua,
Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga,
dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka
peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak
menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran,
belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money
politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue
tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu
pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan
gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil
penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi
(adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol
pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang
mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa

difahami, karena politics is the struggle over allocation of values in society.(Politik merupakan perjuangan untuk
memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau
pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam
proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara lobbying, pressure, threat,
batgaining and compromise seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik
UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika
politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya
orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta
beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya
korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan
memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
II. PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA
1. Daftar Pemilih tidak akurat;
a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap
atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara
f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2. Proses pencalonan yang bermasalah
a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon
yang ditetapkan oleh KPU.
e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu
sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut,
partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan
preferensi mereka.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye :
a. Pelanggaran ketentuan masa cuti
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA
d. Money politics
e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f. Kampanye negative
g. Pelanggaran etika dalam kampanye
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU
Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
e. Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral

a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.
c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
f. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.
6. Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi
7. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Sistem pemilihan gubernur.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Daftar Pemilih tidak akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah
untuk melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai
tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil
perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW
sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena
RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2. Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai
politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan
mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59
sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan
kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan
pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon
untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat
penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan
partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh
pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang
direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak
melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya
dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan
rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat
final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan
pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang
dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.

Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke
pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana
kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye.
Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari
sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye
dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah
agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan
perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk
menilai para calon dari segi program.
4. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di
KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh
banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para
pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para
penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum
memadai.
5. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a. KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal
pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan
proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil
penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai
menimbulkan kerusuhan.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan
adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah
mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang
Pemilu.
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya
menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi
untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan
tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan
penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan
pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang
Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu
beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat,
akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT,
permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan
Pilkada.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi
kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak
aturan tersebut.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
Pilkada.
a. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori
pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara
materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam
penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya
dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap
didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD
sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah
harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan
kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga
berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang
menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada
karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga
menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama
setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala
daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam
pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara
langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila
dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa
menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud
pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak
langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua
setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5
(dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua)
periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki
jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
a. Penyesuaian tata cara pemungutan suara.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos
salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta
Perhllu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi

tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak
yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar
tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian
suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2009.
b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda
bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam
pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka
efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu
dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan
kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada,
kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008,
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU
32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59
ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya
kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga untuk kejenuhan
masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi Penggabungan.
1) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X , yaitu dimulai Tahun 2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi
kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi
sedikit kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3) Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi
kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.

4) Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.
a) Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan
normal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
11. Sistem pemilihan gubernur.
Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di
Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran
gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1) Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang",
2) Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3) Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh
kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui
system perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang
partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang
partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan,
akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan
dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada
sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur
melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur
akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah
pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang
direpresentasikan oleh DPRD.
5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan
minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih
mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang
menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka
relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis

1) Perkuatan sistem NKRI.


Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan.
Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah
daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan
diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah
dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu
bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan
terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2) Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan
gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat
daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring
dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1) Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan
jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan
melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi
dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara
sehat.
2) Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada
secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu
membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan
mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih
banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam
UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah.
Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka
kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat
membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal
terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat
hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan
wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil
kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada
khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang

legal system sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi
hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian
struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal
culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam
ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan
pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal.
Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai
politik yang sering disebut sebagai legal culture of the insider.
IV. KESIMPULAN
Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara umum telah
berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian
dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan
RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan data pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan pasal 64 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon
perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak
cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari
segi program.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada
pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang
disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan
jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil penghitungan
suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta
Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS. Untuk itu perlu pengaturan yang
memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS
maupun hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi
para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara
pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas,
dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara pemilu.
6. Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah
dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak

aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada
masalah ini masalah kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan
pelaksanaan Pilkada.
a. Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No 32
Tahun 2004 sebagai berikut:
1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No 22/PUU-VII/2009
membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah
substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009
dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu
pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam
pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada,
kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
harus aktif.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan
daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif
yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan".
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran
gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis
sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya
dilakukan melalui sistem perwakilan.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah, pada banyak daerah
telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi. Hal terjadi karena latar
belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling
waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan tersebut perlu
dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala
daerah.
V. PENUTUP

Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada
yang telah berjalan lebih dari 5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka
penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun
penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal
semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau
institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka.
Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh
masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap
pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah
diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan
kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.
Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan
system demokrasi, khususnya pemahaman legal system di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan
budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort).
Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan
banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas
sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.

Anda mungkin juga menyukai