Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latarbelakang Masalah
Persengketaan lahan adalah satu kajian studi yang hingga kini menarik untuk diteliti.

Baik dari perspektif hukum (hukum tanah dan hukum adat) maupun sosial ekonomi. Ketika
persoalan tanah ini menjadi makro , dalam artian maasif dari segi issu dan menyeret banyak
elemen masyarakat didalamnya maka tidak jarang terdistorsi bahkan melebar menjadi gerakan
politik. Perlawanan petani (si empunya lahan) disokong oleh gerakan moral (yang berlandaskan
anti penindasan) dalam kerangka ekonomis (menyelamatkan tanah warisan/ulayat dan dapur
keluarga) kemudian mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial yang lebih besar.
BPN (Badan Pertanahan Negara) yang semestinya menjadi mediator dan perwalian
pemerintah dalam penyelesaian sengketa terkadang terlihat begitu mandul dalam beberapa kasus.
Tidak bisa dipersalahkan memang , karena posisi BPN sedari awal secara falsafah sudah
prematur dalam aturan perundang-undangan. BPN hanya diberi ruang untuk legitimasi areal
lahan secara hukum formal. Di sisi lain persengketaan lahan terkadang melibatkan tanah
adat/ulayat yang secara hukum pertanahan internasional hukum formal menjadi subordinat pada
hukum adat. Lemahnya penguasaan terhadap intisari hukum adat terkadang menafikan sejumlah
institusi hingga menomorsatukan hukum legal formal. Kesenjangan inilah yang terkadang
mengakibatkan penyelesaian sengketa lahan begitu lama , tidak jarang memakan waktu puluhan
tahun.

Universitas Sumatera Utara

Konflik yang sering terjadi diantara mayarakat tani adalah konflik agraria. Salah satu
penyebab konfik agraria adalah ketidakadilan dalam struktur penguasaan dan pemilikan terhadap
sumber sumber agraria.
Pola penguasaan tanah didesa tempat petani melakukan usaha pertanian terlihat begitu
rumit untuk dikuasai karena meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi , politik ,
hukum maupun sosialnya. Pada akhirnya menempatkan posisi tanah menjadi rentan terhadap
manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan memposisikan tanah sebagai faktor produksi
mutlak.
Penguasaan atas perkebunan , kehutanan , pertambangan saat ini didominasi segelintir
individu dan perusahaan besar nasional dan asing seperti London Sumatera , Exxon , Nem Mont
, Freeport , Caltex , dan lainnya hingga mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong
timbulnya ribuan konflik konflik yang bersandar pada perebutan penguasaan , pengelolaan ,
pemanfaatan , dan kepemilikan atas sumber sumber agrarian , baik yang sifatnya vertikal ,
horizontal , maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang terjadi selalu
mengakibatkan petani , masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan lainnya. 1
Keberadaan tanah bagi petani selain bersifat ekonomis sebagai sumber kehidupan , juga
bermakna magis religio-kosmis dan bahkan hingga tataran ideologis. Ironisnya , sejak zaman
kolonial , bahkan jauh sebelumnya , yakni zaman kerajaan hingga kini sejarah pertanahan yang
identik dengan nasib petani itu tidak banyak menunjukkan tanda tanda perbaikan. Kehidupan
petani selalu terombang-ambing akibat ketidakpastian Negara tentang pertanahan yang sering
berubah-ubah. 2

1
2

Ahmad Yakub,2007:3
Topatimasang , 1998

Universitas Sumatera Utara

Ketika Inggris menjajah Hindia Belanda (1811-1816) , legalitas agraria diatur dalam
Doman Theory Rafles ,yaitu kebijakan agraria ditujukan untuk penarikan pajak bumi dengna
dalil bahwa tanah adalah milik raja/Negara/pemerintah. Kemudian di era Van den Bosch
diterapkan sistem tanam paksa dan pengerjaan proyek besar seperti pembangunan waduk, jalan
raya dan kereta api. Kebijakan ini diganti dengan Agrarische Wet yang dengan asas domein
veklaring menetapkan tanah terlantar adalah domein Negara. Setelah itu dikeluarkanlah UU
agraria 1870 yang membuka keran investasi swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Setelah
Indonesia merdeka , Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk penataan agraria. Asumsinya,
penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dlakukan industrialisasi.
Lahirnya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria atau dikenal
dengna UU PA menjadi sinyal bagi keadilan penguasaan tanah dan sangat representatif untuk
menyelesaikan konflik tanah dimasa itu. Ini karena UU PA dijalankan dengna orientasi
penyediaan tanah untuk penggarap. 3
Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan
agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan
pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan Pembaruan
agrarian dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali
struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan,sehingga tercipta dasar pertanian
yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya
kehidupan mereka, system kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta
penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran

Suhendar dan Kasim ,1995:15

Universitas Sumatera Utara

rakyat. 4 Sukarno , dalam ketertarikannya mengenai isu perjuangan tani bahkan pernah
mengatakan Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari
Revolusi Indonesia.5
Jika diperhatikan secara cermat , latara belakang konflik pertanahan dipedesaan
umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik Negara maupun swasta)
dengan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan disatu sisi didapat dari sejarah lahirnya
hak erfpacht yang kemudian dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU) pada tanah perkebunan.
Pengelolaan HGU tersebut dalam prakteknya sering terjadi ketimpangan peruntukan ,
penguasaan , dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar atas peran ko-eksistensi sehingga
memicu manifestasi konflik laten.
Kecenderungan tersebut menegaskan bahwa yang dihadapi petani begitu pelik , tidak
saja Negara dengan perundang-undangannya tetapi juga kekuatan pasar global yang pengaruhnya
semakin kuat. Keseluruhan hal tersebut mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang
mendalam. Pada saat yang sama , rakyat petani selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan
dan kebutuhannya melalui institusi institusi , juga tidak cukup mempunyai kemampuan
mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan persoalan yang muncul kemudian
diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal , destruktif dan radikal terhadap
sasaran sasaran yang dianggap menjadi simbol kekuasaan (Negara ,atributnya , dan pasar).
Secara mendasar penyelesaian problem-problem pokok ini bermuara pada bagaimana
negara dapat mengabdi pada satu tatanan yang mampu mengadilkan kepemilikan alat produksi
kepada kelas-kelas yang terlibat langsung dalam proses produksi (buruh tani, tani kecil, tani
penggarap) di atas basis kemajuan tenaga produktif, yaitu dengan jalan sentralisasi dan

Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998

Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960

Universitas Sumatera Utara

sosialisasi alat-alat produksi di bawah kontrol dewan rakyat (termasuk kaum tani) atas alat
produksi; agar ia berada dan diabdikan sepenuhnya pada kepentingan kelas-kelas tertindas
yakni Pemerintahan Persatuan Nasional Anti Imperialisme. 6
Dalam perjalanannya perlawanan petani ini tidak terlepas dari aktivitas aktivitas
organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan kaum tani. Karena dalam berperilaku
organiasasilah petani dapat distimulus kesadaran akan ketertindasan mereka.
Skripsi ini coba mengambil salah satu contoh kasus persengketaan petani di deli serdang
dengan melihatnya dari sudut pandang ilmu sosial. Penekanannya lebih pada sisi yang selama ini
jarang terpublikasi yaitu advokasi petani. Rasionalitas mengapa harus advokasi petani yang
diangkat adalah karena petani tidak memiliki prasyarat untuk mengadvokasi dirinya sendiri.
Secara modal petani berada dalam strata sosial terendah setelah kaum miskin perkotaan dan
secara ideologis petani tidak melakukan perlawanan ideologis karena cenderung pragmatis. Oleh
karena itu menjadi menarik untuk diteliti bagaimana sepak terjang pihak yang mendampingi
petani baik secara litigasi maupun non-litigasi. Ini menjadi penting karena sebenarnya pihak
inilah yang memainkan peran sentral dalam perjuangan petani. Pihak atau dalam beberapa kasus
dipayungi oleh organisasi menjadi jalur yang menkanal perjuangan petani agar lebih cerdas dan
tidak destruktif seperti yang dijelaskan diatas. Advokasi advokasi seperti ini kedepannya akan
membanjiri ranah pekerja sosial dengan meramalkan gencarnya perjuangan pembebasan lahan
ditengah himpitan ekonomi yang mau tidak mau penguasaan akan tanah menjadi isu pokok
untuk setidaknya mampu bertahan hidup (skema yang sangat mirip dengan watak petani yang
cenderung defensif).
Adapun latar belakang persengketaan lahan di dusun tungkusan deli serdang adalah
sebagai berikut 7:
6

Arsip Pengurus Pusat Serikat Tani Nasional (PP STN) 2011

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan rumah sebagai
tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon Durian, jengkol, Petai, Pisang,
Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani.
Selanjutnya oleh Negara tanah tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai
TANAH SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, terletak diwilayah Desa Limau
Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa Tadukan Raga,
Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara adalah sah menurut
hukum maupun dalam kebijakan Badan Pertanahan Nasional sendiri. Akan tetapi pada tahun
1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar
tanah tersebut, yaitu seluas lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX
secara paksa (sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat
hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan tanaman-tanaman yang telah
ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah tersebut, yang mengakibatkan
rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Bahkan pihak PTPN II dengan seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka
nikmati tanpa mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada
masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan atas
tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan penderitaan yang cukup panjang.
Setelah menungu cukup lama sampai akhirnya pecah reformasi tahun 1998 peluang
untuk mengambil kembali tanah yang dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya
Pertemuan Dengar Pendapat Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu
dihadiri oleh Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur,
Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan Kades. Lau Barus
7

Arsip SMAPUR

Universitas Sumatera Utara

Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27 Oktober 1998, dimana telah
menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap
menjadi milik rakyat.
1.

Oleh karena tanah terperkara seluas 922 Ha tersebut berada diluar areal tanah Hak Guna
Usaha (HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah
diusahai oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi
beberapa bulan berselang pada tahun yang sama PTPN II kembali mengambil alih paksa
tanah dengan membabat habis tanaman palawija yang menghijau, bahkan beberapa orang
petani juga menjadi korban hingga harus menjalani operasi bedah rutin sampai sekarang.
Namun karena tidak ada pertanggung jawaban dari pelaku maka operasi bedah belum
dapat dituntaskan sebab korban tidak mampu lagi membayar biaya operasi.

2.

Sejalan dengan itu, maka rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak PTPN II untuk
mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang ditaksir sebesar 2,5
milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti rugi tersebut dipenuhi.
Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi sebesar 500 milyar rupiah
karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia. Dengan tuntutan seperti itu maka
PTPN II melakukan Banding sampai akhirnya mereka mengajuakn PK atas putusan MA.
Pada tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri lubuk
pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah tersebut
adalah milik rakyat akan tetapi kembali lagi diajukan banding oleh PTPN II dengan dalil
bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT. Secara otomatis tanah
tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga kedua pihak tidak boleh
menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah dilakukan PTPN II melalui Perjanjian

Universitas Sumatera Utara

dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian
untuk memanen kelapa sawit diatas tanah terperkara tersebut. Jelas ini adalah tindakan
melawan hukum. Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan
mencoba menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak
yang sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari
pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di lokasi
tersebut, sebab jika ditanya mereka selalu mengatakan kami hanya menjaga buah, ini
perintah atasan. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan beberpa
warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat, akhirnya
masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara bebas melakukan
aktivitas memanen. Merasa tidak puas masyarakat kembali melakukan perlawanan
dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan cara berbaris tanpa senjata.
Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu, maka
kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak masyarakat
yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi korban dan harus
dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat sekitar menjadi trauma
untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan haknya atas tanah. dan sampai
saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi militerisme oleh kepolisiaan dan
oknum TNI.
Persoalan ini mulai mengemuka saat sejumlah mahasiswa yang kebetulan sedang
melakukan praktek lapangan di lokasi mendapat informasi dari hasil perbincangan ringan dengan
warga setempat. Seiring berjalannya waktu para mahasiswa ini melakukan pendampingan pada
petani dan pendidikan kepada warga (masyarakat dan anak anak di sekolah). Dalam

Universitas Sumatera Utara

perjalanannya mahasiswa yang mulai jengah melihat kondisi ini mengambil sikap yang cukup
maju , melakukan penyatuan perjuangan petani dalam satu payung gerakan. Maka mahasiswa
dan pemuda atas nama Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) membantu
persoalan yang dialami masyarakat persil IV ini, dengan melakukan investigasi kasus selama 1
(satu) bulan , dengan bermodalkan pendidikan dan keberanian melakukan pertemuan dengan
masyarakat untuk membicarakan hal-hal seputar kasus yang dialami masyarakat serta informasi
penting lainnya yang berhubungan dengan perjuangan tanah persil IV tersebut.
Dari beberapa dusun yang telah dilakukan pertemuan maka digagaslah sebuah
pertemuan yang di sebut Rembuk Akbar dari seluruh dusun yang ada di persil IV yang akan
digelar di lapangan SD Negeri Tungkusan pada hari minggu 26 Agustus 2007 pukul 13.00 Wib
s/d selesai. Adapun isi yang akan dibicarakan dalam rembuk akbar adalah suara-suara dari
masyarakat 5 dusun tentang kondisi mereka, gagasan untuk memenangkan secara mutlak
perjuangan tanah, sampai kepada Ikrar perjuangan rakyat atas tanah.
Keseluruhan ketertarikan ini akan coba penulis teliti dan akan dirangkum dalam skripsi
dengan judul : Advokasi Petani dalam upaya Pembebasan Lahan Sengketa oleh SMAPUR
sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang.

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


Bagaimana advokasi Petani dalam upaya Pembebasan Lahan Sengketa oleh
SMAPUR sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli
Serdang

Universitas Sumatera Utara

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana advokasi petani ,
dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di
Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang.

1.3.2. Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian merupakan gambaran harapan-harapan peneliti akan hasil akhir dari
penelitian tersebut, dimana apabila terdapat kesesuaian atau kecocokan antara hasil dan harapan
berarti bahwa penelitian ini sukses. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Sebagai pembelajaran bagi penulis untuk mengetahui lebih dalam ranah advokasi sosial
yang menjadi bagian pekerjaan sosial.
2. Sebagai persembahan penulis pada diri sendiri sebelum menginjak fase pasca mahasiswa ,
yang akan selalu mengingatkan penulis untuk tidak individualistis dan ikrar untuk
membukukannya di kemudian hari.
3. Sebagai materi rujukan bagi rekan rekan dan pembaca yang tertarik mengangkat isu
advokasi petani.
4. Sebagai persembahan bagi para pejuang pembebasan lahan yang gigih tanpa lelah meski
harus memakan waktu puluhan tahun , semoga karya ini menjadi suntikan semangat untuk
tetap teguh dalam prinsip.

Universitas Sumatera Utara

5. Sebagai sumbangan pemikiran bagi elemen yang terlibat di SMAPPUR (baik individu
maupun kolektif/kelompok) dalam memperkaya referensi advokasi petani kedepannya.
6. Sebagai pelengkap referensi di ruang ruang ilmiah (perpustakaan , diskusi , bacaan ilmiah
dan sebagainya) sehingga kedepannya penulis mengharapkan akan lahir akademisi kritis
yang berpijak pada rasionalitas dan bekerja secara jujur dan realistis.
7. Sebagai stimulus kepada calon penulis dan pencari referensi untuk menekankan karyanya
kelak pada orisinalitas dan keobjektifan memandang akar masalah dan fenomena sosial.
8. Terakhir , kepada para praktisi masyarakat yang sudah terbiasa berpihak pada masyarakat
dan berpikir secara multi-sektoral , semoga karya ilmiah (skripsi) ini punya manfaat
untuk menggugah para pekerja dan pemikir mono-sektoral untuk mengurangi sifat egosektoralnya dan ikut mempertimbangkan kepentingan sektor lain sehingga pembangunan
dan pemberdayaan semua sektor dapat dilaksanakan secara sinkron dan seimbang.
1.4.

Sistematika Penulisan
Penulisan ini disajikan dalam 6 (enam) BAB dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I :

PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II :

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek
yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III :

METODE PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara

Bab ini menguraikan tipe penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan
data dan teknis analisis data.

BAB IV :

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN


Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, sejarah dan latarbelakang
berdirinya lembaga.

BAB V :

ANALISIS DATA
Bab ini menguraikan bagaimana menganalisis data, berisikan penganalisaan datadata yang diperoleh dalam penelitian

BAB VI :

PENUTUP
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran-saran penulis, atas penelitian yang
telah dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai