Pembuktian Persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa
disertai
ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain:
Besarnya penis dan derajat penetrasinya
Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)
Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri
Posisi persetubuhan
Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan
Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin, sebab dengan berlangsungnya
waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan sendirinya. Sebelum
dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin tertulis dari pihak-pihak
yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin dapat diminta dari orang tua
atau walinya.
Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut,
teliti apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium,
sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya
dapat juga ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung
kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium
sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung
tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan
kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat
terjadi
menurut
Voight
adalah
minimal
9
cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya
adanya robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu
benda (penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak
mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya
lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik.
Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar
asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu
sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam
fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya,
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang
wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan
bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda
persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak
ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya
tidak
dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah
alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan.
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat
bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai
sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari
bila wanita yang menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya
persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara
yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 710 hari postkoital.
b. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan
pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari
bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta
dapat menentukan adanya sperma.
Pemeriksaan Pelaku
a. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans
penis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk
menentukan adanya penyakit kelamin.
b. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang
dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian
atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.
Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita
yang menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka
yang sering ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting
susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat
genital.
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet
bekas kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas
atau jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka
tidak berarti bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah
Bila pada kertas saring pertama timbul warna ungu dalam waktu
satu menit, sedangkan pada yang kedua tidak terjadi warna ungu,
maka dapat disimpulkan bahwa bercak pada pakaian vang diperiksa
adalah
bercak
air
mani,
Bila dalam jangka waktu tersebut warna ungu timbul pada
keduanya, maka bercak pada pakaian bukan bercak air mani, asam
fosfatase yang terdapat berasal dari sumber lain.
Pembuatan reagensia:
Reagensia 1: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast
blue B, dilarutkan dalam larutan buffer citrat dengan pH. 4,9.
Reagensia 2: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast
blue B, dilarutkan dalam larutan yang terdiri dari 9 bagian larutan
buffer citrat pH.4,9 dan
1 bagian larutan 0,4 M. L(+) tartaric acid dengan pH.4,9.
Reaksi dengan asam fosfatase
Kertas saring yang sudah dibasahi dengan aquades diletakkan
pada pakaian atau bahan yang akan diperiksa selama 5-10 menit,
kemudian kertas saring diangkat
dan dikeringkan,
Semprot dengan reagensia, jika timbul warna ungu berarti
pakaian atau bahan tersebut mengandung air mani,
Bila kertas saring tersebut diletakan pada pakaian atau bahan
seperti semula, maka dapat diketahui letak dari air mani pada bahan
yang
diperiksa.
Sinar ultra violet; visuil; taktil dan penciuman
Pemeriksaan dengan sinar-UV: bahan yang akan diperiksa ditaruh
dalam ruang yang gelap, kemudian disinari dengan sinar ultra
violet bila terdapat air mani, terjadi fluoresensi.
Pemeriksaan secara visual, taktil dan penciuman tidak sulit untuk
dikerjakan.
7. Tujuan : menentukan adanya kuman Neisseria gonorrhoeae (GO)
Bahan pemeriksaan : sekret uretra dan sekret serviks uteri
Metoda : pewarnaan Gram
Hasil yang diharapkan: kuman Neisseria gonorrhoea.
8. Tujuan : menentukan adanya kehamilan
Bahan pemeriksaan : urin
Metoda :
Hemagglutination inhibition test (Pregnosticon)
Agglutination inhibition test (Gravindex )
Hasil yang diharapkan: terjadi aglutinasi pada kehamilan.
9. Tujuan : menentukan adanya racun (toksikologi )
Bahan pemeriksaan : darah dan urine
Metoda :
TLC
Mikrodiffusi, dsbnya.
Hasil yang diharapkan : adanya obat yang dapat menurunkan atau
menghilangkan kesadaran.
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah
seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).
Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia setelah meninggal dunia. Perubahan
perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat
(early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). Perubahan yang terjadi secara cepat antara lain henti
jantung, henti nafas, perubahan pada mata, suhu dan kulit. Sedangkan perubahan yang terjadi secara lanjut
antara lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan mummifikasi.
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar benar sudah
meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau
mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan
yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
1. Definisi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda kematian dan perubahan yang terjadi setelah
seseorang mati serta faktor yang mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum).
9
Jenis-Jenis Kematian
Jenis kematian ada 3 yaitu :
a.
-
sekitar 3-5 menit. Jaringan otot akan mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat
diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan mati somatis.
Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi organ.
Mati cerebral
Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan susunan saraf pusat.
c.
2. Manfaat Tanatologi
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :
a.
b.
c.
d.
-
Waktu kematian
Sebab kematian pasti
Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi perubahan warna kulit)
Cara kematian (homocide, suicide, accident)
Transplantasi (donor organ)
Syarat:
Ada izin dari korban/ keluarganya
Sudah meninggal
Tes kardiovaskuler.
Magnus test.
Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan mengikat/menutup ujung jari
korban dengan karet, lalu dilepaskan, maka tidak tampak adanya perubahan warna dari pucat
2.
menjadi merah.
Diaphonos test.
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak terlihat ada sirkulasi
3.
4.
10
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi
5.
b.
1.
2.
3.
4.
c.
1.
2.
Stetoskop.
Tes Saraf
Memeriksa reflex : reflex kornea
EEG
5. Perubahan Mata
Perubahan mata setelah kematian dapat berupa :
-
Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila menutup maka kekeruhan lambat
terjadi, tapi bila membuka, maka kekeruhan akan cepat terjadi akibat kontak dengan luar).
Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering / angin kencang maka
kekeruhan cepat terjadi).
11
Keadaan korban sebelum mati (bila sakit mata maka kekeruhan akan cepat terjadi).
Faktor faktor penyebab kematian lainnya seperti :
Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea terang karena terjadi perdarahan
retina.
Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.
Kematian kurang dari 1 jam, otot otot mata masih hidup sehingga bisa ditetesi atropin akan
terjadi midriasis pupil.
Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan cepat setelah kematian
tergantung dari tekanan darah arteri. Bola mata menjadi lunak dan cenderung untuk masuk ke dalam fossa
orbital. Kekakuan bola mata dapat dengan mudah ditentukan dengan perabaan. Bila jantung berhenti
berdetak, tekanan menurun sekitar setengah sampai satu jam setelah kematian dan menjadi nol setelah 2
-
yang banyak sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.
Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop retina akan dapat
menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah mati, aliran darah pembuluh darah retina menjadi
segmen seiring dengan tekanan darah yang hilang menyebabkan aliran darah terbagi menjadi beberapa
segmen.
6. Perubahan Kulit
Perubahan yang terjadi pada kulit setelah kematian dapat berupa :
-
Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian, darah merembes keluar
dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak pucat. Kulit menjadi pucat, bewarna putih abu dan
kehilangan elastisitasnya.
Pada kasus kematian berhubungan dengan spasme agonal dan terdapatnya sumbatan pada pembuluh darah
balik karena tekanan pada leher atau karena asfiksia traumatic, wajah tetap berwarna merah kebiruan
selama beberapa saat setelah kematian. Warna kekuningan pada kulit karena menderita sakit kuning, warna
pink kemerahan karena keracunan HCN atau CO biasanya tetap ada selama beberapa saat setelah kematian.
Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.
Sehingga bisa menetapkan apakah luka pada tubuh korban didapat intravital atau post mortem, yaitu :
Luka pada intravital akan berbekas dengan ukuran lebih kecil daripada ukuran senjata, dermis
12
Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapai keadaan
dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan
berbentuk kurva sigmoid, dimana pada jam jam penurunan suhu akan berlangsung lambat, demikian pula bila
suhu tubuh mayat telah mendekati suhu tubuh lingkungan.
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu keadaan
dimana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap di antara lapisan lapisan yang menyusun tubuh, maka
penyaluran panas dari bagian dalam tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar.
Kini penentuan suhu rektal kerap kali sangat berguna dalam investigasi kematian yang
mencurigakan, kecuali dimana tampak luar mengindikasikan bahwa tubuh sudah didinginkan oleh suhu
sekitarnya.
Hal ini juga harus dititikberatkan bahwa kegunaan dari perkiraan temperatur ini menetap pada iklim dengan
suhu dingin dan menengah dimana tubuh kehilangan panasnya secara lama sebagaimana halnya keseimbangan
pada temperatur lingkungan, sedangkan pada daerah tropis, penurunan suhu tubuh post mortem dapat minimal
atau bahkan tidak ada pada iklim yang sangat panas sekali, mayat mungkin dapat menghangat setelah mati.
Saat mati, setelah waktu yang tidak lama, tubuh mulai kehilangan panasnya. Temperatur lazim
pada tubuh dewasa sehat adalah antara 98,4 derajat Fahrenheit, atau saat dipastikan melalui mulut adalah sekitar
99 derajat Fahrenheit, dan pada axilla sekitar 97 derajat fahrenheit. Temperatur juga dapat menunjukkan variasi
waktu yang berbeda selama tiap harinya. Temperatur akan lebih rendah pada pagi hari dan akan lebih tinggi
pada sore hari. Latihan akan meningkatkan temperatur tubuh namun ini akan menurun menjadi normal dalam
setengah jam kemudian.
Faktor yang mempengaruhi penurunan suhu mayat :
Temperatur dari tubuh saat mati.
Dalam beberapa kasus, seperti kematian karena asfiksia, emboli lemak dan air, heat stroke, beberapa infeksi,
reaksi obat, perdarahan cerebral, atau saat tubuh ditinggalkan berada di dekat api atau saat tubuh berada dalam
bak mandi hangat, maka temperatur akan meningkat. Sebaliknya penyakit degenerasi seperti cholera, gagal
jantung kongestif, paparan terhadap suhu dingin, perdarahan banyak, maka temperatur akan menurun.
Perbedaan temperatur tubuh dan lingkungan.
Pada daerah dingin, penurunan suhu paling sedikit 1,5 derajat Fahrenheit per jam dan pada daerah tropis,
penurunan suhu paling sedikit 0,75 derajat Fahrenheit per jam. Selain itu, didalam air, kehilangan suhu melalui
konduksi dan konveksi. Pada kasus udara, kehilangan suhu dapat melalui konduksi (saat bagian dari badan
bersentuhan dengan tanah atau suatu material), konveksi (evaporasi dari cairan tubuh) dan sebagian radiasi.
Pada kasus yang dikubur, penurunan hanya melalui konduksi. Disamping itu, penguburan pada tanah berbatu
kering akan mempertahankan panas tubuh lebih lama dibanding terkena udara dan tubuh yang dilempar ke
timbunan sampah atau comberan, suhunya akan lebih cepat turun sedikit dibanding dibiarkan di udara terbuka.
Flora normal atau belatung dapat meningkatkan temperatur tubuh.
Keadaan fisik tubuh serta adanya pakaian atau penutup mayat.
Tebalnya jaringan lemak dan jaringan otot serta ketebalan pakaian yang menutupi tubuh mayat akan
mempengaruhi kecepatan penurunan suhu.
13
Konduksi dan konveksi secara signifikan diturunkan oleh adanya pakaian. Pakaian yang terbuat dari sutera, wol,
atau serat sintetik berperan dalam menurunkan suhu. Pakaian basah akan mempercepat pendinginan karena
terdapat uptake panas untuk evaporasi.
Ukuran tubuh.
Anak anak dan orang dewasa dengan badan kecil akan mengalami pendinginan yang lebih cepat daripada
orang dewasa yang berukuran lebih besar. Jumlah dari lemak subkutan dan lemak preperitoneal berperan dalam
menentukan cepat lambatnya proses pendinginan. Tubuh seorang yang kurus akan lebih cepat mendingin karena
luas permukaan tubuhnya yang kecil dan kurangnya lemak.
Aliran udara dan kelembapan.
Udara disekitar tubuh bertindak sebagai medium pemindah suhu. Dalam beberapa kondisi, udara hangat
biasanya menyelimuti permukaan tubuh dengan demikian akan memblok perubahan temperatur. Pergerakan
udara pada permukaan tubuh membawa udara dingin yang mempunyai kontak langsung pada tubuh yang
mendorong hilangnya panas. Udara yang lembab akan mengalirkan panas lebih cepat dibanding yang kering.
Post mortem caloricity.
Adalah kondisi dimana terjadi peningkatan temperatur tubuh sesudah mati sebagai pengganti akibat
pendinginan tubuh tersebut. Walaupun proses glikogenolisis post mortem yang berlangsung pada kebanyakan
tubuh sesudah mati, dapat memproduksi kira kira 140 kalori yang akan meningkatkan suhu tubuh temperatur 2
derajat celcius.
Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu lingkungan sebesar 70 derajat
Fahrenheit (21 derajat celcius), adalah sebagai berikut :
Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal
1,5
Secara umum 1,5 o F / 1 o C per jam, teori lain : 0,8 o F per jam. 1,5 o F / 1 o C per jam 6 jam pertama, 1 o F jam 6
kedua, 0,6 o F per jam 6 jam ketiga, setelah 12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).
Sedangkan untuk organ organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu lingkungan. Bila tenggelam / dalam
air : 6 jam sudah mencapai suhu lingkungan.
8.Lebam Mayat (Livor Mortis / Post Mortem Hypostasis)
Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas. Biasanya
disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain
lain. Kata hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh pembuluh darah kecil,
kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah. Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat
kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area terendah pada tubuh,
memberi perubahan warna keunguan atau merah keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena
adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau segera
setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan
secara berangsur angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area yang lebih
besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah
melewati waktu tersebut, tidak akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia, kehilangan darah akut, dan lain lain.
14
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah. Darah akan mengalami
koagulasi spontan pada semua kasus sudden death dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini
mungkin akan hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah post mortem akan
menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan. Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya
bertindak pada fibrin, bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya pada bekuan
yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk
oleh sel endotel dalam pembuluh darah.
Distribusi lebam mayat bergantung pada posisi mayat setelah kematian. Dengan posisi berbaring
terlentang, maka lebam akan jelas pada bagian posterior bergantung pada areanya seperti daerah lumbal,
posterior abdomen, bagian belakang leher, permukaan ekstensor dari anggota tubuh atas, dan permukaan fleksor
dari anggota tubuh bawah. Area area ini disebut juga areas of contact flattening. Dalam kasus gantung diri,
lebam akan terjadi pada daerah tungkai bawah, genitalia, bagian distal tangan dan lengan. Jika penggantungan
ini lama, akumulasi dari darah akan membentuk tekanan yang cukup untuk menyebabkan ruptur kapiler
subkutan dan membentuk perdarahan petekiae pada kulit. Dalam kasus tenggelam, lebam biasa ditemukan pada
wajah, bagian atas dada, tangan, lengan bawah, kaki dan tungkai bawah karena pada saat tubuh mengambang,
bagian perut lebih ringan karena akumulasi gas yang cukup banyak kuat dibanding melawan kepala atau bahu
yang lebih berat. Ekstremitas badan akan menggantung secara pasif. Jika tubuh mengalami perubahan posisi
karena adanya perubahan aliran air, maka lebam tidak akan terbentuk.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku mayat. Pertama tama
karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi
tubuh terendah dalam beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai terkumpul pada bagian
bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga hal ini menghambat darah kembali atau melalui pembuluh
darahnya karena terfiksasi akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain itu dikarenakan
bertimbunnya sel sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga sulit berpindah lagi.
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung pada tingkat
oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan warna lainnya dapat mencakup:
-
Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh carbonmonoksida atau
hydrocyanic acid.
Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium chlorate, potassium
15
Saat pembusukan sudah terjadi, perbedaannya akan semakin sulit karena terjadi hemolisis darah dan difusi
pigmen ke dalam jaringan sekitarnya. Saat pembusukan berlangsung, lebam akan menjadi gelap, berubah
menjadi coklat kemudian hijau sebelum hilang seiring hancurnya sel darah.
Lokasi
Permukaan
Batas
Warna
Lebam Mayat
Bagian tubuh terbawah
Tidak menimbul
Tegas
Kebiru biruan atau merah
Memar
Dimana saja
Bisa menimbul
Tidak tegas
Diawali dengan merah yang
kelamaan
berubah
keracunan
Distensi kapiler vena
Efek penekanan
Bila dipotong
kapiler
Bila ditekan akan memucat Tidak ada efek penekanan
Akan terlihat darah yang Terlihat perdarahan pada
Ekstravasasi
tetesan
Unsur
diantara
dan
darah
dengan
dari
adanya
perlahan lahan
Mikroskopis
darah
pembuluh
tidak
ditemukan
Enzimatik
peradangan
Tidak ada perubahan
Kepentingan medicolegal
Memperkirakan
Lokasi
Penyebab
Bengkak dan oedema
Pada penampang potongan
Lebam mayat
Hanya pada
Kongesti
Bisa seluruh
atau
beberapa
tertentu
bagian
organ
tersebut
Tidak ada
Darah mengalir pelan pelan
penyakitnya
Dapat bermakna
Keluar cairan, tercampur dengan
organ organ
dari
16
Hollow viscus
atau
direntangkan
usus
akan
saat
tampak
17
cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan yang kuat sebelum mati, seperti mati saat
terjadi serangan epilepsi atau spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.
Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan dibentuk saat konsentrasi ATP turun menjadi
85%, dan kaku mayat akan lengkap jika berada dibawah 15%.
Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot menjadi lemas. Salah satu pendapat terjadinya
hal ini dikarenakan proses denaturasi dari enzim pada otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis adalah dengan melakukan fleksi
atau ekstensi pada persendian tersebut. Beberapa subyek, biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat
memberikan kekakuan yang kurang dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan lemahnya otot mereka.
Kaku menyebar ke seluruh otot dalam beberapa kondisi dapat mencapai nilai maksimum antara 6 12 jam.
Kondisi ini tidak berubah sampai massa otot mulai menjalani autolisis, dimana akan melemas berangsur
angsur kembali seperti periode perubahan awal post mortem. Kekakuan mayat lengkap dapat terjadi antara 18
36 jam.
Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh
Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama seperti terjadi pada otot
skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap mata, membuat letak pupil tidak sama, hal ini memastikan
bahwa posisi post mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik atau neurologis
selama hidup.
Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang menyerupai pembesaran
ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan pengukuran berat total, menilai ukuran normal jantung kiri,
mengukur ketebalan ventrikel, dan yang paling penting dengan pembedahan dan membandingkan berat kedua
ventrikel.
Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan epididimis, dimana akan
membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari
uretra eksterna pada post mortem.
Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada folikel rambut dapat mengakibatkan gambaran
dengan elevasi dari folikel rambut (goose flesh appearence).
Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial pada otot adalah protein
actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi kompleks fosfat dari ADP menjadi ATP (Erdos, 1943).
Gugus fosfat yang bebas akan membentuk reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. ADP
dibentuk kembali dengan meresintesa ATP dengan tambahan kreatin fosfat.
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab terhadap kekenyalan otot.
Asam laktat disaring kembali masuk kedalam peredaran darah dan kembali ke hati untuk dikonversikan kembali
menjadi glikogen. Semua reaksi ini anaerob dan dapat berlanjut setelah kematian.
Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot, terdapat keseimbangan
antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati, bagaimanapun reaksi perubahan ADP menjadi ATP berhenti
18
dan kadar trifosfat berangsur angsur berkurang dengan akumulasi asam laktat. Sesudah beberapa waktu,
bergantung pada temperatur dan jumlah ATP yang tersisa, aktin dan miosin berikatan, mengakibatkan otot
menjadi kaku sebagai akibat timbulnya kekakuan pada otot (Bate Smith and Bendall, 1947)
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan dikurangi dengan adanya
aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini muncul pada periode awal setelah kematian dimana tingkat
ATP dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat oleh proses glikogenolisis.
Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal, dan kekakuan otot akan
maksimal saat kadar turun menjadi 15%.
Saat sudah sempurna, kekakuan dipatahkan dengan gerakan memaksa dari anggota badan atau leher, lalu jika
tidak kembali, maka hal ini memudahkan dilakukannya pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke
dalam peti mati. Namun jika kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan berlanjut pada posisi yang
baru sesuai gerakan terakhir.
Kadang, kekakuan dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah dipindahkan antara saat mati dan saat
ditemukan.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan dipengaruhi oleh temperatur.
Semakin tinggi suhu lingkungan, akan memperlambat proses ini. Mayat yang terdapat pada daerah dingin / salju
tidak akan mengalami kekakuan bahkan sampai 1 minggu setelah kematian, namun saat mayat tersebut
dipindahkan ke tempat yang hangat, maka dengan cepat akan mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas
atau tropis dapat mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau bahkan kurang.
Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang semenjak hari pertama terjadinya pembusukan.
Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen dan ATP dalam otot
adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan. Kerja otot mempengaruhi interaksi dari substansi
tersebut dan dapat mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric spasme, merupakan bentuk variasi dari
kekakuan yang dipercepat.
Kondisi rata rata yang sering dialami pada rigor mortis :
-
Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati tidak sampai 3 jam.
Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 8 jam lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 36 jam lamanya.
Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati lebih dari 36 jam.
Temperatur
Nysten (1811) mengatakan bahwa kekakuan bertahan lama di dalam dingin, udara lembab dibanding
udara kering. Hal ini menyebabkan kenapa onset kekakuan berjalan lambat dan durasinya berjalan lama
pada negara dingin atau cuaca dingin sedangkan onsetnya cepat dan durasi cepat pada cuaca panas. Hal
ini dikarenakan perusakan ATP lebih cepat pada cuaca panas.
Kondisi fisiologis sebelum mati
Berdasarkan observasi, tubuh seseorang yang kurus atau mati karena penyakit akan melalui proses yang
cepat menuju kekakuan, dimana biasanya dengan durasi yang cepat. Pada kasus orang yang meninggal
karena septicemia, kaku mayat terlihat lebih dini sejak 3 setengah menit pertama dan hilang pada 15
19
menit sampai 1 jam, saat pembusukan dimulai. Pada kematian karena asfiksia, perdarahan hebat,
-
apoplexy, pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, maka onset akan lebih lama.
Kondisi otot sebelum mati
Onset akan berjalan lambat dan durasi berjalan lama pada kasus dimana otot dalam kondisi sehat sebelum
kondisi mati. Onset akan berjalan cepat jika otot berada dalam kondisi kelelahan. Pada orang yang mati
saat lari, kaku akan terbentuk dengan cepat pada daerah kaki sebelum menuju ke daerah lainnya.
Pengaruh sistem saraf pusat
Pada saat stres, kaku mayat terjadi karena perubahan kimia yang terjadi pada otot setelah kematian
20
Bila orang mati di kutub -> kematian terjadi karena kedinginan. Dingin membuat suhu tubuhnya
menjadi kaku, belum terjadi rigor mortis / kaku mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat
Cadaveric Spasm
Keadaan lanjut dari
flaccidity
Semua otot dalam tubuh
mati seketika
Otot tertentu, sesuai
Intensity
Durasi
Moderate
12 24 jam
Onset
rigor mortis
Rangsangan, ketakutan,
Mekanisme pembentukan
kelelahan
Tidak diketahui
Hubungan medikolegal
level kritis
Mengetahui waktu
kematian
pembunuhan
Tabel 3. Perbedaan antara rigor mortis dengan cadaveric spasm
10. Pembusukan (Decomposition, Putrefaction)
21
Merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen tubuh organik
kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih lanjut dari mati seluler. Kedua proses ini
mengakibatkan dekomposisi seperti di bawah ini :
a.
Autolisis.
Merupakan proses melunaknya jaringan bahkan pada keadaan steril yang diakibatkan oleh kerja enzim
digestif yang dikeluarkan sel setelah kematian dan dapat dihindari dengan membekukan jaringan.
Perubahan autolisis awal dapat diketahui pada organ parenkim dan kelenjar. Pelunakan dan ruptur perut
dan ujung akhir esofagus dapat terjadi karena adanya asam lambung pada bayi baru lahir setelah
b.
c.
Perubahan Warna.
Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang sangat tinggi dan kelembapan
tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan dinding perut depan, biasanya
terletak pada sebelah kanan fossa iliaca, dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang
mengandung banyak bakteri dan cairan. Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin menjadi
sulpmethaemoglobin karena masuknya H2S dari usus ke jaringan. Warna ini biasanya muncul antara 12
18 jam pada keadaan panas dan 1 2 hari pada keadaan dingin dan lebih tampak pada kulit cerah.
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin luar, menyebar ke dada, leher,
wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini disebabkan karena luasnya distribusi cairan atau darah pada
berbagai organ tubuh.
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk ke pembuluh darah. Darah
didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga akan mewarna pembuluh darah dan jaringan penujang,
22
memberikan gambaran marbled appearence. Warna ini akan tetap ada sekitar 36 48 jam setelah
d.
kematian dan tampak jelas pada vena superficial perut, bahu dan leher.
Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang terdiri dari campuran gas
tergantung dari waktu kematian dan lingkungan. Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 24 jam
setelah kematian dan mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 48 jam setelah kematian, gas
terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan membengkak. Jaringan
subkutan menjadi emphysematous, dada, skrotum, dan penis, menjadi teregang. Mata dapat keluar dari
kantungnya, lidah terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak. Cairan berbusa atau mukus berwarna
kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung. Perut menjadi sangat teregang dan isi perut dapat keluar
dari mulut. Sphincter relaksasi dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 3
hari.
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh tersebuh dapat mengandung
cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk
lebih dahulu dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan karena oedema hipostatik.
Epidermis menjadi longgar menghasilkan kantong berisi cairan bening atau merah muda disebut skin
slippage yang terlihat pada hari 2 3.
Antara 3 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan dihubungkan dengan perubahan
pada jaringan lunak yang akan membuat perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau
keropos. Kulit pada tangan dan kaki dapat menjadi glove and stocking. Rambut dan kuku menjadi
longgar dan mudah dicabut.
5 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak menjadi masa semisolid berwarna
hitam yang tebal yang dapat dipisahkan dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak.
e.
Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan lingkungan dari mayat tersebut,
apakah terdapat di udara, air, atau terkubur. Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami
skeletonisasi sekitar 2 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang seperti
semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila tubuh terlindungi contohnya terlindung daun dan disimpan
dalam semak.
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh yang satu dengan yang lain.
Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan
pembusukan. Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang singkat dan dalam
waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.
f.
23
organ tersebut menjadi hitam. Organ menjadi lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi masa
semiliquid.
Awal
Akhir
Laring dan trakhea
Paru paru
Lambung dan usus
Jantung
Limpa
Ginjal
Omentum dan mesenterium
Oesofagus dan diafragma
Hati
Kandung kencing
Otak
Pembuluh darah
Uterus gravid
Prostat dan uterus
Tabel 4. Susunan perubahan pembusukan pada organ dalam
Keadaan yang mempengaruhi onset dan lama pembusukan :
a.
Faktor Eksogen
1.
Temperatur atmosfer.
Temperatur atmosfer lingkungan yang tinggi akan mempercepat pembusukan. Pada umumnya, proses
pembusukan berlangsung optimal pada suhu 70 sampai 100 derajat Fahrenheit dan bila temperatur
dibawah 70 derajat Fahrenheit, proses menjadi lebih lambat, walaupun enzim yang diproduksi bakteri
terus berlangsung. Tubuh yang sudah mati dapat diawetkan selama waktu tertentu dalam lemari
pendingin, salju, dan sebagainya. Pada beberapa kondisi (khususnya pada bulan musim hujan), warna
2.
3.
4.
mempercepat pembusukan khususnya bila tubuh diletakkan pada udara yang hangat.
Faktor Endogen
1.
Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan berlangsung lebih lama daripada orang yang
meninggal karena sakit. Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia / septikemia, aborsi akan
menunjukkan proses pembusukan yang lebih cepat. Racun yang dapat memperlambat pembusukan yaitu
potassium sianida, barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada kasus strychnine, terjadi
kejang yang lama dan berulang, proses pembusukan akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit
kelelahan otot, pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan kronis oleh logam akan memperlambat
pembusukan karena memperlambat efek jaringan. Alkoholik kronik umumnya akan mempercepat
pembusukan.
Jika tubuh terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan pembusukan yang lambat, batang tubuh
2.
3.
4.
25
membusuk lebih awal. Tubuh anak anak membusuk lebih cepat daripada orang tua, dimana pada orang tua
akan membusuk lebih lama karena mengandung cairan lebih sedikit.
Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak yang lebih banyak yang akan
mempertahankan panas lebih lama, yang akan mempercepat proses pembusukan.
11. Penyabunan (Saponifikasi)
Dikenal juga sebagai grave wax atau adiposera. Adiposera berasal dari bahasa latin, adipo untuk lemak dan
cera untuk lilin) berwarna utih kelabu setelah meninggal dikarenakan dekomposisi lemak yang dikarenakan
hidrolisis dan hidrogenasi dan lemak (sel lemak) yang terkumpul di jaringan subkutan yang menyebabkan
terbentuknya lechitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap
jaringan lemak. Dengan demikian akan terbentuk asam asam lemak bebas (asam palmitat, stearat, oleat),
ph tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat bakteri untuk pembusukan dengan demikian proses
pembusukan oleh bakteri akan terhenti. Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih
kelabu, perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju, amoniak, manis, tengik,
mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan tidak mudah terbakar, bila terbakar mengeluarkan nyala
kuning dan meleleh pada suhu 200 derajat Fahrenheit.
Faktor faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
Kelembapan.
Lemak tubuh.
Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.
Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada pada dagu, buah dada, bokong,
dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses
saponifikasi dapat terjadi di semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan
menjadi sangat tipis, berwarna keabu abuan. Organ organ dalam dan paru paru konsistensinya
menjadi seperti perkamen. Secara histologis, makroskopis organ masih dapat dikenali. Walaupun secara
mikroskopis sulit untuk dikenali.
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun seringnya pembentukan saponifikasi
bervariasi dari dua minggu atau dua bulan tergantung faktor faktor yang mendukung seperti
temperatur, pembalseman, kondisi penguburan, dan barang barang sekitar jenazah. Keuntungan
adanya adiposera ini :
-
Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari asam lemak bebas namun sekitar
empat minggu setelah kematian dapat meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi
70% bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna putih keabuan menggantikan
26
jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana belum terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan
menggunakan analisa asam palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain tergantung dari letak tubuh dan
lingkungan yang bervarias, maka salah satu tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat
menjadi mumifikasi atau pembusukan.
12. Mumifikasi
Perubahan perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat dihambat dan
digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah menggambarkan proses pembentukan mumi,
sebuah kata yang diambil dari bahasa Persia mum yang berarti lilin. Kata ini diambil dari catatan sejarah
Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam penghormatan terhadap bangsawannya, mengawetkan
mereka dengan lilin. Mayat yang mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai
bercak warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik terutama pada tonjolan tulang, seperti
pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul. Organ dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat
berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi, maka kondisinya tidak akan berubah,
kecuali bila diserang oleh serangga.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian tubuh. Pada umumnya
mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut
Knight, mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak membantu proses
pengeringan mayat.
Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi yang spesifik, namun
proses ini menghasilkan mumi mumi tertua yang dikenal manusia. Mumi alami yang tertua, diperkirakan
berasal dari tahun 7400SM. Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang rendah,
sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula terjadi di daerah dingin dengan kelembapan
rendah. Ditempat yang bersuhu panas, mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur dangkal
mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang mendukung terjadinya mumifikasi antara lain
adalah dehidrasi premortal, habitus yang kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.
Kasus mumifikasi dengan preservasi anatomi dan topografi yang cukup baik di Indonesia
ditemukan pada Januari 1988 di desa Cibitung kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini adalah temuan kedua di
Indonesia, mayat ditemukan dalam sebuat kamar tertutup dengan suhu kamar 32 34 derajat Celcius dengan
kelembapan 62 67%. Mayat nenek ini ditemukan setelah sang nenek menurut keluarga menghilang tujuh
bulan sebelumnya. Saat ditemukan, mata, hidung, dan mulut sudah tidak ada. Sebagian pipi dan bibir tersisa
kulit kering berwarna kelabu. Leher kiri dan kanan terdapat kulit dan jaringan otot yang mengering. Bagian
depan masih utuh seluruhnya, berupa kulit dan otot yang mengering, kaku dan keras. Pada bagian belakang
hanya tulang iga saja yang masih utuh. Rongga dada perut telah kosong seluruhnya. Lengan kanan berupa kulit
berwarna kelabu, telapak dan punggung tangan masih utuh dan mengering. Lengan kiri mengering warna
kuning kelabu dengan tangan kiri tinggal tulang tulang saja. Tungkai kanan dan kiri tampak sebagai kulit dan
otot yang telah kering berwarna kuning coklat dengan bercak kelabu. Secara mikroskopis kulit masih
27
menunjukkan gambarang yang dapat dikenali sebagai kulit, otot tampak sebagai serabut yang sedikit
bergelombang berwarna eosinofilik dan homogen tanpa inti sel.
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika baru lahir. Permukaan tubuh yang
lebih luas dibanding orang dewasa, sedikitnya bakteri dalam tubuh dibanding orang dewasa membantu
penundaan pembusukan sampai terjadinya pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa secara lengkap
jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh manusia.
Arti Mumifikasi dalam Interpretasi Kedokteran Forensik
Mumifikasi adalah proses yang menginhibisi proses pembusukan alami yang memiliki
karakteristik dimana jaringan yang mengalami dehidrasi menjadi kering, berwarna gelap, dan mengerut.
Pengeringan akan menyebabkan tubuh lebih kecil dan ringan. Dilihat dari sudut forensik, mumifikasi
memberikan keuntungan dalam bertahannya bentuk tubuh, terutama kulit dan beberapa organ dalam, bentuk
wajah secara kasar masih dapat diindentifikasi secara visual. Mumifikasi juga dapat mempreservasi bukti
terjadinya jejas yang menunjukkan kemungkinan sebab kematian. Elliot Smith (1912) menemukan mumi yang
telah berumur kurang lebih 2000 tahun dan masih mampu menunjukkan bahwa sebab kematian orang itu adalah
akibat kekerasan. Luka luka yang ada cocok dengan luka akibat bacokan kapak atau pedang, tusukan tombak
dan pukulan dari pegangan tombak. Foto kepala menunjukkan korban diserang saat tidur yang disimpulkan
Elliot dari luka pada puncak kepala yang menurutnya tidak mungkin atau sulit dilakukan saat korban berdiri.
Tidak adanya luka pada daerah lain membuat Elliot menyimpulkan bahwa tidak ada tanda perlawanan.
Karena sifat dari jaringan tubuh yang termumifikasi cenderung keras dan rapuh, maka untuk
dapat memeriksanya potongan kecil jaringan direndam dalam sodium karbonat atau campuran alkohol, formalin
dan sodium carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk dapat melakukan
pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam glycerin 15% selama beberapa saat.
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah identifikasi. Walau terjadi
pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan beberapa kekhususan pada tubuh seperti tato dapat bertahan
sampai bertahun tahun. Terperliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah pada proses mumifikasi
memungkinkan pemeriksaan radiologi yang lebih teliti. Dengan pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang
mungkin terlewatkan dalam pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan
dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan pada mumi juga dapat
mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau, bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA, baha pada jenasah yang
berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik
diambil sebagai sampel, namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang mengering pada
mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus diingat dalam pemanfaatan mumi untuk
kepentingan forensik bahwa pada mumifikasi terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada
kulit yang menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah disekiter leber, dan axilla.
28
3.
Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika membunuhnya karena terpaksa, maka
menurut Hanafiyah tidak diqisas, tetapi menurut Jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.
b.
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qisas, tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus
tindak pidana langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya dikenakan
hukuman membayar diyat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan langsung atau
karena sebab, pelakunya wajib dikenai qisas, karena keduanya berakibat sama.[11]
d.
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah orang yang diketahui
identitasnya. Jika tidak, maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qisas adalah
pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari orang yang tidak diketahui
identitasnya akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Qisas wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali korban. Para
ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qisas.[12] Hal
ini sesuai dengan firman Allah swt.
[13]...
Dan sabda Rasul;
[14]
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak hanya qisas, tetapi wali korban
mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka menghendaki qisas, maka dilaksanakan hukum qisas, tapi jika
30
Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam. Kalau orang yang akan menjalani qisas
telah mati terlebih dahulu, maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya.
Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan
kepada wali korban si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam asySyafii. Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para
wali) adalah jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali
menuntut diyat dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat pemberi maaf itu sudah
balig dan tamyiz.
c.
d.
b.
Sanksi Pengganti
1) Diyat
Diyat menurut istilah syara adalah;
[19]
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna
dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa
seseorang. Sedangkan diyat untuk anggota badan disebut Irsy.
Dalil disyariatkannya diyat adalah,
[20]... ,
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit ditemukan maka
31
pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang
kadar nilainya disesuaikan dengan unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor sapi
bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham
bagi pemilik perak dan 200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.[22]
Hal ini sesuai dengan khabar dari Umar;
: . :
[23].
Sedangkan diyat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diyat mugallazah dan diyat mukhaffafah.
Adapun diyat mugallazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja dan
menyerupai pembunuhan sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku
pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya.[24]
Jumlah diyat mugallazah adalah 100 ekor unta yang 40 diantaranya sedang mengandung. Ini
berdasarkan hadis;
: , : :
[25] , , , ,
Jadi apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
Adapun diyat mukhaffafah itu dibebankan kepada aqilah pelaku pembunuhan kesalahan dan dibayarkan
dengan diangsur selama kurun waktu tiga tahun, dengan jumlah diyat 100 ekor unta, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan pembayarannya oleh pelaku
pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan diyat pembunuhan syibh amd adalah diyat yang
32
pembayarannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kepada aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan
dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa diyat
pembunuhan sengaja harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika
qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan pemberian tempo
pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal amid[27] pantas dan harus diperberat dengan bukti
diwajibkannya amid membayar diyat dengan hartanya sendiri bukan dari aqilah, karena keringanan
(pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi aqilah.[28]
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para pembunuh dengan hartanya
sendiri. Aqilah tidak menanggungnya karena setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas
perbuatannya dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain.
Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
[29] ...
2) Tazir
Hukuman ini dijatuhkan apabila korban mamaafkan pembunuh secara mutlak. Artinya seorang hakim
dalam pengadilan berhak untuk memutuskan pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan.
Karena qisas itu di samping haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, hak masyarakat secara
umum. Adapun bentuk tazirannya sesuai dengan kebijaksananaan hakim.[30]
c.
Sanksi Penyerta/Tambahan
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris dan wasiat. Ketetapan ini
dimaksudkan untuk sadd az-zarai; agar seseorang tidak tamak terhadap harta pewaris sehingga
menyegarakannya dengan cara membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah,
sebagai pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa memerdekakan seorang
hamba sahaya yang mumin. Kalau tidak bisa, maka diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut.
Hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt.,
[31]... , ...
Serta sabda Rasul;
[32]
Serta sesuai dengan kaedah ushul;
[33]
Sedangkan mengenai pembunuhan janin, dijelaskan bahwa apabila ada janin yang mati karena
adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka
diwajibkan hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di
dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah
sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus kambing.Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh
unta.
Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadis:
, , ,
[34] ,
33
34
35
hlm. 103.
[34] Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya: Bungkul
Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
[35]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), V : 372.
[36]Ibid.
[37] Ibid., V : 373.
[38] Ibid.
HUKUM PEMERKOSAAN
Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua:
1. Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang
yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah
maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan
kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.
Beberapa pendapat ulama mengenai hukuman bagi pemerkosa, yaitu sebagai berikut:
- Imam Malik berpendapat yang sama dengan Imam Syafii dan Imam Hanbali. Yahya (murid Imam
Malik) mendengar Malik berkata, bahwa :
Apa yang dilakukan di masyarakat kita mengenai seseorang yang memerkosa seseorang wanita,
baik perawan atau bukan perawan, jika ia wanita yang merdeka, maka pemerkosa harus membayar
maskawin dengan nilai yang sama dengan seseorang seperti dia.
Jika wanita tersebut adalah budak, maka pemerkosa harus membayar nilai yang dihilangkan
Hadd (sanksi) hukuman dalam kasus-kasus semacam ini diterapkan kepada pemerkosa, dan
tidak ada hukuman yang diterapkan bagi yang diperkosa.
Jika Pemerkosa adalah budak, maka itu menjadi tanggung jawab tuannya kecuali ia
menyerahkannya.1[14]
- Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, Wanita yang diperkosa, jika dia wanita
merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang
memperkosanya. Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan
dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah,
sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk2[15].
- Pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafii,
Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.
Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun
tidak wajib membayar mahar.
1
2
36
- Menurut Imam SyafiI dan Imam Hanbali bahwasanya Barangsiapa yang memerkosa wanita,
maka ia harus membayar mahar misil3[16].
2. Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.
Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana
perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya yang
berarti
:
Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. (QS. AlMaidah: 33)
Dari ayat di atas, Ada empat pilihan hukuman untuk perampok:
1. Dibunuh.
2. Disalib.
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang. Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
4. Diasingkan atau dibuang, saat ini bisa diganti dengan penjara.
Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dia anggap paling
sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan
dan ketenteraman di masyarakat.
Ibnu Abdil Bar mengatakan, Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak
pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan
ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya.
Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain
hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar
diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan
tolongnya4[17].
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu
Abdil Bar di atas, Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had,
baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan
tazir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut
darinya5[18].
Tindak perkosaan pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw, seperti yang terungkap
dalam sebuah teks hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu
Dawud6[19], dari sahabat Wail bin Hujr ra :
"Suatu hari, ada seorang perempuan pada masa Nabi Saw yang keluar rumah
hendak melakukan shalat di masjid. Di tengah jalan, ia dijumpai seorang laki-laki yang
menggodanya, dan memaksanya (dibawa ke suatu tempat) untuk berhubungan intim. Si perempuan
menjerit, dan ketika selesai memperkosa, si laki-laki lari. Kemudian lewat beberapa orang
3
4
5
6
37
Muhajirin, ia mengarahkan: "Lelaki itu telah memperkosa saya". Mereka mengejar dan menangkap
laki-laki tersebut yang diduga telah memperkosanya. Ketika dihadapkan kepada perempuan
tersebut, ia berkata: "Ya, ini orangnya". Mereka dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Ketika hendak
dihukum, si laki-laki berkata: "Ya Rasul, saya yang melakukannya". Rasul berkata kepada
perempuan: "Pergilah, Allah telah mengampuni kamu". Lalu kepada laki-laki tersebut Nabi
menyatakan suatu perkataan baik (apresiatif terhadap pengakuannya) dan memerintahkan:
"Rajamlah". Kemudian berkata: "Sesungguhnya ia telah bertaubat, yang kalau saja taubat itu
dilakukan seluruh pendudukan Madinah, niscaya akan diterima".
Pemerkosa memang dihukum pada masa Nabi Saw, dan korban perkosaan
dilepaskan dengan harapan akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Pada saat
itu, hukuman pemerkosaan yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan,
sama persis dengan hukuman perzinaan, yang tidak dilakukan dengan pemaksaan
dan kekerasan. Karena itu, mayoritas ulama hadits dan ulama fiqh menempatkan
tindak perkosaan sama persis dengan tindak perzinaan. Hanya perbedaannya,
dalam tindakan perzinaan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalam
tindak perkosaan hanya pelaku pemerkosa yang menerima hukuman, sementara
korban harus dilepas. Tetapi ancaman hukuman terhadap kedua kasus tersebut
adalah sama.
Jika seorang perempuan mengklaim di hadapan hakim (qadhi) bahwa dirinya telah diperkosa
oleh seorang laki-laki, akan tetapi sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada lakilaki itu. Kemungkinan hukum syara yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta
(manath) yang ada, antara lain adalah sbb:
Pertama, jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian
empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi
hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan, dan dirajam hingga mati jika dia
muhshan7[20].
Kedua, jika perempuan itu tak mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, maka hukumnya
dilihat lebih dahulu, jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri
dari zina (al iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf),
yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur : 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu
orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat
dijatuhi hukuman menuduh zina8[21].
7
8
38
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Binarupa Aksara. Hal. 5477
Saukko, P; Knight, B . 2004. The Pathophysiology of Death in Knights Forensic Pathology. 3th edition.
Hodder Arnold. Page 52-90
Shepherd, R. 2003. Changes After Death in Simpsons Forensic Medicine. 12th edition. Arnold. Page 37-48
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in Textbook of Forensic Medicine
and Toxicology Principles and Practice. 4th editon. Elsivier. Page 101-133
Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov
: http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.
(28):190-2.
Available
39
from