Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia

solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda,
cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Larva terdapat dalam
jaringan berbentuk kista yang berisi cairan (metacestoda). Penyakit ini baru
dikenal di abad ke 19. Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan
pada babi dan manusia terutama di negara berkembang. Penyebaran sistiserkus
pada manusia dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak
adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi
daging mentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas karena
Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang
dapat disebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari
tempat pelepasan telur.1
Sampai

saat

ini, sistiserkosis

masih

merupakan

masalah

kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika


Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Sehingga tahun 2003 hanya benua
Antartika dan Australia yang bebas dari sistiserkosis. Di Indonesia, sampai saat
ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua
(Irian Jaya) dan Sumatera

Utara.

propinsi di Indonesia berada

pada

Prevalensi sistiserkosis di beberapa


rentang 1,0%-42,7%

dan

prevalensi

tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Prevalensi
sistiserkosis

pada

manusia

berdasarkan

pemeriksaan

masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%.

serologis

pada

1,2

Gejala klinis tergantung lokasi dan jumlah kista, gejala timbul akibat
reaksi radang. Kista yang kecil pada otot tidak menimbulkan gejala.

Antara

bagian-bagian yang bisa terinfeksi adalah jaringan subkutan, otot, mata, orang
dalam dan otak.

Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala- gejala yang berat,

khususnya bila ditemukan di dalam otak disebut neurosistiserkosis. Manifestasi

klinik utama pada neurosistiserkosis adalah kejang, gejala lain, mula, muntah,
gangguan status mental. Diangnosa bisa ditegakkan dengan menemukan larva
sistiserkus yang mengalami pengapuran yaitu dengan pemeriksaan radiologis
atau dengan menemukan telur dalam feses. Kebersihan perorangan untuk
mencegah terjadinya autoinfeksi dan menghindari kontaminasi makanan dan
minuman dari tinja adalah antara cara pencegahan penyakit ini. 3

1.2

Lingkungan
1.2.1

Fisik
Sistiserkosis

merupakan

masalah

kesehatan masyarakat di

negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan


Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui
sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian
Jaya)

dan Sumatera

Utara. Untuk dapat memahami epidemiologi

sistiserkosis, kita perlu memperhatikan faktor-faktor seperti parasit,


hospes dan keadaan lingkungan.1,3
Faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyakit ini adalah
adalah pemeliharaan hewan penternakan serta kebersihan jamban.
1.2.2

1,3

Non Fisik
Dilihat

dari

segi

penanggulangan, penyakit

sosial

budaya

hambatan

dalam

sistiserkosis dipengaruhi oleh sikap,

kebiasaan dan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan penyakit


sistiserkosis yang masih kurang.1,3
Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim
dan tidak makan daging babi, infeksi dengan T. solium telah terjadi di
beberapa daerah atau pulau mana yang paling banyak penduduk lokal
beragama Kristen atau Hindi.1,3

1.3

Permasalahan

1. Sistiserkosis

masih

merupakan

masalah

kesehatan masyarakat di

negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan


Asia termasuk Indonesia.
2. Di Indonesia diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi
yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara.
3. Prevalensi sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada
rentang 1,0%-42,7% .
4. Prevalensi sistiserkosis

pada

manusia

berdasarkan

pada

pemeriksaan

serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%.

1.4

Tujuan
Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan

kesadaran mengenai cara cara pencegahan penyakit sistiserkosis dengan


menggunakan

pendekatan

kesehatan

lingkungan

yang

diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

pada

akhirnya

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1

Definisi
Sistiserkosis (Cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva Taenia solium

(Cysticercus cellulosa) atau Taenia asiatica (jarang terjadi) pada manusia, yang
terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies
cacing taenia yaitu spesies Taenia solium. Gejala-gejala klinis dari penyakit ini
jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia, anorexia, berat
badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan. Penyakit
ini

mungkin menyebabkan sistiserkosis yang fatal apabila sudah menyerang

jaringan otak. 3
2.2

Hospes
Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Hospes perantaranya pula

adalah manusia, babi, babi hutan, beruang, monyet, unta, anjing, domba, kucing,
dan tikus. Cacing dewasa hidup di dalam usus halus. Penyakit yang disebabkan
cacing dewasa disebut taeniasis, sedangkan bila disebabkan oleh larvanya yaitu
sebagai sistiserkosis.3

2.3

Sumber Penularan

1. Penderita sistiserkosis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau


proglotid cacing pita.
2. Hewan (terutama) babi, sapi yang mengandunglarva cacing pita (cysticercus).
3. Makanan/minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur-telur cacing pita. 3

Sistiserkosis dapat terjadi secara tidak langsung karena orang tersebut


menelan minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang
yang terinfeksi langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut
orang lain. Apabila telur Taenia solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka
embrio akan keluar dari telur, kemudian menembus dinding usus menuju ke
saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawa ke berbagai jaringan dan
kemudian berkembang menjadi sistiserkosis.3
Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan merupakan
masalah kesehatan

masyarakat di daerah endemis. Hingga saat ini kasus

sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di beberapa propinsi di


Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera Utara.
2.4

1,2,3

Masa Inkubasi
Masa inkubasi infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu. Cacing pita

dewasa dapat tahan hidup sampai 25 tahun dalam usus. Gejala dari penyakit
sistiserkosis biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau
lebih setelah seseorang terinfeksi. Telur cacing akan tampak pada kotoran orang
yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa antara 8-12 minggu setelah orang
yang bersangkutan terinfeksi, dan untuk Taenia saginata telur akan terlihat pada
tinja antara 10-14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata
dewasa.3

2.5

Masa Penularan
Berbeda dengan Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari

orang ke orang, akan tetapi untuk Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara
langsung. Telur dari kedua spesies cacing ini dapat menyebar ke lingkungan
selama cacing tersebut masih ada di dalam saluran pencernaan, kadang-kadang
dapat berlangsung lebih dari 30 tahun; telur cacing tersebut dapat hidup dan
bertahan di lingkungan selama beberapa bulan.3
2.6

Kepekaan dan Kekebalan

Infeksi cacing pita tidak memberikan kekebalan pada penderita dan


kedua jenis kelamin maupun semua golongan umur mempunyai kepekaan yang
sama.4
2.7

Morfologi dan Siklus Hidup


Taenia Solium mempunyai ukuran terkecil di antara spesies Cestoda

lainnya. Bentuk seperti benang, panjang 24-40 mm dan lebar 0,1-0,5 mm, jumlah
proglotid kurang dari 200 buah. Skoleks kecil,berbentuk bulat, mempunyai satu
rostelum pendek yang refraktil, empat buah batil isap bentuk mangkuk, kaitkaitnya tersusun seperti cincin satu baris. Strobila terdiri dari 800-1000 proglotid
Proglotid dapat mengeluarkan 30.000-50.000 telur. Proglotid matang berbentuk
trapesium, telur dikeluarkan oleh proglotid paling distal yg hancur, di dalam telur
berisi embrio heksakan (onkosfer). Proglotid matang yg pecah di dalam usus
dapat
menyebabkan
internal.

autoinfeksi

Gambar 1. Taenia solium dewasa.4

Gambar 2. Larva Taenia solium (cysticercus cellulosae).4


Reproduksi dan daur hidup Taenia solium dimulai dari lepasnya proglotid
tua bersama feses dari tubuh manusia. Tiap ruas berisi ribuan telur yang telah
dibuahi. Kemudian, ruas-ruas tersebut hancur dan telur yang telah dibuahi bisa
tersebar ke mana-mana. Zigot terus berkembang membentuk larva onkosfer di
dalam kulit telur. Jika telur termakan babi, kulit telur dicerna dalam usus, dan
larva onkosfer menembus usus masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe
dan akhirnya masuk ke otot lurik.4
Di otot, larva onkosfer berubah menjadi kista sistiserkus selulosae. yang
terus membesar membentuk cacing gelembung (sistiserkus). Pada dinding
sistiserkus berkembang skoleks. Jika seseorang memakan daging tersebut yang
belum matang, kemungkinan sistiserkus masih hidup. Di dalam usus manusia
yang memakannya, skoleks akan keluar dan akan menempel pada dinding usus,
sedangkan bagian gelembungnya akan dicerna. Dari leher, kemudian akan
tumbuh proglotid-proglotid. Selanjutnya, proglotid tua akan menghasilkan telur
yang telah dibuahi.4

Gambar 3. Daur hidup Taenia Solium di dua hospesnya (manusia dan babi). 5
Manusia mendapat infeksi cacing ini dengan memakan daging babi yg
mengandung kista sistiserkus selulosa dalam keadaan mentah atau dimasak
kurang matang. Larva yg tertelan ini dilepaskan dalam usus halus, selanjutnya
larva melekat pd mukosa usus, kemudian dalam waktu 5-12 minggu larva
menjadi cacing dewasa dan melepaskan proglotid berisi telur. Cacing dewasa
dalam tubuh manusia dapat mencapai hingga 25 tahun. 4
2.8

Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi

dari kista. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau dapat
ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering menimbulkan
gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan
muntah yang menyerupai gejala tumor otak. Pada kasus yang berlangsung lama
dapat dijumpai bintik kalsifikasi dalam otak.5
2.9

Diagnosa

Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada


a) Anamnesis :5

Berasal dari /berdomisili didaerah endemis taeniasis / Sistiserkosis


Gejala taeniasis ( )
Riwayat mengeluarkan proglotid ( )
Benjolan ( nodul subkutan ) pada salah satu atau lebih bagian

tubuh ( + )
Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ( )
Riwayat / gejala epilepsi ( - )
Gejala peninggian tekanan intra kranial ( - )
Gejala neurologis lainnya (- )

b) Pemeriksaan fisik :5

Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih
Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang

disebabkan oleh sistiserkosis ( )


Kelainan neurologis ( - )

c) Pemeriksaan Penunjang 5

Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid ( )


Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia sp ( )
Pemeriksaan serologis : sistiserkosis ( + )
Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan
patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis (+)

Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada tersangka


sistiserkosis ialah teraba benjolan/nodul subktan atau intra muskular baik satu
atau lebih pada orang yang berasal dari/berdomisili di daerah endemis
sistiserkosis. Dinyatakan penderita sistiserkosis apabila pada tersangka
sistiserkosis sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan serologis
dan/atau pemeriksaan biopsi.5
Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay) dan atau Immunoblot Spesimen yang diperiksa berupa

serum (darah vena yang diambil kurang lebih 5ml). Tempat pemeriksaan di
Laboratorium yang telah ditentukan.5
Pengiriman spesimen serum menggunakan tabung / botol steril dan es
batu (suhu 1 C). Pada tersangka sistiserkosis yang menunjukkan respon positif
terhadap obat sistiserkosis, membantu menegakkan diagnosis (dapat dianggap
sebagai penderita sistiserkosis).5

2.10

Pengobatan

a. Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3


dosis per oral selama 15 hari, atau
b. Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral
selama 7 hari. Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun
albendazole,reaksi dari tubuh dapat dikurangi dengan memberikan
kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis tunggal/dibagi 3 dosis
atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan prednison).
Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah
pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit. 5,6
2.11

Follow Up
Follow up dilakukan 3 bulan kemudian terdapat kista dan sebagainya. 6

2.12

Pencegahan

Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh

babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.5,6


Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi

dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.5


Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga
daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat
(kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan).5

10

Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi


gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting
dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat

seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.5


Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging

setengah matang atau mentah.5


Memasak daging sampai matang ( diatas 57 C dalam waktu cukup
lama ) atau membekukan dibawah 10 selama 5 hari . Pendekatan ini
ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena
perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan
mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut. 5,6
BAB III

PENCEGAHAN PENYAKIT SISTISERKOSIS DENGAN PENDEKATAN


KESEHATAN LINGKUNGAN

3.1

Definisi Lingkungan dan Kesehatan lingkungan


Menurut UU 23/1997, tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, lingkungan didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan
prilakunya

yang

mempengaruhi

kelangsungan

kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya.


Klasifikasi lingkungan :
1. Secara umum
a. Litosfer
b. Hidrosfer
c.

Atmosfer

2. Berdasarkan wujudnya
a. Fisik
b. Biologi

11

peri

kehidupan

dan

c.

Sosial ekonomi

3. Berdasarkan permasalahannya
a. Makro
b. Meso
c.

Mikro

4. Berdasarkan ruang lingkupnya


a. Eksternal
b. Internal
Kesehatan Lingkungan menurut WHO Expert Committee adalah
suatu keseimbangan ekologi antara manusia dan lingkungannya agar dapat
menjamin kesehatan dari manusia. Sedangkan menurut Numenklatur Bidang
Kesehatan, kesehatan lingkungan didefinisikan sebagai penerapan prinsip
kesehatan dalam perubahan dan penyusunan sifat-sifat fisik, kimia dan
biologis dari lingkungan untuk kepentingan kesehatan, kenyamanan dan
kesejahteraan manusia.
Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan :
1. Penyediaan air bersih
2. Air limbah, sampah dan tinja
3. Sanitasi makanan dan minuman
4. Pencemaran udara, air dan tanah
5. Pengawasan vektor
6. Perumahan dan bangunan lainnya
7. Kesehatan kerja
3.2

Pendekatan Kesehatan Lingkungan


Konsep ilmu kesehatan lingkungan mengandalkan pandangan pada
konsep ilmu kesehatan/konsep ekologi. Kesehatan lingkungan merupakan

12

salah satu aspek kesehatan masyarakat. Artinya pengembangan kesehatan


lingkungan harus mengikuti prinsip ilmu kesehatan masyarakat. 7
Menurut

sifat

kegiatannya

kesehatan

lingkungan

merupakan

kegiatan preventif (mencegah) atau promotif (peningkatan). Preventif


menekankan

kegiatan

meniadakan/mengendalikan

pada
faktor

prinsip
lingkungan

sanitasi,
sejauh

mungkin

yaitu
dan

menghindarkan gangguan (hazards) agar tidak mengarah pada timbulnya


proses penyakit dan mampu memutus ikatan mata rantai proses penyakit 7

3.3

Lingkungan Fisik
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan

infeksi cacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan


pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya tersedia terbatas.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan
massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan
kesehatan.7
Dari segi lingkungan fisik, penanggulangan penyakit ini dapat
dilakukan dengan pemakaian jamban keluarga. Pembuangan tinja merupakan
salah satu upaya kesehatan lingkungan yang harus memenuhi sanitasi dasar
bagi setiap keluarga.6,7 Pembuangan kotoran yang baik harus dibuang ke dalam
tempat penampungan kotoran yang disebut jamban. Jamban adalah suatu
bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran
sehingga kotoran itu tersimpan dalam satu tempat tertentu dan tidak menjadi
sarang penyakit. Berarti jamban keluarga sangat berguna bagi kehidupan
manusia, karena jamban dapat mencegah berkembangnya bermacam penyakit
yang disebabkan oleh kotoran yang tidak dikelola baik. Jamban atau sarana
pembuangan kotoran yang memenuhi syarat adalah upaya penyehatan
lingkungan pemukiman. Sarana jamban yang tidak saniter berperan terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan.7

13

Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk


bisa langsung dan tak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insidensi
penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti pada penyakit
sistiserkosis. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja berkaitan dengan
komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi higiene lingkungan.
Hal ini akan mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat dengan
mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum penduduk. 7
3.3.1

Persyaratan Jamban Sehat :8

Dari segi pemilihan konstruksi pembuangan ada beberapa hal yang


perlu diperhatikan antara lain:
Keadaan tanah, seperti susunan, kemiringan, dan permukaan tanah.
Keadaan sosial ekonomi, dan pengetahuan masyarakat.

Bila ditinjau dari konstruksinya, jamban harus dilengkapi 8 komponen yaitu:


1. Rumah Kakus
Melihat fungsinya sebagai sarana pelindung pemakai, maka rumah kakus
sebaiknya

terlindung

dari pandangan

orang,

gangguan

cuaca

dan

keamanan.
2. Lantai kakus
Fungsinya sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya
harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Pada
dasarnya menyangkut kontruksi serta bahan buatannya.
3. Tempat duduk
Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja
maka kondisinya harus memenuhi konstruksi yang kuat dan mudah
dibersihkan juga bisa mengisolir rumah kakus jadi tempat pembuangan tinja,
serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah diangkat.
4. Kecukupan air bersih
Untuk menjaga keindahan jamban dari pandangan estetika, jamban
hendaklah disiram air minimal 4-5 gayung sampai kotoran tidak mengapung
di lubang jamban atau closet. Tujuannya menghindari penyebaran bau tinja
dan menjaga kondisi jamban tetap bersih, selain itu kotoran tidak dihinggapi

14

serangga sehingga mencegah penyakit menular. Air bersih ada di bak


penampungan didalam rumah kakus.
5. Tersedia alat pembersih
Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban.
Jenis alat pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya.Tujuan alat
pembersih ini agar jamban tetap bersih setelah jamban disiram air.
Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai
agar tidak berlumut, tempat jongkok tidak licin, dan lubang tempat
penampung tinja bersih.
6. Tempat Penampungan Tinja
Penampungan tinja yaitu lubang isolasi serta tempat proses penguraian tinja
dan stabilisasi serta menurut sifatnya bisa berbentuk lubang tanah atau
tangki dalam berbagai modifikasi.
7. Septik Tank
Septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan. Septik
tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, tinja dan air buangan
mengalami dekomposisi. Didalam tanki ini tinja akan berada selama
beberapa hari. Selama waktu itu tinja akan mengalami 2 proses yaitu :
Proses Kimiawi
Akibat penghancuran tinja direduksi (60-70%) zat padat akan
mengendap sebagai

sludge. Zat yang tidak hancur bersama lemak dan

busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup


permukaan

air.

Lapisan

itu

disebut

scum

yang

berfungsi

mempertahankan suasana anaerob dari cairan dibawahnya, yang


membuat bakteri anaerob tumbuh subur, pada proses berikutnya.
Proses Biologis
Proses ini terjadi dekomposisi aktifitas bakteri anaerob yang memakan
zat organik dalam sludge dan scum. Hasilnya gas dan air, serta
pengurangan volum sludge, sehingga septik tank tidak cepat penuh.
Cairan enfluent yang tidak mengandung tinja memiliki BOD yang rendah.
Cairan ini dialirkan melalui pipa dan masuk ketempat perembesan.
8. Saluran Peresapan
Saluran ini berfungsi menguraikan cairan dari septik tank yang mengikuti
sistem pembuangan kotoran lengkap. Sistem pembuangan tinja memenuhi
syarat kesehatan disesuaikan dengan konstruksi jamban atau pemilihan
konstruksi pembuangan kotoran seperti:

15

Tidak menyebabkan pengotoran pada sumber air tanah dan air


permukaan.
Tidak memungkinkan berkembangnya lalat dan serangga.
Menghindari bersarangnya cacing atau parasit di permukaan tanah.
Mengusahakan konstruksi kuat dan penyelenggaraan murah dan
sederhana.
Mengusahakan sistem pembuangan yang diterima masyarakat.
Meminimalkan gangguan karena bau dan pandangan yang tidak
menyenangkan.
Menyediakan air bersih dan alat pembersih didekat jamban. Melihat
syarat jamban serta sistem pembuangan tinja, maka besar
kemungkinan dampak negatif yang diakibatkan tinja dapat dihindari.
3.3.2

Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga8

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban


yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu:
1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit.
2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang
aman
3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit.
4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan.
Pembuangan tinja sebagian dari kesehatan lingkungan maka kebiasaan
masyarakat

memakai

jamban

harus

terlaksana

bagi

setiap

keluarga.

Pembuangan kotoran seharusnya memenuhi syarat yaitu:

Jarak jamban dengan sumber air minum >10 meter. Untuk itu letak
lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari
sumber air minum.Tetapi bila kondisi tanah berkapur, dan letak jamban
pada sumber air di tanah miring, maka jaraknya sekitar 15 meter.

Tersedia air dan alat pembersih dan mempunyai lantai yang kedap air.

16

Mempunyai slap atau tempat pijakan kaki dan closet atau lubang
jamban.

Mempunyai pit atau sumur penampungan dan tak mencemari sumber


air.

Tidak berbau dan tinja tidak bisa dijamah serangga, maka tinja harus
tertutup rapat dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang.

Mudah dibersihkan dan aman digunakan. Perlu dibuat dari bahan yang
kuat dan tahan lama serta bahan tidak mahal.

Air seni tidak mencemari tanah disekitarnya. Lantai jamban harus cukup
luas minimal berukuran 1x1 meter, dan cukup landai.

Jamban lengkapi atap pelindung, dinding kedap air dan terang.

Luas ruangan cukup dan ventilasi terbuka serta cukup penerangan.


3.2.3

Pemeliharaan Jamban8

Jamban hendaknya dipelihara baik dengan cara:

Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.


Tidak ada sampah berserakan dan tersedia alat pembersih.
Tidak ada genangan air di sekitar jamban.
Rumah jamban dalam keadaan baik dan tidak ada lalat atau kecoa.
Tempat duduk selalu bersih dan tak ada kotoran yang terlihat.
Tersedia air bersih dan alat pembersih di dekat jamban.
Bila ada bagian yang rusak harus segera diperbaiki.

Selain dengan pemakaian jamban keluarga, mengingat kepada sapi atau


babi yang merupakan hospes perantara bagi penyakit sistiserkosis, harus
dijauhkan ternak babi supaya tidak kontak dengan jamban dan kotoran manusia.
Maka, perlu dilaksanakan pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak
tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran dan
membuang najisnya dimerata tempat hingga bisa kontak dengan manusia. 6,7

3.4 Lingkungan Non Fisik

17

Dilihat dari segi sosial budaya hambatan dalam penanggulangan,


penyakit

sistiserkosis dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan pengetahuan

masyarakat dalam pencegahan penyakit sistiserkosis yang masih kurang.


Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim dan tidak makan
daging babi, infeksi dengan T. solium telah terjadi di beberapa daerah atau pulau
mana yang paling banyak penduduk lokal beragama Kristen atau Hindi.1,5,8
Oleh itu penanggulangan penyakit ini adalah dengan menghilangkan
kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau
mentah. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 C dalam waktu cukup
lama ) atau membekukan dibawah 10 selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang
dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan, karena perubahan yang
bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk
itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah tersebut.5,8
Mengingat tingginya prevalensi terjadinya sistiserkosis pada anak-anak,
maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai penyakit ini.
Anak-anak harus diajarkan dan diingatkan supaya membiasakan diri mencuci
tangan dengan sabun sebelum dan setelah makan serta setelah keluar jamban.
Sesuai dengan indikator penilaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang
dikeluarkan oleh Depkes RI

tahun 2004, sanitasi lingkungan sekolah

berhubungan dengan infeksi cacingan meliputi ketersediaan jamban yang


berfungsi dengan baik, ketersediaan air di jamban, kebersihan halaman sekolah,
ketersediaan warung (kantin) tempat jajan yang memenuhi syarat kesehatan dan
ketersediaan tempat pembungan sampah serta limbah. Jadi, ketersediaan
fasilitas-fasilitas berikut dapat membantu mengurangkan angka kejadian infeksi
sistiserkosis.5,8
Dianjurkan

pula

untuk

membiasakan

mencuci

makanan

dan

memasaknya dengan baik. Dinasihatkan daging yang mengandung kista tidak


boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam
daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk
upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.

18

2,5,8

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1

Kesimpulan
1. Sistiserkosis di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penyebarannya masih meluas terutama di Irian
Jaya dan Bali.
2. Pemberantasan sistiserkosis perlu dilaksanakan dengan tujuan
menghentikan

transmisi,

diperlukan

program

yang

berkesinambungan dan memakan waktu lama, mengingat masa


hidup dari cacing dewasa yang cukup lama.
3. Meskipun sistiserkosis menunjukkan spektrum manifestasi klinik
yang luas, pengobatan dengan prazikuantel dengan dosis dan cara
yang benar bisa menyembuhkan penyakit ini.
4. Tingkat kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan
belum ada gejala menahun.
5. Deteksi penderita sistiserkosis dilaksanakan oleh puskesmas melalui
pengobatan dan penyuluhan.

19

4.2

Saran
1. Meningkatkan sanitasi diri dan lingkungan dengan perilaku hidup bersih
sehat (PHBS) merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi
sistiserkosis.
2. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan harus dilakukan sehingga
masyarakat tidak mengonsumsi daging yang mengandung kista.
3. Meningkatkan surveilans epidemiologi di tingkat puskesmas untuk
penemuan dini kasus sistiserkosis sehingga dapat meningkatkan
kesembuhan dan mencegah kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pemberantasan


sistiserkosis

di

Indonesia.

Last

update

2008.

Diunduh

dari:

http://www.depkes.go.id/downloads/Taeniasis.pdf
2. Departemen Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2008.
3. Wilfried H, Miko W, dkk. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian sistiserkosis pada penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten
Jayawijaya,

Propinsi

Papua

tahun

2002.

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok; Makara, jurnal kesehatan,


vol. 7, no. 2, desember 2003.
4. Shintawati R. Protozoa; Cestoda Intestinalis. Last update 2006. Diunduh
dari: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND.
5. Rizal S, Margono S, Akira I, dkk. Sistiserkosis di antara anggota keluarga
di

beberapa

desa,

Kabupaten

jayawijaya,

Papua.

Departemen

Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (Salemba).


Volume 9 No.1 Juni 2005.
6. Oscar H, Noshir H, Michel D and friends. Proposal of diagnostic criteria
for

human

cysticercosis

and

neurocysticercosis.

Department

of

Neurology, Luis Vernaza Hospital. Journal of the Neurological Sciences


Volume 142, Issues 1-2, October 1996, Pages 1-6.

20

7. Garcia H. Gonzalez E and friends. Taenia solium cysticercosis.


Cysticercosis Unit, Instituto Nacional de Ciencias Neurologicas, Jr
Ancash 1271, Barrios Altos, Lima, Peru. Volume 362, Issue 9383, 16
August 2003, Pages 547-556.
8. Ngurah K. Taeniasis dan Sistiserkosis. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar. Journal Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2005.

21

Anda mungkin juga menyukai