Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. HIPEREMESIS GRAVIDARUM
1. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah keadaan dimana penderita mual dan
muntah berlebihan, lebih dari 10 kali dalam 24 jam atau setiap saat, sehingga
menggganggu kesehatan dan pekerjaan sehari hari (Arief, 2009).
Hiperemesis Gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat selama
kehamilan, yang terjadi pada 1 %-2 % dari semua kehamilan atau 1-20 pasien
per 1000 kehamilan.

2. Etiologi
Hiperemesis gravidarum atau mual dan muntah yang dirasakan ibu hamil
belum diketahui penyebabnya secara pasti, tetapi terdapat beberapa teori yang
mengajukan keterlibatan faktor-faktor biologis, sosial dan psikologis. Faktor
biologis yang paling berperan adalah perubahan kadar hormon selama
kehamilan (Gunawan et al., 2011).
Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis
gravidarum yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Faktor endokrin
antara lain Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid
Stimulating Hormone, Adrenocorticotropine Hormone, human Growth
Hormone, prolactin dan leptin. Faktor non endokrin antara lain immunologi,
disfungsi gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym
metabolik, defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis.

3. Faktor risiko
6

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan hiperemesis gravidarum


antara lain hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya, berat badan
berlebih, kehamilan multipel, penyakit trofoblastik, nuliparitas dan merokok
(Gunawan et al., 2011).

4. Klasifikasi
Hiperemesis gravidarum dapat diklasifikasikan secara klinis menjadi
hiperemesis gravidarum tingkat I, II dan III.
a. Hiperemesis gravidarum tingkat I ditandai oleh :
Muntah yang terus-menerus disertai dengan penurunan nafsu makan

dan minum.
Berat badan menurun dan nyeri epigastrium. Pasien awalnya
memuntahkan makanan, kemudian lendir beserta sedikit cairan

empedu, dan dapat keluar darah jika keluhan muntah terus berlanjut.
Frekuensi nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan

darah sistolik menurun.


Pada pemeriksaan fisis ditemukan mata cekung, lidah kering,
penurunan turgor kulit dan penurunan jumlah urin.

b. Pada hiperemesis gravidarum tingkat II yaitu:


Pasien memuntahkan semua yang dimakan dan diminum
Berat badan cepat menurun, dan ada rasa haus yang hebat.
Frekuensi nadi 100-140 kali/menit dan tekanan darah sistolik kurang

dari 80 mmHg
Pasien terlihat apatis, pucat, lidah kotor, kadang ikterus, dan
ditemukan aseton serta bilirubin dalam urin.

c. Hiperemesis gravidarum tingkat III sangat jarang terjadi.


Keadaan ini merupakan kelanjutan dari hiperemesis gravidarum
tingkat II yang ditandai dengan muntah yang berkurang atau bahkan
berhenti, tetapi kesadaran pasien menurun (delirium sampai koma). Pasien
7

dapat mengalami ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung dan dalam


urin ditemukan bilirubin dan protein

5. Patofisiologi
Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang
isinya bila terjadi iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus.
Muntah merupakan refleks terintegratif dan efektor yang bersifat otonom
somatik. Rangsangan saluran cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan
aferen simpatis menuju pusat muntah. Pusat muntah juga menerima
rangsangan dari pusat-pusat yang lebih tinggi pada serebral, dari
chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema dan dari aparatus
vestibular via serebelum. Signal-signal perifer melewati trigger zone
mencapai pusat muntah melalui nukleus traktus solitarius. Pusat muntah
berada pada dorsolateral daerah formasi retikularis dari medula oblongata.
Pusat muntah berdekatan dengan pusat pernafasan dan pusat vasomotor.
Rangsang aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V, VII,
X, XII ke saluran cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diafragma, otot
iga, dan otot abdomen.
Teori terbaru menjelaskan bahwa peningkatan kadar human chorionic
gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium untuk memproduksi
estrogen, yang dapat merangsang mual dan muntah. Perempuan dengan
kehamilan ganda atau mola hidatidosa yang diketahui memiliki kadar hCG
lebih tinggi daripada perempuan hamil lain mengalami keluhan mual dan
muntah yang lebih berat (Gunawan et al., 2011).
Progesteron juga diduga menyebabkan mual dan muntah dengan cara
menghambat motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos lambung.
Penurunan kadar

thyrotropin-stimulating hor-mone (TSH) pada awal

kehamilan juga berhubungan dengan hiperemesis gravidarum meskipun


mekanismenya

belum

jelas.

Hiperemesis

gravidarum

merefleksikan

perubahan hormonal yang lebih drastis dibandingkan kehamilan biasa


(Gunawan et al., 2011).

6. Diagnosis
Hiperemesis

gravidarum

dimulai

dengan

menegakkan

diagnosis

kehamilan terlebih dahulu. Anamnesis dapat ditemukan keluhan amenorea,


serta mual dan muntah berat yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pemeriksaan obstetrik dapat dilakukan untuk menemukan tanda-tanda
kehamilan, yakni uterus yang besarnya sesuai usia kehamilan dengan
konsistensi lunak dan serviks yang livid. Pemeriksaan penunjang kadar hCG dalam urin pagi hari dapat membantu menegakkan diagnosis kehamilan
(Gunawan et al., 2011).
Keluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu menandakan
hiperemesis gravidarum. Penyakit gastrointestinal, pielonefritis dan penyakit
metabolik merupakan penyebab yang perlu dieksklusi. Indikator sederhana
yang berguna adalah awitan mual dan muntah pada hiperemesis gravidarum
biasanya dimulai dalam delapan minggu setelah hari pertama haid terakhir,
sehingga awitan trimester kedua atau ketiga menurunkan kemungkinan
hiperemesis gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala juga bukan
merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum. Pemeriksaan ultrasonografi
perlu dilakukan untuk mendeteksi kehamilan ganda atau mola hidatidosa
(Gunawan et al., 2011).
Ulkus peptikum, kolestasis obstetrik, perlemakan hati akut, apendisitis
akut, diare akut, hipertiroidisme dan infeksi Helicobacter pylori merupakan
diagnosis banding hiperemesis gravidarum. Ulkus peptikum pada ibu hamil
biasanya adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami eksaserbasi
sehingga dalam anamnesis dapat ditemukan riwayat sebelumnya. Gejala khas
ulkus peptikum adalah nyeri epigastrium yang berkurang dengan makanan
atau antasid dan memberat dengan alkohol, kopi atau obat antiinflamasi

nonsteroid (OAINS). Nyeri tekan epigastrium, hematemesis dan melena dapat


ditemukan pada ulkus peptikum. Pada kolestasis dapat ditemukan pruritus
pada seluruh tubuh tanpa adanya ruam. ikterus, warna urin gelap dan tinja
berwarna pucat disertai peningkatan kadar enzim hati dan bilirubin.
Gejala pada perlemakan hati akut yaitu kegagalan fungsi hati seperti
hipoglikemia, gangguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder
akibat ensefalopati hepatik. Hepatitis virus akut dan keeracunan parasetamol
juga dapat menyebabkan gambaran klinis gagal hati.
Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami demam dan nyeri
perut kanan bawah. Nyeri dapat berupa nyeri tekan maupun nyeri lepas dan
lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus yang
semakin membesar. Apendisitis akut pada kehamilan memiliki tanda-tanda
yang khas, yaitu tanda Bryan (timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan) dan
tanda

Alder (apabila pasien berbaring miring ke kiri, letak nyeri tidak

berubah).
Penyakit Graves meskipun jarang juga dapat menyebabkan hiperemesis,
oleh karena itu perlu dicari apakah terdapat peningkatan FT4 atau penurunan
TSH. Kadar FT4 dan TSH pada pasien hiperemesis gravidarum dapat sama
dengan pasien penyakit Graves, tetapi pasien hiperemesis tidak memiliki
antibodi tiroid atau temuan klinis penyakit Graves, seperti proptosis dan
pembesaran kelenjar tiroid. Kadar FT4 yang meningkat tanpa didapatkan
bukti penyakit Graves, pemeriksaan tersebut perlu diulang pada usia gestasi
yang lebih lanjut, yaitu sekitar 20 minggu usia gestasi, saat kadar FT4 dapat
menjadi normal pada pasien tanpa hipertiroi-disme. Propiltiourasil yang
diberikan pada pasien hipertiroidisme dapat meredakan gejala-gejala
hipertiroidisme, tetapi tidak meredakan mual dan muntah. Studi lain
menemukan adanya hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori
dengan terjadinya hiperemesis gravidarum.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain, pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit, keton urin, tes fungsi hati, dan
urinalisa untuk menyingkirkan penyebab lain. Pemeriksaan T3 dan T4
10

dilakukan bila curiga hyperthyroidism. Dokter juga harus melakukan


pemeriksaan ultrasonografi untuk menyingkirkan kehamilan mola.
7. Tatalaksana
a. Tatalaksana emesis Gravidarum
1) Tatalaksana Awal
Tata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah tanpa
komplikasi adalah istirahat dan menghindari makanan yang merangsang,
seperti makanan pedas, makanan berlemak, atau suplemen besi. Perubahan
pola diet yang sederhana, yaitu mengkonsumsi makanan dan minuman
dalam porsi yang kecil namun sering cukup efektif untuk mengatasi mual
dan muntah derajat ringan.
Jenis makanan yang direkomendasikan adalah makanan ringan,
kacang-kacangan, produk susu, kacang panjang, dan biskuit kering.
Minuman elektrolit dan suplemen nutrisi peroral disarankan sebagai
tambahan untuk memastikan terjaganya keseimbangan elektrolit dan
pemenuhan kebutuhan kalori. Menu makanan yang banyak mengandung
protein juga memiliki efek positif karena bersifat eupepticdan efektif
meredakan mual. Manajemen stres juga dapat berperan dalam menurunkan
gejala mual.
2) Tata Laksana Farmakologis
Emesis gravidarum diberikan obat apabila perubahan pola makan
tidak mengurangi gejala, sedangkan pada hiperemesis gravidarum obatobatan diberikan setelah rehidrasi dan kondisi hemodinamik stabil.
Pemberian obat secara intravena dipertimbangkan jika toleransi oral
pasien buruk. Obat-obatan yang digunakan antara lain adalah vita-min B6
(piridoksin), antihistamin dan agen-agen prokinetik. American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan 10 mg
piridoksin ditambah 12,5 mg doxylamine per oral setiap 8 jam sebagai
farmakoterapi lini pertama yang aman dan efektif.
11

Penelitian randomized trial menjelaskan bahwa kombinasi piridoksin


dan

doxylamine terbukti menurunkan 70% mual dan muntah dalam

kehamilan. Suplementasi dengan tiamin dapat dilakukan untuk mencegah


terjadinya

komplikasi

berat

hiperemesis,

yaitu

Wernicke

encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai jika


terdapat muntah berat yang disertai dengan gejala okular, seperti
perdarahan retina atau hambatan gerakan ekstraokular .
Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan ben-zamin, telah
terbukti efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin,
prometazin, klorpromazin menyem-buhkan mual dan muntah dengan cara
menghambat post synaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek
antikolinergik dan penekanan

reticular activating system. Obat-obatan

tersebut dikontraindikasikan terhadap pasien dengan hipersensitivitas


terhadap golongan fenotiazin, penyakit kardiovaskuler berat, penurunan
kesadaran berat, depresi sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali,
dan glaukoma sudut tertutup. Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika
pengobatan dengan antihistamin gagal. Prochlorperazine juga tersedia
dalam sediaan tablet bukal dengan efek samping sedasi yang lebih kecil.
Penelitian lain menyebutkan bahwa metoklopramid dan prometazin
intravena memiliki efektivitas yang sama untuk mengatasi hiperemesis,
tetapi metoklopramid memiliki efek samping mengantuk dan pusing yang
lebih ringan.
Studi kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid
tidak berhubungan dengan malformasi kongenital, berat badan lahir rendah,
persalinan preterm, atau kematian peri-natal. Metoklopramid memiliki efek
samping tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total dosis
kumulatifnya oleh karena itu penggunaan selama lebih dari 12 minggu
harus dihindari.

12

Antagonis
ondansetron

reseptor

mulai

penggunaannya

5-hydroxytryptamine

sering

dalam

digunakan,

kehamilan

tetapi

masih

(5HT3)

informasi

terbatas.

seperti

mengenai

Metoklopramid,

ondansetron memiliki efektivitas yang sama dengan prometazin, tetapi efek


samping sedasi ondansetron lebih kecil. Ondansetron tidak meningkatkan
risiko malformasi mayor pada penggunaannya dalam trimes-ter pertama
kehamilan. Droperidol efektif untuk mual dan muntah dalam kehamilan,
tetapi sekarang jarang digunakan karena risiko pemanjangan interval QT
dan torsades de pointes. Pemeriksaan elektrokardiografi sebelum, selama
dan tiga jam setelah pemberian droperidol perlu dilakukan.
Metilprednisolon dapat menjadi obat pilihan untuk kasus-kasus
refrakter. Metilprednisolon lebih efektif daripada promethazine untuk
penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan, namun tidak
didapatkan perbedaan dalam tingkat perawatan rumah sakit pada pasien
yang mendapat metilprednisolon dengan plasebo.Hanya sedikit bukti yang
menyatakan kortikosteroid efektif. Efek samping metilprednisolon sebagai
sebuah glukokortikoid juga patut diperhatikan. Penelitian metaanalisis
mengatakan dari empat studi, penggunaan glukokortikoid sebelum usia
gestasi 10 minggu berhubungan dengan risiko bibir sumbing dan
tergantung

dosis

yang

diberikan,

oleh

karena

itu

penggunaan

glukokortikoid direkomendasikan hanya pada usia gestasi lebih dari 10


minggu. Jahe dapat ditambahkan sebagai terapi farmakologi dalam setiap
tahap.

Pada

setiap

tahap,

nutrisi

enteral

atau

parenteral

dapat

dipertimbangkan jika terjadi dehidrasi atau penurunan berat badan


persisten.

b. Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum


Rehidrasi dan penghentian makanan peroral adalah penatalaksanaan
utama hiperemesis gravidarum. Antiemetik dan vitamin diberikan secara
13

intravena dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan. Penatalaksanaan


farmakologi emesis gravidarum dapat juga diterapkan pada kasus
hiperemesis gravidarum.
1) Tata Laksana Awal
Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap di rumah sakit dan
dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat,
penghentian pemberian makanan per oral selama 24-48 jam, serta
pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Pemberian glukosa, multivitamin,
magnesium, pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan.
Cairan dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak. Pasien
dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian
cairan dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat
mentoleransi cairan per oral dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium.
2) Pengaturan Diet
Pasien hiperemesis

gravidarum

tingkat III diberikan diet

hiperemesis I. Makanan yang diberikan berupa roti kering dan buahbuahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam setelah
makan. Diet hiperemesis kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C,
sehingga diberikan hanya selama beberapa hari.
Pasien diberikan diet hiperemesis II jika rasa mual dan muntah
berkurang. Pemberian dilakukan secara bertahap untuk makanan yang
bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Diet
hiperemesis IIrendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D.
Hiperemesis III diberikan diet seperti penderita dengan hiperemesis
ringan. Pemberian minuman dapat diberikan bersama makanan. Zat gizi
terdapat pada diet ini, kecuali kalsium.
3) Terapi Alternatif

14

T erapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti untuk


penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan. Akar jahe (Zingiber
officinale Roscoe) adalah salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek
yang

cukup baik. Bahan aktifnya,

gingerol, dapat

menghambat

pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated


gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Efek samping berupa
refluks gastroesofageal dilaporkan pada beberapa penelitian, tetapi tidak
ditemukan efek samping signifikan terhadap keluaran kehamilan. Dosisnya
adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, empat kali sehari.
Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan muntah masih
menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure pada titik akupuntur Neiguan
P6 di pergelangan lengan menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan
penelitiannya masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. The
Systematic Cochrane Review

mendukung penggunaan stimulasi

akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat


mengurangi risiko mual.
Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar pergelangan
tangan juga dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang
kenaikan berat badan.
c. Penatalaksanaan pada Kasus Refrakter
Muntah yang terus berlangsung (persisten) dengan tata laksana yang
sudah maksimal harus dicari adanya penyebab lain seperti gastroenteritis,
kolesistitis, pankreatitis, hepatitis, ulkus peptikum, pielonefritis dan
perlemakan hati.
Nutrisi enteral harus dipikirkan jika terdapat muntah yang
berkepanjangan, namun harus diingat bahwa

total parenteral nutrition

(TPN) selama kehamilan meningkatkan risiko sepsis dan steatohepatitis,


terutama akibat penggunaan emulsi lipid, oleh karena itu, TPN sebaiknya
15

hanya diberikan pada pasien dengan penurunan berat badan signifikan


(>5% berat badan) yang tidak respon dengan antiemetik dan tidak dapat
ditatalaksana dengan nutrisi enteral.
d. Evaluasi Keberhasilan T erapi
Terapi emesis atau hiperemesis gravidarum bertujuan untuk
mencegah komplikasi seperti ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan
penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5% berat badan.
Penilaian keberhasilan terapi dilakukan secara klinis dan laboratoris.
Secara klinis, keberhasilan terapi dapat dinilai dari penurunan frekuensi
mual dan muntah, frekuensi dan intensitas mual, serta perbaikan tandatanda vital dan dehidrasi. Parameter laboratorium yang perlu dinilai adalah
perbaikan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.

8. Komplikasi
Ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan penurunan berat badan lebih dari 3
kg atau 5% berat badan adalah komplikasi yang dapat terjadi pada
hiperemesis gravidarum (Gunawan, 2011).
Berat badan menurun, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk, alkalosis
akibat

dari

muntah-muntah,

hipokalemia,

kelemahan

otot,

kelainan

elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang


mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-muntah
berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi, kejang,
coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan,
IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah
dilaporkanmengalami epistaxis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake
vitamin

yang

tidakadekuat

yang

disebabkan

emesis

berat

dan

ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan. Penggantian


vitamin K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit

16

sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis


gravidarumjuga ada dilaporkan pada beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa
dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging (MRI). Terminasi kehamilan
merupakan

pilihan bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu

menjadi mengancam nyawa.

9. Prognosis
Hiperemesis gravidarum secara umum dapat disembuhkan. Penanganan
yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat memuaskan, namun pada
tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin.

17

Anda mungkin juga menyukai