Anda di halaman 1dari 23

BAB III

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN MODERN

A. Konsep Pendidikan Modern.


1. Pengertian Pendidikan Modern
Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang
(pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan
maksimal yang positif.1 Pendidikan juga bisa diartikan sebagai usaha
secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya meningkatkan si
anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung
jawab moril dari segala perbuatannya.2
Pendidikan mempunyai tiga unsur yang tidak bisa dipisahkan
antara yang satu dengan yang lain, yaitu :
a. Pengajar
b. Pelajar atau anak didik
c. Realitas dunia.3
Pengajar dan pelajar merupakan subyek sadar (cognitive),
sedangkan realitas dunia merupakan obyek tersadar atau disadari
(cognizable). Subyek sadar berarti orang yang dengan kesadarannya
melakukan suatu pekerjaan secara aktif, sedangkan obyek tersadar berarti
sesuatu yang dikenai pekerjaan dan hanya bersifat pasif. Dengan menjadi
subyek berarti pelajar mempunyai peran aktif dalam kegiatannya menuntut
ilmu, bukannya hanya pasif sehingga seakan hanya menjadi obyek
pendidikan bagi gurunya. Sedangkan sistem pendidikan yang pernah ada
dan mapan selama ini seakan hanya menjadikan siswa sebagai obyek,
bukan sebagai subyek yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab
untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994, hal. 28.
2

Soegarda Poerba Kawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, PT. Gunung
Agung, Jakarta, 1982, hal. 257.
3

Toto Rahardjo, dkk., Pendidikan Popular, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 40.

35

36

Merujuk dari pengertian pendidikan yang sudah ada dan mapan


selama ini mengindikasikan bahwasannya sistem pendidikan yang ada
selama ini hanya sebagai sebuah Bank dimana pelajar diberikan ilmu
pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan berlipat
ganda, hal ini dikarenakan pelajar atau anak didik hanyalah sebagai obyek
yang terus menerus dijejali dengan ilmu pengetahuan oleh gurunya,
sehingga pada akhirnya murid menjadi seperti prototipe bagi gurunya yang
selalu kelihatan sempurna di mata muridnya dan hal ini berakibat pada
hilangnya kreatifitas dan kebebasan berpikir pada diri pelajar.
Hal inilah yang kemudian menjadikan acuan untuk merombak
model pendidikan yang ada selama ini yang dianggap telah membelenggu
dan tidak memberi kebebasan bagi pelajar atau anak didik untuk
berkembang dan menentukan sendiri tujuan hidupnya. Dengan demikian
pengertian (definisi) pendidikan juga mengalami perubahan, pendidikan
diartikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi seseorang yang
berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang
berbudaya, kini dan masa depan.4
Pendidikan berarti proses humanisasi, oleh sebab itu perlu
dihormati hak-hak asasi manusia. Anak didik bukanlah robot, tetapi
manusia yang harus dibantu dalam proses pendewasaannya agar dia dapat
mandiri dan berpikir kritis, jadi pendidikan bukan hanya menjadikan
manusia berbeda dengan binatang yang dapat makan minum, berpakaian
dan mempunyai tempat tinggal (hominisasi), hal ini sama dengan istilah
memanusiakan manusia.
Pelajar atau anak didik bukanlah objek bagi guru, melainkan
sebagai subyek yang bebas berpikir dan mengembangkan kreativitasnya
sehingga nantinya akan mampu mengubah realitas dirinya sendiri,
sedangkan guru berfungsi sebagai motivator dan fasilitator yang selalu
membantu dan membimbing anak didiknya ke arah kedewasaan. Hal ini
4

hal. 20.

H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000,

37

sesuai dengan definisi mengajar modern, yaitu mengajar adalah bimbingan


kepada siswa dalam proses belajar.5
Konsep pendidikan modern dimunculkan karena adanya suatu
kesadaran bahwasanya manusia adalah mahluk sosial yang mempunyai
kebutuhan untuk dihargai dan mempunyai hak untuk menentukan pilihan
sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya, hal inilah yang bertentangan
dengan sistem pendidikan yang lama, dimana peserta didik dianggap
kurang mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri jalur hidupnya
dan seolah hanya bersifat sebagai bank yang hanya bertugas untuk
menyimpan segala macam teori yang diberikan oleh guru kepadanya
sehingga murid seakan hanya sebagai prototip dari gurunya dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah dirinya sendiri.
2. Latar Belakang Munculnya Prinsip Pendidikan Modern.
Prinsip pendidikan modern muncul dikarenakan model pendidikan
yang ada dan mapan selama ini dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman yang sudah semakin maju, sehingga apabila hal ini
dibiarkan

tanpa

ada

langkah

konkret

untuk

merubahnya

maka

dikhawatirkan kualitas anak didik yang menjadi generasi penerus bangsa


akan semakin menurun dan tidak mampu lagi bersaing dengan bangsa lain
di era globalisasi.
Pendidikan di masa lalu dirasa sangat monoton, membosankan,
tidak mengembangkan daya kreatifitas anak didik, tidak menyenangkan
dan kurang efisien, serta hanya mengandalkan bakat alam. Hal ini
berdampak pada kualitas anak didik secara umum menjadi rendah yang
akhirnya akan berdampak pula pada perkembangan dan kemajuan bangsa.
Berdasarkan fakta tersebut maka para pemikir pendidikan berusaha
untuk memperbaiki model-model pendidikan yang lama menjadi suatu
sistem

pendidikan

yang

variatif

(sesuai

dengan

tuntutan

dan

perkembangan jaman). Dengan adanya prinsip-prinsip pendidikan yang


5
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
1995, hal. 30.

38

semacam ini (modern), maka diharapkan mutu pendidikan akan naik dan
akhirnya akan berdampak bagi kemajuan bangsa dan negara.

B. Prinsip- Prinsip Pendidikan Modern


1. Pengertian Prinsip Pendidikan Modern
Prinsip merupakan asas (kebenaran yang menjadi pokok atau dasar
dalam berpikir, bertindak)6, sedangkan pendidikan merupakan suatu
proses hominisasi dengan humanisasi yang berlangsung di dalam
lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya. Jadi prinsip
pendidikan modern dapat diartikan sebagai asas atau pokok yang menjadi
dasar dalam bertindak demi untuk tercapainya proses hominisasi dan
humanisasi yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan
masyarakat yang berbudaya, dalam hal ini pendidikan tersebut sesuai
dengan tuntutan jaman (modern).
Pada dasarnya prinsip-prinsip pendidikan modern sangatlah
banyak, diantaranya: prinsip kesuksesan pendidikan dipengaruhi oleh
faktor Emotional Intelligence (EI/EQ) dan Spiritual Intelligence (SI/SQ),
prinsip kebebasan dalam berkembang, prinsip pendidikan berdasar pada
kebutuhan masyarakat, prinsip minat dan perhatian dalam bekerja
(belajar), prinsip cepat dan efektif, prinsip kesenangan dalam belajar, dan
lain-lain.
Oleh karena itu prinsip-prinsip pendidikan modern dalam
penyusunan skripsi ini kami batasi dengan hanya empat prinsip, yaitu:
a. Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) yang lazim disebut EQ
(Emotional Quotion).
b. Kesenangan dalam belajar.
c. Cepat dan efektif.
d. Kebebasan berkembang.

6
W.J.S. Poerwadarminta, dkk., Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 788.

39

Keempat prinsip tersebut sekiranya cukup mewakili dari prinsipprinsip pendidikan yang lain. Dengan demikian cukup memberikan
gambaran mengapa prinsip-prinsip pendidikan modern tersebut menjadi
begitu penting bagi para pelajar untuk meraih kesuksesan di dalam
menempuh pendidikan.
Kecerdasan emosional (EQ) kami kemukakan disini karena untuk
mengubah persepsi orang umum yang menganggap bahwasanya seseorang
akan berhasil dalam menempuh pendidikan apabila mempunyai akal yang
cerdas (IQ yang tinggi), hal ini tidak sepenuhnya benar, karena di samping
faktor IQ tersebut ada faktor lain yang sangat mendukung dan mempunyai
peran yang besar dalam kesuksesan pendidikan seseorang, yang salah satu
diantaranya adalah EQ. IQ menyumbang 20 persen bagi faktor-faktor yang
menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen adalah diisi oleh
kekuatan-kekuatan lain.7 Kecerdasan tingkat tinggi memadukan EQ
dengan IQ, dan tidak hanya mempertahankan kemampuan berfungsi, tetapi
juga menjadikannya lebih hebat.8
Sedangkan prinsip kesenangan dalam belajar dimaksudkan sebagai
sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan yang berusaha mengubah
pandangan masyarakat bahwasanya belajar adalah suatu usaha yang
membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi, sehingga apabila seseorang
menginginkan kesuksesan maka orang tersebut haruslah mau bersusah
payah demi tercapainya kesuksesan dalam belajar. Adanya susah payah
inilah yang kemudian menciptakan opini di masyarakat bahwasanya
belajar merupakan suatu beban yang sangat tidak mengenakan dan tidak
menyenangkan bagi siapapun juga.
Hal ini bertentangan dengan prinsip pendidikan modern yang justru
beranggapan bahwa: Belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana

6.

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, PT. Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 44.

Robert, K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ, PT. Gramedia, Jakarta, 2002, hal.

40

menyenangkan.9 Jika seseorang mengalami kesenangan dalam belajar


maka otomatis akan membuat orang tersebut mempunyai keinginan yang
kuat untuk terus belajar dan belajar, dan jika seseorang dalam keadaan
yang senang ketika belajar sesuatu maka materi pelajaran yang diterima
pun akan menjadi lebih cepat untuk diterima dan menjadikannya lebih
tahan lama di dalam ingatan.
Prinsip cepat dan efektif yang dimaksudkan di sini adalah
bahwasanya suatu mata pelajaran atau keterampilan akan dapat dikuasai
seseorang dalam waktu yang singkat dan cepat apabila dilakukan dengan
cara yang efektif. Hal ini sesuai dengan perkembangan jaman yang
menuntut segalanya untuk dapat dilakukan dengan cepat, sehingga
terkesan lebih mengefisienkan waktu yang ada.
Prinsip kebebasan berkembang merupakan suatu prinsip dasar
dalam pendidikan modern yang menginginkan kebebasan bagi seorang
pelajar untuk mengembangkan kreatifitasnya tanpa adanya tekanan dari
pihak lain yang bisa mengganggu dan membatasi ruang geraknya, hal ini
bertujuan untuk menjadikan para pelajar sebagai subyek yang berhak
mengatur dan mengolah serta mengembangkan potensi dirinya, bukannya
sebagai obyek yang terus-menerus dijejali ilmu pengetahuan oleh gurunya
sehingga berakibat mematikan kreativitasnya dalam mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
program Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
2. Beberapa prinsip dalam pendidikan modern
a). EQ (Kecerdasan Emosional)
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.10
Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu
keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan

Gordon Dryden dan Jeanette Vos, Revolusi Cara Belajar, Kaifa, Bandung, 2000, hal.

23.
10

Daniel Goleman, op.cit, hal. 7

41

untuk bertindak.11 Dalam hal ini emosi merupakan gejolak jiwa yang
bersifat naluriah yang selalu menyertai perasaan manusia. Emosi di
mata masyarakat awam mempunyai konotasi yang negatif dan
dianggap sebagai pemicu segala kejadian yang tidak menyenangkan
yang dialami oleh manusia.
Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongangolongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang penggolongan
ini, golongan tersebut antara lain :
a. Amarah : mengamuk, benci, jengkel, kesal, tersinggung,
bermusuhan, tindak kekerasan.
b. Kesedihan: sedih, muram, mengasihani diri, kesepian, putus asa,
depresi berat.
c. Rasa takut : cemas, takut, khawatir, was-was, waspada, panik.
d. Kenikmatan : bahagia, puas, riang, bangga, terpesona, takjub
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, rasa dekat, bakti,
hormat, kasmaran.
f. Terkejut : terkesiap, terpana.
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka.
h. Malu : rasa salah, kesal hati, sesal, hina, aib, hati hancur.12
Kecerdasan
memotivasi

diri

emosional
sendiri

dan

merupakan
bertahan

kemampuan
menghadapi

untuk
frustasi;

mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,


mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.13
Dengan adanya kecerdasan emosional yang tinggi, maka
seseorang akan sanggup mengatasi segala permasalahan yang ada pada
dirinya untuk kemudian membuatnya menjadi suatu motivasi yang
malah akan mampu mengangkat kembali semangat yang ada dalam
dirinya menjadi berlipat ganda sehingga akhirnya mampu mengatasi
permasalahan tersebut

dengan

baik. Oleh

karena pentingnya

kecerdasan emosional ini, maka orang tidak bisa begitu saja


11

Ibid, hal. 411.

12

Ibid, hal. 411-412.

13

Ibid, hal. 45.

42

mengabaikannya apabila menginginkan kesuksesan dalam belajar, dan


hanya mengandalkan IQ-nya secara sepenuhnya dengan mengabaikan
peran emosi yang ada pada dirinya.
Seseorang dengan IQ yang tinggi tanpa dibarengi dengan
pengolahan emosi yang baik akan cenderung memiliki sifat-sifat penuh
ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun, tidak dirisaukan
oleh urusan-urusan tentang dirinya sendiri, cenderung bersikap kritis
dan meremehkan, pilih-pilih dan malu-malu, kurang ekspresif dan
menjaga jarak, dan secara emosional membosankan dan dingin.
Sebaliknya, orang yang tinggi kecerdasan emosionalnya secara
sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau
gelisah, mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan
orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab dan
mempunyai

pandangan

moral,

simpatik

dan

hangat

dalam

berhubungan, kehidupan emosionalnya kaya tetapi wajar, mereka


merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dunia
pergaulannya.
Contoh tersebut memberikan gambaran bahwasanya dengan
adanya kecerdasan emosional yang tinggi akan membuat manusia
menjadi manusia yang seutuhnya sesuai dengan kodratnya (mahluk
sosial) bukan hanya sebagai manusia yang mementingkan dirinya
sendiri dan mengesampingkan peran orang lain disekitarnya. Orang
yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi akan menjadi
orang yang tabah dan tahan uji sehingga akan mampu mengatasi segala
permasalahannya dengan baik.
Dalam kegiatan belajar (mencari ilmu), orang yang mempunyai
EQ tinggi apabila mengalami hambatan atau kesulitan dalam belajar
akan bisa dengan sesegera mungkin mengatasi kesulitan yang dihadapi
untuk kemudian melanjutkan sampai tercapainya cita-cita dalam
belajar, yaitu mendapat kesuksesan dalam belajar. Sebaliknya apabila
EQ-nya rendah, maka sekali orang tersebut mendapat kesulitan dalam

43

belajar, maka dia akan mudah untuk berputus asa dan akhirnya
berakibat pada terhambatnya kesuksesan dalam belajar.
Misalnya dalam mata pelajaran

Faraid,

seorang

anak

mengalami kesulitan dalam memahami salah satu bab dalam pelajaran


tersebut, akan tetapi hal ini malah membuat semangatnya bertambah
dalam

mempelajari

bab

tersebut

karena

dia

merasa

bahwa

sesungguhnya ternyata masih banyak hal yang belum dia mengerti dan
belum dikuasainya. Dengan tekun anak tersebut terus belajar dan
mencari bimbingan dari orang lain untuk membantunya dalam
memahami bab tersebut sampai akhirnya dia betul-betul memahami
dan menguasai bab tersebut. Berbeda halnya apabila anak tersebut
langsung menyerah setelah mengetahui bahwa dirinya kesulitan dalam
memahami bab tersebut kemudian membuatnya merasa tidak mampu
dan tidak mampu terus berusaha, maka hasilnya dia akan menjadi
benar-benar tidak bisa menguasai materi pelajaran tersebut.
Kecerdasan emosional didasari oleh kecerdasan pribadi dan
ditandai dengan beberapa kemampuan, antara lain:
a. Mengenali emosi diri. Kemampuan untuk memantau perasaan dari
waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi
dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan
kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuatan
perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang
perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka,
karena mempunyai kepekaan lebih tinggi atas perasaan mereka
yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan
masalah pribadi.
b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Orang-orang yang buruk
dalam pengelolaan keterampilan ini akan terus menerus bertarung
melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat
segera bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan
dan kejatuhan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri. Kendali diri emosional menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah
landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang

44

memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan


efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d. Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang bergantung
pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul.
Orang yang lebih empatik mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan
atau dikehendaki orang lain.
e. Membina hubungan. Ini merupakan keterampilan yang menunjang
popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orangorang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang
apapun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain.14
Dengan menguasai kelima kemampuan di atas, maka seseorang
dianggap memiliki kecerdasan emosional yang tinggi yang akan
mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi pada dirinya
maupun pada masyarakat sekitarnya, dengan demikian maka orang
tersebut akan mampu menyiasati kegagalan yang pernah dialaminya
dalam menempuh pendidikan dan malah menjadikan kegagalan
tersebut sebagai bahan referensi untuk mencapai kesuksesan dalam
pendidikan. Orang yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi akan mampu mengatasi segala permasalahan yang
dihadapinya dalam proses mencari ilmu, dan hal ini tentunya akan
sangat menunjang dalam kegiatannya mencari ilmu. Kemampuan ini
dapat dipelajari dan diperbaiki sampai ke tingkat yang setinggitingginya dimana masing-masing wilayah menampilkan bentuk
kebiasaan dan respon yang dengan upaya yang tepat dapat
dikembangkan.
b) Kesenangan dalam Belajar.
Belajar merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh
seseorang apabila menginginkan suatu kesuksesan dalam pendidikan,
belajar yang dimaksudkan adalah belajar dengan giat dan gigih demi
untuk mencapai tujuan. Hal ini kemudian diartikan bahwasanya belajar
merupakan suatu kewajiban yang sangat menyita waktu dan

14

Ibid, hal. 57-59.

45

membosankan bagi sebagian besar orang. Mereka mengartikan


bahwasanya belajar adalah suatu kegiatan yang sangat tidak
menyenangkan sehingga akhirnya menjadikan kegiatan belajar sebagai
suatu "setan" yang sangat menyeramkan dan menakutkan..
Belajar adalah kegiatan seumur hidup yang dapat dilakukan
dengan menyenangkan dan berhasil.15 Dengan adanya kesenangan
dalam belajar, orang akan menjadi tertarik dan akhirnya timbul minat
dan motivasi yang kuat untuk belajar. Dalam hal ini emosi yang ada
dalam diri akan ikut tergugah, jika informasi baru disampaikan dengan
cara yang menyenangkan emosi secara positif, maka orang akan dapat
belajar dan mengingat dengan baik. Namun, ketika rasa takut atau
emosi yang negatif hadir, otak tengah (otak berpikir) mungkin akan
merekam informasi yang datang, sehingga informasi tersebut akan
tersaring. Hal inilah yang menyebabkan belajar menjadi tidak efektif,
mungkin tiba-tiba seseorang baru sadar bahwa telah lama menatap satu
halaman tanpa memahami apapun. Jadi, keadaan pikiran itu sangat
penting dalam belajar.16
Kegembiraan dalam belajar bukan berarti hura-hura, melainkan
kedamaian yang mendalam dan tenang serta adanya perasaan saling
terkait, utuh dan terlibat.17 Dengan terciptanya kedamaian, perasaan
saling terkait, utuh dan terlibat, maka akan tercipta suatu kegiatan
belajar mengajar yang menyenangkan dan kondusif karena seluruh
elemen pendidikan yang ada di dalamnya terlibat secara efektif. Hal ini
tentunya akan membuat proses belajar mengajar menjadi lebih efektif
dan efisien.
Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah bagaimana
caranya

untuk

membuat

belajar

itu

menjadi

sesuatu

yang

menyenangkan dan mampu membangkitkan emosi positif yang ada


15

Bobbi De Porter dan Mike Herracki, Quntum Learning, Kaifa, Bandung, 1999, hal. 8.

16

Ibid, hal. 23.

17

Dave Meier, The Accelerated Learning, Kaifa, Bandung, 2001, hal. 60.

46

pada diri seseorang. Padahal tiap-tiap orang memiliki gaya belajar


yang berbeda-beda dan bisa menyesuaikan diri dengan gaya-gaya
belajar itu supaya bisa mencapai audiens seluas dan seefektif mungkin.
Pada dasarnya yang membuat seseorang menjadi lebih mudah
dan cepat dalam menguasai materi pelajaran adalah apabila mereka
memahami cara yang paling cocok dengan otak individual mereka.18
Misalnya ketika kita menyuruh seseorang menulis, apabila dia menulis
dengan menggunakan tangan yang dominan maka hasil tulisannyapun
akan lebih cepat dan lebih bagus dibandingkan jika menulis dengan
tangan yang kurang dominan. Hal inilah yang membuat belajar akan
menjadi lebih mudah, lebih efektif dan terutama lebih menyenangkan.
Dalam upaya untuk membuat proses belajar menjadi sesuatu
yang menyenangkan, setidaknya ada lima prinsip yang bisa diterapkan,
antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.

Segalanya berbicara
Segalanya bertujuan
Pengalaman sebelum pemberian nama
Akui setiap usaha
Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan.19
Untuk lebih jelasnya akan kami ketengahkan penjelasan dari

segmen-segmen di atas:
a. Segalanya berbicara, hal ini berhubungan dengan penataan
lingkungan, lingkungan yang ditata dan diatur dengan baik akan
memacu semangat belajar. Hal ini berkaitan dengan adanya
kemitraan antara otak dan mata, dimana gerakan mata selama
belajar dan berpikir terikat pada modalitas visual, auditorial dan
kinestetik20. Dengan kata lain, mata kita bergerak menurut cara
otak mengakses informasi. Umumnya jika mata bergerak naik,
maka kita sedang menciptakan atau mengingat citra, misalnya jika
18

Collin Rose, Kuasai Lebih Cepat, Kaifa, Bandung, 2002, hal. 27.

19

Bobby De Porter, Mark Reardon & Sarah Singer Nourie, Quantum Teaching, Kaifa,
Bandung, 2002, hal. 7-8.
20

Ibid, hal. 68.

47

orang diminta untuk mengingat-ingat sesuatu maka dia secara tidak


sadar akan melihat ke atas seakan-akan apa yang dia cari ada di
atas awang-awang, padahal sesungguhnya tidak demikian.
Jika seseorang diminta untuk mengingat percakapan yang belum
lama dilakukannya dengan teman, maka matanya akan bergerak ke
satu atau dua sisi karena informasi auditorial masuk melalui
telinga, mata bergerak ke lokasi tersebut, seraya mengingat atau
menciptakan bunyi, frase, percakapan, dan lain-lain.
Perasaan disimpan di dalam tubuh kita. Saat kita merasa percaya
diri, sukses atau berprestasi, kita sering menegakkan kepala,
menegakkan bahu dan berjalan dengan mantap.
Apabila kemampuan untuk secara tidak sadar menyerap informasi
melalui kemitraan otak dan mata ini dimanfaatkan, maka hal ini
akan menjadikan suasana belajar menjadi sangat menyenangkan
dan terlebih lagi mampu memunculkan emosi positif yang ada
pada diri setiap orang.
b. Segalanya mempunyai tujuan
Kita tahu bahwa kesulitan pelajaran atau derajat resiko
pribadi itu sendiri cukup untuk membuat siswa menahan diri atau
menyebabkan belajar mandek. Hal ini disebabkan oleh adanya
pelajaran yang sulit dan adanya resiko yang dihadapi sehingga
berakibat menurunnya mental seseorang dan tidak berani
menghadapi kendala karena sebelumnya sudah merasa tidak
mampu.
Hal ini bisa disiasati dengan cara, apabila guru memberikan
suatu pelajaran yang paling sulit hendaknya dilaksanakan menurut
tahapan:
-

21

Multi sensori, gunakan unsur visual, auditorial dan kinestetik.


Pemotongan menjadi segmen-segmen, mula-mula diajarkan
pada kelompok besar, kemudian dipecah menjadi kelompok
kecil, selanjutnya diselesaikan secara perseorangan.
Sering-sering melakukan pengulangan. 21

Ibid, hal. 87.

48

Penggunaan unsur visual-auditorial dan kinestetik ditujukan


untuk merangsang ingatan siswa agar lebih kuat dalam memahami
dan mengingat pelajaran, sebab ketiga unsur tersebut secara
otomatis akan membuat siswa menjadi terlibat secara langsung
dalam kegiatan belajar dan hal ini akan sangat efektif dibanding
dengan kegiatan belajar dengan mengabaikan salah satu dari ketiga
unsur

tersebut.

Sedangkan

pemotongan

bersegmen

dan

pengulangan menjadikan siswa menjadi lebih siap secara mental


karena merasa sudah mendapat bekal yang cukup dalam
pembelajarannya.
c. Pengalaman sebelum pemberian nama
Pengalaman merupakan informasi, fakta, rumus, pemikiran,
tempat dan sebagainya.22 Suatu pelajaran biasanya dimulai dari
sini, dari pemberian materi pelajaran, dan kemudian baru
melakukan kegiatan kelak jika ada waktu. Hal ini diibaratkan
dengan pemberian teori dengan mengesampingkan prakteknya,
model pengajaran semacam ini kurang menyentuh emosi kita
sehingga terasa kurang efektif.
Seharusnya pelajaran dimulai dari pengalaman terlebih
dahulu, hal ini bertujuan untuk melibatkan emosi siswa secara
langsung sehingga akan mengakar dengan kuat di dalam
ingatannya, baru kemudian diberikan informasi atau teori
(penamaan) tentang kegiatan yang telah dilakukan. Dengan
demikian

siswa

akan

menjadi

terbuka

pikirannya

dan

pemahamannya tentang pelajaran (teori) yang diterimanya pun


akan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan pemberian
materi pelajaran yang sebaliknya.
Misalnya ketika memberi pelajaran wudhu, siswa langsung
diajak ke tempat wudhu dan dibimbing untuk berwudhu yang

22

Ibid, hal. 91.

49

benar. Setelah itu baru kemudian diberikan teori wudhu yang baik
dan benar di kelas. Maka siswa akan menjadi lebih memahaminya
karena sebelumnya sudah mengalaminya sehingga dia akan dapat
menjodohkan secara tepat antara perbuatan (pengalaman) yang dia
dapat dengan teori yang dia terima, dan hal ini akan dapat
mengakar secara kuat ke dalam ingatan siswa karena berhubungan
dengan emosi atau perasaan siswa secara langsung.
d. Akui setiap usaha
Pengakuan setiap usaha yang telah dilakukan oleh setiap
orang

(terutama

bagi

siswa

yang

sedang

dalam

masa

perkembangan) akan mempunyai dampak yang sangat besar bagi


perkembangan mentalnya. Hal ini dikarenakan sifat alami manusia
yang menginginkan penghargaan atas segala apa yang telah
dilakukannya.
Apabila seorang anak diberi pengakuan atau penghargaan
atas usahanya, maka anak tersebut akan termotivasi untuk
melanjutkan kegiatannya, walaupun yang dihasilkannya kurang
bagus. Akan tetapi apabila hasil jerih payahnya tidak diakui
(dihargai) maka anak tersebut akan turun motivasinya sehingga
tidak mempunyai keinginan untuk melakukannya (mencobanya).
Misalnya seorang anak telah berusaha dengan tekun untuk belajar
dan mendapatkan ranking tiga di kelasnya, tapi orang tuanya
kurang puas dan menganggap anaknya bodoh karena hanya bisa
mendapat ranking tiga, maka hal ini akan membuat mental anak
tersebut

menjadi

turun

dan

enggan

untuk

mengejar

ketertinggalannya sehingga rankingnya di semester berikutnya


bukannya menjadi naik tapi malah menurun. Beda halnya apabila
orang tuanya mengakui hasil jerih payah anaknya, hal ini akan
membuat motivasi anaknya untuk mengejar ketertinggalannya
menjadi tinggi dan akan berakibat pada meningkatnya motivasi
dalam dirinya untuk belajar.

50

e. Jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan.


Dengan mengadakan perayaan di akhir season akan
memberikan dorongan bagi seseorang untuk mengulanginya lagi.
Perayaan membangun keinginan untuk sukses.23 Dengan adanya
perayaan maka dalam diri orang tersebut akan terbentuk suatu
keinginan

untuk

membuatnya

dapat

termotivasi

mengulanginya
untuk

lagi,

bagaimana

dan
agar

hal

ini

dapat

mengalaminya.
Perayaan tidak harus dilaksanakan dengan pengadaan pesta
atau pemberian hadiah, tapi juga bisa dilaksanakan dengan
pemberian tepuk tangan, ucapan hore, ataupun semacam pujian,
karena ini hanyalah suatu alat untuk melepaskan kepenatan dan
memunculkan emosi positif yang baru untuk bisa dimanfaatkan
dimasa-masa selanjutnya.
c). Cepat dan Efektif
Belajar pada hakekatnya bisa dilakukan dengan cepat dan
efektif akan tetapi hal ini baru dapat dilakukan apabila dilakukan
dengan gaya dan kekuatan masing-masing pribadi.24 Gaya belajar
merupakan cara orang untuk menyerap dan menyimpan informasi baru
dan sulit dalam berpikir atau berkonsentrasi. Masing-masing orang
mempunyai gaya yang cocok dengan dirinya, dan tidak ada gaya yang
superior atau lebih baik karena pada intinya setiap gaya dapat menjadi
efektif dengan caranya sendiri menurut kadar kecocokannya. Gaya
belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan
kemudian mengatur serta mengolah informasi.

23

Ibid, hal. 31

24

Gordon Dryden dan Jeannette Vos, op.cit, hal. 355.

51

Ada 3 gaya belajar yang dominan bagi masing-masing


individu, antara lain:
a. Visual
b. Auditorial
c. Kinestetik 25
Orang yang mempunyai kecenderungan gaya baca visual akan
banyak mendapat informasi dari membaca atau memperhatikan
ilustrasi yang ditempel di papah tulis. Orang auditorial lebih cenderung
untuk mendengarkan, sedangkan orang kinestetik lebih condong
dengan memperagakannya secara langsung.
Sistem identifikasi V-A-K membedakan bagaimana cara
termudah dalam menyerap informasi sedangkan untuk menentukan
dominasi corak dan bagaimana memproses informasi, seorang profesor
dibidang kurikulum dan pengajaran di Universitas Connectitut
bernama Anthony Gregore yang dikutip oleh Bobby De Porter dan
Mike Hernacki dalam bukunya yang berjudul Quantum Learning
mengelompokkan gaya berpikir dalam empat golongan, yaitu :
1. Sekuensial konkret (SK)
2. Sekuensial abstrak (SA)
3. Acak konkret (AK)
4. Acak abstrak (AA) 26
Bagi para Sekuensial Konkret (SK), realitas terdiri dari apa
yang mereka ketahui melalui indra fisik, yaitu indra penglihatan,
peraba, pendengaran, perasa dan penciuman. Mereka memperhatikan
dan mengingat realitas dengan mudah dan mengingat fakta-fakta,
informasi, rumus-rumus, dan aturan-aturan khusus dengan mudah.27
Catatan atau makalah adalah cara baik baginya untuk belajar.

25

Bobby de Porter dan Mike Hernacki, Op.Cit, hal. 110. Lihat juga Dave Meier, Ibid.,

hal. 90-91.
26

Ibid, hal. 121.

27

Ibid, hal. 124.

52

Bagi para pemikir sekuensial abstrak, realitas adalah dunia


teori metafisis dan pemikiran abstrak. Mereka suka berpikir dalam
konsep dan menganalisis informasi.28 Proses berpikir mereka adalah
logis, rasional dan intelektual. Aktivitas favorit bagi mereka adalah
membaca, dan jika suatu proyek perlu diteliti, mereka akan
melakukannya dengan mendalam29
Pemikir acak konkret mempunyai sikap eksperimental yang
diiringi dengan perilaku yang kurang terstruktur.30 Mereka berpikir
berdasar pada kenyataan, tetapi ingin melakukan pendekatan cobasalah (trial and error). Orang dari golongan ini mempunyai dorongan
yang kuat untuk menemukan alternatif dan mengerjakan segala sesuatu
dengan caranya sendiri serta cenderung tidak memperdulikan waktu
apabila sedang terlibat dalam situasi yang menarik dan mereka lebih
mengutamakan proses daripada hasil.
Bagi pemikir acak abstrak (AA), dunia nyata adalah dunia
perasaan dan emosi. Mereka tertarik pada nuansa dan sebagian lagi
tertarik pada mistisisme. Mereka mengingat dengan sangat baik jika
informasi dipersonifikasikan.31 Pemikir AA mengalami peristiwa
secara holistik, mereka perlu melihat keseluruhan gambar sekaligus,
bukan bertahap. Orang-orang yang cara berpikir seperti ini bekerja
dengan baik dalam situasi-situasi yang kreatif dan harus bekerja lebih
giat dalam situasi yang lebih teratur.
Selain mengandalkan kemampuan mengenali gaya berpikir
dominan pada diri sendiri, ada kiat-kiat khusus (keterampilan khusus)
yang bisa dilaksanakan untuk menunjang kemampuan untuk belajar
dengan cepat dan efektif. Ketrampilan tersebut antara lain:

28

Ibid, hal. 128.

29

Ibid, hal. 134.

30

Ibid, hal 136.

31

Ibid, hal. 130.

53

a. Membaca cepat
Mata menerima informasi jauh lebih cepat daripada telinga,
tetapi kebanyakan orang masih ingin mendengar perkataan dalam
benak mereka seraya membaca, meskipun sebenarnya tidak perlu
begitu. Dengan menuntut untuk mendengar setiap kata, kita benarbenar melambatkan pembacaan kita. Kita hanya dapat mendengar
perkataan sekitar 250 kata per menit, tetapi kita dapat melihat kata
dengan kecepatan 2.000 kata per menit atau lebih.32 Sebetulnya
kita tidak perlu harus melihat setiap kata untuk memahami materi
yang kita baca. Kesalahannya adalah membaca kata biasanya
bukan kata itu sendiri yang penting, melainkan gagasan yang
disampaikan kata-kata tersebut.
Untuk

dapat

membaca

dengan

cepat,

kita

bisa

menggunakan alat bantu fisik dengan meletakkan tangan secara


mendatar di atas halaman buku dan menggerakkannya maju
mundur sepanjang halaman dengan gerakan menyapu. Gerakan
tangan menuruni halaman dengan kecepatan tetap.33 Biarkan mata
mengikuti gerakan ujung jari menuruni halaman, kemudian
dipercepat sehingga hanya membutuhkan waktu 4-5 detik untuk
setiap halaman. Mula-mula memang kelihatan kabur, namun
kemudian akan terjadi suatu keanehan, beberapa kata mulai
menonjol dan itulah sebagian kata kunci.
Pada dasarnya ada empat macam cara membaca, yaitu:
-

Reguler, yaitu cara membaca yang relatif lambat, dengan


membaca baris demi baris seperti yang biasa kita lakukan
dalam membaca bacaan ringan.
Melihat dengan sekilas (skimming), dilakukan dengan sedikit
lebih cepat, ini kita lakukan ketika sedang mencari sesuatu
yang khusus dalam sebuah teks. Misalnya ketika membaca
buku telepon atau kamus.

32

Ibid, hal. 132.

33

Collin Rose, op.cit, hal. 67-68.

54

Melihat sekilas (scanning), digunakan untuk melihat isi buku


atau untuk melihat sekilas, seperti cara kita membaca koran.
Kecepatan tinggi (wrap speed), adalah teknik membaca suatu
bahan bacaan dengan kecepatan sangat tinggi dan dengan
pemahaman yang tinggi.34

b. Menggunakan pencitraan
Pencitraan mengandung arti bahwa seolah-olah anda hanya
akan menggunakan indra visual.35 Hal ini diartikan bahwa sebelum
kita memulai mengerjakan sesuatu, seakan kita sudah mampu
melihat hasilnya. Dengan pencitraan, kita berada dalam alam
imajinasi yang kita ciptakan dengan melibatkan seluruh indra yang
ada pada diri kita sehingga seakan-akan kita benar-benar ada dalam
alam nyata dan dapat merasakannya dengan sesungguhnya.
Pencitraan memberi manfaat membantu pikiran untuk
menyelaraskannya dengan tubuh, hal ini bisa terjadi karena orang
telah terbiasa melakukannya dalam pikirannya sehingga tidak
ada hambatan yang terlalu berarti ketika melakukannya di dunia
nyata.
d). Kebebasan Berkembang
Pendidikan mempunyai tiga unsur utama, antara lain, pengajar,
pelajar dan realitas dunia. Pada model pendidikan konvensional,
pelajar hanya dijadikan sebagai obyek didik yang hanya mempunyai
peran DDCH (Duduk Dengar Catat Hafal) dan guru berperan sebagai
subyek yang menguasai jalannya pendidikan secara mutlak. Di sini
siswa

didesain

untuk

menjadi

prototipe

gurunya,

sehingga

menimbulkan suatu anggapan bahwa mereka harus sama persis seperti


halnya gurunya secara keseluruhan karena figur guru merupakan suatu
sosok yang sempurna dan sangat patut untuk dijadikan idola.
Modal pendidikan konvensional seperti ini pada jaman modern
dianggap menyalahi kodrat manusia, karena akan membuat siswa
34

Ibid, hal. 69.

35

Bobby de Porter dan Mike Hernacki, Op.Cit, hal. 266-267.

55

menjadi terhalang daya kreatifitasnya disebabkan oleh adanya


penekanan dari pihak guru sebagai subyek dan murid hanya sebatas
obyek yang harus sendiko dhawuh pada setiap perkataan atau
perintah guru tanpa mempunyai kebebasan dalam mengembangkan
potensi yang dimilikinya. Menyikapi kondisi yang demikian, John
Dewey dan William H. Killpatrik yang dikutip oleh Cece Wijaya
dalam bukunya yang berjudul Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan
Dan Pengajaran mengemukakan pendapatnya tentang pembaharuan
dalam pendidikan dan pengajaran, mereka berpendapat bahwa sekolah
itu harus menjadi tempat para siswa untuk memperoleh pengalaman
langsung dari lapangan bahkan setiap pengalaman belajar itu haruslah
bermakna, dan memberi kesempatan memiliki pemahaman yang
mendalam, mengembangkan sikap dan apresiasi dengan menghormati
segala perbedaan yang ada pada siswa baik pikirannya maupun
perasaannya.36
Hal ini didukung pula oleh pendapat Paolo Freire yang
menganut paham pendidikan pendidikan yang membebaskan, yaitu
proses dimana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan
mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis,37bukan hanya
membuat peserta didik menjadi semacam obyek pendidikan yang
akhirnya akan mematikan kreativitas dan potensi yang ada pada diri
setiap orang (peserta didik) yang dianggap sebagai tindakan yang tidak
memanusiakan manusia. Hal ini dikarenakan telah menyalahi kodrat
manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi dan kreativitas
yang bisa dikembangkan setinggi mungkin. Pendidikan dilihat sebagai
kegiatan untuk mengembangkan individu-individu yang bukan saja
bersifat sebagai preservator kebudayaannya, tetapi juga sebagai kreator
kebudayaan.38 Dengan mematikan kreativitas seorang siswa berarti
36

Colin Rose, op.cit, hal. 94.

37

Paolo Freire, Politik Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 176.
Toto Rahardjo, dkk., op.cit, hal. 22.

38

56

hanya membuat siswa menjadi preservator kebudayaan, bukannya


menjadikannya sebagai kreator kebudayaan.
Segala hasil pendidikan adalah hasil usaha anak dalam
mendidik dirinya sendiri. Perkembangan anak didik dapat dipaksakan
dari luar, tetapi harus timbul dari dalam diri sendiri. Maka anak didik
harus

diberi

kebebasan

dalam

segala

tingkah

lakunya

atau

kreatifitasnya.39
Model pendidikan yang membebaskan ini kemudian lebih
dikenal dengan istilah student centered, di mana siswa menjadi pusat
dari kegiatan belajar mengajar dan mempunyai peran yang sangat
besar dalam keberhasilan pendidikannya, sedangkan guru hanya
berperan sebagi motivator dan fasilisator bagi anak didiknya. Pada
sekitar pertengahan abad ke-20, istilah student centered diperhalus ke
dalam istilah yang lebih cocok menggambarkan

kedudukan siswa

sebagai subyek belajar, istilah itu adalah student active learning, yang
kemudian diterjemahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).40
Pendekatan keterampilan proses CBSA adalah suatu pendekatan yang
pada umumnya diawali oleh sebuah pengamatan kemudian melaju ke
dalam kegiatan penafsiran, peramalan, sampai pada kegiatan
pemajangan hasil belajar.
Cara belajar seperti ini akan membawa kemudahan bagi siswa
untuk memahami konsep dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan lain
mengapa keterampilan ini perlu diterapkan adalah bahwa:
a. Kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat relatif. Ilmu itu selalu
berubah dan berkembang dan selalu menumbuhkan ilmu baru, oleh
sebab itu CBSA dianggap paling cocok karena proses
pembelajaran untuk pengembangan konsep tidak terlepas dari
pemahaman sikap dan nilai dalam diri anak didik.

39
40

A.G. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung, t.th., hal. 82.

H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, PT..


Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 200.

57

b. Perubahan cara penyajian mungkin pula terjadi karena munculnya


konsep pendidikan 9 tahun. Perubahan ini akan membawa efek
juga pada perubahan silabus dan buku pelajaran.
c. Hal yang bertalian dengan kualitas pendidikan selama 10 tahun
dari tahun 1970 sampai dengan 1980 menuntut perubahan dalam
strategi pembelajaran yang sesuai dengan kehendak tujuan
pendidikan kita. Relevansi dan efisiensi pendidikan harus lebih
diperhatikan dengan seksama agar proses pendidikan dapat
dipertanggungjawabkan dengan seksama. 41
Pendekatan

CBSA

bertujuan

menerapkan

cara

belajar

bermakna untuk mengembangkan proses berfikir kritis pada setiap


murid di setiap mata pelajaran, seperti usaha menumbuhkan dinamika
kelompok dalam tugas dan latihan, usaha menumbuhkan suasana yang
persuasif dalam kelas, diskusi, tanya jawab dan ceramah. Agar dapat
mencapai suasana tersebut di atas, maka guru diminta untuk:
a. Memiliki keterampilan mengenal siswa tentang perbedaan dan
persamaannya, terutama dalam hal keterampilan mengenal
kemampuan belajarnya.
b. Keterampilan menumbuhkan dorongan kreatif pada setiap murid.
c. Keterampilan menumbuhkan proses belajar yang relevan dengan
suasana kehidupan dalam masyarakat.
d. Keterampilan mengenal kebutuhan dan minat siswa yang lebih tua
dan masih muda.42
Dengan melaksanakan pendekatan keterampilan belajar CBSA,
maka diharapkan setiap murid mendapat kesempatan seluas mungkin
untuk dapat:
a. Menyerap informasi masuk dalam struktur kognisinya atau
menyesuaikan pada struktur baru sehingga tercapai kebermaknaan
optimal
b. Menghayati sendiri peristiwa yang dipelajari agar terjadi proses
afektif dan internalisasi nilai.
c. Melakukan langsung akktivitas operasionalnya, sehingga memiliki
konseptualisasi
teoretik
dan
operasionalisasinya
atau
fungsionalisasinya. 43
41

Cece Widjaya, dkk., op.cit, hal. 159.

42

Ibid, hal. 161.

43

Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta,
2000, hal. 138.

Anda mungkin juga menyukai