Soegarda Poerba Kawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, PT. Gunung
Agung, Jakarta, 1982, hal. 257.
3
Toto Rahardjo, dkk., Pendidikan Popular, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 40.
35
36
hal. 20.
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
37
tanpa
ada
langkah
konkret
untuk
merubahnya
maka
pendidikan
yang
variatif
(sesuai
dengan
tuntutan
dan
38
semacam ini (modern), maka diharapkan mutu pendidikan akan naik dan
akhirnya akan berdampak bagi kemajuan bangsa dan negara.
6
W.J.S. Poerwadarminta, dkk., Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 788.
39
Keempat prinsip tersebut sekiranya cukup mewakili dari prinsipprinsip pendidikan yang lain. Dengan demikian cukup memberikan
gambaran mengapa prinsip-prinsip pendidikan modern tersebut menjadi
begitu penting bagi para pelajar untuk meraih kesuksesan di dalam
menempuh pendidikan.
Kecerdasan emosional (EQ) kami kemukakan disini karena untuk
mengubah persepsi orang umum yang menganggap bahwasanya seseorang
akan berhasil dalam menempuh pendidikan apabila mempunyai akal yang
cerdas (IQ yang tinggi), hal ini tidak sepenuhnya benar, karena di samping
faktor IQ tersebut ada faktor lain yang sangat mendukung dan mempunyai
peran yang besar dalam kesuksesan pendidikan seseorang, yang salah satu
diantaranya adalah EQ. IQ menyumbang 20 persen bagi faktor-faktor yang
menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen adalah diisi oleh
kekuatan-kekuatan lain.7 Kecerdasan tingkat tinggi memadukan EQ
dengan IQ, dan tidak hanya mempertahankan kemampuan berfungsi, tetapi
juga menjadikannya lebih hebat.8
Sedangkan prinsip kesenangan dalam belajar dimaksudkan sebagai
sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan yang berusaha mengubah
pandangan masyarakat bahwasanya belajar adalah suatu usaha yang
membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi, sehingga apabila seseorang
menginginkan kesuksesan maka orang tersebut haruslah mau bersusah
payah demi tercapainya kesuksesan dalam belajar. Adanya susah payah
inilah yang kemudian menciptakan opini di masyarakat bahwasanya
belajar merupakan suatu beban yang sangat tidak mengenakan dan tidak
menyenangkan bagi siapapun juga.
Hal ini bertentangan dengan prinsip pendidikan modern yang justru
beranggapan bahwa: Belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana
6.
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, PT. Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 44.
Robert, K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ, PT. Gramedia, Jakarta, 2002, hal.
40
Gordon Dryden dan Jeanette Vos, Revolusi Cara Belajar, Kaifa, Bandung, 2000, hal.
23.
10
41
untuk bertindak.11 Dalam hal ini emosi merupakan gejolak jiwa yang
bersifat naluriah yang selalu menyertai perasaan manusia. Emosi di
mata masyarakat awam mempunyai konotasi yang negatif dan
dianggap sebagai pemicu segala kejadian yang tidak menyenangkan
yang dialami oleh manusia.
Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongangolongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang penggolongan
ini, golongan tersebut antara lain :
a. Amarah : mengamuk, benci, jengkel, kesal, tersinggung,
bermusuhan, tindak kekerasan.
b. Kesedihan: sedih, muram, mengasihani diri, kesepian, putus asa,
depresi berat.
c. Rasa takut : cemas, takut, khawatir, was-was, waspada, panik.
d. Kenikmatan : bahagia, puas, riang, bangga, terpesona, takjub
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, rasa dekat, bakti,
hormat, kasmaran.
f. Terkejut : terkesiap, terpana.
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka.
h. Malu : rasa salah, kesal hati, sesal, hina, aib, hati hancur.12
Kecerdasan
memotivasi
diri
emosional
sendiri
dan
merupakan
bertahan
kemampuan
menghadapi
untuk
frustasi;
dengan
baik. Oleh
karena pentingnya
12
13
42
pandangan
moral,
simpatik
dan
hangat
dalam
43
belajar, maka dia akan mudah untuk berputus asa dan akhirnya
berakibat pada terhambatnya kesuksesan dalam belajar.
Misalnya dalam mata pelajaran
Faraid,
seorang
anak
mempelajari
bab
tersebut
karena
dia
merasa
bahwa
sesungguhnya ternyata masih banyak hal yang belum dia mengerti dan
belum dikuasainya. Dengan tekun anak tersebut terus belajar dan
mencari bimbingan dari orang lain untuk membantunya dalam
memahami bab tersebut sampai akhirnya dia betul-betul memahami
dan menguasai bab tersebut. Berbeda halnya apabila anak tersebut
langsung menyerah setelah mengetahui bahwa dirinya kesulitan dalam
memahami bab tersebut kemudian membuatnya merasa tidak mampu
dan tidak mampu terus berusaha, maka hasilnya dia akan menjadi
benar-benar tidak bisa menguasai materi pelajaran tersebut.
Kecerdasan emosional didasari oleh kecerdasan pribadi dan
ditandai dengan beberapa kemampuan, antara lain:
a. Mengenali emosi diri. Kemampuan untuk memantau perasaan dari
waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi
dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan
kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuatan
perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang
perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka,
karena mempunyai kepekaan lebih tinggi atas perasaan mereka
yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan
masalah pribadi.
b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Orang-orang yang buruk
dalam pengelolaan keterampilan ini akan terus menerus bertarung
melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat
segera bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan
dan kejatuhan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri. Kendali diri emosional menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah
landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang
44
14
45
untuk
membuat
belajar
itu
menjadi
sesuatu
yang
Bobbi De Porter dan Mike Herracki, Quntum Learning, Kaifa, Bandung, 1999, hal. 8.
16
17
Dave Meier, The Accelerated Learning, Kaifa, Bandung, 2001, hal. 60.
46
Segalanya berbicara
Segalanya bertujuan
Pengalaman sebelum pemberian nama
Akui setiap usaha
Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan.19
Untuk lebih jelasnya akan kami ketengahkan penjelasan dari
segmen-segmen di atas:
a. Segalanya berbicara, hal ini berhubungan dengan penataan
lingkungan, lingkungan yang ditata dan diatur dengan baik akan
memacu semangat belajar. Hal ini berkaitan dengan adanya
kemitraan antara otak dan mata, dimana gerakan mata selama
belajar dan berpikir terikat pada modalitas visual, auditorial dan
kinestetik20. Dengan kata lain, mata kita bergerak menurut cara
otak mengakses informasi. Umumnya jika mata bergerak naik,
maka kita sedang menciptakan atau mengingat citra, misalnya jika
18
Collin Rose, Kuasai Lebih Cepat, Kaifa, Bandung, 2002, hal. 27.
19
Bobby De Porter, Mark Reardon & Sarah Singer Nourie, Quantum Teaching, Kaifa,
Bandung, 2002, hal. 7-8.
20
47
21
48
tersebut.
Sedangkan
pemotongan
bersegmen
dan
siswa
akan
menjadi
terbuka
pikirannya
dan
22
49
benar. Setelah itu baru kemudian diberikan teori wudhu yang baik
dan benar di kelas. Maka siswa akan menjadi lebih memahaminya
karena sebelumnya sudah mengalaminya sehingga dia akan dapat
menjodohkan secara tepat antara perbuatan (pengalaman) yang dia
dapat dengan teori yang dia terima, dan hal ini akan dapat
mengakar secara kuat ke dalam ingatan siswa karena berhubungan
dengan emosi atau perasaan siswa secara langsung.
d. Akui setiap usaha
Pengakuan setiap usaha yang telah dilakukan oleh setiap
orang
(terutama
bagi
siswa
yang
sedang
dalam
masa
menjadi
turun
dan
enggan
untuk
mengejar
50
untuk
membuatnya
dapat
termotivasi
mengulanginya
untuk
lagi,
bagaimana
dan
agar
hal
ini
dapat
mengalaminya.
Perayaan tidak harus dilaksanakan dengan pengadaan pesta
atau pemberian hadiah, tapi juga bisa dilaksanakan dengan
pemberian tepuk tangan, ucapan hore, ataupun semacam pujian,
karena ini hanyalah suatu alat untuk melepaskan kepenatan dan
memunculkan emosi positif yang baru untuk bisa dimanfaatkan
dimasa-masa selanjutnya.
c). Cepat dan Efektif
Belajar pada hakekatnya bisa dilakukan dengan cepat dan
efektif akan tetapi hal ini baru dapat dilakukan apabila dilakukan
dengan gaya dan kekuatan masing-masing pribadi.24 Gaya belajar
merupakan cara orang untuk menyerap dan menyimpan informasi baru
dan sulit dalam berpikir atau berkonsentrasi. Masing-masing orang
mempunyai gaya yang cocok dengan dirinya, dan tidak ada gaya yang
superior atau lebih baik karena pada intinya setiap gaya dapat menjadi
efektif dengan caranya sendiri menurut kadar kecocokannya. Gaya
belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan
kemudian mengatur serta mengolah informasi.
23
Ibid, hal. 31
24
51
25
Bobby de Porter dan Mike Hernacki, Op.Cit, hal. 110. Lihat juga Dave Meier, Ibid.,
hal. 90-91.
26
27
52
28
29
30
31
53
a. Membaca cepat
Mata menerima informasi jauh lebih cepat daripada telinga,
tetapi kebanyakan orang masih ingin mendengar perkataan dalam
benak mereka seraya membaca, meskipun sebenarnya tidak perlu
begitu. Dengan menuntut untuk mendengar setiap kata, kita benarbenar melambatkan pembacaan kita. Kita hanya dapat mendengar
perkataan sekitar 250 kata per menit, tetapi kita dapat melihat kata
dengan kecepatan 2.000 kata per menit atau lebih.32 Sebetulnya
kita tidak perlu harus melihat setiap kata untuk memahami materi
yang kita baca. Kesalahannya adalah membaca kata biasanya
bukan kata itu sendiri yang penting, melainkan gagasan yang
disampaikan kata-kata tersebut.
Untuk
dapat
membaca
dengan
cepat,
kita
bisa
32
33
54
b. Menggunakan pencitraan
Pencitraan mengandung arti bahwa seolah-olah anda hanya
akan menggunakan indra visual.35 Hal ini diartikan bahwa sebelum
kita memulai mengerjakan sesuatu, seakan kita sudah mampu
melihat hasilnya. Dengan pencitraan, kita berada dalam alam
imajinasi yang kita ciptakan dengan melibatkan seluruh indra yang
ada pada diri kita sehingga seakan-akan kita benar-benar ada dalam
alam nyata dan dapat merasakannya dengan sesungguhnya.
Pencitraan memberi manfaat membantu pikiran untuk
menyelaraskannya dengan tubuh, hal ini bisa terjadi karena orang
telah terbiasa melakukannya dalam pikirannya sehingga tidak
ada hambatan yang terlalu berarti ketika melakukannya di dunia
nyata.
d). Kebebasan Berkembang
Pendidikan mempunyai tiga unsur utama, antara lain, pengajar,
pelajar dan realitas dunia. Pada model pendidikan konvensional,
pelajar hanya dijadikan sebagai obyek didik yang hanya mempunyai
peran DDCH (Duduk Dengar Catat Hafal) dan guru berperan sebagai
subyek yang menguasai jalannya pendidikan secara mutlak. Di sini
siswa
didesain
untuk
menjadi
prototipe
gurunya,
sehingga
35
55
37
Paolo Freire, Politik Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 176.
Toto Rahardjo, dkk., op.cit, hal. 22.
38
56
diberi
kebebasan
dalam
segala
tingkah
lakunya
atau
kreatifitasnya.39
Model pendidikan yang membebaskan ini kemudian lebih
dikenal dengan istilah student centered, di mana siswa menjadi pusat
dari kegiatan belajar mengajar dan mempunyai peran yang sangat
besar dalam keberhasilan pendidikannya, sedangkan guru hanya
berperan sebagi motivator dan fasilisator bagi anak didiknya. Pada
sekitar pertengahan abad ke-20, istilah student centered diperhalus ke
dalam istilah yang lebih cocok menggambarkan
kedudukan siswa
sebagai subyek belajar, istilah itu adalah student active learning, yang
kemudian diterjemahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).40
Pendekatan keterampilan proses CBSA adalah suatu pendekatan yang
pada umumnya diawali oleh sebuah pengamatan kemudian melaju ke
dalam kegiatan penafsiran, peramalan, sampai pada kegiatan
pemajangan hasil belajar.
Cara belajar seperti ini akan membawa kemudahan bagi siswa
untuk memahami konsep dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan lain
mengapa keterampilan ini perlu diterapkan adalah bahwa:
a. Kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat relatif. Ilmu itu selalu
berubah dan berkembang dan selalu menumbuhkan ilmu baru, oleh
sebab itu CBSA dianggap paling cocok karena proses
pembelajaran untuk pengembangan konsep tidak terlepas dari
pemahaman sikap dan nilai dalam diri anak didik.
39
40
A.G. Soejono, Aliran Baru Dalam Pendidikan, CV. Ilmu, Bandung, t.th., hal. 82.
57
CBSA
bertujuan
menerapkan
cara
belajar
42
43
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta,
2000, hal. 138.