Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
bersama dengan 80 spesies kerabat liarnya, yang merupakan sumberdaya genetika ternak di
bumi ini yang berperanan penting untuk pangan dan produksi pertanian.3
Sumber daya genetik (ternak) yang merupakan wujud keanekaragaman hayati, ialah
material genetik, yaitu bahan dari binatang/ternak yang mengandung unit-unit fungsional
pewarisan sifat (hereditas). Kepentingan dan penggunaan sumberdaya ini untuk kepentingan
manusia, mencakup informasi yang berkenaan dengan ekspresi genetik untuk menambahkan
nilai pemanfaatannya. Nilai pemanfaatan ini terkandung di dalam sifat-sifat yang terdapat
pada dan proses-proses yang berlangsung di dalam makhluk hidup. Berdasarkan kandungan
ini, sumber daya genetik mempunyai nilai manfaat, baik secara nyata maupun secara
potensial, sebagai bahan pangan, tenaga kerja, pakaian, dan kebutuhan dasar manusia lainnya
yang harus selalu tersedia. Oleh karena itu, pengelolaan, akses, dan penanganan selanjutnya
harus menjadi kepedulian manusia.4
Pemanfaatan sumber daya genetik ternak, yang selanjutnya disingkat SDGT, telah
dikembangkan menjadi beranekaragam material genetik dalam wujud berbagai macam
rumpun (breed), galur, dan atau strain ternak, baik rumpun/galur/strain lokal dan introduksi
(moderen), maupun kerabat liarnya. Pemanfaatan SDGT telah diterapkan secara langsung dan
atau melalui proses pemuliaan. Selain langsung dimanfaatkan, SDGT dapat juga dijadikan
2Sangat sedikit spesies ternak yang berhasil didomestikasi. Domestikasi merupakan
proses yang komplek dan bertahap, yang mengubah kelakuan dan karakteristik
morfologi ternak dari tetuanya. Kondisi dan tekanan yang menyebabkan domestikasi
ternak masih tidak jelas dan mungkin bervariasi dari satu area geografis ke area lain dan
dari satu spesies ke spesies lain. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Status Terkini Dunia Sumber Daya Genetik Ternak untuk Pangan dan Pertanian, 2009,
h.6
3 Bambang Setiadi dan Kusuma Diwyanto, Pengelolaan Berkelanjutan Sumber Daya Genetik
Ternak, Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia:
Manfaat Ekonomi untuk Mewujudan Ketahanan Nasional, h.34
4 Ibid.
2
cadangan kesesuaian genetik untuk menjadi penyangga terhada lingkungan yang tidak
bersahabat dan terhadapat perubahan ekonomi. Kebutuhan manusia terhadap pangan terus
menerus meningkat, sehingga tersedianya SDGT menjadi sangat penting. Kepentingan ini
telah mendorong petani dan pemulia ternak untuk menciptakan rumpun/galur/strain baru
ternak dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai nyata yang lebih tinggi. Disatu pihak,
petani mengembangkan rumpun ternak secara tradisional dengan jangka waktu penggunaan
yang relatif lebih lama, sehingga rumpun/galur yang dikembangkan selalu dilestarikan dan
dirawat secara turun temurun menjadi ras temurun (landrace). Dipihak lain pemulia ternak
selalu berusaha menciptakan rumpun/galur/strain baru ternak yang lebih produktif, dalam
waktu yang relatif lebih singkat dengan menggunakan teknologi moderen. Dalam upayanya
ini, tidak jarang rumpun/galur/strain introduksi/moderen hasil pemuliaan akan menggeser
rumpun/galur lama. Perkembangan pembuatan rumpun/galur/strain baru ini berlangsung
terus menerus, sehingga rumpun/galur/strain baru lama akan menjadi rumpun/galur/strain
lama yang akan tergeser oleh rumpun/galur/strain yang lebih moderen, dengan akibat makin
menyusutnya keanekaragaman sumber daya genetik.5
Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini
pemanfaatan sumber daya genetik tidak terbatas pada sumber daya genetiknya saja tetapi juga
terhadap produk turunannya (derivatives) dari sumber daya genetik tersebut. Produk turunan
merupakan suatu senyawa biokimia alami yang dihasilkan dari ekspresi genetik atau hasil
metabolisme sumber daya hayati atau genetik. produk turunannya tersebut dapat berupa:
Individu hasil persilangan/perkawinan/metode lainnya, Bahan aktif dari hasil metabolisme
sumber daya genetik, Enzim, dan gen.6
5 Ibid., h.34-35
6 Ibid
3
untuk kepentingan bangsa sendiri merupakan sinergi yang saling mendukung dalam
memperoleh manfaat dari potensi SDG. Dengan melihat kondisi yang ada saat ini, yang
umumnya terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, ternyata sistem HKI
belum mampu mendorong potensi ekonomi nasional dari pemanfaatan SDG dan justru
semakin meningkatkan terjadinya suatu missappropriation atau biopioracy.9
Kenyataan menunjukkan bahwa setiap negara mempunyai ketergantungan pada
negara lain untuk memenuhi kebutuhan sumber daya genetiknya. Oleh karena itu,
keanekaragaman SDGT yang sangat diperlukan untuk pemuliaan dapat menjadi perselisihan
apabila aksesnya tidak dikendalikan dengan cara diatur dan dikoordinasikan. Sejarah
membuktikan bahwa siapapun yang menguasai sumber daya genetik akan memegang
kendali. Negara maju dan negara yang mempunyai keunggulan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan mempunyai peluang yang lebih besar dalam memanfaatkan tersedianya
SDGT. Kedudukan hukum dari sumber daya genetik ternak masih sangat lemah karena
dinyatakan sebagai public domain, sehingga akses dapat dilakukan secara bebas. Tidak ada
saluran hukum atau standar perlindungan terhadap sumber daya genetik.10
Perkembangan rezim hukum internasional yang terkait dengan SDG yaitu Konvensi
Keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) yang disahkan pada tahun 1992
hasil dari konferensi dunia tentang pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup yang
juga dekenal degan Earth Summit. Konvensi ini berkenaan dengan upaya pelestarian SDG
yang diakui memiliki nilai ekologi, gen, sosial, ekonomi, ilmiah, edukasi, budaya, rekreasi,
dan estetik, serta pentingnya SDG bagi evolusi dan mempertahankan keberlangsungan sistem
hidup di dunia. Masalah akses terhadap sumber daya genetik mulai banyak dibicarakan
9 Dede Mia Yusanti, Op.Cit.
10 Bambang Setiadi dan Kusuma Diwyanto, Op.Cit., h. 35
5
pendayagunaan sumber daya genetik harus dibagi secara adil dan merata kepada pemilik
sumber daya tersebut. Kegiatan akses terhadap sumber daya genetik pada umumnya telah
dilakukan melalui hubungan antar peneliti, antar institusi, maupun antar negara dan
dipergunakan untuk keperluan penelitian serta untuk tujuan pemuliaan.11
CBD secara khusus membahas prinsip-prinsip dan langkah-langkah kongkrit bagi
pelestarian keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara bijaksana untuk kepentingan
generasi sekarang dan generasi mendatang. Keistimewaan konvensi ini yaitu diakuinya
kedaulatan negara untuk memaanfaatkan sumber daya hayati yang dimilikinya sepanjang
sesuai dengan kebijakan lingkungan pada negara lain. Pengakuan atas hak kedaulatan negara
atas SDG merupakan lanjutan usaha negara berkembang untuk memperoleh pengakuan
hukum internasional atas peran negara dalam mengontrol pemanfaatan SDG yang berada di
wilayahnya sebagaimana telah diperjuangkan dalam forum FAO12 sebelumnya. Disamping
pengakuan hak kedaulatan negara atas SDG di wilayahnya, CBD juga mengatur pelestarian
dan pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan dengan pembagian keuntungan
yang adil dari pemanfaatannya, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, transfer
teknologi yang dapat dilakukan dengan syarat yang ringan termasuk paten yang dikandung di
dalamnya, yang berprinsip bahwa paten atau hak kekayaan intelektual harus mendukung
pelestarian keragaman hayati, bukan erosinya.
Keterkaitan antara pemanfaatan sumber daya genetik dalam hal perdagangan13, baik
dalam taraf internasional maupun nasional, tidak akan terlepas dari berbagai perjanjian
internasional antar negara. Menggunakan intelektualitas dalam memanfaatkan sumber daya
genetik untuk menghasilkan sebuah penemuan baru, mengindikasikan bahwa sumber daya
genetik secara tidak langsung masuk dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. HKI 14 bertujuan
untuk memberikan insentif atas hasil penelitian dan pengembangan terkait SDG yang
memiliki nilai tambah secara ekonomi (lebih baik dan lebih murah). Fokus HKI yaitu
mengembangkan SDG (apapun harganya) untuk mendapatkan SDG baru yang lebih
memenuhi kebutuhan masyarakat, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas.
Perbedaan tujuan dan fokus antara kedua prinsip, jelas bisa menimbulkan konflik yang serius
dan bahkan saling memperlemah satu sama lain. Padahal di sisi lain, keduanya mengakui
pentingnya prinsip dalam mempertahankan keberlanjutan keberadaan umat manusia di muka
13 Pada hakikatnya, TRIPs mengandung empat kelompok pengaturan. Pertama, yang mengaitkan
hak kekayaan intelektual dengan konsep perdagangan internasional. Kedua yang mewajibkan negaranegara anggota untuk mematuhi Paris Convention dan Berne Convention. Ketiga, menetapkan aturan
atau ketentuan sendiri. Keempat, yang merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum termasuk
upaya penegakan hukum yang terdapat dalam legislasi negara-negara anggota. Di samping merujuk
Paris Convention dan Berne Convention, TRIPs merujuk beberapa perjanjian internasional. Achamd
Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS, Alumni, Bandung, 2005, h.21-22
14 Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio manusia yang menalar. Hasil kerja tersebut berupa
benda immateril (benda tidak berwujud). Hak kekayaan intelektual merupakan hasil kegiatan manusia
yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk
penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud
dalam bidang seni, industri, dan atau ilmu pengetahuan. Menurut sejarah kelahirannya, Hak Kekayaan
Intelektual merupakan bentuk baru dari pengembangan hak milik konvensional atas suatu benda
bergerak yang tidak berwujud (intangible property). Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta
Indonesia-Analisis Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, H. 4.
7
bumi ini. Oleh karena itu, suatu jalan tengah diperlukan untuk menemukan titik temu antar
kedua prinsip di atas.15
Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Intellectual Property Right (IPR), dideskripsikan
sebagai hak kekayaan intelektual yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. IPR
pada prinsipnya merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan
menjadi suatu lembaga hukum yang disebut Intellectual Property Right. Secara substantif,
pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia. Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa, HKI
merupakan pengakuan dan penghargaan pada seseorang atau badan hukum atas penemuan
atau penciptaan karya intelektual mereka dengan memberikan hak-hak khusus bagi mereka
baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. HKI merupakan hak yang berasal dari hasil
kegiatan intelektual manusia yang mempunyai manfaat ekonomi.16
Perjanjian TRIPs dapat dipandang sebagai salah satu dasar multilateral yang paling
komprehensif yang berhubungan dengan potensi-potensi halangan perdagangan internasional
yang bukan tarif. Dalam kerangka mencapai tujuan utama TRIPs untuk menghapus halangan
perdagangan internasional, perjanjian ini menegaskan dan mengintegrasikan beberapa rezim
Hak Kekayaan Intelektual yang telah diatur secara tersebar dalam berbagai konvensi
internasional sebelumnya. Selain itu, TRIPs memperluas cakupan perlindungan dengan
menambahkan beberapa rezim baru seperti rahasia dagang atau informasi rahasia (Trade
Secret or Confidental Information) dan menjadikan ketentuan-ketentuannya lebih kuat
dengan mensyaratkan ketaatan mutlak dari anggota-anggotanya. Salah satu rezim yang
dipertimbangkan untuk dilindungi oleh TRIPs yaitu Indikasi Geografis yang didukung kuat
15 Efridani Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, Alumni,
Jakarta, H. 144-145
16Afrillyanna Purba, dkk, 2005,Trips-WTO dan Hukum HKI Indonesia, Jakarta, Asdi Mahasatya, Hlm.12-13
8
oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya.
Oleh sebab itulah, dalam melestarikan dan memanfaatkan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkenaan dengan sumber daya genetik harus terpolakan dan
tercermin dalam pengetahuan, inovasi, dan praktik yang terkait. Serta perlu dikembangkan
pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamikan dan aspirasi masyarakat
hukum adat dan komunitas lokal.20 Ketentuan perlindungan Indikasi Geografis perihal
keterkaitan karakteristik, kualitas, dan reputasi sebuah Indikasi Geografis harus dipengaruhi
oleh Pengetahuan Tradisional mengindikasikan bahwan SDGT yang ter-influence oleh
pengetahuan tradisional memiliki kedudukan yang sama dengan produk pertanian, kerajinan
tangan, dan barang lainnya.
Upaya harmonisasi yang dilakukan Convention on Biological Diversity) dengan
tuntutan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya, telah dituangkan dalam keputusan COP
(conference of the parties) kedelapan tahun 2006. Menurut paragraf 13 putusan yang
dimaksud, diterangkan bahwa COP menugaskan Eksekutif CBD untuk berhubungan dengan
sekretariat WTO mengenai isu-isu relevan seperti HKI, mekanisme sanitasi dan fitosanitasi,
barang dan jasa lingkungan.
Hewan merupakan SDG yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan tanaman.
SDG hewan Indonesia juga merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat
besar, yang bahkan beberapa di antaranya merupakan terbesar di dunia. Peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kehewanan yang bersifat pemeliharaan dan perlindungan
langsung terhadap kekayaan SDG terbagi dua yaitu pengaturan penangkapan satwa liar dalam
konteks kehutanan berada dalam wewenang Departemen Kehutanan dan dalam konteks
peternakan.
Upaya perlindungan di Indonesia terhadap sumber daya genetik telah dilakukan
melalui alokasi sejumlah kawasan, baik di darat, di pesisir, maupun di laut untuk dijadikan
kawasan konservasi dalam berbagai bentuk seperti taman nasional, kawasan konservasi
daratan dan perairan, dan suaka margasatwa darat dan laut. Selain itu bertujuan untuk
melindungi sumber daya genetik, kawasan konservasi juga dimaksudkan untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan lautan dengan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Upaya lain yang telah dilakukan
termasuk membangun peta ekologi wilayah indonesia. Selain itu, perlindungan tersebut
dimaksudkan juga untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan
datang.
Secara umum, hewan dalam konteks peternakan telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menetapkan bahwa
sumber daya genetik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan negara atas sumber daya
genetik dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota berdasarkan sebaran asli geografis sumber daya genetik yang bersangkutan.
Sumber daya genetik dikelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarian. Pemanfaatan
sumber daya genetik dilakukan melalui pembudidayaan dan pemuliaan. Namun, diduga
pengaturan terhadap hewan ternak di Indonesia masih tidak dapat mengadopsi kedua prinsip
(hak kekayaan intelektual dan keanekaragaman hayati) mengingat konflik antara kedua
prinsip tersebut. Walaupun, pada kenyataannya kedua prinsip tersebut telah memberikan hak
12
seluas-luasnya untuk mengelola dan mengembangkan aturan dasar yang telah diperjanjikan
dalam perjanjian internasional. Perlindungan sumber daya genetik hewan ternak di Indonesia
diduga belum maksimal menyikapi kesempatan tersebut.
CBD atau Convention on Biological Diversity yang dikenal sebagai Konvensi
Keanekaragaman Hayati, merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum
yang diadopsi di Rio de Janeiro pada Juni 1992 yang diilhami oleh tumbuhnya komitmen
masyarakat dunia untuk pembangunan berkelanjutan. Ini menggambarkan langkah maju yang
dramatis dalam konservasi keanekaragaman hayati. Konvensi memiliki tiga tujuan utama
yaitu Konservasi keanekaragaman hayati (atau keanekaragaman hayati); Pemanfaatan
berkelanjutan komponen-komponennya; dan Pembagian keuntungan yang adil dan merata
yang timbul dari penggunaan sumber daya genetik.
Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk mengembangkan strategi nasional untuk
konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Hal ini sering dianggap
sebagai dokumen kunci tentang pembangunan berkelanjutan. Konvensi diakui untuk pertama
kalinya dalam hukum internasional bahwa konservasi keanekaragaman hayati adalah
"menjadi perhatian bersama umat manusia" dan merupakan bagian integral dari proses
pembangunan. Kesepakatan mencakup semua ekosistem, spesies, dan sumber daya genetik.
Ini link upaya konservasi tradisional untuk tujuan ekonomi menggunakan sumber daya hayati
secara lestari. Ini menetapkan prinsip- prinsip yang adil dan merata pembagian keuntungan
yang timbul dari penggunaan sumber daya genetik, terutama mereka yang ditakdirkan untuk
penggunaan
komersial.
Juga
mencakup
berkembang
pesat
bidang
bioteknologi
13
hukum; negara-negara yang bergabung (pihak) yang wajib untuk menerapkan ketentuanketentuannya.
Konvensi mengingatkan para pengambil keputusan bahwa sumber daya alam yang
tidak terbatas dan menetapkan filosofi dari penggunaan yang berkelanjutan. Sementara masa
lalu konservasi upaya-upaya yang ditujukan untuk melindungi spesies dan habitat tertentu,
Konvensi mengakui bahwa ekosistem, spesies dan gen harus digunakan untuk kepentingan
manusia. Namun, hal ini harus dilakukan dengan cara dan pada tingkat yang tidak mengarah
pada jangka panjang penurunan keanekaragaman hayati.
Konvensi juga menawarkan bimbingan para pengambil keputusan didasarkan
padaprinsip kehati-hatian bahwa di mana ada ancaman signifikan menurunnya atau hilangnya
keanekaragaman hayati, kurangnya kepastian ilmiah penuh tidak boleh digunakan sebagai
alasan untuk menunda tindakan untuk menghindari atau memperkecil ancaman tersebut.
Konvensi
mengakui
bahwa
diperlukan
investasi
besar
untuk
mengkonservasi
ekosistem dapat dilakukan pada skala ruang dan wilayah apapun, menempatkan manusia
sebagai bagian integral dari ekosistem, memerlukan pendekatan pengelolaan adaptif.
Pendekatan ekosistem tidak meniadakan pendekatan pelestarian dan pengelolaan lain
sepertibiosphere
reserves, protected
area, single-species
conservation,
melainkan
Principle 1:The objectives of management of land, water and living resources are a matter
of societal choices.
Different sectors of society view ecosystems in terms of their own economic, cultural and
society needs. Indigenous peoples and other local communities living on the land are
important stakeholders and their rights and interests should be recognized. Both cultural and
biological diversity are central components of the ecosystem approach, and management
should take this into account. Societal choices should be expressed as clearly as possible.
Ecosystems should be managed for their intrinsic values and for the tangible or intangible
benefits for humans, in a fair and equitable way.
Principle 2: Management should be decentralized to the lowest appropriate level.
Decentralized systems may lead to greater efficiency, effectiveness and equity. Management
should involve all stakeholders and balance local interests with the wider public interest. The
closer management is to the ecosystem, the greater the responsibility, ownership,
accountability, participation, and use of local knowledge.
Principle 3: Ecosystem managers should consider the effects (actual or potential) of their
activities on adjacent and other ecosystems.
Management interventions in ecosystems often have unknown or unpredictable effects on
other ecosystems; therefore, possible impacts need careful consideration and analysis. This
may require new arrangements or ways of organization for institutions involved in decisionmaking to make, if necessary, appropriate compromises.
Principle 4: Recognizing potential gains from management, there is usually a need to
understand and manage the ecosystem in an economic context. Any such ecosystemmanagement programme should:
a.
b.
c.
Internalize costs and benefits in the given ecosystem to the extent feasible.
The greatest threat to biological diversity lies in its replacement by alternative systems of
land use. This often arises through market distortions, which undervalue natural systems and
populations and provide perverse incentives and subsidies to favor the conversion of land to
less diverse systems.
Often those who benefit from conservation do not pay the costs associated with conservation
and, similarly, those who generate environmental costs (e.g. pollution) escape responsibility.
Alignment of incentives allows those who control the resource to benefit and ensures that
those who generate environmental costs will pay.
Principle 5: Conservation of ecosystem structure and functioning, in order to maintain
ecosystem services, should be a priority target of the ecosystem approach.
Ecosystem functioning and resilience depends on a dynamic relationship within species,
among species and between species and their abiotic environment, as well as the physical
and chemical interactions within the environment. The conservation and, where appropriate,
restoration of these interactions and processes is of greater significance for the long-term
maintenance of biological diversity than simply protection of species.
Principle 6: Ecosystem must be managed within the limits of their functioning.
In considering the likelihood or ease of attaining the management objectives, attention
should be given to the environmental conditions that limit natural productivity, ecosystem
structure, functioning and diversity. The limits to ecosystem functioning may be affected to
different degrees by temporary, unpredictable of artificially maintained conditions and,
accordingly, management should be appropriately cautious.
18
Principle 7: The ecosystem approach should be undertaken at the appropriate spatial and
temporal scales.
The approach should be bounded by spatial and temporal scales that are appropriate to the
objectives. Boundaries for management will be defined operationally by users, managers,
scientists and indigenous and local peoples. Connectivity between areas should be promoted
where necessary. The ecosystem approach is based upon the hierarchical nature of biological
diversity characterized by the interaction and integration of genes, species and ecosystems.
Principle 8: Recognizing the varying temporal scales and lag-effects that characterize
ecosystem processes, objectives for ecosystem management should be set for the long term.
Ecosystem processes are characterized by varying temporal scales and lag-effects. This
inherently conflicts with the tendency of humans to favour short-term gains and immediate
benefits over future ones.
Principle 9: Management must recognize the change is inevitable.
Ecosystems change, including species composition and population abundance. Hence,
management should adapt to the changes. Apart from their inherent dynamics of change,
ecosystems are beset by a complex of uncertainties and potential "surprises" in the human,
biological and environmental realms. Traditional disturbance regimes may be important for
ecosystem structure and functioning, and may need to be maintained or restored. The
ecosystem approach must utilize adaptive management in order to anticipate and cater for
such changes and events and should be cautious in making any decision that may foreclose
options, but, at the same time, consider mitigating actions to cope with long-term changes
such as climate change.
Principle 10: The ecosystem approach should seek the appropriate balance between, and
integration of, conservation and use of biological diversity.
19
Biological diversity is critical both for its intrinsic value and because of the key role it plays
in providing the ecosystem and other services upon which we all ultimately depend. There
has been a tendency in the past to manage components of biological diversity either as
protected or non-protected. There is a need for a shift to more flexible situations, where
conservation and use are seen in context and the full range of measures is applied in a
continuum from strictly protected to human-made ecosystems
Principle 11: The ecosystem approach should consider all forms of relevant information,
including scientific and indigenous and local knowledge, innovations and practices.
Information from all sources is critical to arriving at effective ecosystem management
strategies. A much better knowledge of ecosystem functions and the impact of human use is
desirable. All relevant information from any concerned area should be shared with all
stakeholders and actors, taking into account, inter alia, any decision to be taken under
Article 8(j) of the Convention on Biological Diversity. Assumptions behind proposed
management decisions should be made explicit and checked against available knowledge and
views of stakeholders.
Principle 12: The ecosystem approach should involve all relevant sectors of society and
scientific disciplines.
Most problems of biological-diversity management are complex, with many interactions,
side-effects and implications, and therefore should involve the necessary expertise and
stakeholders at the local, national, regional and international level, as appropriate.
Prinsip-prinsip pendekatan ekosistem
1. Tujuan pengelolaan tanah, air dan sumber daya hidup yang soal pilihan masyarakat.
2. Pengelolaan harus didesentralisasikan ke tingkat yang sesuai terendah.
3. Ecosystem managers harus mempertimbangkan dampak (aktual atau potensial) dari
mereka kegiatan yang berdekatan dan ekosistem lainnya.
20
keanekaragaman
hayati
dan
pemanfaatan
mempromosikan
berkelanjutan;
(c)
21
13.
DAFTAR BACAAN
Achamd Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS, Alumni, Bandung, 2005
____________________, Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis, Alumni, Jakarta,
2011
Andriana Krisnawati dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman,
RajaGrafindo Persada, Bandung, 2004
Afrillyanna Purba, dkk, Trips-WTO dan Hukum HKI Indonesia, Jakarta, Asdi Mahasatya,
2005
Agnes Vira Ardian, 2008, Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam
Kesenian Tradisional di Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2009
Arthur R. Miller, dkk, Intellectual Property Patents, Trademarks, and Copyright, West
Publishing, United States of America, 1990
Bambang Setiadi dan Kusuma Diwyanto, Pengelolaan Berkelanjutan Sumber Daya Genetik
Ternak, Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik
di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudan Ketahanan Nasional
Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif,
Alumni, Bandung, 2011
Budi Agus dan Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta 2004
Dede Mia Yusanti, Perlindungan Sumber Daya Genetik Melalui Sistem Hak Kekayaan
Intelektual, Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya
Genaetik di Indonesia, Banten
Efridani Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, Alumni, Jakarta
Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia-Analisis Teori dan Praktik, Citra Aditya
Bakti, 2012
Eva Damayanti, Hukum Merek Tanda Produk Industri Budaya dikembangkan dari Ekspresi
Budaya Tradisional, Bandung, 2012
Keith E. Maskus, Intellectual Property Rights in The Global Economy, Institute for
International Economics, Washington, 2000
MartinAdelman, dkk, Global Issues in Patent Law, Thomson Reuters, United States Of
America, 2011
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis,
Alumni, Bandung
22
Diakses pada
23