Anda di halaman 1dari 9

Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba

Rugi)
Produk akhir dari proses akuntansi, yang paling penting, adalah laporan
keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, manajemen, pemilik
perusahaan, dan sesiapapun yang berkepentingan, bisa mengetahui kondisi
keuangan perusahaan. Ironinya, dari sekian banyak pihak yang berkentingan
atas produk ini, yang sungguh-sungguh memahami logika laporan keuangan
tidak banyak. Dan itu bisa dimengerti karena mereka memang berasal dari
kalangan yang berbeda-bedamungkin malah lebih banyak yang dari luar
akuntansi dan keuangan.
Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat laporan
itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik laporan
keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah saya temukan
berkali-kali.
Mana mungkin. Bukankah orang-orang accounting memang dididik dan ditempa
sejak di bangku kuliahuntuk sungguh-sungguh menguasai akuntansi?
Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang harus
dijawab oleh rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di kampuskampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit ketimbang isinya.
Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak akuntansi yang bisa menjurnal
dan membuat laporan keuangan tetapi tidak sungguh-sungguh memahami logika
atas apa yang mereka buat.
Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar. Tetapi
begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri darimana
sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu memberikan masukan
yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan. Lebih parahnya lagi, bahkan
untuk sekedar menjelaskan mengapa bisa demikian?-pun tidak bisa.
Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan angka
laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab karena cost-nya
tinggi, nanti terjebak sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya menunjukan
angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah berarti aktivitas produksi
juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?

3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang
signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan
keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi mengapa
tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?

Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika akuntansi


yang sangat sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua perusahaan.
Kenyataannya, saat ditanya pegawai accounting seringkali gelagapan, akhirnya
tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya, minimal mereka bisa menjelaskan
mengapa bisa terjadi demikian?.
Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan keuangan,
mestinya mereka bisa memberi saran dan masukan bagi manajemen mengenai
apa yang perlu (atau tak perlu) dilakukan di masa-masa yang akan datang agar
masalah yang sama tidak terjadi lagi.
Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah jauh
lebih baik), materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang tersedia
sangat sempit, so little time, so many things to do.
Mata kuliah Akuntansi Dasar (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi yang
begitu banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan. Setiap
pertemuan selalu digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang isinya
memang semuanya bersifat teknikal. Samasekali tidak ada ruang untuk
menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi (mulai dari siklus
akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan).
Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja, BETUL.
Bahwa bangku kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA (terutama
untuk universitas non-elite, tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai kapur tulis, seperti
tempat saya berkuliah dahulu).
Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU.
Tantangan utamanyaterutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana caranya
mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan tugas rutin seharihari yang seolah tak ada habisnya?
Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa Jurnal Akuantansi
Keuangan (JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan diskusi sambil
mengasah skill akuntansi (hard maupun soft skill) di sela-sela rutinitas seharihari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya bahwa keberadaan JAK pastinya masih jauh

dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan bisa menjadi alternative


sekaligus awal yang baik.

Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang
tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan keuangan.
Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah laporan
keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang berkepentingan bisa
mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?
Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri
sebagai sesorang yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keuangan
perusahaan. Untuk sementara lupakan status anda saat ini (sebagai pegawai
accounting), anggap diri anda adalah pemilik usaha.
Nah, sebagai pemilik usaha, apa yang ingin anda ketahui mengenai kondisi
keuangan perusahaan?
Saya coba menebak-nebak (dengan menggunakan kelaziman). Sebagai pengusaha,
minimal anda ingin tahu 2 hal berikut ini:

1. Kekayaan Perusahaan
Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam
kondisi baik-baik saja? Baik-baik saja dalam hal ini maksudnya: Dapat beroperasi
secara lancar.
Perusahaan hanya akan bisa lancar beroperasi bila:
(a) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari;
(b) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu:
mampu membayar utang kepada vendor/supplier, bank, dan membayar dividen
kepada pemegang saham;
(c) Memiliki persediaan (bahan baku untuk diproduksi atau barang jadi untuk di
jual);
(d) Memiliki sarana dan fasilitas yang cukup untuk menunjang kelancaran
operasional perusahaan.

Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki kekayaan yang cukup untuk bisa
beroperasi dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACAyang
sering juga disebut sebagai Laporan Posisi Keuangan.
Masih ingat dengan persamaan akuntansi di bawah ini?

Aktiva (asset) = Kewajiban (Liability) + Ekuitas


Pemilik (equity)
Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh necara
sederhana di bawah ini:

Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi
keuangan perusahaan dan memperoleh informasi sbb:
Kekayaan kotor perusahaan sama dengan total nilai aktiva (asset)-nya. Dalam
contoh ini adalah 137. Jika dibandingkan dengan total kewajiban (utang) yang
sebesar 67, masih ada selisih kekayaan sebesar 70. Selisih yang 70 inilah yang
disebut dengan Kekayaan Bersih (Net Asset atau Net Worth) perusahaan.
Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup
untuk memenuhi semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset dijual
maka semua utang bisa dilunasi.

Jika kembali ke contoh pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan:Mestinya


perusahaan bisa memenuhi kewajibannya, tetapi mengapa banyak vendor
(supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
Untuk menjawab pertanyaan spesifik seperti ini, perhatian harus diarahkan ke
elemen-elemen neraca yang lebih kecil. Pada sisi aktiva nampak akun Kas
saldonya hanya 10, sementara akun Utang Dagang di sisi sisi Kewajiban nampak
sebesar 30. Jelas perusahaan akan mengalami defisit (kekurangan) kas sebesar 20,
sehingga banyak vendor yang mengalami penundaan pembayaran.
Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang perlu
dilakukan oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa yang
akan datang?
Bentuk Neraca sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjawab
semua kemungkinan pertanyaan yang ada. Dengan catatan, anda harus
memahami logikanya. Dari total aktiva (asset) sebesar 137, mengapa akun kas
nilainya hanya 10, dimana sisanya? Perhatian di alihkan ke elemen-elemen aktiva
(asset) lainnya, yaitu:

Piutang = 85

Persediaan = 32

Aktiva Tetap = 10.

Nah ketahuan sudah, asset menumpuk di akun Piutang sebesar 85. Sehingga
pertanyaan mengapa-nya sudah terjawab. Tinggal berpikir bagaimana cara
mengatasinya dan cara mencegahnya di waktu yang akan datang. Untuk
mengatasinya manajemen perusahaan perlu memfokuskan perhatian pada proses
penagihan piutangmungkin dengan menawarkan potongan untuk pembayaran
lebih awal, kalau perlu panggil debt collector jika mengalami kesulitan penagihan.
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, manajemen
perlu mengubah kebijakan kreditmungkin di buat lebih ketat lagi, lebih selektif
terhadap pemberian kredit, termin pembayaran di perpendek, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total Ekuitas
Pemilik meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70. Mengapa
angkanya sama dengan Kekayaan Bersih perusahaan yaitu 70, apakah karena
kebetulan?
Tidak. Ini berasal dari persamaan dasar akuntansi: Asset = Kewajiban + Equitas
Pemilik. Dengan demikian, maka: Equitas Pemilik = Asset Kewajiban. Nah jika
Kekayaan Bersih = Asset Kewajiban, Maka otomatis: Kekayaan Bersih = Ekuitas
Pemilik.

Jika kembali ke pertanyaan di awal tulisan: Mengapa ekuitas pemiliki meningkat


tetapi tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?
(dengan kata lain perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada
pemegang saham)
Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki
cukup persediaan Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi sebelumnya.
Lebih detail mengenai ketersediaan kas dan pengalokasiannya (apakah sudah
seperti yang direncanakan, apakah dipergunakan secara efeisien, dan lain
sebagainya) bisa dilihat di Laporan Arus Kas.
Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa saham)
wajib ada. Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa tidak. Mengapa
boleh ada boleh tidak? Karena Laporan Arus Kas hanya merupakan rincian lebih
detail dari akun Kas di Neraca. Sehingga pada dasarnya, nilai akhir dari laporan
arus kas sama dengan saldo yang ada pada akun Kas di Neraca. (Catatan: Saya
akan membahas laporan arus kas secara terpisah (di tulisan lain).
Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah
Tanggal Neraca (dibawah tulisan NERACA PT. JAK), dalam contoh ini adalah Per
31 Januari 2012. Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan Kekayaan Bersih
sebesar 70 adalah Kekayaan Perusahaan per tanggal 31 Januari 2012. Itu
sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca didefinisikan sebagai Laporan
yang menyajikan posisi keuangan perusahaan pada tanggal tertentu. Di U.S. sana
sering disebut dengan Snapshot of Financial Position.

2. Untung atau Rugi


Mengetahui berapa besarnya kekayaan perusahaan, mengetahui apakah
perusahaan mampu melunasi utang-utangnya saja, belumlah cukup. Sebagai
pengusaha anda juga ingin tahu:

Apakah bulan/tahun ini anda untung atau rugi? Jika rugi, mengapa?

Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya, boros?

Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas yang
menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu?

Semua jawabanya ada di Laporan Laba Rugi. Untuk visualisasi silahkan lihat
contoh Laporan Laba Rugi PT. JAK di bawah ini:

Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas bahwa:
(a) Pendapatan (Revenue) sebesar 187
(b) Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50
(c) Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137
(d) Biaya-biaya 132
(e) Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5
Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda
sebagai pengusaha? Sudah pasti Laba Bersih. Laba bersih menunjukan angka 5.
Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang menunjukan
angka 187. Dengan kata lain, profit margin anda hanya 3% (=5/187). Kalau begini
ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di deposito kan?
Lalu anda tanya orang accounting Mengapa labanya hanya 5, padahal revenuenya
tinggi? Pasti ada yang tidak beres di sini.
Mungkin dengan cekatan mereka menjawab Karena biayanya tinggi, boss.
Ya iyalah. Revenue tinggi, wajar jika biaya juga tinggi (kecuali yang bikin barang dari
golongan jin.) Tidak usah orang manajemen, Mbok Jum warung sebelah juga tahu
pendapatan dikurangi biaya sama dengan laba atau rugi. Tapi, bukankah bila
revenue tinggi, biaya tinggi, mestinya laba masih tetap tinggi?

Pertama, mungkin mereka akan memeriksa kembali angka-angka di laporan,


dibandingkan dengan neraca saldo, dibandingkan dengan buku besar, bahkan
bukti transaksi dibandingkan dengan catatan transaksi (jurnal) satu-per-satu.
Semua perhitungan diperiksa satu per satu. Beberapa hari kemudian mereka
kembali dengan jawaban Semua angka sudah saya periksa, hasilnya benar dan
akurat. Semua jurnal sudah benar, tidak ada transaksi yang tertinggal atau
diposting dua kali.
Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir
menjunal dan membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami
logika akuntansi dengan baik.
Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam hal ini),
mereka tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu, bahkan mungkin
tidak sampai perlu memeriksa saldo buku besar. Cukup hanya dengan melihat
Laporan secara sepintas (scanning) dari atas kebawah:
Pertama anda lihat Pendapatan (revenue), lalu anda bandingkan dengan Harga
Pokok Penjualan, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan sebesar
187, apakah logis jika harga pokok penjualannya 50 sehingga laba kotornya
menjadi 137? Permasalahan dilokalisir sampai di sini dahulu.
Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat bantu
di bawah Laba Kotor (Gross Profit) yang disebut dengan Gross Profit Margin
yang menunjukan angka 73%. Angka ini tidak akan ada di sana jika tidak ada
fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui apakah perbandingan antara
pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah gross profit
margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant anda,
merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk produk
yang dijual. Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73% ini dengan
angka gross profit margin bulan lalujika perlu, tarik hingga satu tahun ke
belakang untuk melihat trend-nya.
Saya pribadi, untuk penelusuran cepat, memilih menggunakan kelaziman dan
benchmark. Dari sana saya tahu bahwa untuk jenis usaha manufaktur gross profit
margin ada di kisaran 25 hingga 50%. Untuk jenis perusahaan jasa ada di kisaran 50
hingga 70%. Dan untuk jenis usaha trading (termasuk retail) ada di kisaran 70
hingga 200%.
Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka angka
gross profit margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar masalahnya sudah
pasti tidak ada di antara wilayah revenue hingga harga pokok penjualan. Lalu
dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-biaya.
Selanjutnya tinggal scanning wilayah akun-akun biaya yang ada di laporan laba rugi.
Diantara biaya-biaya tersebut mana yang terlihat tidak wajar? Jika anda punya

laporan laba rugi bulan sebelumnya, anda tinggal meletakannya secara bersisian
dengan laporan laba rugi Januari 2012 ini, lalu bandingkan. Dalam contoh ini saya
tidak buatkan laporan laba rugi bulan sebelumnya sebagai pembanding. Angka
yang janggal langsung saja saya beri warna merah, yaitu Biaya Telepon sebesar
35. Mengapa ini janggal? Bandingkan dengan Biaya Gaji?apakah logis biaya
telepon lebih besar dibandingkan biaya gaji dalam sebuah perusahaan
manufaktur? Tidak logis.
Bukankah tadi sudah diperiksa oleh orang accounting dan mereka mengatakan
semua transaksi sudah diperiksa hingga ke nota-nya dan hasilnya akurat?
Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG YANG
BOROS MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu besar sudah
pasti ada pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan perusahaan.
Selanjutnya tinggal kirim memo ke HRD untuk investigasi lebih lanjut (siapa yang
menelpon pacar berjam-jam setiap hari?). Untuk mencegah agar tidak tejadi lagi di
masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat aturan pemakaian telepon.
Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI hanya untuk manajer ke atas
dengan menggunakan PINsehingga penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan
untuk staff, jika perlu interlokal, SLI atau handphone harus via operator (front
office) dengan approval dari manajer.
Logika-logika dasar seperti ini sangat perlu terus diasah, agar penguasaan
akuntansi dan keuangan menjadi semakin matang, sehingga bisa
menjalankan fungsi dengan baik, bisa memberi masukan yang bermanfaat
bagi perusahaan.
Ini baru sebagian kecil dan masih di permukaan. Semakin dalam menyelam,
semakin detail, sudah pasti semakin banyak pula ragam logika akuntansi
yang harus dipelajari. Tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dikuasai secara
instant. Butuh waktu, kesabaran dan kesungguhan.
Bagi mereka yang sudah bekerja, dan masih merasa perlu mengasah
kemampuan akuntansi melalui pemahaman logika-logikanya, tidak ada cara
selain Learn as you go. Modal awalnya hanya satu: selalu penasaran/ingin
tahu. Selanjutnya tergantung pada seberapa besar keberanian kita dalam
mengikuti instinct rasa ingin tahu itu.

Anda mungkin juga menyukai