Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat

yang

setinggi-tingginya.

Dalam

mencapai

tujuan

tersebut,

pembangunan kesehatan yang dilaksanakan masih menghadapi masalah yang


belum sepenuhnya dapat diatasi.1
Indra penglihatan merupakan panca indra yang sangat penting dan besar
pengaruhnya terhadap proses peningkatan kecerdasan dan produktivitas kerja
manusia. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) serta kualitas harapan hidup, meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat serta mempertinggi kesadaran masyarakat akan
pentingnya hidup sehat.2
Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit
ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai
konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya
eksogen tetapi bisa juga endogen.3
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang
menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dibedakan ke dalam
bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti
konjungtivitis gonokok, konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh virus, klamidia,
alergi toksik, dan molluscum contagiosum.4
Di Negara maju seperti Amerika (2005), insidens rate konjungtivitis
bakteri sebesar 1.350 per 100.000 penderita konjungtivitis, baik pada anak-anak
maupun pada orang dewasa.5
Sebanyak 112.570 pasien kunjungan di departemen penyakit mata di
Amerika, 30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15%
adalah keluhan konjungtivitis alergi.5

Konjungtivitis juga salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria
bagian timur, dengan insidens rate 32,9% dari 949 kunjungan di Departemen Mata
Aba Metropolis, Nigeria, pada tahun 2004 hingga 2006.

Penelitian yang

dilakukan di Philadelphia, menunjukkan insidens rate konjungtivitis bakteri


sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada tahun 2005 hingga 2006.5
Di Provinsi Yunnan, Cina, antara Agustus dan September tahun 2007 telah
terjadi wabah konjungtivitis hemoragik akut (AHC). Sebanyak 3.597 kasus yang
dilaporkan secara resmi dan tingkat kejadian mencapai 1391/100.000 penduduk.
Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia (2007),
distribusi penyakit mata dan adneksa pasien rawat inap menurut golongan sebab
sakit adalah konjungtivitis dan gangguan lain konjungtivitis (12,6%), katarak dan
gangguan lain lensa (56,8%), glaukoma (6,7%), penyakit mata dan adneksa
lainnya (23,8%).
Distribusi penyakit mata dan adneksa pasien rawat jalan menurut golongan
sebab sakit adalah konjungtivitis dan gangguan lain konjungtivitis (28,3%),
katarak dan gangguan lain lensa (12,8%), glaukoma (2,4%), penyakit mata dan
adneksa lainnya (56,3%).6
Pasien yang menderita konjungtivitis butuh penjelasan tahap demi tahap
dalam menggunakan terapi yang spesifik, dimana setiap penderita harus
mengetahui bagaimana cara mencegah agar tidak dapat menularkan kepada orang
lain. Dari uraian di atas, peneliti ingin meneliti tentang karakteristik penderita
penyakit konjungtivitis dengan jumlah 73 penderita di Rumkit Putri Hijau Deli
Medan Tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka belum diketahuinya Beberapa
faktor karakteristik penderita yang berhubungan dengan terjadinya penyakit
Konjungtivitis dan Pencegahannya di Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB
Medan Tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui beberapa faktor karakteristik penderita yang berhubungan
dengan terjadinya penyakit konjungtivitis dan pencegahannya di poli mata Rumkit
TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2015
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan usia dengan penderita konjungtivitis di poli mata.
2. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan penderita konjungtivitis di
poli mata.
3. Mengetahui hubungan status pekerjaan dengan penderita konjungtivitis di
poli mata.
1.4. Manfaat Penelitiaan
Hasil dari penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Memberikan informasi kepada Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB
Medan yang mungkin bermanfaat dalam perencanaan pengobatan.
2. Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit konjungtivitis
terutama siapa saja yang dapat terkena penyakit konjungtivitis.
3. Menambah wawasan peneliti, serta pengetahuan tentang penyakit
konjungtivitis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang
menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dibedakan ke dalam
bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti
konjungtivitis gonokok, konjungtivitis juga dapat disebabkan oleh virus, klamidia,
alergi toksik, dan molluscum contagiosum.4
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis
konjungtivitis dapat hilang sendiri, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan.4

Gambar 2.1 Konjungtivitis


Sumber : www.medicineNet.com/script/main/mobileart
Konjungtivitis merupakan penyakit mata yang paling umum di dunia.
Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai
konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab penyakit ini
umumnya eksogen, tetapi bisa endogen.3
2.2 Anatomi Mata

Gambar 2.2 Anatomi Mata


Sumber : www.slideserve.com
2.2.1 Kelopak Mata
Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea.
Kelopak mata merupakan alat penutup mata yang berguna untuk melindungi bola
mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata. Kelopak mata
mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedangkan di bagian belakang
ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Gangguan
penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata sehingga
terjadi keratitis et lagoftalmos.3
2.2.2 Sistem Lakrimal
Sistem lakrimal atau sistem sekresi air mata terletak di daerah temporal
bola mata. Film air mata sangat berguna untuk kesehatan mata, air mata akan
masuk ke dalam sakus lakrimal melalui pungtum lakrimal. Bila pungtum lakrimal
tidak menyinggung bola mata, maka air mata akan keluar melalui margo pelpebra
yang disebut epifora. Epifora juga akan terjadi akibat pengeluaran air mata yang
berlebihan dari kelenjar lakrimal.3
2.2.3 Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebraris) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.
Konjungtiva palpebraris melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum
orbitale di fronices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal
superior. Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera di
bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva menyatu
sepanjang 3 mm).3
2.2.4 Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
terdapat bentuk dengan dua kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus
oleh 3 lapis jaringan, yaitu sklera, uvea dan retina.3
2.2.5 Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya. Tebal kornea
rata-rata orang dewasa adalah 0,65 mm di bagian perifer, dan 0,54 mm di bagian
tengah. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan tempat
masuknya cahaya ke dalam bola mata menuju ke retina. Sumber nutrisi kornea
adalah pembuluh-pembuluh darah di limbus, cairan mata dan air mata. Kornea
terdiri dari lima lapisan, yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran
descement dan endotel.7
2.2.6 Sklera
Sklera adalah selaput mata yang berwarna putih dan berfungsi sebagai
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera mempunyai kekakuan tertentu
dan tebal 1 mm. Permukaan luar sklera diselubungi oleh lapisan tipis dari jaringan
yang elastis dan halus, yaitu episklera, yang banyak mengandung pembuluh darah

sedangkan pada permukaan sklera bagian dalam terdapat lapisan pigmen berwarna
coklat, yaitu lamina fuska, yang membatasi sklera dengan koroit.7
2.2.7 Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata, yang terdiri dari 3
bagian, yaitu:
a. Iris mempunyai permukaan yang relatif datar dengan celah yang berbentuk
bulat di tengahnya, yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk
mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata secara otomatis
dengan mengecilkan dan melebarkan pupil. Pupil dapat mengecil akibat
suasana cahaya yang terang dan melebar akibat suasana cahaya yang redup
atau gelap.
b. Badan siliar terdiri dari dua bagian yaitu korona siliar yang berkerut-kerut
dengan tebal 2 mm dan pars plana yang lebih halus dan rata dengan tebal 4
mm.
c. Koroid berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah yang sangat besar, yang
berfungsi untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak
dibawahnya.3
2.2.8 Lensa
Terletak di belakang iris yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk
seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi
(terfokusnya objek dekat pada retina) dengan tebal 4 mmdan diameter 9 mm.3
2.2.9 Badan Kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak
antara lensa dan retina. Badan kaca terdiri dari 99% air dan 1% terdiri dari 2
komponen yaitu kolagen dan asam hialuron. Fungsi badan kaca adalah
mempertahankan bola mata tetap bulat dan meneruskan sinar dari lensa ke retina.3
2.2.10 Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsang dari cahaya. Retina dialiri darah dari 2 sumber,
yaitu lapisan koriokapiler yang mengaliri darah pada 2/3 bagian luar retina,
sedangkan 2/3 bagian dalam retina dialiri darah dari cabang-cabang arteri retina

sentral. Sel-sel pada lapisan retina yang paling luar berhubungan langsung dengan
cahaya. Sel-sel tersebut dalah sel-sel kerucut (cone) dan batang (rod). Sel kerucut
(cone) berfungsi untuk penglihatan terang, warna dan penglihatan sentral.
Sedangkan sel batang (rod) berfungsi untuk penglihatan dalam keadaan redup atau
gelap.3
2.3 Etiologi
2.3.1 Konjungtivitis Bakteri
Suatu jenis konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri yaitu infeksi
bakteri

Gonokok,

Meningokok,

Staphylococcus

aureus,

Streptococcus

pneumoniae, Hemophilis influenzae, dan Escherichia coli.4 Terdapat dua bentuk


konjungtivitis bakteri yaitu akut (termasuk hiperakut dan subakut) dan kronik.
Konjungtivitis bakteri akut biasanya jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung
kurang dari 14 hari. Sebaliknya, konjungtivitis hiperakut (purulen) yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis yang dapat
menimbulkan komplikasi mata berat bila tidak diobati sejak dini. Konjungtivitis
kronik biasanya sekunder terhadap penyakit pelpebra atau obstruksi ductus
nasolacrimalis.3
Konjungtivitis bakteri hiperakut disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae,
Neisseria kochii, dan Neisseria meningitidis, ditandai oleh eksudat purulen yang
banyak. Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat
yang disertai dengan sekret purulen.
Gonokok merupakan kuman yang sangat patogen, virulen dan sangat
bersifat invasif sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat berat. Penyakit
kelamin yang disebabkan oleh gonore merupakan penyakit yang tersebar luas di
seluruh dunia secara endemik. Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi pada
saat berada pada jalan kelahiran, sedang pada bayi, penyakit ini ditularkan oleh
ibu yang sedang menderita penyakit tersebut.3

2.3.2 Konjungtivitis Kataralis Epidemika


Konjungtivitis kataralis epidemika biasa disebut juga konjungtivitis
mukopurulenta yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada
konjungtiva. Selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan
permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis kataralis epidemika dapat
ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan
biasanya menyebabkan mata sering berair, gatal dan banyak kotoran mata.
Penyebab paling umum adalah Streptococcus pneumoniae pada iklim sedang dan
Haemophilus aegyptius pada iklim tropis.3
Gambaran klinis adalah injeksi konjungtiva dan hipereni konjungtiva
tarsal, tanpa folikel, tanpa cobble-stone dan tanpa flikten. Pada konjungtivitis
kataralis epidemika berbentuk sekret serus, mukus atau mukopurulen, tergantung
penyebabnya. Konjungtivitis kataralis epidemika dapat menyertai blefaritis atau
obstruksi duktus nasolakrimal. Gejala-gejala umum konjungtivitis ini dapat
disertai maserasi lateral maupun medial. Radang konjungtiva demikian juga
disebut sebagai konjungtivitis angular. Beberapa jenis konjungtivitis dapat disertai
kelainan

pada

kornea,

biasanya

berupa

keratitis

pungtata

superfisial.

Konjungtivitis kataralis epidemika dapat bersifat akut atau kronik, tergantung


penyebabnya.3
2.3.3 Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus atau viral adalah suatu penyakit umum yang dapat
disebabkan oleh berbagai jenis virus. Keadaan ini berkisar antara penyakit berat
yang dapat menimbulkan cacat, sampai infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri
dan dapat berlangsung lebih lama dari pada konjungtivitis bakteri. Konjungtivitis
ini terutama disebabkan oleh adenovirus dan herpes simplex virus adalah virus
yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga disebabkan oleh virus
varicella zoster, piconavirus (enterovirus 70, coxsackie A24), poxvirus, dan
immunodeficiency virus.8
a. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan adenovirus 8, 19, 29, dan 37
(subgrup D adenovirus manusia). Awalnya sering pada satu mata saja, dan

10

biasanya mata pertama lebih parah. Keratokonjungtivitis epidemika pada orang


dewasa terbatas di bagian luar mata, tetapi pada anak-anak mungkin terdapat
gejala-gejala sistemik infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis
media, dan diare.3
b. Konjungtivitis Hemoragika Akut
Konjungtivitis ini disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan coxsackievirus
A24.3 Konjungtivitis hemoragika akut merupakan konjungtivitis disertai
timbulnya perdarahan konjungtiva. Perdarahan konjungtiva umumnya difus, tetapi
awalnya dapat berupa bintik-bintik, mulai dari konjungtiva bulbaris superior dan
menyebar ke bawah.4
2.3.4 Trachoma
Trachoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, pada mulanya suatu
konjungtivitis folikular kronik pada masa kanak-kanak yang berkembang hingga
terbentuknya parut konjungtiva. Pada kasus berat, pembalikan bulu mata ke dalam
terjadi pada masa dewasa muda sebagai akibat parut konjungtiva yang berat.
Abrasi terus menerus oleh bulu mata yang membalik dan defek film air mata
menyebabkan parut kornea, umumnya setelah usia 30 tahun.3
2.3.5 Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering,
dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh
sistim imun.16 Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di
konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.3
a. Konjungtivitis Vernal
Konjungtivitis vernal adalah konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas
tipe 1 yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Pada mata ditemukan papil
besar dengan permukaan rata pada konjungtiva tarsal, dengan rasa gatal berat,
sekret gelatin yang berisi eosinofil atau granula eosinofil. Pada kornea terdapat
keratitis, neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada tipe limbal terlihat benjolan di
daerah limbus, dengan bercak Horner Trantas yang berwarna keputihan yang
terdapat di dalam benjolan. Konjungtivitis vernalis dikenal juga sebagai
konjungtivitis musiman atau konjungtivits musim kemarau, yang merupakan

11

penyakit bilateral yang disebabkan oleh alergi, biasanya berlangsung dalam tahuntahun prapubertas dan berlangsung 5-10 tahun.4
b. Konjungtivitis Flikten
Konjungtivitis flikten merupakan nodular yang disebabkan alergi terhadap
bakteri atau antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi
akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap tuberkuloprotein, stafilokok,
limfogranuloma venerea, leismaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain
dalam tubuh.4
c. Konjungtivitis Atopik
Konjungtivitis atopik merupakan reaksi alergi selaput lendir mata atau
konjungtiva terhadap polen, disertai dengan demam. Memberikan tanda dengan
mata berair, bengkak, belek berisi eosinofil.4
2.3.6 Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistim
imun terganggu. Selain Candida Sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenkii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang.3
2.3.7 Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh
pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansisubstansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan
konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejalagejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan
pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.3
2.3.8 Konjungtivitis Bleeding (Perdarahan subkonjungtiva)
Perdarahan subkonjunctiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh
darah dibawah lapisan konjungtiva. Hematom Subkonjungtiva dapat terjadi pada

12

keadaan dimana pembuluh darah rapuh (umur, hipertensi, arteriosklerosis,


konjungtivitis hemoragic, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan).
Perdarahan subkonjungtiva dapat juga terjadi akibat trauma langsung maupun
tidak langsung, yang kadangkadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang
terjadi.9
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi karena trauma mayor, minor, atau
sebab yang tidak dapat dideteksi yang terjadi pada mata bagian depan. Secara
klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi
kelopak mata. Hal ini akan berlangsung lebih dari 2 sampai 3 minggu.9
Konjungtiva mengandung banyak pembuluh darah kecil dan rapuh yang
mudah pecah atau rusak. Ketika hal ini terjadi, darah bocor ke dalam ruang antara
konjungtiva dan sklera. Perdarahan subkonjungtiva merupakan akibat dari
rupturnya pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. Namun kadang tidak
dapat ditemukan penyebabnya (perdarahan subkonjungtiva idiopatik). Manuver
Valsava sebelumnya (misalnya, batuk, tegang, muntah-muntah, mengejan) juga
bisa menjadi penyebab perdarahan subkonjungtiva. Penyebab lain meliputi
hipertensi dan gangguan fungsi koagulasi, misalnya karena obat antikoagulan atau
penyakit leukemia.
Selain itu, infeksi umum yang berhubungan dengan demam, defisiensi
vitamin C (scurvy), trauma mata tumpul atau tajam, benda asing, pembedahan
pada mata, dan konjungtivitis juga dapat menjadi satu kemungkinan penyebabnya.
Berbagai macam obat-obatan seperti obat antiinflamasi nonsteroid, aspirin,
kontrasepsi, vitamin A dan D juga berhubungan dengan terjadinya perdarahan
subkonjungtiva.9
2.4 Patogenesis
Konjungtiva berhubungan dengan dunia luar kemungkinan konjungtiva
terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan konjungtiva terutama

13

oleh karena adanya film air mata. Pada permukaan konjungtiva yang berfungsi
melarutkan kotoran dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalir melaluui
saluran lakrinal ke meatus nasi inferior. Film air mata mengandung beta lysine,
lysozyne, IgA, IgG yang berfungsi menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada
kuman patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut sehingga terjadi infeksi
konjungtiva yang disebut konjungtivitis.4
Mikroorganisme

(virus,

bakteri,

jamur),

bahan

alergen,

iritasi

menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup
dan membuka sempurna, maka mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi yang
menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembuluh darah disebabkan karena
adanya peradangan yang ditandai dengan konjungtiva dan sklera yang merah,
edema, rasa nyeri, dan adanya sekret mukopurulen.4
Akibat jangka panjang dari konjungtivitis yang dapat bersifat kronis yaitu
mikroorganisme, bahan alergen, dan iritatif menginfeksi kelenjar air mata
sehingga fungsi sekresi juga terganggu menyebabkan hipersekresi. Pada
konjungtivitis ditemukan lakrimasi, apabila pengeluaran cairan berlebihan akan
mengakibatkan tekanan intra okuler yang lama kelamaan menyebabkan saluran air
mata tersumbat. Aliran air mata yang terganggu akan menyebabkan iskemia saraf
optik dan terjadi ulkus kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.4
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi
tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia.
Sensasi benda asing, sensasi tergores dan terbakar sering dihubungkan dengan
edema dan hipertrofi papila yang biasanya menyertai hiperemia konjungtiva. Jika
ada rasa sakit berarti kornea juga terkena.3

14

2.6 Epidemiologi
2.6.1 Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Konjungtivitis klamidia berupa trachoma dapat mengenai segala umur
tetapi lebih banyak pada anak-anak dan dewasa. Ras yang banyak menderita
trachoma adalah Ras Yahudi, penduduk asli Australia (Australian Aborigin) dan
Indian Amerika.18 Sebuah studi yang dilakukan di 3024 sekolah dasar anak-anak
di wilayah Ankara Turki (1997) menemukan bahwa 4,6% anak memiliki alergi
konjungtivitis.10
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (2006) diperoleh 23% kasus
konjungtivitis bakteri terjadi pada rentang usia 0-2 tahun, 28% terjadi pada
rentang 3-9 tahun, 13% terjadi pada rentang 10-19 tahun dengan sisa 36% kasus
terjadi pada orang dewasa.5
Penelitian yang dilakukan Baig. R, dkk (2010) di Pakistan terhadap anak
sekolah berusia 5-19 tahun, yang berjumlah 818 anak diperoleh prevalensi
konjungtivitis alergi 19,2 %. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah
penderita konjungtivitis alergi lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.11
b. Tempat dan Waktu
Mongolia (2005), survei berbasis populasi mengungkapkan hubungan
yang mencolok antara prevalensi konjungtivitis alergi dan tingkat/derajat
urbanisasi. Prevalensinya adalah 9,3% di pedesaan, 12,9% di pusat desa dan
18,4% di kota.19 Konjungtivitis alergi berupa konjungtivitis vernal cenderung
musiman, dengan gejala meningkat di musim semi dan menurun di musim
gugur.11
Konjungtivitis flikten lebih sering ditemukan pada anak-anak didaerah
padat penduduk. Secara geografis, trachoma adalah yang paling umum di daerah
yang kering, panas, dan berdebu. Kejadian trachoma tinggi di negara-negara
miskin dan berkembang seperti India bagian utara, Afrika Utara dan Afrika
Barat.11

15

Organisme penyebab konjungtivitis dapat berupa bakteri, jamur, virus, dan


klamidia. Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,
Neisseria meningitidis, sebagian besar strain adenovirus manusia, virus herpes
simpleks tipe 1 dan tipe 2, dan dua picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara
seksual dan dapat menimbulkan konjungtivitis adalah Chlamydia trachomatis dan
Neisseria gonorrhoeae.3
Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan
faktor-faktor

lingkungan

lain

yang

mengganggu.

Beberapa

mekanisme

melindungi permukaan mata dari substansi luar. Pada film air mata, komponen
akueosa mengencerkan materi infeksi, mukus menangkap debris, dan aktivitas
pompa pelpebra membilas air mata ke duktus air mata secara konstan. Air mata
mengandung substansi antimikroba, termasuk lisozim dan antibodi (IgG dan
IgA).3
Lingkungan berkaitan erat dengan kejadian konjungtivitis, yaitu
lingkungan dengan hygiene sanitasi yang buruk. Konjungtivitis dapat menyebar
dengan cepat jika pada suatu lingkungan terdapat penderita konjungtivitis yang
memiliki kontak erat dengan orang-orang disekitarnya. Tetapi hal ini berkaitan
dengan keadaan atau kebersihan lingkungan tersebut yang menjadi faktor risiko
penyebaran yang lebih cepat.3
c. Alergi
Konjungtivitis alergi biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma, atau
eksim) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopik sejak bayi. Parut pada lipatan fleksura, lipat siku, pergelangan
tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya, konjungtivitis alergi
berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi.3
2.7 Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya konjungtivitis adalah sebagai
berikut;

16

1. Pada konjungtivitis bakteri biasanya mulai ada satu mata dan


kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat
menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang
terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan penderta
imunodefisiensi.
2. Pada konjungtivitis virus sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan
penderita dan dapat menular melalui drople pernafasan, kontak dengan bendabenda yangmenyebarkan virus (fomites) dan berada didalam kolam renang yang
terkontaminasi.4
3. Pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya, misalnya
konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh
alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta
timbul pada waktu-waktu tertentu.4
2.8 Komplikasi Konjungtivitis
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis stafilokok,
kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut konjungtiva
dapat mengikuti konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa, dan pada
kasus tertentu diikuti oleh ulserasi kornea dan perforasi. Ulkus kornea dapat
terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H aegyptius, S
aureus, dan M catarrhalis. Jika produk toksik N gonorrhoeae berdifusi melalui
kornea masuk ke bilik mata depan, dapat timbul iritis toksik.4
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trachoma
dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus
kelenjar lakrimal. Hal ini mengurangi komponen akueosa dalam film air mata
prakornea secara drastis, dan komponen mukosanya mungkin berkurang karena
hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra
superior berupa membaliknya bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh tepian
pelpebra (entropion) sehingga bulu mata terus-menerus menggesek kornea,
infeksi bakterial kornea, dan parut kornea.4

17

2.9 Pencegahan
2.9.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak
sakit.

Pencegahan

primer

konjungtivitis

dapat

dilakukan

dengan

cara

meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi,


meningkatkan hygiene perorangan dan sanitasi lingkungan, rajin membersihkan
mata, dan menggunakan pelindung mata saat bekerja.12
a. Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan sesudah membersihkan
atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci tangannya bersih-bersih.
b. Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani mata yang
sakit
c. Jangan menggunakan handuk atau lap bersama dengan penghuni rumah lain
d. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari dokter dan pabrik pembuatnya.
e. Mengganti sarung bantal dan handuk dengan yang bersih setiap hari.
f. Hindari berbagi bantal, handuk dan saputangan dengan orang lain.
g. Usahakan tangan tidak megang-megang wajah (kecuali untuk keperluan tertentu),
dan hindari mengucek-ngucek mata.
h. Bagi penderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissue atau sejenisnya
setelah membersihkan kotoran mata.
2.9.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk membantu orang yang telah
sakit

agar

sembuh,

menghambat

progresifitas

penyakit,

menghindarkan

komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan.12


Pencegahan ini dapat dilakukan dengan:
a. Diagnosis
1. Konjungtivitis bakteri
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena penyakit
ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua.
Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular
seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi

18

lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit


sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap
obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa kontak.12
2. Konjungtivitis virus
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut
penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai durasi dan gejala-gejala sistemik
maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor risiko dan keadaan
lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus.
3. Konjungtivitis alergi
Diperkirakan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal
pada mata, yang disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.12
b. Pengobatan
Pengobatan

spesifik

tergantung

dari

identifikasi

penyebabnya.

Konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat diobati dengan sulfonamide


(sulfacetamide 15 %) atau antibiotika (gentamycine 0,3 % dan chlorampenicol
0,5%). Pengobatan diberikan sebelum pemeriksaan mikroorganisme dengan
antibiotik tunggal seperti neosporin, basitrasin, gentamisin, kloramfenicol,
tobramicin, dan sulfa. Bila pengobatan tidak memberikan hasil dengan antibiotik
setelah 3-5 hari maka pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil pemeriksaan
mikroorganisme.4
Konjungtivitis karena jamur sangat jarang terjadi sedangkan konjungtivitis
karena virus , pengobatannya hanya suportif karena dapat sembuh sendiri.
Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, pada kasus yang berat dapat diberikan
antibiotik dengan steroid topikal. Pengobatan biasanya simtomatik dan antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder.
Konjungtivitis

karena

alergi

pengobatannya

terutama

dengan

menghindarkan penyebab pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium

19

kromolin, steroid topikal dosis rendah yang kemudian dikompres dingin untuk
menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin
dan steroid sistemik. Pengobatan trachoma dengan tetrasiklin salep mata, 2-4 kali
sehari, 3-4 minggu, sulfonamid diberikan bila ada penyulit.
2.9.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan
penderita konjungtivitis yaitu dengan menggunakan alat bantu penglihatan berupa
kaca mata, sehingga penderita konjuntivitis dapat melihat dengan jelas.

20

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah :
Variabel independen

Variabel dependen

Karakteristik penderita :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Status Pekerjaan

Penyakit konjungtivitis dan


pencegahannya

3.2 Defenisi operasional


Tabel 3.1 Defenisi Operasional
Variabel
Usia

Defenisi

Alat

Kategori

Skala

Usia penderita

ukur
Rekam

- Anak-anak : < 5 tahun

pengukuran
Interval

konjungtivitis yang

medik

- Dewasa muda : 6-19

tercantum pada rekam

tahun

Jenis

medik
Jenis kelamin penderita

Rekam

kelamin

konjungtivitis yang

medik

Dewasa : >19 tahun


Laki-laki.
Perempuan.

Bekerja
Tidak bekerja

Nominal

tercantum pada rekam


Status

medik
Pekerjaan penderita

Rekam

Pekerjaan

konjungtivitis yang

medik

tercantum pada rekam


medik

3.3 Hipotesis

Nominal

21

H0 : Tidak ada hubungan antara usia dengan penderita konjungtivitis


H0 : Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penderita
konjungtivitis
H0 :

Tidak ada hubungan antara status pekerjaan dengan penderita


konjungtivitis

BAB IV

22

METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat analitik yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel dengan desain
case control yang bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor karakteristik
penderita yang berhubungan dengan terjadinya penyakit konjungtivitis yang
berobat ke poli mata Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan tahun 2015.13
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitiaan
Penelitian ini dilaksanakan pada 28 September 2015 s/d 21 November
2015, setelah proposal disusun dan seminar proposal dilaksanakan.
4.2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli bagian Mata Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan. Rumah sakit ini merupakan RS tipe C yang terletak di Kota
Medan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak lebih kurang 4,5 KM dengan jarak
tempuh 20 menit dari Fakultas Kedokteran Islam Sumatera Utara.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau subjek yang
diteliti.14
Populasi pada penelitian ini terdiri dari populasi kasus dan populasi
kontrol. Populasi kasus adalah seluruh orang yang berobat di poli ilmu penyakit
mata Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan tahun 2015 dari tanggal 1
Juni 2015 30 September 2015 yang menderita penyakit konjungtivitis dengan
jumlah 73 orang.
Populasi kontrol adalah seluruh orang yang berobat di poli ilmu penyakit
mata Rumah Sakit Haji Medan tahun 2015 mulai dari tanggal 1 Juni 2015 30

23

September 2015 yang tidak menderita penyakit konjungtivitis dengan jumlah 422
orang.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah populasi yang diteliti yang dianggap mewakili seluruh
populasi.13
Sampel untuk populasi kasus pada penelitian ini adalah seluruh penderita
yang didiagnosis penyakit konjungtivitis yang terdapat dalam rekam medik yang
diambil dengan menggunakan metode total sampling dengan jumlah 73 orang.
Sedangkan sampel untuk populasi kontrol diambil dengan menggunakan metode
simple random sampling berjumlah 73 orang.
4.4 Teknik pengumpulan data
4.4.1 Jenis dan metode pengumpulan data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
hasil rekam medik pasien yang berobat di bagian poli mata Rumkit TK II Putri
Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2015.
4.4.2

Instrumen penelitian
1. Rekam medik

4.5 Pengolahan data


Setelah data terkumpul kemudian diolah dengan tahap sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Yaitu memeriksa kelengkapan data dan perbaikan data yang sudah ada menjadi
data yang benar, bersih dan terisi secara lengkap.
b. Pemeriksaan Kode (Coding)
Yaitu pemberian kode pada masing-masing variabel dan nilai pada setiap hasil
ukur untuk memudahkan dalam pengolahan data.

c. Memasukkan Data (Entry)


Yaitu memasukkan data hasil penelitian dalam tabel induk (master table) dari
setiap hasil ukur yang sudah diberi kode atau nilai dengan menggunakan metode
SPSS.

24

d. Pembersihan Data (Cleaning)


Data yang telah dimasukkan ke dalam komputer

diperiksa untuk

menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.14

4.6 Analisa data


Analisis data dilakukan dengan melihat persentase data yang terkumpul
dan di sajikan dalam bentuk tabel univariat dan bivariat yang dilanjutkan dengan
membahas hasil penelitian berdasarkan teori dan kepustakaan yang ada.
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentasi dari tiap variabel. Pada
penelitian ini dilakukan terhadap usia, jenis kelamin, dan status pekerjaan.
4.6.2 Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkolerasi, yaitu variabel independen seperti usia, jenis kelamin, status pekerjaan,
dengan variabel dependen yaitu konjungtivitis. Lalu dilakukan pengujian statistik
yaitu uji chi-square dengan mengukur nilai p dengan menggunakan SPSS 22.
Nilai yang digunakan dalam penelitian ini adalah = 0,05. Jika nilai p < ,
maka H0 ditolak.

BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil Analisis Univariat
5.1.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden Penderita Konjungtivitis di RS
Putri Hijau

25

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden Penderita Konjungtivitis di


RS Putri Hijau
Usia
Anak-anak (<5 thn)
Dewasa muda (6-19 thn)
Dewasa (>19 thn)
Total

Frekuensi
38
21
14
73

Persentase(%)
52,1
28,7
19,2
100,0

Berdasarkan tabel 5.1 diatas umur responden terbanyak adalah pada anak-anak
(<5 tahun) yaitu sebanyak 38 responden (52,1%), dewasa muda (6-19 tahun)
sebanyak 21 responden (28,7%), dan dewasa (>19 tahun) sebanyak 14 responden
(19,2%).
5.1.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Penderita
Konjungtivitis di RS Putri Hijau
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Penderita
Konjungtivitis di RS Putri Hijau
Jenis kelamin

Frekuensi

Persentase (%)

Laki-laki

46

63,0

Perempuan

27

37,0

Total

73

100,0

Berdasarkan tabel 5.2 diatas jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki
sebanyak 46 responden (63,0%), dan jenis kelamin perempuan sebanyak 27
responden (37,0%).
5.1.3 Distribusi Frekuensi Status Pekerjaan Responden Penderita
Konjungtivitis di RS Putri Hijau
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Status Pekerjaan Responden Penderita
Konjungtivitis di RS Putri Hijau
Status

Frekuensi

Persentase (%)

26

Bekerja

29

39,73

Tidak bekerja

44

60,27

Total

73

100,0

Berdasarkan tabel 5.3 diatas bahwa status pekerjaan responden terbanyak


adalah tidak bekerja sebanyak 44 responden (60,27%) dan bekerja sebanyak 29
responden (39,73%).
5.2 Hasil Analisis Bivariat
5.2.1 Faktor Usia Responden Dengan Penderita Konjungtivitis di RS Putri
Hijau
Tabel 5.4 Faktor Usia Responden dengan Penderita Konjungtivitis di RS
Putri Hijau
No

Usia

Kasus

Kontrol

Total

Frek

Frek

Frek

Anak-anak

38

26,0

20

13,7

58

39,7

Dewasa muda

21

14,4

27

18,5

48

32,9

Dewasa

14

9,6

26

17,8

40

27,4

Total
73
50,0
73
50,0
146
100,0
Dari tabel 5.4 diatas diketahui bahwa pada anak-anak (<5 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 38 orang (26,0%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 20 orang (13,7%). Pada dewasa muda (6-19 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 21 orang (14,4%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 27 orang (18,5%). Pada dewasa (>19 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 14 orang (9,6%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 26 orang (17,8%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai
p = 0,007.
5.2.2 Faktor Jenis Kelamin Responden Dengan Penderita Konjungtivitis di
RS Putri Hijau

27

Tabel 5.5 Faktor Jenis Kelamin Responden dengan Penderita Konjungtivitis


di RS Putri Hijau
No

Jenis kelamin

Kasus

Kontrol

Total

Frek

Frek

Frek

Laki-laki

46

31,5

34

23,3

80

54,8

Perempuan

27

18,5

39

26,7

66

45,2

Total
73
50,0
73
50,0
146
100,0
Dari tabel 5.5 diatas diketahui bahwa laki-laki yang menderita
konjungtivitis sebanyak 46 orang (31,5%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 34 orang (23,3%). Perempuan yang menderita konjungtivitis sebanyak
27 orang (18,5%) dan yang tidak menderita konjungtivitis sebanyak 39 orang
(26,7%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p=0,046. Hasil odds ratio
diperoleh nilai 1,954.
5.2.3 Faktor Status Pekerjaan Responden dengan Penderita Konjungtivitis
di RS Putri Hijau
Tabel 5.6 Faktor Status Pekerjaan dengan Penderita Konjungtivitis di RS
Putri Hijau
No

Status

Kasus

Kontrol

Total

Frek

Frek

Frek

Bekerja

29

19,9

33

22,6

62

42,5

Tidak bekerja

44

30,1

40

27,4

84

57,5

Total
73
50,0
73
50,0
146
100,0
Dari tabel 5.6 diatas diketahui bahwa responden bekerja yang menderita
konjungtivitis sebanyak 29 orang (19,9%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 33 orang (22,6%). Responden tidak bekerja yang menderita
konjungtivitis sebanyak 44 orang (30,1%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 40 orang (27,4%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p=0,503.
Hasil Odds Ratio diperoleh nilai 0,799.
BAB VI

28

PEMBAHASAN

6.1 Hubungan Faktor Usia Responden dengan Konjungtivitis


Hasil analisa data menunjukkan bahwa pada anak-anak (<5 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 38 orang (26,0%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 20 orang (13,7%). Pada dewasa muda (6-19 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 21 orang (14,4%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 27 orang (18,5%). Pada dewasa (>19 tahun) yang
menderita konjungtivitis sebanyak 14 orang (9,6%) dan yang tidak menderita
konjungtivitis sebanyak 26 orang (17,8%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai
p = 0,007(P < 0,05) yang artinya Ho ditolak sedangkan Ha diterima. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan statistik yang bermakna antara usia dengan
konjungtivitis. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa usia
merupakan faktor resiko terjadinya konjungtivitis, dimana anak-anak lebih rentan
terkena konjungtivitis kemungkinan terkait dengan kebersihan pribadi, kontak
dengan lingkungan sekitar, serta kebiasaan-kebiasan yang dilakukan pada usia
tersebut.

6.2 Hubungan Faktor Jenis Kelamin Responden dengan Konjungtivitis


Hasil analisa data menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita
konjungtivitis sebanyak 46 orang (31,5%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 34 orang (23,3%). Perempuan yang menderita konjungtivitis sebanyak
27 orang (18,5%) dan yang tidak menderita konjungtivitis sebanyak 39 orang
(26,7%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p=0,046 (P<0,05) yang artinya
Ho ditolak sedangkan Ha diterima. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
statistik yang bermakna antara jenis kelamin dengan konjungtivitis dan diperoleh
hasil odds ratio diperoleh nilai 1,954 yang artinya laki-laki beresiko 1,954 kali
terkena konjungtivitis dibandingkan wanita. Hal ini kemungkinan terkait dengan

29

perbedaan sikap antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih peduli
terhadap kebersihan pribadi dan lingkungan dibandingkan pria.

6.3 Hubungan Faktor Status Pekerjaan Responden dengan Konjungtivitis


Hasil analisa data menunjukkan bahwa responden bekerja yang menderita
konjungtivitis sebanyak 29 orang (19,9%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 33 orang (22,6%). Responden tidak bekerja yang menderita
konjungtivitis sebanyak 44 orang (30,1%) dan yang tidak menderita konjungtivitis
sebanyak 40 orang (27,4%). Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai
p=0,503(P<0,05) yang artinya Ho diterima. Hal ini menunjukkan tidak adanya
hubungan statistik antara status pekerjaan dengan konjungtivitis dan hasil Odds
Ratio diperoleh nilai 0,799.

BAB VII

30

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
1. Adanya hubungan antara usia dengan penyakit konjuntivitis di Rumkit TK
II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan tahun 2015
2. Adanya hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit konjungtivitis di
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan tahun 2015
3. Tidak adanya hubungan antara status pekerjaan dengan penyakit
konjungtivitis di Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan tahun
2015
7.2 Saran
1. Kepada faktor resiko usia pada anak-anak, sebaiknya para orang tua
mengajarkan tentang kebersihan pribadi dan lingkungan terhadap anakanaknya, agar anak-anaknya terhindar dari penyakit konjungtivitis yang
sebenarnya dapat dicegah dengan prilaku hidup sehat.
2. Kepada faktor resiko jenis kelamin laki-laki, sebaiknya lebih peduli

terhadap kesehatan pribadi dan lingkungan agar terhindar dari penyakit


yang berkaitan dengan kebersihan dan lingkungan seperti penyakit
konjungtivitis.

Anda mungkin juga menyukai