PENDIDIKAN Dr. Kendra Hartaya kendra19838@yahoo.co.id
Penjara sebagaimana yang digagas oleh menteri
kehakiman Sahardjo pada tahun 1962 memiliki fungsi melaksanakan hukuman dan mengembalikan para narapidana ke dalam masayarakat. Kesan penulis bahwa melaksanakan hukuman merupakan akibat dari perbuatan kejahatannya dan mengembalikan kedalaman masyarakat merupakan usaha agar pada narapidana memperbaiki diri agar saat keluar penjara bisa diterima kembali oleh masyarakat sebagai warga yang bertaubat dari kejahatan. Dengan kata lain, di dalam penjara para napi ditumbuhkan kesadaran untuk tidak mengulangi perbuatan jahat, dan dibina agar memiliki kemampuan untuk bekal hidup di masyarakat kelak. Namun apa yang terjadi sekembalinya para napi dari jeruji penjara ?. Sangat mengejutkan kita semua. Makin jahat, makin berani, makin percaya diri dalam melakukan kejahatan, makin luas jaringannya, dan makin tinggi kemampuannya, makin menakutkan, dan masyarakat tidak lagi mau menerimanya sebagai anggota masyarakat. Seakan-akan penjara menjadi tempat sekolah bagi para napi untuk meningkatkan kemampuan kejahatan. Bukan lagi penjara memiliki makna sebagaimana gagasan Sahardjo. Meski demikian, tidak sedikit pula para napi yang bertaubat kembali ke jalan yang lurus. Akhir-akhir ini penjara menjadi pembicaraan yang heboh sejak ditemukannya fakta adanya perbedaan perlakuan terhadap para narapidana. Ada seorang narapidana yang menghuni satu ruangan lengkap dengan fasilitas mewah, sementara ada satu ruangan yang dihuni oleh banyak narapidana dengan fasilitas apa adanya. Adilkah ?. Bagi masyarakat umum, penjara adalah sesuatu yang menakutkan. Penulis yakin tidak ada satu orangpun yang menghendaki bisa menghuni penjara atau bercita-cita masuk penjara. Dengan melihat fakta tersebut, terlintas pada penulis bahwa ruangan penjara terkadang jauh lebih mewah daripada ruangan rumah orang biasa. Bahkan penulis mengatakan ruang tahanan yang disebutkan sebagai ruangan salah seorang tahanan wanita jauh lebih mewah daripada ruang tidur penulis. Dengan demikian penjara bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Karena dalam ruangan lengkap dengan fasilitas, privasi kita terjaga, masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari, kebutuhan kita terpenuhi, dll. Meski begitu tetap saja penulis tidak berharap masuk penjara. Bagi orang yang bermartabat dipenjara satu hari atau 10 tahun tidak ada bedanya karena sehari atau sepuluh tahun satatusnya sama yaitu ”pernah menjadi tahanan”, citranya sudah jatuh, harus memperbaiki dan menjaga diri. Bagi orang yang berduit, dipenjara satu hari atau 10 tahun juga tidak ada bedanya karena di rumah atau di dalam penjara tetap bisa melaksanakan aktifitas seperti biasanya. Pada hakikatnya, tidak adanya harapan atau cita-cita seseorang untuk masuk penjara adalah dikarenakan memiliki status ”pernah menjadi tahanan”. Status seperti itu menjadikan citranya buruk, harga dirinya jatuh, kesan masyarakat terhadap dirinya negatif. Hanya orang-orang yang menghindari status ini, yang menjaga jangan sampai masuk penjara. Hanya orang-orang yang menghindari status ini, jika terpaksa masuk penjara, akan memperbaiki diri sekembalinya kedalam masyarakat. Juga tidak sedikit orang bertambah mulia sekembalinya dari penjara, meski kemuliaan sudah dimilikinya jauh sebelum mereka masuk penjara. Kembali kepada fakta di atas, adilkah jika ada napi yang menguhuni satu ruangan lengkap dengan fasilitas, dan ada sekelompok napi yang menghuni satu ruang dengan fasilitas ada adanya ?. adil dan tidak adil tidak menjadi persoalan karena hal itu terkait dengan aturan yang berlaku dan siapa yang memberi fasilitas. Jika fasilitas itu diberikan oleh Lapas / pemerintah dan itu melanggar aturan, tentunya hal itu tidak adil, karena memperlakukan berbeda terhadap para napi. Tetapi bagaimana jika perlakuan terhadap para napi itu sama, tidak ada perbedaan ?. Dalam arti tidak peduli napi pandai, mantan pejabat, politisi, pengusaha atau bukan, semuanya bergabung / berkelompok dengan napi / penjahat kriminal biasa dalam satu ruang. Apa yang terjadi, bagaimana reaksi perasaan psikologinya ?. Perasaan gerah dan tidak nyaman pasti terjadi selain kemungkinan bisa jotosan (pukul memukul), penindasan, dll. Bagaimana sekembalinya kedalam masyarakat ?. Bisa jadi lebih beringas, lebih jahat, degradasi moral. Dengan demikian fungsi penjara hilang. Sebaik-baik orang jika terlalu dekat secara fisik lambat laun akan ada gesekan, merasa tertekan, berkurang rasa penghargaannya. Menurut penulis, pemberian fasilitas yang berbeda diantara para napi adalah perlu dalam tingkat kewajaran. Dari fakta temuan di atas, menurut hemat penulis, bahwa aktifitas satgas tersebut dalam rangka memberantas makelar kasus dan mafia hukum. Dengan fakta tersebut dimungkinkan terkait dengan makelar kasus dan mafia hukum, dan lebih lanjut ditemukan pelakunya untuk diadili. Juga adanya fakta tersebut menjadi pemberitaan yang besar di media massa sehingga menambah wawasan kita tentang penjara. Besarnya wawasan masyarakat mengenai penjara akan bisa membantu pengawasan semua kejadian yang terkait dengan penjara. Sebelum ditemukannya fakta tersebut, sangat sedikit sekali wawasan masyarakat mengenai penjara, bahkan asing dengan kejadian yang terkait dengan penjara. Penulis sendiri sangat awam dengan istilah mafia hukum dan makelar kasus. Dengan kejadian ini, mudah-mudahan muncul banyak pengamat tentang kepenjaraan agar wawasan masyarakat bisa bertambah. Selain itu, penulis usulkan, ada perguruan tinggi yang membuka program studi yang mengarah ke bidang kepenjaraan. Dengan program studi ini, riset- riset mengenai kepenjaraan dan seluk-beluknya bisa diungkap, sehingga keadilan di dalam penjara bisa terwujud. Dengan adanya program studi ini, diharapkan mekanisme keluar-masuk penjara dalam rangka riset lebih mudah, sehingga terjadi reformasi birokrasi di dalam penjara. Dengan mudahnya mekanisme keluar- masuk penjara (bukan sebagai napi), bisa menjadikan penjara sebagai tempat pariwisata dengan banyak kegunaan. Misalnya, untuk menyadarkan bagi generasi muda agar tidak berbuat jahat, untuk kepentingan pendidikan moral, untuk kepentingan pendidian ilmu sosial dan humaniora. Terimakasih. SELESAI.