Anda di halaman 1dari 15

Bab 2.2.

10
Hipotesa Lain
(Mauro Ricardo)
Pesan Inti
Akselerasi proses penuaan mungkin melibatkan melanosit folikular
Meningkatnya kecenderungan melanosit untuk lepas dari membran basal
mengindikasikan kemungkinan adanya defek selular intrinsik lain.
Berdasarkan sudut pandang oksidatif, gangguan sintesis lemak pada membran dapat
mengirim sinyal intraselular yang menyimpang dan sangat beracun.
2.2.10.1 Introduksi
Selain patomekanisme yang paling diakui, ada beberapa hipotesa mengenai beberapa
penyebab hilangnya melanosit. Hipotesa alternatif dan inovatif yang paling utama adalah
penuaan atau lepasnya melanosit hingga hilang, kerusakan virus, dan rusaknya energi
mitokondrial.
2.2.10.2 Teori Penuaan Melanosit Awal (Niche : lingkungan mikro stem sel in vivo atau
in vitro)
Hingga saat ini, perhatian kita terfokus pada residen melanosit epidermis. Namun,
pertukaran antara rambut dan kompartemen epidermis telah diperagakan pada melanosit.
Folikel rambut melanoblast niche, yang sebagian besar dipelajari pada tikus, berdiferensiasi
dan bermigrasi ke bulbus rambut sementara untuk mempertahankan cadangan sel yang belum
terdiferensiasi didalam bulbus tersebut. Niche memungkinkan produksi sel melanosit baru
terus menerus agar tehindar dari kelelahan serta penuaan sel. Sebagian kecil stem sel
melanosit matang menjadi terdiferensiasi dan berpindah, sedangkan bulbus tetap diam.
Kelelahan pada sel yang diam ini akan mempengaruhi produksi melanosit berikutnya.
Kemampuan respon kepada growth factor spesifik (misalkan, SCF, c-Kit/SCF axis yang
tampaknya akan rusak pada vitiligo) akan mempengaruhi produksi yang kontinyu dari
melanosit terdiferensiasi dan melanosit fungsional pada epidermis (1) (lihat Bab 2.2.8).
Hingga saat ini, latar belakang molekular dan genetik terhadap penuaan melanosit telah
diinvestigasi terutama pada melanoma. Secara khusus, pola ekspresi dari kelompok protein
retinoblastoma (RB) adalah sebaik seperti aktifasi beberapa kinase (ERK2), termasuk
didalamnya sinyal stress, telah dilaporkan sebagai status penuaan melanosit dan berbeda
dengan yang maligna. Eksperimen kultur in vitro menyediakan model untuk menguji nilai
fisiologis dai tiap growth factor dan peran masing-masing dalam menentukan kemampuan sel
untuk membelah diri atau menua. Vitiligo dapat dipertimbangkan sebagai studi model pada
stem sel serta proses penuaan. Menurut hipotesis ini, melanosit pada vitiligo menunjukkan
adanya defek pada potensinya untuk berproliferasi dan berdiferensiasi pada bulge level. Hal
tersebut dapat dipertimbangkan sebagai proses penuaan lokal melalui mekanisme yang mirip
dengan ubanan yang dimediasi radikal bebas (free radical-mediated graying), yang
berhubungan dengan hilangnya melanosit secara progresif dimulai dari bulbus rambut.

Berdasarkan hipotesis ini, sekitar 1/3 35% dari kasus vitiligo berhubungan dengan munculnya
uban pada rambut yang dini jarang terjadi pada pasien dengan vitiligo. Nilai klinis dari proses
penuaan yang cepat ini relevan dengan terapi. Ada tidaknya reservoar dari folikular yang
fungsional mungkin menjadi faktor krusial suksesnya autologous graft.
2.2.10.3 Teori melanosit detachment (melanositoragik)
Seringnya, titik onset vitiligo adalah pada bagian tubuh dimana disitu terjadi tekanan atau
gesekan minimal, dan evaluasi histologis mengindikasikan meningkatnya jumlah tenascin
pada dermis stratum papilare (lihat Bab 2.2.2.1). Dasar dari observasi klinis diatas, contoh in
vivo dari lepasnya melanosit telah ditetapkan [5]. Setelah pemberian stres fisik (yang sudah
dikalibrasi), pelepasan dan hilangnya melanosit epidermis yang progresif menunjukkan
penemuan sel non dendritik berada di lapisan epidermis atas, tanpa bukti (histologis) dari
frank death. Meskipun penyebab dari deposisi tenasin ekstrasel masih belum diketahui, tapi
hal tersebut telah diperkirakan menghalangi adesi melanosit ke fibronektin sehingga
melanosit tersebut lepas. Dari semua kemungkinan penyebab produksi tenasin, induksi
cytokine-mediated telah diusulkan. Adesi melanosit adalah fenomena yang disebabkan oleh
interaksi dari beberapa kelas protein dan beberapa bentuk melanosit, yang mampu untuk
bersentuhan dengan membran basal melalui dendritnya. Adesi melanosit dan keratinosit
terutama karena komplek cadherin-catenin, sedangkan adesi dari membran basal diprakarsai
oleh Ca-independent a6b1 intergrin. Disisi lain, dendrit memulai penempelan melalui Cadependent intergrin. Lebih lagi, bentuk dendrit tergantung dari tempat menempelnya
cadherin. Lepasnya melanosit pada vitiligo secara primer atau sekunder masih diperdebatkan.
Pada epidermis pasien vitiligo, radikal oksigen dan racun melanin benar-benar dapat terlibat
dalam compromised multiproteic junction sebaik seperti dalam morfologi dendrit yang
abnormal. Penambahan H2O2 secara in vitro telah dilaporkan berpengaruh pada retraksi
dendrit, sebagai langkah pertama dari lepasnya melanosit. Lebih lagi, kerusakan keratinosit
oksidatif memberi peran pada produksi dan lepasnya tenasin di ruang ekstraseluler.
2.2.10.4 Hipotesis Virus
Data sporadis dan kontroversial telah dipertimbangkan sebagai data yang mendukung
bahwa infeksi virus dapat memicu timbulnya vitiligo. Data epidemiologis menunjukkan
meningkatnya prevalensi dari HTLV1 (human T cell lymphotropic virus tipe 1) pada pasien
dengan vitilgo (0,7% SV 0,22% pada darah kontrol) [9]. HTLV1 adalah agen etiologis dari
sel T limfoma/leukimia dewasa, paraparesis spastik tropis, dan uveitis. Peran Sitomegalovirus
sebagai pemicu juga telah diusulkan [6] sebagai dasar dari adanya CMV DNA melalui biopsi
kulit pada 38% pasien. Karakterisitik yang digarisbawahi dari virus terhadap patogenesis
vitiligo meliputi kontaminasi folikel rambut dan ujung saraf secara mudah.
2.2.10.5 Kurang Bersihnya Fragmen Apoptosis
Data lain, untuk dipertimbangkan dengan hati-hati, menunjukkan bahwa kurangnya
pembersihan fragmen apoptosis oleh Mannose Binding Lectin (MBL) mungkin menjadi salah
satu faktor (Bag. 2.2.7.2). MBL adalah calcium-dependent lectin yang termasuk dalam masa
awal imunitas bawaan, sebelum antibodi terbentuk. MBL mengaktivasi komplemen,

menginisiasi opsonofagositosis, memodulasi respon inflamasi, dan menginduksi apoptosis.


Pembersihan badan apoptotik yang tidak adekuat ini dikaitkan dengan beberapa penyakit
autoimun melalui pengebalan aktivasi imun [8]. Pemikiran diatas mungkin sesuai dengan
hipotesis yang akhir-akhir ini disampaikan tentang inflammasome (lihat Bab 2.2.1). Debris
sel atau fragmen apoptosis dapat mengaktivasi NALPI didalam kompleks inflammasom,
yang kemudian mengaktivasi IL1 pathway dan memberi sinyal kepada sistem imun. Pada
pasien vitiligo, metabolisme kalsium yang terganggu bersama dengan berbagai bentuk MBL,
dapat menurunkan jumlah MBL yang mengakibatkan pembersihan fragmen apoptosis yang
cukup.
2.2.10.6 Mekanisme Defek Lipid Membran
Berdasarkan kerusakan yang dimediasi oleh oksidan, hubungan antara generasi ROS dan
struktur memban juga dikemukakan. Dasar dari hipotesis melanosit, seperti tipe sel yang lain,
menunjukan defek biokimia, yang dimungkinkan karena predisposisi latar belakang genetik,
yang berefek pada struktur dan fungsi dari membran. Membran yang intak dapat memberikan
sel yang sensitif untuk membedakan agen eksternal dan internal (UV, sitokin, katekolamin,
melanin intermediet, withdrawal dari faktor pertumbuhan), biasanya tidak efektif pada
aktivitas normal dan pada ketahanan sel. Susunan lipid yang tidak benar, termasuk asam
lemak dan kolestrol, akan berefek pada lokasi protein trans-membran dengan aktifitas
enzimatik atau reseptor. Efek yang mungkin ada pada defek membran ini adalah kurangnya
aktifitas dari protein rantai transport elektron milik mitokondrial, yang jelas berhubungan
dengan membran lipid dan kemudian mengganggu produksi ATP dan mengganggu ketahanan
sel. Hasil akhir tergantung intensitas durasi dari stimulus, yaitu agresi minimal yang
mengarah pada pengurangan produksi ATP akan menggangu adhesi; aksi stimulus yang lebih
besar sebagai agen pro-apoptosis akan berpengaruh pada checkpoint ketahanan sel
mitokondria; akhirnya, stres mayor yang menyebabkan kematian sel dapat dikaitkan dengan
infiltrat peradangan.
Pada akhirnya, ekspresi yang terganggu dan lepasnya protein transmembran merupakan
dasar untuk paparan antigen yang dianggap benda asing oleh sistem imun, yang kemudian
memicu timbulnya respon imun yang tidak sesuai [2,3,4,7]. Sebagai tambahan, produksi
hsp70 berkaitan dengan kerusakan membran yang dapat mengembangkan pengenalan imun
serta aktivasi sistem imun.
2.3 Vitiligo Segmental, Contoh untuk Memahami Vitiligo?
2.3.1 Karakter Klinis Tertentu pada Vitiligo Segmental (Seung-Kyung Hann)
Isi :
Observasi klinis dan Hipotesa pada Pola SV
Keterlibatan Folikuler Reservoar Istimewa pada SV
Pada tahun 1977, Koga melakukan tes stimulasi sekresi keringat menggunakan
fisiostigmin dan mengklasifikasi ulang vitiligo menjadi tipe nonsegmental (tipe A) dan tipe
segmental (tipe B0 [6]). Koga mengusulkan bahwa tipe non segmental merupakan hasil dari

mekanisme imunologis, sedangkan tipe segmental merupakan hasil dari disfungsi sistem
saraf simpatik pada kulit yang terlibat (lihat bab dibawah, Gauthier dan Benzekri). Berikut
adalah observasi personal, yang menghasilkan hipotesa alternatif.
Observasi klinis dan Hipotesa pada Pola SV
Aspek kunci pada kasus SV adalah lesi yang tidak melewati sumbu tubuh (dengan
pengecualian pada gambar no. 2.3.1) dan terdistribusi sepanjang dermatom unilateral,
sehingga biasanya memungkinkan prognosis yang baik. Bagaimanapun, distribusi sebenarnya
pada area tidak berpigmen tidak selalu benar-benar mengikuti dermatom yang seharusnya,
seperti yang terlihat pada kelainan kulit lain seperti Herpes Zoster (lihat diskusi oleh Gauthier
dan Benzzekri dan pada Bab 1.3.2). SV dianggap mengikuti Garis Blaschko (BL) (lihat
setelah ini, Taeb) atau garis akupuntur [2]. Kemungkinan lain ialah SV mungkin mengikuti
garis yang masih belum diketahui melihat dari adanya sekelompok sel klonal yang identik.
Pembedaan karakteristik dari ketahanan melanosit dan melatogenesis dapat
mempengaruhi lokasi dari lesi. Dalam gambar 2.3.2, pasien laki-laki 14 tahun memiliki
vitiligo disekitar mata kiri sedangkan nevus spilusnya terbentuk secara simetris. Kedua
kondisi muncul hampir bersamaan beberapa bulan sebelumnya, menunjukkan varian dari
fenomena twin-spotting [1]. Pola kutaneus dapat terjadi pada penyakit yang berbeda SV
(Gambar 2.3.3a) dan nevus spilus (Gambar 2.3.3b). Penemuan ini menunjukkan bahwa
kloning dari melanosit dengan karakterisitik fungsional yang berbeda ada pada kelainan
pigmen yang didapat (acquired). Melanosit dalam nevus spilus dapat memproduksi melanin
lebih dari biasanya dan dapat memiliki masa hidup yang normal. Tipe melanosit yang
ditemukan di SV pada lokasi yang sama mudah menghilang tanpa diketahui sebabnya. Sifat
yang sebenarnya dari fenomena ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tapi mungkin
merefleksikan jalur embrionik pada koloni melanosit yang mewarisi kelainan, dimana belum
dapat diobservasi saat lahir atau pada bulan pertama kehidupan. Hal ini menunjukan bahwa
lingkungan menjadi salah satu pemicunya.
Keterlibatan Folikuler Reservoar Istimewa pada SV
Melanosit pada bulbus rambut bertanggung jawab pada pembentukan warna rambut.
Bulbus rambut mentransfer melanosom-nya ke sekitar keratinosit rambut. Dalam folikel
rambut, granul melanin biasanya berada pada korteks, dimana aksis panjangnya paralel
dengan permukaan rambut (Bab 1.3.6). Memang, itu mengejutkan bahwa kompartemen
folikel dari organ melanosit dapat terhindar dimana vitiligo berpengaruh pada kompartemen
epidermis. Sifat yang tidak sesuai antara melanosit epidermis dan folikuler ini sangat sering
dijumpai pada non segmental vitiligo (NSV). Badan leukotrichia bermacam-macam dari 10%
hingga lebih dari 60% untuk semua jenis vitiligo. Poliosis terjadi pada kedua vitiligo,
segmental dan non segmental. Kejadian leukotrichia pada alis, kulit kepala, dan bulu mata
telah diperkirakan terjadi pada 48,6% dari 101 pasien SV. Jika kasus adanya keikutsertaan
badan pada SV (dimana hal ini terdata kurang akurat) telah disingkirkan, insiden SV yang
berhubungan dengan leukotrichia menjadi lebih banyak. Diperkirakan SV berpengaruh pada
folikular dan melanosit epidermal pada fase awal dibanding dengan NSV (Gambar 2.3.4).
Dengan demikian, adanya leukotrichia seharusnya dianggap khusus, namun masih belum bisa
dipahami dengan baik secara signifikan. Repigmentasi rambut sulit untuk diobati dengan UV

dan pengobatan medis lain. Transplantasi melanosit dibutuhkan untuk repigmentasi yang
cepat dan lengkap [5] (Bab 1.3.6 dan Bagian 3.7)
2.3.2 Konsep Mosaicism yang diterapkan untuk SV
Isi :
Garis Blaschko dan Vitiligo Segmental.......................
Hubungan SV dan NSV.............................................
Implikasi untuk Penelitian dari Konsep Somatis Mosaicism yang Diterapkan pada
Vitiligo.....................................................................
Asosiasi nyata terjadi antara NSV dan diatesis autoimun personal/familial, dimana
menargetkan khusunya di kelenjar tiroid disekitar 25% pasien [24]. Dengan asumsi bahwa
vitiligo sendiri adalah penyakit autoimun yang organ-spesifik, dengan sistem melanositik
kutaneus menjadi target dari respon imun spesifik, seringnya pada langkah penalaran
berikutnya. Namun, pengamatan yang berasal dari SV menunjukkan bahwa penyebab
kutaneus primer seharusnya dipertimbangkan dengan perhatian yang lebih [3,26].
Garis Blaschko dan Vitiligo Segmental
Garis yang dideskripsikan oleh Alfred Blaschko pada tahun 1901 (Blaschko Line : BL)
berdasarkan pada gaambaran lesi kutaneus nevoid [2]. Mereka telah ditinjau secara ekstensif
oleh Happle [5] dan dianggap mengikuti pengembangan dorso-ventral dari komponen sel
kulit. Ketika terlihat, BL mencerminkan mosaicism pertama kali ditunjukkan pada kelainan
keratin monogenik [17]. BL telah didalilkan untuk sesuai dengan pola migrasi terbatas pada
sel-sel yang berasal dari ektodermal atau neuroektodermal (seperti melanosit) [26], namun
beberapa observasi tentang penyakit dermal murni mengikuti pola, ini mengurangi
pandangan pada hal ini [14], dan saya lebih suka mendukung gagasan BL mencerminkan dari
seluruh kulit. Dua tipe garis (tipis atau tebal, lihat gambar 2.3.5a, b) mungkin sedikit lebih
sesuai pada sel somatik mosaicism asli yang mendasari, penyakit dermal cenderung
membentuk batas yang luas [25]. Pola lain yang tidak sesuai BL (tipe checkerboard, phylloid,
garment) juga diobservasi di klinik dermatologi [8], dan mungkin akan berfokus pada sistem
melanositik atau sel tipe lain.
Beberapa pola distribusi blaschkolinear pada SV mengunti seperti epidermis nevus [23],
dimana merupakan ekspresi nyata dari mosaicism somatik pada keratin basal [18] dan
ekspresi genetik epidermis [4]. Mosaicism terkadang terlibat pada mutasi sel germline,
sebuah fakta yang menjelaskan adanya ko-eksistensi dari pola segmental dan pola umum
pada silsilah yang jarang [16]. Distribusi dermatomal biasanya dipertimbangkan sebagai
refleksi yang lebih sesuai dengan distribusi SV (Bab 1.3.2 dan kontribusi oleh Gauthier dan
Benzekri pada bab ini), namun mengkotak-kotakan potongan dermatom tanpa memenuhi
area teori dari distribusi sulit untuk menghubungkan kepada latar belakang etiologisnya.
Anomali simpatik tercatat mendukung teori neurogenik dari SV [27], mungkin juga menjadi
faktor pembaur yang berhubungan pada ketidakberadaan melanosit yang dianggap sebagai
saraf-nya kulit [13] dan dapat melepaskan beberapa neuromediator. Pola besar dari

blaschkolinear, ketika diisolasi pada tungkai dapat meniru distribusi dermatom (Gambar
2.3.5c,d). BL akhir-akhir ini telah digambarkan pada wajah [7], dan beberapa kasus SV jelas
lebih tepat pada batas Blaschko daripada dermatom [23,25] (Gambar 2.3.6). Telah dinyatakan
bahwa hipotesis tentang cutaneus mosaicism pada SV berdasar pada analisis distribusi tidak
dapat menyingkirkan pemicu lain, seperti terutama faktor neurogenik (lihat bab berikutnya
oleh Gauthier dan Benzekri). Hal itu juga tidak menyingkirkan kemungkinan dari komponen
autoinflamasi menyebar secara lokal di sekitar area demarkasi pada garis perkembangan, tapi
bukti histologis dari infiltrat peradangan pada SV baru dapat dibuktikan secara terbatas [11]
(bab 1.3.10 dimana menunjukkan kasus inflamasi histologis pada SV).
Hubungan antara SV dan NSV (halaman 299)
Menyusul laporan dari kasus anak yang menghubungkan SV dan NSV [3], kasus lain
telah dilaporkan [15, 20-21, 25] (Gambar. 2.3.7). Fenomena ini mungkin telah diabaikan
sebelumnya karena NSV menyamarkan SV, yang memang adalah kasus untuk kasus prinsip
yang diresmikan oleh UVB fototerapi gelombang sempit [3]. Hal ini dapat menjadi kasus
ketika pasien diperiksa pada masa dewasa setelah sudah terjadi penyakit selama beberapa
tahun. Pada pasien dengan kulit kebanyakan menjadi SV, salah satu harus melihat secara
sistematis di tempat simetris minor dari keterlibatan integumen keseluruhan, menggunakan
lampu Wood di ruangan gelap. Presentasi biasanya lebih parah dan sebelumnya SV dalam
konteks terkait NSV dan efek dosis dari gen predisposisi umum dan hilangnya mekanisme
heterozigositas (LOH) seperti pada gangguan monogenik disebabkan oleh cutaneous
mosaicism somatik [19]. Hal ini terkait dengan mengetik 2 mosaicism menurut Happle,
sebagai lawan tipe I yang dihasilkan dari satu mutasi, menyebabkan fenotip yang mudah
diidentifikasi jika dominan [6]. Urutan ini (awal SV, akhir NSV) juga mungkin
mencerminkan peran pertama defek gen kulit yang menyebabkan SV dapat memicu respon
imun umum terhadap melanosit kulit yang didukung oleh defek gen terkait kekebalan yang
lain. Namun, silsilah yang menunjukkan adanya kasus dengan SV yang jelas pada keluarga
dengan kasus-kasus NSV sebelumnya [25] memperkuat kemungkinan mekanisme yang dekat
dengan mosaicism tipe II, sudah dibuktikan dalam sebuah kelainan kulit monogenik
menggunakan capture laser dari sel yang bermutasi dan DNA sequencing [19].
Implikasi Penelitian dari Konsep Mosaikisme Somatik Terapan untuk Vitiligo
Sampai saat ini, teori populer target keterlibatan kulit di vitiligo (sistem pigmen kulit
sebagai target autoimunitas) telah ditekankan berasal dari kulit itu sendiri. Jika teori
mosaicism somatik berlaku untuk SV, tampaknya masuk akal untuk berspekulasi bahwa
perbedaan dalam ekspresi gen dalam perbedaan kulit yang terlibat SV atau genetik kulit yang
terlibat dalam NSV terkait dengan SV harus memberikan informasi yang relevan tentang
penyebab penyakit. Data terbaru dari budaya melanosit di NSV telah menunjukkan profil
abnormal dari ekspresi gen yang terlibat dalam pengembangan melanosit, pengolahan
intraseluler, dan perdagangan protein gen tirosinase familial, pengepakan dan transportasi
melanosom, adhesi sel dan pengolahan antigen dan presentasi [22]. Fokus pada satu gen atau
bagian dari gen mungkin menjadi pilihan yang sulit. Dibandingkan dengan NSV, SV
mungkin akan lebih informatif dalam hal gen kulit penyebab, karena latar belakang

peradangan / autoimunitas akan mungkin lebih terbatas: autoimunitas dimanifestasikan


menjadi gangguan autoimun terkait langka timbul pada SV [9]. Autoantibodi terhadap
antigen melanositik juga tidak umum [10]. Satu-satunya fenotip "kekebalan" terbagi adalah
adanya halo nevi [1], yang tampaknya hampir sama seringnya pada SV dan NSV (6,4 vs
8,6%), dan cukup tinggi dibandingkan dengan kontrol tanpa vitiligo - kurang dari 1% [12 ]
(Chap. 1.3.5). Temuan ini, jika dikonfirmasi, mungkin menunjukkan bahwa beberapa pasien
SV memiliki beberapa mekanisme pelindung untuk menangkal pengembangan NSV, dan
yang mencegah efek buruk dari cangkok autologus di SV.

2.3.3 Hipotesis Neurogenik pada Vitiligo Segmental


(Yvon Gauthier and Laila Benzekri)
Efek abnormal dari hormon saraf dan peptida saraf dispekulasi dapat menjelaskan
hilangnya melanosit secara kronis pada vitiligo, terutama pada vitiligo segmental (SV)
dimana distribusinya, sesuai dengan dermatom. Teori neurogenik didukung oleh argumen
klinis, histologis, ultrastruktural, experimental, patofisiologis, dan biokemikal. Berikut akan
dibahas dengan penekanan pada SV.
Argumen Klinik
Distribusi Segmental (Bab 1.3.2)
Pada seri personal kami, 16% kasus leukoderma terlokalisasi mengikuti dermatom
sebagian atau seluruh satu atau lebih dermatom sebagaimana dijelaskan oleh Grant and
Haerer [16, 25, 27, 28] (Gambar 22.3.8). Distribusinya hampir mirip dengan Herpes Zoster
pada umumnya. Pola distribusi yang paling sering adalah pola yang sesuai dengan dermatom
nervus trigeminal.
Distribusi Campuran Beberapa Dermatom
Dalam 64% kasus makula depigmentasi tidak mengikuti pola dermatom yang
sebenarnya. Depigmentasi ini melibatkan sebagian masing-masing dermatom, atau overlap
antara dua hingga tiga dermatom, terutama pada SV yang berlokasi pada wajah (gambar
2.3.9a). Kami merasa bahwa eksistensi distribusi yang tidak benar-benar sesuai dengan
dermatom bukanlah argumen yang cukup untuk menentang hipotesis saraf. Salah satu
argumen bahwa dalam kasus Herpes Zoster wajah yang jelas, dimana distribusi dermatom
tidak diragukan lagi terlibat, distribusi yang sama dibandingan dengan SV campuran dapat
diteliti [12] (gambar 2.3.9b)
Vitiligo Terlokalisasi atau Leukoderma Mengikuti Kerusakan Saraf
Banyak pengamatan klinis telah dilaporkan dimana kulit menjadi putih di daerah sesuai
dengan kerusakan neurologis lokal. Vitiligo unilateral dan poliosis terletak di daerah yang
dipersarafi oleh kedua saraf trigeminal servikal dan dilaporkan pada anak dengan ensefalitis
virus [26]. Makula vitiligo ipsilateral setingkat lengan atas, dada, bokong, dan sakrum
diamati pada pasien berusia 31 tahun setelah trauma pleksus brakialis kanan [7]. Setelah

simpatektomi serviks kanan, pada wanita tersebut tumbuh uban di sebelah kiri dan lebih dari
di sisi kanan [19, 20, 21]. Depigmentasi lokal mirip dengan SV telah dilaporkan pada pasien
dengan tumor sumsum tulang belakang, atau setelah cedera saraf [8, 36].
Argumen Ultrastruktural dan Histologis
Kelainan sistem saraf perifer di sekitar makula vitiligo telah dipertimbangkan untuk
mendukung hipotesis saraf [3, 9, 31]. Bagaimanapun, kebanyakan studi telah dilakukan pada
sampel kulit pasien dengan NSV. Mikroskop elektron telah menetapkan bahwa kontak
langsung terjadi antara ujung saraf intraepidermal dan melanosit [5]. Perubahan distrofik di
batang saraf dan ujung saraf, serta perubahan degeneratif dan regeneratif di saraf kulit
terminal telah ditemukan di vitiligo [5, 10]. Menggunakan antibodi terhadap neuropeptida Y
dan kalsitonin yang terkait peptida-gen (CGRP), beberapa penulis mampu menunjukkan
peningkatan ekspresi peptida tersebut di kulit lesi dan perilesional dan sering menunjukkan
peningkatan jumlah CGRP serabut saraf positif dalam kulit yang terlibat [1, 2].
Penemuan Eksperimental pada Binatang
Kelainan pada neuropeptida atau mediator neurokimia lain yang disekresikan oleh ujung
saraf dapat membahayakan melanosit disekitarnya. Keberadaan persarafan kulit adrenergik
ke melanofor ikan teleost telah dibuktikan. Stimulasi listrik serabut saraf kulit menyebabkan
pencerahan di turbot Eropa [15]. Aplikasi epinefrin secara mirip menyebabkan agregasi dari
melanin dalam melanofor di beberapa ikan disertai dengan pencerahan warna kulit. Denervasi
simpatik telah diikuti oleh perkembangan pigmen melanin agregasi.
Secara embriologis, melanosit memiliki asal yang sama seperti sel-sel saraf. Mereka
dapat bereaksi dengan banyak senyawa yang mempengaruhi sistem saraf. Dalam katak,
asetilkolin, norepinefrin, epinefrin dan melatonin mencerahkan melanosit kulit [23].
Pada kulit babi guinea [9], penyebaran melanosit dicangkokkan di kulit yang
terdenervasi secara statistik lebih baik daripada di lokasi kontrol yang tidak dioperasikan. Hal
ini bisa menunjukkan bahwa saraf perifer bisa memainkan peran dalam regulasi fungsi
melanosit terutama untuk migrasi. Sebuah injeksi subkutan tunggal epinefrin ke dalam tikus
menyebabkan depigmentasi lokal dari rambut, tapi interpretasi fenomena ini tidak mudah,
karena tampaknya mungkin bahwa vasokonstriksi dapat menginduksi depigmentasi iskemik.
Argumen Patofisiologis
Pada pasien vitiligo, kelainan lokal terkait dengan kemungkinan penyimpangan yang
dimediasi saraf telah dilaporkan. Namun, data tersebut kurang tepat. Peningkatan aktivitas
ujung saraf adrenergik pada makula vitiligo diusulkan oleh Lerner [7, 22, 23]. Penulis lain
menyimpulkan bahwa ada pengaruh kolinergik dominan dalam kulit vitiliginous
dibandingkan dengan kulit normal [6, 11].
Klasifikasi Koga [17, 18] mengusulkan bahwa SV dapat diakibatkan dari disfungsi saraf
simpatik di daerah yang terkena. Atas dasar respon eksresi keringat yang terinduksi dari
fisostigmin, sebuah penurunan respon tipe segmental ditafsirkan terjadi karena peningkatan
pengaruh kolinergik [13, 14, 29]. Dalam lesi SV, aliran darah kulit terbukti meningkat hampir
tiga kali lipat dibandingkan dengan kulit normal sebagai kontrol dan anomali yang sama
ditunjukkan pada NSV di tingkat yang lebih rendah. Sebuah peningkatan yang signifikan

dalam respon alfa dan beta-adrenoreseptor kulit ditemukan pada jenis segmental
menunjukkan bahwa disfungsi saraf simpatik dapat terjadi [4, 30, 32, 33, 35, 37]. Seperti
disebutkan sebelumnya, stimulasi katekolamin dari adrenoreseptor dapat menyebabkan
vasokonstriksi yang parah. Dengan demikian mungkin bahwa stres oksidatif yang disebabkan
oleh hipoksia di tingkat epidermis dapat menyebabkan depigmentasi sebagian atau total dari
satu atau beberapa dermatom. Namun tidak ada perubahan dalam katekolamin plasma tingkat
atau adrenoreseptor kepadatan pada sel darah telah dilaporkan sejauh ini [24].
2.3.4 Segmental Vitiligo: Sebuah Model untuk Memahami Rekapitulasi dari
Repigmentasi
Isi :
Repigmentasi dari Segmental Vitiligo dan Ringkasan Skema Repigmentasi...............
Rekapitulasi Repigmentasi Vitiligo In Vitro dan Relevansi Klinis In Vivo.................
Perspektif Terapeutik...............................................................................................
Repigmentasi dari Segmental Vitiligo dan Ringkasan Skema Repigmentasi
Penelitian sebelumnya pada vitiligo telah berfokus pada NSV, dan sangat sedikit
penelitian yang ditujukan khusus SV [5, 7, 8, 16, 17, 33]. Dalam rangka untuk mendapatkan
wawasan lebih lanjut tentang cara untuk mengobati gangguan ini lebih efektif, analisis yang
cermat tentang bagaimana modalitas yang berbeda menyebabkan repigmentasi vitiligo akan
sangat berharga. SV dianggap sebagai penyakit yang stabil setelah hilangnya melanosit inisial
telah berhenti. Sejak penghancuran aktif melanosit tidak ada lagi, skema pemulihan SV
berfokus pada (1) aktivasi, migrasi, dan pengembangan fungsional melanoblast, (2)
proliferasi dan migrasi melanosit fungsional, dan (3) dampak keratinosit epidermis pada sel
pigmen [41]. Melalui hasil eksperimen in vitro, banyak wawasan telah diperoleh mengenai
mekanisme molekuler yang terlibat dalam skema repigmentasi vitiligo.
Pola untuk repigmentasi vitiligo dapat mengambil dua bentuk: pola folikel dan pola difus
(Bagian 3.1). Melanoblas dalam selubung akar luar (outer root sheath/ORS) dari folikel
rambut berfungsi sebagai sumber untuk repigmentasi folikel [32]. Dalam pola folikular,
pemulihan dari vitiligo dimulai oleh aktivasi dan proliferasi melanoblast dewasa, diikuti
dengan migrasi ke atas menuju ke epidermis terdekat untuk membentuk pulau-pulau pigmen
folikel [4]. Selama proses ini, melanoblas menjadi dewasa secara morfologis dan fungsional,
dan kemudian mulai mentransfer melanin normal ke keratinosit [44]. Di sisi lain, pola
perilesional atau repigmentasi difus mungkin melibatkan migrasi melanosit perilesional
menuju makula vitiligo atau aktivasi melanosit non-aktif dalam tiap lesi vitiligo [3, 30].
Gambar 2.3.10 merangkum proses repigmentasi berbeda yang dijelaskan di atas.
Rekapitulasi Repigmentasi Vitiligo In Vitro dan Relevansi Klinis In Vivo
Sel yang terlibat dalam Repigmentasi SV
Melanosit epidermal dan melanosit folikel mengekspresikan antigen yang berbeda [35]
memberikan bukti lebih lanjut dari perbedaan intrinsik antara segmental dan umum vitiligo
(lihat bagian sebelumnya oleh Hann). Terlepas dari proses perusakan inisial, setelah penyakit

menjadi stabil, sel-sel yang paling penting yang terlibat dalam repigmentasi SV selain
melanoblast dan melanosit adalah keratinosit, yang memainkan peran penting dalam
modulasi pigmentasi epidermal. Melalui faktor pertumbuhan/mitogen mereka, keratinosit
dapat memodulasi perilaku biologis melanosit sekitarnya. Faktor stem sel, faktor
pertumbuhan fibroblas dasar, endotelin, dan faktor pertumbuhan saraf merupakan salah satu
faktor tercatat berpartisipasi dalam hubungan yang rumit ini [9, 22, 25, 38, 43] (Bab. 2.2.8).
Karena sel-sel ini sudah tersedia untuk eksperimen, wawasan yang signifikan mengenai
repigmentasi SV dapat diperoleh dari membandingkan hasil in vitro dengan pengamatan in
vivo.
Model Repigmentasi In Vitro
- Membandingkan dampak biologis dari sumber iradiasi pada repigmentasi
Hal ini diketahui bahwa pengobatan PUVA lebih efektif untuk mengobati NSV
dibandingkan dengan SV [34]. Mekanisme molekuler yang diusulkan bertanggung jawab atas
dampak PUVA pada repigmentasi vitiligo meliputi (1) penipisan vitiligo terkait antigen
melanosit [13], dan (2) penurunan sel Langerhans di kulit vitiligo [12]. Namun, efek
imunomodulasi mungkin lebih penting untuk NSV aktif dan memainkan peran terbatas dalam
SV sebagaimana hilangnya melanosit aktif bukan merupakan fitur dari lesi SV [14]. Dampak
biologis dari PUVA pada sel epidermis meliputi (1) efek stimulasi terbatas pada keratinosit,
(2) peningkatan aktivitas matriks metaloproteinase (MMP)-2, modulator penting bagi
motilitas sel pigmen, dari melanosit [40], dan (3) peningkatan aktivitas tirosinase dari MC
[13]. Selain itu, fotosensitizer 8-methoxypsoralen dengan sendirinya dapat merangsang
MMP-2 ekspresi dari melanoblast [20]. Efek biologis yang diberikan oleh PUVA pada sel-sel
epidermis memberikan penjelasan yang masuk akal untuk efek terapi PUVA di SV. Selain itu,
juga dibayangkan bahwa NSV aktif merespon lebih baik terhadap pengobatan PUVA
dibandingkan dengan SV sejak PUVA juga memiliki efek regulasi kekebalan yang signifikan
selain efek biologisnya. Diagram skematik meringkas efek PUVA ditunjukkan pada Gambar.
2.3.11. Westerhof dan Nieuweboer-Krobotova [37] melaporkan bahwa pasien vitiligo
menerima PUVA dan NBUVB mengalami tingkat repigmentasi dari 46 dan 67%, masingmasing, setelah 4 bulan fototerapi. Hasil dari dalam eksperimen vitro dapat memberikan
penjelasan untuk fenomena klinis ini. NBUVB dikenal memiliki efek memodulasi kekebalan
tubuh termasuk pengurangan sel T kulit infiltratif dan menangkap pematangan sel dendritik
epidermal [26]. Dalam hal efek biologis, iradiasi NBUVB mempengaruhi beberapa target
selular (1) hal tersebut menyebabkan stimulasi langsung dari melanosit penggerak melalui
peningkatan ekspresi dari adesi kinase fokal terfosforilasi, (2) meningkatkan MMP-2
kegiatan dari melanosit, (3) menyebabkan stimulasi proliferasi melanosit tidak langsung
dengan meningkatkan produksi faktor pertumbuhan fibroblast dasar dan endotelin dari
keratinosit [39] dan (4) menyebabkan stimulasi langsung dari melanoblast dalam
pembentukan melanin dan migrasi sel (data tidak dipublikasikan). Ringkasan temuan in vitro
ditunjukkan pada Gambar. 2.3.11.
- Terapi Aplikasi SV

Membandingkan efek in vitro NBUVB dan PUVA pada sel epidermis, jelas bahwa kedua
modalitas memiliki efek imunomodulator yang signifikan, namun NBUVB memiliki efek
biologis yang lebih langsung pada sel-sel epidermis dalam hal mendukung migrasi sel
pigmen, proliferasi, dan pengembangan. Oleh karena itu, menurut model repigemntasi in
vitro, NBUVB dapat memberikan yang efikasi terapi yang lebih baik untuk mendorong
repigmentasi pada SV [1], dibandingkan dengan terapi PUVA. Perbandingan lebih lanjut
terhadap uji klinis harus dilakukan untuk memvalidasi hipotesis ini.
- Menghubungkan efek cahaya merah in vitro dan in vivo dan tacrolimus
Baru-baru ini, laser helium-neon (He-Ne), yang memancarkan lampu merah, telah
terbukti sebagai modalitas fototerapeutikk baru untuk mengobati SV [45]. Laser He-Ne
mempromosikan repigmentasi vitiligo melalui (1) stimulasi langsung dari melanosit dan
migrasi melanoblas [19, 45], (2) stimulasi langsung dari melanoblast untuk menjalani
pengembangan fungsional [19], (3) peningkatan sekresi faktor pertumbuhan saraf dan faktor
pertumbuhan fibroblas dasar dari keratinosit, dan (4) stimulasi tidak langsung pertumbuhan
melanosit melalui keratinosit [45] (Gambar. 2.3.11 dan 2.3.12). Salep takrolimus adalah agen
topikal yang menjanjikan dalam mengobati SV. Penelitian in vitro menggunakan sel
epidermis telah menunjukkan bahwa takrolimus (1) langsung merangsang keratinosit untuk
melepaskan faktor sel induk, (2) mendorong keratinosit untuk memulai pertumbuhan baik
melanoblas dan melanosit, (3) mendorong keratinosit untuk regulasi kegiatan MMP [18], dan
(4) secara langsung menginduksi pigmentasi dan migrasi melanosit [10]. Oleh karena itu,
selain efek imunomodulator dari tacrolimus pada sel-sel imun, efek biologis langsung dari
takrolimus pada sel-sel epidermis mungkin untuk bermakna efek terapi pada SV. Yang
menarik adalah efek dari terapi yang berbeda pada sistem saraf kulit. Saat ini, data in vitro
mengenai topik ini masih kurang. Namun, telah terbukti bahwa iradiasi laser He-Ne
menyebabkan peningkatan cedera saraf [15, 28] dan takrolimus topikal menginduksi rilisnya
neuropeptida [31] dan dapat menyebabkan diferensiasi sel neuron [11]. Laporan-laporan ini
menunjukkan bahwa efek modulator saraf mungkin memiliki peran yang sebelumnya tidak
dikenal dalam pengobatan SV. Penelitian lebih lanjut tentang bagaimana efek modulator saraf
termasuk ke dalam skema repigmentasi dapat mengembangkan rejimen pengobatan untuk SV.
Perspektif Terapeutik
Meskipun langkah baru telah dibuat pada pilihan pengobatan untuk SV, mekanisme
molekuler yang menjadi dasar induksi repigmentasi harus dijelaskan untuk mengoptimalkan
hasil pengobatan. Isu lain, yang memerlukan perhatian lebih lanjut, adalah keterlibatan
interaksi neurokutaneus dalam patogenesis vitiligo (lihat juga bagian sebelumnya oleh
Gauthier dan Benzekri dalam bab ini). Laporan sebelumnya telah menunjukkan bahwa
pembengkakan dan perubahan distrofik, serta beberapa regenerasi, yang dicatat dalam saraf
kulit bervitiligo [2]. Menariknya, juga telah disarankan bahwa tahap penyakit ini mungkin
berkorelasi dengan kondisi jaringan saraf. Lebih khusus, peristiwa awal terjadinya vitiligo
dapat menyebabkan kerusakan aksonal, tapi tahap akhir dari penyakit dapat mendukung
regenerasi saraf [36, 43]. Sejak bukti terbaru menunjukkan bahwa homeostasis kulit dapat
diatur oleh neuropeptidergik perifer dari serabut saraf [27], hal lebih lanjut berfokus pada

modulasi unit neurokutaneus yang mungkin dapat memberikan kunci untuk pengobatan
vitiligo yang lebih efektif.
SV adalah model yang sempurna untuk mempelajari repigmentasi karena merupakan
penyakit yang relatif stabil dengan hilangnya melanosit aktif yang terbatas. Selain itu, sel-sel
yang terlibat dalam skema repigmentasi SV sudah tersedia untuk eksperimen in vitro. Dengan
kemajuan terbaru dalam penelitian stem sel, yang memiliki potensi besar dalam aplikasi
klinis untuk obat regeneratif, penggunaan stem sel melanosit [24] dapat berkembang dari
eksperimen in vitro menjadi in vivo secara nyata seperti yang disarankan oleh Yonetani, dkk.
[42].
2.4 Sintestis Editor
Mauro Picardo dan Alain Taieb
Status pemahaman kita tentang patomekanisme vitiligo telah diringkas dalam Tabel
2.4.1. Kami telah mencoba untuk membaginya menjadi bidang utama dan bukti bertingkat.
Jelas, bukti in vivo pada penyakit manusia menjadi utama. Kegiatan in vitro yang bergantung
pada budaya harus dilihat lebih hati-hati karena artefak yang disebabkan oleh kondisi budaya,
meskipun kontrol yang tepat telah digunakan. Beberapa model hewan mungkin relevan,
tetapi tetap bukti definitif yang lebih banyak.
Mengenai data klinis, epidemiologis, dan patologis Ulasan di Bagian 1, yang
seharusnya memberikan dasar yang kuat untuk memahami penyakit ini, sudah kita lihat
kelemahan yang menarik di area vitiligo. Memang, kerjasama antara kelompok-kelompok
penelitian telah berkembang baru-baru ini dan berbagai definisi jenis atau tahap penyakit
(Chap. 1.2.1) telah menyebabkan kesulitan dalam interpretasi beberapa data in vivo, seperti
pentingnya peradangan kulit pada penyakit. Ada juga godaan besar (sadar atau tidak sadar)
untuk menghapus beberapa aspek yang tidak dianggap konsisten dengan sudut pandang
patofisiologi yang dipertahankan oleh penulis individual.
Pada bagian berikut kita menyoroti beberapa kesenjangan dalam pemahaman kita,
menggarisbawahi kemungkinan skenario penggabung, dan mengusulkan, berdasarkan review
data Bagian 2, hirarki peristiwa yang mungkin terjadi merupakan hulu dari hilangnya
melanosit dalam puzzle vitiligo (Gambar. 2.4.1).
2.4.1 Apakah Semua Mekanisme Sebenarnya dari Hilangnya Melanosit Terjadi
secara In Vivo?
Tabel 2.4.1 menunjukkan berbagai peristiwa yang mungkin yang dapat memprovokasi
hilangnya melanosit. Menariknya, beberapa teori populer, seperti kematian melanosit secara
apoptosis, belum dibuktikan. Dalam vitiligo non-segmental, ada banyak bukti sekarang
dimana melanosit dari daerah non-klinis yang terkena dapat secara morfologi atau fungsional
terganggu baik secara kelainan intrinsik, yang bisa menjadi dasar dari fenomena Koebner,
atau dari gangguan kekebalan tubuh sistemik rendah yang menargetkan sistem melanositik
kulit, atau keduanya. Hal ini sangat penting untuk pemahaman yang lebih baik dan akan
membutuhkan lebih studi in vivo menggunakan biopsi kulit untuk melihat perubahan pada
awal penyakit. Provokasi eksperimental pada fenomena Koebner, seperti ditunjukkan dalam

Bag. 2.2.2.1, mungkin menjadi alat yang berharga untuk mendeteksi kronologi kejadian pada
vitiligo, dan khususnya hubungan antara trauma dan peradangan.
2.4.2 Sebuah Visi Besar Satuan Kulit Melanogenik mungkin Berlaku pada
Vitiligo
Sementara melanosit merupakan target yang tak perlu dari penyakit, sel-sel kulit
lainnya mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup mereka. Unit pigmentasi kulit
konvensional adalah unit melanin epidermal dari Fitzpatrick dan Breathnach [2]. Unit
melanin dermal-epidermal baru-baru ini lebih dibahas [1]. Berdasarkan pengetahuan
patofisiologi vitiligo terbaru, unit melanogenik kulit harus mencakup, di samping melanosit,
keratinosit, fibroblas, dan ujung kemungkinan ujung saraf kutaneus dari unit yang dibahas.
Sel Langerhans juga bisa berperan sebagai sel-sel penting dari sistem kekebalan tubuh
bawaan, yang dibayangkan sebagai penjaga pengawasan sistem kekebalan terhadap sistem
pigmen dalam kasus ancaman lokal. Kemajuan dalam pengetahuan tentang jaringan
epidermal dan dermal yang mengatur pelepasan sitokin spesifik dan faktor pertumbuhan
membuka perspektif baru dalam patogenesis dan terapi vitiligo, jika hilangnya sel pigmen
dapat menjadi yang pertama dihentikan.
2.4.3 Stem Melanosit dan Vitiligo
Sampai saat ini, perhatian telah sebagian besar berpusat pada melanosit epidermis.
Namun, pertukaran antara folikel rambut dan kompartemen interfolikular telah ditunjukkan
dengan baik untuk melanosit (Bab. 1.3.6 dan 2.2.10). Melanoblas dari niche folikel rambut,
terutama dipelajari pada tikus, berdiferensiasi dan bermigrasi ke bulbus rambut selagi
menjaga cadangan sel yang belum berdifernsiasi dalam bulbus [14]. Niche tersebut
memungkinkan produksi terus menerus dari melanosit baru untuk menghindari kelelahan dan
penuaan sel. Vitiligo mungkin merupakan proses penuaan lokal melalui mekanisme yang
mirip dengan 'beruban yang dimediasi oleh radikal bebas' [8, 9], terkait dengan hilangnya
melanosit secara progresif dari bulbus rambut. Hadir atau tidaknya reservoir folikel
fungsional juga dapat menjadi faktor penting untuk suksesnya cangkok melanosit selain
hilangnya melanosit melalui fenomena Koebner. Biasanya, minoritas stem sel melanosit
dewasa menjadi melanosit terdiferensiasi dan melanosit migrasi, sedangkan sebagian besar
dari mereka tetap diam. Kelelahan dari melanosit yang diam tersebut akan mempengaruhi
produksi melanosit berikutnya. Kemampuan untuk merespon faktor pertumbuhan spesifik,
seperti SCF, dapat menentukan produksi kontinyu dari epidermis terdiferensiasi dan
fungsional yang dilakukan melanosit. Mengenai hal ini, Bagian 2 telah memberikan beberapa
argumen yang menunjukkan bahwa sumbu c-Kit / SCF tampaknya menjadi rusak pada
vitiligo (Bab. 2.2.8). Vitiligo dapat dianggap sebagai model yang mungkin untuk studi proses
stem dan penuaan.

2.4.4 Hipotesis Somatik Mosaikisme untuk SV dan Deduksi untuk NSV

Asosiasi yang baru-baru ini ditunjukkan pada SV dan NSV telah memberikan
wawasan baru dalam patogenesis vitiligo [13]. Alasan utama di balik ini adalah bahwa faktorfaktor predisposisi genetik masih belum diketahui apakah dapat mempengaruhi pertama
sistem pigmen kulit atau tidak. Aktivasi respon imun / respon inflamasi kulit akan datang
setelahnya dan mengarah ke ekspresi yang lebih parah dari penyakit. Skenario ini berasal dari
yang diusulkan untuk gangguan kulit lain yang umum, dermatitis atopik, yang disfungsi
genetik barier kulit muncul lebih dahulu dan dapat menghasilkan peradangan langsung [11],
dan terlibat dalam langkah kedua secara fakultatif dari sistem kekebalan tubuh menjadi
"alergi" terhadap jalur Th2-dependent pada subset pasien. Model dua-tahap ini konsisten
dengan penyajian umum NSV sebagai gangguan kulit kronis yang terisolasi di sebagian besar
pasien. Sejak gesekan / daerah rawan tekanan mejadi yang pertama terpengaruh, akan
menjadi menarik untuk berspekulasi bahwa anomali kulit utama mempengaruhi lapisan atas
epidermis untuk menjelaskan fenomena Koebner; hal itu akan menjelaskan dengan baik
aktivasi epidermal berikutnya dari mekanisme berbasis kekebalan bawaan bawaan melalui
aktivasi stratum korneum dari prekursor Il1beta yang tidak aktif [12]. Tekanan juga dapat
mempengaruhi secara langsung biologi lapisan epidermis basal jika adhesi abnormal
melanosit ada untuk menjelaskan pelepasan mereka [3]. Juga, seperti yang disebutkan
sebelumnya, ada penyebab genetik yang mungkin membatasi ketahanan hidup dan
pembaruan diri epidermal dan folikel melanosit, yang kemudian ditekan lebih awal oleh
penyakit SV dibandingkan dengan NSV [13]. Hubungan yang jelas dari NSV dengan
berubannya rambut secara familial juga merupakan latar belakang genetik yang
mempengaruhi ketahanan hidup melanosit. Ekspresi beberapa gen yang mempengaruhi jalur
tersebut memang dimodifikasi dalam NSV [10].
2.4.5 Membran Lipid sebagai Kemungkinan Penyebab
Pendekatan lipidomik untuk sinyal seluler menunjukkan bahwa lipid dapat dianggap
sebagai 'molekul sinyal' antara kegiatan ekstraseluler dan respon sel adaptif [4]. Perubahan
yang melibatkan metabolisme lipid dapat menyebabkan modifikasi dari struktur membran,
mempengaruhi kepekaan terhadap agen pro-oksidan, modulasi status redoks intraseluler
(Bab. 2.2.6), dan mendukung pelepasan hapten lipid, pada gilirannya mampu mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh. Selain itu, membran yang rusak dapat berpartisipasi untuk
penyebaran kerusakan oksidatif, yang bertanggung jawab kepada tingginya ROS intraseluler,
dan dapat juga pada gilirannya mempengaruhi struktur dan aktivitas peptida turunan POMC.
Fenomena ini mungkin menjadi dasar untuk berkurangnya aMSH di epidermis vitiligo.
Respon terhadap faktor pertumbuhan spesifik, sebagaimana proses yang mendasari adhesi
dan ketahanan hidup, juga bisa diganggu oleh metabolisme yang rusak dari pengantar lipid.
Aplikasi topikal restorasi yang dimediasi sphingolipid pada ekspresi MITF dan repigmentasi
pada tikus yang beruban sesuai dengan pandangan ini [8, 9].
2.4.6 Hipotesis Imunitas Bawaan
Selain kemungkinan paparan kompleks lipid-protein dengan sifat antigenik, apoptosis
atau mekanisme lain dari perubahan seluler dapat mengaktifkan surveilans kekebalan tubuh

melalui pelepasan fragmen membran. Berdasarkan temuan varian NALP pada imun NSV [6],
telah dihipotesiskan bahwa debris seluler atau fragmen apoptosis tersebut bisa mengaktifkan
kompleks NALP1 yang terinflamasi, mengaktifkan dalam memutar jalur IL1 dan
menyiagakan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, produksi hsp70 yang terkait dengan
kerusakan membran (Bag. 2.2.7.4) telah banyak dikaitkan dengan aktivasi antigen presenting
cell. Kerusakan kekebalan yang termediasi, sangat disarankan oleh berbagai data klinis dan
eksperimental (Bab. 1.2.2, 1.3.10 dan 2.2.7), sehingga bisa menjadi modalitas yang paling
menonjol dari hilangnya compromised melanosit genetik yang terbaik ditunjukkan selama
perburukan atau percepatan fase penyakit.
3.4.7 Penutup
Melihat pendekatan eksperimental terbaru, teori konvergensi Le Poole, et al [7] dapat
sementara diperbarui, dan tampil sebagai piramida di mana hilangnya melanosit adalah ujung
dari sebuah teka-teki besar, dengan predisposisi latar belakang genetik di tingkat dasar
(Gambar. 2.4.1).
Sebuah variabel latar belakang genetik (Level 1) dapat, di bawah pengaruh variabel
dan faktor pemicu lingkungan yang masih kurang dapat dipahami (panah), mengaktifkan
beberapa jalur patogen (Level 2), terjadi melalui mekanisme yang berbeda (Level 3), dan,
menurut intensitas dari rangsangan, mungkin menyebabkan hilangnya melanosit (level 4)
Untuk mengungkap misteri tingkat bawah tanah 1, dasar genetik vitiligo, selain
pendekatan konvensional pada DNA darah, SV dianggap sebagai mosaik genetik kulit yang
umum yang jelas pada postnatal akan menjadi model yang baik. SV adalah kandidat penyakit
yang dapat dieksplorasi sebagai bukti dari prinsip untuk strategi penemuan gen baru yang
ditujukan untuk mengobati gangguan multigenik dengan spesifisitas organ [5, 13]. Untuk
sudut yang baik untuk serangan piramida puzzle ini, kita masih kekurangan argumen definitif
dengan perspektif ilmiah klinis atau dasar. Bagian berikut akan berurusan dengan
ketidakpastian tersebut untuk pilihan terapi yang terbatas yang tersedia saat ini. (hlm 316-319
tidak ada)

Anda mungkin juga menyukai