Anda di halaman 1dari 13

Sanksi Hukum untuk Kelalaian dan Malpraktek

a. Sanksi Pidana
Untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, diatur dalam Pasal 359, 360,
dan 361 KUHP

Pasal 359 KUHP


Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain, diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 ayat (1)KUHP


Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain menderita luka
berat, diancam dengan pedana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun
Yang dimaksud dengan luka berat ialah kriteria yang diatur dalam pasal 90 KUHP,
yaitu :
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau menimbulkan bahaya maut
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencahariaan
3. Kehilangan salah satu pancaindra
4. Mendapat cacat berat (hilangnya salah satu anggota badannya)
5. Menderita sakit lumpuh
6. Terganggu pikirnya selama lebih cepat seminggu

7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

Pasal 360 ayat (2) KUHP


Barangsiapa kerena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian
rupa sehingga menderita sakit untuk sementara waktu dan tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah

b. Sanksi Perdata
Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya
menderita luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366, 1370,
atau 1371 KUH Perdata

Pasal 1366 KUH Perdata


Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalalian atau
kurang hati-hatinya

Pasal 1370 KUH Perdata


Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja
atau kurang hati-hati seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau
orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak

untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan
kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.

Pasal 1371KUH Perdata


Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang
hati-hati, memberi hak kepada korban, selain mengganti biaya-biaya penyembuhan,
juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut

Pasal 13 67 KUH Perdata


Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau
bawahannya

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :


Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan
Ayat (2)
Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan
Ayat (1)
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberi
perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun
nonfisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat
penting karena akibat kesalahan atau kelalaian itu mungkin dapat menyebbkan
kematian atau menimbulkan cacat dan permanen
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya
seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan
martabat seseorang.

c. Tindak Pidana Medis


Terdapat perbedaan yang mendasar antara tindak pidana biasa yang fokusnya
adalah akibat dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana medis fokusnya adalah justru
kausa/sebab dan bukan akibat. Tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana,
apabila secara teoritis paling sedikit mengandung 3 (tiga) unsur yaitu :
a. Melanggar norma hukum pidana tertulis
b. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum) dan
c. Berdasar suatu kelalaian

Ukuran kesalahan atau kesalahan/kelalaian dalam hukum pidana adalah


kesalahan/kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian ringan (culpa levis). Seperti
hukum perdata penilaian adalah terhadap seseorang/dokter dengan tingkat kepandaian

dan keterampilan rata-rata bukan dengan dokter yang terpandai. Culpa pada
hakekatnya adalah pertentangan nurani antara kesenjangan disatu pihak dengan
kebetulan dipihak lain.
Ukuran yang digunakan untuk culpa bukanlah orang/dokter yang paling hatihati, malainkan culpa lata itu sendiri. Kelalaian bukanlah suatu penggaran hukum atau
kejahatn, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orng
lain dan orang itu dapat menerimanya. Namun, jika kelalaian itu dapat mengakibatkan
kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini dapat
diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Culpa lata tidak dapat digunakan dalam bidang hukum perdata, sehingga
perkara yang hanya memenuhi culpa levis dapat ditampung dalam hukum perdata dan
hukum disiplin tenaga kesehatan
Tolak ukur culpa lata adalah :
a. Bertentangan dengan hukum
b. Akibatnya dapat dibayangkan
c. Akibatnya dapat dihindarkan
d. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Beberapa perbuatan yang dapat dikatagorikan dalam tindak pidana adalah :


1. Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
2. Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (pasal 322 KUHP)
3. Pengguguran kandungan tanpa idikasi medis (pasal-pasal 299, 348, 349 KUHP)
4. Lalai sehingga menyebabkan kematian atau luka-luka (pasal 359, 360, dan 361
KUHP)

5. Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP)

d. Tindak Perdata Medis


Berbeda dengan hukum pidana yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
dan keamanan dalam masyarakat, hukum perdata mengandung prinsip "barangsiapa
merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi" Menurut hukum perdata,
hubungan dokter - pasien dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu :

1. Berdasarkan Perjanjian (Ius Contractu)


Di sini terbentuk suatu kontrak terapeutik secara sukarela antara dokter dengan
pasien berdasar kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga terjadi
"Wanprestasi" yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah
tidak melakukan, terlambat melakukan, atau salah melakukan terhadap apa yang
diperjanjikan tersebut.
Untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syaratsyaratnya :
a. Adanya kesepakatan pihak-pihak yang membuat perjanjian
b. Kemampuan pihak-pihak untuk membuat perjanjian
c. Adanya objek tertentu
d. Mengenal suatu sebab/kausa yang diperbolehkan, halal, diizinkan atau lazim,
tidak bertentangan dengan hukum kesusilaan atau ketertiban umum/masyarakat

2. Berdasar Hukum (Ius Delicto)

Di sini berlaku prinsip barangsiapa menimbulkan kerugian, pada orang lain harus
memberikan ganti rugi atau kerugian tersebut. Kemungkinan-kemungkinan
malpraktek perdata dapat terjadi untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Wenprestasi (Pasal 2139 KUH Perdata)
b. Perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
c. Melalaikan kewajiban (Pasal 1367 KUH Perdata)
d. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUH Perdata)

Dalam bidang kesehatan/ kedokteran, ada faktor-faktor yang khusus yang tidak
dijumpai pada hukum yang berlaku umum sebagai berikut (guwandi, 1991) :

1. Risiko pengobatan (risk of treatment)


a.

Risiko yang melekat/inheren

b. Risiko alergik
c.

Komplikasi dalam tubuh pasien

2. Kecelakaan medis (medical accident)


3. Kekeliruan penilaian klinis (non negligent error of judgment)
4. "Contributory negligence". Istilah ini secara umum digunakan untuk sikap-sikap
tindak yang tidak wajar dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian/cidera pada
dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter terdapat pula kelalaian atau tidak
(contoh : nasihat dokter).

Secara yuridis semua kasus dapat diajukan ke pengadilan baik pidana maupun
perdata sebagai malpraktek medis dan apabila terbukti bahwa dokter tidak
menyamping dari SPM (Standar Profesi Medis).

Mekanisme Pengajuan Tuntutan Dugaan Kelalaian, Malpraktek, Pelanggaran Etika


dan Disiplin Profesi
Di Negara- Negara maju terdapat suatu Dewan Medis (Medical Council) yang bertugas
melakukan pembinaan etik profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan terhadap etik kedokteran.
Di Negara Indonesia, PDGI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, majelis ini belum
sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter gigi ataupun masyarakat.
Masih banyak kasus yang terlebih dahulu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani
oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Karena fungsi majelis ini belum memuaskan
maka pada tahun 1982, Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan
Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat di pusat dan cabang.
Tugas P3EK adalah menangani kasus-kasus malpraktik etik yang tidak dapat
ditanggulangi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dan memberi pertimbangan serta
usul-usul kepada pejabat yang berwenang.

Jadi, instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktik adalah Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dirujuk ke P3EK provinsi dan jika P3EK provinsi
tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut akan diteruskan ke P3EK pusat.
Begitu pula kasus-kasus malpraktik etik yang dilaporkan ke polisi diharapkan dapat
diteruskan terlebih dahulu ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran cabang atau wilayah.
Jika suatu pelanggaran merupakan malpraktik hukum pidana atau perdata, maka
kasusnya diteruskan ke pengadilan. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa oleh karena
kurangnya pengetahuan pihak penegak hokum tentang ilmu dan teknologi kedokteran
menyebabkan dokter yang ditindak hukum menerima hukuman yang tidak adil.
Alur Pengajuan Tuntutan Pasien kepada dokter gigi
Tahap pengaduan pasien jika terjadi malpraktek oleh dokter:
MKEK cabang / wilayah P3EK provinsi P3EK pusat
Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan
terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI
terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a.

Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;

b.

Melakukan mediasi;

c.

Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.

UU NO.29 thn 2004 tentang pengaduan :


Bagian Kedua
Pengaduan
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Bagian Ketiga

Pemeriksaan
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.

Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.
Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter
gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah
atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran


atau kedokteran gigi.
Alur pembelaan terhadap Anggota Profesi
1. Pelaksanaan
Pembelaan anggota dilakukan secara berjenjang sesuai keberadaan BPPA. Pembinaan
anggota dilakukan oleh BPPA bersama dengan pengurus PDGI lainnya

2. Monitoring&evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh BPPA bersama dengan pengurus PDGI
lainnya. Evaluasi dilakukan terhadap upaya pembinaan dan pembelaan anggota
3. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dilakukan secara berjenjang sesuai keberadaan BPPA. Pelaporan dilakukan
sesuai dengan hirearki kewenangan BPPA masing-masing. Pelaporan dilakukan
sekurang-kurangnya setahun sekali kepada BPPA pusat.
4. Pengorganisasian
5. Pembiayaan

Tatalaksana pembelaan:
1. Pembelaan hanya diberikan kepada anggota PDGI aktif

2. Bentuk pembelaan hanya berupa upaya pendampingan


3. PDGI hanya menanggung biaya anggota yang mendampingi
4. Pembelaan hanya untuk kasus etika dan disiplin

Anda mungkin juga menyukai