Rita Dharani
Koperasi Indonesia Lestari Yogyakarta
P aper ini bisa dipandang sebagai laporan pandangan mata atas apa yang saya temui di
lapangan atau pemetaan situasi industri kerajinan di Indonesia yang sejauh ini bisa saya
tangkap. Oleh karenanya, saya tidak bisa menghindari jika pada pemaparannya nanti terlihat
sangat praktis. Di beberapa bagian ada contoh hitunganhitungan matematis dalam alur distribusi
produk kerajinan. Tak lain hal tersebut demi membantu pembaca mendapat gambaran yang lebih
gamblang mengenai persolan pengrajin.
Pendahuluan
Sebagian besar rakyat Indonesia mengandalkan penghidupannya dari perdagangan barang. Petani,
pengrajin, pedagang kecil, dan sebagainya. Dengan menjual kerajinan, pengrajin berharap bisa
membayar biayabiaya pangan, pendidikan, kesehatan, menyumbang hajatan tetangga, membayar
arisan kampung, syukursyukur jika ada sisa bisa untuk membayar hutang. Mengandalkan hidup
dari perdagangan sama saja artinya dengan mengandalkan hidup pada pasar. Berhadapan dengan
pasar saat ini, artinya berhadapan dengan kesewenangwenangan kuasa modal. Kehidupan sehari
hari pengrajin adalah “pengabdian” dan pertarungan untuk terusmenerus melayani pasar.
Desa Kasongan, salah satu desa di sebelah selatan Kota Jogja, pada awalnya adalah desa
pengrajin gerabah tradisional. Anglo (tungku tradisional Jawa), kendi (wadah minuman air putih),
genthong (tempat penampuangan air), lépéklépék kecil produk kerajinan mereka dulunya dibuat
dari tanah liat hitam biasa. Mereka mengambil tanah tersebut dari sawahsawah di sekitar
Kasongan tanpa harus membayar apapun pada pemilik sawah. Sekarang tak ada lagi yang
memakai tanah sawah sebagai bahan dasar untuk produkproduk mereka. Mereka mesti membeli
tanah liat merah dari luar Kasongan. Konsumen tak lagi menyukai tanah liat sawah. Dulu hasil
gerabah mereka adalah gerabah dengan warna dan pembakaran alami. Sekarang hampir semua
gerabah dicat warnawarni dengan cat pabrikan. Kasongan bukan lagi sekedar sentra pengrajin
gerabah. Kasongan sudah menjelma menjadi pasar yang sesungguhnya, tempat pajang segala
rupa bentuk kerajinan. Perusahaanperusahaan trading kerajinan dari luar Kasongan berdatangan
membangun showroom besar dan menjual segala rupa kerajinan dari bermacam bahan. Segala
barang dari logam, kayu, batu, mebel, lukisan, kaca, resin dan bermacam bentuk dekorasi rumah
lainnya. Umumnya karena dianggap lebih bisa dipercaya untuk menangani pesanan, pembeli
pembeli partai besar lebih banyak bertransaksi dengan para trader ini.
Untuk menyambung hidup, pengrajinpengrajin asli Kasongan lebih banyak menyerah dan
menjual/menyewakan tanah mereka, menjadi buruh pensuplay perusahaanperusahaan yang
lebih besar dengan gaji rendah, menunggu datangnya pembelipembeli eceran yang tak tentu, atau
mengandalkan penjualanpenjualan kecil dari sedikit langganan mereka. Banyak pula yang
“banting setir,” membuka warung kelontong seadanya atau menjual makanan. Pengrajin gerabah
asli Kasongan tergusur, dan bukan lagi pemainpemain utama di kandang sendiri.
Bagaimana Politik Distribusi Produk Kerajinan?
Politik distribusi produk kerajinan dari tangan produsen sampai ke tangan konsumen terakhir,
tergambar dalam diagram terlampir. Saya memetakan alur distribusi tersebut sesuai dengan
pengamatan dan wawancara dengan beberapa pengrajin. Walaupun setiap jalur distribusi
kerajinan tidak selalu sama persis dengan pola pada diagram terlampir, namun secara sederhana
demikianlah kirakira pihakpihak yang terlibat dan bagaimana alur distribusi itu terjadi. Pola
tersebut bisa lebih panjang dan bercabang.
Siapa Gerangan Agen Modal dalam Industri Kerajinan?
Pihakpihak mana saja yang bisa diidentifikasi sebagai agen modal dalam pasar seni kerajinan?
Berikut uraiannya:
a. Tradding Agent/Tradding Company/Trader
Dalam hal penanganan produk kerajinan yang didistribusikan ke luar negeri, tradding
agent/tradding company/trader adalah perusahaan yang menangani atau mendapat order secara
langsung dari middlemannyabuyerluarnegeri atau dari buyerluarnegeri langsung. Buyerluar
negeri tadi biasanya juga berperan sebagai trader di luar negeri sana.
Dalam hal penangan produk kerajinan yang didistribusikan di dalam negeri, tradding
agent/tradding company/trader adalah perusahaan yang menangani atau mendapat order secara
langsung maupun tidak langsung dari toko, galeri, hotel, dsb.
Posisi tawar pengrajin kecil sangatlah rendah karena umumnya pengrajin dalam posisi tidak
memiliki modal cukup besar untuk mengolah pesanan. Misalnya, pengrajin mendapat order 1000
buah guci dengan harga perguci Rp. 50.000,, artinya total harga pesanannya Rp.50.000.000,.
Umumnya, untuk mendapatkan keuntungan yang cukup, pengrajin mesti menetapkan laba sekitar
20%30% dari harga pesanan, artinya dalam contoh tadi, biaya untuk produksi dan ongkos
ongkos lain seharusnya tidak boleh melebihi 70%80% dari harga pesanan (sekitar
Rp.35.000.000, sampai Rp.40.000.000,). Banyak kasus terjadi, pembeli (/buyer/trader)
seringkali tidak mau membayar downpayment yang mencukupi ongkos produksi. Maka ironi
yang kemudian sering terjadi adalah: downpayment sebesar 20%30% dari harga pesananpun
dianggap oleh pengrajin sebagai nilai yang cukup baik, meskipun nilai itu tidak mungkin
menutupi ongkos produksi. Jika pengrajin menuntut lebih, pembelinya akan “lari,” mencari harga
yang lebih murah ke tempat lain. “Ya, daripada tak ada pekerjaan sama sekali, bagaimanapun
tekanan pasar, buat pengrajin hal itu mestilah dihadapi...” Saya perlu hatihati untuk menyebut
sikap ini sebagai bentuk resistensi maupun negosiasi buruh kerajinan terhadap pasar, untuk
sementara saya masih melihatnya sebagai sikap menyerah karena tak punya pilihan lain yang
lebih baik.
Beberapa trader pendatang yang mempunyai showroom di Kasongan dikatakan oleh pengrajin
pengrajin kecil sekitar Kasongan sebagai perusak harga pasar kerajinan di Kasongan. Dengan
taktik dagang yang canggih, trader tersebut mampu menyanggupi order 1 container untuk setiap
harinya. Trader ini akan memesan barang yang diinginkan buyernya ke pengrajinsuppliernya.
Caranya, misal, untuk satu guci pengrajin menjual Rp.10.000, kepada trader tersebut, maka
trader tersebut akan menjual kepada buyernya dengan harga yang sama, Rp. 10.000, juga.
Trader tersebut memperhitungkan keuntungannya tidak dari nilai lebih yang ditambahkan ke
tiaptiap (/per) barang, namun dari volume/kuantitas jumlah pesanan keseluruhan (/dari kapasitas
barang yang masuk dalam 1 container). Permainan canggih ini hanya bisa dilakukan oleh
pedagang bermodal besar, pengrajin kecil tak mungkin bermain dengan cara serupa ini. Tahap
selanjutnya pengrajin kecil pun mesti menyesuaikan harga pasaran yang telah rusak tersebut.
b. Buyer (/Pembeli)
Pembeli adalah raja! Dalam terminologi pengrajin Indonesia, yang dimaksud buyer tersebut
sebenarnya bukanlah pembeli terakhir, mereka adalah tradder atau wholesaler. Tentu saja, ada
pembeli yang baik, ada yang tidak. Menurut pengrajin, pembelipembeli yang baik adalah
pembeli yang mau memberikan downpayment minimal sebesar 50% dari harga pesanan,
memenuhi kekurangan 20% pada tahap proses produksi berikutnya, dan ketika barang sudah
sudah terkirim, pembeli mau untuk segera melunasi pembayaran pesanan tersebut. Untuk
pembahasan pembeli yang tidak baik bisa dilihat dalam ulasanulasan yang terselip dalam pokok
pokok bahasan lainnya dalam paper ini.
c. Middleman
Dalam rantai perdagangan barang kerajinan, peran middleman sangatlah besar dan tak
terhindarkan. Middleman bisa berarti individu/perusahaan yang sekedar “kulakan,” tapi
middleman bisa juga mempunyai peranperan penting tertentu. Misalnya, dalam sebuah produksi
pesanan, perusahaan tradding yang menangani produkproduk berskala besar dan bermacam
varian sangat membutuhkan peran middleman. Untuk mengelola pekerjaan semacam itu banyak
sekali urusanurusan yang harus diselesaikan semisal tahapantahapan dalam proses produksi
(mentahan, pengecatan, pembakaran, pelapisan, finishing, dsb tergantung jenis produksinya)
quality control, pengemasan barang, pengepakan untuk pengiriman, stuffing, pengiriman,
claiming barang, mengurus barangbarang yang ditolak buyer, dan masih banyak lagi lainnya.
Karena banyaknya cabang pekerjaan yang mesti dikerjakan dalam satu produksi besar, bisa
dipahami kenapa kemudian muncul middleman di berbagai titik proses produksi dan distribusi
kerajinan.
Semakin banyak jumlah lapis middleman, maka harga jual barang semakin naik. Dalam banyak
kasus tertentu, middleman juga turut menekan dan merusak harga jual produk dari pengrajin.
Middleman akan menuntut harga beli serendah mungkin dari pengrajin untuk mendapatkan
keuntungan penjualan semaksimal mungkin dari pembeli selanjutnya.
d. Perkreditan
Akibat pemberian downpayment dari pembeli yang tidak mencukupi ongkos produksi, maka guna
mencukupi ongkos produksi pengrajin harus mencari tambahan dana. Hal ini seringkali dilakukan
dengan berhutang pada rentenir, kreditur keliling, tetangga, menggadaikan harta milik, menjual
tanah, dan segala kemungkinan lain. Nah, setelah pengrajin menyelesaikan produksi pesanannya,
sementara pembeli belum melunasi pembayaran pesanan, pembeli akan melakukan pesanan
dengan desain berikutnya pada pengrajin yang sama, tanpa downpayment. Kemudian pelunasan
untuk pesanan/order yang lalu diperlakukan sebagai downpayment atas pesanan berikutnya.
Begitulah cara kerja pembelipembeli kurang ajar yang tahu kelemahan posisi tawar pengrajin,
hingga sebenarnya pembayaran pesanannya pada pengrajin itu tak pernah benarbenar lunas.
Dari diagram di atas, bisa dilihat bahwa pada tahap ketika pengrajin tak punya cukup modal
untuk membiayai produksi pesanannya, pada saat itulah pengrajin menjadi target pihakpihak
pemberi kredit. Seringkali pengrajin harus terbelit banyak hutang pada rentenir maupun kreditur
kreditur keliling. Ahmad, salah seorang pengrajin di Bantul, bertutur bahwa pengrajin kemudian
seringkali memilih meminjam uang kepada rentenir, atau BMT (Baitul Maal wa Tamwil) yang
sempat populer di antara para pengrajin kecil menengah, atau kreditur perorangan lain yang
kadang berkeliling menawarkan pembiayaan produksi. Tak ada pilihan lain, jika sudah terjepit,
banyak pengrajin yang terpaksa terjerat hutang dengan krediturkreditur tersebut. Menurut
pengalamannya, Ahmad pernah pula berhutang pada sebuah BMT. Cara kerjanya demikian:
Ahmad mempunyai sejumlah tanggungan order; karena pembelinya hanya memberi
downpayment sebesar 25% dari nilai pesanan—yang tentu saja tidak cukup untuk berproduksi,
maka Ahmad menerima tawaran pembiayaan produksi dari salah satu BMT (yang kemungkinan
besar tidak berbadan hukum) di Jogja yang bersedia membiayai 100% nilai pesanan Ahmad tanpa
agunan apapun selain sekedar memperlihatkan PO (purchase order). Pada tahap ini, produsen
bisa bernafas dan berproduksi dengan uang dari BMT tersebut. Namun konsekuensi berikutnya,
setelah pembeli/buyer membayar pesanannya kepada Ahmad, maka Ahmad harus membagi hasil
nilai pesanannya dengan perbandingan 50%:50%. Dalam kasus ini kita bisa melihat, bahwa
Ahmad sesungguhnya tidak mendapatkan apaapa dari kerja kerasnya.
Ada juga pengrajin yang memilih bentukbentuk kredit berkala mingguan untuk kredit jumlah
kecil. Meskipun bunganya cukup tinggi (karena tanpa agunan), tapi bagi mereka syarat dan
pencairan kreditnya cukup mudah dan cepat bisa digunakan. Jadi sebenarnya, kebanyakan
pengrajin kecil lalu memilih mencari pinjaman uang tanpa agunan yang notabene bunganya tinggi
dan hanya bisa dalam nilai pinjaman yang kecil.
Marjiyem, seorang pengrajin gerabah di desa Kasongan pernah mencoba berusaha untuk
mendapatkan jumlah pinjaman yang sedikit lebih banyak pada produkproduk perkreditan milik
bank swasta dan pemerintah, jawaban yang diperoleh Marjiyem pasti: untuk nilai kredit yang bisa
mencukupi biaya produksi adalah mustahil jika dilakukan tanpa agunan.
e. Agen Filantropi
Lain lagi cerita tentang programprogram pembinaan yang dijalankan oleh korporasi
multinasional. CSR (Corporate Social Responsibility) adalah semacam program pembinaan
masyarakat yang akhirakhir ini begitu populer dalam ajang pergaulan korporasi multinasional.
Beberapa program CSR coba diterapkan ke usahausaha kecil menengah termasuk ke pengrajin.
CSR konon dimaksud sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial korporasi kepada masyarakat.
Program ini awalnya dibuat untuk mengatasi konflik antara korporasi dengan masyarakat sekitar
lokasi perusahaan tersebut. Misalnya konflikkonflik soal kerusakan ekologi, konflik perburuhan,
konflik sengketa pembebasan lahan, konflik akibat pelanggaran HAM, ataupun kerugian
kerugian sosialekonomi lain yang diderita masyarakat sekitar wilayah korporasi beroperasi. Jadi,
dari ide pembuatan program ini, bisa kita lihat bahwa program ini seolaholah dijalankan sebagai
cara “penebusan dosa” korporasi karena telah merebut kapital yang seharusnya dikelola dan
dimanfaatkan untuk masyarakat. Program ini kemudian bisa lebih jauh dikritisi, apakah memiliki
program CSR yang bagus kemudian menjadi alasan pembenar untuk korporasi bisa bebas
mengeksploitasi kehidupan rakyat?
Lucunya lagi, di Indonesia sekarang ini program semacam CSR ini dikompetisikan di antara
korporasikorporasi tersebut (yang penyelenggaraannya didukung penuh oleh sejumlah
departemen kementerian negara: Kementerian Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial,
Perumahan Rakyat, Lingkungan Hidup, BUMN, dan Kementrian Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal) untuk menentukan korporasi mana yang “paling bertanggungjawab” terhadap
kehidupan sosial masyarakat. Untuk mengikuti kompetisi ini, korporasi mesti membayar biaya
pendaftaran dan penilaian sebesar Rp. 35.000.000, Siapa yang menang, maka efeknya adalah
citra baik korporasi. Kritik tajam terhadap programprogram serupa ini adalah bahwa CSR tak
lebih sekedar kamuflase; usaha korporasi melindungi kepentingannya saja (lihat: kertas kerja dan
artikelartikel Jaringan Advokasi Tambang mengenai penanganan CSR oleh korporasi yang
beroperasi di Indonesia)
f. Pasar yang Dijalankan oleh Konsumen
Siapa itu pasar? Pasar kerajinan selama ini dijalankan oleh konsumen. Pengrajin dituntut untuk
terus melayani style, trend warna, bentuk dan model kerajinan yang terus berubah. Perubahan
trend yang maha cepat itu tentu saja mengharuskan pengrajin untuk memiliki modal cukup
supaya bisa terus melakukan eksperimen bahan dan desain. Begitulah resiko melayani produk
massal.
Seni pada dasarnya adalah esensi dari kreativitas, namun di sini seni kerajinanan terlihat tak
ubahnya hanya mengabdi pada “order,” bukannya mengembangkan kreativitas pengrajinnya.
Kreativitas yang saya maksud adalah dalam arti yang sesungguhnya, mereka, bereksperimentasi,
mengolah, dan lain sebagainya yang melibatkan idealideal tertentu dalam proses produksinya.
Bisa dilihat bahwa kebanyakan pengrajin terutama yang ada di sentrasentra kerajinan hampir
menghasilkan barang kerajinan yang sama. Benito Lopulalan (salah satu peserta panel
kebudayaan menanggapi persoalan ini dengan mengutip seloroh Degung Santikarma (antropolog
dari Bali) tentang industri kerajinan di Bali: “Siapa Tuhan baru dalam industri pariwisata yang
paling dipuja oleh orang Bali sekarang ini?” Jawabnya: “made (baca: made) to order.” Ya, di
Bali, di Jogja, pengrajin tak punya pilihan lain selain terus memproduksi barangbarang yang
diinginkan pasar untuk bisa memperoleh uang.
A pakah mungkin ada keadilan dalam pasar perdagangan?
Marjiyem suatu kali pernah mendapat order senilai Rp.11.500.000, untuk gerabah buatannya.
Pembeli dari Korea memberinya uang muka Rp.500.000, dan berjanji untuk kembali seminggu
kemudian, menambah uang muka tersebut. Pembeli itu datang dengan seorang “guide”, Marjiyem
dan pembelipun sudah saling memberikan tanda bukti order dan pembayaran. Marjiyem mulai
berproduksi, tentu saja dengan berhutang. Pada tahap selanjutnya, pembeli tersebut
menggagalkan order dengan alasan salah satu gudangnya di Jepara terbakar dan menyatakan tak
sanggup melanjutkan pesanan dengan Marjiyem. Tak ada yang bisa dilakukan Marjiyem kecuali
menunggu pembeli lain yang mungkin bersedia membeli seluruh hasil buatannya. Pada tahap
berikutnya, Marjiyem merasa cukup beruntung –kalau bisa dikatakan demikian, stok barang dari
pembeli Korea tersebut dibeli oleh “guide” yang mengantar pembeli Korea tadi senilai Rp.
8.000.000, . Rugi tentu saja, hasil penjualan tersebut habis untuk membayar hutang saja.
Sejauh perkembangan yang bisa saya lihat saat ini, satusatunya bentuk resistensi yang cukup
kuat dari pengrajin marjinal adalah melalui keterlibatannya berbisnis dengan basis fairtrade.
Bentuk resistensi ini sudah mewujud ke dalam sebuah gerakan fairtrade yang dikampanyekan ke
seluruh dunia.
Fairtrade atau perdaganganadil adalah salah satu gerakan alternatif perdagangan yang berusaha
melihat persoalanpersoalan yang dihadapi produsen marjinal. Gerakan fairtrade pada umumnya
bekerja di wilayah perdagangan berbagai jenis pangan dan kerajinan. Ada banyak organisasi fair
trade di dunia ini. Beberapa tradding company Indonesia yang berbasis fairtrade berafiliasi
dengan forumforum fairtrade dunia.
Tiap organisasi Fairtrade memiliki beberapa standar sikap berbisnis yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Antara lain, memberantas kemiskinan, transparan dalam berbisnis,
melakukan capacity building, pembayaran yang adil, kesetaraan jender, membangun tempat kerja
yang sehat, mengindahkan keseimbangan ekologi dalam berproduksi, mengutamakan untuk
berbisnis dengan marginilizedproducers, berbisnis dengan kepedulian akan keadilan ekonomi
sosiallingkungan. (dikutip kurang lebih dari website International Fair Trade Organization)
Agung Alit, salah seorang aktivis dan praktisi fairtrade di Bali, pemilik sebuah tradding
company berbasis fairtrade “Mitra Bali,” mengakui, bagaimanapun bukan pekerjaan gampang
untuk bisa menerapkan prinsipprinsip ideal tersebut ke dalam praktek perdagangan. Bagaimana
menformulasikan strategi negosiasi yang tepat dengan kondisi pasar kerajinan tidaklah mudah.
Situasi dilematiknya adalah bahwa tradding company berbasis fairtrade bertugas memperhatikan
pengrajin supaya berdaya menghadapi pasar dan memperoleh keadilan pembayaran, tapi di lain
sisi posisi fairtrade tradding company adalah berdagang (artinya mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin). Agung Alit sekali lagi mengatakan bahwa kurang lebih mottonya adalah
“pro profit, share profit.”
Sepertinya mudah untuk mewujudkan keadilan ekonomi bagi para pengrajin kecil supaya mereka
mendapatkan harga yang pantas untuk pekerjaannya. Secara cepat kita bisa memandang bahwa
middleman bisa dipangkas sebanyak mungkin agar pengrajin bisa mendapat nilai jual yang baik.
Namun pada prakteknya, middleman tidak bisa sama sekali dipangkas.
Beberapa rekan pengrajin saya mengatakan bahwa sebagai pengrajin mereka mungkin bisa
mendapat keadilan ekonomi (artinya bisa mendapat harga yang bagus untuk hasil kerajinannya)
jika dalam mata rantai perdagangan middleman/makelar bisa dihilangkan/dikurangi
keberadaannya. Berharap bahwa pengrajin bisa langsung menjual barangnya langsung ke pembeli
terakhir.
Namun menurut Agung Alit, sulit untuk bisa memangkas habis middleman dalam rantai
perdagangan. Mitra Bali sendiri sebagai sebuah tradding company menyebut dirinya sebagai
“ethical middleman”, dan meyakini peran Mitra Bali adalah “market fasilitator” bagi
pengrajin/produsen. Yang paling mungkin untuk dilakukan adalah mengurangi lapisan
middleman dan mengajak middleman untuk bekerja transparan.
Tidak semua produsen yang termarjinalisasi lantas begitu saja bisa bekerja dengan baik dengan
prinsip fairtrade, sering pula pengrajin tidak dapat bekerja dengan prinsipprinsip fairtrade,
maka meskipun dia tergolong pengrajin yang termarjinalisasi, dia tidak lantas bisa masuk dalam
jaringan bisnis fairtrade. Mitra Bali juga mengembangkan training ketrampilan pengrajin kecil
supaya mutu barang yang dihasilkan bisa bagus.
Ada satu hal yang menurut saya sangat penting dari prinsipprinsip yang berusaha ditegakkan
Mitra Bali, yakni mengenai kriteria penyaringan produsen kerajinan yang bisa terlibat dalam
jaringan bisnis Mitra Bali. Jika produsen mendapatkan order dari Mitra Bali karena menyuap staf
Mitra Bali, maka baik produsen maupun staf tersebut akan dikeluarkan. Hal ini saya kira penting
karena berkaitan erat dengan kontrol terhadap peran pihakpihak perantara.
Selain itu Mitra Bali juga mengadakan semacam kursus pengetahuan tentang bagaimana
mengkritisi developmentalism, supaya pengrajin mempunyai kesadaran politik dan bisa
menghubungkan kehidupan dan pekerjaan sehariharinya dengan perilaku sosialpolitk global
yang jauh tak terlihat namun akan selalu membayangi hidup mereka. Mitra Bali memberi
downpayment kepada pengrajinnya sebesar 50%70% dari harga pesanan.
Lalu bagaimana menanggapi komentar sinis akan gerakan fairtrade? Komentar bahwa fairtrade
hanya sekadar “label” saja, tak lebih sekedar “kemasan produk” dan trend berbelanja kalangan
eksklusif konsumen sadar etika?! Komentar ini mirip dengan komentar yang ditujukan pada
produkproduk makanan organik. Komang, seorang petani organik di Bali mengatakan bahwa
ironi dalam usahanya menggerakkan pertanian organik adalah petani organik sekedar
menghasilkan dan menjual pangan organik saja, selanjutnya untuk dirinya sendiri mereka justru
tidak mengkomsumsi hasil kebunnya sendiri, mereka memilih pangan nonorganik yang tentu
saja lebih murah.
Penutup
Bisa kita lihat bahwa negara menanggung peran yang lemah dalam persoalan seni kerajinan ini.
Negarapun bertekuk lutut di bawah tegapnya kedaulatan pasar. Malah pernah, salah seorang
pengrajin di Jogja menuturkan bahwa kesempatankesempatan berpameran dengan sewa stand
gratis yang diberikan Dinas Koperasi dan Dinas Perindustrian lebih sering diberikan pada kolega
kolega mereka sendiri. Seringkali seorang yang punya hubungan dekat dengan penentu daftar
peserta pameran mendapat kemungkinan lebih banyak untuk menjadi peserta, ketika mereka
mendapat order, mereka akan memberi sejumlah komisi pada orang penentu peserta pameran
tersebut. Pengrajin yang bermodal kecil seringkali malah tidak mendapat kesempatan tersebut.
Kecurangankecurangan di Dinas Koperasi semacam itu menunjukkan bahwa negara belum
mengambil tindakan signifikan terhadap lalu lintas pasar kerajinan dan memang tirani modal
sudah semacam way of life di segala sektor.
Di sisi lain, gerakan fairtrade perlu memperhatikan kritikkritik yang dilontarkan akademisi;
misalnya anjuran untuk menjaga supaya prinsipprinsip lain selain terwujudnya pembayaran yang
adil bagi pengrajin marjinal bisa benarbenar terwujud (misalnya soal kesetaraan jender, ramah
lingkungan, dsb). Perlu dipikirkan pula usaha untuk membentuk kemandirian pengrajin, agar
tidak perlu terus menerus difasilitasi oleh tradding company berbasis fairtrade. Dan untuk
menangkis pendapat bahwa fairtrade sekedar bentuk “belas kasihan” negara maju kepada negara
berkembang, gerakan fairtrade perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan: “apakah selamanya
pengrajin Indonesia bisa bergantung pada ceruk pasar kerajinan di Luar Negeri?”
Sumber:
Wawancara beberapa pengrajin kasongan, Yogyakarta
Wawancara beberapa anggota Koperasi Indonesia Lestari, Yogyakarta
Wawancara dengan Agung Alit dari Mitra Bali fairtrade tradding company, Bali dan wawancara dengan
beberapa pengrajin pensuplay produk Mitra Bali.
Wawancara dengan pengrajin perak di Celuk, Bali
Wawancara dengan beberapa comercial tradding company di Bali
Tentang penerapan CSR dapat dilihat di website JATAM: “Tak ada Otonomi Daerah di Sulut?”
http://www.jatam.org/content/view/320/35/; “Negara Lemah, CSR Menguat” http://www.jatam.org/content/view/
140/21/; “Adaro?” http://www.jatam.org/content/view/405/21/; “Lagi, Tambang Newcrest Didemo Warga” http://
www.jatam.org/content/view/234/35/; “Beranikah Kanada Meregulasi Perusahaan Tambangnya Di Luar Negeri?”
http://www.jatam.org/content/view/28/21/; “Eksploitasi Tambang Nikel Di Raja Ampat : Siapa Untung, Siapa
Buntung?” http://www.jatam.org/content/view/425/35/)
Tentang fairtrade dapat dilihat di: “Memperjuangkan Perdagangan yang Lebih Adil”
http://salam.leisa.info/index.php?url=getblob.php&o_id=210002&a_id=211&a_seq=0
http://www.ffti.info/aboutfairtrade
Tentang CSR Award bisa dilihat di:
http://cfcdcenter.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3&Itemid=1
http://cfcdcenter.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=26
http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=4748
http://www.telkom.co.id/hubunganinvestor/siaranpers/telkomraihcsraward2005.html
Perpustakaan Dinas Perdagangan dan Industri Yogyakarta
Perpustakaan Badan Pusat Statistik Yogyakarta
*) Paper ini ditulis ulang setelah dipresentasikan dalam panel kebudayaan “Konperensi Warisan
Otoritarian II: Demokrasi dan Tirani Modal,” yang diselenggarakan di FISIPUniversitas Indonesia, Depok
56 Agustus 2008