02 5102 PDF
02 5102 PDF
Relevansi Pengelolaan
Hutan Sekunder
dalam Kebijakan
Pembangunan
Relevansi Pengelolaan
Hutan Sekunder dalam
Kebijakan Pembangunan
ECO
Society for socio-ecological
programme consultancy
Anette Emrich
Dr. Benno Pokorny
Cornelia Sepp
Eschborn, 2000
Penerbit:
Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH
Postfach 5180
D-65726 Eschborn
Penanggung-Jawab:
Penulis:
Layout:
Michaela Hammer
Diproduksi oleh:
Harga:
10,-DM
Kata Pengantar
Agenda 21 yang diterima dalam Konperensi PBB mengenai Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development)
pada tahun 1992 yang dihadiri oleh 178 negara, mencakup sebuah bagian yang
didedikasikan kepada sector kehutanan. Bersama-sama dengan UNCED Forests
Statement, Agenda 21 membentuk dasar bagi kerjasama internasional dalam
bidang pengelolaan, konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan untuk
seluruh tipe hutan. Kesepakatan Rio juga digunakan sebagai dasar bagi proses
modifikasi kebijakan nasional yang dirancang untuk menstimulasi pembangunan
yang berkesinambungan dan sesuai dengan lingkungan di negara-negara industri
dan berkembang.
Idealnya, pembangunan yang berkesinambungan dilakukan berdasarkan tiga
prinsip panduan utama untuk semua kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan:
efisiensi ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian ekologi. Dalam hubungannya
dengan pengelolaan sumberdaya-sumberdaya alam, hal ini berarti bahwa
pemanfaatannya secara global tidak seharusnya menutup kemungkinankemungkinan pembangunan dari generasi-generasi yang akan datang. Dengan
fungsi-fungsinya yang tidak terhitung banyaknya, hutan-hutan diseluruh zona iklim
tidak hanya memenuhi salah-satu kepentingan manusia yang paling vital,
melainkan juga membantu mengawetkan keanekaragaman biologi diseluruh dunia.
Oleh sebab itu, sumberdaya-sumberdaya hutan dan kawasan-kawasan berkayu
harus dikelola, dipreservasi, dan dibangun secara lestari. Apabila tidak, maka
tidak akan mungkin untuk menjamin tersedianya kayu, pakan ternak, makanan,
obat-obatan, kayu bakar dan hasil-hasil hutan lainnya dalam jangka-panjang.
Selain itu, hutan-hutan tidak akan dapat memenuhi fungsi-fungsi penting lainnya
secara berkesinambungan dan dengan sesuai, seperti pencegahan erosi,
konservasi biotop, dan pengumpulan dan penyimpanan gas CO2 (penyebab efek
rumah kaca).
I. Hoven
Dr. C. v. Tuyll
Kepala Divisi:
Kebijakan Lingkungan, Perlindungan
Sumberdaya-sumberdaya Alam, Kehutanan;
CSD, GDF
Kepala Divisi:
Pengembangan Daerah Pedesaan
Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH
Daftar Isi
Daftar Isi
I
DAFTAR GAMBAR & DAFTAR TABEL.....................................................III
DAFTAR SINGKATAN ..............................................................................V
KATA PENGANTAR ................................................................................VI
RANGKUMAN ..................................................................................... VIII
1
PENDAHULUAN................................................................................1
II
Daftar Gambar
Gambar 1: Penyebaran hutan sekunder di daerah tropik (1990, dalam juta
Ha)
Gambar 2: Perubahan keluasan areal dari berbagai formasi hutan (19801990)
Gambar 3: Hutan sekunder sebagai bagian dari sistem pemanfaatan lahan
yang dinamis
Gambar 4: Faktor-faktor penentu dalam pembentukan dan perkembangan
hutan sekunder
Daftar Tabel
Tabel A:
Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penyediaan hasilhasil hutan sekunder secara berkesinambungan
Tabel 1:
Tabel 2:
Tabel 3:
Tabel 4:
Tabel 5:
Perbandingan potensi produksi kayu untuk kelompokkelompok pemanfaat yang berbeda pada sistem-sistem
produksi yang berbeda
Tabel 6:
Tabel 7:
Tabel 9:
Tabel 10:
Tabel 11:
IV
Daftar Singkatan
Daftar Singkatan
DC
FAO
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsabangsa (Food and Agriculture Organisation of the United
Nations)
FC
GEF
GTZ
IFF
IPF
LUP
m.
juta (millions)
NTFP
TC
Kata Pengantar
Tema hutan sekunder dan sumbangan yang dapat diberikannya dalam
pembangunan semakin mendapatkan perhatian di kalangan para ahli yang
berkecimpung dalam kerjasama pembangunan internasional. Hal ini terutama
disebabkan oleh karena dengan semakin menghilangnya hutan primer,
pembangunan hutan sekunder dan pengelolaannya secara lestari menjadi
semakin penting. Di masa lampau berbagai studi dan publikasi mengenai
tema tersebut telah dilakukan. Namun, kebanyakan dari studi tersebut lebih
difokuskan kepada sifat dan ciri alami serta dinamika suksesi dari hutanhutan tersebut. Dalam hal ini, perhatian dan minat utama terletak pada
pengusahaan kayu. Hanya terdapat sedikit penulis yang
memperhatikan/membahas lebih jauh fungsi-fungsi hutan lainnya, serta
kondisi-kondisi pembatas yang mempengaruhi pengembangan dan
pemanfaatannya.
Seperti halnya sumberdaya-sumberdaya alam lainnya, hutan-hutan sekunder
berada diantara berbagai kepentingan yang berbeda, yang kadang-kadang
menimbulkan konflik. Karena itu, penilaian potensi hutan-hutan sekunder
dalam konteks kebijakan pembangunan tidak dapat dilakukan hanya dengan
mengenali dan menilai sumberdaya tersebut, melainkan juga dengan
memperhatikan tujuan pemanfaatannya, kapasitas dari berbagai pihak yang
terlibat didalamnya, serta kondisi-kondisi sosial-budaya, ekonomi, kebijakan
dan hukum.
Studi ini bermaksud untuk memaparkan tema ini dalam konteks yang lebih
luas dan menunjukkan batasan-batasan, didalam mana diskusi mengenai arti
dan potensi hutan-hutan sekunder dalam konteks kebijakan pembangunan
seharusnya dilakukan. Dalam hal ini dilakukan pendekatan yang bersifat
global dan umum, yang tidak memperhatikan kondisi-kondisi regional,
VI
Kata Pengantar
kelompok-kelompok masyarakat secara terpisah, serta karakteristikkarakteristik yang berbeda dari hutan-hutan sekunder secara rinci. Studi ini
dilakukan berdasarkan penelaahan literatur-literatur yang tersedia, wawancara
terhadap staf luar-negeri proyek-proyek GTZ, serta berbagai diskusi yang
dilakukan dengan staf GTZ di Eschborn, anggota organisasi-organisasi
lainnya dan para penilai independen. Studi ini dapat dipandang sebagai
bahan diskusi. Karena kompleksitas dan banyaknya pertanyaan yang belum
terjawab, dalam studi ini tema (hutan sekunder) tidak dapat dibahas secara
menyeluruh dan sampai tuntas.
Kami mengucapkan terima-kasih atas bantuan dari seluruh partner bicara
kami, terutama Dr. Dietrich Burger, Martin Homola dan Dr. Jrg Linke, yang
nasihat dan sumbangan ilmiahnya telah membantu keberhasilan studi ini.
VII
Rangkuman
Catatan Umum
Diskusi mengenai hutan-hutan sekunder menjadi semakin penting dengan
semakin berkurangnya keberadaan hutan-hutan primer. Studi ini
dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam diskusi tersebut, dan dari
situ dapat digunakan sebagai dasar bagi para pengambil keputusan dan
praktisi agar dapat menaksir potensi hutan sekunder dalam konteks
kebijakan pembangunan secara lebih baik, dan menggunakannya sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pada Bab I studi ini akan diberikan gambaran mengenai penyebaran dan
pemanfaatan hutan-hutan sekunder. Setelah itu akan dilakukan analisa
mengenai potensi-potensi hutan-hutan sekunder yang dapat dimanfaatkan,
yang hasilnya digunakan untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan. Titik awal dari pengamatan ini adalah minat/kepentingan
dari kelompok-kelompok pengguna di tingkat lokal sampai internasional
yang mempunyai berbagai kemungkinan aksi/tindakan yang berbeda.
Akhirnya diberikan saran-saran bagaimana potensi-potensi yang
teridentifikasi dapat dimanfaatkan dengan dukungan sarana dan prasarana
yang tersedia didalam kerangka kerjasama teknis (Technical Cooperation /
TC). Banyak pernyataan didalam studi ini bersifat hipotetis dan diharapkan
dapat mengantarkan lebih lanjut diskusi mengenai hutan sekunder dalam
konteks kerjasama pembangunan.
Istilah Hutan Sekunder
Studi ini terutama dikaitkan dengan hutan-hutan sekunder di daerah tropik
dan sub-tropik. Namun, banyak aspek disini berlaku juga untuk hutan-hutan
di daerah beriklim sedang. Hutan Sekunder merupakan istilah yang sangat
VIII
Rangkuman
sulit untuk didefinisikan, dan oleh berbagai penulis yang berbeda diberikan
makna/arti yang berbeda. Walaupun setiap pembatasan/penyempitan
(definisi) menyebabkan bahwa hutan-hutan tertentu yang dapat dikategorikan
sebagai hutan sekunder oleh penulis-penulis lainnya dikeluarkan dari batasan
ini, namun untuk studi ini dipilih definisi hutan sekunder sebagai berikut:
Rangkuman
lokal, contohnya di lereng-lereng, tanah-tanah marjinal, dsb.)
XI
XII
Rangkuman
XIV
Rangkuman
Dalam studi ini, minat dan kelompok-kelompok pemanfaat hutan sekunder
yang potensil dibagi kedalam 3 kelompok berikut ini:
penduduk lokal/setempat (contohnya para petani pria dan wanita,
pedagang dan gembala)
penduduk regional dan nasional (diantaranya konsumer dan industri
kecil)
masyarakat umum (konsumer, pemerintah, industri, dsb.)
Kelompok-kelompok ini tentu saja sangat beragam (inhomogen) dan dapat
terdiri dari banyak sub-kelompok dengan minat/keinginan dan kemampuan
pemanfaatan yang berbeda. Pembedaan dari dan analisa mengenai
kelompok-kelompok pemanfaat berada diluar tulisan umum ini dan maksud
penulisannya.
Dalam konteks tujuan yang lebih khusus dan dalam menyusun rencana
kegiatan di lokasi secara lebih kongkrit, tentu saja sebuah analisa yang
mendetil mengenai minat/kepentingan dan kemampuan dari kelompokkelompok pemanfaat dan pihak-pihak lainnya harus dipersiapkan secara
lebih hati-hati dan dengan penuh perhatian.
XV
Rangkuman
Rekomendasi-rekomendasi Aksi
Untuk mempromosikan hutan sekunder melalui kerjasama teknis (TC),
terdapat berbagai kemungkinan aksi berdasarkan tujuan dan permasalahan
yang teridentifikasi. Namun, dalam hal pemanfaatan hutan sekunder hanya
terbatas sekali pengetahuan dan pengalaman yang tersedia mengenai
akibat/dampak dari perlakuan-perlakuan langsung (silvikultur) dan tidak
langsung (dengan mempengaruhi kondisi-kondisi pembatas) yang diberikan.
Karena itu, aksi-aksi yang dilakukan harus dipahami sebagai bagian dari
proses belajar.
Kebanyakan dari usulan-usulan mengenai penanganan hutan sekunder
difokuskan pada pengusahaan hutan, dimana produksi kayu merupakan hal
yang terpenting sedangkan fungsi-fungsi lainnya hanya dianggap sebagai
hasil sampingan.
Hanya sedikit dari proyek-proyek kerjasama teknis yang mendukung
promosi pendekatan trans-sektoral yang bermaksud untuk menerapkan
penggunaan hutan sekunder dengan tujuan multi kehutanan dan pertanian.
Selain itu, jarang sekali tersedia pengalaman mengenai pengelolaan hutanhutan sekunder sebagai bagian dari sistem-sistem tata-guna lahan yang
dinamis, dimana hutan-hutan tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk
pemanfaatan lahan dan seringkali berada didalam proses konversi dan
transformasi yang permanen di banyak tempat.
Pendekatan-pendekatan mana yang paling sesuai untuk diterapkan (baik
terpisah maupun sebagai suatu kombinasi), hanya dapat diputuskan secara
terpisah (kasus per kasus). Yang penting disini adalah bahwa hutan-hutan
sekunder merupakan komponen dari suatu sistem tata-guna lahan regional
dan aksi-aksi yang akan dilakukan harus diintegrasikan kedalam rencana
XVII
Rangkuman
kurang/tidak dikenal harus didukung seperti juga industri pengolahan
kayu.
Instrumen-instrumen ini juga dapat digunakan untuk menunjang
pembentukan hutan-hutan sekunder secara aktif, atau untuk mengarahkan
dan mempengaruhi pengembangan hutan. Contohnya, tunjangan terhadap
pembentukan hutan-hutan sekunder pada lahan-lahan yang tidak produktif
dan tidak menarik bagi sektor pertanian. Tentu saja, dengan menggunakan
instrumen-instrumen hukum, perencanaan dan teknis ini, proses
pertumbuhan hutan secara alami diarahkan kepada hasil-hasil suksesi seperti
yang diharapkan.
DC dapat mendukung berbagai macam pendekatan ini pada berbagai tingkat
intervensi. Pada banyak kasus, kombinasi dukungan yang diberikan pada
beberapa tingkat mempunyai arti yang lebih besar:
pada tingkat internasional
Pengikutsertaan tema tersebut dalam aksi-aksi internasional dan sasaransasaran global, penumbuhkembangan kesadaran, pemasaran dari jenisjenis pohon hutan sekunder, sertifikasi;
pada tingkat nasional
Jasa advisory politik dalam perubahan kerangka kerja politik, hukum dan
ekonomi, pengintegrasian kedalam rencana tata-ruang dan tata-guna lahan,
pengembangan dan implementasi hak-hak atas tanah, hak konsesi, insentif
(pajak, subsidi), pengembangan industri;
pada tingkat lokal
Perhatian yang diberikan secara seimbang kepada berbagai fungsi hutan
XIX
XX
Tabel A: Kondisi-kondisi yang Menguntungkan Bagi Penyediaan Hasil-hasil Hutan Sekunder Secara
Berkesinambungan
Manfaat/Fungsi
Kayu log
- Komersil
Kelompok Sasaran
Kualitas
Tapak
Umur
Tegakan
Kondisi-kondisi
tinggi
dewasa
sedangtinggi
sedang
muda-sedang
masyarakat regional
sedangtinggi
dekat pasar
berbeda-beda sedang
- Subsisten
NTFP
- Komersil
masyarakat lokal
berbeda-beda
dekat pemukimans
berbeda-beda muda-sedang
masyarakat global
berbeda-beda
berbeda-beda
- Subsisten
masyarakat lokal
berbeda-beda
dekat pemukiman
Perladangan
masyarakat lokal
sedangtinggi
berbeda-beda
Penggembalaan di hutan
masyarakat lokal
sedangtinggi
berbeda-beda
masyarakat lokal
rendah
masyarakat regional
rendah
berbeda-beda
masyarakat global
berbeda-beda
masyarakat global
masyarakat lokal
masyarakat regional
masyarakat global
rendah
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda muda - sedang
insentif keuangan
masyarakat global
berbatasan dengan
lahan pertanian,
daerah aliran
sungai, dsb.
kebanyakan di
lereng-lereng
wilayah yang luas
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
Konservasi
keanekaragaman jenis
Fiksasi CO2
Substitusi untuk
pemanfaatan hutan
primer
sedangtinggi
Kualitas
Tegakan
jauh dari
pemukiman
dekat pemukiman
- Subsisten
Kayu-bakar
- Komersil
masyarakat regional
dan nasional
masyarakat lokal
Lokasi Geografis
sedang-tinggi
sedang
tinggi
sedang
dewasa
Dept-for-Nature-Swap;
XXII
Pendahuluan
Pendahuluan
Pemanfaatan dalam arti luas, yang berarti termasuk konservasi dan juga konversi terencana
dari hutan-hutan sekunder.
Pendahuluan
2
2.1
Istilah-istilah lainnya untuk hutan sekunder adalah not disturbed recently, forest
fallow, dan degraded forest (Forest Resources Assessment (FRA), FAO,1980). Sejak
FRA pada tahun 1990, hutan-hutan dibagi menjadi hutan alam dan hutan tanaman,
sedangkan untuk Global Forest Resource Assessment 2000, direncanakan untuk
melakukan pengkategorian kedalam natural forest, semi-natural forest dan
plantation (pemberitahuan lisan dari SCHARPENBERG, Forest Products Division, FAO,
30.01.1997).
Sebab gangguan
Bagi banyak penulis, kriteria yang sangat menentukan dalam pendefinisian
hutan sekunder adalah bahwa perkembangan hutan didahului dengan adanya
gangguan oleh manusia, misalnya dalam bentuk tebang habis atau tebang
pilih. Bagi penulis lainnya, gangguan yang ada tidak hanya dari manusia saja.
Bagi mereka, sebab-sebab alami (seperti api, angin, air, letusan gunung
berapi) juga dapat menyebabkan terbentuknya hutan-hutan sekunder. Dalam
hal ini, kriteria definisi yang paling menentukan adalah adanya interupsi dari
keberlangsungan hutan seperti yang dapat dilihat pada tingkat gangguan yang
ada.
Tabel 1:
Kriteria-kriteria
Sebab
gangguan
Manusia
ANONYMOUS
(1992)
BROWN dan
LUGO (1990)
ts.
Tingkat
gangguan
Skala besar
x
x
CORLETT (1994)
GREIGH-SMITH
(1952)
HUSS (1996)
KAFFKA (1990)
x
x
x
x
x
UNESCO
(1978)
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Tingkat gangguan
Khusus bagi para penulis yang menganggap gangguan-gangguan alami
sebagai sebab dari pembentukan hutan-hutan sekunder, kriteria definisi yang
paling menentukan adalah tingkat gangguan yang terjadi. Pertanyaan penting
disini adalah apakah vegetasi asli dirusak sedemikian rupa sehingga
penrtumbuhan hutan dapat terjadi kembali tanpa dipengaruhi oleh vegetasi
autochton disekitarnya. Jika gangguan yang terjadi hanya sebatas pada areal8
ts.
Dapat
dikenali
SIPS (1993)
ts.
Penampakan
gangguan
WWF (1988)
Suksesi
FINEGAN (1992)
LANLY (1982)
ts.
x
x
LAMPRECHT
(1986)
Proses
perkembangan
2.2
10
12
Hutan tanaman dapat berbentuk: kebun tanaman hutan untuk tujuan produksi kayu, kebun
tanaman untuk tujuan produksi NTFP, kebun pohon pertanian (contohnya pohon buahbuahan) atau kebun dengan tanaman palawija dan pohon-pohon yang menaunginya pada
strata sebelah atas (kebun-kebun kopi atau coklat).
13
3.1
Akibat adanya berbagai macam definisi hutan sekunder yang berbeda, maka
sangat sulit untuk menentukan dan menghitung luas hutan-hutan sekunder di
seluruh dunia (lihat Bab sebelumnya). Terutama sulit disini adalah untuk
membandingkan studi-studi yang berbeda, karena mereka menggunakan
data-data awal yang berbeda.
Banyak studi mengenai sumberdaya kehutanan menggunakan data dasar
yang berasal dari publikasi-publikasi FAO. Salah-satu interpretasi dari data
FAO (1996, lihat Bab 2.1), dimana semua kategori areal bervegetasi yang
dianggap sama dengan hutan sekunder (hutan terbuka, hutan bera tua,
hutan fragmen) dijumlahkan, memberikan luas total areal sebesar 532 juta
Ha,4 yang berarti sekitar 32% dari luas keseluruhan areal berhutan yang
diperkirakan sebesar 1.812 juta Ha. Areal terbesar dari hutan sekunder ini
dijumpai di Afrika (313 juta Ha), kemudian Amerika Latin (130,4 juta Ha)
dan Asia (88,3 juta Ha) (lihat Gambar 1). Yang masih menjadi pertanyaan
disini, adalah seberapa jauh kategori-kategori bentuk penutupan lahan seperti
Angka ini hanya merupakan taksiran kasar. Penulis-penulis lainnya memperkirakan luas
areal hutan sekunder di seluruh dunia antara 600 (BROWN & LUGO 1990) sampai 900 juta
Ha (WADSWORTH 1982), atau tidak memberikan angka yang rinci dan hanya menyatakan
bahwa sebagian besar dari negara-negara tropik mempunyai hutan sekunder yang lebih luas
daripada hutan primer (CORLETT 1995).
15
Afrika (313,2)
3.2
16
Penambahan luas hutan hanya dapat dijumpai di dua negara, yaitu Puerto Rika dan
Grenada (FAO 1993). Keduanya adalah negara-negara dimana terdapat hanya sedikit
hutan-hutan primer yang tersisa (di daerah-daerah yang jauh dan sukar dicapai) dan dimana
terjadi perubahan struktur/kondisi ekonomi yang mengakibatkan bahwa padang-padang
penggembalaan, perkebunan, dan areal-areal pertanian ditinggalkan dan yang kemudian
secara alami ditumbuhi hutan kembali.
17
Penambahan
areal (Juta Ha)
4.3
1.6
5.15
-10.5
-20
-40
Perkebunan
Hutan Fragmen
Pengurangan
areal (Juta Ha)
-60
|
|
-80
-100
-120
-87.9
Hutan Terbuka
Hutan Tertutup
Hutan Tertutup-140
Hutan Terbuka
Hutan Fragmen
Perkebunan
18
Hutan Sekunder sebagai bagian dari sistem pemanfaatan lahan yang dinamis
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Sumber: ECO
Gambar 3: Hutan Sekunder Sebagai Bagian dari Sistem Pemanfaatan Lahan yang
Dinamis
3.3
Saat ini, kebanyakan dari pemanfaatan hutan oleh manusia terjadi di hutanhutan sekunder. Hutan-hutan ini seringkali berada didekat pemukiman
manusia dan dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai-macam kebutuhan dari
penduduk setempat. Dalam prakteknya, pemanfaatan hutan sekunder ini
kebanyakan berupa berbagai macam pemanfaatan kehutanan dan pertanian
(yang sedikit banyaknya terorganisir). Hasil hutan utama yang dimanfaatkan
adalah kayu-bakar, kayu konstruksi dan hasil hutan non-kayu (NTFP).
Pemanfaatan hutan-hutan sekunder untuk tujuan pertanian juga dilakukan
dalam bentuk perladangan, penggembalaan, dan budidaya tanaman musiman
dan tahunan didalam hutan. Pemanfaatan pertanian dan kehutanan ini pada
pokoknya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya pada
20
Dilain pihak, pengusahaan kayu komersil dari hutan sekunder saat ini hampir
tidak ada artinya (sangat sedikit).
Kayu-bakar adalah bentuk bahan-bakar yang paling penting di negaranegara berkembang. Di beberapa negara, lebih dari 90% konsumsi enerji
dipasok dari kayu-bakar. Sebagian besar dari kayu-bakar didapatkan
(dikumpulkan) dari hutan-hutan sekunder, dan digunakan penduduk untuk
keperluan sendiri. Dalam hal ini, biasanya yang digunakan hanya kayu-kayu
mati, dan apabila kayu-kayu semacam ini tidak/jarang tersedia, baru kayukayu segar diambil. Terutama di daerah-daerah arid, pengumpulan kayubakar dapat menyebabkan terjadinya perusakan hutan atau pemanfaatan
hutan sekunder secara berlebihan (over-exploitation). Adapun di daerahdaerah humid, pasokan kayu-bakar pada umumnya lebih terjamin.
21
Hutan bera adalah areal dimana hutan sekunder tumbuh selama masa bera dalam sistem
perladangan/pertanian berpindah
Salah-satu contoh dari sistem ini adalah budidaya dan pemanfaatan jenis pohon cepattumbuh (Leguminoceae) Schizolobium amazonicum di Rondonia (Brasil). Pohon ini
ditanam dan dipelihara selama masa bera dalam sistem perladangan berpindah, dan
kemudian berguna sebagai peneduh/pemberi naungan untuk coklat dan kopi yang ditanam
(informasi lisan dari M. RICHARDS, 13.02.1997).
22
Jenis-jenis kayu dari hutan-hutan sekunder yang sudah dipasarkan contohnya adalah
Cordia alliodora, Swietenia spp. dan Ceiba pentandra. Jenis-jenis seperti
Callophyllum brasiliense, Cordia alliodora, Didymopanax morototoni, Inga spp. dan
23
berbagai macam palem menghasilkan selain kayu juga buah-buahan, minyak, dan bahan
obat-obatan (BROWDER ET AL. 1996; FINEGAN 1992; SIPS 1993; WEAVER dan BIRDSEY
1986).
24
25
Pengaruh Manusia
Pertanian
Peternakan
Sumberdaya
Permudaan
Hak atas
Lahan
Hujan
Kayu
Bakar
Hutan
Sekunder
Temperatur
Infrastruktur
Tanah
Kayu
Api
Kapasitas
Pemanfaatan
Tekanan
Pemanfaatan
Sumber: ECO
Gambar 4:
27
4.1
Sebaliknya, BROWN & LUGO (1990) memandang hutan sekunder sebagai hasil dari
pemanfaatan kayu secara selektif dan menyatakan, bahwa setengah dari hutan-hutan
sekunder di Asia terbentuk sebagai akibat dari penebangan hutan secara selektif (Amerika
Latin: 32%; Afrika: 21%).
28
Pengaruh Manusia
keuntungan yang maksimal. Dilain pihak, para pengusaha hutan juga
menganggap wajar untuk mengkompensasikan kualitas yang rendah dengan
kuantitas, yaitu dengan menebang habis kayu-kayu yang kurang komersil
dan berdiameter kecil untuk menutupi biaya pengusahaan hutan.
Faktor kunci yang menentukan minat untuk melakukan pengusahaan dalam
jangka-panjang adalah (lamanya) hak pengusahaan hutan yang diberikan.
Untuk para pengusaha hutan, hal ini akan semakin menarik apabila areal-areal
pengusahaan hutan lainnya semakin jarang tersedia.
Disamping sebagai penerima manfaat langsung, minat dan kepentingan dari
para pemilik hutan (negara, komunal, koperasi, perseorangan) untuk menjaga
dan melindungi hutan serta posisinya dalam menghadapi para pengusaha
hutan sangat penting untuk menentukan skala pemanfaatan kayu, dan dari
situ untuk pembentukan hutan-hutan sekunder. Minat untuk menjaga
kelestarian hutan akan semakin kecil apabila bentuk-bentuk pemanfaatan
lahan lainnya memberikan keuntungan yang lebih besar, dan apabila masalah
kepemilikan lahan/hutan tidak jelas. Pemahaman ekologi secara umum
mengenai fungsi dan nilai-nilai sosial-budaya hutan untuk masyarakat juga
akan menentukan keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemilik
hutan.
Hutan sekunder juga dapat terbentuk di areal-areal dimana usaha-usaha
pertanian ditinggalkan/dihentikan,10 yang dapat bersifat sementara
10
Menurut BROWN & LUGO (1990) (dan berdasarkan definisi mereka mengenai hutan-hutan
sekunder), hampir separuh dari seluruh hutan-hutan sekunder di Amerika Latin terbentuk
melalui kegiatan-kegiatan pertanian (di Afrika dan Asia masing-masing 27%).
29
4.2
Pengaruh Manusia
Karakter dan dinamika dari proses ini merupakan hasil dari interaksi yang
rumit antara berbagai faktor alami dan manusiawi. Perubahan-perubahan
yang terjadi disini menentukan prakondisi-prakondisi untuk pengelolaan
hutan. Karena proses itu sendiri dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan
hutan sekunder oleh manusia, maka kerangka batasan untuk pemanfaatan
hutan selama perkembangan hutan sekunder harus dipaparkan dibawah ini.
Banyak areal hutan sekunder merupakan bagian dari sistem-sistem pertanian
skala kecil dan berada didekat lokasi-lokasi pemukiman. Pada umumnya,
semakin baik kondisi alaminya dan semakin besar persaingan antara berbagai
macam bentuk pemanfaatan lahan, maka semakin besar kemungkinan bahwa
hutan sekunder tersebut akan dikonversikan menjadi bentuk-bentuk
pemanfaatan lahan lainnya (contohnya pertanian). Kedua komponen tersebut
bersifat dinamis dan saling menunjang. Secara umum terdapat
kecenderungan, bahwa kondisi-kondisi alami akan semakin baik karena
tanah/tapak di lahan tersebut akan mengalami regenerasi dengan semakin
berkembangnya hutan sekunder. Sekali lagi, pada kondisi kepadatan
penduduk yang tinggi hal ini akan meningkatkan tekanan dari berbagai
macam bentuk pemanfaatan lahan yang bersaing.
Intensitas dan lamanya pengaruh manusia akan menentukan apakah suatu
hutan sekunder akan:
1. berkembang melalui semua stadium suksesi dan tetap menjadi hutan
dalam jangka-panjang;
2. tertahan perkembangannya pada suatu tahapan suksesi tertentu dalam
jangka-panjang atau tetap saja berada pada tahapan tersebut;
3. dikonversikan secara permanen untuk sistem pemanfaatan lahan lainnya.
31
Pengaruh Manusia
yang paling sensibel di bidang pertanian untuk mengembalikan kesuburan
tanah.
Butir 3:
Pada lahan-lahan yang subur, apabila ketersediaan lahan sangat terbatas dan
apabila pengelolaan hutan sekunder (seperti dijumpai dalam banyak kasus)
kurang menguntungkan dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemanfaatan
lahan lainnya, maka bagi penduduk setempat lebih menguntungkan untuk
mengkonversikan hutan-hutan sekunder menjadi lahan-lahan pertanian.
33
35
11
Terminologi nilai (Wert), penilaian (Bewertung) dan realisasi dari nilai potensil
(Inwertsetzung) didefinisikan dan didiskusikan dalam THREN 1997.
36
5.1
Tabel 2:
Kepentingan-kepentingan yang Paling Utama dari Berbagai Kelompok Pemanfaat atas Fungsi-fungsi Hutan Sekunder yang Berbeda
User group
Penduduk
setempat
Penduduk di suatu
wilayah dan negara
Komunitas
internasional
Kayu
- komersil
- subsisten
+
-
+
-
Kayu-bakar
- komersil
- subsisten
+/+
+
-
NTFP
- komersil
- subsisten
+/+
+/-
+
-
Penggembalaan (peternakan)
+/-
+/-
+/-
Fiksasi CO2
38
12
39
5.2
41
43
Hutan Primer
Reboisasi
Wanatani
Sifat-sifat/Ciri-ciri Sumberdaya
Kualitas
bervariasi
bervariasi
terkontrol
bervariasi sampai
terkontrol
sangat tinggi
sangat rendah,
seringkali
monokultur (hutan
tanaman)
bervariasi
tergantung
kepada bentuk
pemanfaatan
Kerapatan jenis
pohon
rendah
tinggi karena
sangat terkontrol
dan berorientasi
manfaat
bervariasi
tergantung
kepada bentuk
pemanfaatan
tinggi, karena
tegakan homogen
Kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan
akses fisik
biasanya dekat
pemukiman dan
dapat dijangkau
jauh dari
pemukiman
infrastruktur baik
dan dapat
dijangkau
dekat pemukiman
dan dapat
dijangkau
hak pemanfaatan
seringkali tidak
jelas atau dibatasi
dibatasi secara
hukum
jelas
jelas
Biaya-biaya produksi
Biaya-biaya
pemanenan dan
angkutan
relatif rendah
karena tegakan
homogen dan
keadaan
infrastruktur baik
biaya rendah
karena tegakan
homogen dan
keadaan
infrastruktur baik
Perlakuan
silvikultur
tidak perlu
perawatan
perlu
perlu
Pembangunan
tegakan
tidak perlu
tidak perlu
perlu
perlu
biasanya
transregional
biasanya
penduduk
setempat
seringkali
lokal sampai
Kelompokpenduduk setempat internasional
kelompok
pemanfaat utama
44
45
13
Jenis-jenis pohon sekunder yang mempunyai potensi untuk dipasarkan secara komersil
diantaranya adalah Carapa guianensis, Cedrela odorata, Ceiba pentandra, Cordia
spp, Goupia glabra, Pourouma spp, Swietenia macrophylla, Virola spp dan Vochysia
spp. Jenis-jenis pohon hutan sekunder cenderung memiliki lilin dan getah lebih sedikit
daripada jenis-jenis pohon hutan primer. Hal ini mempermudah pengolahannya (tetapi
membutuhkan pengawetan).
46
Tabel 4:
Sistem Produksi
Ciri-ciri*
Hutan
Sekunder
Hutan Primer
Reboisasi**
Wanatani
potensi baik
++
++
+/-
kemungkinan
pemanfaatan baik
++
++
+/-
+/-
**
Tabel 5:
Kelompok pemanfaat
utama
Hutan
Sekunder
Hutan Primer
Reboisasi*
Wanatani
penduduk lokal
++
++
penduduk
regional/nasional
++
komunitas global
++
+ evaluasi positif
*
- evaluasi negatif
49
Kondisi sosial:
akses ke pasar
50
5.2.2 Kayu-bakar
Kayu merupakan sumber enerji terpenting di banyak negara dan mempunyai
peran sentral dalam produksi subsisten di daerah pedesaan dan juga sebagai
barang yang dipasarkan di daerah-daerah urban. Kayu tersebut digunakan
langsung sebagai kayu-bakar atau diolah lebih lanjut menjadi kayu arang.
Pada umumnya, hutan-hutan sekunder dalam berbagai bentuk dan stadium
sangat cocok untuk menghasilkan kayu-bakar. Sebagai penghasil kayubakar, komposisi jenis hutan-hutan sekunder yang dibutuhkan lebih sedikit
dan lebih elastis dibandingkan dengan fungsinya sebagai penghasil kayu
(log). Dibandingkan dengan sistem-sistem produksi lainnya (hutan primer,
reboisasi, wanatani), hutan-hutan sekunder mempunyai potensi yang
berbeda untuk menghasilkan kayu-bakar (lihat Tabel 6). Hal ini disebabkan
antara lain oleh faktor-faktor lokasi sumberdaya (jarak ke pemukiman),
komposisi jenis pohon (beberapa jenis pohon lebih cocok digunakan untuk
menghasilkan enerji karena nilai enerji dan sifat pembakarannya yang lebih
baik dan/atau lebih disukai oleh penduduk), dimensi pohon (kemungkinan
dan biaya pemanenan) serta hak-hak pemanfaatan.
Perbedaan antara berbagai sistem produksi pada umumnya sangat kecil.
Dibandingkan dengan pulau-pulau hutan primer yang tersisa, contohnya,
hutan-hutan sekunder dapat memiliki potensi pasokan kayu-bakar yang lebih
tinggi untuk penduduk lokal, karena hutan-hutan ini biasanya lebih dekat
dengan pemukiman atau mudah dijangkau serta tidak terlalu dibatasi (secara
hukum) pemanfaatannya. Kontribusi dalam hal suplai kayu-bakar yang dapat
diberikan oleh areal-areal yang dihutankan kembali (reboisasi) tergantung
51
Tabel 6:
Hutan Primer
Reboisasi**
Wanatani
Sifat-sifat sumberdaya
baik*
Kemungkinan
pemanfaatan baik
++
Biaya-biaya produksi
rendah
+/-
+/-
+ evaluasi positif
**
Tabel 7:
Perbandingan Potensi Produksi Kayu-Bakar untuk KelompokKelompok Pemanfaat yang Berbeda pada Sistem-Sistem Produksi
yang Berbeda
Kelompok pemanfaat
utama
Hutan
Sekunder
Wanatani
penduduk lokal
++
++
penduduk
regional/nasional
++
komunitas global
+ evaluasi positif
- evaluasi negatif;
/ tidak relevan
53
Kondisi sosial:
55
Tabel 8:
Sifat-sifat sumberdaya
baik*
Kemungkinan
pemanfaatan baik
Biaya-biaya produksi
rendah
+ evaluasi positif
Hutan
Sekunder
Hutan Primer
Reboisasi
Wanatani
+/-
+/-
++
++
++
++
+/-
**
**
Tabel 9
Kelompok pemanfaat
utama
Hutan
Sekunder
Wanatani
penduduk lokal
++
++
penduduk
regional/nasional
+/-
++
+/-
komunitas global
+/-
57
Kondisi sosial:
58
5.3
61
Kondisi sosial:
62
63
Kondisi sosial:
65
66
Kondisi sosial:
67
5.4
Potensi konservasi
70
Kondisi sosial:
71
73
74
Kondisi sosial:
79
Kondisi sosial:
80
82
Kondisi sosial
5.5
Turisme dan rekreasi dapat merupakan hal yang penting, baik di tingkat lokal
maupun nasional. Di banyak negara, turisme menghasilkan sebagian besar
dari pendapatan kotor per kapita (GNP). Di tingkat lokal, turisme
memberikan berbagai macam kemungkinan pendapatan tambahan bagi
penduduk lokal.
Namun, sebagai atraksi turis dan dihitung dari jumlah pengunjung per
83
14
BIRDSEY dan WEAVER (1982) dalam analisanya di Puerto Rika menyimpulkan, bahwa
potensi turisme dan rekreasi (hutan-hutan sekunder) menjadi sangat tinggi apabila
dikombinasikan dengan berbagai macam atraksi alam di pulau tersebut (pantai-pantai, air
terjun, pegunungan, dsb.). Dalam hubungannya dengan aktivitas-aktivitas rekreasi dan
olahraga, hutan-hutan publik yang kebanyakan merupakan hutan-hutan sekunder
memainkan peranan yang sangat penting dalam hal ini.
84
85
Kondisi sosial:
86
15
Pada banyak kawasan hutan yang terdegradasi, rekolonisasi (pohon) terganggu karena
potensi regenerasi hutan rusak sedemikian rupa atau karena tumbuh-tumbuhan pesaing
(rumput, bambu) menghalangi penyemaian alami dari jenis-jenis pionir awal. Dalam kondisi
seperti ini, pembasmian tumbuh-tumbuhan pesaing dapat memperbaiki kondisi-kondisi
regenerasi secara signifikan (KARTAWINATA 1994). Walaupun demikian, tindakantindakan mekanis membutuhkan tenaga-kerja yang banyak dan penggunaan bahan-bahan
kimia (herbisida) seringkali membahayakan lingkungan. Sebagai alternatif tindakan untuk
membantu perkembangan hutan, saat ini didiskusikan penyemaian dan penanaman tegakan
pendahulu yang terdiri dari jenis-jenis pohon eksotis diatas lahan-lahan yang ditumbuhi
rumput-rumputan (LUGO 1988).
Selain perbaikan kondisi-kondisi permudaan alami, diusulkan juga penanaman pengayaan
dengan jenis-jenis pohon yang diinginkan (WADSWORTH 1984; WEAVER dan BIRDSEY
1986). Dengan itu diharapkan bahwa periode produksi dapat dipersingkat dan proporsi
jenis-jenis tanaman komersil yang seringkali rendah dapat ditingkatkan. Penanaman
pengayaan dengan jenis-jenis tertentu terbukti memberikan hasil yang baik (WEAVER dan
BIRDSEY 1986. RAMOS DEL AMO 1992) namun sangat mahal.
89
90
6.1
92
6.2
96
6.2.5 Penelitian
Penelitian dapat menunjang dan mengarahkan strategi-strategi sektoral dan
multi-sektoral. Seringkali dijumpai kekurangan dalam pengetahuan dan
konsep-konsep yang sesuai, yang diperlukan untuk mencapi pembangunan
yang berkelanjutan melalui pemanfaatan ruang-hidup lahan yang sesuai dari
segi ekologi, ekonomi dan sosial. Penelitian dapat menolong untuk menutupi
kekurangan ini. Namun sangat penting disini, bahwa topik-topik dan
pendekatan penelitian harus relevan dengan keadaan di lapangan. Dalam hal
ini, penelitian hanya akan menjadi sebuah instrumen yang efektif dan penting
bagi kerjasama teknis apabila hasil-hasil yang didapatkan dan saran-saran
yang dibuat relevan untuk keputusan-keputusan politis. Keputusankeputusan tersebut dapat berkaitan dengan aspek-aspek kebijakan,
perencanaan, organisasi atau teknis dari satu atau lebih sektor.
Tropical Ecology Support Programme/TOEB (Program-program
Dukungan Ekologi Tropis) dari GTZ memberikan dukungan kepada studistudi dan proyek-proyek penelitian yang dikaitkan dengan program-program
kerjasama pembangunan bilateral. Diharapkan bahwa dukungan tersebut
dapat membantu dan menguntungkan proyek-proyek yang bersangkutan,
serta menjamin bahwa hasil-hasil yang didapatkan pada prakteknya relevan
untuk pengembangan kebijakan dan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat
benar-benar diterima dan diimplementasikan. TOEB hanya memberikan
dukungan kepada kegiatan-kegiatan penelitian terapan dan bukannya
98
6.3
99
100
Tabel 10:
Gambaran Umum Mengenai Bentuk-bentuk Aksi Sesuai dengan Fungsi dan Kelompok Sasaran, serta Kebutuhan
Penelitian
Kelompok sasaran
Kemungkinan aksi
Penelitian yang
diperlukan
Kayu (bulat)
- Komersialisasi
- Subsisten
Penduduk lokal
- Komersialisasi
- Subsisten
Penduduk lokal
Penelitian mengenai
sumber enerji alternatif;
peningkatan efisiensi
tungku
- Komersialisasi
- Subsisten
Penduduk lokal
Penelitian mengenai
potensi komersil
Kayu-bakar
Kelompok sasaran
Penduduk lokal
Kemungkinan aksi
Penelitian yang
diperlukan
Identifikasi jenis-jenis
berguna yang potensil
(terutama jenis-jenis
authochton)
Identifikasi sistem-sistem
pemanfaatan yang ada dan
potensil
Peternakan/
penggembalaan di hutan
Penduduk lokal
Implementasi tata-guna
lahan regional/transregional
Konservasi
keanekaragaman jenis
Fiksasi CO2
Penduduk global
Analisa potensi
Substitusi untuk
eksploitasi hutan primer
Analisa potensi
103
Tabel 11: Kemungkinan Terjadinya Konflik Pemanfaatan Akibat Dukungan yang Diprioritaskan pada Sebuah Fungsi Hutan Sekunder
Efek terhadap
fungsi dan
manfaat lainnya
Kayu (bulat)
Kayu-bakar
NTFP
Hutan
bera
Penggembalaan
Turisme
Budidaya
tanaman
pertanian
+/-
+
-
Konservasi
biodiversitas
Fiksasi
CO2
+/-
*/-
Kayu-bakar
NTFP
Hutan bera
+/-
Penggembalaan
+/-
Budidaya
tanaman
pertanian
Turisme
+/-
+/-
Perlindungan air
dan tanah
Konservasi
biodiversitas
+/-
Fiksasi CO2
+/-
+/-
+ konflik pemanfaatan dapat terjadi; - konflik pemanfaatan tidak terjadi; Keterangan tabel lihat didalam teks.
6.4
Tingkat pendekatan
105
peraturan agraria
hak konsesi/pengusahaan
kebijakan pajak;
108
Penutup
Penutup
Pada akhirnya harus disampaikan, bahwa kebanyakan dari topik dan ide
yang dibahas dalam tulisan ini pada dasarnya juga dapat diaplikasikan pada
bentuk-bentuk hutan lainnya diluar hutan sekunder. Dilain pihak, istilah
hutan sekunder mencakup begitu banyaknya variasi dalam hal sejarah
pembentukannya, ciri-ciri/sifat-sifat alaminya, serta kondisi-kondisi yang
ada, sehingga tidak mungkin untuk memberikan usulan aksi untuk hutan
sekunder secara umum.
Apa yang telah ditunjukkan oleh tulisan ini adalah, bahwa potensi hutanhutan sekunder yang dapat memberikan sumbangan kepada pembangunan
melalui pasokan berbagai macam hasil dan manfaat seringkali dianggap
remeh dan tidak dimanfaatkan secara optimal.
Istilah hutan sekunder sangat jarang digunakan. Istilah ini tidak muncul
dalam kebijakan kehutanan dan peraturan perundang-undangan di banyak
negara, dan juga tidak dalam konsep organisasi-organisasi donor
(penyandang dana) nasional dan internasional. Selain itu, banyak instrumen
dan mekanisme pendanaan internasional (GEF) yang sangat difokuskan
kepada masalah hutan primer. Karena itu, adalah suatu keharusan bagi
negara-negara tersebut untuk memberikan perhatian yang setimpal terhadap
hutan-hutan sekunder dan menerapkan pemanfaatan/ pengelolaan yang lebih
baik pada hutan-hutan tersebut di masa yang akan datang. Pertanyaan yang
masih perlu dijawab adalah apakah hutan-hutan sekunder ini (termasuk
hutan-hutan bera muda) oleh negara yang bersangkutan dilupakan atau
diacuhkan karena potensinya yang tampaknya terlalu rendah, atau apakah
hutan-hutan ini secara otomatis sudah diintegrasikan kedalam kebijakan
kehutanan dan tata-guna lahan. Sejalan dengan itu, pada tingkat internasional
109
110
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
ADAM, P. (1992): Australian Rainforests. Oxford: Clarendon Press
ALVIM, R.; NAIR, P. K. R. (1986): Combination of cacao with other
plantation crops: An agroforestry system in Southeast Bahia, Brazil.
Dalam: Agroforestry Systems 4, Hal. 3-15. Dordrecht
AMELDUNG, T.; DIEHL, M. (1992): Deforestation of Tropical Rain
Forests: Economic causes and impact on development. Tbingen
ANDERSON, A. B. (1990) (Editor): Alternatives to deforestation: Steps
towards sustainable use of the Amazon rain forest. Papers presented at
an international conference held in Belem, Brazil, January 27-30, 1988.
Colombia University Press. New York. 281 Hal.
ANONYMUS (1990): Schutz und Bewirtschaftung der Tropenwlder.
Tropenwaldbericht der Bundesregierung, unter besondere
Bercksichtigung der tropischen Feuchtwlder.
ANONYMUS (1992): Grundstzliches ber Primrwlder, Sekundrwlder
und Holzplantagen. Holz Zentralblatt 118 (115). Hal. 1793-1794
BARBIER, E. B. (1995): The environmental effect of the forestry sector.
Dalam: Organization of Economic Cooperation and Development
(OECD). The Environmental Effects of Trade. OECD. Paris
BARNARD, R. C. (1954): A manual of Malayan silviculture for inland
forests. Research Pamphlet no. 14. Forest Research Institute, Kipong.
Malaya
BARRERA, A.; GOMEZ-POMPA, A.; VASQUEZ-YANES, C. (1977): El
manejo de las selvas por los Mayas: sus implicaciones silvicolas y
agricolas. Biotica 2. Hal.47-61
P-1
P-2
Daftar Pustaka
BORMANN, F. H.; LIKENS, G. E. (1981): Pattern and processes in a
forested ecosystem. New York
BOZA, M. A. (1994): Biodiversidad y Desarrollo en Mesoamerica. Una
propuesta para contribuir con el desarrollo sostenible de Mesoamrica
mediante la conservacin de las especies y las reas silvestres. Proyecto
Paseo Pantera / Proyecto COSEFORMA/GTZ.
BRATAMIHARDJA, M. (1989): Agroforestry on forest lands in Java;
Dalam: KARASUBRATA, J.; S. S. TJITROSOMO; R. C. UMALY
(Editor): Symposium on Agroforestry Systems and Technologies.
BIOTROP Special Publication No. 38
BROWN, S.; LUGO, A. E. (1990): Tropical secondary forests. Journal of
Tropical Ecology 6, Hal.1-32.
BRNING, E. F. (1989): Die Erhaltung, nachhaltige Vielfachnutzung und
langfristige Entwicklung der tropischen immergrnen Feuchtwlder.
Bundesforschungsanstalt fr Forst- und Holzwirtschaft. Hamburg
BUDOWSKI, G. (1961): Studies on forest succession in Costa Rica and
Panama. Yale University, New Haven, Conneticut. 189 Hal.
(Dissertation)
BUDOWSKI, G. (1965): Distribution of tropical American rain forest species
in the light of successional processes. Dalam: Turrialba 15, No. 1,
Hal.40-42
BULTE, E.; DAAN, S. v. (1995): Tropical deforestation, timber concessions
and slash-and-burn agriculture: why encroachment may promote
conservation of primary forests. Economic Papers 1995 (3). Faculty of
Economics. Wageningen
BURGER, D. (1994): Aufforstung und andere forstliche CO2-Strategien.
Dalam: Entwicklung und lndlicher Raum 1 (1994). Hal.11-15
P-3
Daftar Pustaka
CORLETT, R. T. (1995): Tropical secondary forest. Department of Ecology
and Biodiversity. Dalam: Progress in Physical Geography 19,2 (1995).
Hal. 159-172
CUEVAS, E.; BROWN, S.; LUGO, A. E. (1991): Above and below ground
organic matter storage and production in a tropical pine plantation and
a paired broadleaf secondary forest. Dalam: Plant and Soil 135, Hal.
257-268
DALMACIO, M. V. (1987): Assisted Natural Regeneration: A strategy for
cheap, fast and effective regeneration of denuded forest lands.
Philippines Department of Environment and Natural Resource Regional
Office, Tacloban City
DAWKINS, H. C. (1958): The management of natural tropical high forest
with special reference to Uganda. Dalam: Paper no. 34, Imperial
Forestry Institute, Oxford University
DEMBNER, S. (1991): Review of FAO World Statistics on tropical forest
resources. Dalam: UNASYLVA 42: (164). Rome
DENEVAN, W. M.; TRACY, J. M.; ALCORNM, J. B.; PADUCH, C.;
DENSLOW, J.; PAITAN, F. S. (1984): Indigenous agroforestry in the
Peruvian Amazon: Bora Indian management of swidden fallows.
Dalam: Interciencia 9: Hal. 346-357
DENICH, M. (1989): Untersuchungen zur Bedeutung junger
Sekundrvegetation fr die Nutzungssystemproduktivitt im stlichen
Amazonasgebiet, Brasilien. Gttinger Beitrge zur Land- und
Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen; Heft 46. Gttingen
(Dissertation)
DENSLOW, J. D. (1980): Gap partitioning among tropical rain forest trees. S.
47-55. Dalam: Ewel, J. (Editor). Tropical succession. Biotropica.
Suppl. to vol. 12, No. 2. 95 Hal.
P-5
P-6
Daftar Pustaka
EWEL, J. J. (1979): Secondary forests: the tropical wood resource of the
future. S. 53-60. Dalam: Chavarria, M. (Editor): Simposio Internacional
sobre las Ciencias Forestales y su Contibucion al Desarrollo de la
America Tropical. 11-17 de Octubre, 1979.
Concit/Interciencia/SCLITEC, San Jose, Costa Rica. Editorial UNED.
EWEL, J. J. (1980): Tropical succession: manifold routes to maturity. Hal. 27. In Ewel, J. (Editor). Tropical succession. Biotropica. Suppl. to vol.
12. No. 2. 95 Hal.
EWEL, J. J. (1983): Succession. Hal. 217-223. Dalam: Golley, F. B. (Editor).
Tropical rain forest ecosystems: structure and function. Ecosystems of
the World. Elsevier scientific publishing company. Amsterdam. 381
Hal.
EWEL, J. J. (1986): Designing agricultural ecosystems for the humid tropics.
Dalam: Annual Reviews in Ecology and Systematics 17. Hal. 245-271
FALCONER, J. (1992): Non-timber forest products in Southern Ghana. A
summary report. ODI Forestry Series No. 2
FAO (1980): Forest Resources of Tropical Asia. Technical Report No. 3 of
the Tropical Resources Assessment Project. Rome
FAO (1981): Los recoursos forestales de la America tropical. Proyecto de
evaluacion de los Recoursos forestales tropicales de la America. FAO
Informe Tenico 1. Rome
FAO (1982): Fruitbearing forest trees. Rome. FAO. Forestry paper. No. 34.
177 Hal.
FAO (1992): Secretarial Note for the Eleventh Session of the FAO
Committee on Forestry, 1990 FAO assessment of tropical forests.
Rome
FAO (1993a): FAO Yearbook-Production. FAO, Rome
FAO (1993b): Forest resources assessment 1990 - Tropical countries. FAO
Forestry Paper 112. Rome
P-7
Daftar Pustaka
FORMAN, R. T. T.; GODRON, M. (1986): Landscape Ecology. New York.
GEIGER, M. (1990): Mglichkeiten der Sekundrwaldbewirtschaftung im
Ostbolivianischen Tiefland. Forstwissenschaftliche Fakultt der
Universitt Freiburg (Diplomarbeit). 70 Hal.
GEISER, B. (1996): Strukturanalyse einer Sektion Primr- und Sekundrwald
der montanen Stufe auf Sao Tom. Forstwissenschaftliche Fakultt der
Universitt Gttingen (Diplomarbeit)
GERECKE, K.-L. (1991): Das Beispiel Costa Rica: Mglichkeiten der
Tropenwald-Erhaltung; AFZ 13/1991
GLATZLE, A. (1990): Weidewirtschaft in den Tropen und Subtropen.
Stuttgart
GODOY, R. A.; TAN, C.F. (1991): Agricultural diversification among
smallholder rattan cultivators in central Kalimantan. Dalam:
Agroforestry Systems 13. Hal. 27-40
GOLDAMMER, J. G. (1993): Feuer in Waldkosystemen der Tropen und
Subtropen. Birkhuser. Basel. 250 Hal.
GOMEZ-POMPA, A. (1987): On Maya silviculture. Dalam: Mexican
Studies 3. Hal. 1-19
GOMEZ-POMPA, A.; FLORES, J. S.; SOSA, V. (1987): The pet kot: a
man-made tropical forest of the Maya. Dalam: Interciencia 12. Hal. 1015
GOMEZ-POMPA, A.; WIECHERS, B. L. (1976): Regeneracin de los
ecosistemas tropicales. Dalam: Gmez-Pompa, A. et al. (Editor).
Investigaciones sobre la regeneracin de selvas altas en Veracruz,
Mexico. Calz. de Tlalpan. Compania Editorial Continental. 676 Hal.
GOMEZ-POMPA, A.; VASQUEZ-YANES C. (1974): Studies on secondary
succession of tropical lowlands: the life cycle of secondary species.
Dalam: Proceedings of the First International Congress of Ecology.
The Hague. Hal. 336-342
P-9
P-10
Daftar Pustaka
HART, R. D. (1980): A natural ecosystem analog approach to the design of a
successful crop system for tropical forest environments. Dalam:
Biotropica 12(supplement): Hal. 73-82
HARTMANN, J. (1997): Potentiale des Kleingewerbes zur Bewirtschaftung
tropischer Regenwlder Fallstudien aus Dominika und Guatemala.
GTZ/TB, 1997
HARTSHORN, G. S. (1980): Neotropical forest dynamics. Hal. 23-30.
Dalam: Ewel, J. (Editor) Tropical succession. Biotropica. Suppl. to vol.
12. No. 2. 95 Hal.
HEINDRICHS, T. (1995): Joint Implementation (JI) und seine Relevanz fr
den Umweltbereich; Kurzinformation intern fr GTZ
HEINDRICHS, T. (1996): Entwicklungspolitische Relevanz des Themas
Forstliche Zertifizierung und seine mgliche Einbindung in die
Technische Zusammenarbeit; Diskussionsbeitrag, erstellt fr
TWRP/GTZ
HEINEN, J. T. (1992): Comparison of the leaf litter herpetofauna in
abandoned cacao plantations and primary rain forest in Costa Rica.
Some implications for faunal restoration. Dalam: Biotropica 24. Hal.
431-439
HEINRICH, A.; BLANCKE, R. (1995): Diversidad y Potencial de
Revitalzacin de Bosques Secundarios Tipicos y de Reforestaciones en
Costa Rica. Ecologia de Sistemas Forestales Tropicales / Diversitt
und Revitalisierungspotential tropischer Sekundrwlder und
Aufforstungen in Costa Rica. TB, GTZ, Eschborn.
HOLDRIDGE, L. R. (1967): Life zone ecology. Tropical Science Center. San
Jose
HORTA, K (1991): The last big rush for the green gold. The plundering of
Cameroons rainforests. Dalam: The Ecologist 21(3). Hal.142-147
P-11
Daftar Pustaka
KERKHOF, P. (1990): Agroforestry in Africa: a survey of project experience.
London
KOTZUREK, W. (1993): Entwicklung Alternativer Bewirtschaftungsplne
fr einen Gemeindewald in Gorkha (Nepal) aufgrund von
Inventurdaten. Diplomarbeit an der Forstwissenschaftlichen Fakultt.
Universitt Freiburg. 80 Hal.
KREMKAU, K. (1991): Inventur und Nutzungsplanung fr Bauernwlder im
Tropischen Tiefland von Panama. Diplomarbeit an der
Forstwissenschaftlichen Fakultt. Universitt Freiburg. 82 Hal.
LAMPRECHT, H. (1986): Waldbau in den Tropen: Die tropischen
Waldkosysteme und ihre Baumarten- Mglichkeiten und Methoden zu
ihrer nachhaltigen Nutzung; Paul Parey, 318 Hal.
LAMPRECHT, H. (1989): Silviculture in the tropics. Tropical forest
ecosystems and their tree species - possibilities and methods for their
long-term utilization. GTZ. Eschborn 296 Hal.
LANLY, J.P. (1982): Tropical forest resources. FAO Forestry Paper. No. 30.
FAO Rome. 106 Hal.
LANLY, J.P.; M. GILLIS (1980): Provisional results of the FAO/UNEP
tropical forest resources assessment project: Tropical America. Rome
LEONARD, H.J. (1986): Natural resources and economic development in
Central America: a regional environmental profile. International
Institute for Environmental Development, Washington, D.C.
LETTE, H. (1981): Natural regeneration on a deforested area in Bajo Calima,
Colombia. Wageningen. Agricultural University. 73 Hal.
LIEBERMANN, D.; M. LIEBERMANN (1987): Forest tree growth and
dynamics at La Selva, Costa Rica (1969-1982). Dalam: Journal Ecol. 3.
Hal. 347-358.
P-13
P-14
Daftar Pustaka
MAYDELL, H.-J. v. (1987): Agroforestry in the dry zones of Africa: past,
present and future. Dalam: STEPPLER, H.A.; P.K.R. NAIR (Editor):
Agroforestry - a decade of development. Nairobi
MAZZORINO, M.; J. EWEL; C. BERISH; B. BROWN (1980): Efectos de
una sucesion de cultivos en la fertilidad de suelos volcnicos respecto a
la sucesion natural. Dalam: Truuialba 38. Hal. 345-351
MOMBERG, F. (1992): Indigenous Knowledge Systems - Potentials for
Social Forestry Development. Resource Management of Land-Dayaks
in West Kalimantan. Geographisches Institut der Freien Universitt
Berlin. Diplomarbeit.
MORAN, E.F., BRODDIZIO, E.; MAUSEL, P.; WU, Y. (1994): Integration
Amazonian vegetation, land-use, and satellite data. Dalam: BioScience
44. Hal. 329-338
MOSANGO, M. (1991): La foret secondaire agee a Zanthoxylum gilletii de
lll Kongolo, Zaire. Dalam: Belgian Journal of Botany 124. Hal. 152166
MYERS, N. (1988): Tropical forests and their species: going going,?
Dalam: E. O. Wilson (Editor): Biodiversity. Washington. D.C., Hal. 2835
NEPSTAD, D.; C. UHL; E. A. SERRAO (1990): Surmounting barriers to
forest regeneration in abandoned, highly-degraded pastures: a case
study from Pragominas, Para,Brazil. Dalam: Anderson, A. B. (Editor):
Alternatives to deforestation: steps toward sustainable use of the
Amazon rain forest. Hal. 215-29. New York
NEPSTAD, D.; UHL, C.; SERRAO, E. A. (1991): Recuperation of a
degraded Amazonian landscape: Forest recovery and agricultural
restoration. Dalam: Ambio 20, Hal. 248-252
NUDING, M. (1996): Potential der Wildtierbewirtschaftung fr die
Entwicklungszusammenarbeit. TB, P/1, GTZ, Eschborn
P-15
P-16
Daftar Pustaka
PRABHU, B.R.; WEIDELT, H.-J.; LEINERT, S. (1993): Sustainable
Management of Tropical Rainforests: Experiences, Risks, and
Opportunities. An Investigation Based on Four Case Studies. BMZ.
Bonn. 276 Hal.
PRINGLE, S.L. (1976): Tropical moist forests in world demand, supply, and
trade. Dalam: Unasylva 28 (112-113): Hal.106-118
RAINTREE, J.B. (1983): Strategies for enhancing the adoptability of
agroforestry innovations. Dalam: Agroforestry Systems 1, Hal. 173-187
RAINTREE, J.B.; WARNER, K. (1986): Agroforestry pathways for the
intensification of shifting cultivation. Dalam: Agroforestry Systems 4,
Hal. 39-54. Dordrecht
RAMACHANDRAN NAIR, P.K. (1993): An Introduction to Agroforestry.
Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. 499 Hal.
RAMBO, A. T. (1979): Primitive mans impact on genetic resources of the
Malaysian tropical rain forest. Dalam: Malaysian Applied Biology
Journal 8. Hal. 59-65
RAMOS, J. M.; DEL AMO, S. (1992): Enrichment planting in a tropical
secondary forest in Veracruz, Mexico. Dalam: Forest Ecology and
Management 54, Hal. 289-304
RAO, Y. S. (1985): Community Forestry building success through peoples
participation. Dalam: Unasylva 37 (1) 147. Hal. 29-35
RICHARDS, P. W. (1955): The secondary succession in the tropical rain
forest. London 43.
RICHARDS, P. W. (1964): The tropical rain forest. An ecological study. 2nd
edition. Cambridge University Press. 1964. 450 Hal.
RISWAN, S. (1982): Ecological studies on primary, secondary and
experimentally cleared mixed dipterocarp forest and kerangas forests in
East Kalimantan, Indonesia. University of Aberdeen (Dissertation)
P-17
P-18
Daftar Pustaka
SALDARRIAGA, J.G.; WEST D.C.; THORP M.L.; UHL C. (1988): Longterm chronosequence of forest succession in the upper Rio Negro of
Colombia and Venezuela. Dalam: Journal of Ecology 76. Hal. 938-958
SANCHEZ, P.A. (1976): Properties and management of soils in the tropics.
Wiley, New York.
SANCHEZ, P. A.; VILLACHICA, J. H.; BANDY, D. E. (1983): Soil fertility
dynamics after clearing a tropical rain forest in Peru. Dalam: Soil Sci.
Soc. Am. J., 47. Hal. 1171-1178
SCHINDELE, W. (1989): Investigation of the Steps Needed to Rehabilitate
the Areas of East Kalimantan Seriously Affected by Fire. FR-Report
No. 1, GTZ. 28 Hal.
SCHLNVOIGT, A. (1993): Untersuchungen zur Konkurrenz zwischen
Bumen und annuellen Feldfrchten im humiden tropischen Tiefland
Costa Ricas; Gttinger Beitrge zur Land- und Forstwirtschaft in den
Tropen und Subtropen, Heft 83
SCHLNVOIGT, A., WEIDELT, H.-J.: Studies on competition between
trees and annual food crops in the humid tropical lowland of Costa Rica
(Final Report Project- Nr. 89.2143.9-01.102)
SCOTT, G. A. J. (1987): Shifting cultivation where land is limited. Campa
Indian Agricultura in the Gran Pajonal of Peru. Hal. 34-45. Dalam:
Jordan, C.F. (Editor): Amazonian Rain Forests. Ecosystem Disturbance
and Recovery. Ecological Studies vol. 60. Springer Verlag. New York.
133 Hal.
SEPP, C.; WALTER, S.; WERNER, W. (1996): Grundlagen und Leitfragen
zur Thematik Forstlicher Nichtholzprodukte (FNHP) im Rahmen der
Technischen Zusammenarbeit. GTZ, Eschborn
SHANKARNARAYAN, K. A.; HARSH, L. N.; KATHJU, S. (1989):
Agroforestry in the arid zones of India. Dalam: Nair, P. K. R.(Editor):
Agroforestry systems in the tropics. Dordrecht
P-19
P-20
Daftar Pustaka
SOUTHGATE, D.; SIERRA, R.; BROWN, L. (1991): The causes of tropical
deforestation in Ecuador. A Statistical Analysis. Dalam: World
Development 19(9). Hal. 1145-1151
SPIELMANN, O. (1989): Agrargeographie in Stichworten. Untergeri
STROMGAARD, P. (1986): Early secondary succession on abandoned
shifting cultivators plots in the miombo of south central Africa.
Dalam: Biotropica 18. Hal. 97-106
STUTZ DE ORTEGA, L. C. (1989): Aspect floristiques des formations
secondaires en foret tropicale humide. 1. Caractristiques gnrales des
forets secondaires. Dalam: Saussurea 19. Hal. 147-167
SUGDEN , A. M.; TANNER, E. V. J.; KAPOS, V. (1985): Regeneration
following clearing in a Jamaican montane forest: results of a ten-year
study. Dalam: Journal of Tropical Ecology 1. Hal. 329-351
SUN, C. (1995): Tropical deforestation and the economics of timber
concession design. Doctoral Dissertation Proposal. Department of
Agricultural Economics, University of Illinois at Urbana-Champaign.
Urbana
SUTTER, H. (1989): Forest resources and land use in Indonesia. Directorate
General of Forest Utilisation. Ministry of Forestry and FAO, Jakarta.
SWAINE, M. D.; HALL, J. B. (1983): Early succession on cleared forest land
in Ghana. Dalam: Journal of Ecology 71. Hal. 601-627
SWAINE, M. D.; WHITMORE, T. C. (1988): On the definition of ecological
species groups in tropical rain forests. Dalam: Vegetation 75. Hal. 8186
SWIFT, M. J.; RUSSELL-SMITH, A.; PERFECT, T. J. (1981):
Decomposition and mineral-nutrient dynamics of plant litter in a
regenerating bush-fallow in sub-humid tropical Nigeria. Dalam: Journal
of Ecology 69. Hal. 981-995
P-21
Daftar Pustaka
UHL, C.; BUSCHBACHER, R.; SERRAO, E. A. S. (1988): Abandoned
pastures in Eastern Amazonia. I. Patterns of plant succession. Journal
of Ecology, No. 76.
UHL, C.; JORDAN, C.F. (1984): Successional and nutrient dynamics
following forest cutting and burning in Amazonia. Dalam: Ecology 65.
Hal. 1476-1490
UHL, C.; NEPSTAD, D.; BUSCHBACHER, R.; CLARK, K.; KAUFFMAN,
B.; SUBLER, S. (1990): Studies of ecosystem response to natural and
anthropogenic disturbances provide guidelines for sustainable land-use
systems in Amazonia. Dalam: Anderson, A. B. (Editor): Alternatives to
deforestation: steps toward sustainable use of Amazon rain forest. New
York. Hal. 24-42
UHL, C.; CLARK, K.; CLARK, H.; MURPHY, P. (1981): Early plant
succession after cutting and burning in the upper Rio Negro region of
the Amazon basin. Dalam: Journal of Ecology 69. Hal. 631-49
UHL, C.; CLARKE, K. (1983): Seed ecology of selected Amazon Basin
successional species emphasising forest seed banks, seed longevity and
seed germination triggers. Dalam: Botanical Gazette 144. Hal. 419-425
UNESCO (1978): Tropical forest ecosystems. A state-of-knowledge report
prepared by Unesco/UNEP/FAO. Paris. Unesco-UNEP. 683 Hal.
Natural resources research XIV.
VAN DEN BELT, R. J. (1990): Agroforestry in the semiarid tropics. Dalam:
MACDICKEN, K. G.; N. T. VERAGA (Editor): Agroforestry:
Classification and management. New York, Chichester, Brisbane,
Toronto, Singapore
VAN RHIJN (1928): Rapport over de maatregelen te nemen in het
brongebied der Palaka en Patirorivier (Report on the measures to be
taken in the catchment area of the Palaka and Patiro rivers, South
Sulawesi). Dalam: GOOR, C. P.; KARASUBRATA, J. (Editor):
Indonesian Forestry Abstracts; Butch Literature Until About 1960
P-23
P-24
Daftar Pustaka
WEAVER, P. L.; POOL, D. J. (1979): Correlation of crown features to
growth rates in natural forest of Puerto Rico. Dalam: Turrialba 29. Hal.
53-58
WEAVER, P. L.; BIRDSEY, R. A. (1986): Tree succession and management
opportunities in coffee shade stands. Dalam: Turriabla 36. Hal. 7-58.
WEAVER, P. L.; BIRDSEY, R. A. (1986): Growth of secondary forests in
Puerto Rico between 1980 and 1985. Dalam: Turrialba 40. Hal. 12-22
WHITEMORE, T. C. (1984): Tropical rain forests of the far east (2nd
edn.).Oxford
WILKIE, D. S; FINN, J. T. (1990): Slash-burn cultivation and mammal
abundance in the Ituri Forest, Zaire. Dalam: Biotropica 22. Hal. 90-99
WILTSCHUT, H. H. (): Geowissenschaftliche Untersuchungen an einem
tropischen Sekundrwald-kosystem mit Agrarnutzung im
Zentralkamerun. Zusammenfassung und geokologische Bewertung
unter Bercksichtigung kulturgeographischer Belange. Tbingen.
WORD BANK (1991): Forest Policy Paper. Washington
WORLD RESOURCES INSTITUTE (1994): World resource 1994-95. New
York, Oxford
WWF (1989): Tropical Forest Conservation. WWF International Position
Paper, No. 3, 32 Hal.
ZAPATA, T. R.; ARROYO, M. T. K. (1978): Plant reproductive ecology of a
secondary deciduous forst in Venezuela. Dalam: Biotropica 10. Hal.
221-230
ZWETSLOOT, H. (1981): Forest succession on a deforested area in
Suriname. Dalam: Turrialba 31, No. 4, Hal. 369-379
P-25
Lampiran
Lampiran
LAMPIRAN
I
II
L-1
L-3
CATTERSON (1994)
CORLETT (1994)
PARLEMEN
JERMAN (1990)
FAO (1993)
FINEGAN (1992)
GREIGH -SMITH
(1952)
L-4
HUSS (1996)
KAFFKA (1990)
LAMPRECHT (1986)
LANLY (1982)
L-5
UNESCO (1978)
WEAVER and
BIRDSEY (1986)
WWF (1988)
L-6
II
Dalam survai yang dilakukan di awal tahun 1997, para staf proyek-proyek
kerjasama pembangunan diberikan kwesioner (pertanyaan) mengenai arti dari
hutan sekunder pada dewasa ini. * Jawaban-jawaban kwesioner tersebut
diterima dari 31 proyek (8 buah di wilayah Asia/Pasifik, 10 buah di Afrika, dan
13 buah di Amerika Latin). Sebanyak 70% dari para responden menunjukkan
minat yang besar atas masalah ini; dan 60% menganggap relevansi hutan
sekunder yang sangat tinggi dalam kebijakan pembangunan.
Dalam hal ini, kegiatan-kegiatan tebang-bakar (perladangan) dan kegiatan
pembalakan hutan diidentifikasikan sebagai sebab-sebab utama dari
pembentukan hutan sekunder adalah. Sekitar setengah dari para responden
(54%) mengatakan adanya peningkatan, sedangkan sisanya (46%) pengurangan
luas wilayah hutan sekunder. Terjadinya pengurangan luas wilayah hutan
sekunder tersebut terutama disebabkan oleh kegiatan perladangan berpindah.
Fungsi paling utama dari hutan-hutan sekunder dewasa ini adalah untuk
menyediakan kayu bakar, dan kemudian produk-produk kayu dan non-kayu
lainnya. Menurut para responden, produk-produk ini bersama-sama dengan
Tanggapan-tanggapan yang ada, betapapun, tidak didasari oleh definisi hutan sekunder yang
digunakan secara konsisten. Definisi hutan sekunder yang diberikan dalam survai ini adalah
sama dengan yang digunakan pada penulisan ini. Namun, definisi tersebut juga merupakan
bagian dari survai (kwesioner) yang diajukan untuk didiskusikan. Beberapa responden
mengusulkan definisi-definsi baru (yang telah mengalami perubahan), berdasarkan mana
mereka memberikan jawaban terhadap kwesioner yang disebarkan.
L-7
L-8
4. Pemanfaatan saat
ini
5. Kondisi pembatas
L-9
6. Karakteristikkrakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder
7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan
8. Pustaka
L-10
1.2 Iklim
2. Sejarah
pembentukan
3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah
L-11
6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder
7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan
8. Pustaka
L-12
3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah
3.2 Daerah penelitan
L-13
4. Pemanfaatan saat
ini
5. Kondisi pembatas
L-14
6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder
7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan
8. Pustaka
L-15
5. Kondisi pembatas
Cina
Propinsi Heilonjiang, Distrik Kehutanan
Daxinganling
Iklim sedang; temperatur rata-rata per tahun berkisar
2 to 4 C, hutan konifer boreal
Kebakaran hutan (1987), dimana 1 juta ha hutan
alami mengalami kerusakan dan 430.000 ha musnah
total.
13% dari luas seluruh wilayah Cina ditutupi oleh
hutan-hutan. Distrik kehutanan Daxinganling
mempunyai proporsi hutan sebesar 71 % dan
karena itu merupakan distrik dengan kawasan hutan
terluas di Republik Rakyat Cina.
Daerah seluas 1 juta ha.
Sebesar 70 % dari penduduk yang bekerja di distrik
kehutanan tersebut bekerja secara langsung dan/atau
tidak langsung untuk instansi/dinas kehutanan.
Selain itu, produk-produk kayu bakar dan non-kayu
(jamur-jamuran dan buah-buahan jenis berry) juga
dihasilkan dari sini.
Tidak ada keterangan lebih rinci.
6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder
7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan
8. Pustaka
Proposal untuk proyek GTZ Rehabilitasi Arealareal Kebakaran Hutan, Republik Rakyat Cina; PN
91.2163.3
L-16
Pendahuluan
Kosta Rika adalah sebuah negara kecil di Amerika Tengah dengan wilayah
seluas 51.000 km dengan jumlah penduduk sebanyak 3,2 juta jiwa. Negeri ini
memiliki karakteristik yang terdiri dari berbagai macam bentuk bentang lahan
dan ekosistem, yang sebagian besar berhasil dipelihara dengan cara
memperluas sistem/jaringan Taman Nasional dan kawasan hutan lindung. Saat
ini sistem/jaringan tersebut mencakup 25% dari luas negara tersebut.
Lahan-lahan di luar Taman Nasional kebanyakan dimiliki secara pribadi.
Sepanjang 50 tahun terakhir, terjadi penggundulan hutan yang sangat berat di
lahan-lahan tersebut. Hutan-hutan primer ditebang-habis untuk memperoleh
lahan-lahan bagi kegiatan pertanian. Dewasa ini, hutan primer produktif yang
masih ada di Kosta Rika tinggal seluas 200.000 hektar.
Walaupun demikian, menurut data yang dipublikasikan pada tahun 1991 Kosta
Rika memiliki lebih dari 400.000 hektar hutan-hutan sekunder, yang
berkembang diatas lahan-lahan pertanian yang ditinggalkan. Dengan demikian,
saat ini hutan sekunder merupakan sumberdaya kehutanan terbesar bagi negara
tersebut.
Dipersiapkan untuk International Workshop on the Current State and Management Potential
of Secondary Forests in Tropical America yang diseleggarakan pada tanggal 26 Juni, 1997
di Pucallpa, Per.
L-17
Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan hutan sekunder di Kosta Rika. Sebagai
tambahan, studi ini mengetengahkan beberapa hasil yang dicapai oleh proyek
COSEFORMA dalam usahanya untuk memajukan hutan-hutan sekunder
sebagai alternatif baru bagi produksi hasil hutan.
kebijakan pemukiman,
kebijakan peternakan,
kebijakan kehutanan,
2.1
Kebijakan pemukiman
2.2
Kebijakan peternakan
Charral = tahap awal/pertama suksesi hutan sekunder; Tacotal = tahap kedua suksesi.
L-19
Hasil-hasil
Amerika Serikat;
Meningkatnya nilai ekspor daging
L-20
Hasil-hasil
2.3
Kebijakan kehutanan
Pada tahun 1969, peraturan hukum (UU) Kehutanan pertama (No. 4465)
diberlakukan di Kosta Rika, yang kemudian diikuti oleh UU No. 7174 pada
tahun 1990 dan UU No. 7575 pada tahun 1996. Tabel 1-3 memperlihatkan
beberapa karakteristik utama dari perangkat-perangkat hukum ini dan implikasiL-21
Tabel 1:
Aplikasi instrumen-instrumen
Memungkinkan konversi/
perubahan bentuk pemanfaatan
hutan sekunder dalam rangka
proyek-proyek pemukiman,
pembagian lahan, atau
pengembangan usaha pertanian
atau peternakan, yang dalam
perencanaan kerjanya dikaitkan
dengan pembabatan hutan.
pemanfaatan tegakan-tegakan
hutan apabila dianggap perlu.
Pemotongan pajak pendapatan
L-22
Tabel 2:
Aplikasi instrumen-instrumen
L-23
Tabel 3:
Aplikasi instrumen-instrumen
sekunder menyebabkan
ketidakpastian mengenai status
hokum dari hutan-hutan sekunder.
Dalam hubungannya dengan hutan-hutan sekunder, UU Kehutanan tahun 1996
yang baru adalah suatu hal yang inovatif, dalam arti, bahwa dalam rangka
Sertifikat Konservasi Hutan (CCB) untuk pertama kalinya dimungkinkan
pemberian insentif-insentif yang merangsang permudaan alam diatas lahanL-24
Dilain pihak, aspek-aspek lain dari UU Kehutanan yang baru berdampak negatif
terhadap perkembangan hutan sekunder. Formulasi dari UU tersebut
menyiratkan sikap mendua dari para legislator dalam hubungannya dengan
hutan sekunder.
L-25
2.4
3.
Aspek-aspek sosio-ekonomi
3.1
Contoh-contoh:
Tahun 1991: Seorang pemilik hutan (swasta) mengajukan ijin untuk
menebang pohon-pohon dari kawasan padang rumput di sebuah hutan
sekunder yang telah berusia 12 tahun, dengan alasan, bahwa selain dari
pohon yang ingin ditebang kawasan hutan tersebut hanya memiliki jenisjenis pohon pionir yang tidak bernilai komersil. Pada kenyataannya,
diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari jenis-jenis pohon yang ada memiliki
nilai komersil.
Tahun 1997: Seorang pemilik hutan (swasta) mengajukan sebuah rencana
pengelolaan untuk sebuah hutan sekunder yang memiliki pohon-pohon
dengan DBH > 60 cm. Pada kenyataannya, hutan tersebut merupakan
sebuah hutan primer yang sudah pernah diusahakan. Orang tersebut tidak
mengenal perbedaan yang ada.
3.3
L-28
4.
Aspek-aspek teknik/ekologi
4.1
Penelitian
Berbagai lembaga yang terkenal dalam bidang ini (hutan sekunder) menuntut
adanya penelitian yang lebih jauh lagi di bidang ini (CATIE, universitasuniversitas, Pusat Ilmu Tropis (CCT)):
Pada tahun 1956, Holdridge melakukan penelitian pertama mengenai hutan
sekunder. Kemudian hal ini diikuti oleh Budowski di tahun 1966, yang
meneliti ekologi hutan-hutan sekunder muda (pada tahapan awal
suksesinya).
Sejak tahun 1986, CATIE melakukan analisa ekologi hutan-hutan sekunder
dalam hubungannya dengan dinamika dan komposisi hutan-hutan di
Tirimbina de Sarapiqu, Heredia. Penelitian dilakukan pada hutan-hutan
sekunder yang berusia 1, 5, 15, dan 25 tahun; dan pohon-pohon dengan
diameter lebih besar dari atau sama dengan 10 cm. Penelitian-penelitian ini
masih dilanjutkan hingga kini untuk kepentingan evaluasi jangka panjang.
Pada tahun 1988, Mara Manta yang bekerja di CATIE, melakukan analisa
kehutanan pada tegakan-tegakan hutan sekunder yang berusia 25 tahun di
Tirimbina. Kemudian di tahun 1989, dalam hubungannya dengan pembuatan
skripsi strata S-2 di CATIE, Rudy Herrera melakukan kegiatan penjarangan
pada tegakan-tegakan berusia 15 dan 20 tahun pada hutan-hutan sekunder
yang sama untuk menentukan produksi kayu yang potensial pada lapisan
tengah tajuk.
L-29
L-31
4.2
Komposisi jenis: Sekitar 50% dari jenis-jenis pohon yang ada di hutanhutan sekunder di Kosta Rika merupakan jenis-jenis komersil.
Dinamika jenis pohon: Jenis-jenis pohon pionir yang suka cahaya
merupakan kelompok jenis pohon yang paling besar jumlahnya pada tahap
awal suksesi hutan-hutan sekunder. Namun demikian, pada tahap ini juga
terdapat jenis-jenis pohon tahan naungan yang semakin-lama semakin
penting artinya, dan bersama-sama dengan jenis-jenis pohon pionir
merupakan potensi produksi terbesar (dari hutan-hutan sekunder).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
(hutan sekunder): Sumber-sumber benih (bibit) dan penggembalaan
ternak di padang-padang rumput memainkan peran dalam perkembangan
hutan-hutan sekunder. Dalam hal ini, terdapat berbagai sumber benih (bibit)
yang berbeda akibat komposisi jenis tanaman yang sangat bervarisai.
Bahkan di banyak daerah terbentuk tegakan-tegakan yang terdiri dari hanya
satu atau beberapa jenis pohon saja.
Pertumbuhan: Data-data yang ada menunjukkan bahwa dalam 10 tahun
pertama terjadi peningkatan nilai areal basal antara 0,4 dan 2,6 m/ha/tahun,
dan dalam periode 10 tahun kedua (antara tahun ke-11 dan ke-20) berkisar
antara 0,9 sampai 2,3 m/ha/tahun. Pada tegakan-tegakan yang lebih tua
terdapat hanya beberapa data, contohnya pada tegakan-tegakan hutan
berusia 25 dan 40 tahun ditemukan pertumbuhan sebesar 1,0 dan 0,3
m/ha/tahun.
L-32
5.
COSEFORMA
COSEFORMA (Kerjasama dalam Bidang-bidang Kehutanan dan Perkayuan)
adalah proyek kerjasama bidang teknis dengan Kosta Rika yang didukung oleh
GTZ. Para peserta proyek adalah lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta,
lembaga-lembaga non-pemerintah, dan perusahaan-perusahaan yang bergerak
di bidang kehutanan. Proyek ini dimulai sejak tahun 1990, dan kini sedang
berada pada fase ketiga implementasinya.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk memberikan dukungan pada pemanfaatan
yang berkesinambungan/lestari dari sumberdaya-sumberdaya kehutanan di
Kosta Rika, dimana kegiatan-kegiatannya dipusatkan di wilayah Utara negeri ini
dan sejak tahun 1996 juga dilakukan di wilayah Atlantik.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai dari sumberdayasumberdaya kehutanan. Sumberdaya-sumberdaya kehutanan terdiri dari hutanhutan primer dan sekunder, perkebunan-perkebunan (hutan-hutan tanaman),
sistem-sistem wanatani, dan setiap pohon yang tumbuh diatas padang
penggembalaan.
Dalam konteks konsep tersebut, pada tahun 1991 proyek mulai
mempromosikan hutan-hutan sekunder sebagai sumberdaya kehutanan yang
baru, dan juga sebagai alterantif-alternatif produksi untuk lahan-lahan yang
sudah ditinggalkan, yang karena sudah sangat terdegradasi tidak cocok
digunakan lagi untuk usaha-usaha pertanian dan peternakan. Strategi proyek
dikembangkan dengan memperhatikan tiga buah aspek dasar, yaitu
politis/kelembagaan, sosio-ekonomi, dan teknis/ekologis.
5.1
L-34
Didasari oleh iklim politik yang ditandai oleh adanya perluasan areal
perkebunan pisang dan sistem-sistem insentif yang kuat bagi usaha reboisasi
(yang mana keduanya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap
perkembangan hutan-hutan sekunder di masa lalu), proyek melaksanakan
sejumlah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran para politisi, teknisi, pemilik
dan pengelola hutan, dan masyarakat umum melalui:
Surat kepada Menteri Pertanian dan Peternakan yang dimuat di dalam surat
kabar La Nacin pada tahun 1991 sebagai usaha untuk menarik perhatian
masyarakat terhadap hutan-hutan sekunder sebagai sumberdaya hutan yang
potensil.
Pembuatan pamflet mengenai karakteristika-karakteristika, pengembangan
dan pengelolaan hutan sekunder (berkerjasama dengan CATIE).
Menyebarkan skripsi Perkembangan Hutan-hutan Sekunder pada Padangpadang Rumput yang Ditinggalkan di Wilayah Utara Kosta Rika dan
Petunjuk Teknis untuk Inventarisasi Hutan Sekunder Secara Cepat di
Wilayah Utara Kosta Rika.
Pembagian kaus berkerah (dengan tulisan Hutan Sekunder Penghutanan
Kembali Secara Alami dan Tanpa Pohon-pohon Benih Tidak Ada Hutanhutan).
Pencanangan hari raya panen yang dihadiri oleh wakil-wakil dari sektor
pemerintahan dan swasta (termasuk wakil presiden Kosta Rika), para
teknisi/ahli dan pemilik hutan;
L-35
Aspek-aspek teknis/ekologis
5.3
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
10
12
14
16
18
20
22
24
L-38
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
10
12
14
16
18
20
22
24
Guatuso
L-39
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
y = 0.4182x + 24.218
2
R = 0.086
y = 0.3364x + 24.391
2
R = 0.0645
11
13
15
17
Gambar 3: Jumlah jenis-jenis pohon yang bernilai komersil dan nonkomersil di hutan-hutan sekunder yang berbeda usianya di
Guatuso
Dalam hal kerapatan dari jenis-jenis pohon komersil pada kelompok-kelompok
tahan naungan yang berbeda (Gambar 4), tampak jelas bahwa jenis-jenis
pionir berumur pendek dan tidak tahan dinaungi tidak ada sama-sekali.
Sebaliknya, yang dominan adalah jenis-jenis pionir berumur panjang yang tidak
tahan dinaungi, yang merupakan komposisi jenis pohon yang khas pada hutanhutan sekunder di wilayah ini.
Jumlah pohon-pohon pionir berusia panjang (dan tidak tahan dinaungi)
berkurang dengan semakin dewasanya hutan-hutan tersebut, sedangkan jumlah
pohon-pohon yang tahan dinaungi sebagian sedikit bertambah. Usaha
pengelolaan hutan sekunder harus dipusatkan kepada kedua kelompok ekologi
ini.
L-40
Jumlah Pohon/ha
600
500
400
300
200
100
[
0
6
10
12
14
16
18
keras antara kedua kelompok pohon tersebut. Selain itu juga dapat diamati
bahwa pertumbuhan yang terjadi berkurang karena tidak dilakukannya
Pertumbuhan
Rata-rata Tahunan (cm)
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
10
15
20
25
Pertumbuhan
Rata-rata Tahunan
(cm)
1.5
1
0.5
0
10
15
20
25
L-43
L-45
5.4
L-46
6.
L-47
L-48
L-50
hanya untuk proses-proses yang terjadi pada areal yang lebih besar dari 1.000
m (UNESCO 1978; DENSLOW 1980; SIPS et al. 1993).
Tidak ada batasan perbedaan yang jelas antara kedua bentuk perkembangan
tersebut (dengan atau tanpa suksesi). Karena suksesi adalah isu utama dalam
diskusi-diskusi tentang hutan-hutan sekunder, maka proses berlangsungnya
suksesi sekunder akan dijelaskan dibawah ini.
Hal yang mendorong terjadinya suksesi adalah kemampuan kompetisi dari
tanaman-tanaman yang terlibat didalamnya, yang tergantung pada kondisi tapak
dimana mereka tumbuh. Sebaliknya, kondisi tapak (mikro) tersebut juga
berubah terus-menerus akibat perkembangan tanaman-tanaman tersebut. Dalam
hal suksesi, dibedakan antara suksesi primer yang menandakan kolonisasi
suatu tempat/tapak untuk pertama-kalinya, dan suksesi sekunder yang
menandakan pengkolonisasian kembali suatu areal yang sebelumnya pernah
dikolonisasi. (BURSCHEL & HUSS 1984).
Suksesi adalah proses utama dalam perkembangan hutan-hutan sekunder.
Karena suksesi juga memainkan peranan penting dalam dinamika hutan-hutan
primer, tidaklah mengherankan apabila ditemukan banyaknya tumpang tindih
antara literatur-literatur mengenai hutan-hutan sekunder dan mengenai suksesi
hutan-hutan (primer) hujan tropik. (BROWN & LUGO 1990). Dalam kedua
bentuk suksesi tersebut, mekanisme-mekanisme biologi yang menentukan
proses suksesi adalah serupa.
Kecepatan, arah dan hasil suksesi tergantung pada sejumlah faktor yang
memiliki pengaruh-pengaruh yang sangat kompleks. Untuk memperjelas
L-52
L-53
Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohonpohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh
dengan umur yang kurang lebih sama (FINEGAN 1992). Walaupun tegakan yang
tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga
dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi
segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh. (GOMEZPOMPA & VASQUEZ-YANES 1981; KAHN 1982; FINEGAN 1984).
Siklus unsur hara berkembang dengan sangat cepat (VITOUSEK 1984;
VITOUSEK & REINERS 1975; BROWN & LUGO 1990). Khususnya unsur-unsur
hara mineral diserap dengan cepat oleh tanaman-tanaman, sebaliknya nitrogen
tanah, fosfor dan belerang pada awalnya menumpuk di lapisan organik
(JORDAN 1985). Pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur hara yang cepat
mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam
waktu kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi
primer bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai (CORLETT
1995). Biomasa daun, akar dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu
biomasa daun dan akar berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu
akan meningkat secara tajam (BROWN & LUGO 1990). Hanya setelah 5-10
tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai nilai seperti di
hutan-hutan primer (UHL & JORDAN 1984). Selama 20 tahun pertama, produksi
primer bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang
yang dicapai oleh oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun (EWEL 1971; TOKY &
RAMAKRISHNAN 1983).
Proses-proses biologi akan berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciriciri ini adalah permulaan dari fase ketiga (fase dewasa).
L-54
seluruh fase suksesi akan dilalui oleh komunitas tumbuhan tersebut, dan
sebagai akibatnya yang terjadi hanyalah perubahan struktur hutan.
L-58
VI.1.1
Kondisi-kondisi tapak
Formasi hutan (vegetasi fase klimaks) yang dimasukkan dalam suatu zona iklim
tertentu memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dari suatu hutan sekunder di
masa yang akan datang, karena dalam jangka-waktu tertentu hutan sekunder ini
akan berkembang kearah vegetasi klimaks tentu saja apabila tidak ada
sumberdaya genetik yang hilang.
Setiap benua memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan didalam zona
vegetasi yang sama, tergantung pada sejarah perkembangan mereka masingmasing. Tetapi dimana kondisi tapaknya sama, kelompok-kelompok jenis yang
serupa akan terbentuk. Di semua benua, contohnya, jenis-jenis vegetasi dari
masing-masing fase suksesi menunjukkan karakteristik-karakteristik yang sama.
Namun, proporsi jenis-jenis pohon komersil kadang-kadang sangat berbeda.
L-59
L-60
Faktor ekologi lainnya yang penting untuk suksesi adalah kesuburan tanah
(FINEGAN 1992). Suksesi berjalan jauh lebih lambat pada tanah-tanah yang
miskin unsur hara daripada pada tanah yang kaya unsur hara. Pada tanah-tanah
yang sangat miskin akan unsur hara, kolonisasi jenis-jenis pionir awal
membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya dan terjadi dengan sangat tidak
teratur. Walaupun demikian, tanah-tanah yang kurang subur mempunyai
potensi yang cukup untuk rekolonisasi, dengan syarat bahwa tidak terjadi
degradasi tanah lebih lanjut (UHL et al. 1988). Tanah-tanah semacam itu
seringkali ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon berkayu keras yang tumbuh sangat
lambat, yang mencirikan jenis-jenis pohon klimaks yang khas pada tapak-tapak
tersebut (CORLETT 1991; SIM et al. 1992). Semakin miskin tanah, semakin
besar pengaruh intervensi-intervensi (gangguan-gangguan) (SANCHEZ 1976).
Degradasi tanah yang terjadi dapat sedemikian beratnya akibat gangguangangguan manusia yang sangat kuat, sehingga proses penghutanan kembali
secara alami dapat terhalangi selama beberapa dekade atau bahkan beberapa
abad (CORLETT 1995).
VI.1.2
Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi
Pemanfaatan Kayu
VI.2.1.3 Kebakaran
Kebakaran yang biasa terjadi di daerah-daerah dengan periode kering yang jelas
memperbesar dampak-dampak dari tebang-habis seperti yang dipaparkan di
atas. Api/kebakaran mengurangi lebih lanjut potensi permudaan yang ada
dengan memusnahkan tanaman-tanaman muda yang masih hidup dan
mengurangi kemampuan pohon-pohon untuk bertunas (coppice) (UHL et al.
1990). Kebakaran yang terjadi berulang-kali bahkan dapat menyebabkan
degradasi secara permanen dengan memusnahkan kemampuan akar dan batang
untuk bertunas serta kemampuan benih-benih jenis-jenis pohon pionir yang
berada di tanah untuk berkecambah (HARTHORN 1980). Di daerah-daerah
tropik beriklim sedang, kebakaran yang terjadi berulang-kali dapat
L-65
VI.2.2
Pertanian
Tebang pilih, tebang habis dan/atau kebakaran seringkali merupakan peristiwaperistiwa yang terjadi sebelum dilakukannya pemanfaatan lahan untuk
pertanian. Karena itu, seluruh dampak/efek yang telah dijelaskan di atas juga
berlaku untuk pemanfaatan lahan untuk pertanian. Budidaya pertanian skalakecil saja sudah dapat sangat mengurangi potensi permudaan melalui
pemusnahan tanaman-tanaman muda yang ada dan penurunan kemampuan
untuk bertunas dari batang-batang yang ada (coppice) (CORLETT 1995). Oleh
sebab itu, rekolonisasi areal tersebut tergantung sepenuhnya dari vegetasi yang
berada disekitarnya. Apabila perkembangan hutan sekunder terjadi setelah
adanya pemanfaatan wanatani (misalnya penanaman pohon untuk menaungi
tanaman kopi atau untuk memenuhi kebutuhan subsisten pertanian, yang
biasanya mempunyai bentuk batang yang jelek dan volume kayu yang kecil),
maka pohon-pohon yang ditanam dalam rangka kegiatan wanatani seringkali
menentukan komposisi jenis pada fase awal suksesi (WEAVER & BIRDSEY
L-66
L-68
VI.2.3
Padang rumput selalu ditinggalkan bila kondisi-kondisi yang ada tidak lagi
menunjang kegiatan penggembalaan. Kedalam kondisi-kondisi ini termasuk
pengambilan kembali hak-hak penggunaan lahan, masalah-masalah yang
menyangkut kesehatan ternak, serta keterbatasan ekonomi yang menyebabkan
peternakan tidak menguntungkan lagi dan menurunnya kesuburan tanah.
Potensi permudaan yang masih ada (setelah tebang-habis) untuk berkecambah
bertahan lebih lama apabila lahan tersebut digunakan untuk penggembalaan
ternak dibandingkan dengan apabila lahan tersebut digunakan untuk budidaya
tanaman pertanian (NEPSTAD et al. 1990). Selain itu, setelah digunakan untuk
penggembalaan lahan, tersebut memiliki lebih banyak bahan organik
dibandingkan dengan, contohnya, setelah digunakan sebagai perkebunan kopi
(WEAVER et al. 1987). Bahkan, lahan penggembalaan sering mempunyai bahan
organik yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer (BROWN &
LUGO 1984; LUGO et al. 1986). Walaupun demikian, padang rumput dapat
merupakan penghambat langsung atau tidak langsung untuk suksesi hutan,
karena padang rumput menjadi habitat bagi hewan-hewan pemakan biji,
menyaingi tanaman-tanaman kayu dalam pemanfaatan unsur-unsur hara,
memperbesar defisit air pada musim kering, dan memperbesar risiko terjadinya
kebakaran. Dilain ihak, padang rumput di dataran-dataran rendah tropik basah
dan tropik beriklim sedang kebanyakan akan menghilang, kecuali apabila terjadi
kebakaran secara periodik (GOLDAMMER 1995). Erosi dan pemadatan tanah
pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian lebih tinggi
dibandingkan pada lahan-lahan yang ditutupi/ditumbuhi oleh rumput secara
permanen.
L-69