Anda di halaman 1dari 228

Penelitian Hutan Tropika

Relevansi Pengelolaan
Hutan Sekunder
dalam Kebijakan
Pembangunan

Penelitian Hutan Tropika

Relevansi Pengelolaan
Hutan Sekunder dalam
Kebijakan Pembangunan

ECO
Society for socio-ecological
programme consultancy
Anette Emrich
Dr. Benno Pokorny
Cornelia Sepp

Eschborn, 2000

TB Series No.: FTWF-18i

Penerbit:

Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH
Postfach 5180
D-65726 Eschborn

Penanggung-Jawab:

Begleitprogramm Tropenkologie (TB)


Dr. Claus Btke, Elisabeth Mausolf
Untersttzung der Umsetzung TropenWald
Relevanter Programme (TWRP)
Dr. Helmut Dotzauer

Penulis:

ECO Gesellschaft fr sozialkologische


Programmberatung, Oberaula
Anette Emrich, Dr. Benno Pokorny, Cornelia Sepp
email: ECOOberaula@compuserve.com

Layout:

Michaela Hammer

Diproduksi oleh:

TZ-Verlagsgesellschaft mbH, D-64380 Rodorf

Harga:

10,-DM

2000 Alle Rechte vorbehalten

Kata Pengantar
Agenda 21 yang diterima dalam Konperensi PBB mengenai Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development)
pada tahun 1992 yang dihadiri oleh 178 negara, mencakup sebuah bagian yang
didedikasikan kepada sector kehutanan. Bersama-sama dengan UNCED Forests
Statement, Agenda 21 membentuk dasar bagi kerjasama internasional dalam
bidang pengelolaan, konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan untuk
seluruh tipe hutan. Kesepakatan Rio juga digunakan sebagai dasar bagi proses
modifikasi kebijakan nasional yang dirancang untuk menstimulasi pembangunan
yang berkesinambungan dan sesuai dengan lingkungan di negara-negara industri
dan berkembang.
Idealnya, pembangunan yang berkesinambungan dilakukan berdasarkan tiga
prinsip panduan utama untuk semua kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan:
efisiensi ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian ekologi. Dalam hubungannya
dengan pengelolaan sumberdaya-sumberdaya alam, hal ini berarti bahwa
pemanfaatannya secara global tidak seharusnya menutup kemungkinankemungkinan pembangunan dari generasi-generasi yang akan datang. Dengan
fungsi-fungsinya yang tidak terhitung banyaknya, hutan-hutan diseluruh zona iklim
tidak hanya memenuhi salah-satu kepentingan manusia yang paling vital,
melainkan juga membantu mengawetkan keanekaragaman biologi diseluruh dunia.
Oleh sebab itu, sumberdaya-sumberdaya hutan dan kawasan-kawasan berkayu
harus dikelola, dipreservasi, dan dibangun secara lestari. Apabila tidak, maka
tidak akan mungkin untuk menjamin tersedianya kayu, pakan ternak, makanan,
obat-obatan, kayu bakar dan hasil-hasil hutan lainnya dalam jangka-panjang.
Selain itu, hutan-hutan tidak akan dapat memenuhi fungsi-fungsi penting lainnya
secara berkesinambungan dan dengan sesuai, seperti pencegahan erosi,
konservasi biotop, dan pengumpulan dan penyimpanan gas CO2 (penyebab efek
rumah kaca).

Tropical Forest Research dan Support to National Forest Programmes in the


Global Context yang diimplementasikan oleh Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH atas nama German Federal Ministry
for Economic Cooperation and Development (BMZ) telah mengkompilasikan
studi mengenai pemanfaatan potensi hutan-hutan sekunder ini bersama-sama
dalam rangka untuk menonjolkan? nilai-nilai ekologi dan sosio-ekonomi dari
hutan-hutan sekunder dalam konteks pembangunan nasional yang
berkesinambungan. Mereka bermaksud untuk mengembangkan dasar ilmiah bagi
pembangunan kehutanan yang berkesinambungan, dan dari situ juga menolong
penerapan kesepakatan Rio didalam konteks kerjasama pembangunan.
Penelitian-penelitian yang aplikatif membantu untuk mengembangkan pemahaman
kita mengenai ekosistem-ekosistem hutan tropika dan keterkaitannya dengan
dimensi-dimensi ekonomi dan sosial dari pembangunan manusia. Proyek (yang
dilaksanakan) juga membantu untuk mempromosikan dan mengembangkan
pemuda/i Jerman yang berorientasi praktek dan para peneliti lokal sebagai dasar
bagi pengembangan dan diseminasi system-sistem produksi kehutanan yang
sesuai dari segi ekologi, ekonomi dan sosial.
Melalui suatu seri publikasi, proyek Tropical Forest Research menyediakan hasilhasil studi dan rekomendasi-rekomendasi aksi dalam suatu bentuk yang
komprehensif, baik bagi organisasi-organisasi dan institusi-institusi yang aktif dalam
bidang kerjasama pembangunan maupun bagi masyarakat umum yang tertarik pada
masalah-masalah kebijakan lingkungan dan pembangunan.

I. Hoven

Dr. C. v. Tuyll

Kepala Divisi:
Kebijakan Lingkungan, Perlindungan
Sumberdaya-sumberdaya Alam, Kehutanan;
CSD, GDF

Kepala Divisi:
Pengembangan Daerah Pedesaan

German Federal Ministry for Economic


Cooperation and Development (BMZ)

Deutsche Gesellschaft fr
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH

Daftar Isi

Daftar Isi
I
DAFTAR GAMBAR & DAFTAR TABEL.....................................................III
DAFTAR SINGKATAN ..............................................................................V
KATA PENGANTAR ................................................................................VI
RANGKUMAN ..................................................................................... VIII
1

PENDAHULUAN................................................................................1

ISTILAH HUTAN SEKUNDER...........................................................5


2.1 Definisi-definisi hutan sekunder................................................................. 5
2.2 Penggunaan istilah hutan sekunder dalam studi ini................................10

PENYEBARAN DAN PEMANFAATAN HUTAN-HUTAN SEKUNDER......15


3.1 Penyebaran hutan-hutan sekunder saat ini ................................................15
3.2 Hutan-hutan sekunder dalam konteks deforestasi dan reboisasi ............16
3.3 Pemanfaatan hutan-hutan sekunder saat ini ..............................................20

PENGARUH MANUSIA TERHADAP PEMBENTUKAN ,


PERKEMBANGAN, DAN KEADAAN HUTAN SEKUNDER....................27
4.1 Penyebab-penyebab dan kondisi-kondisi penentu dalam
pembentukan hutan-hutan sekunder...........................................................28
4.2 Faktor-faktor penentu dalam perkembangan hutan-hutan sekunder........30

POTENSI KONTRIBUSI HUTAN-HUTAN SEKUNDER DALAM


PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN (ANALISA POTENSI) .......35
5.1 Kriteria evaluasi untuk potensi pemanfaatan............................................37
5.1.1 Kelompok-kelompok pemanfaat................................................37
5.1.2 Pemanfaatan potensi ..................................................................39
5.1.3 Sistem-sistem produksi alternatif .............................................40
5.2 Potensi pemanfaatan kehutanan.................................................................41
5.2.1 Kayu (pertukangan)....................................................................43
5.2.2 Kayu-bakar ..................................................................................51
5.2.3 Hasil-hasil hutan non-kayu (NTFP) .........................................54
5.3 Potensi pemanfaatan pertanian (wanatani)................................................59
5.3.1 Hutan bera sebagai pemanfaatan antara pertanian.............59
5.3.2 Budidaya tanaman pertanian di hutan-hutan sekunder.......62

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


5.3.3 Peternakan (penggembalaan) di hutan (forest pasture)....... 64
5.4 Potensi konservasi ..................................................................................... 68
5.4.1 Konservasi tanah, air, dan iklim .............................................. 68
5.4.2 Konservasi habitat flora dan fauna, serta konservasi
dan perbaikan keanekaragaman jenis (biodiversitas)......... 72
5.4.3 Penurunan kadar CO2 di atmosfer melalui
pengelolaan dan pemanfaatan hutan-hutan
(sekunder) secara lestari ........................................................... 75
5.4.4 Pemanfaatan hutan-hutan sekunder sebagai substitusi
dari hutan-hutan primer............................................................ 81
5.5 Turisme dan rekreasi.................................................................................. 83

USULAN-USULAN AKSI DALAM KONTEKS KERJASAMA


TEKNIS ......................................................................................... 87
6.1 Pengalaman sampai saat ini ....................................................................... 91
6.2 Instrumen-instrumen penunjang dalam konteks kerjasama
pembangunan............................................................................................... 93
6.2.1 Usaha-usaha untuk mempengaruhi kerangka hukum
dan politik.................................................................................... 93
6.2.2 Integrasi hutan-hutan sekunder kedalam tata-guna
lahan............................................................................................. 94
6.2.3 Tindakan-tindakan silvikultur dan teknis............................... 95
6.2.4 Pengembangan pemasaran ....................................................... 97
6.2.5 Penelitian ..................................................................................... 98
6.3 Pemanfaatan potensi-potensi yang teridentifikasi................................... 99
6.4 Tingkat pendekatan...................................................................................105
6.4.1 Pendekatan pada tingkat internasional................................105
6.4.2 Pendekatan pada tingkat nasional ........................................106
6.4.3 Pendekatan pada tingkat lokal...............................................107

PENUTUP .................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................P-1


LAMPIRAN ...........................................................................................L-1

II

Daftar Gambar & Daftar Tabel

Daftar Gambar
Gambar 1: Penyebaran hutan sekunder di daerah tropik (1990, dalam juta
Ha)
Gambar 2: Perubahan keluasan areal dari berbagai formasi hutan (19801990)
Gambar 3: Hutan sekunder sebagai bagian dari sistem pemanfaatan lahan
yang dinamis
Gambar 4: Faktor-faktor penentu dalam pembentukan dan perkembangan
hutan sekunder

Daftar Tabel
Tabel A:

Kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi penyediaan hasilhasil hutan sekunder secara berkesinambungan

Tabel 1:

Gambaran umum mengenai kriteria-kriteria yang digunakan


untuk mendefinisikan istilah hutan sekunder dalam pustaka yang
relevan

Tabel 2:

Kepentingan-kepentingan yang paling utama dari berbagai


kelompok pemanfaat atas fungsi-fungsi hutan sekunder yang
berbeda

Tabel 3:

Karakterisasi potensi pemanfaatan kehutanan dari hutan-hutan


sekunder dibandingkan dengan sistem-sistem produksi lainnya

Tabel 4:

Perbandingan potensi produksi kayu dalam sistem-sistem


produksi yang berbeda

Tabel 5:

Perbandingan potensi produksi kayu untuk kelompokkelompok pemanfaat yang berbeda pada sistem-sistem
produksi yang berbeda

Tabel 6:

Perbandingan potensi produksi kayu-bakar dalam sistem-sistem


produksi yang berbeda

Tabel 7:

Perbandingan potensi produksi kayu-bakar kelompokIII

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


kelompok pemanfaat yang berbeda pada sistem-sistem
produksi yang berbeda
Tabel 8:

Perbandingan potensi pemanfaatan hasil-hasil hutan non-kayu


(NTFP) dalam sistem-sistem produksi yang berbeda

Tabel 9:

Perbandingan potensi pemanfaatan hasil-hasil hutan non-kayu


(NTFP) untuk kelompok-kelompok pemanfaat yang berbeda
pada sistem-sistem produksi yang berbeda

Tabel 10:

Gambaran umum mengenai bentuk-bentuk aksi sesuai dengan


fungsi dan kelompok sasaran, serta kebutuhan penelitian

Tabel 11:

Kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan akibat dukungan


yang diprioritaskan pada sebuah fungsi hutan sekunder

IV

Daftar Singkatan

Daftar Singkatan
DC

Kerjasama Pembangunan (Development Cooperation)

FAO

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsabangsa (Food and Agriculture Organisation of the United
Nations)

FC

Kerjasama Keuangan (Financial Cooperation)

GEF

Fasilitas Lingkungan Global (Global Environmental


Facility)

GTZ

Lembaga Kerjasama Teknis Jerman (Deutsche


Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit / German
Technical Cooperation)

IFF

Forum Kehutanan Antar-Pemerintah (Intergovernmental


Forum on Forests)

IPF

Panel Kehutanan Antar-Pemerintah (Intergovernmental


Panel on Forests)

LUP

Tata-Guna Lahan (Land Use Planning)

m.

juta (millions)

NTFP

Hasil-hasil Hutan Non-Kayu (Non-timber forest products)

TC

Kerjasama Teknis (Technical Cooperation)

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Kata Pengantar
Tema hutan sekunder dan sumbangan yang dapat diberikannya dalam
pembangunan semakin mendapatkan perhatian di kalangan para ahli yang
berkecimpung dalam kerjasama pembangunan internasional. Hal ini terutama
disebabkan oleh karena dengan semakin menghilangnya hutan primer,
pembangunan hutan sekunder dan pengelolaannya secara lestari menjadi
semakin penting. Di masa lampau berbagai studi dan publikasi mengenai
tema tersebut telah dilakukan. Namun, kebanyakan dari studi tersebut lebih
difokuskan kepada sifat dan ciri alami serta dinamika suksesi dari hutanhutan tersebut. Dalam hal ini, perhatian dan minat utama terletak pada
pengusahaan kayu. Hanya terdapat sedikit penulis yang
memperhatikan/membahas lebih jauh fungsi-fungsi hutan lainnya, serta
kondisi-kondisi pembatas yang mempengaruhi pengembangan dan
pemanfaatannya.
Seperti halnya sumberdaya-sumberdaya alam lainnya, hutan-hutan sekunder
berada diantara berbagai kepentingan yang berbeda, yang kadang-kadang
menimbulkan konflik. Karena itu, penilaian potensi hutan-hutan sekunder
dalam konteks kebijakan pembangunan tidak dapat dilakukan hanya dengan
mengenali dan menilai sumberdaya tersebut, melainkan juga dengan
memperhatikan tujuan pemanfaatannya, kapasitas dari berbagai pihak yang
terlibat didalamnya, serta kondisi-kondisi sosial-budaya, ekonomi, kebijakan
dan hukum.
Studi ini bermaksud untuk memaparkan tema ini dalam konteks yang lebih
luas dan menunjukkan batasan-batasan, didalam mana diskusi mengenai arti
dan potensi hutan-hutan sekunder dalam konteks kebijakan pembangunan
seharusnya dilakukan. Dalam hal ini dilakukan pendekatan yang bersifat
global dan umum, yang tidak memperhatikan kondisi-kondisi regional,
VI

Kata Pengantar
kelompok-kelompok masyarakat secara terpisah, serta karakteristikkarakteristik yang berbeda dari hutan-hutan sekunder secara rinci. Studi ini
dilakukan berdasarkan penelaahan literatur-literatur yang tersedia, wawancara
terhadap staf luar-negeri proyek-proyek GTZ, serta berbagai diskusi yang
dilakukan dengan staf GTZ di Eschborn, anggota organisasi-organisasi
lainnya dan para penilai independen. Studi ini dapat dipandang sebagai
bahan diskusi. Karena kompleksitas dan banyaknya pertanyaan yang belum
terjawab, dalam studi ini tema (hutan sekunder) tidak dapat dibahas secara
menyeluruh dan sampai tuntas.
Kami mengucapkan terima-kasih atas bantuan dari seluruh partner bicara
kami, terutama Dr. Dietrich Burger, Martin Homola dan Dr. Jrg Linke, yang
nasihat dan sumbangan ilmiahnya telah membantu keberhasilan studi ini.

VII

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Rangkuman
Catatan Umum
Diskusi mengenai hutan-hutan sekunder menjadi semakin penting dengan
semakin berkurangnya keberadaan hutan-hutan primer. Studi ini
dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam diskusi tersebut, dan dari
situ dapat digunakan sebagai dasar bagi para pengambil keputusan dan
praktisi agar dapat menaksir potensi hutan sekunder dalam konteks
kebijakan pembangunan secara lebih baik, dan menggunakannya sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pada Bab I studi ini akan diberikan gambaran mengenai penyebaran dan
pemanfaatan hutan-hutan sekunder. Setelah itu akan dilakukan analisa
mengenai potensi-potensi hutan-hutan sekunder yang dapat dimanfaatkan,
yang hasilnya digunakan untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan. Titik awal dari pengamatan ini adalah minat/kepentingan
dari kelompok-kelompok pengguna di tingkat lokal sampai internasional
yang mempunyai berbagai kemungkinan aksi/tindakan yang berbeda.
Akhirnya diberikan saran-saran bagaimana potensi-potensi yang
teridentifikasi dapat dimanfaatkan dengan dukungan sarana dan prasarana
yang tersedia didalam kerangka kerjasama teknis (Technical Cooperation /
TC). Banyak pernyataan didalam studi ini bersifat hipotetis dan diharapkan
dapat mengantarkan lebih lanjut diskusi mengenai hutan sekunder dalam
konteks kerjasama pembangunan.
Istilah Hutan Sekunder
Studi ini terutama dikaitkan dengan hutan-hutan sekunder di daerah tropik
dan sub-tropik. Namun, banyak aspek disini berlaku juga untuk hutan-hutan
di daerah beriklim sedang. Hutan Sekunder merupakan istilah yang sangat
VIII

Rangkuman
sulit untuk didefinisikan, dan oleh berbagai penulis yang berbeda diberikan
makna/arti yang berbeda. Walaupun setiap pembatasan/penyempitan
(definisi) menyebabkan bahwa hutan-hutan tertentu yang dapat dikategorikan
sebagai hutan sekunder oleh penulis-penulis lainnya dikeluarkan dari batasan
ini, namun untuk studi ini dipilih definisi hutan sekunder sebagai berikut:

Hutan sekunder adalah hutan tumbuhan yang (i) terbentuk


setelah adanya perusakan total (lebih dari 90%) dari hutan
primer akibat pengaruh manusia, yang (ii) tumbuh diatas
lahan yang luas, sehingga karena terjadinya perubahan iklim
mikro dan kondisi permudaan yang berbeda menunjukkan
struktur, komposisi jenis pohon dan dinamika yang berbeda
dari tegakan aslinya, dan juga (iii) belum berkembang
mencapai keadaan (tegakan) awalnya (masih dapat dibedakan
dengan tegakan aslinya).
Walaupun sudah sangat dipersempit, definisi tersebut di atas masih
mencakup begitu banyak situasi dan bentuk hutan sekunder yang berbeda,
sehingga pengembangan suatu sistem klasifikasi tampaknya sangat
dibutuhkan. Dengan sistem tersebut diharapkan bahwa bentuk dari Hutan
Sekunder (termasuk batasan-batasannya yang penting) dapat digambarkan
secara lebih tepat, yang memungkinkan adanya suatu pemahaman yang jelas
dan berlaku internasional. Namun, pengembangan sistem semacam ini tidak
mungkin dilakukan didalam studi ini.

Penyebaran Hutan-hutan Sekunder


Keluasan areal-areal hutan sekunder di daerah tropik ditaksir oleh BROWN
IX

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


dan LUGO (1990) sebesar 600 juta Ha. Luas ini adalah kira-kira sebesar 35%
dari seluruh kawasan berhutan di daerah tropik. Adanya perbedaan yang
sangat besar mengenai keluasan kawasan hutan sekunder dalam berbagai
publikasi disebabkan oleh beragamnya definisi hutan sekunder yang
digunakan, dan perbedaan-perbedaan interpretasi dari data-data dasar.
Kebanyakan dari data-data ini berasal dari publikasi-publikasi FAO, dimana
kategori Hutan Sekunder tidak ditetapkan secara pasti.
Yang sangat penting disini adalah pemahaman mengenai hutan sekunder
dalam konteks penggundulan (deforestation) dan penanaman hutan kembali
(reforestation). Inventarisi yang dilakukan FAO pada tahun 1993
menunjukkan, bahwa perusakan hutan berlangsung secara kontinyu pada
sebagian besar negara-negara tropik dengan tingkat rata-rata tahunan (bersih)
sebesar 0,8%. Walaupun penggundulan hutan terus berlangsung, namun
keluasan areal yang ditutupi hutan-hutan sekunder di kebanyakan negara atau
wilayah bisa saja meningkat, baik secara relatif maupun absolut.
Selain perkembangan areal, perkembangan kualitatif dalam konteks situasi
regional atau nasional juga penting artinya bagi potensi pemanfaatan hutanhutan sekunder. Hal ini mempunyai berbagai efek yang mungkin terjadi
sehubungan dengan:
perubahan dari komposisi sumberdaya (pada areal-areal yang tidak
berubah keluasannya, degradasi dapat terjadi secara perlahan-lahan
melalui eksploitasi yang berlebihan)
tahapan suksesi (adanya tendensi bahwa suksesi yang terjadi semakin
sering hanya sampai tahap awal karena masa bera semakin pendek) dan
distribusi geografis (terbentuknya/berkurangnya hutan sekunder secara
X

Rangkuman
lokal, contohnya di lereng-lereng, tanah-tanah marjinal, dsb.)

Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder Saat Ini


Banyak hutan sekunder dimanfaatkan secara intensif serta sedikit banyaknya
sistematis dan permanen. Hal ini terjadi terutama didekat pemukimanpemukiman manusia, dimana hasil-hasilnya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat setempat dan sebagian kecil untuk dijual. Sebagian
besar dari hutan-hutan sekunder berada didalam siklus pemanfaatan yang
kontinyu, dimana hutan-hutan tersebut dibuka (ditebang) untuk tujuan
pertanian dan kemudian diikuti dengan regenerasi hutan untuk
mengembalikan produktivitasnya (sistem perladangan berpindah). Akibat
tekanan pemanfaatan yang sangat tinggi, seringkali timbul bahaya
pemanfaatan yang berlebihan. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan saat ini
meliputi pengambilan kayu (kayu pertukangan dan kayu-bakar) dan hasilhasil hutan non-kayu, pemberaan hutan (untuk tujuan regenerasi) serta
peternakan/penggembalaan. Hutan-hutan sekunder mempunyai arti ekonomi
terpenting sebagai sumber pasokan kayu-bakar dan sebagai areal cadangan
dalam sistem perladangan berpindah.
Bentuk-bentuk pemanfaatan hutan-hutan sekunder yang sangat berhasil juga
dijumpai dalam bentuk pemanfaatan yang terkombinasi dengan komponenkomponen wanatani dan silvopastoral. Bentuk-bentuk ini seringkali
merupakan hasil pengembangan dari sistem-sistem tradisional. Salah-satu
contohnya adalah penanaman sistematis dari jenis-jenis pohon tertentu
(untuk produksi kayu, buah, minyak, dsb.) selama masa bera, sementara
pada saat yang bersamaan dibawahnya ditanami tanaman-tanaman pertanian,
seperti kopi, coklat (atau dikombinasikan dengan kegiatan penggembalaan

XI

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


ternak).
Di beberapa negara, fungsi perlindungan dari hutan sekunder (contohnya
untuk kualitas air) sudah dihargai. Di Kosta Rika, contohnya, perusahaan air
minum negara membeli lahan-lahan pertanian di daerah-daerah tangkapan air
yang penting dan membiarkannya untuk dihutani kembali melalui proses
suksesi alami (F EDLMEIER 1996). Di Puerto Rika, hutan-hutan sekunder
mempunyai peranan yang penting untuk tujuan rekreasi dan wisata.
Hutan-hutan sekunder yang sedikit sekali digunakan (contohnya hanya untuk
berburu) biasanya terletak di lokasi-lokasi yang terpencil, atau miskin akan
sumberdaya, atau berada pada tahap perkembangan yang tidak menarik
(contohnya terlalu muda untuk tujuan pemanfaatan kayu industri).
Apabila tersedia prakondisi-prakondisi yang menguntungkan dalam hal
ketersediaan sumberdaya, infrastruktur dan akses pasar, maka kurangnya
pemanfaatan (under-utilisation) hutan sekunder dapat disebabkan oleh
keterbatasan kapasitas investasi (tenaga/waktu kerja, dsb.), tidak adanya hak
pemanfaatan, keterbatasan pengetahuan, peraturan yang restriktif, dan juga
hilangnya minat (sementara) dari para pemilik akibat adanya alternatifalternatif lain yang lebih menarik.

XII

Rangkuman

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan, Perkembangan,


dan Bentuk Hutan-hutan Sekunder
Hutan-hutan sekunder (berdasarkan definisi yang ditetapkan dalam studi ini)
dapat terbentuk akibat pengaruh-pengaruh dari manusia sebagai berikut:
1. Pemanfaatan kayu (tebang-habis)
2. Perladangan berpindah
3. Ditinggalkannya padang-padang penggembalaan, lahan pertanian dan
lahan perkebunan (contohnya disebabkan oleh perubahan struktur akibat
jatuhnya harga pasar, pindahnya tenaga-tenaga kerja yang produktif,
dsb.).
Beberapa penulis juga memasukkan penggundulan hutan secara alami
(deforestasi) sebagai penyebab terbentuknya hutan sekunder setelah itu.
Sebabnya dapat berupa api, angin, air, dan letusan gunung berapi. Kegiatankegiatan manusia dapat mempermudah dan/atau bahkan memperbesar
dampak/akibat sebab-sebab alami ini (contohnya kebakaran yang tak
terkendali setelah pembukaan hutan untuk kegiatan berladang, atau akibat
kegiatan berburu dengan api, yang apabila dilakukan berulang-kali dapat
menyebabkan hilangnya areal-areal berhutan).
Perkembangan hutan-hutan sekunder berhubungan langsung dengan sistem
pemanfaatan lahan dan sumberdaya secara keseluruhan di suatu wilayah.
Yang paling menentukan disini adalah tekanan/besarnya pemanfaatan, yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi, ekonomi dan sosio-kultur.
Faktor-faktor alami, seperti contohnya kualitas tapak dan sumberdaya
permudaan yang tersisa (yang dilain pihak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan
manusia, yang terutama ditentukan oleh bentuk dan intensitas pemanfaatan
XIII

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


sebelumnya) juga memainkan peranan penting dalam pembentukan dan
perkembangan hutan-hutan sekunder.

Potensi Hutan-hutan Sekunder


Hutan-hutan sekunder merupakan suatu bentuk penghutanan kembali yang
murah dan sesuai dengan tapak yang ada. Selain itu, hutan-hutan tersebut
pada pokoknya mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi. Mereka
dapat memenuhi berbagai macam fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Pada umumnya beberapa dari fungsi ini digunakan dalam waktu
yang bersamaan. Tiga kelompok dari potensi/bentuk pemanfaatan dapat
dibedakan, yaitu:
manfaat kehutanan (kayu-bakar, kayu pertukangan, hasil-hasil hutan nonkayu, turisme)
manfaat pertanian (sistem-sistem wanatani seperti perladangan,
peternakan/penggembalaan, budidaya tanaman-tanaman pertanian)
fungsi perlindungan (perlindungan air, tanah, dan iklim, termasuk
penyerapan CO2 dan konservasi biodiversitas)
Secara umum, potensi pemanfaatan hutan sekunder hanya dapat
didiskusikan dari sudut pandang setiap kelompok pemanfaat dan tujuantujuan spesifiknya (contohnya untuk memenuhi kebutuhan kayu-bakar,
pemasaran hasil-hasil hutan non-kayu tertentu, pemanenan hutan secara
komersil).

XIV

Rangkuman
Dalam studi ini, minat dan kelompok-kelompok pemanfaat hutan sekunder
yang potensil dibagi kedalam 3 kelompok berikut ini:
penduduk lokal/setempat (contohnya para petani pria dan wanita,
pedagang dan gembala)
penduduk regional dan nasional (diantaranya konsumer dan industri
kecil)
masyarakat umum (konsumer, pemerintah, industri, dsb.)
Kelompok-kelompok ini tentu saja sangat beragam (inhomogen) dan dapat
terdiri dari banyak sub-kelompok dengan minat/keinginan dan kemampuan
pemanfaatan yang berbeda. Pembedaan dari dan analisa mengenai
kelompok-kelompok pemanfaat berada diluar tulisan umum ini dan maksud
penulisannya.
Dalam konteks tujuan yang lebih khusus dan dalam menyusun rencana
kegiatan di lokasi secara lebih kongkrit, tentu saja sebuah analisa yang
mendetil mengenai minat/kepentingan dan kemampuan dari kelompokkelompok pemanfaat dan pihak-pihak lainnya harus dipersiapkan secara
lebih hati-hati dan dengan penuh perhatian.

XV

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Faktor-faktor penentu yang harus diperhatikan dalam


analisa potensi pemanfaatan:
Kelompok(-kelompok) pemanfaat
tujuan (juga multi-manfaat)
tingkat pemanfaatan saat ini
konflik-konflik minat/kepentingan
persediaan sumberdaya alami
tahap pertumbuhan tanaman
perbandingan dengan sistem-sistem produksi alternatif
kondisi-kondisi politik/kelembagaan dan sosial/politik
Untuk menganalisa potensi pemanfaatan dan dari situ mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, perlu juga dilakukan sebuah analisa
mengenai kepentingan-kepentingan yang bertentangan (atau kepentingankepentingan yang dapat saling melengkapi), tingkat pemanfaatan saat ini
(pemanfaatan yang berlebihan atau yang kurang) dan batasan-batasan yang
ada.
Selanjutnya, agar alternatif-alternatif yang mungkin dilakukan dan cara
pemecahan/solusi yang terbaik dapat ditentukan, direkomendasikan untuk
melakukan perbandingan dengan sistem-sistem produksi lainnya yang
tersedia (hutan primer, penghijauan, wanatani).
Secara keseluruhan, analisa potensi hutan-hutan sekunder untuk berbagai
fungsi memberikan gambaran yang sangat positif. Hal ini ditunjukkan secara
mendetil di Bab 5. Gambaran mengenai kondisi-kondisi yang
menguntungkan bagi penyediaan hasil-hasil hutan sekunder tertentu diberikan
di Tabel A.
XVI

Rangkuman
Rekomendasi-rekomendasi Aksi
Untuk mempromosikan hutan sekunder melalui kerjasama teknis (TC),
terdapat berbagai kemungkinan aksi berdasarkan tujuan dan permasalahan
yang teridentifikasi. Namun, dalam hal pemanfaatan hutan sekunder hanya
terbatas sekali pengetahuan dan pengalaman yang tersedia mengenai
akibat/dampak dari perlakuan-perlakuan langsung (silvikultur) dan tidak
langsung (dengan mempengaruhi kondisi-kondisi pembatas) yang diberikan.
Karena itu, aksi-aksi yang dilakukan harus dipahami sebagai bagian dari
proses belajar.
Kebanyakan dari usulan-usulan mengenai penanganan hutan sekunder
difokuskan pada pengusahaan hutan, dimana produksi kayu merupakan hal
yang terpenting sedangkan fungsi-fungsi lainnya hanya dianggap sebagai
hasil sampingan.
Hanya sedikit dari proyek-proyek kerjasama teknis yang mendukung
promosi pendekatan trans-sektoral yang bermaksud untuk menerapkan
penggunaan hutan sekunder dengan tujuan multi kehutanan dan pertanian.
Selain itu, jarang sekali tersedia pengalaman mengenai pengelolaan hutanhutan sekunder sebagai bagian dari sistem-sistem tata-guna lahan yang
dinamis, dimana hutan-hutan tidak hanya dipandang sebagai suatu bentuk
pemanfaatan lahan dan seringkali berada didalam proses konversi dan
transformasi yang permanen di banyak tempat.
Pendekatan-pendekatan mana yang paling sesuai untuk diterapkan (baik
terpisah maupun sebagai suatu kombinasi), hanya dapat diputuskan secara
terpisah (kasus per kasus). Yang penting disini adalah bahwa hutan-hutan
sekunder merupakan komponen dari suatu sistem tata-guna lahan regional
dan aksi-aksi yang akan dilakukan harus diintegrasikan kedalam rencana
XVII

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


induk pemanfaatan lahan.
Instrumen-instrumen yang tersedia bagi kerjasama-kerjasama pembangunan
dalam kerangka strategi multi-sektoral atau sektoral untuk mengarahkan dan
mendukung hal tersebut di atas adalah:
Mempengaruhi kerangka kerja hukum dan politik:
Hutan-hutan sekunder harus menjadi obyek dalam pengambilan
keputusan politik, dan kategori-kategori semacam tanah gundul atau
semak-belukar harus ditingkatkan dan mendapat status hukum yang
jelas. Hak-hak pemanfaatan yang mempromosikan kepentingan/minat
jangka-panjang harus diberikan dan dijamin. Hal-hal yang juga termasuk
disini adalah pemberian hak-hak konsesi, pengaturan pajak dan subvensi.
Pengintegrasian hutan-hutan sekunder kedalam tata-guna lahan, serta
kedalam perencanaan sektor pertanian dan kehutanan:
Melalui ini fungsi-fungsi hutan sekunder dapat dioptimalkan dan
minat/kepentingan yang berbeda dapat dipadukan/disepakati dengan lebih
mudah. Peraturan-peraturan yang kontradiktif atau saling bertentangan
dapat diminimasikan.
Tindakan-tindakan teknis silvikultur:
Hutan-hutan sekunder bereaksi dengan baik terhadap perlakuanperlakuan silvikultur yang dapat meningkatkan potensi produksi secara
signifikan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Walaupun demikian,
tindakan-tindakan dengan pendanaan yang seminim mungkin harus
dikembangkan agar dapat diimplementasikan oleh masyarakat
lokal/setempat.
Dukungan pemasaran:
Pemasaran dari jenis-jenis pohon hutan sekunder yang sampai saat ini
XVIII

Rangkuman
kurang/tidak dikenal harus didukung seperti juga industri pengolahan
kayu.
Instrumen-instrumen ini juga dapat digunakan untuk menunjang
pembentukan hutan-hutan sekunder secara aktif, atau untuk mengarahkan
dan mempengaruhi pengembangan hutan. Contohnya, tunjangan terhadap
pembentukan hutan-hutan sekunder pada lahan-lahan yang tidak produktif
dan tidak menarik bagi sektor pertanian. Tentu saja, dengan menggunakan
instrumen-instrumen hukum, perencanaan dan teknis ini, proses
pertumbuhan hutan secara alami diarahkan kepada hasil-hasil suksesi seperti
yang diharapkan.
DC dapat mendukung berbagai macam pendekatan ini pada berbagai tingkat
intervensi. Pada banyak kasus, kombinasi dukungan yang diberikan pada
beberapa tingkat mempunyai arti yang lebih besar:
pada tingkat internasional
Pengikutsertaan tema tersebut dalam aksi-aksi internasional dan sasaransasaran global, penumbuhkembangan kesadaran, pemasaran dari jenisjenis pohon hutan sekunder, sertifikasi;
pada tingkat nasional
Jasa advisory politik dalam perubahan kerangka kerja politik, hukum dan
ekonomi, pengintegrasian kedalam rencana tata-ruang dan tata-guna lahan,
pengembangan dan implementasi hak-hak atas tanah, hak konsesi, insentif
(pajak, subsidi), pengembangan industri;
pada tingkat lokal
Perhatian yang diberikan secara seimbang kepada berbagai fungsi hutan
XIX

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


sekunder untuk memberikan hasil-hasil hutan, untuk perladangan dan
konservasi, dukungan terhadap pemanfaatan potensi hutan secara lebih
baik dan pengelolaannya secara lestari, pengembangan lebih lanjut dari
sistem-sistem pemanfaatan tradisional, pengintegrasiannya kedalam
rencana tata-guna lahan, penumbuhkembangan kesadaran, pembangunan
industri pengolahan kayu dan pemasaran lokal dan regional,
pemberdayaan kelompok-kelompok lokal.
Semua tindakan yang dilakukan harus berorientasi terutama kepada
kebutuhan-kebutuhan penduduk setempat. Dalam hal ini, fokusnya tidak
hanya diarahkan kepada pemecahan masalah-masalah yang ditemukan,
melainkan terutama kepada pemanfaatan potensi-potensi yang selama ini
hampir tidak diperhatikan secara lebih baik.

XX

Tabel A: Kondisi-kondisi yang Menguntungkan Bagi Penyediaan Hasil-hasil Hutan Sekunder Secara
Berkesinambungan
Manfaat/Fungsi
Kayu log
- Komersil

Kelompok Sasaran

Kualitas
Tapak

Umur
Tegakan

Kondisi-kondisi

tinggi

dewasa

sedangtinggi

sedang

muda-sedang

masyarakat regional

sedangtinggi

dekat pasar

berbeda-beda sedang

- Subsisten
NTFP
- Komersil

masyarakat lokal

berbeda-beda

dekat pemukimans

berbeda-beda muda-sedang

masyarakat global

berbeda-beda

berbeda-beda

- Subsisten

masyarakat lokal

berbeda-beda

dekat pemukiman

infrastruktur, struktur pemasaran dan


harga, hak pemanfaatan
akses dan hak-hak pemanfaatan

Perladangan

masyarakat lokal

sedangtinggi

berbeda-beda

Penggembalaan di hutan

masyarakat lokal

sedangtinggi

berbeda-beda

Perlindungan air, tanah


dan iklim

masyarakat lokal

rendah

masyarakat regional

rendah
berbeda-beda

masyarakat global

berbeda-beda

masyarakat global
masyarakat lokal
masyarakat regional
masyarakat global

rendah

berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda muda - sedang

insentif keuangan

masyarakat global

berbatasan dengan
lahan pertanian,
daerah aliran
sungai, dsb.
kebanyakan di
lereng-lereng
wilayah yang luas

berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa
berbeda-beda sedang
dewasa

Konservasi
keanekaragaman jenis
Fiksasi CO2
Substitusi untuk
pemanfaatan hutan
primer

sedangtinggi

Kualitas
Tegakan

jauh dari
pemukiman
dekat pemukiman

- Subsisten
Kayu-bakar
- Komersil

masyarakat regional
dan nasional
masyarakat lokal

Lokasi Geografis

sedang-tinggi

berhubungan dengan hutan primer


berbeda-beda
dekat pemukiman
berbeda-beda
berbeda-beda

sedang
tinggi

sedang
dewasa

infrastruktur, struktur pemasaran, hakhak pemanfaatan


hak-hak pemanfaatan & kepemilikan
infrastruktur, struktur pemasaran,
konsesi-konsesi, koperasi-koperasi
hak-hak pemanfaatan & kepemilikan

tata-guna lahan, tekanan pemanfaatan


pertanian rendah
tata-guna lahan
tata-guna lahan, mekanisme peraturan
pemerintah (legislatif dan ekonomi)

dukungan dan kesepakatan internasional


mekanisme peraturan pemerintah
insentif keuangan dan subsidi-subsidi
mekanisme peraturan pemerintah

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Pengembangan dan pemanfaatan potensi-potensi hutan-hutan sekunder secara
lebih baik dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam pembangunan
secara berkesinambungan, yaitu melalui pemanfaatan potensi di wilayah
tersebut secara maksimal, pengentasan kemiskinan dan
perlindungan/konservasi sumberdaya. Pengalaman-pengalaman selama ini
menunjukkan, bahwa hal ini hanya dapat terjadi dengan menggunakan strategi
multi-sektoral.
Untuk merealisasikan saran-saran aksi diperlukan adanya suatu mekanisme
pendanaan yang sesuai. Disamping kerjasama-kerjasama bilateral tradisional
dalam rangka TC dan FC, tersedia juga berbagai mekanisme pendanaan
internasional yang baru. Dalam hubungannya dengan proses IPF/IFF,
sementara ini telah dilakukan diskusi mengenai keadaan saat ini dan perspektif
masa depan dari pengelolaan hutan lestari. Jelas sekali bahwa sumber
pendanaan nasional, internasional, swasta dan publik perlu dimobilisasi. Untuk
pendanaan aksi-aksi dalam konteks pengelolaan hutan sekunder dibawah ini
diberikan beberapa sumber pendanaan yang sesuai:

Global Environment Facility (GEF);

Dept-for-Nature-Swap;

Mekanisme Protokol Kyoto

XXII

Pendahuluan

Pendahuluan

Diskusi-diskusi mengenai hutan sekunder menjadi semakin penting dengan


semakin berkurangnya keluasan hutan-hutan primer. Akan tetapi secara
politis dan sosial, potensi hutan-hutan sekunder seringkali diabaikan.
Sementara itu, hutan-hutan tanaman lebih diutamakan melalui pemberian
subsidi-subsidi/kemudahan-kemudahan. Analisa potensi hutan sekunder
acapkali dibatasi hanya pada pemanfaatan kayu, yang kadang-kadang tanpa
alasan yang benar dinilai negatif. Dalam hal ini hutan-hutan sekunder
dianggap terdiri dari hanya jenis-jenis pohon yang tidak berharga dan tidak
dapat dipasarkan kayunya, pertumbuhan volumenya rendah, serta
pertumbuhan dan penyebaran alaminya sangat lambat.
Sementara ini, beberapa usaha yang didukung oleh studi ini telah
dikembangkan, dimana hutan-hutan sekunder tidak hanya dilihat dari tujuan
kehutanannya melainkan dari seluruh fungsi yang dapat dipenuhinya dan
peranannya didalam sistem tata-guna lahan secara keseluruhan.
Tujuan dari kegiatan-kegiatan bertemakan hutan sekunder dalam rangka
kerjasama pembangunan (DC) adalah untuk mengenali dan mendukung
kemungkinan sumbangan yang dapat diberikan melalui pemanfaatan hutan
sekunder pada pembangunan yang berkesinambungan1. Sumbangan untuk
pembangunan ini hanya dapat didefinisikan secara lebih rinci untuk masingmasing kelompok sasaran dan lokasi tertentu, dan mencakup pengentasan
kemiskinan dan perlindungan sumberdaya, seperti juga halnya dalam kasus-

Pemanfaatan dalam arti luas, yang berarti termasuk konservasi dan juga konversi terencana
dari hutan-hutan sekunder.

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


kasus tertentu untuk meningkatkan pendapatan, pasokan hasil-hasil hutan
tambahan yang lebih baik, perbaikan hasil-hasil panen pertanian, dsb. Hal ini
tidak secara otomatis selalu berarti bahwa areal-areal hutan sekunder harus
dipertahankan dalam jangka-panjang dan hutannya diusahakan. Dalam
kondisi-kondisi tertentu, sumbangan untuk pembangunan yang lebih besar
juga dapat diberikan dengan cara melakukan pemanfaatan hutan-hutan
sekunder untuk tujuan kehutanan dan pertanian secara bergantian, atau
dengan mengkonversikan hutan-hutan sekunder secara permanen. Hal ini
berarti bahwa potensi hutan-hutan sekunder hanya dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang ditentukan secara spesifik dan untuk
kelompok-kelompok sasaran tertentu. Strategi aksi yang dilakukan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan potensi-potensi ini harus mencakup
dimensi biologi-teknis, seperti juga dimensi sosial-politik dan sosialekonomi. Bahwa sebagian besar dari studi ini membahas aspek-aspek
silvikultur secara lebih dalam disebabkan karena hutan-hutan sekunder di
masa lampau dipandang (kalaupun diperhatikan) sebagai hutan dan karena
itu terdapat informasi dan pengalaman yang jauh lebih banyak mengenai
tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan/usaha-usaha kehutanan. Dilain pihak,
pengelolaan hutan juga dapat memberikan sumbangan dalam usaha untuk
mencapai tujuan-tujuan yang berada jauh diluar sektor kehutanan. Karena itu,
saran-saran sektoral yang diberikan didalam studi ini harus dipandang dalam
konteks keseluruhan dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan dalam
kerangka batasan-batasan yang ada, serta diimplementasikan dengan strategi
multi-sektor.

Pendahuluan

Tujuan dari studi ini adalah untuk


menggambarkan dan menilai situasi hutan-hutan sekunder saat ini
dari segi ekologi, ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
menilai potensi hutan-hutan sekunder untuk pembangunan yang
berkesinambungan dari perspektif kelompok-kelompok pemanfaat
yang terkait (potensi untuk siapa?)
menyusun saran-saran aksi yang dapat mendukung pemanfaatan
potensi-potensi yang teridentifikasi dengan menggunakan
sarana/prasarana yang tersedia dalam rangka kerjasama teknis (TC)
Kelompok-kelompok sasaran dalam studi ini adalah para pembuat kebijakan
dan praktisi dalam kerjasama-kerjasama pembangunan (DC). Studi ini
membahas situasi hutan-hutan sekunder di negara-negara berkembang.
Karena itu, studi ini difokuskan pada hutan-hutan sekunder di daerah tropik
dan sub-tropik. Akan tetapi, di daerah beriklim sedang terdapat juga negaranegara berkembang yang mempunyai hutan-hutan sekunder yang sangat luas
(contohnya Argentina, Latvia, Cina). Dasar studi ini adalah analisa dari
publikasi-publikasi yang tersedia, evaluasi dari kwesioner yang dikirimkan
kepada proyek-proyek kerjasama teknis di bidang kehutanan (TC) dan
diskusi-diskusi dengan staf di kantor pusat GTZ.
Banyak kesimpulan dan pernyataan yang diberikan didalam studi ini bersifat
hipotetis dan diharapkan dapat memajukan diskusi-diskusi mengenai hutan
sekunder dalam konteks kebijakan pembangunan. Dalam berbagai hal, studi
ini tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap pertanyaanpertanyaan yang diberikan karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan
mengenai hal-hal tersebut.

Istilah Hutan Sekunder

2
2.1

Istilah Hutan Sekunder


Definisi-definisi hutan sekunder

Istilah Hutan Sekunder telah digunakan didalam nomenklatur ilmiah paling


tidak sejak tahun 1950-an (RICHARDS 1955, GREIGH -SMITH 1952).
Walaupun akhir-akhir ini istilah tersebut semakin sering digunakan, namun
istilah ini masih belum biasa dipakai di banyak negara. Di negara-negara
tersebut, hutan-hutan yang terdiri dari jenis-jenis pohon lokal biasanya
didefinisikan sebagai hutan atau hutan alami, tanpa mempedulikan apakah
hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan bekas tebangan, atau hutan
hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder dapat mempunya arti yang
sangat berbeda-beda. Hal ini sebagian juga disebabkan karena istilah hutan
sekunder, sebagai padanan dari istilah hutan primer, menimbulkan
asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat
sistematikanya. Hutan-hutan didefinisikan sebagai sekunder, yang sebagian
terbentuk melalui berbagai cara yang sangat berbeda dan karenanya
menunjukkan karakter-karakter yang sangat beragam (CORLETT 1995).
Banyak penulis berusaha untuk membuat definisi yang lebih jelas dan
seragam dari berbagai formasi hutan sekunder yang sangat heterogen.
Namun usaha tersebut hanya menemukan kesamaan pada pengamatanpengamatan, dimana hutan-hutan sekunder terbentuk dan berkembang
setelah adanya gangguan awal tanpa pengaruh manusia sedikitpun. Dalam
hal ini terdapat anggapan-anggapan yang berbeda mengenai macam dan
intensitas dari gangguan tersebut. Hal ini sebagian disebabkan oleh
problem mendasar dalam pembuatan definisi ilmiah, yaitu membuat batasanbatasan buatan didalam suatu selang, yang namun tidak dapat dijumpai
5

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


dalam realitanya (CORLETT 1995). Masalah ini akan menjadi sangat jelas
apabila kita sadari, bahwa walaupun seluruh hutan tropik dan sub-tropik
dipengaruhi (kadang-kadang dengan sangat masif) oleh manusia dalam suatu
bentuk tertentu; namun perubahan yang terjadi kemudian hanya dapat
dibuktikan secara historis atau berdasarkan relik-relik yang tertinggal
(BUDOWSKI 1961; CORLETT 1994, GOMEZ-POMPA & VASQUEZ 1974;
GOMEZ-POMPA ET AL. 1987; LANLY 1982).
FAO tidak menggunakan sama-sekali istilah hutan sekunder. Sebagai
gantinya, dalam publikasi-publikasi FAO digunakan terminologi-terminologi
yang berbeda, yang lebih-kurang dapat dipandang sebagai sinonim untuk
berbagai formasi hutan sekunder. 2 Pada tahun 1996, FAO mendefinisikan 4
macam hutan berdasarkan kerapatan tajuknya (hutan tertutup/closed forest
dan hutan terbuka/open forest), serta bentuk perusakannya melalui
perladangan berpindah (long fallow) dan faktor-faktor lainnya yang tidak
dirinci lebih lanjut (fragmented forest). Hanya hutan tertutup (closed forest)
yang digambarkan sebagai hutan alam yang tidak terganggu secara ekologi,
dan karenanya didalam studi ini dianggap sama dengan hutan primer.
Adapun jenis-jenis hutan lainnya dapat dipandang sebagai hutan sekunder

Istilah-istilah lainnya untuk hutan sekunder adalah not disturbed recently, forest
fallow, dan degraded forest (Forest Resources Assessment (FRA), FAO,1980). Sejak
FRA pada tahun 1990, hutan-hutan dibagi menjadi hutan alam dan hutan tanaman,
sedangkan untuk Global Forest Resource Assessment 2000, direncanakan untuk
melakukan pengkategorian kedalam natural forest, semi-natural forest dan
plantation (pemberitahuan lisan dari SCHARPENBERG, Forest Products Division, FAO,
30.01.1997).

Istilah Hutan Sekunder


berdasarkan definisi yang ditetapkan disini. Karena kurang tersedianya datadata lain, maka luas hutan-hutan sekunder yang diberikan di Bab 3.1 dibuat
berdasarkan jenis-jenis hutan berdasarkan klasifikasi FAO ini.
Sebuah analisa yang dilakukan mengenai definsi-definisi hutan sekunder
dalam tulisan-tulisan ilmiah menunjukkan adanya pendapat-pendapat yang
berbeda mengenai sebab dan tingkat perusakan, proses perkembangan, dan
pertanyaan apakah sebuah hutan baru dapat diklasifikasikan sebagai hutan
sekunder apabila gangguan didalam hutan masih dapat dikenali. Pada Tabel
1 ditampilkan perbedaan-perbedaan ini secara sistematis, yang dapat
diterangkan sebagai berikut:

Sebab gangguan
Bagi banyak penulis, kriteria yang sangat menentukan dalam pendefinisian
hutan sekunder adalah bahwa perkembangan hutan didahului dengan adanya
gangguan oleh manusia, misalnya dalam bentuk tebang habis atau tebang
pilih. Bagi penulis lainnya, gangguan yang ada tidak hanya dari manusia saja.
Bagi mereka, sebab-sebab alami (seperti api, angin, air, letusan gunung
berapi) juga dapat menyebabkan terbentuknya hutan-hutan sekunder. Dalam
hal ini, kriteria definisi yang paling menentukan adalah adanya interupsi dari
keberlangsungan hutan seperti yang dapat dilihat pada tingkat gangguan yang
ada.

Tabel 1:

Gambaran Umum Mengenai Kriteria-kriteria yang Digunakan untuk


Mendefinisikan Istilah Hutan Sekunder dalam Pustaka yang Relevan

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Penulis

Kriteria-kriteria
Sebab
gangguan
Manusia

ANONYMOUS
(1992)
BROWN dan
LUGO (1990)

ts.

Tingkat
gangguan
Skala besar

x
x

CORLETT (1994)

GREIGH-SMITH
(1952)

HUSS (1996)

KAFFKA (1990)

x
x
x

x
x

UNESCO
(1978)

x
x

x
x
x
x

x
x
x

x
x

x
x

ts. = tidak dispesifikasikan lebih lanjut

Tingkat gangguan
Khusus bagi para penulis yang menganggap gangguan-gangguan alami
sebagai sebab dari pembentukan hutan-hutan sekunder, kriteria definisi yang
paling menentukan adalah tingkat gangguan yang terjadi. Pertanyaan penting
disini adalah apakah vegetasi asli dirusak sedemikian rupa sehingga
penrtumbuhan hutan dapat terjadi kembali tanpa dipengaruhi oleh vegetasi
autochton disekitarnya. Jika gangguan yang terjadi hanya sebatas pada areal8

ts.

Dapat
dikenali

SIPS (1993)

ts.

Penampakan
gangguan

WWF (1988)

Suksesi

FINEGAN (1992)

LANLY (1982)

ts.

x
x

LAMPRECHT
(1986)

Proses
perkembangan

Istilah Hutan Sekunder


areal kecil, maka para penulis tersebut menyebutnya sebagai degradasi hutan
primer. Dalam beberapa kasus, mereka mengusulkan sebuah nilai batas yang
dapat digunakan untuk membedakan antara degradasi hutan primer dengan
pembentukan hutan sekunder. Contohnya adalah pengurangan penutupan
pohon dibawah 10% (LANLY 1982; FAO 1993).
Proses perkembangan
Setelah terjadinya gangguan awal, hutan-hutan dapat berkembang tanpa
adanya pengaruh manusia sama-sekali. Bagi beberapa penulis,
perkembangan suksesi alami adalah sebuah kriteria yang penting dalam
mendefinisikan hutan sekunder. Suksesi adalah sebuah urutan/giliran dari
formasi vegetasi yang berbeda, yang tumbuh diatas areal yang sama, satu
setelah yang lainnya (BURSCHEL dan HUSS 1984). Namun penulis-penulis
lainnya menunjukkan, bahwa pembentukan hutan-hutan sekunder tidak
secara otomatis mengakibatkan tumbuhnya berbagai formasi vegetasi secara
bergiliran, melainkan dapat menyebabkan terjadinya proses pertumbuhan
dan regenerasi biasa (coppice, benih yang sudah tersedia di tanah), sehingga
tahapan awal dari pertumbuhan hutan kembali ditandai dengan adanya
dominasi dari jenis-jenis pohon dari tahap suksesi akhir (hutan klimaks).
Penampakan gangguan
Beberapa penulis menunjukkan, bahwa apabila tidak mengalami gangguan
lagi hutan-hutan sekunder dapat berkembang menjadi hutan-hutan primer
atau menjadi hutan-hutan yang tidak dapat dibedakan lagi dengan hutanhutan primer. Dalam hal ini, hutan sekunder dianggap sebagai suatu
tahapan/fase, yang setelah melalui proses reorganisasi biologis menjadi hutan
klimaks yang sama seperti hutan primer (BORMAN & LIKENS 1981). Bagi
penulis-penulis ini, sebuah hutan dapat dianggap sekunder apabila
9

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


gangguan-gangguan yang terjadi dahulu/sebelumnya masih dapat dikenali
pada komposisi dan struktur vegetasinya. BUDOWSKI (1961) dan RICHARDS
(1955) mengasumsikan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi setelah adanya
perkembangan hutan tanpa gangguan selama 60-80 tahun. Namun
kebanyakan penulis memperkirakan, bahwa waktu yang dibutuhkan untuk itu
dapat jauh lebih lama, yaitu sampai ratusan tahun (CORLETT 1994; RISWAN
dan KARTAWINATA 1989).

2.2

Penggunaan istilah hutan sekunder dalam studi ini

Banyaknya definisi untuk hutan sekunder menunjukkan bahwa keragaman


dari hutan-hutan sekunder itu sendiri tidak memungkinkan adanya suatu
definisi yang jelas dan berlaku secara umum. Walupun setiap pembatasan
yang dilakukan akan menyebabkan hutan-hutan tertentu tidak dimasukkan
sebagai hutan sekunder (yang oleh penulis-penulis lainnya secara benar
dikategorikan sebagai hutan-hutan sekunder), namun dalam studi ini dipilih
sebuah definisi hutan sekunder yang dipersempit untuk mendapatkan sebuah
basis bagi komunikasi umum didalam GTZ.

10

Istilah Hutan Sekunder

Setiap kali terminologi hutan sekunder digunakan didalam studi ini,


maka yang dimaksud dengan itu adalah hutan yang terbentuk melalui
suksesi vegetasi yang:
1. mempunyai asal-usul antropogen
2. terbentuk setelah adanya perusakan total dari vegetasi hutan primer
(lebih dari 90%)
3. menutupi areal/lahan yang cukup luas, sehingga karena terjadinya
perubahan iklim mikro dan kondisi permudaan yang berbeda
menunjukkan struktur, komposisi jenis pohon dan dinamika tegakan
yang berbeda dari tegakan aslinya
4. belum berkembang sampai mencapai keadaan (tegakan) awalnya
(masih tampak berbeda dengan tegakan aslinya).

Butir 1. Pembatasan atas sebab-sebab gangguan antropogen tentu saja


dapat didiskusikan secara kontroversial. Di satu sisi dapat diargumentasikan
bahwa manusia menjadi pusat perhatian dan kepentingan dalam DC, dan
tindakan-tindakan DC seringkali bertujuan untuk merubah kebiasaan
manusia. Di sisi yang lain, definisi seperti ini tidak memasukkan areal-areal
yang luas dimana hutan (sekunder) terbentuk akibat sebab-sebab alami,
contohnya api, walaupun perusakan ini mempunyai akibat yang sangat besar
terhadap kualitas hidup dari penduduk yang terkena dampaknya.
Butir 2. Penetapan setiap indikator dalam bentuk persentase kerusakan
mempunyai sifat subyektif dan tidak dapat disesuaikan dengan segala
macam kondisi yang ada. Hutan-hutan yang secara permanen diusahakan
11

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


secara berlebihan / over-exploitation (pemanenan kayu, penggembalaan di
hutan) dan menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang sangat serius tidak
termasuk didalam definisi ini. Hal ini menyangkut terutama kawasan hutan
yang sangat luas di Afrika dan hutan chaco di Amerika Selatan.
Butir 3. Luasnya suatu kawasan/areal yang diperlukan dalam pembentukan
hutan sekunder sangat sulit untuk ditentukan, terlebih-lebih dengan tidak
diperhitungkannya gaps dan lubang-lubang (areal kecil tak berpohon)
didalam hutan primer. Pembatasan semacam ini relatif mudah dilakukan
untuk iklim mikro, sedangkan untuk permudaan hal ini sulit dilakukan. Hal
terakhir terjadi karena bahan-bahan permudaan dari hutan primer
disekitarnya dapat ditransportasikan sampai jarak yang jauh (contohnya
melalui vertebrata). Dengan digunakannya kriteria iklim mikro untuk definisi
yang digunakan disini, maka mosaik dari areal-areal hutan sekunder kecil
(yang contohnya di Amerika Latin terbentuk setelah adanya kegiatankegiatan pertanian di hutan) dimasukkan kedalam analisa pada studi ini.
Butir 4. Istilah tampak atau dapat dikenali perlu didefinisikan disini
secara lebih tepat. Dalam hal ini, evaluasi tentang kondisi tegakan dapat
dilakukan melalui pengamatan biasa atau penelitian ilmiah. Obyek
pengamatan juga harus didefinisikan. Pengamatan ini tentu saja tidak dapat
dibatasi hanya pada aspek kayu. Dilain pihak, apabila terlalu banyak faktor
ekosistem yang diamati, maka aplikasi praktisnya akan menjadi semakin
sulit.

12

Istilah Hutan Sekunder


Didalam studi ini, hutan sekunder dibedakan dari hutan primer, hutan yang
ditanami (termasuk hutan/kebun tanaman3) dan tegakan-tegakan pohon
didalam suatu sistem pengelolaan lahan pertanian bercirikan wanatani.
Walaupun definisi hutan sekunder yang digunakan disini sudah sangat
dipersempit, namun didalamnya masih terdapat banyak sekali formasi hutan
yang berbeda-beda. Karena itu, untuk menciptakan komunikasi yang lebih
baik, hutan-hutan sekunder spesifik perlu digambarkan secara lebih tepat
(LINDEN & SIPS 1988). Dalam hal ini masih perlu ditelaah kemungkinan dan
kegunaan pengkombinasian hutan-hutan yang mempunyai karakter-karakter
yang serupa dalam pendefinisian tipe-tipe hutan sekunder. Hal ini dapat
dilakukan berdasarkan ciri-ciri alami hutan, tetapi juga dengan memasukkan
kondisi-kondisi sosial-ekonomi kedalam pengkategorian yang dilakukan.
Apabila dalam hal ini penggunaan ciri-ciri alami lebih diutamakan (agar
gambaran yang didapatkan lebih jelas), maka tipe-tipe (hutan) tersebut
mutlak harus dipadankan dengan berbagai kerangka batasan/kondisi yang
berbeda.

Hutan tanaman dapat berbentuk: kebun tanaman hutan untuk tujuan produksi kayu, kebun
tanaman untuk tujuan produksi NTFP, kebun pohon pertanian (contohnya pohon buahbuahan) atau kebun dengan tanaman palawija dan pohon-pohon yang menaunginya pada
strata sebelah atas (kebun-kebun kopi atau coklat).

13

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan


Sekunder

3.1

Penyebaran hutan-hutan sekunder saat ini

Akibat adanya berbagai macam definisi hutan sekunder yang berbeda, maka
sangat sulit untuk menentukan dan menghitung luas hutan-hutan sekunder di
seluruh dunia (lihat Bab sebelumnya). Terutama sulit disini adalah untuk
membandingkan studi-studi yang berbeda, karena mereka menggunakan
data-data awal yang berbeda.
Banyak studi mengenai sumberdaya kehutanan menggunakan data dasar
yang berasal dari publikasi-publikasi FAO. Salah-satu interpretasi dari data
FAO (1996, lihat Bab 2.1), dimana semua kategori areal bervegetasi yang
dianggap sama dengan hutan sekunder (hutan terbuka, hutan bera tua,
hutan fragmen) dijumlahkan, memberikan luas total areal sebesar 532 juta
Ha,4 yang berarti sekitar 32% dari luas keseluruhan areal berhutan yang
diperkirakan sebesar 1.812 juta Ha. Areal terbesar dari hutan sekunder ini
dijumpai di Afrika (313 juta Ha), kemudian Amerika Latin (130,4 juta Ha)
dan Asia (88,3 juta Ha) (lihat Gambar 1). Yang masih menjadi pertanyaan
disini, adalah seberapa jauh kategori-kategori bentuk penutupan lahan seperti

Angka ini hanya merupakan taksiran kasar. Penulis-penulis lainnya memperkirakan luas
areal hutan sekunder di seluruh dunia antara 600 (BROWN & LUGO 1990) sampai 900 juta
Ha (WADSWORTH 1982), atau tidak memberikan angka yang rinci dan hanya menyatakan
bahwa sebagian besar dari negara-negara tropik mempunyai hutan sekunder yang lebih luas
daripada hutan primer (CORLETT 1995).

15

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


hutan terbuka, hutan bera tua, dan hutan fragmen sesuai dengan definisi
hutan sekunder didalam studi ini.

Penyebaran Hutan Sekunder di Daerah Tropik


(1990, dalam juta Ha)
Asia (88,3)
Amerika
Latin
(130,4)

Afrika (313,2)

Sumber: Berdasarkan interpretasi dan kompilasi data FAO (1996)


Gambar 1: Penyebaran Hutan Sekunder di Daerah Tropik (1990, dalam juta Ha)

3.2

Hutan-hutan sekunder dalam konteks deforestasi dan


reboisasi

Yang lebih penting daripada angka-angka yang tepat mengenai penyebaran


dan keluasan hutan-hutan sekunder adalah penilaian dan pemahaman
mengenai perkembangan hutan-hutan sekunder dalam konteks deforestasi
(penggundulan hutan) dan reboisasi (penghutanan kembali). Saat ini, setiap
tahun sekitar 15 juta Ha hutan dihancurkan di daerah-daerah tropik, yang
dengan demikian sama dengan tingkat penggundulan hutan sebesar 0,8% per

16

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder


tahun (FAO 1993b). 5 Sebaliknya, kawasan hutan yang terletak diluar daerahdaerah tropik mempunyai keluasan yang lebih-kurang konstan (FAO 1995).
Apabila perusakan hutan dibeda-bedakan berdasarkan kategori penutupan
lahan yang digunakan oleh FAO, maka akan tampak bahwa hutan tertutup
(closed forest), yang sebagian besar merupakan hutan primer, berkurang
luasnya sebesar 6,4% antara tahun 1980 sampai 1990, sedangkan areal-areal
hutan lainnya hanya berkurang sebanyak 0,8%. Dalam hal ini, keluasan
kawasan hutan terbuka (open forest) berkurang secara menyolok, sedangkan
kategori-kategori hutan bera tua (long fallow) dan hutan fragmen
(fragmented forest) semakin bertambah luas (FAO 1996) (lihat Gambar 2).
Dibandingkan hutan primer, pengurangan kawasan hutan sekunder jauh lebih
sedikit. Hal ini tidak disebabkan karena tingkat perusakan hutan sekunder
yang lebih rendah, namun lebih disebabkan karena tingkat regenerasi yang
lebih tinggi, sehingga secara keseluruhan areal hutan sekunder yang hilang
lebih sedikit (dibandingkan dengan hutan primer). Luas total dari hutan-hutan
sekunder yang dirusak setiap tahunnya (kehilangan kotor, yaitu tanpa
memperhitungkan hutan-hutan sekunder yang baru terbentuk) bervariasi
antara 13,5 dan 18,6 juta Ha (DEUTSCHER BUNDESTAG 1990).

Penambahan luas hutan hanya dapat dijumpai di dua negara, yaitu Puerto Rika dan
Grenada (FAO 1993). Keduanya adalah negara-negara dimana terdapat hanya sedikit
hutan-hutan primer yang tersisa (di daerah-daerah yang jauh dan sukar dicapai) dan dimana
terjadi perubahan struktur/kondisi ekonomi yang mengakibatkan bahwa padang-padang
penggembalaan, perkebunan, dan areal-areal pertanian ditinggalkan dan yang kemudian
secara alami ditumbuhi hutan kembali.

17

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Perubahan areal berbagai macam formasi hutan


(1980-1990)
20

Penambahan
areal (Juta Ha)

4.3

1.6

5.15

-10.5

-20

-40

Perkebunan

Hutan Fragmen

Pengurangan
areal (Juta Ha)

-60

|
|

-80
-100
-120

-87.9

Hutan Bera Tua

Hutan Terbuka

Hutan Tertutup

Hutan Tertutup-140

Hutan Terbuka

Hutan Fragmen

Perkebunan

Hutan Bera Tua

Sumber: Berdasarkan Data-data FAO (1996:54)


Gambar 2: Perubahan Keluasan Areal dari Berbagai Formasi Hutan (1980-1990)

Seringkali hutan-hutan sekunder merupakan suatu bagian dari sistem


pemanfaatan lahan yang dinamis, yang dapat dikonversikan menjadi lahan
pertanian, kehutanan, atau lahan yang tidak produktif (terdegradasi) akibat
pengaruh-pengaruh manusia. Dalam jangka-waktu yang panjang, hutan-hutan
sekunder juga dapat beregenerasi kembali menjadi hutan primer. Disini,
transisi antara berbagai tipe hutan dan bentuk pemanfaatan lahan bersifat
gradual. Pada Gambar 3 hubungan keterkaitan ini digambarkan secara
skematis:

18

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder

Hutan Sekunder sebagai bagian dari sistem pemanfaatan lahan yang dinamis

Hutan Primer

Hutan Sekunder

Lahan Pertanian dan Kehutanan Lahan Terdegradasi

Sumber: ECO
Gambar 3: Hutan Sekunder Sebagai Bagian dari Sistem Pemanfaatan Lahan yang
Dinamis

Sebagian besar dari hutan-hutan sekunder berada dalam suatu siklus


pemanfaatan tertutup, dimana pemanfaatan dan regenerasi terjadi silihberganti. Akibat dan keberlangsungan/kesinambungan dari pemanfaatan ini
terhadap hutan sekunder sangat tergantung pada intensitas pemanfaatan yang
dilakukan.
Pemanfaatan pertanian seringkali berkaitan dengan penebangan habis
hutan sekunder (atau primer). Regenerasi hanya dapat terjadi setelah bentuk
pemanfaatan ini selesai, dan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder
yang baru. Sebagian kecil dari hutan-hutan sekunder kelihatannya
berkembang menjadi semacam hutan primer kembali, atau dikonversikan
menjadi lahan pertanian secara permanen (contohnya padang
19

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


penggembalaan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah). Degradasi
permanen dari lahan-lahan pertanian (contohnya padang alang-alang
Imperata cylindrica di Indonesia) dalam skala global juga tampaknya lebih
sedikit terjadi daripada rekolonisasi pohon-pohon (penghutanan kembali).
Intensifikasi pertanian di seluruh dunia memang mengakibatkan semakin
pendeknya waktu bera dan oleh karena itu penambahan areal-areal
terdegradasi (tidak produktif), dimana regenerasi hutan hanya mungkin
(jarang) terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu.
Berlawanan dengan pemanfaatan pertanian (kecuali wanatani), pemanfaatan
kehutanan dari hutan-hutan sekunder terjadi didalam hutan. Bentuk ini juga
mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan terdegradasi, yang terjadi hanya
melalui intervensi yang intensif (contohnya tebang-habis) terutama pada
daerah-daerah berlereng yang disertai dengan curah hujan yang tinggi, serta
melalui pemanfaatan yang berlebihan secara kontinyu.

3.3

Pemanfaatan hutan-hutan sekunder saat ini

Saat ini, kebanyakan dari pemanfaatan hutan oleh manusia terjadi di hutanhutan sekunder. Hutan-hutan ini seringkali berada didekat pemukiman
manusia dan dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai-macam kebutuhan dari
penduduk setempat. Dalam prakteknya, pemanfaatan hutan sekunder ini
kebanyakan berupa berbagai macam pemanfaatan kehutanan dan pertanian
(yang sedikit banyaknya terorganisir). Hasil hutan utama yang dimanfaatkan
adalah kayu-bakar, kayu konstruksi dan hasil hutan non-kayu (NTFP).
Pemanfaatan hutan-hutan sekunder untuk tujuan pertanian juga dilakukan
dalam bentuk perladangan, penggembalaan, dan budidaya tanaman musiman
dan tahunan didalam hutan. Pemanfaatan pertanian dan kehutanan ini pada
pokoknya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya pada
20

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder


beberapa kasus tertentu dilakukan pemasaran hasil hutan secara lokal dan
regional (contohnya kayu arang).

Pemanfaatan hutan-hutan sekunder terpenting saat ini adalah:


1. pemanfaatan kayu sebagai bahan-bakar (kayu-bakar, arang)
2. pemanfaatan lahan hutan sekunder sebagai lahan cadangan dalam
sistem perladangan berpindah.
3. pengambilan hasil-hasil hutan non-kayu (NTFP).

Dilain pihak, pengusahaan kayu komersil dari hutan sekunder saat ini hampir
tidak ada artinya (sangat sedikit).
Kayu-bakar adalah bentuk bahan-bakar yang paling penting di negaranegara berkembang. Di beberapa negara, lebih dari 90% konsumsi enerji
dipasok dari kayu-bakar. Sebagian besar dari kayu-bakar didapatkan
(dikumpulkan) dari hutan-hutan sekunder, dan digunakan penduduk untuk
keperluan sendiri. Dalam hal ini, biasanya yang digunakan hanya kayu-kayu
mati, dan apabila kayu-kayu semacam ini tidak/jarang tersedia, baru kayukayu segar diambil. Terutama di daerah-daerah arid, pengumpulan kayubakar dapat menyebabkan terjadinya perusakan hutan atau pemanfaatan
hutan sekunder secara berlebihan (over-exploitation). Adapun di daerahdaerah humid, pasokan kayu-bakar pada umumnya lebih terjamin.

21

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Disamping itu, hutan-hutan sekunder seringkali merupakan bagian integral
dari sistem-sistem pertanian skala kecil, dimana fungsi utamanya adalah
sebagai hutan bera 6 yang berguna untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Perladangan berpindah adalah sebuah bentuk pertanian yang dilakukan oleh
200 500 juta petani pada seperlima dari keluasan kawasan hutan tropik
diseluruh dunia (AMELUNG & DIEHL 1991).
Perkembangan hutan bera mengikuti suksesi alami, yang sama-sekali tidak
dipengaruhi atau hanya dipengaruhi oleh metode-metode pengelolaan yang
sederhana, 7 contohnya oleh:
budidaya dan pemeliharaan secara selektif dari beberapa jenis pohon
yang berharga secara ekonomis dan/atau ekologis
integrasi dari tanaman-tanaman pengayaan; dan
kegiatan-kegiatan wanatani
Tergantung dari maksud dan intensitas pengelolaannya, maka hal-hal di atas
dapat menciptakan hutan bera secara ekstensif di daerah-daerah dengan
kepadatan penduduk yang rendah. Adapun di daerah-daerah dengan

Hutan bera adalah areal dimana hutan sekunder tumbuh selama masa bera dalam sistem
perladangan/pertanian berpindah

Salah-satu contoh dari sistem ini adalah budidaya dan pemanfaatan jenis pohon cepattumbuh (Leguminoceae) Schizolobium amazonicum di Rondonia (Brasil). Pohon ini
ditanam dan dipelihara selama masa bera dalam sistem perladangan berpindah, dan
kemudian berguna sebagai peneduh/pemberi naungan untuk coklat dan kopi yang ditanam
(informasi lisan dari M. RICHARDS, 13.02.1997).

22

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder


kepadatan penduduk yang tinggi, pengelolaan hutan-hutan sekunder secara
intensif dapat menyebabkan terbentuknya kebun-kebun hutan yang kaya
akan jenis pohon.
Fungsi kehutanan dari hutan-hutan sekunder lainnya yang penting adalah
pengumpulan hasil-hasil hutan kayu dan non-kayu (NTFP).
NTFP, seperti contohnya bahan makanan (dari tumbuhan dan binatang),
atau tanaman obat-obatan, saat ini sebagian besar berasal dari hutan
sekunder (PEREZ 1995). NTFP dikumpulkan dari tempat yang biasanya
mudah dicapai dan dekat pasar, sehingga mereka mudah dipasarkan.
FALCONER (1992) dan WALTER (1996) memberikan contoh Ghana dan
Madagaskar, dimana hutan bera dimanfaatkan secara intensif untuk
mendapatkan tanaman obat-obatan, bahan-bahan konstruksi dan getahgetahan. Hanya hasil-hasil yang tidak tersedia di hutan-hutan sekunder
(contohnya jenis-jenis bambu, binatang dan palem tertentu) diambil secara
khusus dari hutan-hutan primer yang jauh letaknya. Kebun-kebun hutan,
seperti contohnya kebun tembawang milik Suku Dayak di Kalimantan
(Indonesia), juga penting sebagai tempat untuk mengumpulkan hasil-hasil
hutan non-kayu (lihat juga MOMBERG 1992).
Dari hutan-hutan sekunder juga dimanfaatkan kayu berharga (artinya kayu
yang digunakan selain sebagai kayu-bakar) untuk kebutuhan lokal
(pembangunan rumah, tiang-tiang) dan juga untuk dijual (kayu gergajian,
kayu lapis, kayu industri). 8 Namun, sampai kini tersedia hanya sedikit

Jenis-jenis kayu dari hutan-hutan sekunder yang sudah dipasarkan contohnya adalah
Cordia alliodora, Swietenia spp. dan Ceiba pentandra. Jenis-jenis seperti
Callophyllum brasiliense, Cordia alliodora, Didymopanax morototoni, Inga spp. dan

23

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


pengalaman mengenai pengelolaan hutan-hutan sekunder secara lestari dan
dalam skala yang luas.
Untuk tujuan pertanian, hutan-hutan sekunder digunakan selain sebagai lahan
bera juga untuk penggembalaan (ternak) dan budidaya tanaman-tanaman
pertanian dalam konteks wanatani. Budidaya tanaman pertanian terbatas
(terutama apabila terdapat tajuk yang rapat) hanya pada tanaman tahunan
yang toleran terhadap naungan (terutama umbi-umbian seperti taro dan
yams) atau tanaman tahunan seperti coklat dan kopi. Sistem-sistem
budidaya yang rumit semacam ini, yang secara tradisional dapat dijumpai
pada kebun-kebun halaman rumah, dipropagandakan dan dioptimalkan
dalam sistem-sistem wanatani pada proyek-proyek kerjasama pembangunan
(DC). Di daerah-daerah arid, hutan-hutan sekunder mempunyai tajuk yang
lebih terbuka dan karena itu memudahkan dilakukannya budidaya tanamantanaman pertanian. Dalam hal ini, pasokan unsur hara melalui serasah serta
adanya naungan dapat meningkatkan produksi pertanian (V.MAYDELL 1986,
POSCHEN 1986).
Pemanfaatan hutan-hutan sekunder untuk tujuan peternakan
(penggembalaan) umumnya terjadi di hutan-hutan kering di daerah-daerah
tropik dan sub-tropik. Disana terdapat sistem-sistem silvopastoral, dimana
pohon-pohon yang ada dapat memperbesar potensi untuk penggembalaan
sebagai pemasok pakan ternak dan unsur hara (T ORRES 1983; V. MAYDELL
1987). Di daerah-daerah tropika basah, kegiatan peternakan terkonsentrasi di

berbagai macam palem menghasilkan selain kayu juga buah-buahan, minyak, dan bahan
obat-obatan (BROWDER ET AL. 1996; FINEGAN 1992; SIPS 1993; WEAVER dan BIRDSEY
1986).

24

Penyebaran dan Pemanfaatan Hutan-hutan Sekunder


daerah pegunungan, dimana penggembalaan di hutan memberikan sebuah
alternatif sumber pendapatan (T ORRES 1983; V. MAYDELL 1986).
Di dataran-dataran rendah yang humid, tanah-tanah yang tidak subur dan
penyakit-penyakit disana sangat merugikan usaha penggembalaan di hutan
(forest pasture). Khususnya di Afrika, demam Nagana yang ditularkan oleh
lalat tsetse sangat membatasi dilakukannya kegiatan
penggembalaan/peternakan di hutan-hutan sekunder. Walaupun demikian,
petani-petani kecil sering melakukan usaha peternakan dengan sistem-sistem
agrosilvopastoral. Dalam hal ini, ternak dibiarkan menggembala di hutanhutan sekunder, karena hutan-hutan tersebut dapat memberikan pakan ternak
dalam jumlah yang cukup dan ternak-ternak tersebut dapat dibiarkan sendiri
tanpa pengawasan.
Hutan-hutan sekunder juga mempunyai berbagai macam fungsi
perlindungan, walaupun hal ini seringkali belum dimasukkan kedalam
perencanaan tata-guna lahan yang resmi. Tergantung dari lokasi geografis,
ukuran dan karakternya, fungsi-fungsi ini dapat berupa habitat, tempat
berlindung atau koridor untuk binatang dan tumbuhan, serta pengurangan
erosi tanah dan perlindungan pasokan air. Hutan-hutan sekunder juga dapat
berfungsi sebagai penampung/penyerap CO2 dan sebagai kawasan
penyangga untuk areal-areal yang dilindungi. Mereka juga mempunyai peran
yang penting dalam sektor turisme dan rekreasi. Di Puerto Rika, contohnya,
hutan-hutan ini bersama-sama dengan sisa-sisa hutan primer mempunyai
fungsi rekreasi yang penting.

25

Pengaruh Manusia

Pengaruh Manusia terhadap Pembentukan,


Perkembangan, dan Keadaan Hutan Sekunder

Perkembangan dan keadaan hutan-hutan sekunder biasanya sangat


dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia. Hal ini mutlak tergantung
kepada kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan hukum, yang
merupakan fokus dari usaha-usaha kerjasama teknis (TC). Pada lampiran
studi ini diberikan beberapa aspek penting mengenai proses-proses biologi
yang berlangsung dalam pembentukan dan perkembangan hutan-hutan
sekunder (sumberdaya permudaan, faktor-faktor ekologis dari tapak) serta
pengaruh dari intervensi manusia. Gambaran umum mengenai faktor-faktor
utama yang terpenting diberikan pada Gambar 4 berikut ini.
Pertumbuhan Penduduk

Pertanian

Peternakan
Sumberdaya
Permudaan

Hak atas
Lahan
Hujan

Kayu
Bakar

Hutan
Sekunder

Temperatur

Infrastruktur

Tanah

Kayu

Api
Kapasitas
Pemanfaatan

Tekanan
Pemanfaatan

Sumber: ECO
Gambar 4:

Faktor-faktor Penentu dalam Pembentukan dan Perkembangan Hutan


Sekunder

27

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

4.1

Penyebab-penyebab dan kondisi-kondisi penentu dalam


pembentukan hutan-hutan sekunder

Pembentukan hutan-hutan sekunder terkait langsung dengan keseluruhan


sistem pemanfaatan lahan dan sumberdaya dalam suatu wilayah. Didalam
sistem ini, tingkat tekanan eksploitasi (yang ditentukan oleh faktor-faktor
ekologi, ekonomi dan sosial-budaya) memainkan peranan yang menentukan.
Hutan-hutan sekunder dapat terbentuk setelah adanya usaha-usaha
kehutanan dan pertanian. Dapat diasumsikan bahwa para pelaku
dibelakangnya bertindak secara rasional dari sudut pandang mereka.
Beberapa faktor dominan yang menentukan tindakan mereka (kondisikondisi penentu) dan menjadi sebab terbentuknya hutan-hutan sekunder
diberikan dibawah ini.
Hutan sekunder dapat terbentuk setelah adanya pemanfaatan/
pengambilan kayu diatas tingkat intervensi tertentu. Berdasarkan definisi
hutan sekunder yang digunakan dalam studi ini, pemanfaatan kayu disini
dilakukan dalam bentuk tebang-habis.9 Dari sudut pandang seorang
pengusaha hutan, pemanfaatan hutan secara berlebihan (over-exploitation)
dalam jangka-pendek wajar untuk dilakukan, apabila untuk lahan tersebut
tidak ada minat (usaha) jangka-panjang. Dengan anggapan semacam ini,
tegakan-tegakan yang kaya akan pohon-pohon niagawi dengan diameter
yang besar akan dimanfaatkan (ditebang) seluruhnya untuk mendapatkan

Sebaliknya, BROWN & LUGO (1990) memandang hutan sekunder sebagai hasil dari
pemanfaatan kayu secara selektif dan menyatakan, bahwa setengah dari hutan-hutan
sekunder di Asia terbentuk sebagai akibat dari penebangan hutan secara selektif (Amerika
Latin: 32%; Afrika: 21%).

28

Pengaruh Manusia
keuntungan yang maksimal. Dilain pihak, para pengusaha hutan juga
menganggap wajar untuk mengkompensasikan kualitas yang rendah dengan
kuantitas, yaitu dengan menebang habis kayu-kayu yang kurang komersil
dan berdiameter kecil untuk menutupi biaya pengusahaan hutan.
Faktor kunci yang menentukan minat untuk melakukan pengusahaan dalam
jangka-panjang adalah (lamanya) hak pengusahaan hutan yang diberikan.
Untuk para pengusaha hutan, hal ini akan semakin menarik apabila areal-areal
pengusahaan hutan lainnya semakin jarang tersedia.
Disamping sebagai penerima manfaat langsung, minat dan kepentingan dari
para pemilik hutan (negara, komunal, koperasi, perseorangan) untuk menjaga
dan melindungi hutan serta posisinya dalam menghadapi para pengusaha
hutan sangat penting untuk menentukan skala pemanfaatan kayu, dan dari
situ untuk pembentukan hutan-hutan sekunder. Minat untuk menjaga
kelestarian hutan akan semakin kecil apabila bentuk-bentuk pemanfaatan
lahan lainnya memberikan keuntungan yang lebih besar, dan apabila masalah
kepemilikan lahan/hutan tidak jelas. Pemahaman ekologi secara umum
mengenai fungsi dan nilai-nilai sosial-budaya hutan untuk masyarakat juga
akan menentukan keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemilik
hutan.
Hutan sekunder juga dapat terbentuk di areal-areal dimana usaha-usaha
pertanian ditinggalkan/dihentikan,10 yang dapat bersifat sementara

10

Menurut BROWN & LUGO (1990) (dan berdasarkan definisi mereka mengenai hutan-hutan
sekunder), hampir separuh dari seluruh hutan-hutan sekunder di Amerika Latin terbentuk
melalui kegiatan-kegiatan pertanian (di Afrika dan Asia masing-masing 27%).

29

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


(contohnya dalam sistem perladangan berpindah) atau permanen. Kondisikondisi yang dapat menyebabkan dihentikannya kegiatan pertanian adalah:

Berkurangnya hasil panen akibat menurunnya kesuburan tanah.


Hal ini harus dilihat dalam konteks sosial-ekonomi. Keadaan ini mungkin
terjadi, contohnya, karena para petani memiliki pengetahuan yang
terbatas atau terutama karena tidak tersedianya sumberdaya alternatif.
Dilain pihak, keadaan ini dapat merupakan bagian dari suatu sistem
tradisional yang sudah diadaptasi, dimana hutan bera merupakan suatu
komponen integral didalamnya.

Ketidakjelasan mengenai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan


Disini para petani membatasi investasi dan penggunaan tenaga-kerja
untuk sistem-sistem yang permanen (seperti wanatani). Hal ini
merupakan sikap yang wajar dari para petani yang tidak mempunyai hak
kepemilikan atas lahan, atau yang tidak mendapatkan jaminan atas hak
pemanfaatan dalam jangka-panjang.

Migrasi (perpindahan penduduk)


Perpindahan tenaga-tenaga produktif ke daerah-daerah perkotaan
mengakibatkan kurang tersedianya tenaga kerja untuk mengelola lahanlahan pertanian.

4.2

Faktor-faktor penentu dalam perkembangan hutanhutan sekunder

Setelah terjadinya perusakan vegetasi (tegakan) asli, vegetasi sekunder


tumbuh dan berkembang secara bertahap atau langsung (tanpa melalui
suksesi berbagai asosiasi tanaman yang berbeda) kearah vegetasi klimaks.
30

Pengaruh Manusia
Karakter dan dinamika dari proses ini merupakan hasil dari interaksi yang
rumit antara berbagai faktor alami dan manusiawi. Perubahan-perubahan
yang terjadi disini menentukan prakondisi-prakondisi untuk pengelolaan
hutan. Karena proses itu sendiri dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan
hutan sekunder oleh manusia, maka kerangka batasan untuk pemanfaatan
hutan selama perkembangan hutan sekunder harus dipaparkan dibawah ini.
Banyak areal hutan sekunder merupakan bagian dari sistem-sistem pertanian
skala kecil dan berada didekat lokasi-lokasi pemukiman. Pada umumnya,
semakin baik kondisi alaminya dan semakin besar persaingan antara berbagai
macam bentuk pemanfaatan lahan, maka semakin besar kemungkinan bahwa
hutan sekunder tersebut akan dikonversikan menjadi bentuk-bentuk
pemanfaatan lahan lainnya (contohnya pertanian). Kedua komponen tersebut
bersifat dinamis dan saling menunjang. Secara umum terdapat
kecenderungan, bahwa kondisi-kondisi alami akan semakin baik karena
tanah/tapak di lahan tersebut akan mengalami regenerasi dengan semakin
berkembangnya hutan sekunder. Sekali lagi, pada kondisi kepadatan
penduduk yang tinggi hal ini akan meningkatkan tekanan dari berbagai
macam bentuk pemanfaatan lahan yang bersaing.
Intensitas dan lamanya pengaruh manusia akan menentukan apakah suatu
hutan sekunder akan:
1. berkembang melalui semua stadium suksesi dan tetap menjadi hutan
dalam jangka-panjang;
2. tertahan perkembangannya pada suatu tahapan suksesi tertentu dalam
jangka-panjang atau tetap saja berada pada tahapan tersebut;
3. dikonversikan secara permanen untuk sistem pemanfaatan lahan lainnya.
31

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Butir 1. Hal ini akan terjadi apabila penyebab terbentuknya hutan sekunder
tersebut tidak ada lagi atau apabila:
sistem pemanfaatan hutan dapat bersaing secara ekonomi dengan bentukbentuk pemanfaatan lahan lainnya;
hutan mempunyai nilai dan arti yang lebih penting bagi masyarakat;
fungsi perlindungan dari hutan mempunyai arti lokal yang penting dan hal
ini diketahui dan dihargai oleh penduduk setempat;
hutan dilindungi secara hukum dan status perlindungan ini secara
mendasar diterima oleh masyarakat dan dikontrol oleh instansi-instansi
pemerintah yang terkait;
tersedia sebuah rencana tata-guna lahan yang diterima oleh semua pihak,
yang menetapkan areal-areal yang sesuai sebagai kawasan hutan dan
mencadangkan lahan-lahan yang cukup subur untuk tujuan pertanian.
Butir 2:
Apabila terdapat tekanan pemanfaatan yang tinggi, maka perkembangan
hutan sekunder akan terhambat pada tahapan-tahapan suksesi awal. Dengan
kata lain, pengkonversian hutan kembali untuk tujuan pertanian akan terjadi
sebelum hutan siap untuk digunakan kembali. Di Amerika Latin, konversi
dari hutan-hutan sekunder menjadi lahan-lahan pertanian sering terjadi setelah
6-8 tahun. Dibawah kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang ada, yaitu
kurangnya ketersediaan dari dan/atau akses ke bahan/alat produksi serta
ketidakjelasan masalah hak kepemilikan lahan, maka hutan bera, sebagai
tahapan awal dalam suksesi hutan sekunder, merupakan metode low input
32

Pengaruh Manusia
yang paling sensibel di bidang pertanian untuk mengembalikan kesuburan
tanah.
Butir 3:
Pada lahan-lahan yang subur, apabila ketersediaan lahan sangat terbatas dan
apabila pengelolaan hutan sekunder (seperti dijumpai dalam banyak kasus)
kurang menguntungkan dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemanfaatan
lahan lainnya, maka bagi penduduk setempat lebih menguntungkan untuk
mengkonversikan hutan-hutan sekunder menjadi lahan-lahan pertanian.

33

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

Potensi Kontribusi Hutan-hutan Sekunder dalam


Pembangunan yang Berkelanjutan (Analisa
Potensi)

Hutan-hutan sekunder dapat memenuhi berbagai macam fungsi yang


dimanfaatkan atau dapat dimanfaatkan oleh manusia. Agar potensi
pemanfaatan hutan sekunder dapat dinilai, maka sangat berguna untuk
meneliti masing-masing fungsi hutan sekunder berdasarkan potensi
pemanfaatannya. Dalam melakukan hal tersebut harus disadari dan
diperhatikan, bahwa biasanya beberapa fungsi ini digunakan secara simultan.
Pada dasarnya terdapat empat kelompok potensi pemanfaatan yang
berbeda:
potensi pemanfaatan kehutanan, yang mencakup produksi dan
pengolahan kayu (log), kayu-bakar dan hasil hutan non-kayu, serta
pembangunan industri disekitar hutan-hutan sekunder;
potensi pemanfaatan pertanian, yang dapat berbentuk wanatani dalam
hutan-hutan bera, penanaman tanaman-tanaman pertanian dan peternakan
(penggembalaan), seperti juga
potensi perlindungan, seperti perlindungan air, tanah, iklim, dan emisi,
serta konservasi biodiversitas dan fiksasi CO2.
Analisa dari masing-masing fungsi dan kriteria evaluasi yang digunakan
untuk itu akan diuraikan dalam Bab 5.2 sampai Bab 5.5. Beberapa kriteria

35

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


penilaian11 yang relevan dalam kebijakan pembangunan dan berlaku untuk
semua fungsi akan dipaparkan pada Bab 5.1.
Untuk menilai sumbangan pembangunan yang dapat diberikan oleh berbagai
macam potensi pemanfaatan dan perlindungan hutan sekunder, dan dari situ
agar kebutuhan-kebutuhan aksi dalam konteks kerjasama pembangunan
dapat ditentukan, maka secara umum perlu dilakukan analisa mengenai
manfaat dari masing-masing potensi untuk satu atau lebih kelompok
pemanfaat. Khususnya analisa mengenai konflik pemanfaatan yang sudah
atau akan terjadi merupakan komponen penting dalam analisa potensi
tersebut.
Dalam analisa tersebut, pemanfaatan potensi yang mungkin dilakukan secara
berkesinambungan harus dibandingkan dengan intensitas pemanfaatan yang
aktual, agar tingkat pemanfaatan dari potensi yang tersedia dapat ditentukan.
Hal ini sangat penting, karena kebutuhan-kebutuhan aksi dalam rangka DC
sangat bervariasi, tergantung dari apakah tingkat pemanfaatan melebihi atau
kurang dari produktivitas potensi.
Akhirnya, potensi pemanfaatan hutan sekunder harus dibandingkan dengan
sistem-sistem produksi hutan atau yang serupa. Kedalam sistem-sistem ini
termasuk hutan primer, hutan hasil tanaman (reboisasi), dan sistem-sistem
wanatani, yang dikembangkan pada lahan-lahan pertanian diluar kawasan
hutan.

11

Terminologi nilai (Wert), penilaian (Bewertung) dan realisasi dari nilai potensil
(Inwertsetzung) didefinisikan dan didiskusikan dalam THREN 1997.

36

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

5.1

Kriteria evaluasi untuk potensi pemanfaatan

5.1.1 Kelompok-kelompok pemanfaat


Untuk menganalisa relevansi hutan sekunder dalam kebijakan pembangunan,
setiap fungsi hutan sekunder harus dilihat dari peranannya untuk kelompokkelompok pemanfaat tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu. Dalam studi
ini, pihak-pihak yang potensil terlibat atau para penerima manfaat dari hutan
sekunder dibedakan kedalam tiga kelompok, yang tentu saja dapat dibagibagi lagi kedalam sub-sub kelompok yang lebih kecil dengan kepentingan
dan kemampuan yang berbeda dalam hal pemanfaatan hutan sekunder. Akan
tetapi, pembagian yang lebih mendetil semacam ini berada diluar lingkup
studi ini. Ketiga pengelompokan tersebut adalah:
penduduk daerah pedesaan setempat (para petani, mereka yang tidak
mempunyai lahan, para gembala, para pedagang lokal, dll.)
penduduk disuatu wilayah/regional dan negara (termasuk para konsumer,
politisi, kelompok-kelompok pencinta lingkungan, industri pengolahan
kayu)
komunitas internasional/global (termasuk para konsumer, pemerintahan,
ahli-ahli, industri-industri terkait)
Dalam konteks DC harus diputuskan kelompok-kelompok pemanfaat mana
yang mewakili masing-masing kelompok sasaran. Konflik kepentingan
seringkali terjadi didalam atau diantara berbagai kelompok pemanfaat. Hal ini
timbul akibat adanya berbagai kepentingan yang berbeda atas hasil-hasil
hutan yang sama atau atas hasil-hasil hutan yang saling bertentangan. Tabel 2
berikut ini memberikan gambaran kasar mengenai kepentingan-kepentingan
37

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


yang paling utama saat ini atas fungsi-fungsi hutan sekunder yang berbeda.
Sehubungan dengan hasil-hasil hutan juga harus dibedakan antara
pemanfaatan untuk tujuan komersil dan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
(subsisten).

Tabel 2:

Kepentingan-kepentingan yang Paling Utama dari Berbagai Kelompok Pemanfaat atas Fungsi-fungsi Hutan Sekunder yang Berbeda
User group

Fungsi-fungsi hutan sekunder

Penduduk
setempat

Penduduk di suatu
wilayah dan negara

Komunitas
internasional

Kayu
- komersil
- subsisten

+
-

+
-

Kayu-bakar
- komersil
- subsisten

+/+

+
-

NTFP
- komersil
- subsisten

+/+

+/-

+
-

Hutan bera (perladangan)

Penggembalaan (peternakan)

+/-

Pertanian (penanaman tanamantanaman pertanian)

Perlindungan air, tanah, iklim dan


terhadap (gas-gas) emisi

+/-

Perlindungan habitat binatang dan


tanaman, perlindungan/ perbaikan
biodiversitas

+/-

Fiksasi CO2

Substitusi bagi pemanfaatan hutan


primer

+ sangat penting; - kurang penting

38

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

5.1.2 Pemanfaatan potensi


Apabila potensi-potensi yang ada dimanfaatkan sepenuhnya untuk
mendukung pembangunan dalam jangka-panjang, maka tidak diperlukan
adanya aksi-aksi dalam kerjasama pembangunan (DC). Aksi-aksi tersebut
akan diperlukan apabila terjadi pemanfaatan hutan sekunder yang berlebihan
atau dibawah potensi yang ada.
Pemanfaatan yang berlebihan (over-exploitation) terjadi apabila
pemanfaatan yang dilakukan melebihi potensi yang ada sedemikian rupa
sehingga terjadi degradasi secara kontinyu. Hal ini sering terlihat apabila
hutan sekunder secara tidak sengaja 12 tidak berkembang lebih lanjut
kearah vegetasi klimaks.
Fungsi-fungsi hutan sekunder yang kurang dimanfaatkan (underexploitation) hanya dapat didefinisikan dalam hubungannya dengan
kebutuhan tertentu (disadari maupun tidak) atau kontribusi terhadap
pembangunan yang diharapkan melalui pemanfaatan yang meningkat.

12

Pada bentuk-bentuk pemanfaatan dengan tujuan-tujuan tertentu, terhentinya perkembangan


hutan sekunder pada tahapan suksesi tertentu memang disengaja, atau pengelolaan hanya
dilakukan terhadap jenis-jenis pohon tertentu tanpa mengakibatkan pemanfaatan hutan
yang berlebihan.

39

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Eksploitasi hutan-hutan sekunder secara berlebihan terjadi, contohnya,


di Gambia dan negara-negara Afrika Barat lainnya, yang disebabkan
oleh kegiatan penggembalaan di hutan dan pengumpulan kayu-bakar.
Desakan kebutuhan akan lahan pertanian mengakibatkan semakin
pendeknya masa bera, yang kemudian mengakibatkan terjadinya
degradasi secara kontinyu dan memuncak dengan hilangnya
kemungkinan-kemungkinan regenerasi. Di Indonesia, eksploitasi yang
berlebihan semacam ini sering mengakibatkan terjadinya kolonisasi
rumput gajah (Imperata cylindrica) yang mencegah terjadinya
regenerasi hutan secara alami.
Sebaliknya di Amerika Latin, kapasitas hutan-hutan sekunder yang
tersedia untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya cenderung
kurang dimanfaatkan (SIPS et al. 1993). Di seluruh dunia, ketika hutan
bera dikonversikan kembali menjadi lahan pertanian, kayu-kayu yang
ada kebanyakan tidak dimanfaatkan melainkan dibakar.

5.1.3 Sistem-sistem produksi alternatif


Kegunaan dari dukungan yang diberikan terhadap pemenuhan fungsi-fungsi
hutan sekunder tertentu tergantung dari potensi pemanfaatan sistem-sistem
produksi alternatif. Berikut ini
hutan primer
hutan yang ditanam (reboisasi)
sistem-sistem wanatani
akan dibandingkan sebagai sistem-sistem produksi alternatif terhadap hutan
sekunder. Alternatif-alternatif lainnya tidak akan didiskusikan disini. Untuk
40

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


melakukan perbandingan tersebut, kriteria-kriteria yang berbeda perlu
digunakan sesuai dengan fungsi-fungsi yang spesifik. Untuk produksi kayu,
contohnya, kualitas dan kuantitas dari jenis-jenis pohon niagawi sangat
menentukan. Adapun untuk fungsi perlindungan iklim, kriteria-kriteria lain
harus digunakan, seperti contohnya perbandingan dalam hal produksi primer
daun.

5.2

Potensi pemanfaatan kehutanan

Yang penting dalam menilai potensi pemanfaatan kehutanan, yaitu dalam


bentuk kayu, kayu-bakar dan hasil hutan ikutan, adalah sifat-sifat/ciri-ciri
hutan dan tanaman, kondisi-kondisi fisik dan hukum untuk pengusahaannya
dan biaya produksinya. Pada Tabel 3 kriteria-kriteria ini ditampilkan dan
dibandingkan antara untuk hutan-hutan sekunder dan untuk sistem-sistem
produksi alternatif lainnya.
Faktor penting yang menentukan potensi-potensi pemanfaatan tersebut
adalah sifat-sifat/ciri-ciri alami dari sumberdaya hutan dan pohon. Hal ini
diperjelas dengan kriteria-kriteria seperti keragaman suplai dan kerapatan
jenis-jenis pohon yang diinginkan. Secara umum dapat dilihat, bahwa pada
keragaman suplai yang tinggi (contohnya di hutan-hutan primer) terdapat
kerapatan yang rendah dari jenis-jenis yang diinginkan. Sebaliknya, semakin
tinggi suplai jenis-jenis pohon komersil (terutama di hutan
tanaman/perkebunan) maka semakin rendah keragaman jenis pohon yang
ada. Di hutan-hutan sekunder, keragaman jenis pohon cenderung untuk lebih
rendah daripada di hutan-hutan primer, akan tetapi lebih tinggi daripada di
areal-areal reboisasi dan di areal-areal wanatani.

41

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Kondisi-kondisi fisik dan hukum dalam pemanfaatan hasil hutan di hutanhutan sekunder biasanya lebih baik daripada di hutan-hutan primer, namun
lebih buruk daripada di areal-areal reboisasi dan wanatani. Khususnya dalam
hal akses fisik, hutan-hutan sekunder lebih mudah dikelola daripada hutanhutan primer karena letaknya yang biasanya dekat dengan pemukimanpemukiman. Selanjutnya, pemanfaatan hutan-hutan primer semakin lama
semakin dibatasi, sedangkan pada saat yang bersamaan kepemilikan dan hak
pemanfaatan hutan-hutan sekunder seringkali tidak jelas. Di areal-areal
reboisasi dan wanatani biasanya hak pemanfaatan cukup jelas, yang akan
tetapi dimiliki secara terbatas oleh sedikit kelompok-kelompok pemanfaat
tertentu atau oleh orang perseorangan.
Biaya produksi hanya mempunyai makna yang penting dalam hubungannya
dengan manfaat dan keuntungan yang dihasilkan. Biaya tersebut cenderung
lebih rendah untuk hutan-hutan primer dan sekunder dibandingkan dengan
sistem-sistem produksi lainnya. Hal ini disebabkan karena pada kedua
bentuk yang pertama hanya sedikit atau tidak ada tindakan-tindakan
perawatan atau pembangunan tegakan yang diperlukan. Biaya-biaya
pemanenan dan pengangkutan di hutan-hutan sekunder lebih rendah
daripada di hutan-hutan primer karena tersedianya infrastruktur yang lebih
baik. Sebaliknya, reboisasi memerlukan investasi yang tinggi (contohnya saja
dalam pengadaan tanaman), yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk
setempat/lokal.
Terutama karena biaya produksi yang rendah dan akses fisik yang baik,
hutan-hutan sekunder seringkali dimanfaatkan oleh penduduk setempat.
Sebaliknya, hutan-hutan tanaman komersil biasanya dikelola oleh kelompokkelompok pemanfaat transregional yang mempunyai akses terhadap kapital.
Selanjutnya, bentuk pemanfaatan hutan-hutan sekunder sangat bervariasi,
42

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


dimana fungsi-fungsi pertanian dan kehutanannya dimanfaatkan oleh semua
kelompok yang terlibat. Dilain pihak, wanatani adalah sebuah sistem
produksi pertanian dan karena itu dipraktekkan oleh penduduk setempat.
Kriteria-kriteria yang digunakan pada Tabel 3, yakni sifat-sifat/ciri-ciri
sumberdaya, kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan, serta biaya-biaya
pemanenan dan pengangkutan digunakan dalam penilaian potensi-potensi
pemanfaatan kehutanan pada sub-bab sub-bab berikut ini.

5.2.1 Kayu (pertukangan)


Produksi kayu tetap memainkan peranan yang menentukan dalam sektor
kehutanan. Dilain pihak, tujuan-tujuan pengelolaan hutan lainnya juga
semakin penting sedangkan peningkatan produksi kayu sejak lama sudah
semakin sulit. Oleh karena itu, pengusahaan kayu tidak boleh membatasi
pemanfaatan hasil-hasil hutan lainnya. Walaupun demikian, dalam
kebanyakan rencana pengelolaan hutan produksi kayu tetap menjadi fokus
utama. Hal ini disebabkan karena pengusahaan kayu memberikan hasil
(keuangan) yang paling tinggi, sedangkan bersamaan dengan itu fungsifungsi hutan lainnya tetap dapat dipertahankan (dengan melakukan
pengelolaan hutan yang sesuai).
Berdasarkan kemungkinan pemanfaatan kayu selanjutnya, dapat dibedakan
antara:
kayu untuk keperluan sendiri (pembangunan rumah, kayu untuk keperluan
pertanian seperti tiang dan pagar, mebel yang dibuat sendiri, dan
keperluan sehari-hari)
kayu untuk pasar lokal, regional dan nasional

43

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


kayu untuk ekspor
Tabel 3:

Karakterisasi Potensi Pemanfaatan Kehutanan dari Hutan-hutan


Sekunder Dibandingkan dengan Sistem-sistem Produksi Lainnya
Sistem-sistem produksi alternatif
Hutan Sekunder

Hutan Primer

Reboisasi

Wanatani

Sifat-sifat/Ciri-ciri Sumberdaya
Kualitas

bervariasi

bervariasi

terkontrol

bervariasi sampai
terkontrol

Keragaman suplai relatif rendah


produk-produk
sampai sedang
yang bermanfaat

sangat tinggi

sangat rendah,
seringkali
monokultur (hutan
tanaman)

bervariasi
tergantung
kepada bentuk
pemanfaatan

Kerapatan jenis
pohon

rendah

tinggi karena
sangat terkontrol
dan berorientasi
manfaat

bervariasi
tergantung
kepada bentuk
pemanfaatan

tinggi, karena
tegakan homogen

Kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan
akses fisik

biasanya dekat
pemukiman dan
dapat dijangkau

jauh dari
pemukiman

infrastruktur baik
dan dapat
dijangkau

dekat pemukiman
dan dapat
dijangkau

hak pemanfaatan

seringkali tidak
jelas atau dibatasi

dibatasi secara
hukum

jelas

jelas

Biaya-biaya produksi
Biaya-biaya
pemanenan dan
angkutan

relatif rendah
karena tegakan
homogen dan
keadaan
infrastruktur baik

biaya tinggi untuk biaya rendah


infrastruktur dan karena tegakan
transport
homogen dan
keadaan
infrastruktur baik

biaya rendah
karena tegakan
homogen dan
keadaan
infrastruktur baik

Perlakuan
silvikultur

tidak perlu tetapi


mungkin

tidak perlu
perawatan

perlu

perlu

Pembangunan
tegakan

tidak perlu

tidak perlu

perlu

perlu

biasanya
transregional

biasanya
penduduk
setempat

seringkali
lokal sampai
Kelompokpenduduk setempat internasional
kelompok
pemanfaat utama

44

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


Kemungkinan dan banyaknya produksi kayu komersil tergantung kepada
potensi biologis hutan (pertumbuhan riap, volume tegakan, ukuran dan
kualitas jenis-jenis kayu niagawi) dan sejumlah paremeter lainnya. Yang
sangat penting dalam hal ini adalah:
ukuran dan penyebaran kawasan hutan;
aksesibilitas sumberdaya tersebut, yang tergantung kepada infrastruktur
yang memadai, bentuk dan kondisi lapangan (yang menentukan kondisi
kerja) dan struktur kepemilikan hutan;
kapasitas tenaga-kerja dan investasi;
pasar kayu yang berfungsi dengan baik;
kerangka hukum dan fiskal yang menguntungkan bagi pemasaran kayu.
Di masa lampau, potensi kayu komersil yang terdapat didalam hutan-hutan
sekunder dipandang jauh lebih rendah daripada di hutan-hutan primer
dengan jenis-jenis pohon komersilnya yang sangat berharga dan berdimensi
besar. Hutan-hutan sekunder biasanya memiliki jenis-jenis pohon yang
kurang komersil. Namun, tampaknya hal ini disebabkan karena jenis-jenis
pohon tersebut belum begitu dikenal di pasar. Meskipun sifat-sifat kayu dari
jenis-jenis pohon yang spesifik untuk hutan sekunder sering dicirikan dengan
kerapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis-jenis pohon hutan
primer, namun berbagai jenis pohon hutan sekunder yang diproduksi

45

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


sebagai kayu hutan tanaman telah berhasil dipasarkan dengan baik (misalnya
Gmelina).13
Sehubungan dengan hal ini diperlukan lebih banyak penelitian dalam bidang
teknologi kayu serta sosialisasi dan promosi untuk meningkatkan
pengetahuan dan pengenalan mengenai jenis-jenis pohon hutan sekunder
secara internasional. Namun harus disadari bahwa banyak hutan-hutan
sekunder masih sangat muda (saat ini) dan karenanya tidak dapat memasok
jenis-jenis pohon berharga dalam dimensi yang diinginkan serta potensi
tegakan (standing stock) per Ha yang optimal.
Keuntungan dalam pemanfaatan hutan-hutan sekunder adalah kemudahan
dalam mempengaruhi tegakan muda melalui tindakan-tindakan silvikultur
(peningkatan nilai ekonomi tegakan), dan bahwa homogenitas yang tinggi
(jenis, kerapatan kayu, dimensi) dari kebanyakan hutan-hutan sekunder
mempermudah kegiatan-kegiatan pemanenan dan pemasaran nantinya.
Tambahan pula hutan-hutan sekunder seringkali lebih mudah dicapai,
terutama apabila dibandingkan dengan hutan-hutan primer yang masih
tersisa, yang kebanyakan berada di daerah-daerah yang terpencil dan sulit
dijangkau (lihat Tabel 4).
Biaya-biaya produksi untuk hutan-hutan sekunder bervariasi, tergantung dari
apakah kegiatan-kegiatan penjarangan dan penanaman pengayaan dilakukan,

13

Jenis-jenis pohon sekunder yang mempunyai potensi untuk dipasarkan secara komersil
diantaranya adalah Carapa guianensis, Cedrela odorata, Ceiba pentandra, Cordia
spp, Goupia glabra, Pourouma spp, Swietenia macrophylla, Virola spp dan Vochysia
spp. Jenis-jenis pohon hutan sekunder cenderung memiliki lilin dan getah lebih sedikit
daripada jenis-jenis pohon hutan primer. Hal ini mempermudah pengolahannya (tetapi
membutuhkan pengawetan).

46

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


atau apakah hanya terdiri dari kegiatan-kegiatan pemanenan dan
pengangkutan.

Tabel 4:

Perbandingan Potensi Produksi Kayu pada Sistem-sistem Produksi yang


Berbeda

Sistem Produksi
Ciri-ciri*

Hutan
Sekunder

Hutan Primer

Reboisasi**

Wanatani

potensi baik

++

++

+/-

kemungkinan
pemanfaatan baik

++

++

+/-

+/-

biaya produksi rendah


+ evaluasi positif

+/- evaluasi rata-rata

- evaluasi negatif untuk tujuan pemanfaatan yang spesifik


*

lihat Tabel 3 untuk rincian ciri-ciri ini

**

reboisasi untuk tujuan produksi kayu (tegakan homogen atau campuran)

Penduduk lokal menggunakan kayu terutama untuk keperluannya sendiri,


atau untuk dipasarkan dalam jumlah yang kecil. Untuk kelompok pemanfaat
ini, hutan-hutan sekunder yang terletak didekat pemukiman dan pohonpohon yang berdimensi kecil sampai sedang merupakan kondisi yang ideal
sesuai dengan kebutuhan mereka (lihat juga Tabel 5). Tujuan dari produksi
kayu secara teratur dan lestari yang memerlukan waktu produksi yang
sedang sampai panjang hanya dapat direalisir apabila hak kepemilikan atau
pemanfaatan jangka panjang dapat dijamin, dan apabila terdapat
kemungkinan pemasaran kayu atau apabila konservasi hutan dinilai dan
dibiayai sebagai suatu jasa.
Para pembeli kayu yang dipasarkan secara regional, nasional dan
internasional adalah para pedagang kayu serta perusahaan-perusahaan dan
industri-industri pengolahan kayu yang mempunyai ukuran dan tujuan yang
47

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


berbeda-beda. Apabila sifat-sifat dan lokasinya cocok, maka hutan-hutan
sekunder akan menarik bagi mereka sebagai sumber kayu, dan dapat
bersaing dengan hutan-hutan tanaman dan hutan-hutan primer (hutan-hutan
sekunder seringkali merupakan tegakan yang relatif homogen, berada pada
lokasi yang dapat dijangkau dengan infrastruktur yang tersedia, serta
mempunyai biaya produksi rendah). Sehubungan dengan hal ini, sertifikasi
pengelolaan hutan sekunder dapat sangat membantu usaha untuk
mendapatkan pasar-pasar yang baru. Yang penting juga adalah bahwa
proses-proses pengolahan lebih lanjut (industri-industri kecil, pabrik-pabrik
mebel) dilakukan secara lokal atau regional, sehingga nilai tambah yang
didapat-kan tetap berada pada wilayah/negara dimana produk tersebut
dihasilkan.
Dalam hubungannya dengan produktivitas, jaminan akan hak-hak
pemanfaatan, serta komposisi jenis pohon dan kualitas kayu yang dapat
direncanakan sebelumnya, hutan tanaman (reboisasi) juga seringkali
menguntungkan untuk tujuan produksi kayu. Karena itu, keputusan mengenai
sistem-sistem produksi mana yang akan diterapkan, apakah pengelolaan
hutan sekunder atau reboisasi, hanya dapat dibuat berdasarkan kondisi yang
ada, yaitu antara lain tergantung kepada kapasitas kelompok sasaran, studi
kelayakan ekonomi, dan tujuan-tujuan spesifik yang ingin dicapai (misalnya
multi-manfaat).
Saat ini, hutan-hutan primer masih menjadi target dalam pengusahaan kayu
secara komersil karena jenis-jenis pohonnya yang sangat berharga,
dimensinya yang besar, dan biaya-biaya produksinya yang rendah.
Walaupun demikian, potensi hutan-hutan primer untuk produksi kayu
semakin menurun akibat dilakukannya kegiatan pembalakan yang destruktif,
berkurangnya keluasan hutan-hutan primer, serta semakin banyaknya hutan48

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


hutan primer yang dilindungi. Demikian juga penebangan kayu untuk
keperluan sendiri semakin sulit dilakukan oleh penduduk lokal, karena jarak
hutan-hutan primer yang semakin jauh dan juga karena besarnya dimensi
pohon-pohon di hutan-hutan tersebut.

Tabel 5:

Perbandingan Potensi Produksi Kayu untuk Kelompok-kelompok


Pemanfaat yang Berbeda pada Sistem-sistem Produksi yang Berbeda

Kelompok pemanfaat
utama

Hutan
Sekunder

Hutan Primer

Reboisasi*

Wanatani

penduduk lokal

++

++

penduduk
regional/nasional

++

komunitas global

++

+ evaluasi positif
*

+/- evaluasi rata-rata

- evaluasi negatif

reboisasi untuk tujuan produksi kayu (tegakan homogen atau campuran)

49

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk produksi kayu
Sifat-sifat alami:

tersedianya potensi yang baik dari jenis-jenis pohon


yang berharga

tahap suksesi yang tinggi (jenis-jenis pionir yang


muncul belakangan)

tapak dan riap yang baik

Kondisi sosial:

tekanan pemanfaatan pertanian yang rendah

jauh dari pemukiman (potensi konflik pemanfaatan


yang rendah)

akses ke pasar

tersedianya harga pasar yang pasti atau


kemungkinannya untuk berkembang

hak-hak kepemilikan atau pemanfaatan jangkapanjang

tersedianya kemungkinan investasi dan kapasitas


tenaga-kerja yang cukup

adanya perencanaan dan kontrol terhadap


pengelolaan hutan berdasarkan rencana-rencana
pengelolaan hutan

50

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

5.2.2 Kayu-bakar
Kayu merupakan sumber enerji terpenting di banyak negara dan mempunyai
peran sentral dalam produksi subsisten di daerah pedesaan dan juga sebagai
barang yang dipasarkan di daerah-daerah urban. Kayu tersebut digunakan
langsung sebagai kayu-bakar atau diolah lebih lanjut menjadi kayu arang.
Pada umumnya, hutan-hutan sekunder dalam berbagai bentuk dan stadium
sangat cocok untuk menghasilkan kayu-bakar. Sebagai penghasil kayubakar, komposisi jenis hutan-hutan sekunder yang dibutuhkan lebih sedikit
dan lebih elastis dibandingkan dengan fungsinya sebagai penghasil kayu
(log). Dibandingkan dengan sistem-sistem produksi lainnya (hutan primer,
reboisasi, wanatani), hutan-hutan sekunder mempunyai potensi yang
berbeda untuk menghasilkan kayu-bakar (lihat Tabel 6). Hal ini disebabkan
antara lain oleh faktor-faktor lokasi sumberdaya (jarak ke pemukiman),
komposisi jenis pohon (beberapa jenis pohon lebih cocok digunakan untuk
menghasilkan enerji karena nilai enerji dan sifat pembakarannya yang lebih
baik dan/atau lebih disukai oleh penduduk), dimensi pohon (kemungkinan
dan biaya pemanenan) serta hak-hak pemanfaatan.
Perbedaan antara berbagai sistem produksi pada umumnya sangat kecil.
Dibandingkan dengan pulau-pulau hutan primer yang tersisa, contohnya,
hutan-hutan sekunder dapat memiliki potensi pasokan kayu-bakar yang lebih
tinggi untuk penduduk lokal, karena hutan-hutan ini biasanya lebih dekat
dengan pemukiman atau mudah dijangkau serta tidak terlalu dibatasi (secara
hukum) pemanfaatannya. Kontribusi dalam hal suplai kayu-bakar yang dapat
diberikan oleh areal-areal yang dihutankan kembali (reboisasi) tergantung
51

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


kepada kepemilikan dan tujuan pengelolaannya. Untuk memenuhi kebutuhan
sendiri (subsisten), mereka tidak begitu penting karena investasi yang
dibutuhkan untuk itu terlalu tinggi (lihat Tabel 7).

Tabel 6:

Perbandingan Potensi Produksi Kayu-Bakar dalam Sistem-sistem


Produksi yang Berbeda
Hutan
Sekunder

Hutan Primer

Reboisasi**

Wanatani

Sifat-sifat sumberdaya
baik*

Kemungkinan
pemanfaatan baik

++

Biaya-biaya produksi
rendah

+/-

+/-

+ evaluasi positif

+/- evaluasi rata-rata

- evaluasi negatif untuk tujuan pemanfaatan yang spesifik


*

lihat Tabel 3 untuk rincian karakter-karakter ini

**

Reboisasi = hutan-hutan tanaman yang murni untuk menghasilkan kayu-bakar


atau reboisasi untuk tujuan produksi kayu (biasa) dengan kayu-bakar sebagai
produk sampingan

Untuk kebutuhan lokal, biasanya produksi kayu-bakar tidak mengakibatkan


terjadinya pemanfaatan hutan yang berlebihan, karena kebanyakan hanya
kayu-kayu yang mati dan berukuran kecil (seperti cabang/ranting) yang
dikumpulkan. Dilain pihak, pemanfaatan kayu-bakar secara komersil dapat
menyebabkan terjadinya pemanfaatan hutan yang berlebihan (terutama di
daerah-daerah yang kering dan dimana pohon-pohon yang hidup ditebang)
dan bahkan sampai penggundulan areal yang luas. Kemudian,
pengolahannya menjadi arang (dimana jenis-jenis pionir akhir sangat disukai
karena kerapatan kayunya yang lebih tinggi) juga meningkatkan kebutuhan
52

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


akan kayu.
Dalam suatu sistem pengelolaan hutan yang tertata dengan baik dan dengan
perencanaan yang sesuai, kayu-bakar dapat diproduksi sebagai sampingan
dari produk-produk kayu lainnya.

Tabel 7:

Perbandingan Potensi Produksi Kayu-Bakar untuk KelompokKelompok Pemanfaat yang Berbeda pada Sistem-Sistem Produksi
yang Berbeda

Kelompok pemanfaat
utama

Hutan
Sekunder

Hutan Primer Reboisasi**

Wanatani

penduduk lokal

++

++

penduduk
regional/nasional

++

komunitas global

+ evaluasi positif

+/- evaluasi rata-rata

- evaluasi negatif;

/ tidak relevan

Pengumpulan kayu-bakar dan produksi arang merupakan sumber


pendapatan tambahan bagi banyak orang di daerah pedesaan. Kayu-bakar
pada umumnya hanya dijual di pasar-pasar lokal, karena biaya angkutan
untuk jarak yang jauh terlalu tinggi. Sebaliknya, arang kadang-kadang
diangkut sampai ratusan kilometer jauhnya.

53

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk produksi kayu-bakar
Sifat-sifat alami:

tersedianya pohon-pohon yang disukai/diinginkan


dengan kerapatan yang tinggi

tersedianya jenis-jenis pohon yang mempunyai


kemampuan coppice yang tinggi dan dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi

pohon-pohon berukuran kecil

banyaknya kayu-kayu mati

Kondisi sosial:

aksesibilitas yang baik dan lokasi yang dekat dengan


pemukiman

jaminan akan hak pemanfaatan bagi para pendatang

tersedianya peraturan-peraturan pengelolaan (yang


sederhana) atau kemungkinan untuk menerapkannya
(misalnya sistem rotasi berdasarkan area)

5.2.3 Hasil-hasil hutan non-kayu (NTFP)


Hasil hutan non-kayu/NTFP (menurut definisi FAO) mencakup semua
hasil/produk pohon dan produk habitat (tumbuh-tumbuhan dan binatang)
yang tumbuh secara liar didalam hutan dan sistem-sistem pemanfaatan yang
menyerupai hutan (wanatani, kebun, perkebunan, dsb.) dan tidak berbentuk
hasil kayu. Arti terpenting dari NTFP adalah pemanfaatannya oleh
masyarakat didaerah pedesaan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka
dan produk diversifikasi didalam semua aspek kehidupan (bahan makanan,
perangkat dan peralatan untuk keperluan sehari-hari, pakaian, bahan
54

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


bangunan, bahan obat-obatan) dan juga sebagai sumber pendapatan
tambahan. Termasuk didalam NTFP juga perburuan dan pengumpulan
produk-produk binatang, yang dapat sangat penting bagi penduduk. Karena
itu, NTFP memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam
mempertahankan bahkan memperbaiki kualitas hidup manusia. Selain itu,
untuk beberapa produk penting tertentu dapat dilakukan pemasaran lintas
wilayah (transregional), yang biasanya dihasilkan melalui budidaya
pertanian dan proses industri. Pemanfaatan NTFP memainkan peranan yang
sangat penting sebagai dasar/alasan untuk melestarikan ekosistem-ekosistem
hutan alam.
Pemanfaatan NTFP di hutan-hutan sekunder yang terjadi saat ini dapat
menunjukkan betapa tingginya potensi pemanfaatan NTFP dari hutan-hutan
tersebut. Komposisi dan sifat sumberdaya di hutan-hutan sekunder dapat
menguntungkan pemanfaatan beberapa NTFP, karena sifat hutan-hutan
sekunder yang relatif homogen memungkinkan pemanfaatan secara intensif
dari flora dan fauna yang dominan dengan jarak (pengumpulan) yang dekat.
Namun dibandingkan dengan hutan-hutan primer, keanekaragaman jenis di
hutan-hutan sekunder secara keseluruhan lebih terbatas. Dengan semakin
berkurangnya vegetasi hutan sekunder (akibat pemanfaatan yang dilakukan),
maka seringkali beberapa produk yang dimanfaatkan secara tradisional dan
pengetahuan mengenai hal itu juga menghilang.
Pertumbuhan dan penyebaran dari NTFP yang terdapat secara alami di
hutan-hutan sekunder tidak atau sedikit membutuhkan bantuan manusia. Hal
ini berarti bahwa selain untuk pengolahannya lebih lanjut, produksi

55

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


NTFP hanya membutuhkan biaya tenaga kerja untuk memanen dan
mengumpulkannya.
Sama halnya dengan hutan-hutan sekunder, sistem-sistem wanatani yang
kaya akan jenis (dimana pengumpulan NTFP yang tumbuh secara liar dapat
dilakukan) mempunyai potensi pemanfaatan NTFP yang sangat tinggi. Selain
itu, budidaya beberapa produk tertentu didalam sistem-sistem ini atau
perkebunan (reboisasi) juga dapat dilakukan, walapun hal ini tentu saja
membutuhkan investasi yang jauh lebih tinggi (lihat juga Tabel 8).

Tabel 8:

Perbandingan Potensi Pemanfaatan hasil-hasil hutan non-kayu (NTFP)


dalam Sistem-Sistem Produksi yang Berbeda

Sifat-sifat sumberdaya
baik*
Kemungkinan
pemanfaatan baik
Biaya-biaya produksi
rendah
+ evaluasi positif

Hutan
Sekunder

Hutan Primer

Reboisasi

Wanatani

+/-

+/-

++

++

++

++

+/-

**

+/- evalusai negatif

- evaluasi negatif untuk tujuan pemanfaatan yang spesifik


*

lihat Tabel 3 untuk rincian karakter-karakter ini

**

Reboisasi (perkebunan) untuk pembudidayaan NTFP tertentu secara terencana

Pemanfaatan NTFP dari hutan-hutan sekunder sangat penting bagi


penduduk di daerah pedesaan (lihat Tabel 9) dan khususnya, seperti yang
disebutkan di atas, memenuhi kebutuhan pokok dan produk diversifikasi.
Hal ini berbeda dengan hutan-hutan primer yang seringkali berada pada
lokasi-lokasi yang jauh/terpencil dan susah dijangkau, serta sebagian berada
56

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


dibawah perlindungan hukum. Dalam keadaan seperti ini, pemanfaatan
NTFP oleh penduduk setempat atau pihak lainnya (kalaupun ada)
difokuskan pada produk-produk tertentu yang sangat penting (contohnya
tanaman obat-obatan) atau bernilai uang yang tinggi (binatang liar).
Budidaya NTFP secara terencana dalam sistem-sistem wanatani untuk
kebutuhan subsisten dan penjualan secara komersil juga merupakan alternatif
lainnya bagi penduduk lokal, walaupun dalam hal ini dibutuhkan input yang
lebih besar. Bentuk alternatif seperti ini semakin penting dengan semakin
tingginya permintaan akan suatu produk dan dengan semakin kecilnya
keluasan areal hutan (sekunder).
Hal yang sama berlaku juga untuk perkebunan. Namun, kebutuhan kapital
dan organisasi disini jauh lebih tinggi, sehingga bentuk pengelolaan semacam
ini hanya dapat dilakukan terbatas hanya pada beberapa inisiatif perorangan
(swasta atau pemerintah) dan diarahkan kepada pemasaran produk-produk
yang dihasilkan (kebanyakan transregional atau internasional).

Tabel 9

Perbandingan Potensi Pemanfaatan NTFP untuk Kelompok-Kelompok


Pemanfaat yang Berbeda pada Sistem-Sistem Produksi yang Berbeda

Kelompok pemanfaat
utama

Hutan
Sekunder

Hutan Primer Reboisasi**

Wanatani

penduduk lokal

++

++

penduduk
regional/nasional

+/-

++

+/-

komunitas global

+/-

+ + potensi pemanfaatan sangat tinggi + potensi pemanfaatan tinggi


+/- potensi pemanfaatan rata-rata
- potensi pemanfaatan rendah

57

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Secara keseluruhan, hutan-hutan sekunder mempunyai potensi pemanfaatan
NTFP yang sangat tinggi, yang saat ini sudah dimanfaatkan sebagian besar
oleh penduduk lokal. Dalam prakteknya, NTFP lebih banyak dimanfaatkan
untuk digunakan sendiri daripada untuk dijual.

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk pemanfaatan NTFP
Sifat-sifat alami:

tersedianya jenis-jenis NTFP yang menarik

kerapatan yang memadai dari jenis-jenis ini (untuk


pemanfaatan sendiri secara lestari atau untuk
dipasarkan)

Kondisi sosial:

aksesibilitas yang baik (jarak pengumpulan)

tersedianya pengetahuan mengenai jenis-jenis dan


hasil-hasil NTFP

58

adanya permintaan (subsisten atau komersil)

adanya hak-hak pemanfaatan

tersedianya aturan pengelolaan (yang sederhana)

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

5.3

Potensi pemanfaatan pertanian (wanatani)

Pemanfaatan pertanian yang berhubungan dengan hutan-hutan sekunder dan


akan dipaparkan disini adalah sistem-sistem wanatani, dimana pemanfaatan
kehutananan dikombinasikan menurut waktu atau ruang dengan kegiatan
peternakan dan/atau pertanian (perladangan).
Kombinasi pertanian, peternakan dan kehutanan secara simultan dilakukan
agar faktor-faktor alam (naungan, kelembaban, perlindungan tanah) dapat
saling melengkapi, sehingga potensi manfaat yang ada meningkat secara
keseluruhan.
Disini lahan-lahan yang luasnya terbatas dimanfaatkan secara bergantian,
pertama-tama untuk kegiatan pertanian selama beberapa tahun dan setelah itu
ditinggalkan sebagai hutan bera yang dapat meregenerasi (memeperbaiki)
tanah. Lamanya masa bera menentukan produktivitas jangka-panjang dari
lahan-lahan tersebut, yaitu yang dalam kasus terbaik akan teregenerasi (pulih)
total dan dalam kasus yang terburuk akan terdegradasi menjadi padang
rumput yang tidak mempunyai atau rendah nilai pemanfaatannya.

5.3.1 Hutan bera sebagai pemanfaatan antara pertanian


Hutan bera seringkali merupakan bagian penting dari sistem-sistem wanatani
(dalam arti pemanfaatan hutan dan pertanian secara silih-berganti). Dalam
konteks perladangan berpindah, mereka memainkan peranan yang sangat
penting dalam mengembalikan kesuburan tanah setelah adanya
pemanfaatan/kegiatan pertanian. Apabila masa bera cukup lama, maka hutan
bera dapat menjamin adanya pasokan unsur hara tanah secara
berkesinambungan (contohnya dengan adanya rekolonisasi mycorrhiza),
59

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


dan karenanya dapat menjamin pemanfaatan lahan jangka-panjang, bahkan
pada tapak-tapak yang miskin. Khususnya para petani yang tidak
mempunyai akses terhadap pupuk, bergantung kepada kemampuan alami
hutan untuk melakukan regenerasi.
Akan tetapi, bertambahnya tekanan pemanfaatan hutan untuk pertanian
menyebabkan bahwa masa bera semakin pendek, dan oleh sebab itu hasil
panen semakin berkurang. Masa bera yang semakin pendek menghalangi
terbentuknya hutan sekunder yang berkembang dengan baik, yang sesuai
untuk berbagai macam penggunaan (misalnya kayu-bakar, kayu pertukangan,
peternakan). Pada kasus-kasus yang ekstrim, hal ini menyebabkan
terbentuknya areal-areal yang ditumbuhi oleh semak-belukar dan padangrumput.
Pengurangan masa bera tanpa menimbulkan efek-efek seperti yang
disebutkan di atas dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk-pupuk
buatan atau dengan menanamkan tanaman-tanaman yang dapat mengikat
unsur Nitrogen (perbaikan ekologis). Penggunaan pupuk-pupuk buatan
membutuhkan kapital, yang seringkali tidak tersedia. Sedangkan penggunaan
tanaman yang dapat memperbaiki tanah memerlukan adanya tanaman
tersebut dalam jumlah yang memadai. Selanjutnya, pengelolaan lahan bera
merupakan pekerjaan yang cukup intensif. Karena itu, kapasitas tenaga kerja
yang memadai juga harus tersedia. Selain itu, harus ada jaminan terhadap
hak-hak pemanfaatan sehingga pengelolaan lahan-lahan bera dalam jangkapanjang dapat dilakukan.
Di banyak daerah, dimana masa bera berlangsung cukup lama, potensi untuk
menghasilkan produk-produk yang bernilai ekonomis (misalnya
pengusahaan rotan di Kalimantan), yang dapat digunakan untuk keperluan
60

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


sendiri dan menambah pendapatan (NTFP, kayu-bakar, kayu), tidak
dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Pembinaan secara selektif dari jenisjenis yang diinginkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dari areal-areal
hutan sekunder secara nyata (bera yang diperbaiki secara ekonomi).
Pengelolaan lahan-lahan bera pada akhirnya dapat menyebabkan
terbentuknya sistem-sistem pemanfaatan lahan secara permanen, produktif
dan berkesinambungan, dimana tanaman pertanian tahunan dan tanaman
kayu perennial ditanam bersama-sama diatas lahan yang sama (misalnya
alley cropping, kebun-kebun) (RAINTREE 1983, RAINTREE 1986,
SPIELMANN 1989, VAN DEN BELT 1990, SHANKARNARAYAN 1989). Melalui
tindakan tersebut, pembalakan hutan-hutan sekunder dan hutan-hutan primer
dalam rangka perladangan berpindah dapat dikurangi, sehingga sistemsistem ini berpotensi untuk melindungi hutan-hutan primer dan sekunder.

61

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


sebagai hutan bera untuk pemanfaatan pertanian antara:
Sifat-sifat alami:

rekolonisasi yang cepat dan kemampuan regenerasi


yang tinggi

tersedianya tanaman-tanaman yang dapat


memperbaiki kondisi tanah (pengikat nitrogen,
serasah yang cepat terurai)

tersedianya jenis-jenis multi-guna

Kondisi sosial:

tekanan pemanfaatan rendah

tidak ada kerugian secara hukum bagi para petani


yang membiarkan hutan tumbuh diatas lahannya;
hak untuk mengkonversikannya kembali

hak-hak pemanfaatan jangka-panjang yang juga


berlaku selama masa bera

5.3.2 Budidaya tanaman pertanian di hutan-hutan sekunder


Multi-manfaat dari sebuah hutan sekunder dapat dicapai melalui penanaman
tanaman-tanaman tahunan, perennial dan pohon buah-buahan pada strata
bawah hutan tersebut. Dalam kasus-kasus ekstrim, kebun-kebun hutan dapat
terbentuk, dimana digunakan lebih dari 250 jenis tanaman (FERNANDES &
NAIR 1986; SOEMARWOTO 1987).

62

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


Terutama di daerah-daerah humid, semakin meningkatnya penutupan tajuk
dalam proses suksesi menyebabkan bahwa budidaya tanaman-tanaman
pertanian di hutan-hutan sekunder memerlukan tindakan-tindakan
pengelolaan yang rumit dan padat-karya, baik untuk tanaman pertanian
tahunan dan perennial maupun untuk tanaman kayu. Dalam hal ini, hak-hak
pemanfaatan jangka-panjang dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup
merupakan prasyarat mutlak. Karena tanaman-tanaman perennial (misalnya
coklat, kopi, rempah-rempah) biasanya merupakan tanaman yang hasilnya
dijual, maka budidaya mereka menuntut adanya akses ke pasar.
Apabila tenaga kerja tersedia dalam jumlah yang cukup, hak-hak
pemanfaatan terjamin, dan akses ke pasar tersedia, maka budidaya tanamantanaman pertanian di hutan-hutan sekunder merupakan suatu bentuk
pengelolaan hutan sekunder yang lestari dan menarik secara ekonomi. Dalam
hal ini produktivitas lahan dapat ditingkatkan, kegiatan pertanian dapat
diperluas, dan risiko ekonomi dari usaha pertanian dapat dikurangi melalui
diversifikasi.
Budidaya tanaman-tanaman pertanian di tegakan-tegakan hutan sekunder
pada dasarnya merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan yang ekstensif
yang dilakukan oleh penduduk lokal. Disini kelompok-kelompok pemanfaat
regional dapat ikut-serta sebagai pedagang antara atau konsumen akhir,
karena pemasaran merupakan sebuah komponen penting dalam sistem
produksi ini.

63

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk budidaya tanaman pertanian:
Sifat-sifat alami:

tapak yang produktif

sedikit jenis-jenis pohon pesaing yang kuat

jenis-jenis pohon yang tidak memproduksi racun


phytohormone, akar penghisap atau sistem
perakaran lateral yang ekstrim

struktur hutan yang sesuai: muda dan hutan yang


dapat diatur/dimanipulasi, tajuk yang tidak rapat

Kondisi sosial:

akses pasar untuk produk-produk yang dihasilkan

tenaga kerja yang cukup

hak-hak pemanfaatan jangka-panjang

lokasi yang dekat pemukiman

5.3.3 Peternakan (penggembalaan) di hutan (forest pasture)


Pada umumnya, peternakan rakyat memainkan peranan budaya dan ekonomi
yang sangat penting, khususnya di daerah-daerah kering (arid). Hal ini
berlaku terutama di zona kering agronomi (curah hujan dibawah 500 mm per
tahun), dimana peternakan luar-biasa pentingnya dalam konteks sistem
silvopastoral dan dimana sistem-sistem produksi alternatif lainnya tidak
tersedia. Daun-daun dan biji-biji pohon, seperti juga rumput dan vegetasi
semak, berfungsi sebagai pakan untuk kambing, biri-biri dan sapi, yang
64

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


dilain pihak dapat mempermudah penyebaran dan pengembangan jenis-jenis
pohon tertentu. Kadang-kadang pakan ternak tersebut dipotong secara
manual dan diberikan kepada ternak diluar kawasan hutan (cut and carry
system). Daun makanan ternak terutama penting pada masa-masa kering.
Pohon-pohon yang memberikan tempat bernaung dan karenanya dapat
mengurangi stress dan transpirasi ternak juga merupakan elemen penting
dalam forest pasture. Bertambah banyaknya jumlah ternak dan semakin
banyaknya penduduk yang menetap (yang dulunya bersifat nomaden)
menyebabkan semakin banyaknya kegaitan penggembalaan yang berlebihan
(overgrazing) dan degradasi sumberdaya (hutan) alam.
Di daerah-daerah humid, peternakan rakyat dan penggembalaan di hutan
kurang begitu penting. Namun, penggembalaan yang dilakukan di hutan bera
secara teratur dapat mempertahankan kesuburan tanah dalam jangka-panjang
dan melalui itu meningkatkan produksi pertanian. Potensi pertanian dari
hutan-hutan sekunder dimanfaatkan secara lebih baik dan produksi dalam
usaha-usaha pertanian lebih terjamin dengan adanya diversifikasi.
Di Asia dan Pasifik, tumbuhan bawah di banyak perkebunan kelapa, kelapa
sawit, dan karet digunakan untuk forest pasture. Tujuan utama disini adalah
untuk membasmi gulma melalui penggembalaan ternak. Pada saat yang
bersamaan, kotoran hewan dapat digunakan sebagai pupuk tambahan, yang
dapat meningkatkan hasil tanaman perkebunan. Terutama di perkebunanperkebunan kelapa dan kelapa sawit dijumpai kondisi yang baik untuk
penggembalaan karena adanya penutupan tajuk (naungan) yang tidak rapat
(GLATZLE 1990; TAJUDDIN 1986).

65

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Sebuah faktor penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
penggembalaan di hutan adalah pengaruh dari api. Dalam penggembalaan
ternak di hutan biasanya dilakukan pembakaran tumbuh-tumbuhan setiap
tahun, yang dapat mendorong tumbuhnya rumput-rumputan yang cocok
sebagai makanan ternak. Khususnya di daerah-daerah arid, pembakaran
tumbuh-tumbuhan secara teratur dapat mengakibatkan terbentuknya hutan
api klimaks (fire climax forest). Kerusakan hutan dapat dikurangi dengan
dilakukannya penggembalaan secara teratur, karena tingginya api dan
internsitas kebakaran akan berkurang apabila bahan organik yang dapat
terbakar tersedia dalam jumlah yang lebih sedikit, sehingga kerusakan pohon
akibat api dapat diminimalkan.

66

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk forest pasture:
Sifat-sifat alami:

struktur hutan yang mendapatkan cahaya yang


cukup; stadium suksesi yang muda atau stadium tua
dengan pohon-pohon yang tinggi dan tumbuhan
bawah dalam jumlah yang cukup

tapak yang produktif

tersedianya jenis-jenis pohon yang sesuai untuk


pakan ternak dan mempunyai produksi biomas yang
tinggi pada lapisan/strata semak dan gulma

tersedianya jenis-jenis pohon coppice yang tahan


akan gigitan binatang atau yang membentuk akar
penghisap atau yang cepat membentuk kulit

tersedianya biji-bijian dan buah-buahan pohon (yang


cocok sebagai pakan ternak) dalam jumlah yang
cukup

Kondisi sosial:

hak-hak pemanfaatan yang jelas

tersedianya sistem peraturan yang sederhana (untuk


menghindari terjadinya penggembalan yang
berlebihan/overgrazing)

67

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

5.4

Potensi konservasi

5.4.1 Konservasi tanah, air, dan iklim


Hutan-hutan sekunder mempunyai potensi yang tinggi untuk dapat
memenuhi fungsi-fungsi perlindungan tanah, air, dan iklim (untuk analisa
yang lebih mendalam mengenai fungsi-fungsi ini, khususnya di daerah tropis,
lihat THREN 1997). Kecuali pada kasus-kasus dimana tanah sudah sangat
terdegradasi atau dimana sebuah gangguan (contohnya api) berulang-kali
terjadi atau dimana terdapat vegetasi pesaing yang kuat (seperti contohnya
jenis eksotis Chromolaena odorata di Afrika Barat) yang dapat
menghambat pertumbuhannya, hutan-hutan biasanya tumbuh dengan cepat,
dan yang kemudian dapat memberikan tutupan terhadap tanah lapisan atas
secara cepat (mengurangi hilangnya nitrogen) dan mengembangkan siklussiklus unsur hara. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya produksi daun
primer bersih pada 20 tahun pertama (12 - 15 t/ha) dan berdasarkan
kenyataan bahwa karena cepatnya proses dekomposisi yang terjadi, maka
bahan-bahan organik didalam siklus unsur terdapat lebih banyak daripada
didalam biomas yang mati atau hidup. Walaupun demikian, produksi kayu
primer di sebuah hutan sekunder muda (yang berkisar antara 2 - 11 t/ha/t)
masih lebih tinggi daripada di sebuah hutan primer.
Kemampuan regeneratif yang tinggi ini, yang memungkinkan terjadinya
rekolonisasi secara cepat areal-areal bekas hutan, terutama dimiliki oleh
hutan-hutan sekunder di daerah tropik dan iklim sedang. Adapun di daerahdaerah semi-arid kemampuan ini kurang begitu tinggi. Biomas daun dan
akar-akar halus tersedia dalam jumlah yang cukup setelah 5 - 10 tahun.
Khususnya jenis-jenis pionir awal mempunyai permukaan daun yang relatif
68

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


besar, yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan kondisi-kondisi
tapak secara lebih baik. Hal ini juga sangat penting dalam konteks
perlindungan iklim. Setelah areal-areal pertanian (perladangan) ditinggalkan,
jenis-jenis pionir ini segera mengkolonisasi areal-areal tersebut dan
mencegah/mengurangi terjadinya pencucian unsur hara sampai kepada
tingkatan yang terjadi di hutan-hutan primer. Disini, unsur-unsur hara yang
termineralisasi dimanfaatkan (dihisap) oleh tumbuh-tumbuhan. Kandungan
nitrogen tanah, fosfor and sulfur meningkat didalam lapisan organik.
Artinya, pada tahap pertumbuhan awalnya, hutan-hutan sekunder berfungsi
seperti sebuah penampung yang dapat segera mengakumulasikan unsurunsur hara. Setelah beberapa waktu, pengambilan unsur-unsur hara tersebut
berkurang dan kemudian sebuah keadaan keseimbangan tercapai, dimana
jumlah unsur-unsur hara yang dilepas melalui proses dekomposisi sama
besarnya dengan jumlah yang diambil kembali melalui akumulasi biomasa.
Hutan-hutan sekunder mencapai nilai ekologi sepenuhnya setelah 50 - 80
tahun, yaitu ketika produksi primer bersih mendekati nol (0), dalam arti kata
yaitu setelah terjadinya beberapa kali perputaran (turnover) bahan-bahan
organik dan komposisi tanaman.
Nilai ekologi dari tegakan reboisasi (hutan tanaman) sangat bervariasi,
tergantung dari kombinasi jenis pohon, bentuk pengelolaan, dan sasaran
ekonomi yang ingin dicapai. Walaupun demikian, secara umum dapat
diasumsikan bahwa hutan-hutan sekunder dapat memenuhi fungsi-fungsi
perlindungan tanah dan air secara lebih baik dibandingkan dengan tegakan
reboisasi, karena strukturnya yang sangat bervariasi dan karena proses
pembentukannya yang lebih alami dan sesuai dengan tapak. Lagi pula
tegakan reboisasi (khusus hutan tanaman) seringkali menyebabkan erosi
tanah, dan juga seringkali dipelihara dengan menggunakan pestisida dan/atau
69

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


pupuk (yang dapat berdampak negatif terhadap sungai dan aliran air, daerahdaerah pantai, serta air bawah tanah).
Penduduk lokal mendapatkan manfaat langsung dari fungsi-fungsi
perlindungan hutan-hutan sekunder, apabila areal-areal dan sumberdaya yang
mereka miliki terkena dampak hutan-hutan tersebut secara langsung. Apabila
dalam hal ini yang terkena dampak adalah areal-areal besar (misalnya sebuah
DAS/daerah aliran sungai), maka fungsi-fungsi ini merupakan kepentingan
regional dan nasional (kualitas air yang tinggi, pasokan air yang lebih teratur,
berkurangnya banjir). Fungsi-fungsi perlindungan air dan tanah dari hutanhutan sekunder adalah sangat penting di areal-areal perbukitan dengan lereng
yang terjal.
Perlindungan iklim dan emisi juga (dapat) sangat penting bagi penduduk
lokal dan regional. Hutan-hutan sekunder dapat memenuhi fungsi-fungsi ini
apabila mereka mencapai ketinggian dan keluasan tertentu. Perlindungan
iklim (oleh hutan-hutan sekunder) mempunyai peranan yang sangat besar
bagi pertanian dalam bentuk sebagai penahan angin dan penyeimbang suhu
dan kelembaban. Bahkan kawasan hutan yang terletak di wilayah yang jauh
atau bersebelahan dapat mempengaruhi iklim lokal (terutama curah hujan). Di
daerah-daerah perkotaan, perlindungan emisi dapat mempunyai arti yang
sangat penting. Hutan-hutan sekunder dapat memenuhi fungsi ini sebagai
penyangga (buffer) terhadap suara (kendaraan, industri, dsb.) dan
pemandangan (lalu-lintas, dsb.), serta sebagai filter emisi dan debu.

70

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


Hutan-hutan primer biasanya tidak dapat dijumpai lagi didekat pemukiman
(lahan pertanian dan penggembalaan, pusat-pusat pemukiman), dan
karenanya tidak dapat memberikan fungsi-fungsi perlindungan lagi.
Dibandingkan dengan itu, hutan-hutan sekunder dapat menjadi sebuah
alternatif. Dibandingkan dengan hutan-hutan tanaman (perkebunan), hutanhutan sekunder lebih murah. Dan karena hutan-hutan sekunder mempunyai
tajuk yang berlapis-lapis dan struktur yang sangat bervariasi, maka mereka
dapat memenuhi fungsi-fungsi perlindungan dengan lebih baik.

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk perlindungan air, tanah, iklim dan emisi:
Sifat-sifat alami:

tanah yang mudah dipenetrasi/ditumbuhi akar

rekolonisasi yang cepat dan rapat

struktur yang sangat bervariasi

terutama di daerah lereng (untuk perlindungan air


dan tanah)

Kondisi sosial:

tekanan pemanfaatan lahan yang rendah

status hukum hutan yang jelas dan diterapkan secara


konsekwen

pengintegrasian kedalam klasifikasi fungsi hutan


yang tersedia

71

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

5.4.2 Konservasi habitat flora dan fauna, serta konservasi dan


perbaikan keanekaragaman jenis (biodiversitas)
Biodiversitas (keanekaragaman jenis) adalah keanekaragaman hidup atau
mahluk hidup didalam suatu ekosistem tertentu. Sumber-sumber genetik
(plasma nutfah) pada umumnya adalah populasi-populasi tumbuhan atau
binatang yang autochthon untuk suatu tempat/tapak tertentu, yang dicirikan
oleh adanya sebuah sumber genetik (genpool) bersama, suatu jumlah
individu minimum (preservasi keanekaragaman genetik melalui rekombinasi
berbagai gen) tertentu dan sebuah ukuran habitat minimum.
Dibandingkan dengan hutan-hutan primer, hutan-hutan sekunder mempunyai
keragaman dan kerapatan jenis-jenis tanaman yang sangat berbeda.
Walaupun demikian, hutan-hutan sekunder tetap merupakan habitat yang
penting bagi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan semakin berkurangnya
kawasan hutan primer, hutan-hutan sekunder memainkan peranan yang
semakin menentukan sebagai habitat dan tempat mengungsi bagi flora dan
fauna setempat.
Dalam hal keanekaragaman jenis dan stabilitas ekologi, hutan-hutan sekunder
pada umumnya lebih baik dibandingkan dengan hutan-hutan hasil
penanaman, terutama tegakan-tegakan tanaman dengan jenis pohon yang
sedikit dan kebun-kebun wanatani. Tergantung dari situasi awal dan
gangguan-gangguan yang terjadi selama proses suksesi dan
pertumbuhannya, keanekaragaman jenis di hutan-hutan sekunder kadangkadang dapat berkembang sampai mencapai keanekaragaman di hutan-hutan
primer dalam waktu kurang dari 80 tahun. Hal ini terutama terjadi apabila
jenis-jenis pohon klimaks dapat melakukan rekolonisasi melalui benih-benih
yang dorman atau melalui coppicing. Meskipun demikian, hutan-hutan
72

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


sekunder memiliki proporsi jenis-jenis pohon pionir yang relatif tinggi, hal
mana yang terjadi hanya secara sporadis di hutan-hutan primer. Struktur
hutan-hutan sekunder secara keseluruhan sangat berbeda dengan struktur
hutan-hutan primer dalam jangka-waktu yang panjang. Contohnya di sebuah
hutan sekunder tua di Meksiko yang berumur 1200 tahun (yang terbentuk
akibat kegiatan tebang-habis oleh Suku Maya), komposisi jenis yang
ditemukan sampai hari ini masih tetap tidak beraturan. Menurut GERECKE,
1991, secara ekonomi dan ekologi hutan-hutan sekunder yang terbentuk
melalui suksesi alami jauh lebih baik dibandingkan dengan hutan-hutan yang
ditanam. Disebuah hutan sekunder yang dikelola di Kosta Rika, ditemukan
30 jenis pohon komersil yang sangat berharga setelah terjadinya proses
suksesi hanya dalam kurun waktu 30 sampai 40 tahun.
Tergantung dari sejarah hutan sebelumnya dan cara/proses terbentuknya,
didalam hutan-hutan sekunder kadang-kadang hampir tidak ditemukan jenisjenis pohon klimaks. Hutan-hutan yang didominasi oleh jenis-jenis pionir
tersebut mempunyai keanekaragaman jenis dan struktur yang miskin, dan hal
ini mengurangi fungsinya untuk mengkonservasikan habitat dan
keanekaragaman jenis.
Selain berbagai macam perbedaan geo-botanik antara hutan-hutan primer
dan sekunder tersebut (misalnya jarangnya jenis-jenis epiphyte dibawah
naungan tajuk); hutan-hutan sekunder mempunyai keanekaragaman jenis
fauna yang rendah. Terutama jenis-jenis pemakan tanaman dan insekta
menghilang, karena niche ekologi mereka telah lenyap. Sebaliknya, jenisjenis binatang yang masih bertahan hidup di hutan-hutan sekunder
mempunyai jumlah populasi yang jauh lebih tinggi. Contohnya, penyebaran
pemakan buah-buahan yang luas disebabkan oleh ketersediaan buah-buahan

73

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


yang lebih besar hampir sepanjang tahun (hampir tanpa musim).
Dari segi ekologi, hutan-hutan sekunder hanya dapat menggantikan hutanhutan primer yang kompleks dalam batasan tertentu. Walaupun demikian,
mereka dapat memberikan sumbangan yang berarti (tergantung lokasi dan
karakteristiknya) dalam konteks konservasi sumberdaya genetis. Hal ini
terutama berlaku dibawah kondisi, dimana hutan-hutan sekunder
berkembang tanpa gangguan sampai mereka secara bertahap (sesuai dengan
proses suksesinya) mencapai keadaan seperti hutan-hutan primer, dan
sangat sulit untuk dibedakan lagi dengan hutan-hutan primer.

74

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk konservasi habitat flora dan fauna serta
pengawetan biodiversitas
Sifat-sifat alami:

areal yang cukup luas

berhubungan dengan hutan-hutan lainnya (misalnya


relik-relik hutan primer)

komposisi jenis yang menyerupai hutan primer (atau


tersedianya waktu yang cukup untuk berkembang
menjadi hutan semacam itu)

Kondisi sosial:

tekanan sistem-sistem pemanfaatan lahan lainnya


yang rendah

pembatasan dalam pemanfaatannya (misalnya status


kawasan yang dilindungi)

5.4.3 Penurunan kadar CO2 di atmosfer melalui pengelolaan dan


pemanfaatan hutan-hutan (sekunder) secara lestari
Sejak terjadinya revolusi industri di negara-negara industri, penggunaan
sumber-sumber enerji fosil telah meningkat secara drastis (dan terus
bertambah). Hal ini telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi CO2 di
atmosfer bumi dalam jangka-panjang, yaitu sebesar beberapa poin per seribu
(promile). Peningkatan konsentrasi tersebut mengakibatkan bahwa walaupun
gelombang pendek sinar matahari tetap menembus atmosfer bumi dan
menghangatkan permukaan bumi, namun gelombang panjang (dari bumi)
75

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


dipantulkan kembali (dari atmosfer) ke bumi. Menghangatnya lapisan-lapisan
atmosfer di dekat permukaan bumi akibat hal tersebut disebut sebagai efek
rumah-kaca (greenhouse effect). Walaupun diskusi mengenai kemungkinan
akibat dari fenomena ini masih terus berlangsung, namun terdapat perkiraan
dengan alasan-alasan yang kuat bahwa efek rumah-kaca akan mempunyai
dampak jangka-panjang terhadap iklim global.
Secara global, penampung/penyerap karbon yang dapat meredam
peningkatan konsentrasi CO2 seperti disebutkan di atas adalah laut dan
samudra (fiksasi CaCO3) serta hutan-hutan. Berikut ini akan didiskusikan
relevansi hutan-hutan (sekunder) dalam neraca karbon global. Dalam hal ini,
pertama-tama harus dibedakan dahulu pengertian akumulasi dan fiksasi.
Fase hutan klimaks yang dewasa, yang biasanya dapat dicapai di hutanhutan primer, dicirikan dengan persediaan tegakan (kayu) yang tinggi,
dimana sejumlah besar karbon diikat (terakumulasi). Pada saat yang
bersamaan jenis hutan dewasa semacam ini berada dalam keadaan
keseimbangan, dimana proses disimilasi dan asimilasi saling
menyeimbangkan/mengkompensasikan satu sama lainnya. Karena itu,
akumulasi bersih dari karbon tidak mungkin terjadi lagi. Hutan-hutan primer
yang dewasa merupakan tempat penyimpanan karbon, tetapi bukan
merupakan penyerap karbon.
Sebaliknya, pada hutan-hutan muda atau hutan-hutan yang dikelola untuk
tetap muda tingkat asimilasi jauh melebihi tingkat disimilasi: penambahan
persediaan tegakan (kayu) yang khas terjadi selama apa yang disebut dengan
fase produktif tegakan, berkaitan sangat erat dengan terjadinya pengikatan
(karbon) dalam jumlah yang besar, yang akan terus berlangsung sampai fase
dewasa (hutan).
76

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


Setiap hutan (apakah setelah terjadinya bencana seperti angin ribut,
kebakaran besar, dan serbuan serangga, atau setelah adanya kegiatan
pembalakan) berkembang dalam pertumbuhannya kearah fase dewasa yang
seimbang. Dalam hubungannya dengan neraca CO2 di hutan, pengelolaan
hutan secara lestari mempunyai efek bahwa pemanfaatan kayu yang
berulang-ulang kali dilakukan (ekstraksi biomas) membuat tegakan selalu
berada dalam fase produktifnya.
Dalam konteks ini, berbagai macam bentuk pemanfaatan mempunyai efek
yang berbeda:
Ekstraksi kayu untuk menghasilkan produk-produk kayu tahan-lama
(mebel. bagian-bagian bangunan): Fiksasi bersih dari karbon dioksida
didalam produk-produk ini, yang akan dilepaskan hanya apabila
produk-produk ini dibakar atau membusuk.
Ekstraksi kayu-bakar: Apabila dilakukan berdasarkan prinsip kelestarian
yang konservatif, maka pemanfaatan kayu-bakar bersifat netral dalam
hal neraca CO2. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sebuah contoh yang
sederhana: Sebuah areal hutan seluas sepuluh hektar dikelola untuk
produksi kayu-bakar dengan rotasi selama sepuluh tahun. Setiap tahun,
satu hektar hutan ditebang-habis, yang kemudian ditanami kembali.
Seluruh kayu yang dimanfaatkan kemudian akan dibakar, dengan akibat
bahwa seluruh CO2 yang disimpan/diikat didalam satu hektar hutan
selama sepuluh tahun sebelumnya akan dilepaskan. Jumlah karbon ini
sama dengan jumlah yang a) diikat selama satu tahun di seluruh areal
hutan tersebut, atau b) diikat di areal yang ditebang-habis selama sepuluh
tahun mendatang sampai pada pemanfaatan berikutnya.
Apabila seluruh barang dan enerji yang digunakan jumlahnya tetap sama,
77

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


maka terdapat kemungkinan terjadinya reduksi bersih dari konsentrasi
CO2 melalui substitusi: Apabila, contohnya, sejumlah mebel dibuat dari
kayu dan bukan dari baja, glas atau aluminium, atau dengan kata lain
apabila sejumlah enerji dihasilkan dari kayu dan bukannya dari enerji fosil,
maka sejumlah emisi CO2 tambahan dapat diikat (dalam hal produksi
enerji, efek substitusi semacam ini dapat juga dihasilkan melalui
pembangkit enerji tenaga angin dan air).

Dapat dirangkum bahwa:


perusakan hutan melepaskan sejumlah besar karbon yang terikat
(bahkan pada pemanfaatan sebagian dari kayu untuk produk-produk
kayu tahan lama),
konservasi hutan menjaga karbon yang tersimpan dalam bentuk yang
terikat,
hanya hutan-hutan yang dikelola secara lestari untuk tujuan produksi kayu
(atau secara lebih umum hutan-hutan muda sampai mencapai fase
dewasa) dapat memfiksasi/mengikat karbon tambahan,
penggunaan kayu dari hutan yang dikelola secara lestari sebagai bahan
konstruksi dan mebel (kayu sedapat mungkin menggantikan bahan-bahan
bangunan dan mebel lainnya) dapat mengikat karbon dalam jangka waktu
yang lama,
pemanfaatan kayu-bakar dari hutan yang dikelola secara lestari sebagai
sumber enerji (kayu sedapat mungkin menggantikan enerji fosil) paling
tidak bersifat netral dalam neraca CO2.
Karena itu, hutan-hutan sekunder yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
78

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


kelestarian pada dasarnya mempunyai efek yang positif terhadap iklim.
Literatur-literatur yang tersedia memberikan pendapat yang berbeda
mengenai intensitas pengikatan karbon oleh hutan-hutan sekunder
dibandingkan dengan hutan-hutan tanaman dan perkebunan. Karena itu,
tidak satupun dari tipe-tipe hutan ini yang lebih diutamakan dari yang lainnya.

79

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk fiksasi karbon dioksida
Sifat-sifat alami:

fase awal perkembangan (hutan)

tingkat pertumbuhan yang tinggi

tersedianya jenis-jenis pohon yang sesuai untuk


pengolahan kayu, khususnya jenis-jenis pohon yang
kayunya dapat dipasarkan sebagai produk-produk
tahan-lama

Kondisi sosial:

tekanan sistem-sistem pemanfaatan lahan lainnya


yang rendah

adanya larangan untuk melakukan konversi (hutan)

sistem-sistem pengelolaan hutan dengan tingkat


pertumbuhan riap yang maksimal, pemanfaatan kayu
secara intensif dan rotasi tebang yang relatif pendek

sistem insentif dan struktur pemasaran yang


menguntungkan, yang mendorong pemanfaatan
kayu untuk produk-produk tahan-lama dan
mengurangi pembakaran lahan (seperti contohnya
dalam sistem perladangan berpindah).

80

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

5.4.4 Pemanfaatan hutan-hutan sekunder sebagai substitusi dari


hutan-hutan primer
Pemanfaatan hutan-hutan sekunder sebagai hutan tetap atau dalam sistemsistem wanatani pada dasarnya mungkin dilakukan. Bentuk, kualitas, dan
kuantitas dari manfaat dan produk dari setiap hutan sekunder menyerupai
hutan-hutan primer pada tingkatan-tingkatan yang bervariasi.
Pemanfaatan utama dari hutan-hutan sekunder yang dapat berfungsi sebagai
substitusi dan karenanya mengurangi tekanan terhadap hutan-hutan primer
adalah produksi kayu komersil dan penggunaan lahannya untuk tujuan
pertanian dalam konteks perladangan/pertanian berpindah dan sistem-sistem
wanatani.
Biasanya hutan-hutan sekunder terletak didekat pemukiman dan lebih mudah
diakses untuk pemanfaatan kayu industri melalui infrastruktur yang tersedia.
Apabila pemanfaatan kayu secara komersil dari hutan-hutan primer dapat
digantikan melalui pengelolaan hutan-hutan sekunder yang sesuai, maka hal
ini dapat membantu usaha perlindungan hutan-hutan primer yang tersisa
secara lebih efektif. Hal serupa juga berlaku untuk kegiatan-kegiatan
pemukiman (khususnya konversi hutan untuk tujuan pertanian), yang
biasanya dipacu melalui pembukaan hutan untuk pembalakan secara
komersil. Namun, bukti mengenai efek perlindungan seperti ini pada
prakteknya masih belum tersedia.
Sampai saat ini, potensi hutan-hutan sekunder untuk produksi kayu industri
masih tetap belum dimanfaatkan. Potensi ini dapat dikembangkan di masa
yang akan datang melalui pengelolaan hutan, pembaharuan teknologi, dan
pengembangan strategi-strategi pemasaran. Seberapa jauh hutan-hutan
81

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


sekunder dapat memenuhi kebutuhan yang ada, saat ini masih belumlah jelas.
Keberhasilan tujuan substitusi ini (hutan primer oleh hutan sekunder) sangat
tergantung dari tekanan penduduk secara umum (kebutuhan akan lahan
pertanian), yang pada pihaknya hanya dapat diredam sebagian melalui
konsep-konsep pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang baik.
Sebaliknya, kebutuhan subsisten akan kayu, kayu-bakar dan NTFP biasanya
dapat dipenuhi melalui pemanfaatan hutan-hutan sekunder apabila hutanhutan tersebut tersedia dan letaknya menguntungkan serta dapat diakses
seperti halnya hutan primer yang akan dilindungi. Pemanfaatan-pemanfaatan
subsisten pada pokoknya tidak mengancam hutan-hutan primer, melainkan
kebanyakan relatif tidak menimbulkan masalah.
Pada prinsipnya, sulit sekali untuk mengalihkan perhatian (manusia) dari
hutan-hutan primer yang sangat kaya akan jenis-jenis pohon komersil atau
yang tumbuh diatas tanah yang subur, untuk tidak dibalak atau digunakan
untuk tujuan pertanian. Hal ini terutama terjadi pada daerah-daerah dimana
hutan-hutan sekunder tumbuh diatas tanah-tanah marjinal. Walaupun hutanhutan sekunder tersebut tetap berguna untuk perlindungan tanah, air dan
jenis, namun mereka tidak mampu mengurangi tekanan eksploitasi terhadap
hutan-hutan primer yang masih tersisa.
Pengkonservasian hutan-hutan primer dapat sangat terbantu dengan
pemberian insentif-insentif tambahan (potensi turisme, NTFP) dan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menunjang intensifikasi pemanfaatan
hutan sekunder (misalnya pemberian jaminan atas hak-hak pemanfaatan).

82

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang dapat


menggantikan pemanfaatan hutan primer
Sifat-sifat alami

terletak didekat hutan primer

menawarkan produk-produk yang diinginkan seperti


di hutan primer; jenis-jenis yang dapat dipasarkan

areal lebih luas daripada hutan primer

tanah-tanah yang (lebih) produktif

Kondisi sosial

kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan


sekunder

insentif-insentif ekonomi untuk pemanfaatan hutan


sekunder

5.5

aksesibilitas yang baik ke hutan-hutan sekunder

Turisme dan rekreasi

Turisme dan rekreasi dapat merupakan hal yang penting, baik di tingkat lokal
maupun nasional. Di banyak negara, turisme menghasilkan sebagian besar
dari pendapatan kotor per kapita (GNP). Di tingkat lokal, turisme
memberikan berbagai macam kemungkinan pendapatan tambahan bagi
penduduk lokal.
Namun, sebagai atraksi turis dan dihitung dari jumlah pengunjung per
83

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


tahunnya, hutan-hutan (bahkan dalam bentuk taman nasional) memainkan
peranan yang kurang begitu penting (perkecualian dalam hal ini adalah hutanhutan savana di Afrika Timur yang dihuni oleh banyak binatang liar sebagai
atraksi).Arti hutan untuk turisme lebih dilihat dari efek-efek tak langsung dan
komplementernya. Hutan-hutan dapat dijadikan sebagai obyek tambahan
dalam ekskursi dan menawarkan berbagai macam kemungkinan kegiatan
(kunjungan ke desa-desa terpencil, olahraga). Mereka juga merupakan
elemen alam yang memperkaya bentang lahan (landscape), terutama di
daerah-daerah yang berpenghuni padat dan dibudidayakan.
Berlanjutnya kegiatan perusakan hutan primer menyebabkan bahwa hutanhutan sekunder semakin penting untuk turisme. Hal ini lebih bersifat tidak
langsung, contohnya melalui konservasi aliran-aliran air dan perlindungan
erosi pada daerah-daerah lereng. Namun, sebagai tujuan turisme alam
hutan-hutan primer tetap bersifat unik dan hampir tidak dapat digantikan oleh
hutan-hutan sekunder. Daya tarik hutan-hutan sekunder meningkat dengan
semakin matangnya tingkat suksesi dari hutan tersebut, dan juga apabila
aktivitas-aktivitas di hutan-hutan sekunder dapat dikombinasikan menurut
waktu dan secara regional dengan atraksi-atraksi turis lainnya. 14.
Dibandingkan dengan hutan-hutan reboisasi, hutan-hutan sekunder
mempunyai potensi turisme yang lebih tinggi. Mereka lebih alami dan

14

BIRDSEY dan WEAVER (1982) dalam analisanya di Puerto Rika menyimpulkan, bahwa
potensi turisme dan rekreasi (hutan-hutan sekunder) menjadi sangat tinggi apabila
dikombinasikan dengan berbagai macam atraksi alam di pulau tersebut (pantai-pantai, air
terjun, pegunungan, dsb.). Dalam hubungannya dengan aktivitas-aktivitas rekreasi dan
olahraga, hutan-hutan publik yang kebanyakan merupakan hutan-hutan sekunder
memainkan peranan yang sangat penting dalam hal ini.

84

Potensi Kontribusi Hutan Sekunder dalam Pembangunan Berkelanjutan


biasanya mempunyai struktur yang lebih bervariasi. Hutan-hutan reboisasi
(di banyak negara berbentuk perkebunan) seringkali dialokasikan untuk
produksi kayu secara intensif, dan dibebani dengan aturan-aturan mengenai
kepemilikan dan akses yang melarang dilakukannya pemanfaatan dalam
bentuk lain.
Sampai saat ini, fungsi rekreasi hutan dalam konteks lokal (artinya untuk
penduduk lokal dan terlepas dari turisme) hanya mempunyai arti penting di
negara-negara industri. Fungsi ini mencakup efek hutan terhadap ruang
hidup disekitarnya dan kesejahteraan manusia yang hidup disana
(perlindungan iklim dan emisi, tempat beristirahat, tempat rekreasi, pengaya
landscape). Di masa yang akan datang, fungsi rekreasi hutan juga akan
semakin penting di negara-negara berkembang, terutama disekitar pusatpusat pemukiman (perkotaan). Dengan keluasan, lokasi dan karakter yang
tepat dan sesuai, hutan-hutan sekunder dapat memenuhi fungsi ini bersamasama dengan hutan-hutan tanaman (reboisasi).

85

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Karakteristik-karakteristik hutan sekunder yang sesuai


untuk turisme:
Sifat-sifat alami:

fase suksesi yang tinggi

struktur yang bervariasi

keanekaragaman jenis yang tinggi atau kepadatan


yang tinggi dari beberapa jenis yang menarik

areal koheren yang luas

Kondisi sosial:

infrastruktur yang baik

mempunyai aksesibilitas yang baik atau berlokasi


dimana aktivitas-aktivitas didalam hutan dapat
dikombinasikan dengan atraksi-atraksi lainnya

struktur dasar turisme harus sudah tersedia di


wilayah tersebut

86

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama


Teknis

Bentuk-bentuk aksi yang dapat diambil dibuat berdasarkan potensi-potensi


yang dipaparkan pada Bab-bab sebelumnya. Pada diskusi berikut ini
mengenai tindakan dan pendekatan yang dapat dilakukan, diasumsikan
bahwa tujuan dan kesesuaian dari intervensi kerjasama teknis telah
diklarifikasi berdasarkan:
kebutuhan-kebutuhan spesifik dari kelompok-kelompok sasaran
potensi-potensi ekologi
adanya eksploitasi yang berlebihan atau kurangnya pemanfaatan
analisa alternatif terhadap penyediaan manfaat dan fungsi yang
diharapkan (misalnya tentang reboisasi)
Implementasi dari semua aksi yang disarankan pada Bab ini harus dipandang
sebagai suatu bagian dari proses belajar, karena pengetahuan dan
pengalaman yang berkaitan dengan situasi hutan-hutan sekunder saat ini serta
dampak dari intervensi langsung (silvikultur dan teknis) dan tidak langsung
(mempengaruhi parameter-paramter kondisi) masih sangat kurang.
Usulan-usulan yang disampaikan disini tidak hanya bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah yang teridentifikasi, tetapi juga didisain untuk
memperbaiki dan meningkatkan pemanfaatan dari potensi-potensi yang
selama ini hampir tidak pernah diperhatikan. Sebagian dari usulan-usulan
tersebut dibuat berdasarkan sistem-sistem pengelolaan tradisional yang telah
dikembangkan oleh penduduk asli/lokal. Dalam hal ini, studi lapangan yang
87

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


tersedia sedikit sekali jumlahnya. Dalam perencanaan bentuk aksi-aksi yang
akan dilakukan, sampai saat ini juga tidak diperhatikan hal-hal seperti tidak
dilakukannya pemanfaatan hutan sekunder, atau pemanfaatan hutan sekunder
secara tidak teratur atau secara berlebihan yang terjadi saat ini, seperti juga
penyebab-penyebabnya.
Pada dasarnya terdapat dua macam pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kerjasama teknis untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan melalui
pemanfaatan potensi-potensi hutan sekunder secara lebih baik:
1. mempengaruhi pembentukan hutan-hutan sekunder
2. mengarahkan pembangunan hutan-hutan sekunder
Butir 1.

Mempengaruhi pembentukan hutan-hutan sekunder

Dalam kondisi-kondisi khusus, pembentukan hutan-hutan sekunder perlu


didukung/dipertahankan atau dibatasi.
Apabila hutan-hutan sekunder terbentuk melalui rekolonisasi tanah-tanah
kosong yang tidak produktif dan tidak menarik untuk usaha pertanian, dan
apabila sumberdaya-sumberdaya kehutanan yang dapat memasok kebutuhan
penduduk tersedia dalam jumlah yang tidak cukup, maka perlu dilakukan
usaha-usaha yang dapat menunjang pembentukan hutan-hutan sekunder.
Namun, pembentukan dan usaha untuk mempertahankan hutan-hutan
sekunder dalam jangka panjang menuntut adanya tekanan penduduk yang
rendah serta tersedianya lahan pertanian yang memadai dan teknologi tepatguna, sehingga tidak terjadi perluasan usaha pertanian pada areal-areal hutan
yang masih tersisa.
Usaha-usaha teknis yang dapat menunjang pembentukan hutan-hutan
88

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis


sekunder dapat berupa bantuan aktif terhadap regenerasi alami (contohnya
menebang/memotong tumbuh-tumbuhan pesaing secara reguler) atau
penanaman pengayaan dengan jenis-jenis pohon tertentu (jenis pionir
berumur panjang) yang dapat menekan pertumbuhan tanaman pesaing
dengan cepat (seperti rumput, chromolaena dan lain-lainnya), sehingga
tanaman hutan sekunder dapat melakukan rekolonisasi dengan lebih cepat. 15
Pada saat yang bersamaan, kerangka hukum yang berlaku dan prosesproses sosial harus diarahkan sedemikian rupa untuk menunjang
ditinggalkannya lahan-lahan pertanian dan peternakan/penggembalaan, yang
kemudian diintegrasikan sebagai kawasan hutan masa depan kedalam tataguna ruang dan lahan.
Pada kasus ekstrim lainnya, dimana hutan sekunder terbentuk melalui
pengusahaan hutan yang berlebihan atau penebangan-habis hutan primer

15

Pada banyak kawasan hutan yang terdegradasi, rekolonisasi (pohon) terganggu karena
potensi regenerasi hutan rusak sedemikian rupa atau karena tumbuh-tumbuhan pesaing
(rumput, bambu) menghalangi penyemaian alami dari jenis-jenis pionir awal. Dalam kondisi
seperti ini, pembasmian tumbuh-tumbuhan pesaing dapat memperbaiki kondisi-kondisi
regenerasi secara signifikan (KARTAWINATA 1994). Walaupun demikian, tindakantindakan mekanis membutuhkan tenaga-kerja yang banyak dan penggunaan bahan-bahan
kimia (herbisida) seringkali membahayakan lingkungan. Sebagai alternatif tindakan untuk
membantu perkembangan hutan, saat ini didiskusikan penyemaian dan penanaman tegakan
pendahulu yang terdiri dari jenis-jenis pohon eksotis diatas lahan-lahan yang ditumbuhi
rumput-rumputan (LUGO 1988).
Selain perbaikan kondisi-kondisi permudaan alami, diusulkan juga penanaman pengayaan
dengan jenis-jenis pohon yang diinginkan (WADSWORTH 1984; WEAVER dan BIRDSEY
1986). Dengan itu diharapkan bahwa periode produksi dapat dipersingkat dan proporsi
jenis-jenis tanaman komersil yang seringkali rendah dapat ditingkatkan. Penanaman
pengayaan dengan jenis-jenis tertentu terbukti memberikan hasil yang baik (WEAVER dan
BIRDSEY 1986. RAMOS DEL AMO 1992) namun sangat mahal.

89

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


oleh perusahaan-perusahaan pemegang konsesi hutan, tindakan-tindakan
harus dilakukan untuk menghentikan atau memperlambat proses ini.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah perbaikan
sistem-sistem konsesi, peningkatan kesadaran lingkungan dalam industri
kayu dan diterapkannya teknik-teknik pengelolaan hutan primer yang lebih
baik. Hal yang terakhir dapat didukung melalui penerapan sistem sertifikasi.
Butir 2.

Mengarahkan pembangunan hutan-hutan sekunder

Pengembangan hutan-hutan sekunder (biasanya dalam bentuk suksesi) juga


dapat dipengaruhi melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka
kerjasama teknis. Dalam hal ini, proses perkembangan alami dari tanaman,
tanah dan binatang hanya didukung, dipercepat atau diarahkan kepada
produk-produk suksesi yang diharapkan. Hal ini dapat dilakukan dengan
mempercepat atau melengkapi proses-proses alami, menghilangkan hal-hal
yang dapat menghalangi perkembangan (hutan) selanjutnya, atau dengan
menghentikan proses suksesi pada tahapan tertentu. Pengaturan suksesi dari
hutan-hutan sekunder telah dilakukan secara efektif oleh Suku Maya dan
suku-suku Indian kuno lainnya dengan cara mempengaruhi kombinasi jenis
dan pertumbuhan pohon (GMEZ & POMPA et al. 1987; GMEZ 1987:
CLAY 1988).

90

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis

6.1

Pengalaman sampai saat ini

Kebanyakan dari penelitian dan usulan mengenai penanganan hutan-hutan


sekunder berkaitan dengan pengelolaannya sebagai hutan. Keberadaan
hutan sekunder dipandang sebagai petunjuk bahwa lahan tersebut
merupakan tapak hutan, sehingga dipertahankannya bentuk pemanfaatan
lahan hutan tidak dipertanyakan lagi. Dalam hal ini, pemanfaatannya
difokuskan kepada produksi kayu. Penelitian di lapangan membuktikan
bahwa tindakan-tindakan silvikultur dan teknis dapat meningkatkan potensi
produksi kayu dari hutan-hutan sekunder secara nyata. Walaupun demikian,
pengalaman-pengalaman praktis dalam pengusahaan kayu secara murni di
hutan-hutan sekunder masih jarang tersedia. Beberapa pengetahuan
silvikultur yang penting dalam hal ini akan diberikan dalam lampiran studi ini.
Sejauh ini, tindakan-tindakan pengelolaan yang mendukung fungsi-fungsi
perlindungan dan konservasi atau produksi NTFP sangat jarang menjadi
fokus utama dalam konsep pemanfaatan hutan sekunder dalam konteks
kerjasama teknis atau kebijakan kehutanan nasional, walaupun mereka
kadang-kadang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Pada umumnya, tujuan-tujuan seperti konservasi dan regenerasi kesuburan
tanah dan sumberdaya genetik merupakan pelengkap dalam kegiatan
pengelolaan hutan.
Sampai kini, aksi-aksi dalam kerjasama teknis yang bertujuan untuk
mendukung berbagai macam pemanfaatan areal-areal hutan
sekunder secara trans-sektoral hanya dilakukan secara sporadis.
Walaupun demikian pengalaman mengenai hal ini cukup banyak tersedia,
karena secara tradisional bentuk pemanfaatan semacam ini diterapkan secara
luas. Dalam hal ini, hutan-hutan sekunder dilihat dari fungsinya untuk tujuan
91

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


kehutanan dan pertanian. Apabila areal tersebut dibutuhkan untuk kedua
bentuk produksi pertanian dan kehutanan, maka tujuan pengelolaan untuk
sebuah hutan sekunder adalah, contohnya, untuk pengembangan sistemsistem agroforestry (wanatani) dan silvo-pastoral secara permanen.
Hampir tidak ada pengalaman mengenai penanganan hutan-hutan sekunder
sebagai bagian dari sistem pemanfaatan lahan yang dinamis dalam
bentuk mosaik. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa hutan-hutan sekunder di
banyak tempat merupakan bagian dari proses konversi dan transformasi
yang permanen, dan karena itu mereka tidak dapat begitu saja dialokasikan
untuk suatu bentuk pemanfaatan lahan. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan
yang dilakukan harus diarahkan untuk memperbaiki proses-proses tersebut
dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi-potensi yang terdapat pada setiap
tahap (suksesi).
Mana yang terbaik diantara ketiga pendekatan tersebut hanya dapat dinilai
secara terpisah melalui pengamatan keseluruhan pada setiap situasi spesifik,
dimana hutan-hutan sekunder merupakan suatu bagian dari sistem
pemanfaatan lahan regional. Pengelolaan hutan-hutan sekunder hanya dapat
dilakukan berdasarkan konsensus lokal mengenai pemanfaatan sumberdaya
secara keseluruhan dari suatu unit perencanaan tertentu (dengan elemenelemen peternakan/penggembalaan, pertanian, kehutanan, perlindungan
tanah, dsb.)

92

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis

6.2

Instrumen-instrumen penunjang dalam konteks


kerjasama pembangunan

Instrumen-instrumen yang tersedia untuk mengarahkan dan menunjang


kerjasama pembangunan dalam konteks strategi-strategi sektoral atau multisektoral mencakup usaha-usaha untuk mempengaruhi kerangka hukum dan
politik, pengintegrasian hutan-hutan sekunder kedalam rencana tata-guna
lahan umum, tindakan-tindakan silvikultur dan teknis, pengembangan pasar,
serta dukungan terhadap penelitian.

6.2.1 Usaha-usaha untuk mempengaruhi kerangka hukum dan


politik
Pertama-tama perlu dipastikan bahwa hutan-hutan sekunder harus menjadi
isu penting dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan
perundang-undangan, perjanjian-perjanjian kerjasama teknis, mekanisme
pengaturan dan pemberian insentif ekonomi dan pelayanan masyarakat (lihat
juga Bab 6.4).
Contohnya, klarifikasi dan pemberlakuan hak-hak pemanfaatan jangkapanjang dapat menjadi faktor yang menentukan dalam pengelolaan hutan
secara lestari. Di banyak negara, status hukum dari hak-hak pemanfaatan
atas areal-areal tertentu tergantung dari vegetasi yang tumbuh diatasnya.
Areal-areal yang kosong atau ditumbuhi semak-belukar yang tidak produktif
biasanya secara de jure dan de facto merupakan sumberdaya yang terbuka
untuk siapa saja, sedangkan areal-areal yang ditutupi oleh hutan biasanya
dibebani hak-hak kepemilikan atau pemanfaatan, baik dari negara maupun
secara perorangan. Karena alasan ini, perkembangan/pertumbuhan hutan
tidak jarang dihambat oleh para para pemanfaat aktuel. Hak-hak pemanfaatan
93

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


yang tidak jelas menyebabkan timbulnya konflik atau kurangnya tanggungjawab atas sumberdaya tersebut. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya
eksploitasi hutan yang semakin intensif.

6.2.2 Integrasi hutan-hutan sekunder kedalam tata-guna lahan


Hutan-hutan sekunder harus selalu diintegrasikan kedalam rencana tata-guna
lahan lokal dan regional sesuai dengan fungsi-fungsi mereka yang spesifik
untuk setiap lokasi. Apabila semua pihak terkait sepakat untuk
mempertahankan hutan-hutan sekunder sebagai areal hutan, maka hutanhutan tersebut harus menjadi obyek dalam perencanaan hutan. Untuk itu,
inventarisasi hutan harus dilakukan (pada tingkat nasional, regional, dan
perusahaan kehutanan) sesuai dengan tujuan pengelolaan yang ditetapkan.
Inventarisasi (hutan) skala besar yang dilakukan pada prinsipnya tidak hanya
mencakup semua bentuk hutan (disamping lahan-lahan pertanian,
pemukiman, dsb.), namun dimasa yang akan datang juga mengidentifikasi
kondisi dan perubahannya, contohnya dalam kaitannya dengan
keanekaragaman jenis, kawasan hutan, dan perkembangan hutan.
Untuk tujuan tersebut, harus dilakukan pengidentifikasian ciri-ciri dan
indikator-indikator yang dapat diintegrasikan kedalam inventarisasi darat
(terrestris) dan pengolahan data-data penginderaan jarak-jauh. Ketersediaan
informasi-informasi kuantitatif dan kualitatif merupakan prakondisi untuk
perencanaan pengembangan kehutanan dan daerah pedesaan. Dimasa depan,
hutan-hutan sekunder harus dievaluasi sehubungan dengan multi-fungsinya.
Dalam hal ini, fungsi-fungsi hutan penting untuk diidentifikasi seperti juga
halnya dengan faktor-faktor sosio-ekonomi yang menentukan. Hutan-hutan
94

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis


merupakan bagian dari ruang-hidup manusia. Jika ruang-hidup ini dan
kepentingan penduduk tidak diperhatikan, maka tidak mungkin untuk
membuat perkiraan dan perencanaan yang baik untuk pembangunan yang
berkesinambungan. Perencanaan pengelolaan hutan sekunder tidak dapat
dilakukan secara terpisah, dalam arti bahwa hutan-hutan tidak boleh
diperhatikan secara terpisah dari sistem tata-guna lahan secara umum.

6.2.3 Tindakan-tindakan silvikultur dan teknis


Selain dari kondisi-kondisi politik dan ekonomi, dari sudut pandang teknis
pengelolaan hutan-hutan sekunder tergantung pada faktor-faktor berikut ini:
tujuan pengelolaan untuk setiap areal hutan
pengetahuan manusia yang melakukan kegiatan usaha di hutan
situasi awal dari masing-masing hutan sekunder
aksesibilitas dan tingkat mekanisme yang ada
Hutan-hutan sekunder bereaksi dengan baik terhadap perlakuan-perlakuan
silvikultur yang bertujuan untuk meningkatkan produksi kayu. Dalam hal ini
masih terdapat ketidakpastian mengenai detil-detil teknis dari perlakuanperlakuan ini, yang sebagian disebabkan oleh sangat beragamnya situasi
yang dihadapi. Untuk menekan biaya biasanya dipilih sistem pengelolaan
yang ekstensif, untuk keadaan dimana terdapat keterbatasan sumberdaya
adalah sistem pengelolaan yang produktif, sedangkan untuk alasan-alasan
ekologi dipilih sistem pengelolaan yang ramah lingkungan.
Tindakan-tindakan silvikultur yang mempunyai dampak yang positif
95

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


terhadap perkembangan alami hutan seringkali menyebabkan biaya yang
begitu tinggi, sehingga dalam prakteknya penerapan tindakan-tindakan
tersebut untuk areal yang luas atau secara intensif hanya dapat dilakukan
secara terbatas. Terutama penjarangan pertama yang berbiaya tinggi dan
menghasilkan kayu hanya dalam jumlah yang kecil sangat sulit untuk
direalisasikan mengingat lamanya masa investasi. Karena itu sedapat
mungkin diterapkan metode-metode silvikultur yang berbiaya ekstensif. Hal
ini semakin penting mengingat bahwa kemungkinan penduduk lokal untuk
menerapkannya sangat terbatas akibat kurangnnya sumberdaya ekonomi
mereka.
Menurut LAMPRECHT (1986), prakondisi bagi pengelolaan hutan sekunder
untuk produksi kayu yang memungkinkan secara ekonomi adalah
tersedianya pohon-pohon inti dari jenis-jenis komersil dalam jumlah yang
cukup (paling sedikit 100 batang per Ha), yang tersebar secara merata
diseluruh areal hutan. Pohon-pohon ini harus mempunyai kemampuan yang
cukup untuk bereaksi terhadap perlakuan-perlakuan yang diberikan
(ekspansi tajuk, pertumbuhan diameter dan tinggi). Juga sangat penting
adanya dinas/instansi kehutanan yang berfungsi dengan baik dan mempunyai
staf berkualifikasi dalam jumlah yang memadai (pembinaan, pengawasan,
dan apabila diperlukan juga pelaksanaan).
Walaupun berbagai teknik yang sudah teruji tersedia, namun informasiinformasi dasar mengenai dinamika hutan-hutan sekunder dan dampak dari
perlakuan-perlakuan silivikultur masih sangat kurang. Karena itu,
pengembangan sistem-sistem pemantauan dan pembuatan plot-plot
percontohan jangka-panjang sangat penting bagi keberhasilan tindakantindakan silvikultur di masa yang akan datang (WADSWORTH, 1987;

96

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis


LAMPRECHT, 1989; POKORNY, 1997).

6.2.4 Pengembangan pemasaran


Kemungkinan pemasaran produk-produk dari hutan-hutan sekunder dapat
ditingkatkan melalui berbagai macam tindakan. Dalam hal ini, selain kayu
(log) juga produk-produk kayu lainnya dan hasil-hasil hutan non-kayu harus
diikutsertakan. Untuk meningkatkan pemasaran hasil-hasil tersebut, usahausaha berikut dapat dilakukan:
penelitian mengenai sifat-sifat teknologi kayu dari jenis-jenis pohon (yang
belum diteliti sampai kini) dan kemungkinan penggunaanya, seperti halnya
juga dengan NTFP;
memperkenalkan kemungkinan penggunaan dan hasil tersebut (iklan
internasional, membantu pemasaran produk-produk tersebut);
mempersulit pemasaran produk-produk yang dihasilkan dari
pengusahaan hutan primer secara tidak lestari;
perlakuan pajak khusus yang menguntungkan bagi produk-produk hutan
sekunder.
Dalam debat-debat saat ini mengenai pengelolaan (hutan) secara lestari,
instrumen pemasaran dalam bentuk sertifikasi memainkan peranan yang
sangat khusus/penting. Sertifikasi dalam sektor kehutanan ini muncul dari
diskusi-diskusi mengenai perusakan sumberdaya-sumberdaya hutan.
Menurut HEINDRICHS, 1996, sertifikasi kehutanan adalah evaluasi yang
dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan pengelola hutan atas kelestarian
kegiatan pengusahaan hutan yang mereka lakukan dan penandaan dari
semua produk-produk komersil mereka (sertifikasi perusahaan dan
97

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


sertifikasi produk). Meskipun demikian, pada dasarnya sertifikasi hanya
penting untuk pasar-pasar internasional. Pada tingkat-tingkat lokal dan
regional (di kebanyakan negara), tidak terdapat minat atau kemampuan
finansial yang kuat untuk itu.

6.2.5 Penelitian
Penelitian dapat menunjang dan mengarahkan strategi-strategi sektoral dan
multi-sektoral. Seringkali dijumpai kekurangan dalam pengetahuan dan
konsep-konsep yang sesuai, yang diperlukan untuk mencapi pembangunan
yang berkelanjutan melalui pemanfaatan ruang-hidup lahan yang sesuai dari
segi ekologi, ekonomi dan sosial. Penelitian dapat menolong untuk menutupi
kekurangan ini. Namun sangat penting disini, bahwa topik-topik dan
pendekatan penelitian harus relevan dengan keadaan di lapangan. Dalam hal
ini, penelitian hanya akan menjadi sebuah instrumen yang efektif dan penting
bagi kerjasama teknis apabila hasil-hasil yang didapatkan dan saran-saran
yang dibuat relevan untuk keputusan-keputusan politis. Keputusankeputusan tersebut dapat berkaitan dengan aspek-aspek kebijakan,
perencanaan, organisasi atau teknis dari satu atau lebih sektor.
Tropical Ecology Support Programme/TOEB (Program-program
Dukungan Ekologi Tropis) dari GTZ memberikan dukungan kepada studistudi dan proyek-proyek penelitian yang dikaitkan dengan program-program
kerjasama pembangunan bilateral. Diharapkan bahwa dukungan tersebut
dapat membantu dan menguntungkan proyek-proyek yang bersangkutan,
serta menjamin bahwa hasil-hasil yang didapatkan pada prakteknya relevan
untuk pengembangan kebijakan dan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat
benar-benar diterima dan diimplementasikan. TOEB hanya memberikan
dukungan kepada kegiatan-kegiatan penelitian terapan dan bukannya
98

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis


penelitian-penelitan dasar (basic research). Lembaga-lembage penelitian di
negara-negara partner, seperti juga halnya tenaga-tenaga ahli lokal (untuk
dilatih lebih lanjut, contohnya melalui sistem tandem) dilibatkan disini. Selain
itu, sejak perencanaan studi sudah harus dirancang konsep pemanfaatan
yang realistis dari hasil-hasil yang ingin dicapai. Diharapkan bahwa melalui
pengembangan metode-motede dengan karakter model dapat dihasilkan
dampak yang luas dari dan mengenai topik-topik studi/penelitan yang
spesifik.
Studi-studi TOEB mencakup bidang-bidang dinamika proses-proses
ekologi, instrument perencanaan dan pengelolaan bersama, aspek-aspek
ekonomi, kondisi-kondisi/kerangka pembatas, sosiologi (misalnya
pemanfaatan kearifan tradisional). Penelitian-penelitian mengenai hutan
sekunder yang didanai oleh TOEB telah dilakukan di Kosta Rika dan
Madagaskar. Selain itu juga direncanakan untuk mengadakan lokakaryalokakarya mengenai topik ini di Asia, Afrika and dan Amerika Latin.

6.3

Pemanfaatan potensi-potensi yang teridentifikasi

Instrumen-instrumen dan bentuk-bentuk tindakan yang berbeda dapat


dikombinasikan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai atau fungsi yang
harus didukung. Pada Tabel 10 diberikan gambaran umum mengenai bentukbentuk aksi yang dapat dilakukan untuk berbagai macam fungsi hutan
sekunder.

99

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Dalam usaha untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu, sangat penting untuk
mengenali konflik-konflik pemanfaatan yang mungkin terjadi. Hal ini
ditunjukkan pada Tabel 11. Peternakan/penggembalaan dan budidaya
tanaman-tanaman pertanian di hutan-hutan sekunder mempunyai potensi
konflik yang tinggi, baik diantara kedua bentuk tersebut maupun dengan
bentuk-bentuk pemanfaatan lainnya. Kedua sistem agroforestry tersebut
mengurangi keanekaragaman jenis alami dan membatasi produksi kayu di
areal-areal tersebut. Peternakan/penggembalaan juga menghalangi
dilakukannya kegiatan perladangan pada saat yang bersamaan.
Penggembalaan yang berlebihan (over-grazing) dapat mengurangi
kemampuan hutan untuk beregenerasi dan kesuburan tanah dalam jangkawaktu yang lama.
Potensi konflik lainnya yang sangat tinggi biasanya disebabkan oleh kegiatan
pembalakan dan usaha untuk mengkonservasikan keanekaragaman jenis.
Saat ini, produksi kayu biasanya dihubungkan dengan dampak negatif
terhadap pengawetan keanekaragaman jenis (degradasi habitat) serta
pasokan air dan perlindungan tanah (terciptanya lahan-lahan kosong,
pencucian unsur-unsur hara, kerusakan-kerusakan akibat pembalakan).
Dilain pihak, apabila pemanfaatan kayu dilakukan dalam jangka-panjang,
maka kegiatan tersebut dapat membantu perlindungan iklim (fiksasi CO2).

100

Tabel 10:

Gambaran Umum Mengenai Bentuk-bentuk Aksi Sesuai dengan Fungsi dan Kelompok Sasaran, serta Kebutuhan
Penelitian

Fungsi hutan sekunder

Kelompok sasaran

Kemungkinan aksi

Penelitian yang
diperlukan

Kayu (bulat)
- Komersialisasi

Penduduk lokal dan


regional

Perbaikan pemasaran dan silvikultur (pembinaan hutan);


manajemen hutan; dukungan terhadap koperasi pemanfaat;
penetapan sebagai kawasan hutan permanen dalam tata-guna
lahan; pemberian konsesi jangka-panjang dan jaminan atas hak
pemanfaatan; sertifikasi dari produk-produk kayu yang
dihasilkan berdasarkan prinsip kelestarian

Penelitian mengenai sifatsifat teknis kayu;


Analisa potensi komersil/
niaga

- Subsisten

Penduduk lokal

Perlindungan hak-hak pemanfaatan; usaha pemasaran

Analisa potensi komersil

- Komersialisasi

Penduduk lokal dan


regional

Perbaikan dalam pembuatan arang; pembangunan pusat-pusat


pemasaran (pasar) kayu-bakar

- Subsisten

Penduduk lokal

Perlindungan hak-hak pemanfaatan

Penelitian mengenai
sumber enerji alternatif;
peningkatan efisiensi
tungku

- Komersialisasi

Penduduk lokal dan


regional

Dukungan terhadap koperasi pemanfaat, pengawasan dalam


pembagian profit di kelompok sasaran, dipastikannya
pemanfaatan yang ramah lingkungan (misalnya sertifikasi)

Analisa potensi permintaan

- Subsisten

Penduduk lokal

Perlindungan hak-hak pemanfaatan

Penelitian mengenai
potensi komersil

Kayu-bakar

Hasil hutanikutan (NTFP)

(lanjutan Tabel 10)


Fungsi hutan sekunder
Hutan bera

Kelompok sasaran
Penduduk lokal

Budidaya tanaman-tanaman Penduduk lokal


pertanian

Kemungkinan aksi

Penelitian yang
diperlukan

Perbaikan pemanfaatan hasil-hasil hutan (multiple use);


pengembangan lahan bera yang lebih baik secara ekologis
apabila tekanan eksploitasi tinggi; pengembangan lahan bera
yang lebih baik secara ekonomi apabila tekanan eksploitasi
rendah

Identifikasi jenis-jenis
berguna yang potensil
(terutama jenis-jenis
authochton)

Menciptakan atau mengoptimalkan akses ke pasar

Identifikasi sistem-sistem
pemanfaatan yang ada dan
potensil

Peternakan/
penggembalaan di hutan

Penduduk lokal

Perlindungan hak-hak pemanfaatan

Turisme dan rekreasi

Penduduk lokal; juga


regional, nasional dan
global

Perlindungan hak-hak pemanfaatan lokal; dukungan terhadap


koperasi-koperasi pemanfaat; dukungan terhadap ekoturisme;
peningkatan kesadaran lingkungan melalui track-track
percontohan (pendidikan lingkungan)

Analisa potensi permintaan

Perlindungan air, tanah,


iklim dan gas emisi

Penduduk lokal dan


regional

Memberi bantuan advisory politik; peningkatan kesadaran


lingkungan; tata-guna lahan regional; kemungkinan kompensasi
bagi penduduk lokal

Implementasi tata-guna
lahan regional/transregional

Konservasi
keanekaragaman jenis

Penduduk lokal dan


regional

Menjadikannya sebagai agenda dalam aksi-aksi internasional


Identifikasi bentuk
(misalnya International Panel on Forests, Forest Partnership pemanfaatan hutan yang
Agreement)
ramah lingkungan

Fiksasi CO2

Penduduk global

Analisa potensi

Substitusi untuk
eksploitasi hutan primer

Penduduk lokal dan


regional

Analisa potensi

Usulan-usulan Aksi dalam Konteks Kerjasama Teknis


Meskipun tidak terlalu besar, namun fungsi-fungsi hutan lainnya juga
membawa potensi-potensi konflik:
Kayu-bakar pada dasarnya dikaitkan dengan emisi CO2. Selanjutnya,
terutama di daerah-daerah arid dan semi-arid, pemanfaatan kayu-bakar
dapat mengurangi potensi hutan bera.
Pemanfaatan NTFP untuk dijual secara regional atau internasional
seringkali tidak terpisahkan dengan pemanfaatan sumberdaya yang
berlebihan (over-exploitation) secara spesifik.
Hutan bera hanya dapat dilakukan bersama-sama dengan kegiatan
penggembalaan dan pengusahaan kayu secara terbatas.
Perlindungan neraca air dan tanah membatasi skala dan metode
pemanfaatan lainnya, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk itu.

Contoh-contoh untuk memahami Tabel 11:


Apabila fungsi utama hutan sekunder adalah produksi kayu (kolom 2),
maka tidak ada konflik pemanfaatan dengan produksi kayu-bakar (baris
3).
Apabila fungsi utama hutan sekunder adalah konservasi keanekaragaman
jenis (kolom 10), maka konflik pemanfaatan dengan produksi kayu (baris
2) dapat terjadi.

103

Tabel 11: Kemungkinan Terjadinya Konflik Pemanfaatan Akibat Dukungan yang Diprioritaskan pada Sebuah Fungsi Hutan Sekunder
Efek terhadap
fungsi dan
manfaat lainnya

Fungsi utama hutan


Kayu
(bulat)

Kayu (bulat)

Kayu-bakar

NTFP

Hutan
bera

Penggembalaan

Turisme

Budidaya
tanaman
pertanian

+/-

+
-

Perlindungan air dan


tanah

Konservasi
biodiversitas

Fiksasi
CO2

+/-

*/-

Kayu-bakar

NTFP

Hutan bera

+/-

Penggembalaan

+/-

Budidaya
tanaman
pertanian

Turisme

+/-

+/-

Perlindungan air
dan tanah

Konservasi
biodiversitas

+/-

Fiksasi CO2

+/-

+/-

+ konflik pemanfaatan dapat terjadi; - konflik pemanfaatan tidak terjadi; Keterangan tabel lihat didalam teks.

Usulan-usulan aksi dalam konteks kerjasama teknis

6.4

Tingkat pendekatan

Tindakan-tindakan/aksi-aksi dapat didukung pada berbagai tingkat intervensi


yang berbeda. Biasanya, dukungan diberikan secara bersamaan pada
berbagai tingkat untuk menghasilkan efek-efek sinergi.

6.4.1 Pendekatan pada tingkat internasional


Pada tingkat internasional, usaha yang paling utama adalah untuk
membangkitkan dan meningkatkan kesadaran mengenai topik hutan
sekunder. Potensi yang ada untuk mendukung aksi-aksi dengan tujuan-tujuan
global masih belum dimanfaatkan sepenuhnya. Selain itu tidak boleh
diabaikan, bahwa definisi istilah hutan sekunder yang jelas (dan mungkin
pembagiannya lebih lanjut kedalam berbagai tipe) serta penggunaannya
secara seragam dapat mempermudah proses komunikasi. Khususnya
pendekatan-pendekatan berikut ini dapat didukung dalam konteks kerjasama
pembangunan:
Mengintegrasikan masalah ini kedalam aksi-aksi internasional dan
kegiatan-kegiatan setelah (Konferensi) Rio (misalnya proses IPF/IFF);
Mendukung pembangunan hutan-hutan sekunder untuk tujuan-tujuan
global (CO2, keanekaragaman jenis) dan apabila diperlukan dengan
memberikan kompensasi bagi penghuninya;
Penyebarluasan informasi mengenai produk-produk hutan sekunder yang
masih belum dikenal dan pemasarannya di pasar-pasar internasional
(terutama jenis-jenis pohon yang belum dikenal dengan sifat-sifat
kayunya);

105

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Pengintegrasian hutan-hutan sekunder secara eksplisit kedalam usahausaha sertifikasi;
Pelaksanaan proyek-proyek penelitian bersama, contohnya untuk:
-

meneliti sistem-sistem pemanfaatan tradisional,

mengembangkan kemungkinan-kemungkinan aksi yang sesuai


(populasi lokal),

pengembangan lebih lanjut dari berbagai bentuk pendekatan yang ada.

Pendekatan lainnya adalah penggunaan sumber-sumber pendanaan


internasional yang ada untuk pemanfaatan potensi secara lebih baik. Dana
GEF dapat digunakan langsung untuk mendukung pengelolaan hutan
sekunder. Salah-satu contoh program operasional GEF adalah identifikasi
rehabilitasi lahan-lahan yang terdegradasi dan pengembangan metodemetode pengelolaan hutan lestari sebagai bagian dari pengelolaan lahan yang
terintegrasi. Disini terdapat hubungan langsung dengan kemungkinankemungkinan yang disebutkan di atas. Demikian pula halnya dengan
pendanaan dalam konteks debt for nature swap, yang sejauh ini
dimaksudkan untuk mengkonservasikan keanekaragaman jenis di hutanhutan primer. Namun, dana tersebut dapat juga digunakan untuk tujuan
konservasi dan rekonversi jangka-panjang menuju sistem hutan klimaks.

6.4.2 Pendekatan pada tingkat nasional


Pada tingkat nasional, kerjasama teknis memberikan bantuan pendampingan
(advisory) dalam perubahan-perubahan kondisi yang ada (politik, hukum,
ekonomi, dsb.), yang harus diarahkan secara berbeda sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Hal ini dapat dilakukan secara spesifik untuk setiap
sektor maupun secara lintas-sektoral:
106

Usulan-usulan aksi dalam konteks kerjasama teknis


Mendukung penanganan topik ini dalam program-program kehutanan
nasional;
Integrasi kedalam rencana tata-guna ruang, lahan, dan kehutanan;
Mendukung kepentingan/minat jangka-panjang dalam konservasi dan
pengelolaan hutan secara lestari, mendukung kemungkinan pemanfaatan
jangka-panjang melalui rancangan yang sesuai dari:
-

peraturan agraria

hak konsesi/pengusahaan

kebijakan pajak;

Mendukung penelitian dan pendidikan


Meningkatkan nilai hutan melalui:
-

sistem-sistem insentif (pajak, subsidi, dsb.),

pendidikan dan pelayanan masyarakat,

dukungan terhadap pemasaran produk-produk yang tidak/belum


komersil,

pengembangan industri pengolahan kayu.

6.4.3 Pendekatan pada tingkat lokal


Seperti yang telah ditunjukkan dalam analisa mengenai pengaruh-pengaruh
manusia, partisipasi penduduk dalam pengelolaan hutan sekunder mutlak
adanya. Oleh sebab itu, fungsi hutan sekunder sebagai hutan bera dan untuk
pemanfaatan lintas-sektoral harus sama pentingnya dengan pengusahaan
hutan (kayu). Kebanyakan dari pendekatan yang dipaparkan dalam Bab 5.1
dapat diterapkan melalui tindakan-tindakan teknis, kelembagaan, dan
peningkatan kesadaran:
Pengaturan hak-hak pemanfaatan dan kepemilikan;
107

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Pengintegrasian kedalam tata-guna lahan lokal;
Informasi; peningkatan kesadaran;
Penguatan kelompok-kelompok lokal;
Pengembangan struktur pemasaran;
Silvikultur / Manajemen suksesi.
Hal-hal ini tidak dapat diaplikasikan tanpa mempertimbangkan dan
mengadaptasi kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang sebenarnya. Dalam
segala hal, tindakan-tindakan yang diambil harus diarahkan sesuai dengan
kebutuhan penduduk lokal. Pengembangan pengelolaan hutan sekunder
diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan, contohnya
melalui penciptaan nilai tambah di wilayah yang bersangkutan, pengentasan
kemiskinan atau konservasi sumberdaya yang berdampak positif terhadap
pertanian. Pada saat yang bersamaan, tindakan-tindakan yang dilakukan
harus dapat diterima secara sosial dan budaya, khususnya dalam
pengembangan sistem-sistem pemanfaatan yang baru berdasarkan sistemsistem pemanfaatan yang sudah ada, serta dengan menghormati dan
mengakomodir peran-serta, hukum, dan kebiasaan tradisional.

108

Penutup

Penutup

Pada akhirnya harus disampaikan, bahwa kebanyakan dari topik dan ide
yang dibahas dalam tulisan ini pada dasarnya juga dapat diaplikasikan pada
bentuk-bentuk hutan lainnya diluar hutan sekunder. Dilain pihak, istilah
hutan sekunder mencakup begitu banyaknya variasi dalam hal sejarah
pembentukannya, ciri-ciri/sifat-sifat alaminya, serta kondisi-kondisi yang
ada, sehingga tidak mungkin untuk memberikan usulan aksi untuk hutan
sekunder secara umum.
Apa yang telah ditunjukkan oleh tulisan ini adalah, bahwa potensi hutanhutan sekunder yang dapat memberikan sumbangan kepada pembangunan
melalui pasokan berbagai macam hasil dan manfaat seringkali dianggap
remeh dan tidak dimanfaatkan secara optimal.
Istilah hutan sekunder sangat jarang digunakan. Istilah ini tidak muncul
dalam kebijakan kehutanan dan peraturan perundang-undangan di banyak
negara, dan juga tidak dalam konsep organisasi-organisasi donor
(penyandang dana) nasional dan internasional. Selain itu, banyak instrumen
dan mekanisme pendanaan internasional (GEF) yang sangat difokuskan
kepada masalah hutan primer. Karena itu, adalah suatu keharusan bagi
negara-negara tersebut untuk memberikan perhatian yang setimpal terhadap
hutan-hutan sekunder dan menerapkan pemanfaatan/ pengelolaan yang lebih
baik pada hutan-hutan tersebut di masa yang akan datang. Pertanyaan yang
masih perlu dijawab adalah apakah hutan-hutan sekunder ini (termasuk
hutan-hutan bera muda) oleh negara yang bersangkutan dilupakan atau
diacuhkan karena potensinya yang tampaknya terlalu rendah, atau apakah
hutan-hutan ini secara otomatis sudah diintegrasikan kedalam kebijakan
kehutanan dan tata-guna lahan. Sejalan dengan itu, pada tingkat internasional
109

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


juga harus ditelaah apakah hutan-hutan ini diintegrasikan secukupnya
kedalam aksi-aksi internasional dan kedalam program-program kerja
kerjasama-kerjasama pembangunan.
Perlu dilakukan diskusi dan kajian lebih lanjut untuk menentukan apakah ada
manfaatnya untuk memperkenalkan dan menggunakan istilah hutan
sekunder. Paling tidak, istilah ini perlu didefinisikan secara jelas dalam
setiap konteks tertentu, dan situasi hutan serta kondisi-kondisi yang
menentukan harus diuraikan secukupnya. Salah-satu kemungkinan yang
dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan suatu klasifikasi dengan
sub-sub kategori secara skematis (pada awalnya spesifik untuk setiap
negara), dimana hutan-hutan sekunder yang ada dikategorikan berdasarkan
pembentukannya, karakteristika-karakteristikanya, bentuk pemanfaatan yang
dilakukan, serta kondisi-kondisi sosial yang ada.

110

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka
ADAM, P. (1992): Australian Rainforests. Oxford: Clarendon Press
ALVIM, R.; NAIR, P. K. R. (1986): Combination of cacao with other
plantation crops: An agroforestry system in Southeast Bahia, Brazil.
Dalam: Agroforestry Systems 4, Hal. 3-15. Dordrecht
AMELDUNG, T.; DIEHL, M. (1992): Deforestation of Tropical Rain
Forests: Economic causes and impact on development. Tbingen
ANDERSON, A. B. (1990) (Editor): Alternatives to deforestation: Steps
towards sustainable use of the Amazon rain forest. Papers presented at
an international conference held in Belem, Brazil, January 27-30, 1988.
Colombia University Press. New York. 281 Hal.
ANONYMUS (1990): Schutz und Bewirtschaftung der Tropenwlder.
Tropenwaldbericht der Bundesregierung, unter besondere
Bercksichtigung der tropischen Feuchtwlder.
ANONYMUS (1992): Grundstzliches ber Primrwlder, Sekundrwlder
und Holzplantagen. Holz Zentralblatt 118 (115). Hal. 1793-1794
BARBIER, E. B. (1995): The environmental effect of the forestry sector.
Dalam: Organization of Economic Cooperation and Development
(OECD). The Environmental Effects of Trade. OECD. Paris
BARNARD, R. C. (1954): A manual of Malayan silviculture for inland
forests. Research Pamphlet no. 14. Forest Research Institute, Kipong.
Malaya
BARRERA, A.; GOMEZ-POMPA, A.; VASQUEZ-YANES, C. (1977): El
manejo de las selvas por los Mayas: sus implicaciones silvicolas y
agricolas. Biotica 2. Hal.47-61

P-1

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


BARROW, E. G. C. (1991): Evaluation of the effectiveness of participatory
agroforestry extension programmes in a pastoral system, based on
existing traditional values. A case study of the Turkana in Kenya.
Dalam: Agroforestry Systems 14, Hal. 1-21. Kluwer
BAUR, G. N. (1964): The ecological basis of rain forest management.
Forestry Commission of NSW, Sydney. 494 S.
BIRDSEY, R. A.; WEAVER, P. L. (1982): The Forest Resources of Puerto
Rico. US Department of Agriculture. Forest Service Resource Bulletin
SO-85. Southern Forest Experiment Station. New Orleans. 59 Hal.
BIRDSEY, R. A; WEAVER, P. L. (1987): Forest Area Trends in Puerto Rico.
US Department of Agriculture Forest Service Research Note SO-331.
Southern Forest Experiment Station
BIRDSEY, R. A; WEAVER, P. L.; NICHOLLS, C.F. (1982): The Forest
Resources of St. Vincent, West Indies. US Department of Agriculture.
Forest Service. Southern Forest Experiment Station. Research Paper
SO-229. New Orleans, Louisiana.
BLAKE, J. G.; LOISELLE, B. A. (1992): Habitat use by neotropical migrans
at La Selva Biological Station and Braulio Carrillo National Park,
Costa Rica. Dalam: Hagan, J. M. and Johnston, D. W. (Editor):
Ecology and conservation of neotropical migrant landbirds.
Washington DC
BOERBOOM, J. H. A. (1974): Succession studies in the humid tropical
lowlands of Surinam. Dalam: Structure. functioning and management
of ecosystems: Proceedings of the First International Congress of
Ecology. The Hague. The Netherlands. September 8-14, 1974.
Wageningen. Pudoc. 414 Hal.
BOERBOOM, J. H. A.; WIERSUM, K. F. (1983): Human impact on tropical
moist forest. Hal. 83-106. Dalam: Holzner, W., Werger, M. J. A.,
Ikusima I. (Editor). Mans impact on vegetation. Dr. W. Junk
Publishers. The Haque. The Netherlands.

P-2

Daftar Pustaka
BORMANN, F. H.; LIKENS, G. E. (1981): Pattern and processes in a
forested ecosystem. New York
BOZA, M. A. (1994): Biodiversidad y Desarrollo en Mesoamerica. Una
propuesta para contribuir con el desarrollo sostenible de Mesoamrica
mediante la conservacin de las especies y las reas silvestres. Proyecto
Paseo Pantera / Proyecto COSEFORMA/GTZ.
BRATAMIHARDJA, M. (1989): Agroforestry on forest lands in Java;
Dalam: KARASUBRATA, J.; S. S. TJITROSOMO; R. C. UMALY
(Editor): Symposium on Agroforestry Systems and Technologies.
BIOTROP Special Publication No. 38
BROWN, S.; LUGO, A. E. (1990): Tropical secondary forests. Journal of
Tropical Ecology 6, Hal.1-32.
BRNING, E. F. (1989): Die Erhaltung, nachhaltige Vielfachnutzung und
langfristige Entwicklung der tropischen immergrnen Feuchtwlder.
Bundesforschungsanstalt fr Forst- und Holzwirtschaft. Hamburg
BUDOWSKI, G. (1961): Studies on forest succession in Costa Rica and
Panama. Yale University, New Haven, Conneticut. 189 Hal.
(Dissertation)
BUDOWSKI, G. (1965): Distribution of tropical American rain forest species
in the light of successional processes. Dalam: Turrialba 15, No. 1,
Hal.40-42
BULTE, E.; DAAN, S. v. (1995): Tropical deforestation, timber concessions
and slash-and-burn agriculture: why encroachment may promote
conservation of primary forests. Economic Papers 1995 (3). Faculty of
Economics. Wageningen
BURGER, D. (1994): Aufforstung und andere forstliche CO2-Strategien.
Dalam: Entwicklung und lndlicher Raum 1 (1994). Hal.11-15

P-3

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


BURGER, D.; BRASIL, E. C. (1991): Production of organic fertilizers in the
Alley-Cropping-System. Dalam: Burger, D. (Editor) Studies on the
utilization and conservation of soil in the Eastern Amazon region.
(Final Report of the Agreement between EMBRAPA-CPATU-GTZ,
Hal.217-236). Eschborn.
BUSCHBACHER, R.; UHL, C.; SERRAO, E. A. S. (1988): Abandoned
pastures in Eastern Amazonia. Dalam: Journal of Ecology 76. Hal.682699
CANON, B.; TRUJILLO, J. (1983): Anlisis estructural y composicin de un
bosque secundario cinco anos despus del aprovechamiento a tala rasa
del bosque muy hmedo tropical del Bajo Calima. Tesis (ing. For.).
Ibagu. Universidad Tolima, Fac. Ing. For., Colombia. 116 Hal.
CATTERSON, T. M. (1995): Strategies for the Valorization of Secondary
Forests as a Resource for Development: A Position Paper for GTZ
(Draft Kedua).
CLAY, J. W. (1988): Ingenious models of tropical agriculture and forest
development. Paper prepared for the US MAB Program and Cultural
Survival. Dalam: Report No. 27, Cultural Survival, Cambridge, MA.
COLEY, P. D. (1983): Herbivory and defence characteristics of tree species
in lowland tropical forest. Dalam: Ecological Monographs 53. Hal.209233
COMBE, J. (1982): Agroforestry techniques in tropical countries: potential
and limitations. Dalam: Agroforestry Systems 1, Hal.13-27. The Hague
CORLETT, R. T: (1987): Post fire succession on degraded land in Singapore.
Dalam: Journal of Tropical Forest Science 4.
CORLETT, R. T. (1991): Plant succession on degraded land in Singapore.
Dalam: Journal of Tropical Forest Science 4. Hal.151-161
CORLETT, R. T. (1994): What is Secondary Forest? Journal of Tropical
Ecology 10: Hal. 445-447
P-4

Daftar Pustaka
CORLETT, R. T. (1995): Tropical secondary forest. Department of Ecology
and Biodiversity. Dalam: Progress in Physical Geography 19,2 (1995).
Hal. 159-172
CUEVAS, E.; BROWN, S.; LUGO, A. E. (1991): Above and below ground
organic matter storage and production in a tropical pine plantation and
a paired broadleaf secondary forest. Dalam: Plant and Soil 135, Hal.
257-268
DALMACIO, M. V. (1987): Assisted Natural Regeneration: A strategy for
cheap, fast and effective regeneration of denuded forest lands.
Philippines Department of Environment and Natural Resource Regional
Office, Tacloban City
DAWKINS, H. C. (1958): The management of natural tropical high forest
with special reference to Uganda. Dalam: Paper no. 34, Imperial
Forestry Institute, Oxford University
DEMBNER, S. (1991): Review of FAO World Statistics on tropical forest
resources. Dalam: UNASYLVA 42: (164). Rome
DENEVAN, W. M.; TRACY, J. M.; ALCORNM, J. B.; PADUCH, C.;
DENSLOW, J.; PAITAN, F. S. (1984): Indigenous agroforestry in the
Peruvian Amazon: Bora Indian management of swidden fallows.
Dalam: Interciencia 9: Hal. 346-357
DENICH, M. (1989): Untersuchungen zur Bedeutung junger
Sekundrvegetation fr die Nutzungssystemproduktivitt im stlichen
Amazonasgebiet, Brasilien. Gttinger Beitrge zur Land- und
Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen; Heft 46. Gttingen
(Dissertation)
DENSLOW, J. D. (1980): Gap partitioning among tropical rain forest trees. S.
47-55. Dalam: Ewel, J. (Editor). Tropical succession. Biotropica.
Suppl. to vol. 12, No. 2. 95 Hal.

P-5

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


DEUTSCHER BUNDESTAG (1990): Schutz der tropischen Wlder. Eine
internationale Schwerpunktaufgabe. Zur Sache 10/90. Themen
parlamentarischer Beratung. Zweiter Bericht der Enquete-Kommission
des 11. Deutschen Bundestages Vorsorge zum Schutz der
Erdatmosphre. Bonn
DRILLING, N.E. (1989): Research priorities for reforestation in Indonesia
with emphasis on accelerated natural regeneration. USAID. Jakarta
DSE (1990): Integration of Management of Tropical Forests into Regional
Development. Seminar 02.-07.07.1990 in Kuala Lumpur / Malaysia.
DSE/ASEAN. Rapporteur: Prof. Dr. V. KOHLER.
DUBOIS, J. L.C. (1990): Secondary forests as a land-use resource in frontier
zones of Amazonia. Dalam: Anderson, A. B. (Editor): Alternatives to
deforestation: steps toward sustainable use of the Amazon rain forest.
New York, Hal.183-194
EGLER, S. G. (1992): Feeding ecology of Saguinus bicolor (Callitrhchidae:
Primates) in a relict forest in Manaus, Brazilian Amazonia. Dalam:
Folia Primatologia 59, Hal. 61-76
EUROPEAN COMMISSION (1996): Guidelines for Forest Sector
Development Co-operation Forests in Sustainable Development, Vol.
1-3; Brussels
EVANS, J. (1992): Plantation forestry in the tropics. Oxford
EWEL, J. J. (1971): Biomass changes in early tropical succession. Dalam:
Turrialba 21. Hal. 110-112
EWEL, J. J. (1976): Litterfall and leaf decomposition in a tropical forest
succession in Eastern Guatemala. Dalam: Journal of Ecology 64. Hal.
293-308

P-6

Daftar Pustaka
EWEL, J. J. (1979): Secondary forests: the tropical wood resource of the
future. S. 53-60. Dalam: Chavarria, M. (Editor): Simposio Internacional
sobre las Ciencias Forestales y su Contibucion al Desarrollo de la
America Tropical. 11-17 de Octubre, 1979.
Concit/Interciencia/SCLITEC, San Jose, Costa Rica. Editorial UNED.
EWEL, J. J. (1980): Tropical succession: manifold routes to maturity. Hal. 27. In Ewel, J. (Editor). Tropical succession. Biotropica. Suppl. to vol.
12. No. 2. 95 Hal.
EWEL, J. J. (1983): Succession. Hal. 217-223. Dalam: Golley, F. B. (Editor).
Tropical rain forest ecosystems: structure and function. Ecosystems of
the World. Elsevier scientific publishing company. Amsterdam. 381
Hal.
EWEL, J. J. (1986): Designing agricultural ecosystems for the humid tropics.
Dalam: Annual Reviews in Ecology and Systematics 17. Hal. 245-271
FALCONER, J. (1992): Non-timber forest products in Southern Ghana. A
summary report. ODI Forestry Series No. 2
FAO (1980): Forest Resources of Tropical Asia. Technical Report No. 3 of
the Tropical Resources Assessment Project. Rome
FAO (1981): Los recoursos forestales de la America tropical. Proyecto de
evaluacion de los Recoursos forestales tropicales de la America. FAO
Informe Tenico 1. Rome
FAO (1982): Fruitbearing forest trees. Rome. FAO. Forestry paper. No. 34.
177 Hal.
FAO (1992): Secretarial Note for the Eleventh Session of the FAO
Committee on Forestry, 1990 FAO assessment of tropical forests.
Rome
FAO (1993a): FAO Yearbook-Production. FAO, Rome
FAO (1993b): Forest resources assessment 1990 - Tropical countries. FAO
Forestry Paper 112. Rome
P-7

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


FAO (1993c): The challenge of sustainable forest management - What future
for the worlds forests ? Rome
FAO (1995): Forest resources assessment 1990: Global synthesis. FAO
Forestry Paper 124. Rome. 44 Hal.
FAO (1996): Forest resources assessment 1990. Survey of tropical forest
cover and study of change processes. FAO Forestry Paper 130. Rome.
152 Hal.
FEDLMEIER, C. (1996): Sekundrwaldentwicklung auf aufgegebenen
Weideflchen im Norden von Costa Rica. Gttinger Beitrge zur Landund Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen; Heft 109. Gttingen
(Dissertation). 148 Hal.
FERNANDES, E. C. M.; NAIR, P. K. R. (1986): An evaluation of the
structure and functions of tropical homegardens. Dalam: Agricultural
Systems 21, Hal. 279-310
FIMBEL, C. (1994): Ecological correlates of species success in modified
habitats may be disturbance- and site-specific: the primates of Tiwai
Island. Dalam: Conservation Biology 8. Hal.106-113
FINEGAN, B. (1984): Forest succession. Nature, London. Hal.109-114
FINEGAN, B. (1992): The management potential of neotropical secondary
lowland rain forest. Dalam: Forest Ecology and Management 47. Hal.
295-321
FINEGAN, B.; SABOGAL, C. (1988): El desarrollo de sistemas de
produccion sostenible en bosques tropical humedos de Bajura: un
estudio de caso en Costa Rica. El Chasqui. No. 17. Hal. 3-24. Catie.
Costa Rica.
FLSTER, H.; et. al ( ): Conservation and sustainable use of tropical
rainforests. Elements of a strategy against destruction of forests in the
humid tropics. German Forestry Association Committee for
International Cooperation in Forestry and Wood Industries.
P-8

Daftar Pustaka
FORMAN, R. T. T.; GODRON, M. (1986): Landscape Ecology. New York.
GEIGER, M. (1990): Mglichkeiten der Sekundrwaldbewirtschaftung im
Ostbolivianischen Tiefland. Forstwissenschaftliche Fakultt der
Universitt Freiburg (Diplomarbeit). 70 Hal.
GEISER, B. (1996): Strukturanalyse einer Sektion Primr- und Sekundrwald
der montanen Stufe auf Sao Tom. Forstwissenschaftliche Fakultt der
Universitt Gttingen (Diplomarbeit)
GERECKE, K.-L. (1991): Das Beispiel Costa Rica: Mglichkeiten der
Tropenwald-Erhaltung; AFZ 13/1991
GLATZLE, A. (1990): Weidewirtschaft in den Tropen und Subtropen.
Stuttgart
GODOY, R. A.; TAN, C.F. (1991): Agricultural diversification among
smallholder rattan cultivators in central Kalimantan. Dalam:
Agroforestry Systems 13. Hal. 27-40
GOLDAMMER, J. G. (1993): Feuer in Waldkosystemen der Tropen und
Subtropen. Birkhuser. Basel. 250 Hal.
GOMEZ-POMPA, A. (1987): On Maya silviculture. Dalam: Mexican
Studies 3. Hal. 1-19
GOMEZ-POMPA, A.; FLORES, J. S.; SOSA, V. (1987): The pet kot: a
man-made tropical forest of the Maya. Dalam: Interciencia 12. Hal. 1015
GOMEZ-POMPA, A.; WIECHERS, B. L. (1976): Regeneracin de los
ecosistemas tropicales. Dalam: Gmez-Pompa, A. et al. (Editor).
Investigaciones sobre la regeneracin de selvas altas en Veracruz,
Mexico. Calz. de Tlalpan. Compania Editorial Continental. 676 Hal.
GOMEZ-POMPA, A.; VASQUEZ-YANES C. (1974): Studies on secondary
succession of tropical lowlands: the life cycle of secondary species.
Dalam: Proceedings of the First International Congress of Ecology.
The Hague. Hal. 336-342
P-9

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


GOMEZ-POMPA, A.; VZQUEZ-YANES, C. (1981): Successional studies
of a rain forest in Mexico. Hal. 246-266. Dalam: West, D.C.; Shugart,
H. H.; Botkin, D. B. (Editor): Forest succession: concepts and
application. New York. Springer Verlag. 517 Hal.
GOMEZ-POMPA, A.; WHITMORE, T. C.; HADLEY, M. (1991) (Editor):
Rain Forest Regeneration and Management. Man and the Biosphere
Series, Volume 6. The Parthenon Publishing Group, Paris. 457 Hal.
GRADSTEIN, S. R. (1992): The vanishing tropical rain forest as an
environment for bryophytes and lichens. Dalam: Bates, J. W. and A.M.
Farmer (Editor): Bryophytes and lichens in a changing environment.
Oxford, Hal. 234-258
GREIG-SMITH, P. (1952): Ecological observations on degraded and
secondary forest in Trinidad, British West Indies. General features of
the vegetation. Dalam: Journal of Ecology 40. Hal. 283-315
GRUT, M. (1990): Revenue and concession policy for the timber forests of
West Africa. Paper presented at the Seminar of the International
Tropical Timber Organization in Denpasar, Bali, Indonesia on 19 may
1990
GRUT, M; GRAY, J. A.; EGLI, N. (1991): Forests pricing and concession
policies: Managing the high forests of West and Central Africa. World
Bank Technical Paper no. 143. Africa Technical Department Series.
The World Bank. Washington D.C.
GTZ (1993): Stellungnahme zum Fragenkatalog fr die nichtffentliche
Anhrung der Enqute-Kommission Schutz der Erdatmosphre am
15. Mrz 1993 zum Thema Potentiale der Kohlenstoffixierung durch
Ausweitung der Waldflche als Manahme zur Klimastabilisierung,
Eschborn
GTZ (1996): Rehabilitation of Fire Affected Forests in East Kalimantan,
Indonesia. Appraisal Report for Deutsche Gesellschaft fr Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Eschborn.

P-10

Daftar Pustaka
HART, R. D. (1980): A natural ecosystem analog approach to the design of a
successful crop system for tropical forest environments. Dalam:
Biotropica 12(supplement): Hal. 73-82
HARTMANN, J. (1997): Potentiale des Kleingewerbes zur Bewirtschaftung
tropischer Regenwlder Fallstudien aus Dominika und Guatemala.
GTZ/TB, 1997
HARTSHORN, G. S. (1980): Neotropical forest dynamics. Hal. 23-30.
Dalam: Ewel, J. (Editor) Tropical succession. Biotropica. Suppl. to vol.
12. No. 2. 95 Hal.
HEINDRICHS, T. (1995): Joint Implementation (JI) und seine Relevanz fr
den Umweltbereich; Kurzinformation intern fr GTZ
HEINDRICHS, T. (1996): Entwicklungspolitische Relevanz des Themas
Forstliche Zertifizierung und seine mgliche Einbindung in die
Technische Zusammenarbeit; Diskussionsbeitrag, erstellt fr
TWRP/GTZ
HEINEN, J. T. (1992): Comparison of the leaf litter herpetofauna in
abandoned cacao plantations and primary rain forest in Costa Rica.
Some implications for faunal restoration. Dalam: Biotropica 24. Hal.
431-439
HEINRICH, A.; BLANCKE, R. (1995): Diversidad y Potencial de
Revitalzacin de Bosques Secundarios Tipicos y de Reforestaciones en
Costa Rica. Ecologia de Sistemas Forestales Tropicales / Diversitt
und Revitalisierungspotential tropischer Sekundrwlder und
Aufforstungen in Costa Rica. TB, GTZ, Eschborn.
HOLDRIDGE, L. R. (1967): Life zone ecology. Tropical Science Center. San
Jose
HORTA, K (1991): The last big rush for the green gold. The plundering of
Cameroons rainforests. Dalam: The Ecologist 21(3). Hal.142-147

P-11

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


INSTITUTO NACIONAL DE DESARROLLO PERU (1987): Plan de
manejo y aprovechamiento forestal en el valle Placazu. Document
presented at the Seminario Taller de Cooperacion Amazonica en
Silvicultura y Manejo de Bosques Topicales, Izcozacin, Peru. 3.21.8.1987 (tidak dipublikasikan).
JEPMA, C .J. (1993): Deforestation. A sozio-economic approach. University
of Groningen/IDE Foundation. Groningen
JOHNS; A. D. (1992): Vertebrate responses to selective logging: implication
for the design of logging systems. Dalam: Philosophical Transactions
of the Royal Society of London Hal. 437-442
JONG, W. de (1993): Wise use of forest resources in Kalimantan: a potential
for development. Dalam: Tropbenbos Newsletter 5. Hal. 2-4
JORDAN, C. F. (1985): Nutrient cycling in tropical forest ecosystems. New
York.
JORDAN, C. F. and FARNWORTH, E.G., 1982: Natural vs. plantation
forests: a case study of land reclamation strategies for the humid
tropics. Dalam: Environmental Management 6(6). Hal. 485-492
KAFFKA, C. W. R. M. (1990): De vooruitzichten van duurzame produktie
van tropisch hout in Brazilie. Bureau Landbouwraad Brasilia.
December 1990. 86 S.
KAHN, F. (1982): La reconstitution de la foret tropicale humide, Sud-Quest
de la Cte dIvoire. Dalam: Editions ORSTOMS, Memoires no. 97.
Paris.
KARTAWINATA, K (1994): The use of secondary forest species in
rehabilitation of degraded forest lands. Journal of tropical forest science
7. Kuala Lumpur. Hal. 76-86
KELLMAN, M. C. (1970): Secondary plant succession in tropical montane
Mindanao. Australian National University, Department of
Biogeography and Geomorphology, Publ. BG/2. Canberra
P-12

Daftar Pustaka
KERKHOF, P. (1990): Agroforestry in Africa: a survey of project experience.
London
KOTZUREK, W. (1993): Entwicklung Alternativer Bewirtschaftungsplne
fr einen Gemeindewald in Gorkha (Nepal) aufgrund von
Inventurdaten. Diplomarbeit an der Forstwissenschaftlichen Fakultt.
Universitt Freiburg. 80 Hal.
KREMKAU, K. (1991): Inventur und Nutzungsplanung fr Bauernwlder im
Tropischen Tiefland von Panama. Diplomarbeit an der
Forstwissenschaftlichen Fakultt. Universitt Freiburg. 82 Hal.
LAMPRECHT, H. (1986): Waldbau in den Tropen: Die tropischen
Waldkosysteme und ihre Baumarten- Mglichkeiten und Methoden zu
ihrer nachhaltigen Nutzung; Paul Parey, 318 Hal.
LAMPRECHT, H. (1989): Silviculture in the tropics. Tropical forest
ecosystems and their tree species - possibilities and methods for their
long-term utilization. GTZ. Eschborn 296 Hal.
LANLY, J.P. (1982): Tropical forest resources. FAO Forestry Paper. No. 30.
FAO Rome. 106 Hal.
LANLY, J.P.; M. GILLIS (1980): Provisional results of the FAO/UNEP
tropical forest resources assessment project: Tropical America. Rome
LEONARD, H.J. (1986): Natural resources and economic development in
Central America: a regional environmental profile. International
Institute for Environmental Development, Washington, D.C.
LETTE, H. (1981): Natural regeneration on a deforested area in Bajo Calima,
Colombia. Wageningen. Agricultural University. 73 Hal.
LIEBERMANN, D.; M. LIEBERMANN (1987): Forest tree growth and
dynamics at La Selva, Costa Rica (1969-1982). Dalam: Journal Ecol. 3.
Hal. 347-358.

P-13

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


LOVEJOY, T. E. (1985): Rehabilitation of degraded tropical forest lands.
Occasional Paper 5, IUCN Commission on Ecology. Gland. Oder
Dalam: The Environmentalist, No. 5. Hal. 1-8.
LUGO, A. E (1992): Comparison of tropical tree plantations with secondary
forests of similar age. Dalam: Ecological Monographs 62. Hal. 1-41
LUGO, A. E. (1978): Stress and ecosystems. Dalam: Thorp, J. H.; J. W.
Gibbons, J.W. (Editor): Energy and environmental stress in aquatic
ecosystems. U.S. Department of Energy Symposium Series, CONMF
771114, National Technical Information Services, Hal. 62-101.
Springfield
LUGO, A. E. (1988): The future of the forest: ecosystem rehabilitation in the
tropics. Dalam: Environment 30. Hal. 17-20 dan 41-45
LUGO, A. E.; BROWN, S. (1992): Tropical forests as sinks of atmospheric
carbon. Dalam: Forest Ecology and Management 54. Hal. 239-255.
LUZURIAGA, C. (1997): Costa Rica Evaluation of the Joint
Implementation Program. A study for GTZ.
MARGRAF, J.; MILLAN, P. (199?): "Rainforestation Farming" Ed.: TB/
GTZ
MARTN, C. (1991): The rainforests of West Africa: ecology, threats,
conservation. Basel
MAUSEL, P.; Wu, Y.; Li, Y.; MORAN, E.; BRONDIZIO, E. (1993):
Spectral identification of successional stages following deforestation in
the Amazon. Dalam: Geocaro International 8. Hal. 1-11
MAYDELL, H.-J. v. (1986): Agroforstwirtschaft in den Tropen und
Subtropen. Dalam: BLANCKENBURG v., P.; H.-D. CREMER
(Editor): Handbuch der Landwirtschaft und Ernhrung in den
Entwicklungslndern, Band 3. Stuttgart

P-14

Daftar Pustaka
MAYDELL, H.-J. v. (1987): Agroforestry in the dry zones of Africa: past,
present and future. Dalam: STEPPLER, H.A.; P.K.R. NAIR (Editor):
Agroforestry - a decade of development. Nairobi
MAZZORINO, M.; J. EWEL; C. BERISH; B. BROWN (1980): Efectos de
una sucesion de cultivos en la fertilidad de suelos volcnicos respecto a
la sucesion natural. Dalam: Truuialba 38. Hal. 345-351
MOMBERG, F. (1992): Indigenous Knowledge Systems - Potentials for
Social Forestry Development. Resource Management of Land-Dayaks
in West Kalimantan. Geographisches Institut der Freien Universitt
Berlin. Diplomarbeit.
MORAN, E.F., BRODDIZIO, E.; MAUSEL, P.; WU, Y. (1994): Integration
Amazonian vegetation, land-use, and satellite data. Dalam: BioScience
44. Hal. 329-338
MOSANGO, M. (1991): La foret secondaire agee a Zanthoxylum gilletii de
lll Kongolo, Zaire. Dalam: Belgian Journal of Botany 124. Hal. 152166
MYERS, N. (1988): Tropical forests and their species: going going,?
Dalam: E. O. Wilson (Editor): Biodiversity. Washington. D.C., Hal. 2835
NEPSTAD, D.; C. UHL; E. A. SERRAO (1990): Surmounting barriers to
forest regeneration in abandoned, highly-degraded pastures: a case
study from Pragominas, Para,Brazil. Dalam: Anderson, A. B. (Editor):
Alternatives to deforestation: steps toward sustainable use of the
Amazon rain forest. Hal. 215-29. New York
NEPSTAD, D.; UHL, C.; SERRAO, E. A. (1991): Recuperation of a
degraded Amazonian landscape: Forest recovery and agricultural
restoration. Dalam: Ambio 20, Hal. 248-252
NUDING, M. (1996): Potential der Wildtierbewirtschaftung fr die
Entwicklungszusammenarbeit. TB, P/1, GTZ, Eschborn

P-15

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


NYERGES, A.E. (1989): Coppice swidden fallows in tropical deciduous
forest: biological, technological and sociocultural determinants of
secondary forest successions. Dalam: Human Ecology 17. Hal. 379-400
OEHLSCHLGER, C. (1996): Trockenwaldbewirtschaftung in der
Dominikanischen Republik. Dalam: Forst + Holz Nr. 6, 51. Jahrg. Hal.
169-174
PANAYOTOU, Th. and SUNGSUWAN, S. (1994): An econometric analysis
of the causes of tropical deforestation. The case of Northeast Thailand.
Dalam: Brown, K.; D. W. Pearce (Editor): The causes of tropical
deforestation. The economic and statistical factors giving rise to the
loss of the tropical forests. London
PEARCE, D. et al (1990): Sustainable Development; Economics and
Environment in the Third World; Edward Elgar Publishing Ltd,
England
PEREZ, M. R. (1995): A conceptual framework for CIFORs research on
noon-wood forest products. CIFOR working paper No. 6. Bogor
PETRICEKS, J. (1968): Shifting cultivation in Venezuela. New York,
Syracuse University, College of Forestry. (Dissertation)
POELS, R.L.H. (1987): Soil, water and nutrients in a forest ecosystem in
Suriname. Agricultural University, Wageningen.
POSCHEN, P. (1986): An evaluation of the Acacia albida-based agroforestry
practices in the Hararghe highlands of Eastern Ethiopia. Dalam:
Agroforestry Systems 4, S. 129-143. Dordrecht
POSEY, D.A. (1992): Keepers of forest. Dalam: Garden 6. Hal. 18-24
POSEY, D. (1991): Kayapo Indians: experts in synergy. ILEIA Newsletter.
Dec. 1991. Hal. 3-5.
POSTEL, S. and HEISE, L. (1988): Reforesting the earth. Worldwatch Paper
83. Worldwatch Institute. Washington.

P-16

Daftar Pustaka
PRABHU, B.R.; WEIDELT, H.-J.; LEINERT, S. (1993): Sustainable
Management of Tropical Rainforests: Experiences, Risks, and
Opportunities. An Investigation Based on Four Case Studies. BMZ.
Bonn. 276 Hal.
PRINGLE, S.L. (1976): Tropical moist forests in world demand, supply, and
trade. Dalam: Unasylva 28 (112-113): Hal.106-118
RAINTREE, J.B. (1983): Strategies for enhancing the adoptability of
agroforestry innovations. Dalam: Agroforestry Systems 1, Hal. 173-187
RAINTREE, J.B.; WARNER, K. (1986): Agroforestry pathways for the
intensification of shifting cultivation. Dalam: Agroforestry Systems 4,
Hal. 39-54. Dordrecht
RAMACHANDRAN NAIR, P.K. (1993): An Introduction to Agroforestry.
Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. 499 Hal.
RAMBO, A. T. (1979): Primitive mans impact on genetic resources of the
Malaysian tropical rain forest. Dalam: Malaysian Applied Biology
Journal 8. Hal. 59-65
RAMOS, J. M.; DEL AMO, S. (1992): Enrichment planting in a tropical
secondary forest in Veracruz, Mexico. Dalam: Forest Ecology and
Management 54, Hal. 289-304
RAO, Y. S. (1985): Community Forestry building success through peoples
participation. Dalam: Unasylva 37 (1) 147. Hal. 29-35
RICHARDS, P. W. (1955): The secondary succession in the tropical rain
forest. London 43.
RICHARDS, P. W. (1964): The tropical rain forest. An ecological study. 2nd
edition. Cambridge University Press. 1964. 450 Hal.
RISWAN, S. (1982): Ecological studies on primary, secondary and
experimentally cleared mixed dipterocarp forest and kerangas forests in
East Kalimantan, Indonesia. University of Aberdeen (Dissertation)

P-17

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


RISWAN, S.; KARTAWINATA, K. (1989): A lowland dipterocarp forest 35
years after pepper plantation in East Kalimantan, Indonesia. Dalam:
Soemodihardjo, S. (Editor): Some ecological aspects of tropical forest
of East Kalimantan. A collection of research reports. Indonesian
National MAB Committee. LIPI, Contribution 48, Hal. 1-39
RISWAN, S.; KENWORTHY, J. B.; KARTAWINATA, K. (1985): The
estimation of temporal processes in tropical rain forest: a study of
primary mixed dipterocarp forest in Indonesia. Dalam: Journal of
Tropical Ecology 1. Hal. 171-182
RODENBURG, W.F. (1985): Establishment of model forestry development
units in Indonesia. Project proposal to IUCN, Gland Switzerland
ROSERO, P. (1979): Some data on a secondary forest managed in Siquirres,
Costa Rica. Hal. 209-210 Dalam: DE LAS Salas, G. (Editor):
Workshop: agroforestry systems in Latin America. CATIE, Turrialba,
Costa Rica.
RUTHENBERG, H. (1980): Farming systems in the tropics. 3rd edition.
Oxford. University Press. 424 Hal.
SABHASRI, S. (1978): Effects of forest fallow cultivation on forest
production and soil. Hal. 160-184. Dalam: KUNSTADTER, P.;
CHAPMAN E .C.; SABHASRI S. (Editor): Economic development
and marginal agriculture in northern Thailand. University Press of
Hawaii, Honolulu.
SALATI, E.; MARQUES, J.; MILION; L.C.B. (1978): Origem e distribucao
das chuvas na Amazonia. Dalam: Interciencia 3(4). Hal. 200-206
SALDARRIAGA, J. G. (1987): Recovery following shifting cultivation. A
century of succession in the upper Rio Negro. Hal. 24-33. Dalam:
Jordan, C.F. (Editor): Amazonian rain forests. Ecosystem disturbance
and recovery. Ecological Studies vol. 60. Springer Verlag. New York.
133 Hal.

P-18

Daftar Pustaka
SALDARRIAGA, J.G.; WEST D.C.; THORP M.L.; UHL C. (1988): Longterm chronosequence of forest succession in the upper Rio Negro of
Colombia and Venezuela. Dalam: Journal of Ecology 76. Hal. 938-958
SANCHEZ, P.A. (1976): Properties and management of soils in the tropics.
Wiley, New York.
SANCHEZ, P. A.; VILLACHICA, J. H.; BANDY, D. E. (1983): Soil fertility
dynamics after clearing a tropical rain forest in Peru. Dalam: Soil Sci.
Soc. Am. J., 47. Hal. 1171-1178
SCHINDELE, W. (1989): Investigation of the Steps Needed to Rehabilitate
the Areas of East Kalimantan Seriously Affected by Fire. FR-Report
No. 1, GTZ. 28 Hal.
SCHLNVOIGT, A. (1993): Untersuchungen zur Konkurrenz zwischen
Bumen und annuellen Feldfrchten im humiden tropischen Tiefland
Costa Ricas; Gttinger Beitrge zur Land- und Forstwirtschaft in den
Tropen und Subtropen, Heft 83
SCHLNVOIGT, A., WEIDELT, H.-J.: Studies on competition between
trees and annual food crops in the humid tropical lowland of Costa Rica
(Final Report Project- Nr. 89.2143.9-01.102)
SCOTT, G. A. J. (1987): Shifting cultivation where land is limited. Campa
Indian Agricultura in the Gran Pajonal of Peru. Hal. 34-45. Dalam:
Jordan, C.F. (Editor): Amazonian Rain Forests. Ecosystem Disturbance
and Recovery. Ecological Studies vol. 60. Springer Verlag. New York.
133 Hal.
SEPP, C.; WALTER, S.; WERNER, W. (1996): Grundlagen und Leitfragen
zur Thematik Forstlicher Nichtholzprodukte (FNHP) im Rahmen der
Technischen Zusammenarbeit. GTZ, Eschborn
SHANKARNARAYAN, K. A.; HARSH, L. N.; KATHJU, S. (1989):
Agroforestry in the arid zones of India. Dalam: Nair, P. K. R.(Editor):
Agroforestry systems in the tropics. Dordrecht

P-19

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


SHEPHERD, G. (1992): Managing Africas Tropical Dry Forests. A review
of indigenous methods. ODI Agricultural Occasional Paper 14. 117
Hal.
SILVA, J. N. M. (1989): The Behaviour of the Tropical Rain Forest of the
Brazilian Amazon after Logging. Oxford Forestry Institute. Department
of Plant Sciences. Thesis submitted to Oxford University for the degree
of Doctor of Philosophy. 300 Hal.
SIM, J. W. S.; TAN, H. T. W.; TURNER, I. M. (1992): Adinan dra belukar:
an anthropogenic heath forest in Singapore. Dalam: Vegetatio 102. Hal.
135-137
SINGH, R. (1975): Biomass, nutrient and productivity structure of a stand of
dry deciduous forest of Varanasi. Dalam: Tropical Ecology 16. Hal.
104-109
SIPS, P. (1993): Management of tropical secondary rain forests in Latin
America. Stichting BOS, Wageningen - Netherlands. 45 Hal.
SIPS, P. (1993): Management of tropical secondary rain forests in Latin
America. Todays challenge, tomorrows accomplished fact!? IKC NBLF No. 27. Wageningen
SNEDAKER, S.C. (1980): Successional immobolization of nutrients and
biologically mediated recycling in tropical forests. S. 16-22. Dalam:
Ewel, J. (Editor): Tropical succession. Biotropica. Suppl. to vol. 12.
No. 2. 95 Hal.
SOEMARWOTO, O. (1987): Homegardens: a traditional agroforestry system
with a promising future: Dalam: STEPPLER, H. A.; P. K. R. NAIR
(Editor): Agroforestry - a decade of development. Nairobi
SOMBROEK, W. G.; NACHTERGAELE, F. O.; HEBEL, A. (1993):
Amounts, dynamics and sequestering of carbon in tropical and
subtropical soils. Dalam: Ambio Vol. 22, No 7. Hal. 417-426

P-20

Daftar Pustaka
SOUTHGATE, D.; SIERRA, R.; BROWN, L. (1991): The causes of tropical
deforestation in Ecuador. A Statistical Analysis. Dalam: World
Development 19(9). Hal. 1145-1151
SPIELMANN, O. (1989): Agrargeographie in Stichworten. Untergeri
STROMGAARD, P. (1986): Early secondary succession on abandoned
shifting cultivators plots in the miombo of south central Africa.
Dalam: Biotropica 18. Hal. 97-106
STUTZ DE ORTEGA, L. C. (1989): Aspect floristiques des formations
secondaires en foret tropicale humide. 1. Caractristiques gnrales des
forets secondaires. Dalam: Saussurea 19. Hal. 147-167
SUGDEN , A. M.; TANNER, E. V. J.; KAPOS, V. (1985): Regeneration
following clearing in a Jamaican montane forest: results of a ten-year
study. Dalam: Journal of Tropical Ecology 1. Hal. 329-351
SUN, C. (1995): Tropical deforestation and the economics of timber
concession design. Doctoral Dissertation Proposal. Department of
Agricultural Economics, University of Illinois at Urbana-Champaign.
Urbana
SUTTER, H. (1989): Forest resources and land use in Indonesia. Directorate
General of Forest Utilisation. Ministry of Forestry and FAO, Jakarta.
SWAINE, M. D.; HALL, J. B. (1983): Early succession on cleared forest land
in Ghana. Dalam: Journal of Ecology 71. Hal. 601-627
SWAINE, M. D.; WHITMORE, T. C. (1988): On the definition of ecological
species groups in tropical rain forests. Dalam: Vegetation 75. Hal. 8186
SWIFT, M. J.; RUSSELL-SMITH, A.; PERFECT, T. J. (1981):
Decomposition and mineral-nutrient dynamics of plant litter in a
regenerating bush-fallow in sub-humid tropical Nigeria. Dalam: Journal
of Ecology 69. Hal. 981-995

P-21

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


SYNNOTT, T. J., KEMP, R. H. (1976): Choosing the best silvicultural
system. Dalam: Unasylva 28 (112/113): Hal. 74-79
TAJUDDIN, I. (1986): Integration of animals in rubber plantations. Dalam:
Agroforestry Systems 4, Hal. 55-66. The Hague
TERBORGH, J. (1992): Diversity and the tropical rain forest. New York:
Scientific American Library.
THOMAS, S. C. (1991): Population densities and patterns of habitat use
among anthropoid primates of the Ituri Forest, Zaire. Dalam: Biotropica
23. Hal. 68-83
TOKY, O.P., RAMAKRISHNAN, P.S. (1983): Secondary succession
following slash and burn agriculture in north-eastern India. Biomass,
litterfall and productivity. Dalam: Journal of Ecology 71. Hal. 735-745
TOKY, O.P.; RAMAKRISHNAN, P.S. (1984): Litter decomposition related
to secondary succession and species type under slash and burn
agriculture (jhum) in North-Eastern India. Proceedings Indian National
Science Academy B50(1). Hal. 57TORRES, F. (1983): Role of woody perennials in animal forestry. Dalam:
Agroforestry Systems 1, Hal. 131-163. The Hague
TREXLER, M. (1993): Mitigating Global Warming through Forestry: A
Partial Literature Review. Perpard for GTZ. Trexler and Associates,
Oak Grove, Oregon. Dalam: Anlagen zur Stellungnahme zum
Fragenkatalog fr die nichtffentliche Anhrung der EnquteKommission Schutz der Erdatmosphre am 15. Mrz 1993 zum
Thema Potentiale der Kohlenstoffixierung durch Ausweitung der
Waldflchen als Manahme zur Klimastabilisierung. GTZ. Eschborn.
TURNER, M. G. (1989): Landscape ecology. The effect of pattern on
process. In Ann, Rev. Ecol. Syst. 20. Hal. 171-197
UHL, C (1987): Factors controlling succession following slash-and-burn
agriculture in Amazonia. Journal of Ecology 75. Hal. 377-408
P-22

Daftar Pustaka
UHL, C.; BUSCHBACHER, R.; SERRAO, E. A. S. (1988): Abandoned
pastures in Eastern Amazonia. I. Patterns of plant succession. Journal
of Ecology, No. 76.
UHL, C.; JORDAN, C.F. (1984): Successional and nutrient dynamics
following forest cutting and burning in Amazonia. Dalam: Ecology 65.
Hal. 1476-1490
UHL, C.; NEPSTAD, D.; BUSCHBACHER, R.; CLARK, K.; KAUFFMAN,
B.; SUBLER, S. (1990): Studies of ecosystem response to natural and
anthropogenic disturbances provide guidelines for sustainable land-use
systems in Amazonia. Dalam: Anderson, A. B. (Editor): Alternatives to
deforestation: steps toward sustainable use of Amazon rain forest. New
York. Hal. 24-42
UHL, C.; CLARK, K.; CLARK, H.; MURPHY, P. (1981): Early plant
succession after cutting and burning in the upper Rio Negro region of
the Amazon basin. Dalam: Journal of Ecology 69. Hal. 631-49
UHL, C.; CLARKE, K. (1983): Seed ecology of selected Amazon Basin
successional species emphasising forest seed banks, seed longevity and
seed germination triggers. Dalam: Botanical Gazette 144. Hal. 419-425
UNESCO (1978): Tropical forest ecosystems. A state-of-knowledge report
prepared by Unesco/UNEP/FAO. Paris. Unesco-UNEP. 683 Hal.
Natural resources research XIV.
VAN DEN BELT, R. J. (1990): Agroforestry in the semiarid tropics. Dalam:
MACDICKEN, K. G.; N. T. VERAGA (Editor): Agroforestry:
Classification and management. New York, Chichester, Brisbane,
Toronto, Singapore
VAN RHIJN (1928): Rapport over de maatregelen te nemen in het
brongebied der Palaka en Patirorivier (Report on the measures to be
taken in the catchment area of the Palaka and Patiro rivers, South
Sulawesi). Dalam: GOOR, C. P.; KARASUBRATA, J. (Editor):
Indonesian Forestry Abstracts; Butch Literature Until About 1960

P-23

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


VITOUSEK, P.M. (1984): Litterfall, nutrient cycling and nutrient limitation
in tropical forests. Dalam: Ecology 65. Hal. 285-298
VITOUSEK, P. M.; REINERS, W. A. (1975): Ecosystem succession and
nutrient retention. A hypothesis. Dalam: BioScience 25. Hal. 376-381
WADSWORTH, F. H. (1984): Secondary forest management and plantation
forestry technologies to improve the use of converted tropical lands.
U.S. Congress, Office of Technology Assessment, Washington, D.C.
Manuscript commissioned for OTA.F.214. 82 Hal.
WADSWORTH, F. H. (1987): A time for Secondary Forestry in Tropical
America. Hal. 189-197. Dalam: Figueroa, J.C., Wadsworth, F. H.;
Branham, S. (Editor). Management of the Forests of Tropical America:
Prospects and Technologies. Institute of Tropical Forestry. U.S.D.A.
Forest Service and University of Puerto Rico. Ro Piedras, Puerto Rico.
WALTER, S. (1996): Mglichkeiten und Grenzen der Nutzung von NichtHolz Waldprodukten in Madagaskar, dargestellt am Beispiel des
Naturreservates Zahamena. Geographisches Institut der Universitt
Gieen (Diplomarbeit)
WATSON, R. T.; ZINYOWERA, M. C.; MOSS, R. H.; DOKKEN, D. J.
(1995): Impacts, adaptions and mitigation of climate change: Scientific
- technical analyses. Hal. 775-797. Cambridge
WEAVER, P. L. (1983): Tree growth and stand changes in the sutropical life
zones of the Luquillo Mountains of Puerto Rico. Southern Forest
Experiment Station. LA., USA. USDA Forest Service Research Paper
SO-190. 24 Hal.
WEAVER, P. L. (1990): Succession in the elfin woodland of the Luquillo
Mountains of Puerto Rico. Dalam: Biotropica 22. Hal. 83-89
WEAVER, P. L.; BIRDSEY, R. A.; LUGO, A. E. (1987): Soil organic matter
in secondary forests of Puerto Rico. Dalam: Biotropica 19. Hal. 17-23

P-24

Daftar Pustaka
WEAVER, P. L.; POOL, D. J. (1979): Correlation of crown features to
growth rates in natural forest of Puerto Rico. Dalam: Turrialba 29. Hal.
53-58
WEAVER, P. L.; BIRDSEY, R. A. (1986): Tree succession and management
opportunities in coffee shade stands. Dalam: Turriabla 36. Hal. 7-58.
WEAVER, P. L.; BIRDSEY, R. A. (1986): Growth of secondary forests in
Puerto Rico between 1980 and 1985. Dalam: Turrialba 40. Hal. 12-22
WHITEMORE, T. C. (1984): Tropical rain forests of the far east (2nd
edn.).Oxford
WILKIE, D. S; FINN, J. T. (1990): Slash-burn cultivation and mammal
abundance in the Ituri Forest, Zaire. Dalam: Biotropica 22. Hal. 90-99
WILTSCHUT, H. H. (): Geowissenschaftliche Untersuchungen an einem
tropischen Sekundrwald-kosystem mit Agrarnutzung im
Zentralkamerun. Zusammenfassung und geokologische Bewertung
unter Bercksichtigung kulturgeographischer Belange. Tbingen.
WORD BANK (1991): Forest Policy Paper. Washington
WORLD RESOURCES INSTITUTE (1994): World resource 1994-95. New
York, Oxford
WWF (1989): Tropical Forest Conservation. WWF International Position
Paper, No. 3, 32 Hal.
ZAPATA, T. R.; ARROYO, M. T. K. (1978): Plant reproductive ecology of a
secondary deciduous forst in Venezuela. Dalam: Biotropica 10. Hal.
221-230
ZWETSLOOT, H. (1981): Forest succession on a deforested area in
Suriname. Dalam: Turrialba 31, No. 4, Hal. 369-379

P-25

Lampiran

Lampiran

LAMPIRAN
I

DEFINISI-DEFINISI HUTAN SEKUNDER ......................................... L-3

II

STUDI KASUS MENGENAI PEMANFAATAN HUTAN-HUTAN


SEKUNDER DEWASA INI .............................................................. L-7

III STUDI KASUS: HUTAN-HUTAN SEKUNDER DI KOSTA RIKA........ L-17


IV PENGKLASIFIKASIAN HUTAN-HUTAN SEKUNDER ....................... L-49
IV.1 Klasifikasi berdasarkan penyebab ......................................................... L-49
IV.2 Klasifikasi berdasarkan kriteria tertentu.............................................. L-49

PROSES -PROSES EKOLOGI DALAM PENGEMBANGAN HUTAN


SEKUNDER ................................................................................ L-51
V.1 Tahap-tahap perkembangan suksesi sekunder ...................................... L-53
V.2 Perbandingan ekonomi dan ekologi pada berbagai fase suksesi......... L-57

VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN


HUTAN-HUTAN SEKUNDER ........................................................ L-59
VI.1 Faktor-faktor ekologi............................................................................. L-59
VI.1.1 Kondisi-kondisi tapak ............................................................ L-59
VI.1.2 Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi ............ L-61
VI.2 Pengaruh manusia................................................................................... L-62
VI.2.1 Pemanfaatan kayu .................................................................. L-62
VI.2.2 Pertanian.................................................................................. L-66
VI.2.3 Peternakan/penggembalaan di padang rumput ................ L-68

L-1

Lampiran / Definisi-definisi Hutan Sekunder

Definisi-definisi Hutan Sekunder

BROWN & LUGO


(1990)

Hutan-hutan sekunder terbentuk sebagai suatu


konsekwensi dari dampak manusia terhadap
kawasan-kawasan hutan
Hutan-hutan yang terbentuk sebagai suatu
konsekwensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah
adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang
ditebang-habis, tidak termasuk disini. Dalam konteks
ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu
komponen penting dari perladangan berpindah.
(HOUGHTON et al., 1992, menyatakan bahwa 85% (=
365 juta ha) dari seluruh lahan yang digunakan untuk
perladangan berpindah akan berkembang kembali
menjadi hutan apabila lahan-lahan tersebut
dibiarkan/ditinggalkan). Terminologi hutan-hutan
sekunder harus dicadangkan/digunakan untuk
menggambarkan hutan-hutan yang berumur kurang
dari 60-80 tahun, karena setelah itu mereka sangat
sulit dibedakan dengan hutan-hutan primer.
Bentuk-bentuk pemanfaatan pertanian yang
mendahului pembentukan hutan-hutan sekunder
sangat bervariasi, mulai dari perladangan berpindah
skala kecil (kurang dari 1 ha) ke skala besar (tebang
dan bakar) dengan fase budidaya yang berlangsung
selama 1 sampai lebih dari 3 tahun, sampai kepada
pemanfaatan lahan secara permanen sebagai padang
rumput atau perkebunan-perkebunan gula dan kopi.
Pemanfaatan secara kontinyu sebagai tempat
penggembalaan atau sebagai sumber kayu bakar, dan
pembakaran berulang-ulang (khususnya di hutanhutan terbuka yang lebih kering), seperti juga halnya
pembalakan hutan mengakibatkan terbentuknya
hutan-hutan sekunder.

L-3

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

CATTERSON (1994)

Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang


mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak
akibat sebab-sebab alami atau manusia, dan yang
suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli
disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentukbentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk:
lahan kosong / padang-padang rumput buatan / arealareal bekas-tebangan baru / areal-areal bekastebangan yang lebih tua.

CORLETT (1994)

Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah


terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang
kontinyu, ketergantungan dari luar dalam
pembentukan hutan kembalit, dan kenyataan bahwa
ciri-ciri ini dapat dikenali pada struktur dan/atau
komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian hutan-hutan
sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah
bagaimana menarik garis batas didalam suatu
selang/skala.

PARLEMEN
JERMAN (1990)

Hutan-hutan sekunder mencakup semua tahapan


suksesi yang terjadi pada areal-areal yang kosong
akibat sebab-sebab alami atau kegiatan manusia.

FAO (1993)

Setelah adanya perubahan dari bentuk pemanfaatan


lahan yang terkait dengan pengurangan penutupan
pohon dibawah 10% (penggundulan hutan), hutan
sekunder akan terbentuk apabila areal tersebut
ditinggalkan tanpa gangguan.

FINEGAN (1992)

...didefinisikan sebagai vegetasi berkayu yang


berkembang/tumbuh diatas lahan yang ditinggalkan
sebelumnya setelah vegetasi aslinya dirusak akibat
kegiatan manusia.

GREIGH -SMITH
(1952)

Pertumbuhan kembali setelah tebang-habis.

L-4

Lampiran / Definisi-definisi Hutan Sekunder

HUSS (1996)

Setelah hutan-hutan alam atau sisa-sisa hutan alam


terdegradasi akibat kegiatan tebang pilih atau
pembalakan kayu yang tak terkontrol, hutan-hutan
sekunder berkembang dari benih pohon-pohon
pionir, coppice dari sisa-sisa (tunggul) pohon, atau
melalui regenerasi jenis-jenis pohon klimaks, selama
proses tersebut tidak diganggu. Karena itu hutanhutan yang terdegradasi dan hutan-hutan sekunder
tidak dapat dibedakan secara jelas.
Hutan-hutan sekunder seringkali membentuk mosaikmosaik kecil dari komunitas hutan serta fase-fase
degradasi dan regenerasi yang sulit dipilah-pilah.

KAFFKA (1990)

Hutan-hutan bekas tebangan yang kemudian


dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat
berkembang menjadi hutan sekunder.

LAMPRECHT (1986)

Terminologi hutan sekunder mencakup semua


tahapan suksesi, mulai dari hutan pada tahap awal
yang berkembang diatas lahan-lahan kosong akibat
sebab-sebab alami atau manusia, sampai kepada
tahap hutan klimaks.

LANLY (1982)

Hutan-hutan sekunder yang berusia lebih dari 60-80


tahun diklasifikasikan sebagai hutan-hutan yang
belum terjamah atau hutan-hutan primer. Hutan-hutan
sekunder atau hutan bera adalah sebuah mosaik dari
areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian,
hutan-hutan yang belum terjamah dan hutan-hutan
dengan umur yang berbeda-beda, yang terdiri dari
komposisi vegetasi yang berkembang/tumbuh setelah
adanya tebang-habis dari formasi-formasi hutan
tertutup atau terbuka.

L-5

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

SIPS et al. (1993)

...bentuk dari hutan hujan tropik yang berada pada


tahapan rekonstruksi yang suksesif setelah terjadinya
penggundulan total akibat gangguan-gangguan alam
dan/atau manusia, dan dimana intensitas, ukuran, dan
lamanya gangguan yang terjadi meminimalkan bahwa
pengaruh dari vegetasi disekelilingnya terhadap
proses regenerasi. (...regenerasi secara autogen
oleh vegetasi hutan disekelilingnya diminimalkan).

UNESCO (1978)

Vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana


sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang
akibat gangguan-gangguan alam atau manusia.

WEAVER and
BIRDSEY (1986)

Hutan-hutan yang merupakan hasil dari lahan


pertanian atau penggembalaan/peternakan yang
ditinggalkan, dan hutan-hutan yang merupakan hasil
regenerasi dari kawasan hutan yang sebelumnya
ditebang-habis atau terganggu.

WWF (1988)

Hutan-hutan yang diperbaharui secara substansial


akibat intervensi manusia.

L-6

Lampiran / Studi Kasus

II

Studi Kasus Mengenai Pemanfaatan Hutan-hutan


Sekunder Dewasa Ini

Dalam survai yang dilakukan di awal tahun 1997, para staf proyek-proyek
kerjasama pembangunan diberikan kwesioner (pertanyaan) mengenai arti dari
hutan sekunder pada dewasa ini. * Jawaban-jawaban kwesioner tersebut
diterima dari 31 proyek (8 buah di wilayah Asia/Pasifik, 10 buah di Afrika, dan
13 buah di Amerika Latin). Sebanyak 70% dari para responden menunjukkan
minat yang besar atas masalah ini; dan 60% menganggap relevansi hutan
sekunder yang sangat tinggi dalam kebijakan pembangunan.
Dalam hal ini, kegiatan-kegiatan tebang-bakar (perladangan) dan kegiatan
pembalakan hutan diidentifikasikan sebagai sebab-sebab utama dari
pembentukan hutan sekunder adalah. Sekitar setengah dari para responden
(54%) mengatakan adanya peningkatan, sedangkan sisanya (46%) pengurangan
luas wilayah hutan sekunder. Terjadinya pengurangan luas wilayah hutan
sekunder tersebut terutama disebabkan oleh kegiatan perladangan berpindah.
Fungsi paling utama dari hutan-hutan sekunder dewasa ini adalah untuk
menyediakan kayu bakar, dan kemudian produk-produk kayu dan non-kayu
lainnya. Menurut para responden, produk-produk ini bersama-sama dengan

Tanggapan-tanggapan yang ada, betapapun, tidak didasari oleh definisi hutan sekunder yang
digunakan secara konsisten. Definisi hutan sekunder yang diberikan dalam survai ini adalah
sama dengan yang digunakan pada penulisan ini. Namun, definisi tersebut juga merupakan
bagian dari survai (kwesioner) yang diajukan untuk didiskusikan. Beberapa responden
mengusulkan definisi-definsi baru (yang telah mengalami perubahan), berdasarkan mana
mereka memberikan jawaban terhadap kwesioner yang disebarkan.

L-7

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

berbagai macam fungsi perlindungan hutan juga mempunyai potensi


pemanfaatan yang terbesar.
Intensitas pemanfaatan hutan-hutan sekunder sangat beragam di wilayahwilayah sebagaimana disebut di atas. Di Afrika, terdapat kecenderungan untuk
memanfaatkan hutan-hutan sekunder secara berlebihan, sebagaimana yang telah
terjadi sejauh ini di Amerika Latin dan Asia. Berdasarkan jawaban para
responden, tidak dijumpai adanya bentuk pemanfaatan hutan sekunder yang
berkesinambungan/lestari. Hambatan-hambatan disini adalah faktor-faktor
sosial, ekonomi dan/atau teknis.
Studi-studi kasus dari Afrika (Sao Tom), Amerika Latin (Kosta Rika) dan
Asia (Indonesia, Cina) yang berkaitan dengan hutan sekunder akan dipaparkan
pada penyajian selanjutnya. Studi-studi ini bermaksud memberikan informasi
kepada para pembaca mengenai perbedaan latar belakang pembentukan hutanhutan sekunder, karakter biologisnya, dan situasi yang berkaitan dengan
pemanfaatan hutan-hutan tersebut.

L-8

Lampiran / Studi Kasus

Studi Kasus No. 1: Sao Tom


1. Lokasi
1.1 Wilayah
1.2 Iklim
2. Sejarah
Pembentukan
3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah

3.2 Daerah penelitian

4. Pemanfaatan saat
ini
5. Kondisi pembatas

Sao Tom, Afrika Barat


Sao Tom sebelah Utara
Iklim basah (curah hujan 2000 mm/tahun)
Terbentuk mulai tahun 1975 diatas lahan bekas
perkebunan kopi dan coklat yang ditinggalkan
(ditinggalkan karena rentabilitasnya menurun).
90% wilayah Sao Tom ditutupi oleh hutan,
termasuk 30% hutan sekunder, 32% shade forest
dan 29% hutan primer (shade forest: = tanaman
pohon/tegakan pohon yang menaungani tanamantanaman kopi dan coklat).
Seluas 190 ha, terdiri dari 130 ha hutan primer dan
dua buah hutan sekunder masing-masing seluas 30
ha (berumur 20 dan 25 tahun); jarak antara hutan
primer dan hutan sekunder kurang dari 500 m.
Tidak ada keterangan lebih rinci.
Tidak ada keterangan lebih rinci.

L-9

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

6. Karakteristikkrakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder

7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan
8. Pustaka

L-10

Dibandingkan dengan hutan-hutan primer, hutanhutan sekunder memiliki :


- keanekaragaman jenis pohon dengan dbh >10
cm lebih sedikit,
- penyebaran jenis-jenis pohon yang tidak merata,
- komposisi jenis yang berbeda,
- proporsi jenis-jenis pohon komersil yang lebih
rendah pada tingkat permudaan.
Terdapat perbedaan kecil dalam hal jumlah batang
pohon dan areal basal keseluruhan karena adanya
tegakan tua Erythrina sp. (bekas pohon penaung
kopi) dan Cinchona sp. (yang kulit kayunya dulu
dimanfaatkan). Tanpa memperhitungkan pohonpohon penaung tersebut yang memperlambat
kecepatan suksesi hutan secara keseluruhan, seluruh
areal basal hutan sekunder tersebut memiliki luas
sebesar 27-36% dari luas di hutan-hutan primer.
Lingkungan yang berada dekat dengan hutan-hutan
primer, pada kasus ini, kelihatan tidak memiliki
pengaruh yang berarti dalam perkembangan tegakan
sekunder.
Pertumbuhan pohon-pohon komersil (jenis-jenis
yang tahan naungan, jenis-jenis pionir berumur
panjang) harus dirangsang. Dosis pencahayaan sinar
matahari harus diatur secara hati-hati, sebab terlalu
banyaknya sinar dapat meningkatkan pertumbuhan
jenis-jenis perintis yang bernilai komersil rendah.
GEISER, B. (1996): Strukturanalyse einer Sektion
Primaer- und Sekundaerwald der montanen Stufe
auf Sao Tom.

Lampiran / Studi Kasus

Studi Kasus No. 2: Kosta Rika


1. Lokasi
1.1 Wilayah

Kosta Rika, Amerika Tengah

1.2 Iklim

Iklim basah; curah hujan > 3000 mm/tahun;


temperatur rata-rata per tahunan: 22-27 C
Terbentuk diatas padang rumput dan lahan pertanian
yang ditinggalkan. (penelitian FEDLMEIER, 1996,
dibatasi pada hutan-hutan sekunder diatas bekas
padang penggembalaan).

2. Sejarah
pembentukan

Huerta Norte, Kosta Rika sebelah timur laut

3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah

28 % wilayah Kosta Rika ditutupi oleh hutan, dimana


70% diklasifikasikan sebagai daerah yang dilindungi,
9% adalah hutan sekunder, dan 3-4% adalah hutan
primer yang dimanfaatkan secara komersil.
3.2 Daerah penelitian Dua buah hutan sekunder (masing-masing 4 petak
seluas 500 m >5 cm BHD dan 4 petak seluas 100 m2
<5 cm dbh); usia: 12 dan 18 tahun.
4. Pemanfaatan saat ini Hutan-hutan sekunder digunakan sebagai hutan bera
dan untuk mengumpulkan produk-produk non kayu
(tanaman obat-obatan, madu, tanaman hiasan, liana),
kayu pertukangan dan kayu bakar. Fungsi-fungsi
ekologi yang terpenting adalah untuk pemeliharaan
dan perbaikan kualitas tanah dan air, serta fungsi
penyediaan jalan lintasan bagi binatang-binatang.
Namun demikian, secara keseluruhan hutan-hutan
sekunder di Kosta Rika dianggap kurang penting.
Hutan-hutan sekunder diperlakukan sebagaimana
5. Kondisi pembatas
halnya hutan primer dan diatur oleh undang-undang
kehutanan nasional. Namun demikian, hutan-hutan
tersebut sering tidak diklasifikasikan sebagai hutan,
tetapi lebih diartikan sebagai semak belukar atau lahan
pertanian yang ditinggalkan, yang karenanya
mengurangi status perlindungannya.

L-11

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder

7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan

8. Pustaka

L-12

Dibandingkan dengan hutan-hutan primer, hutanhutan sekunder memiliki:


- nilai areal basal yang sama,
- 40-50 % penurunan pertumbuhan biomas pada
tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi (hanya
dapat dilampaui oleh hutan-hutan tanaman),
- komposisi jenis pohon yang berbeda akibat
faktor-faktor proses suksesi, sumber-sumber
bibit, topografi dan kualitas tanah,
- banyaknya jenis pohon yang kadang-kadang
bahkan melebihi hutan-hutan primer..
Penggembalaan ternak telah mengakibatkan terjadinya
pemadatan tanah. Struktur tanah pada sebuah hutan
sekunder yang berumur 12 tahun hampir pulih seperti
sediakala.
Terjadi suksesi dari jenis-jenis pionir ke jenis-jenis
pohon berumur panjang yang tidak tahan dinaungi
dan selanjutnya digantikan oleh jenis pohon yang
lebih tahan terhadap naungan. Proporsi jenis-jenis
kayu komersil bertambah selama proses suksesi.
- Jenis-jenis pohon komersil dengan dbh < 30 cm:
kira-kira sebanyak 30% dari jumlah keseluruhan.
- Jenis-jenis pohon komersil dengan dbh > 30 cm:
kira-kira sebanyak. 2% dari jumlah keseluruhan.
Upaya-upaya harus diciptakan untuk
mempertahankan sumber-sumber pembibitan.
Pentingnya hutan sekunder harus ditonjolkan melalui
kampanye-kampanye pendidikan, saran ahli, promosi
dan pelaksanaan seminar-seminar ilmiah yang
ditujukan pada kelompok-kelompok sasaran yang
beragam.
Kenyataan bahwa hutan-hutan sekunder sering hanya
meliputi wilayah yang kecil menimbulkan masalah
bagi pengelolaannya yang menguntungkan.
FEDLMEIER, C. (1996): Sekundaerwaldentwicklung
auf aufgegebenen Weideflaechen im Norden Costa
Ricas; LINKE, J: pernyataan tertulis pada tanggal 12
Februari, 1997.

Lampiran / Studi Kasus

Studi Kasus No. 3: Indonesia


1. Lokasi
1.1 Wilayah
1.2 Iklim
2. Pengembangan

3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah
3.2 Daerah penelitan

Indonesia, Kalimantan (Asia Tenggara)


Mahakam, Kalimantan timur
Tidak ada keterangan lebih rinci
Pemanfaatan yang berturut-turut dari hutan-hutan
primer dan sekunder dilakukan melalui
a) Pemanfaatan kayu: melalui pembukaan tajuk dan
meningkatnya pertumbuhan semak belukar, kegiatan
ini menyebabkan terbentuknya hutan sekunder
yanglebih rendah daya tahannya terhadap api apabila
dibandingkan dengan hutan-hutan primer.
b) Perladangan berpindah: pembangunan jalan dan
proyek transmigrasi menyebabkan meningkatnya
kegiatan perladangan berpindah. Selama musim
kemarau di tahun 1982/83 terjadi kebakaran hutan di
daerah seluas 3,2 juta ha. Tampaknya penyebabnya
adalah kegiatan-kegiatan dari para petani
perladangan/pertanian berpindah.
Sebesar 83% dari wilayah Kalimantan Timur
ditutupi oleh hutan.
Daerah seluas 2,7 3,2 juta ha yang musnah akibat
kebakaran hutan.

L-13

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

4. Pemanfaatan saat
ini

5. Kondisi pembatas

L-14

Berkembangnya hutan-hutan sekunder setelah


kebakaran mempunyai berbagai konsekuensi
terhadap fungsi-fungsi ekonomi dan perlindungan
(hutan):
- menurunnya tingkat kesuburan tanah;
- meningkatnya erosi tanah;
- menurunnya kapasitas infiltrasi air;
- menurunnya hasil-hasil panen yang disebabkan
oleh serangan/gangguan binatang (burungburung, babi hutan, dan monyet), yang tidak
mendapatkan makanannya lagi dalam jumlah
yang cukup di hutan-hutan sekunder;
- membaiknya kondisi-kondisi untuk kegiatan
perburuan pada tahun-tahun pertama setelah
kebakaran hutan;
- berkurangnya kemungkinan-kemungkinan
pengambilan produk-produk non-kayu
(misalnya: rotan, damar);
- berkurangnya pemanfaatan jenis-jenis pohon
komersil; Kegiatan pemanfaatan kayu dipusatkan
pada daerah-daerah yang tidak atau mengalami
kerusakan ringan akibat kebakaran hutan;
- jumlah total kerugian ekonomi akibat kebakaran
hutan pada tahun 1982/83 diperkirakan sebesar
8,7 milyar US$.
Selain itu, sebagian besar dari areal-areal hutan
sekunder dikonversikan menjadi lahan perkebunan
dan pertanian.
Hutan dimiliki oleh negara. Penerapan sistem
klasifikasi hutan berdasarkan fungsinya (hutan
lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas)
pada tingkat propinsi memberikan kerangka aturan
untuk pemanfaatan lahan.

Lampiran / Studi Kasus

6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder

7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan

8. Pustaka

Seluruh tahapan suksesi dan tingkat kerusakan (dari


yang ringan sampai yang berat) terdapat di hutanhutan sekunder.
Sebagai akibat dari kebakaran hutan, komposisi
jenis-jenis pohon berubah menjadi jenis hutan
sekunder Euphorbiaceae. Hutan sekunder ini hanya
terdiri dari satu strata dengan hanya sedikit jenisjenis pohon komersil.
Waktu suksesi yang dibutuhkan hutan ini untuk
mencapai tingkat klimaks diperkirakan memakan
waktu 30-500 tahun. Terjadinya lagi kebakaran hutan
secara berulang-ulang akan mengakibatkan
terbentuknya padang rumput Imperata cylindrica
(alang alang) dan menghalangi suksesi dari hutan
sekunder.
Diusulkan untuk merehabilitasi hutan-hutan dengan
cara:
- membangun hutan-hutan tanaman dari tegakan
hutan sekunder yang rusak berat diatas lahanlahan yang subur;
- melakukan penanaman pengayaan di hutan-hutan
sekunder yang mengalami kerusakan ringan;
- permudaan alami di tapak-tapak lainnya.
Tindakan-tindakan pencegahan kebakaran hutan
yang baru harus lebih jauh lagi diwujudkan.
SCHINDELE, W. (1989): Investigation of the steps
needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan
seriously affected by fire (FR-Report No. 1).

L-15

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Studi Kasus No. 4: Cina


1. Lokasi
1.1 Wilayah
1.2 Iklim
2. Sejarah
Pembentukan
3. Penyebaran
3.1 Kondisi daerah

3.2 Daerah penelitian


4. Pemanfaatan saat
ini

5. Kondisi pembatas

Cina
Propinsi Heilonjiang, Distrik Kehutanan
Daxinganling
Iklim sedang; temperatur rata-rata per tahun berkisar
2 to 4 C, hutan konifer boreal
Kebakaran hutan (1987), dimana 1 juta ha hutan
alami mengalami kerusakan dan 430.000 ha musnah
total.
13% dari luas seluruh wilayah Cina ditutupi oleh
hutan-hutan. Distrik kehutanan Daxinganling
mempunyai proporsi hutan sebesar 71 % dan
karena itu merupakan distrik dengan kawasan hutan
terluas di Republik Rakyat Cina.
Daerah seluas 1 juta ha.
Sebesar 70 % dari penduduk yang bekerja di distrik
kehutanan tersebut bekerja secara langsung dan/atau
tidak langsung untuk instansi/dinas kehutanan.
Selain itu, produk-produk kayu bakar dan non-kayu
(jamur-jamuran dan buah-buahan jenis berry) juga
dihasilkan dari sini.
Tidak ada keterangan lebih rinci.

6. Karakteristikkarakteristik biologis
dan ekologis hutan
sekunder

Tidak ada keterangan lebih rinci.

7. Kemungkinankemungkinan
pengelolaan dan
tindakan-tindakan
yang disarankan

Areal seluas 300.000 ha sedang dihutankan kembali


secara buatan (direboisasi), dan diatas areal seluas
110.000 ha sedang dikembangkan permudaan alami.

8. Pustaka

Proposal untuk proyek GTZ Rehabilitasi Arealareal Kebakaran Hutan, Republik Rakyat Cina; PN
91.2163.3

L-16

Lampiran / Studi Kasus

III Studi Kasus:1 Hutan-hutan sekunder di Kosta Rika


Penulis: Dr. Eva Mller/ Ing. Manuel Sols
Proyek COSEFORMA GTZ

Pendahuluan

Kosta Rika adalah sebuah negara kecil di Amerika Tengah dengan wilayah
seluas 51.000 km dengan jumlah penduduk sebanyak 3,2 juta jiwa. Negeri ini
memiliki karakteristik yang terdiri dari berbagai macam bentuk bentang lahan
dan ekosistem, yang sebagian besar berhasil dipelihara dengan cara
memperluas sistem/jaringan Taman Nasional dan kawasan hutan lindung. Saat
ini sistem/jaringan tersebut mencakup 25% dari luas negara tersebut.
Lahan-lahan di luar Taman Nasional kebanyakan dimiliki secara pribadi.
Sepanjang 50 tahun terakhir, terjadi penggundulan hutan yang sangat berat di
lahan-lahan tersebut. Hutan-hutan primer ditebang-habis untuk memperoleh
lahan-lahan bagi kegiatan pertanian. Dewasa ini, hutan primer produktif yang
masih ada di Kosta Rika tinggal seluas 200.000 hektar.
Walaupun demikian, menurut data yang dipublikasikan pada tahun 1991 Kosta
Rika memiliki lebih dari 400.000 hektar hutan-hutan sekunder, yang
berkembang diatas lahan-lahan pertanian yang ditinggalkan. Dengan demikian,
saat ini hutan sekunder merupakan sumberdaya kehutanan terbesar bagi negara
tersebut.

Dipersiapkan untuk International Workshop on the Current State and Management Potential
of Secondary Forests in Tropical America yang diseleggarakan pada tanggal 26 Juni, 1997
di Pucallpa, Per.

L-17

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan hutan sekunder di Kosta Rika. Sebagai
tambahan, studi ini mengetengahkan beberapa hasil yang dicapai oleh proyek
COSEFORMA dalam usahanya untuk memajukan hutan-hutan sekunder
sebagai alternatif baru bagi produksi hasil hutan.

Aspek-aspek kebijakan dan kelembagaan dalam


hubungannya dengan hutan-hutan sekunder

Berbagai kebijakan pemerintah yang memainkan peranan penting dalam


pengembangan hutan sekunder adalah:

kebijakan pemukiman,

kebijakan peternakan,

kebijakan kehutanan,

kebijakan dalam sektor pisang.

2.1

Kebijakan pemukiman

Kebijakan pemukiman di Kosta Rika pada permulaan Abad 20 dan pemberian


hak-hak kepemilikan lahan oleh pemerintah telah merangsang perusakan
kawasan-kawasan hutan. Sebagai kriteria dalam pemberian hak kepemilikan
atas lahan, para pemilik harus melakukan perbaikan-perbaikan tertentu atas
lahan tersebut, yang meliputi pembukaan hutan dan konversinya kedalam
bentuk penggunaan yang lain, yaitu kebanyakan menjadi padang
penggembalaan (rumput). Sebagai hasil dari berbagai kebijakan pemukiman
antara tahun 1950 dan 1973, lahan seluas 2,2 juta ha.tanah yang berada
dibawah penguasaan negara beralih kepemilikannya menjadi milik pribadi,
L-18

Lampiran / Studi Kasus

dimana 70% dari lahan tersebut digunakan untuk kegiatan pertanian.


Institut Pengembangan Pertanian (IDA) yang bertanggung jawab atas
pendistribusian lahan telah membeli lahan-lahan yang luas, yang kemudian
membagi-baginya kedalam petak-petak yang kecil. Para petani yang menerima
lahan-lahan yang ditumbuhi hutan memiliki hak untuk menebangnya untuk
kemudian digunakan sebagai lahan pertanian atau padang penggembalaan
(peternakan).
Pada kasus lahan-lahan peternakan yang tidak didaftarkan secara resmi dan
sebagian berupa lahan-lahan kosong yang tidak dimanfaatkan dan ditumbuhi
semak belukar (Charrales 2), para pemilik memiliki resiko kehilangan
kepemilikan lahannya.

2.2

Kebijakan peternakan

Pengembangan peternakan di Kosta Rika dapat dibagi ke dalam dua tahap


yang akan diuraikan melalui kedua tabel berikut di bawah ini.

Charral = tahap awal/pertama suksesi hutan sekunder; Tacotal = tahap kedua suksesi.

L-19

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Tahap 1: Kebijakan pengembangan peternakan (1954-1978)


(Sumber: Ortz Valverde, 1996)
Kebijakan peternakan

Hasil-hasil

Pemberian kredit yang

Konversi kawasan hutan yang luas

menguntungkan dengan rata-rata


sebesar 22% dari kredit dalam
sektor pertanian. Mencapai
puncaknya mendekati 60%;
Rata-rata suku bunga per tahun

berkisar antara 8 dan 12%;


Meningkatnya konsumsi daging di

Amerika Serikat;
Meningkatnya nilai ekspor daging

dari sebesar 4,6% di tahun 1950


menjadi sebesar 10,3% pada tahun
1984. Lebih dari 95% ekspor daging
ditujukan ke Amerika Serikat;
Harga daging yang stabil di pasar,

yaitu sebesar US$ 2,6 / kg.

L-20

menjadi padang rumput: meningkat


dari seluas 600.000 ha. Pada tahun
1954 menjadi seluas 1,7 juta ha.
Pada tahun 1974.
Pembukaan/penebangan hutan

seluas 847.000 hektar, dimana


sebanyak 57% dari areal tersebut
kemudian menjadi padang-padang
rumput.

Lampiran / Studi Kasus

Tahap 2: Krisis produksi daging (1979 1994)


(Sumber: Ortz Valverde, 1996)
Kebijakan peternakan

Hasil-hasil

Penurunan persentase pemberian


kredit pertanian untuk sektor
peternakan dari 34.3% pada tahun
1983 menjadi sebesar 7% pada
tahun 1994.

Penurunan harga daging di pasaran

Kenaikan tingkat suku bunga dari

7,8% pada tahun 1980 menjadi


16,4% pada tahun 1990.

internasional sebesar 15% selama


1986 dan 1994. Berkurangnya
jumlah peternakan.
Berkurangnya luas padang-padang

rumput dari 2,4 juta ha. Pada tahun


1984 menjadi tinggal 2,0 juta ha
pada tahun 1994.

Turunnya permintaan akan daging di Bertambah luasnya kawasan hutan

Amerika Serikat sebesar 7,5% per


tahun.
Penurunan ekspor daging ke

sekunder dari sekitar 230.000 hektar


pada tahun 1984 menjadi 425.000
hektar pada tahun 1994.

Amerika Serikat sebesar 13%.

Tingkat perkembangan/pertumbuhan dari 425.000 ha. Juta hutan sekunder yang


ada tidak diketahui. Mengingat bahwa padang-padang rumput baru ditinggalkan
pada tahun-tahun terakhir ini, maka sangat tinggi kemungkinannya bahwa
kebanyakan dari dari hutan sekunder tersebut masih sangat muda yaitu baru
berumur kurang 15 tahun. Pada umumnya luas hutan-hutan itu berukuran kecil
dan terdiri hanya dari beberapa ha, yang biasanya karena sifat-sifat bio-fisiknya
kurang cocok untuk penggembalaan ternak.

2.3

Kebijakan kehutanan

Pada tahun 1969, peraturan hukum (UU) Kehutanan pertama (No. 4465)
diberlakukan di Kosta Rika, yang kemudian diikuti oleh UU No. 7174 pada
tahun 1990 dan UU No. 7575 pada tahun 1996. Tabel 1-3 memperlihatkan
beberapa karakteristik utama dari perangkat-perangkat hukum ini dan implikasiL-21

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

implikasinya terhadap hutan sekunder.

Tabel 1:

Pengaruh UU Kehutanan pertama terhadap hutan-hutan


sekunder pada tahun 1969 1990 (UU No. 4465)

Aplikasi instrumen-instrumen

Pengaruh terhadap hutan


sekunder

Memungkinkan konversi/
perubahan bentuk pemanfaatan
hutan sekunder dalam rangka
proyek-proyek pemukiman,
pembagian lahan, atau
pengembangan usaha pertanian
atau peternakan, yang dalam
perencanaan kerjanya dikaitkan
dengan pembabatan hutan.

Hutan sekunder tidak


diklasifikasikan sebagai hutan.
Kawasan hutan yang luas
kemudian dibabat tanpa ada
maksud untuk digunakan sebagai
lahan pertanian.

Ketidakpastian dalam hal


kepemilikan lahan dengan hutan.

Penciptaan sistem-sistem insentif


langsung hanya disediakan bagi
hutan-hutan tanaman; hanya
pengusaha-pengusaha nonkehutananan dalam skala besar
yang ikut-serta => langsung
menghilangkan motivasi.

Dinas kehutanan dapat membatasi

pemanfaatan tegakan-tegakan
hutan apabila dianggap perlu.
Pemotongan pajak pendapatan

untuk usaha-usaha penanaman dan


penghutanan kembali.

L-22

Lampiran / Studi Kasus

Tabel 2:

Pengaruh UU Kehutanan kedua terhadap hutan-hutan


sekunder pada tahun 1990 1996 (UU No. 7174)

Aplikasi instrumen-instrumen

Pengaruh terhadap hutan-hutan


sekunder

Mewajibkan penyusunan rencana-

rencana pengelolaan sebelum


dilakukannya penebangan pohon.
Diberlakukannya Sertifikat Kredit

Prosedur pemberian perijinan dan


biaya penyusunan rencana
pengelolaan berdampak negatif
terhadap hutan.

Kehutanan (Certificado de Abono CAF menghambat langsung


Forestal, CAF) sebagai
pengembangan hutan sekunder:
rangsangan langsung bagi usaha
a) Tidak disediakannya insentif ba
penghutanan kembali (hutan-hutan
i hutan-hutan sekunder,
tanaman).
b) Hutan-hutan sekunder dibabat
untuk mendirikan perkebunan Pada tahun 1992 diberlakukan
perkebunan;
Sertifikasi Kredit Kehutanan bagi
pengelolaan hutan (Certificado de CAFMA tidak diberikan bagi
hutan-hutan sekunder.
Abono Forestal para manejo de
bosques con nfasis en
aprovechamiento, CAFMA),
dengan tekanan pada aspek
pemanfaatan hutan.

L-23

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Tabel 3:

Pengaruh UU Kehutanan tahun yang baru pada tahun 1996


terhadap hutan-hutan sekunder (UU No. 7575)

Aplikasi instrumen-instrumen

Pengaruh terhadap hutan-hutan


sekunder

Larangan mengkonversi kawasan

Perlindungan juga berarti

hutan ke dalam bentuk-bentuk


pemanfaatan yang lainnya.
Diberlakukannya Sertifikat

devaluasi: Tumbuhnya hutan-hutan


sekunder diatas lahan-lahan yang
telah ditinggalkan mengakibatkan
pembatasan yang sangat kuat
terhadap pemanfaatan lahan
tersebut (kewajiban jangka
panjang, rencana pengelolaan).

Konservasi Hutan (CCB) dan


pembayaran bagi jasa-jasa hutan
dalam pemeliharaan lingkungan.
Pasal 24 menyatakan bahwa usaha
permudaan alam
Untuk pertama kalinya terdapat
(= pembentukan hutan sekunder)
kemungkinan pemberian insentif
seharusnya didukung melalui
bagi usaha pembangunan hutanpemberian insentif-insentif.
hutan sekunder.
UU ini sama sekali tidak

menyinggung atau mendefinisikan


istilah hutan sekunder.
Definisi istilah perlindungan

hutan beragam artinya.

Dengan alasan-alasan kultural,

hutan-hutan sekunder tidak diakui


sebagai hutan. Yang tetap berlaku
adalah persepsi dari sudut
pandang pertanian, dimana semak
belukar (Charral) adalah tahap
pertama dari suksesi hutan
sekunder yang semata-mata
tersedia hanya untuk meningkatkan
kualitas tanah, yang kemudian akan
dibabat lagi.
Tidak jelasnya arti dari istilah hutan

sekunder menyebabkan
ketidakpastian mengenai status
hokum dari hutan-hutan sekunder.
Dalam hubungannya dengan hutan-hutan sekunder, UU Kehutanan tahun 1996
yang baru adalah suatu hal yang inovatif, dalam arti, bahwa dalam rangka
Sertifikat Konservasi Hutan (CCB) untuk pertama kalinya dimungkinkan
pemberian insentif-insentif yang merangsang permudaan alam diatas lahanL-24

Lampiran / Studi Kasus

lahan hutan yang telah ditinggalkan (Pasal 24).


Pasal 24: Pemilik lahan, yang lahan-lahan kosongnya sesuai untuk dijadikan
hutan dan yang secara sukarela berkeinginan untuk membiarkan terjadinya
permudaan hutan secara alami diatas lahan-lahan tersebut, memiliki hak untuk
memperoleh tunjangan dengan mengacu kepada Pasal 22 (CCB) UU ini untuk
lahan-lahan, yang karena keadaannya yang jelek dan karena alasan-alasan
lingkungan harus dialihkan kepada bentuk pemanfaatan kehutanan berdasarkan
kriteria teknis yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan dan Enerji.
Ketentuan ini mengharuskan rencana pemanfaatan lahan dimuat di Kantor
Pendaftaran Publik, sebagai langkah untuk melindungi lahan tersebut dalam
rentang waktu yang ditentukan melalui kontrak yang dihormati penerapannya.
Jangka-waktu tersebut tidak boleh kurang dari dua puluh tahun lamanya.

Selanjutnya diberlakukan pembayaran jasa-jasa (pemeliharaan) lingkungan yang


dibiayai melalui pajak konsumsi bahan bakar, jasa-jasa (pemeliharaan)
lingkungan ini mencakup fiksasi CO2. Sementara ini, prioritas dan jumlah yang
harus dibayarkan untuk jasa-jasa hutan ini masih ditentukan. Memang
penerapan CAF dan CAFMA dihapuskan oleh UU yang baru ini (dengan
perkecualian untuk kasus-kasus yang masih tertunda dan CAF untuk para
petani kecil); namun karena alasan-alasan politis kedua hal tersebut masih
diberlakukan pada tahun 1997.

Dilain pihak, aspek-aspek lain dari UU Kehutanan yang baru berdampak negatif
terhadap perkembangan hutan sekunder. Formulasi dari UU tersebut
menyiratkan sikap mendua dari para legislator dalam hubungannya dengan
hutan sekunder.

L-25

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

2.4

Kebijakan dalam sektor pisang

Perluasan areal-areal perkebunan pisang di Kosta Rika wilayah Utara dan


Atlantik terjadi terutama pada awal tahun 90-an. Untuk mendirikan perkebunanperkebunan pisang yang baru, ijin diberikan untuk merubah bentuk
pemanfaatan areal-areal hutan primer dan sekunder.
Dalam konflik yang kemudian timbul antara Kementerian Pertanian dan
Peternakan (MAG) dan Kementerian Sumber Daya Alam, Energi dan
Pertambangan (MIRENEM, sekarang MINAE), MAG memiliki posisi yang
lebih kuat karena perluasan areal-areal perkebunan pisang diklasifikasikan
sebagai kepentingan nasional (pada Lampiran dapat dilihat salinan surat terbuka
dari COSEFORMA kepada Menteri MAG, yang dipublikasikan di koran La
Nacin pada tanggal 8 Desember 1991).
Perluasan areal-areal perkebunan pisang berakhir pada tahun 1993, ketika
Masyarakat Eropa memberlakukan kuota impor pisang yang berasal dari
Amerika Latin.

3.

Aspek-aspek sosio-ekonomi

3.1

Dari sudut pandang pemilik lahan

Hutan-hutan sekunder berada dibawah hak kepemilikan pribadi.


Berkembangnya Charral dan Tacotal (tahap pertama dan kedua dalam
suksesi hutan sekunder) dianggap sebagai suatu tanda pengelolaan yang
tidak baik.
Tumbuhnya Charral dan Tacotal merupakan tanda bahwa lahan tersebut
L-26

Lampiran / Studi Kasus

telah ditinggalkan; yang dapat menimbulkan risiko bahwa lahan tersebut


diambil-alih secara tidak sah.
Konsep masa istirahat tanah: Charral dibiarkan tumbuh/berkembang
selama beberapa tahun dengan maksud agar kualitas tanah meningkat.
Kemudian lahan tersebut dibersihkan dan ditanami untuk tujuan pertanian
atau digunakan lagi sebagai lahan peternakan.
Mental para petani: Agar hasil panen yang tinggi diperoleh pada lahan-lahan
pertanian dan hutan, maka tanaman-tanaman pertanian atau pohon-pohon
perlu dipeliharan dan dikelola. Mereka beranggapan bahwa hanya melalui
permudaan alam tanpa campur-tangan manusia, tidak akan mungkin
didapatkan hasil panen yang tinggi.
Membiarkan hutan-hutan sekunder untuk tumbuh dan berkembang pada
lahan-lahan yang telah ditinggalkan mempunyai akibat-akibat jangka panjang
bagi para pemilik tanah: Begitu proses suksesi telah mencapai tingkatan
tertentu yang menurut UU dapat diklasifikasikan sebagai hutan (lebih dari 60
pohon mempunyai BDH > 15 cm, dengan satu atau lebih lapisan tajuk yang
menutupi lebih dari 70% lahan berukuran dua Hektare), maka berlakulah
seluruh pembatasan-pembatasan yang diatur dalam UU Kehutanan: konversi
kedalam bentuk pemanfaatan lahan lainnya tidak diijinkan lagi, dan dalam
rangka pemanfaatan kayu harus disusun suatu rencana pengelolaan yang
biayanya relatif tinggi. Untuk menghindari pembatasan-pembatasan tersebut,
kebanyakan pemilik lahan tanah lebih memilih untuk membiarkan lahannya
bersih, dalam arti tidak terdapat hutan diatasnya.
3.2

Dari sudut pandang para ahli

Kurikulum bidang studi kehutanan di Universitas Nasional tidak mencakup


L-27

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

masalah hutan sekunder.


Terdapat ketidaktahuan secara umum mengenai hutan-hutan sekunder dari
para pejabat pemerintah dan para pemilik swasta.

Contoh-contoh:
Tahun 1991: Seorang pemilik hutan (swasta) mengajukan ijin untuk
menebang pohon-pohon dari kawasan padang rumput di sebuah hutan
sekunder yang telah berusia 12 tahun, dengan alasan, bahwa selain dari
pohon yang ingin ditebang kawasan hutan tersebut hanya memiliki jenisjenis pohon pionir yang tidak bernilai komersil. Pada kenyataannya,
diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari jenis-jenis pohon yang ada memiliki
nilai komersil.
Tahun 1997: Seorang pemilik hutan (swasta) mengajukan sebuah rencana
pengelolaan untuk sebuah hutan sekunder yang memiliki pohon-pohon
dengan DBH > 60 cm. Pada kenyataannya, hutan tersebut merupakan
sebuah hutan primer yang sudah pernah diusahakan. Orang tersebut tidak
mengenal perbedaan yang ada.
3.3

Dari sudut pandang masyarakat umum

Ketidaktahuan dan kurangnya minat terhadap masalah ini.

L-28

Lampiran / Studi Kasus

4.

Aspek-aspek teknik/ekologi

4.1

Penelitian

Berbagai lembaga yang terkenal dalam bidang ini (hutan sekunder) menuntut
adanya penelitian yang lebih jauh lagi di bidang ini (CATIE, universitasuniversitas, Pusat Ilmu Tropis (CCT)):
Pada tahun 1956, Holdridge melakukan penelitian pertama mengenai hutan
sekunder. Kemudian hal ini diikuti oleh Budowski di tahun 1966, yang
meneliti ekologi hutan-hutan sekunder muda (pada tahapan awal
suksesinya).
Sejak tahun 1986, CATIE melakukan analisa ekologi hutan-hutan sekunder
dalam hubungannya dengan dinamika dan komposisi hutan-hutan di
Tirimbina de Sarapiqu, Heredia. Penelitian dilakukan pada hutan-hutan
sekunder yang berusia 1, 5, 15, dan 25 tahun; dan pohon-pohon dengan
diameter lebih besar dari atau sama dengan 10 cm. Penelitian-penelitian ini
masih dilanjutkan hingga kini untuk kepentingan evaluasi jangka panjang.
Pada tahun 1988, Mara Manta yang bekerja di CATIE, melakukan analisa
kehutanan pada tegakan-tegakan hutan sekunder yang berusia 25 tahun di
Tirimbina. Kemudian di tahun 1989, dalam hubungannya dengan pembuatan
skripsi strata S-2 di CATIE, Rudy Herrera melakukan kegiatan penjarangan
pada tegakan-tegakan berusia 15 dan 20 tahun pada hutan-hutan sekunder
yang sama untuk menentukan produksi kayu yang potensial pada lapisan
tengah tajuk.

L-29

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Di tahun 1989, CATIE membuat plot-plot penelitian permanen di hutanhutan sekunder berusia 40 tahun di Cajn de San Isidro de El General, di
dalam usahanya untuk menganalisa dinamika dari hutan-hutan tersebut,
tindakan-tindakan pengelolaan hutan, dan biaya-biaya yang ditimbulkan.
Pada tahun 1991, di hutan-hutan sekunder yang berusia 30 tahun yang
berlokasi di Florencia de San Carlo dilakukan inventarisasi pohon-pohon
yang berdiameter lebih besar dari atau sama dengan 10 cm untuk tujuantujuan komersil. Pada tahun 1993/94, diatas lahan seluas 15 ha di lokasi
yang sama dipersiapkan kegiatan-kegiatan penjarangan untuk mendorong
pertumbuhan pohon-pohon komersil berdiameter lebih besar dari atau sama
dengan 25 cm. Disini, jarak antara pohon-pohon binaan ditetapkan sebesar
7 m. Kegiatan penjarangan tersebut dilakukan pada tahun 1994.
Pada tahun 1991, COSEFORMA menegaskan perlunya untuk melakukan
penelitian mengenai hutan-hutan sekunder di Utara Kosta Rika sewaktu
melakukan penyusunan rencana pengelolaan pertama. Dalam hal ini perlu
dilakukan sebuah studi mengenai perkembangan dan dinamika hutan-hutan
sekunder serta studi lanjutan (pertumbuhan dan dinamika) di dua subwilayah di Kosta Rika bagian Utara.
Pada tahun 1991, Pusat Ilmu Tropis (CCT) bekerjasama dengan
universitas-universitas di Monteverde melakukan pemetaan vegetasi-vegetasi
sekunder. Yang diteliti disini adalah proses penghutanan kembali dan
komposisi jenis pada berbagai tingkat suksesi yang berbeda.
Pada tahun 1995, dalam rangka kerjasama dengan CCT dan universitasuniversitas di Abangares dilakukan suatu penilaian ekologis atas
perkembangan dan kualitas dari regenerasi hutan. Laporan akhir yang dibuat
L-30

Lampiran / Studi Kasus

(skripsi S-2) menyatakan bahwa luas areal-areal hutan sekunder adalah


sebesar 70% dari luas seluruh kawasan yang ditumbuhi oleh hutan-hutan.
Sebagai hasil lainnya dari penelitian ini juga telah dikembangkan sebuah
model yang dapat digunakan untuk memprediksi kualitas vegetasi.
Pada tahun 1996, Pusat Penelitian Pertanian Universitas Kosta Rika
melakukan penelitian-penelitian di daerah Utara negeri tersebut mengenai
hutan-hutan sekunder yang didominasi oleh Vochysia ferruginea, dengan
tujuan untuk mengembangkan sistem klasifikasi tapak untuk jenis pohon ini
di hutan-hutan sekunder yang berbeda usianya;
Pada tahun 1996, CATIE, dalam rangka penulisan sebuah skripsi S-2,
menganalisa pengaruh tindakan-tindakan penjarangan atas pertumbuhan
sebuah hutan sekunder dewasa di kawasan pegunungan Talamanca, Kosta
Rika. Hutan ini berusia kira-kira 30 tahun. Pada tahun yang sama, CATIE,
juga dalam kaitannya dengan penyusunan sebuah skripsi S-2, melakukan
inventarisasi pada berbagai hutan sekunder dewasa di kawasan pegunungan
Cerro de la Muerte;
Pada tahun 1997, COSEFORMA, dengan pendanaan yang disediakan oleh
Tropen kologisches Begleitprogramms (TB) dari GTZ, memeberikan
kemungkinan untuk dimulainya penelitian mengenai perkembangan hutanhutan sekunder di daerah-daerah kering;
Pada tahun 1997, Institut Teknologi Kosta Rika mengajukan proyek
penelitian untuk mempelajari hutan-hutan sekunder di Sarapiqu dan di
Semenanjung Osa.

L-31

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

4.2

Rangkuman pengetahuan yang didapat dari penelitian di berbagai


wilayah di Kosta Rika (wilayah utara, wilayah Atlantik, wilayah
selatan, dataran-dataran tinggi)

Komposisi jenis: Sekitar 50% dari jenis-jenis pohon yang ada di hutanhutan sekunder di Kosta Rika merupakan jenis-jenis komersil.
Dinamika jenis pohon: Jenis-jenis pohon pionir yang suka cahaya
merupakan kelompok jenis pohon yang paling besar jumlahnya pada tahap
awal suksesi hutan-hutan sekunder. Namun demikian, pada tahap ini juga
terdapat jenis-jenis pohon tahan naungan yang semakin-lama semakin
penting artinya, dan bersama-sama dengan jenis-jenis pohon pionir
merupakan potensi produksi terbesar (dari hutan-hutan sekunder).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
(hutan sekunder): Sumber-sumber benih (bibit) dan penggembalaan
ternak di padang-padang rumput memainkan peran dalam perkembangan
hutan-hutan sekunder. Dalam hal ini, terdapat berbagai sumber benih (bibit)
yang berbeda akibat komposisi jenis tanaman yang sangat bervarisai.
Bahkan di banyak daerah terbentuk tegakan-tegakan yang terdiri dari hanya
satu atau beberapa jenis pohon saja.
Pertumbuhan: Data-data yang ada menunjukkan bahwa dalam 10 tahun
pertama terjadi peningkatan nilai areal basal antara 0,4 dan 2,6 m/ha/tahun,
dan dalam periode 10 tahun kedua (antara tahun ke-11 dan ke-20) berkisar
antara 0,9 sampai 2,3 m/ha/tahun. Pada tegakan-tegakan yang lebih tua
terdapat hanya beberapa data, contohnya pada tegakan-tegakan hutan
berusia 25 dan 40 tahun ditemukan pertumbuhan sebesar 1,0 dan 0,3
m/ha/tahun.
L-32

Lampiran / Studi Kasus


Inventarisasi: Terdapat sebuah metode untuk melakukan inventarisasi
secara cepat dengan menggunakan petak-petak berbentuk lingkaran (lihat
Bab 5.3.5).
Pengelolaan: Sejauh ini terdapat hanya sedikit pengalaman mengenai
dampak-dampak jangka menengah dan jangka panjang dari tindakantindakan penjarangan di hutan-hutan sekunder. Walaupun demikian, hasilhasil pengamatan menunjukkan bahwa berbagai metode pengelolaan yang
berbeda dapat merangsang permudaan hutan, mengurangi tingkat kematian,
serta meningkatkan pertumbuhan dan hasil-hasil yang diperoleh kemudian.
Evaluasi biaya-biaya dan hasil-hasil dari tindakan-tindakan
pengelolaan: Dua studi kasus yang dilakukan memberikan hasil-hasil yang
positif. Namun, hal tersebut tidak dapat diberlakukan untuk kondisi-kondisi
yang normal atau yang umum di Kosta Rika.
Pengaruh hutan sekunder atas kondisi-kondisi tanah: Tingkat
kepadatan tanah semakin berkurang dengan semakin tingginya tingkat
suksesi hutan-hutan sekunder. Hal ini menyebabkan terjadinya perbaikan
dari sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Hasil-hasil: Pada hutan-hutan sekunder yang berusia 40 tahun terdapat
pertumbuhan volume sebesar 8 m/ha/tahun. Angka ini lebih kurang sama
dengan angka yang dicapai pada hutan-hutan yang berumur 15 dan 25
tahun, dimana pohon-pohon dengan BHD 10 cm menunjukkan
pertumbuhan sebesar 7,6 dan 8,2 m/ha/tahun.
Kayu: Terdapat informasi-informasi mengenai beberapa jenis kayu dari
hutan-hutan sekunder; potensi pemasaran kayu-kayu tersebut dinilai positif.

5.

Pengembangan hutan-hutan sekunder dalam rangka proyek


L-33

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

COSEFORMA
COSEFORMA (Kerjasama dalam Bidang-bidang Kehutanan dan Perkayuan)
adalah proyek kerjasama bidang teknis dengan Kosta Rika yang didukung oleh
GTZ. Para peserta proyek adalah lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta,
lembaga-lembaga non-pemerintah, dan perusahaan-perusahaan yang bergerak
di bidang kehutanan. Proyek ini dimulai sejak tahun 1990, dan kini sedang
berada pada fase ketiga implementasinya.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk memberikan dukungan pada pemanfaatan
yang berkesinambungan/lestari dari sumberdaya-sumberdaya kehutanan di
Kosta Rika, dimana kegiatan-kegiatannya dipusatkan di wilayah Utara negeri ini
dan sejak tahun 1996 juga dilakukan di wilayah Atlantik.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai dari sumberdayasumberdaya kehutanan. Sumberdaya-sumberdaya kehutanan terdiri dari hutanhutan primer dan sekunder, perkebunan-perkebunan (hutan-hutan tanaman),
sistem-sistem wanatani, dan setiap pohon yang tumbuh diatas padang
penggembalaan.
Dalam konteks konsep tersebut, pada tahun 1991 proyek mulai
mempromosikan hutan-hutan sekunder sebagai sumberdaya kehutanan yang
baru, dan juga sebagai alterantif-alternatif produksi untuk lahan-lahan yang
sudah ditinggalkan, yang karena sudah sangat terdegradasi tidak cocok
digunakan lagi untuk usaha-usaha pertanian dan peternakan. Strategi proyek
dikembangkan dengan memperhatikan tiga buah aspek dasar, yaitu
politis/kelembagaan, sosio-ekonomi, dan teknis/ekologis.

5.1
L-34

Aspek-aspek politis/kelembagaan dan sosio-ekonomi

Lampiran / Studi Kasus

Didasari oleh iklim politik yang ditandai oleh adanya perluasan areal
perkebunan pisang dan sistem-sistem insentif yang kuat bagi usaha reboisasi
(yang mana keduanya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap
perkembangan hutan-hutan sekunder di masa lalu), proyek melaksanakan
sejumlah kegiatan untuk meningkatkan kesadaran para politisi, teknisi, pemilik
dan pengelola hutan, dan masyarakat umum melalui:
Surat kepada Menteri Pertanian dan Peternakan yang dimuat di dalam surat
kabar La Nacin pada tahun 1991 sebagai usaha untuk menarik perhatian
masyarakat terhadap hutan-hutan sekunder sebagai sumberdaya hutan yang
potensil.
Pembuatan pamflet mengenai karakteristika-karakteristika, pengembangan
dan pengelolaan hutan sekunder (berkerjasama dengan CATIE).
Menyebarkan skripsi Perkembangan Hutan-hutan Sekunder pada Padangpadang Rumput yang Ditinggalkan di Wilayah Utara Kosta Rika dan
Petunjuk Teknis untuk Inventarisasi Hutan Sekunder Secara Cepat di
Wilayah Utara Kosta Rika.
Pembagian kaus berkerah (dengan tulisan Hutan Sekunder Penghutanan
Kembali Secara Alami dan Tanpa Pohon-pohon Benih Tidak Ada Hutanhutan).
Pencanangan hari raya panen yang dihadiri oleh wakil-wakil dari sektor
pemerintahan dan swasta (termasuk wakil presiden Kosta Rika), para
teknisi/ahli dan pemilik hutan;

L-35

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan


Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan untuk mempromosikan hutan-hutan
sekunder (yang juga dihadiri oleh Menteri Sumber Daya Alam, Energi dan
Pertambangan), yang menyajikan hasil-hasil penelitian proyek mengenai
hutan-hutan sekunder di Wilayah Utara (di sub-wilayah Boca Tapada dan
Guatuso) dan pertunjukkan slide mengenai perkembangan hutan-hutan
sekunder.
Partisipasi dalam merancang UU Kehutanan tahun 1996 yang baru dan
ketentuan-ketentuan pelaksanaannya, dimana ditonjolkan pentingnya hutanhutan sekunder sebagai sumber hutan yang baru.
Penyusunan profil dari dua buah proyek dalam hubungannya dengan tema
hutan sekunder untuk kerjasama dalam hal pembiayaan dengan KfW
(ditujukan bagi perluasan areal-areal hutan sekunder dan perbaikan
pengelolaan hutan-hutan sekunder); persiapan bagi studi kelayakan yang
dilakukan oleh KfW.
Patisipasi dalam penyusunan strategi bagi masa depan sektor kehutanan di
Kosta Rika; pengintegrasian hutan-hutan sekunder sebagai prioritas kedalam
strategi pengelolaan hutan. Tulisan ini disampaikan pada Konferensi
Kehutanan Nasional ke-3 pada bulanAgustus 1997.
5.2

Aspek-aspek teknis/ekologis

Pelaksanaan penelitian-penelitian mengenai hutan-hutan sekunder di wilayah


Utara Kosta Rika:
Skripsi dari Christian Fedlmeier: Perkembangan Hutan-hutan Sekunder
pada Padang-padang Rumput yang Ditinggalkan di Wilayah Utara Kosta
Rika (1996).
L-36

Lampiran / Studi Kasus


Skripsi yang ditulis oleh dua orang mahasiswa mengenai pengaruh hutanhutan sekunder terhadap tanah.
Pengembangan metode inventarisasi secara cepat di hutan-hutan sekunder.
Terus dilangsungkannya pengukuran-pengukuran tahunan (berkaitan dengan
pertumbuhan dan dinamika) pada petak-petak/plot-plot di Guatuso dan
Boca Tapada. Hasil-hasilnya disampaikan pada Konferensi Kehutanan
Nasional ke-3 pada bulanAgustus 1997.

5.3

Informasi yang diperoleh dari proyek penelitian

Sebagai ringkasan dan berdasarkan contoh-contoh yang ada, grafik-grafik yang


diberikan disini menampilkan beberapa temuan terpenting yang diperoleh dari
sebuah penelitian yang dilakukan selama 5 tahun pada hutan-hutan sekunder di
Boca Tapada dan Guatuso, Wilayah Utara Kosta Rika. Pada 32 buah
petak/plot (masing-masing seluas 500 m) yang berada di hutan-hutan yang
berbeda usianya di kedua wilayah tersebut, setiap tahunnya dilakukan
pengukuran diameter dari seluruh pohon dengan BHD > 5 cm. Berdasarkan
hasil-hasil pengukuran tersebut kemudian ditentukan prosentase jenis-jenis
pohon komersil dan non-komersil, kerapatan jenis-jenis pohon pada klas-klas
ekologi yang berbeda, pertumbuhan rata-rata tahunan, serta pohon-pohon baru
(tumbuh) dan tingkat kematian.

5.3.1 Komposisi dan dinamika jenis-jenis pohon di hutan-hutan


sekunder
Berdasarkan sebuah contoh, pada Gambar 1 ditunjukkan hubungan antara areal
basal dari jenis-jenis pohon komersil dan non-komersil dengan usianya selama
22 tahun pertama. Selama 12 tahun pertama, areal basal dari kedua kelompok
L-37

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

pohon tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang hampir sama. Kemudian,


areal basal dari jenis-jenis pohon komersil meningkat lebih tajam daripada dari

Areal Basal (m/ha)

jenis-jenis pohon non-komersil. Hubungan ini mencerminkan potensi produksi

22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0

10

12

14

16

18

20

22

24

Umur Tegakan Hutan


Areal basal jenis-jenis pohon komersil
Areal basal jenis-jenis pohon non-komersil

dari hutan-hutan tersebut.


Gambar 1: Areal basal dari jenis-jenis pohon komersil dan nonkomersil di hutan-hutan sekunder yang usianya berbeda di
Boca Tapada
Areal-areal basal dari jenis-jenis pohon komersil di hutan-hutan sekunder di
Guatuso and Boca Tapada dibandingkan satu dengan lainnya, dan perbedaan
antara kedua sub-wilayah tersebut dianalisa. Pada umumnya, hutan-hutan di
Guatuso mempunyai areal basal yang lebih luas daripada yang terdapat di Boca
Tapada (Gambar 2). Hal ini terjadi karena di Guatuso terdapat lebih sedikit
tumbuhan pesaing, sehingga pohon-pohon dapat mempunyai diameter yang
lebih besar.

L-38

Areal Basal (m/ha)

Lampiran / Studi Kasus

24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0

10

12

14

16

18

20

22

24

Umur Tegakan Hutan


Boca Tapada

Guatuso

Gambar 2: Areal-areal basal dari jenis-jenis pohon komersil pada


hutan-hutan sekunder yang usianya berbeda di Boca
Tapada dan Guatuso
Pada hutan-hutan di Guatuso tidak terlihat perbedaan yang besar dalam jumlah
jenis-jenis pohon bernilai komersil dan non-komersil. Jumlah jenis-jenis pohon
non-komersil hanya sedikit lebih tinggi. Kenyataan bahwa hampir 50% dari
jenis-jenis pohon yang ada bernilai komersil mencerminkan potensi produksi
dari hutan-hutan tersebut.

L-39

Jumlah Jenis Pohon

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

y = 0.4182x + 24.218
2
R = 0.086

y = 0.3364x + 24.391
2
R = 0.0645

11

13

15

17

Umur Tegakan Hutan


Jumlah jenis-jenis pohon komersil
Jumlah jenis-jenis pohon non-komersil
Linear (Jumlah jenis-jenis pohon non-komersil)
Linear (Jumlah jenis-jenis pohon komersil)

Gambar 3: Jumlah jenis-jenis pohon yang bernilai komersil dan nonkomersil di hutan-hutan sekunder yang berbeda usianya di
Guatuso
Dalam hal kerapatan dari jenis-jenis pohon komersil pada kelompok-kelompok
tahan naungan yang berbeda (Gambar 4), tampak jelas bahwa jenis-jenis
pionir berumur pendek dan tidak tahan dinaungi tidak ada sama-sekali.
Sebaliknya, yang dominan adalah jenis-jenis pionir berumur panjang yang tidak
tahan dinaungi, yang merupakan komposisi jenis pohon yang khas pada hutanhutan sekunder di wilayah ini.
Jumlah pohon-pohon pionir berusia panjang (dan tidak tahan dinaungi)
berkurang dengan semakin dewasanya hutan-hutan tersebut, sedangkan jumlah
pohon-pohon yang tahan dinaungi sebagian sedikit bertambah. Usaha
pengelolaan hutan sekunder harus dipusatkan kepada kedua kelompok ekologi
ini.
L-40

Lampiran / Studi Kasus

Jumlah Pohon/ha

600
500
400
300
200
100
[
0
6

10

12

14

16

18

Umur Tegakan Hutan


Jenis pionir berumur panjang
Jenis tahan dinaungi
Jenis pohon tak dikenal

Jenis tahan sebagian dinaungi


Jenis tahan naungan lainnya

Gambar 4: Jumlah pohon bernilai komersil per-hektar menurut


kelompok ekologi di Guatuso
5.3.2 Pertumbuhan
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan diameter pohon
menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Pohon-pohon jenis non-komersil
tumbuh lebih cepat daripada pohon-pohon jenis komersil selama enam tahun
pertama, karena mereka lebih terbuka untuk sinar matahari dan terdapat
persaingan yang keras diantara pohon-pohon. Setelah 10 tahun kemudian
situasi yang terjadi adalah sebaliknya. Pohon-pohon jenis komersil tumbuh
lebih cepat karena pohon-pohon jenis non-komersil mulai mati atau mencapai
kematangan fisiologisnya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini maka
direkomendasikan untuk melakukan tindakan-tindakan penjarangan dalam tahun
keenam, karena pada saat itu pertumbuhan rata-rata tahunan dari jenis-jenis
komersil sama dengan yang non-komersil. Setelah itu terjadi persaingan yang
L-41

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

keras antara kedua kelompok pohon tersebut. Selain itu juga dapat diamati
bahwa pertumbuhan yang terjadi berkurang karena tidak dilakukannya

Pertumbuhan
Rata-rata Tahunan (cm)

tindakan-tindakan perawatan lagi.

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0

10

15

20

25

Umur Tegakan Hutan


Jenis-jenis pohon komersil
Jenis-jenis pohon non-komersil

Gambar 5: Kenaikan rata-rata tahunan jenis-jenis pohon yang bernilai


komersil dan non-komersil di hutan-hutan sekunder yang
berbeda usianya di Boca Tapada

Dari Gambar 6 terlihat bahwa persaingan antara pohon-pohon jenis komersil


dan non-komersil terus berlanjut hingga usianya mencapai tahun ke-15. Setelah
itu tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan mulai menurun tajam, dan karena itu
disarankan untuk melakukan tindakan penjarangan pada saat itu untuk
mengurangi persaingan yang terjadi dan merangsang pertumbuhan dari pohonpohon jenis komersil.
Perbedaan-perbedaan pada pertumbuhan hutan-hutan sekunder di wilayah
Guatuso dan Boca Tapada, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5 dan 6,
mencerminkan perilaku yang berbeda dari hutan-hutan sekunder yang tumbuh
di wilayah yang sama.
L-42

Lampiran / Studi Kasus

Pertumbuhan
Rata-rata Tahunan
(cm)

s-jenis pohon non-komersil


2

1.5
1

0.5
0

10

15

20

25

Umur Tegakan Hutan


Jenis-jenis pohon komersil
Jenis-jenis pohon non-komersil

Gambar 6: Kenaikan rata-rata tahunan jenis-jenis pohon yang bernilai


komersil dan non-komersil di hutan-hutan sekunder yang
berbeda usianya di Guatuso.

5.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hutan-hutan


sekunder
Pohon-pohon benih atau induk memainkan peranan penting dalam
pembentukan dan komposisi jenis hutan-hutan sekunder. Sebagai contoh disini
adalah perbanyakan jenis pohon Otoba novogranatensis, yang benih-benihnya
terutama disebarkan oleh burung-burung. Gambar 7 menggambarkan secara
grafis bahwa penyebaran pohon jenis tersebut menurun secara eksponensial
tergantung dari jarak diantara pohon-pohon benih tersebut.

L-43

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Gambar 7: Jumlah tanaman permudaan (Regeneracin N) Otoba


novogranatensis sebagai fungsi jarak (m) dari pohon-pohon
induk (Distancia al Arbol Semillero) (Sumber: FEDLMEIER,
1996)

5.3.4 Pengaruh terhadap tanah


Gambar 8 menunjukkan tingkat kepadatan tanah di padang-padang rumput
serta hutan-hutan primer dan sekunder di Guatuso. Sangat menarik untuk
dilihat, bahwa kepadatan tanah semakin meningkat pada kedalaman tanah yang
berbeda, manakala lahan tersebut digunakan sebagai lahan penggembalaan.
Sebaliknya tingkat kepadatan tanah (N/cm) semakin berkurang apabila
diatasnya tumbuh hutan sekunder, yang kemudian secara bertahap mendekati
kondisi sebagaimana yang terdapat di hutan primer. Tingkat kepadatan tanah
pada kedua tipe hutan tersebut sudah hampir serupa pada kedalaman tanah 20
cm, karena pada kedalaman ini sistem perakaran mulai menyebar. Gambar 8
secara jelas memperlihatkan pengaruh positif perkembangan hutan sekunder
L-44

Lampiran / Studi Kasus

diatas tanah-tanah terdegradasi di padang-padang penggembalaan yang sudah


ditinggalkan.

Gambar 8: Kepadatan tanah (Compactacin del suelo) pada kedalaman


yang berbeda (Profundidad) pada tiga tipe penggunaan
lahan di Guatuso (Sumber: Fedlmeier, 1995): Kurva sebelah
atas = jarak lahan; kurva di tengah = hutan sekunder
berumur 12 tahun pada padang-padang penggembalaan
yang ditinggalkan; kurva sebelah bawah = hutan primer.

5.3.5 Inventarisasi hutan-hutan sekunder secara cepat


Dengan metode ini dilakukan pengambilan contoh secara sistematis pada plotplot yang berbentuk lingkaran, dengan mana kesalahan pada pengambilan areal
basal lebih kecil daripada dengan menggunakan plot-plot berbentuk empat
persegi panjang atau bujur sangkar. Pada umumnya, dengan sistem ini tingkat
kesalahan yang terjadi berkisar antara 7 dan 12%. Selanjutnya, dengan metode
ini hasil pelaksanaan inventarisasi lebih dari 150% daripada dengan metodemetode tradisional.

L-45

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

5.3.6 Penaksiran hasil panen


Pertumbuhan volume per hektare pada tegakan pohon di daerah-daerah
penelitian ini berkisar antara 8 and 12 m/ha/tahun untuk pohon yang memiliki
diameter lebih besar dari atau sama dengan 5 cm. Adapun tingkat pertumbuhan
areal basal tahunan dari pohon-pohon jenis komersil berkisar antara 0.62 dan
5.74 m/ha/tahun. Karena kebanyakan dari pohon-pohon yang menjadi obyek
penelitian ini merupakan pohon-pohon yang masih muda dan belum satu pun
yang telah mencapai batas pertumbuhannya, maka disini belum dapat diberikan
kesimpulan-kesimpulan yang pasti mengenai hasil-hasil hutan-hutan ini.

5.4

Strategi Proyek di Masa Mendatang

Pelatihan bagi aparat teknis pemerintah dan swasta.


Penyebaranluasan hasil-hasil penelitian.
Kampanye-kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik.
Pencanangan hari raya panen bagi para pemilik hutan sekunder dan pemilik
lahan-lahan yang ditinggalkan.
Pertukaran informasi pada tingkat nasional dengan membentuk kelompok
kerja yang beranggotakan mereka yang berkerja di bidang hutan sekunder.

L-46

Lampiran / Studi Kasus

6.

Pustaka untuk Studi Kasus di Kosta Rika

FEDLMEIER, C. (1995): La importancia del bosque secundario en la Zona


Norte de Kosta Rika. COSEFORMA, San Jos, Kosta Rika.
FEDLMEIER, C. (1996): Desarrollo de bosques secundarios en zonas de
pastoreo abandonadas en la Zona Norte de Kosta Rika. Doctoral thesis
submitted at the University of Gttingen.
GUILLN JIMNEZ, A.L. (1993): Inventario comercial y anlisis silvicultural
de bosques hmedos secundarios en la Regin Huetar Norte de Kosta
Rika. Tesis de Licenciatura (Bachelors thesis), ITCR, Cartago.
HERRERA, R.E. (1990): Evaluacin financiera del manejo del bosque natural
secundario en cinco sitios en Kosta Rika. Tesis Mag. Sc. (Masters
thesis), CATIE, Turrialba.
MANTA NOLASCO, M.I. (1988): Anlisis silvicultural de dos tipos de
bosque hmedo de bajura en la Vertiente Atlntica de Kosta Rika. Tesis
de Maestra (Masters thesis), CATIE, Turrialba.
MARTNEZ H., H.A. (1979): Produccin de un bosque secundario sometido
a diferentes intensidades de raleo en Turrialba, Kosta Rika. Tesis
Mag.Sc. (Masters thesis), CATIE, Turrialba.
ORTZ VALVERDE, R. (1996): Bosque secundario por abandono de
pastizales en la Regin Huetar Norte de Kosta Rika: anlisis de algunos
criterios econmicos y ambientales. Tsis de Maestra (Masters thesis),
Universidad Nacional, Heredia, Kosta Rika.
SOLRZANO, R. et al. (1991): Accounts overdue: Natural resource
depreciation in Kosta Rika. CCT/WRI.
SPITTLER, P. (1995): Gua tcnica para el inventario rpido de bosques
secundarios en la Zona Norte de Kosta Rika, COSEFORMA.

L-47

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

LAMPIRAN (Studi Kasus Kosta Rika)

L-48

Lampiran / Pengklasifikasian Hutan-hutan Sekunder

IV Pengklasifikasian Hutan-hutan Sekunder


IV.1 Klasifikasi berdasarkan penyebab
Terbentuk setelah pengeksploitasian hutan primer yang belum terjamah tanpa
adanya pemanfaatan lainnya sebelumnya, tropika basah (Amerika Latin,
Asia);
Terbentuk setelah adanya pemanfaatan untuk pertanian skala kecil secara
berulang dan dalam jangka waktu yang pendek, tropika basah (Amerika
Latin, Asia);
Terbentuk pada areal-areal yang digunakan untuk pertanian jangka pendek
setelah mengkonversikan hutan-hutan primer yang ditebang untuk tujuan
tersebut. (Afrika);
Terbentuk setelah adanya pengeksploitasian/pembersihan hutan skala besar
untuk kegiatan penggembalaan ternak, daerah-daerah kering (Chaco,
Amerika Latin and Afrika);
Terbentuk setelah adanya tebang habis skala besar untuk pemanenan kayu
tanpa adanya pemanfaatan lainnya sebelumnya, kawasan hutan daun jarum
(konifer) boreal (Rusia)

IV.2 Klasifikasi berdasarkan kriteria tertentu


Potensi biologi (parameter-parameter pertumbuhan seperti iklim/zona vegetasi,
tanah) + waktu (tingkat suksesi) + prakondisi untuk permudaan (misalnya jarak
ke pohon-pohon benih/induk):
Tipe 1: Potensi pertumbuhan yang tinggi, tua/dewasa (tingkat suksesi
L-49

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

akhir), potensi jenis-jenis (pohon) klimaks yang besar


Tipe 2: Potensi pertumbuhan yang tinggi, tua/dewasa, tidak ada potensi
jenis-jenis klimaks
Tipe 3: Potensi pertumbuhan yang tinggi, awal/muda, potensi jenis-jenis
klimaks yang besar
Tipe 4: Potensi pertumbuhan yang tinggi, awal/muda, tidak ada potensi
jenis-jenis klimaks
Tipe 5: Potensi pertumbuhan yang rendah, tua/dewasa, potensi jenis-jenis
klimaks yang besar
Tipe 6: Potensi pertumbuhan yang rendah, tua/dewasa, tidak ada potensi
jenis-jenis klimaks
Type 7: Potensi pertumbuhan yang rendah, awal/muda, potensi jenis-jenis
klimaks yang besar
Type 8: Potensi pertumbuhan yang rendah, tua/dewasa, tidak ada potensi
jenis-jenis klimaks
Sebaiknya, dalam pengklasifikasian hutan sekunder ditambahkan pula kriteria
sosial-ekonomi, walaupun hal ini akan memperumit klasifikasi tersebut.
Kriteria-kriteria tersebut contohnya adalah:
Dekatnya pasar dan pemukiman;
Jaminan/keamanan hukum;
Pencantuman dalam perencanaan-perencanaan(misalnya didalam rencana
pemanfaatan lahan sebagai kawasan hutan, pertanian, lahan kosong, dsb.).

L-50

Lampiran / Proses-proses Ekologi

Proses-proses Ekologi dalam Pengembangan Hutan


Sekunder

Sejarah pembentukan hutan sekunder sangat menentukan arah


perkembangannya selanjutnya. Hal ini seringkali tetapi tidak selalu terjadi
dalam bentuk suatu suksesi. Suksesi diartikan sebagai rangkaian perkembangan
komunitas-komunitas biotik yang tumbuh di areal yang sama secara
bergiliran/bergantian (BURSCHEL & HUSS 1984). Biasanya, suksesi mencakup
proses perkembangan dari sejak adanya vegetasi pionir sampai ke vegetasi
tingkat klimaks (JACOBS 1986).
Suksesi tidak akan terjadi jika jenis-jenis asli tumbuh kembali langsung dari
tunas-tunas akar, coppice, dan dari benih-beinh/bibit-bibit yang masih tersedia.
Dalam kasus ini, komunitas hutan primer hanya menjalani suatu proses
perkembangan. Suksesi tersebut terjadi atau tidak juga tergantung dari
ukuran/luas areal dan intensitas gangguan, jarak dari hutan disekitarnya, serta
kondisi-kondisi iklim dan tapak.
Bila lubang-lubang (gap) yang terbuka pada tajuk berukuran kecil, maka sering
terjadi proses permudaan lubang (regenerasi autogenous) (OLDEMAN 1980).
Artinya, bahwa ruang/lubang untuk pertumbuhan yang tersedia akan ditempati
oleh tanaman-tanaman muda dari jenis-jenis pohon klimaks yang masih ada dan
bertahan-hidup, atau paling tidak tertutup secara cepat oleh tajuk dari pohonpohon yang tumbuh di tepi-tepi lubang, coppice dan tunas-tunas akar, tunas
dari bibit-bibit pohon yang ada di tanah, tunas yang tumbuh pada bagianbagian pohon yang masih hidup, atau tunas dari bibit-bibit baru. (CORLETT
1995). Karena suksesi komunitas biotik tidak selalu terjadi dalam keadaan
seperti ini, seringkali disarankan bahwa penggunaan istilah suksesi dibatasi
L-51

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

hanya untuk proses-proses yang terjadi pada areal yang lebih besar dari 1.000
m (UNESCO 1978; DENSLOW 1980; SIPS et al. 1993).
Tidak ada batasan perbedaan yang jelas antara kedua bentuk perkembangan
tersebut (dengan atau tanpa suksesi). Karena suksesi adalah isu utama dalam
diskusi-diskusi tentang hutan-hutan sekunder, maka proses berlangsungnya
suksesi sekunder akan dijelaskan dibawah ini.
Hal yang mendorong terjadinya suksesi adalah kemampuan kompetisi dari
tanaman-tanaman yang terlibat didalamnya, yang tergantung pada kondisi tapak
dimana mereka tumbuh. Sebaliknya, kondisi tapak (mikro) tersebut juga
berubah terus-menerus akibat perkembangan tanaman-tanaman tersebut. Dalam
hal suksesi, dibedakan antara suksesi primer yang menandakan kolonisasi
suatu tempat/tapak untuk pertama-kalinya, dan suksesi sekunder yang
menandakan pengkolonisasian kembali suatu areal yang sebelumnya pernah
dikolonisasi. (BURSCHEL & HUSS 1984).
Suksesi adalah proses utama dalam perkembangan hutan-hutan sekunder.
Karena suksesi juga memainkan peranan penting dalam dinamika hutan-hutan
primer, tidaklah mengherankan apabila ditemukan banyaknya tumpang tindih
antara literatur-literatur mengenai hutan-hutan sekunder dan mengenai suksesi
hutan-hutan (primer) hujan tropik. (BROWN & LUGO 1990). Dalam kedua
bentuk suksesi tersebut, mekanisme-mekanisme biologi yang menentukan
proses suksesi adalah serupa.
Kecepatan, arah dan hasil suksesi tergantung pada sejumlah faktor yang
memiliki pengaruh-pengaruh yang sangat kompleks. Untuk memperjelas

L-52

Lampiran / Proses-proses Ekologi

pengaruh-pengaruh tersebut, maka proses suksesi akan dijelaskan melalui


sebuah contoh/model.
Suksesi standar yang akan digambarkan dibawah ini pada dasarnya dapat
disamakan dengan proses suksesi yang terjadi setelah penggundulan hutan
dalam skala yang besar pada daerah-daerah iklim tropik, seperti yang dijelaskan
oleh BROWN & LUGO (1990), FINEGAN (1992), SIPS (1993) dan CORLETT
(1995) berdasarkan studi literatur yang sangat intensif. Suksesi dapat dibagi
kedalam empat fase, seperti yang digambarkan dibawah ini:

V.1 Tahap-tahap perkembangan suksesi sekunder


Fase Permulaan
Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa yang
tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak
muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul.
Fase Awal/Muda
Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh
jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan
cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat
mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang
disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (725 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran
yang luas.

L-53

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohonpohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh
dengan umur yang kurang lebih sama (FINEGAN 1992). Walaupun tegakan yang
tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga
dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi
segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh. (GOMEZPOMPA & VASQUEZ-YANES 1981; KAHN 1982; FINEGAN 1984).
Siklus unsur hara berkembang dengan sangat cepat (VITOUSEK 1984;
VITOUSEK & REINERS 1975; BROWN & LUGO 1990). Khususnya unsur-unsur
hara mineral diserap dengan cepat oleh tanaman-tanaman, sebaliknya nitrogen
tanah, fosfor dan belerang pada awalnya menumpuk di lapisan organik
(JORDAN 1985). Pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur hara yang cepat
mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam
waktu kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi
primer bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai (CORLETT
1995). Biomasa daun, akar dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu
biomasa daun dan akar berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu
akan meningkat secara tajam (BROWN & LUGO 1990). Hanya setelah 5-10
tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai nilai seperti di
hutan-hutan primer (UHL & JORDAN 1984). Selama 20 tahun pertama, produksi
primer bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang
yang dicapai oleh oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun (EWEL 1971; TOKY &
RAMAKRISHNAN 1983).
Proses-proses biologi akan berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciriciri ini adalah permulaan dari fase ketiga (fase dewasa).

L-54

Lampiran / Proses-proses Ekologi


Fase Dewasa
Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan
mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir
akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen (FINEGAN
1992). Secara garis besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang
relatif beragam dapat dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda
mereka sangat menyerupai pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi,
hidup lebih lama (50-100 tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat.
Pionir-pionir akhir menggugurkan daun dan memiliki biji/benih yang disebarkan
oleh angin, yang seringkali dorman di tanah dalam periode waktu yang sangat
lama. Mereka bahkan dapat berkecambah pada tanah yang sangat miskin unsur
hara bila terdapat intensitas cahaya yang cukup tinggi. (GOMEZ-POMPA &
VASQUEZ-YANES 1974; LEBRON 1980). Jenis-jenis pionir akhir yang termasuk
kedalam genus yang sama biasanya dijumpai tersebar didalam sebuah daerah
geografis yang luas (FINEGAN 1992, KARTAWINATA 1994).
Dalam akhir fase, akumulasi biomasa berangsur-angsur mengecil secara
kontinyu. Dalam hutan-hutan yang lebih tua, biimasa yang diproduksi hanya 14.5 t/ha/tahun (JORDAN & FARNWORTH 1982; SINGH 1975). Setelah 50-80
tahun, produksi primer bersih mendekati nol. Sejalan dengan akumulasi
biomasa yang semakin lambat, efisiensi penggunaan unsur-unsur hara akan
meningkat, karena sebagian besar dari unsur-unsur hara tersebut sekarang
diserap dan digunakan kembali. Sebagai hasil dari keadaan tersebut dan karena
adanya peningkatan unsur hara-unsur hara yang non-fungsional pada lapisan
organik dan horizon tanah bagian atas, maka konsentrasi unsur-unsur hara
pada biomasa menurun (BROWN & LUGO 1990). Perputaran kembali unsur
hara pada daun-daunan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fase sebelumnya.
L-55

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Tahap klimaks pun dimulai.


Fase klimaks
Pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun (LIEBERMANN &
LIEBERMANN 1987) dan berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan
naungan yang telah tumbuh dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini
adalah jenis-jenis pohon klimaks dari hutan primer, yang dapat menunjukkan
ciri-ciri yang berbeda. Termasuk dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu
tropik komersil yang bernilai tinggi dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum)
memiliki nilai komersil.
Perlahan-lahan suatu kondisi keseimbangan yang stabil (steady-state) mulai
terbentuk, dimana tanaman-tanaman yang mati secara terus menerus digantikan
oleh tanaman (permudaan) yang baru. Areal basal dan biomasa hutan primer
semula dicapai setelah 50-100 tahun (RISWAN et al. 1985) atau 150-250 tahun
(SALDARRIAGA et. al. 1988). Setelah itu tidak ada biomasa tambahan yang
terakumulasi lagi. Namun, permudaan lubang/celah tajuk yang khas terjadi pada
hutan-hutan tropik basah biasanya memerlukan waktu selama 500 tahun
(RISWAN et al. 1985).
Suksesi standar yang dijelaskan di atas adalah suatu contoh gambaran yang
sangat skematis dari proses-proses suksesi yang sangat kompleks dan
beragam. Walaupun kebanyakan suksesi mengikuti pola seperti yang dijelaskan
di atas, pada kenyataannya di alam beberapa tahap suksesi sering terlampaui,
atau berbagai proses suksesi muncul secara bersamaan dalam susunan seperti
mosaik. Suatu situasi khusus terjadi, bila permudaan dari jenis pohon klimaks
tetap hidup atau terdapat di seluruh areal setelah atau walaupun terjadi
gangguan yang menyebabkan penggundulan hutan tersebut. Dalam hal ini,
L-56

Lampiran / Proses-proses Ekologi

seluruh fase suksesi akan dilalui oleh komunitas tumbuhan tersebut, dan
sebagai akibatnya yang terjadi hanyalah perubahan struktur hutan.

V.2 Perbandingan ekonomi dan ekologi pada berbagai fase


suksesi
Potensi ekonomi dan ekologi dari setiap fase suksesi harus dinilai secara
terpisah. Perbedaan-perbedaan (berdasarkan waktu) yang ada harus
diperhatikan berdasarkan kriteria-kriteria berikut:
Perbedaan jenis
Aturan dasar yang berlaku adalah bahwa keanekaragaman jenis meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur hutan tersebut. Oleh karena itu, tegakantegakan yang terbentuk pada fase awal suksesi hanya didominasi oleh sedikit
jenis pohon. Komposisi jenis asli baru akan terbentuk kembali pada fase hutan
klimaks setelah melalui periode perkembangan yang panjang.
Sifat-sifat kayu
Kayu dari pohon-pohon pionir awal dianggap tidak terlalu berguna dan hampir
tidak dapat dipasarkan. Sebaliknya, kayu dari banyak pohon pionir akhir dinilai
sangat berharga (FINEGAN 1992; KARTAWINATA 1994). Jenis-jenis pohon
klimaks yang sangat berharga, untuk mana hutan sering dieksploitasi, baru
muncul (tumbuh) kembali setelah jangka-waktu yang lama sekali. Kelompok
jenis pohon ini juga terdiri dari banyak (pohon) kayu yang kurang berharga.
Dimensi
Diameter batang yang lebih besar baru dapat diharapkan setelah pertumbuhan
L-57

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

selama banyak tahun. Sesuai dengan hukum jumlah-dimensi (unit-volume law),


dimensi tersebut mempengaruhi biaya pemanenan dan juga merupakan kriteria
penting dalam menentukan ukuran kayu untuk kebanyakan sortimen, terutama
untuk kayu gergajian dan vinir.
Kemungkinan untuk diarahkan/dipengaruhi
Semakin muda usia suatu pohon, semakin sensitif pohon tersebut terhadap
perlakuan-perlakuan silvikultur. Kualitas kayu (misalnya jumlah cabang) dan
pertumbuhannya lebih mudah dipengaruhi pada tegakan-tegakan yang lebih
muda usianya. Komposisi jenis dan kondisi fisiologis dari suatu tegakan juga
dapat lebih mudah diarahkan pada tegakan-tegakan muda. Hal-hal ini
menjelaskan betapa pentingnya waktu sebagai salah satu faktor dalam
menganalisa potensi hutan-hutan sekunder.

L-58

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

VI Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan


Hutan-hutan Sekunder
VI.1 Faktor-faktor ekologi
Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karakteristik dan
perkembangan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi
spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak
hanya perkembangan dari pertumbuhan riap dan volume tegakan saja,
melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi pertumbuhan
ini ditentukan oleh pengaruh-pengaruh iklim utama (zona iklim dan vegetasi)
dan kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik-karakteristik dan
perkembangan hutan itu sendiri.

VI.1.1

Kondisi-kondisi tapak

Formasi hutan (vegetasi fase klimaks) yang dimasukkan dalam suatu zona iklim
tertentu memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dari suatu hutan sekunder di
masa yang akan datang, karena dalam jangka-waktu tertentu hutan sekunder ini
akan berkembang kearah vegetasi klimaks tentu saja apabila tidak ada
sumberdaya genetik yang hilang.
Setiap benua memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan didalam zona
vegetasi yang sama, tergantung pada sejarah perkembangan mereka masingmasing. Tetapi dimana kondisi tapaknya sama, kelompok-kelompok jenis yang
serupa akan terbentuk. Di semua benua, contohnya, jenis-jenis vegetasi dari
masing-masing fase suksesi menunjukkan karakteristik-karakteristik yang sama.
Namun, proporsi jenis-jenis pohon komersil kadang-kadang sangat berbeda.
L-59

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

Sebagai contoh, hutan-hutan dipterokarpa dataran rendah di pulau-pulau Asia


Tenggara memiliki lebih banyak jenis-jenis pohon yang bernilai tinggi
dibandingkan hutan-hutan tropik lainnya, dan oleh karena itu hutan-hutan
tersebut dieksploitasi secara lebih intensif (KARTAWINATA 1994). Contoh ini
menggambarkan bahwa perbedaan-perbedaan regional juga dapat sangat
mempengaruhi perkembangan dan potensi dari hutan-hutan sekunder (BROWN
& LUGO 1990).
Perbedaan-perbedaan iklim dalam suatu jalur vegetasi (misalnya temperatur dan
curah hujan) juga mempengaruhi jalannya suksesi. Di daerah tropik, contohnya,
dalam proses penghutanan kembali dari suatu areal yang ditebang habis,
coppice memainkan peranan yang semakin penting apabila iklimnya semakin
kering dan semakin dingin (SUDGEN et al. 1985; STRIMGAARD 1986; NYERGES
1989). Pada sebagian besar hutan-hutan kering yang ditebang, regenerasi yang
terjadi hanya melalui coppice dan tunas-tunas akar (BROWN & LUGO 1990).
Pada daerah-daerah yang tinggi (pegunungan) di kawasan tropika, fase pionir
sama-sekali tidak terjadi dan areal-areal tersebut langsung dikolonisasi dengan
jenis-jenis pohon klimaks (CORLETT 1987).
Iklim mikro (cahaya, radiasi, angin, temperatur dan kelembaban) didalam suatu
zona vegetasi sangat dipengaruhi oleh vegetasi yang tersisa setelah terjadinya
gangguan. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi-kondisi permudaan. Sebagai
contoh, intensitas cahaya yang tinggi serta fluktuasi radiasi dan kelembaban
menguntungkan bagi permudaan jenis-jenis pionir awal, sedangkan intensitas
cahaya yang rendah diperlukan untuk pertumbuhan jenis pohon klimaks yang
tumbuh dibawah naungan tajuk.

L-60

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Faktor ekologi lainnya yang penting untuk suksesi adalah kesuburan tanah
(FINEGAN 1992). Suksesi berjalan jauh lebih lambat pada tanah-tanah yang
miskin unsur hara daripada pada tanah yang kaya unsur hara. Pada tanah-tanah
yang sangat miskin akan unsur hara, kolonisasi jenis-jenis pionir awal
membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya dan terjadi dengan sangat tidak
teratur. Walaupun demikian, tanah-tanah yang kurang subur mempunyai
potensi yang cukup untuk rekolonisasi, dengan syarat bahwa tidak terjadi
degradasi tanah lebih lanjut (UHL et al. 1988). Tanah-tanah semacam itu
seringkali ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon berkayu keras yang tumbuh sangat
lambat, yang mencirikan jenis-jenis pohon klimaks yang khas pada tapak-tapak
tersebut (CORLETT 1991; SIM et al. 1992). Semakin miskin tanah, semakin
besar pengaruh intervensi-intervensi (gangguan-gangguan) (SANCHEZ 1976).
Degradasi tanah yang terjadi dapat sedemikian beratnya akibat gangguangangguan manusia yang sangat kuat, sehingga proses penghutanan kembali
secara alami dapat terhalangi selama beberapa dekade atau bahkan beberapa
abad (CORLETT 1995).

VI.1.2

Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi

Disamping kondisi-kondisi abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan,


perkembangan hutan sekunder juga tergantung pada komposisi dan kerapatan
flora dan fauna yang berhubungan dengan regenerasi. Disini, hal-hal yang
penting adalah vegetasi yang tersisa di areal hutan sekunder setelah adanya
gangguan, seperti juga jarak dari hutan (misalnya hutan primer) yang (masih)
ada.
Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar
dan biji-biji/benih-benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya
L-61

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

suksesi (RICHARDS 1964; BOERBOOM & SCHOUTEN 1971; BOERBOOM &


WIERSUM 1983; BERNAL & GOMEZ-POMPA 1976). Bila potensi regenerasi
yang ada habis atau rusak, maka permudaan alam menjadi sangat penting.
Dalam hal ini jarak, struktur dan keanekaragaman jenis dari hutan-hutan primer
dan sekunder yang lebih tua yang letaknya berdekatan meminkan peranan yang
sangat penting (MACMAHON, 1981; DORP 1985; ROTH 1987; KARTAWINATA
1994). Selain itu, fauna yang masih ada (sebagai media terpenting dalam
penyebaran benih-benih dari jenis-jenis pohon klimaks) juga memiliki peranan
yang sangat penting. (CORLETT 1995). Jika biji/benih tidak dapat disebarkan
melalui binatang-binatang, maka permudaan dari jenis-jenis klimaks yang
memiliki biji-biji yang berat hanya dapat berlangsung disekitar pohon-pohon
induk.

VI.2 Pengaruh Manusia


VI.2.1

Pemanfaatan Kayu

Penebangan/pengambilan kayu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap


flora dan fauna, seperti juga halnya terhadap iklim mikro dan tanah. Fauna
dipengaruhi secara tidak langsung dengan rusaknya habitat mereka dan secara
langsung melalui perburuan. Besarnya pengaruh/akibat dari pembalakan
tergantung pada intensitas dan frekwensinya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak pohon yang ditebang
dan semakin luas areal yang diusahakan, maka semakin baik kondisi-kondisi
untuk permudaan jenis-jenis pionir awal serta semakin kecil keragaman
benih/bibit yang tersedia dan dengan demikian keragaman jenis yang ambil
bagian dalam suksesi. Pada saat yang bersamaan, resiko degradasi tanah
L-62

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

meningkat sejalan dengan intensitas gangguan. Berdasarkan keadaan tersebut,


gradien dampak penebangan dapat ditentukan mulai dari penebangan secara
selektif (tebang pilih) sampai ke tebang habis.
VI.2.1.1 Tebang Pilih
Pada kegiatan penebangan secara selektif (tebang-pilih) sebagian besar dari
keanekaragaman jenis tidak menghilang. Gap-gap yang terjadi akibat
penebangan biasanya ditutupi oleh pertumbuhan pohon-pohon disekitarnya.
Meskipun demikian, tebang-pilih juga dapat mengakibatkan pemiskinan jenis
sampai punahnya satu atau lebih jenis pohon di suatu wilayah. Hal ini terutama
terjadi di daerah-daerah dimana jenis-jenis pohon klimaks dengan biji yang
berat mempunyai kerapatan yang rendah, atau dimana potensi rekolonisasi
tidak ada akibat penggundulan daerah-daerah disekitarnya. Karena pada sistem
tebang-pilih hampir semua jenis pohon komersil ditebang, maka potensi
ekonomi hutan menjadi sangat berkurang dengan semakin sedikitnya
keanekaragaman jenis pohon yang masih tersisa.
Tebang-pilih juga sangat melindungi struktur tanah dan ketersediaan unsur
hara,yang dengan demikian memungkinkan terjadinya rekolonisasi secara cepat
(CORLETT 1994). Tanah didekat jalan-jalan logging dapat menjadi sangat rusak
akibat pemadatan tanah yang lebih intensif dan erosi yang mungkin terjadi
(JOHNS 1992). Karena itu, dampak-dampak tebang pilih hanya dapat dinilai
sepenuhnya, apabila akibat-akibat tidak langsung dari penebangan juga
diperhitungkan didalamnya. Contohnya, pembukaan wilayah hutan dalam
rangka kegiatan tebang-pilih dan pengambilan kayu-kayu berdiameter besar
akan sangat mempermudah pemanfaatan areal selanjutnya untuk tujuan-tujuan
lain (misalnya untuk pertanian) (BULTE & DAAN 1995). Hal ini mengurangi
kemungkinan-kemungkinan untuk mengkonservasikan hutan atau
L-63

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

menghutankan kembali suatu areal.


Jika tebang-pilih dilakukan di sebuah hutan berulang-kali dalam jangka-waktu
yang panjang, maka proporsi jenis-jenis pohon komersil akan berkurang,
unsur-unsur hara akan menipis, dan tegakan tersebut akan semakin terbuka.
Semua faktor-faktor ini menurunkan kemampuan/kualitas tapak untuk jangkawaktu yang lama.
VI.2.1.2 Tebang Habis
Dalam sistem tebang-habis, seluruh jenis pohon yang ada ditebang. Struktur tanah
dan unsur-unsur hara yang ada dirusak sedemikian rupa sehingga rekolonisasi
areal tersebut didominasi oleh jenis-jenis yang berasal dari luar areal tersebut
(CORLETT 1994). Dalam keadaan seperti ini, ketersediaan, penyebaran dan
frekwensi jenis-jenis potensil sangat menentukan proses suksesi yang terjadi
(FORMAN & GODRON 1986; TURNER 1989). Sebagai akibat dari eliminasi
vegetasi secara total dalam skala besar melalui kegiatan tebang-habis, maka hutanhutan sekunder yang tumbuh setelah itu pada umumnya miskin akan jenis dan
seringkali tidak mempunyai jenis-jenis pohon yang berasal dari komunitas pohon
klimaks (CORLETT 1994). Biasanya hanya beberapa jenis pohon pionir yang akan
mendominasi areal tersebut, yaitu jenis-jenis yang juga memulai rekolonisasi gapgap besar dalam hutan-hutan klimaks. Yang ikut menentukan kecepatan dan
jalannya suksesi adalah ketersediaan dari dan jaraknya ke sumber-sumber dan
penyebar benih/bibit serta adanya coppice dan benih-benih di tanah (tergantung
dari jenis pohon, benih-benih tersebut dapat dibawa oleh angin yang kuat sampai
beberapa ratus kilometre, atau tinggal di tanah dalam keadaan dorman untuk
beberapa tahun lamanya).
Pemadatan tanah yang terjadi akibat penggunaan mesin-mesin berat secara
intensif mempunyai dampak negatif dalam jangka-panjang terhadap akumulasi
L-64

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

biomasa (FINEGAN 1992), yang terutama di tanah-tanah miskin memainkan


peranan penting sebagai penyimpan unsur-unsur hara (POELS 1982). Pada
tanah-tanah yang padat, rekolonisasi memakan waktu yang lebih lama. Arealareal kosong dan jalan-jalan merupakan titik awal dari erosi, yang terutama
pada daerah-daerah lereng dapat menimbulkan terjadinya pengangkutan tanah
dalam skala besar. Meningkatnya intensitas pembalakan menyebabkan semakin
beratnya degradasi yang terjadi. Pada gangguan-gangguan yang terjadi dalam
skala besar, erosi tanah dan pencucian unsur-unsur hara memainkan peranan
yang semakin penting.
Perbedaan antara tebang-pilih dan tebang-habis menjadi semakin tidak jelas
apabila hutan-hutan tersebut semakin sering ditebang atau tidak ditebang
seluruhnya dalam sistem tebang-habis. Setiap batang pohon yang ditinggalkan
mempunyai efek yang positif terhadap kecepatan rekolonisasi dan komposisi
jenis dari hutan yang baru (FEDLMEIER 1996).

VI.2.1.3 Kebakaran
Kebakaran yang biasa terjadi di daerah-daerah dengan periode kering yang jelas
memperbesar dampak-dampak dari tebang-habis seperti yang dipaparkan di
atas. Api/kebakaran mengurangi lebih lanjut potensi permudaan yang ada
dengan memusnahkan tanaman-tanaman muda yang masih hidup dan
mengurangi kemampuan pohon-pohon untuk bertunas (coppice) (UHL et al.
1990). Kebakaran yang terjadi berulang-kali bahkan dapat menyebabkan
degradasi secara permanen dengan memusnahkan kemampuan akar dan batang
untuk bertunas serta kemampuan benih-benih jenis-jenis pohon pionir yang
berada di tanah untuk berkecambah (HARTHORN 1980). Di daerah-daerah
tropik beriklim sedang, kebakaran yang terjadi berulang-kali dapat
L-65

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

menyebabkan terjadinya suksesi kearah pembentukan formasi vegetasi dengan


jenis-jenis yang tahan api (GOLDAMMER 1995).
Peningkatan persediaan unsur-unsur hara yang terjadi setelah adanya kebakaran
dapat berlangsung sampai 3 tahun lamanya (JORDAN 1985). Persediaan total
unsur hara selalu berkurang melalui proses-proses pencucian dan konversi
(FINAGAN 1992). Selain itu, erosi dan dan pemadatan tanah juga memainkan
peranan penting. Tingkat degradasi yang terjadi akibat kebakaran tergantung
tidak hanya dari karakteristik-karakteristik tanah serta kondisi-kondisi mikro
dan makro dari tapak (kelerengan, posisi pada lereng, curah hujan, temperatur),
melainkan juga khususnya dari macam dan besarnya gangguan.

VI.2.2

Pertanian

Tebang pilih, tebang habis dan/atau kebakaran seringkali merupakan peristiwaperistiwa yang terjadi sebelum dilakukannya pemanfaatan lahan untuk
pertanian. Karena itu, seluruh dampak/efek yang telah dijelaskan di atas juga
berlaku untuk pemanfaatan lahan untuk pertanian. Budidaya pertanian skalakecil saja sudah dapat sangat mengurangi potensi permudaan melalui
pemusnahan tanaman-tanaman muda yang ada dan penurunan kemampuan
untuk bertunas dari batang-batang yang ada (coppice) (CORLETT 1995). Oleh
sebab itu, rekolonisasi areal tersebut tergantung sepenuhnya dari vegetasi yang
berada disekitarnya. Apabila perkembangan hutan sekunder terjadi setelah
adanya pemanfaatan wanatani (misalnya penanaman pohon untuk menaungi
tanaman kopi atau untuk memenuhi kebutuhan subsisten pertanian, yang
biasanya mempunyai bentuk batang yang jelek dan volume kayu yang kecil),
maka pohon-pohon yang ditanam dalam rangka kegiatan wanatani seringkali
menentukan komposisi jenis pada fase awal suksesi (WEAVER & BIRDSEY
L-66

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

1982; ditto 1986). Didalam ruang-lingkup sistem-sistem tradisional perladangan


berpindah, komposisi jenis dari hutan-hutan yang kemudian berkembang
sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan yang dilakukan, yaitu mulai dari
penanaman pohon-pohon buah berumur panjang sampai pada pengmebangan
komunitas-komunitas suksesi secara buatan (EWEL 1986; DUBOIS 1990;
GODOY & TAN 1991; JONG 1993).
Karena lahan-lahan yang produktif/subur biasanya digunakan untuk kegiatan
pertanian, maka hutan-hutan biasanya tumbuh diatas lahan-lahan marjinal yang
kurang menarik untuk pertanian. Lahan-lahan marjinal ini bahkan seringkali
digunakan untuk pertanian, contohnya dalam sistem-sistem perladangan
berpindah. Budidaya (pertanian) menyebabkan mobilitas unsur hara yang lebih
tinggi. Namun, vegetasi yang ada tidak mampu menyerap dengan cepat unsurunsur hara yang dilepaskan. Sebagai akibatnya terjadi pencucian unsur-unsur
hara dan pengangkutan (erosi) tanah, yang khususnya terjadi pada intervensi
(kegiatan pertanian) skala-besar dan pada kondisi-kondisi tapak yang sensibel.
Degradasi ini sangat memperlambat jalannya suksesi. Contohnya, areal-areal
yang diteliti di Venezuela, yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian,
mempunyai jenis-jenis kayu tiga kali lipat banyaknya, tutupan hutan yang lebih
rapat, dan biomasa 30% lebih banyak dari areal-areal yang digunakan untuk
kegiatan pertanian lima tahun sebelumnya (UHL 1987). Tingkat degradasi yang
terjadi tergantung dari intensitas dan lamanya pemanfaatan. Pemanfaatan
pertanian yang lama tanpa menggunakan pupuk dapat memperburuk kondisikondisi tanah dengan sangat cepat. Contohnya, tanda-tanda defisiensi unsurunsur hara pada tanah-tanah Oxisol dan Ultisol yang miskin serta pada
beberapa tanah vulkanik (MAZZORINO et al. 1988) sudah mulai kelihatan dalam
waktu kurang dari 5 tahun. Setelah 8 tahun, tingkat pertukaran aluminium
sampai 100% sudah dapat diukur (SANCHEZ et al. 1983). Berlawanan dengan
L-67

Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder dalam Kebijakan Pembangunan

tapak-tapak yang hanya sedikit dimanfaatkan, pada tanah-tanah/tapak-tapak


tersebut tidak terdapat lagi P, K, Ca atau Mg dalam konsentrasi yang signifikan
(BUSCHBACHER et al. 1988; UHL et al. 1988).
Di daerah-daerah tropik, pemanfaatan lahan untuk pertanian dalam jangkawaktu lebih dari 5 tahun menyebabkan degradasi lahan yang berat. Permudaan
dari banyak jenis pohon akan terhambat, karena potensi permudaan yang ada
dirusak melalui pengolahan tanah, atau karena terjadinya perubahan radikal dari
komposisi mycorrhizae yang sangat menentukan kemampuan pohon untuk
berkompetisi (JANOS 1980). Budidaya pertanian yang lebih lama dan lebih
sering serta degradasi yang diakibatkannya dapat menyebabkan terbentuknya
fase semi-klimaks yang sangat berbeda dari hutan aslinya (CORLETT 1995).
Bambu (WHITEMORE 1984), rumput Imperata (KARTAWINATA 1994) atau
padang alang-alang (Amerika Tengah) dapat mencegah terbentuknya hutan
kembali dalam jangka-waktu yang tidak terbatas. Dalam kasus-kasus yang
ekstrim, perubahan-perubahan semacam ini dapat menyebabkan terbentuknya
formasi semak-belukar yang permanen (SIPS 1993).

L-68

Lampiran / Faktor-faktor yang Mempengaruhi

VI.2.3

Peternakan/penggembalaan di padang rumput

Padang rumput selalu ditinggalkan bila kondisi-kondisi yang ada tidak lagi
menunjang kegiatan penggembalaan. Kedalam kondisi-kondisi ini termasuk
pengambilan kembali hak-hak penggunaan lahan, masalah-masalah yang
menyangkut kesehatan ternak, serta keterbatasan ekonomi yang menyebabkan
peternakan tidak menguntungkan lagi dan menurunnya kesuburan tanah.
Potensi permudaan yang masih ada (setelah tebang-habis) untuk berkecambah
bertahan lebih lama apabila lahan tersebut digunakan untuk penggembalaan
ternak dibandingkan dengan apabila lahan tersebut digunakan untuk budidaya
tanaman pertanian (NEPSTAD et al. 1990). Selain itu, setelah digunakan untuk
penggembalaan lahan, tersebut memiliki lebih banyak bahan organik
dibandingkan dengan, contohnya, setelah digunakan sebagai perkebunan kopi
(WEAVER et al. 1987). Bahkan, lahan penggembalaan sering mempunyai bahan
organik yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer (BROWN &
LUGO 1984; LUGO et al. 1986). Walaupun demikian, padang rumput dapat
merupakan penghambat langsung atau tidak langsung untuk suksesi hutan,
karena padang rumput menjadi habitat bagi hewan-hewan pemakan biji,
menyaingi tanaman-tanaman kayu dalam pemanfaatan unsur-unsur hara,
memperbesar defisit air pada musim kering, dan memperbesar risiko terjadinya
kebakaran. Dilain ihak, padang rumput di dataran-dataran rendah tropik basah
dan tropik beriklim sedang kebanyakan akan menghilang, kecuali apabila terjadi
kebakaran secara periodik (GOLDAMMER 1995). Erosi dan pemadatan tanah
pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian lebih tinggi
dibandingkan pada lahan-lahan yang ditutupi/ditumbuhi oleh rumput secara
permanen.

L-69

Anda mungkin juga menyukai