138
Lihat Ibnu Mansur al-Ansari, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Sadir, t.th), h. 656
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia (Cet.
IV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 1025
3
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VIII;
Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985), h. 1125
4
Ibid., h. 328
5
Lihat al-Im m Ab Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghaz li,
Ihy Ulm al-Dn, jilid II (Cet.III; Bair t-Libanon: D r al-Fikr, 1991), h. 154
6
Lihat ibid., h. 152-153
2
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
139
Muh. Rusli
#D# DE# M D# E# kh P F # E# o
# # D# w
# D# ok # F
##E#J#RF l F ##l#EL#EcF#l
i #E#F #ok
### #J#Q MQ D#h #P #E##E#J#E#F#E#cF
# #.7+hF#jlP#/p#Dk,#Q L #h
Artinya:
Rasulullah saw. telah bersabda: Apakah kalian mengetahui apa ghbah
itu? Mereka berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau
bersabda: (ghbah itu) adalah pengungkapan engkau tentang saudaramu
mengenai apa yang ia benci. Dikatakan (Nabi ditanya): Apakah
pendapatmu jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya
katakana?. Beliau bersabda: Jika yang ada padanya sesuai apa yang
engkau katakan, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya, dan
jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah
mendustakannya. (HR. Muslim; Turmuzi dan Ahmad).
Hadis tersebut memberikan gambaran bahwa ghbah itu adalah
pengungkapan yang dilakukan seorang Muslim mengenai diri sesamanya
Muslim yang apabila didengar menimbulkan rasa benci.8 Dapat juga
dimaknai ghbah yaitu menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang
Muslim, sedang ia tidak suka bila itu disebutkan.9 Adapun Muhammad alZarq ni menyatakan bahwa ghbah ini sebenarnya berlaku khusus bagi
orang Muslim, sebab kata akhka dalam hadis Nabi saw. yang dimaksudkan
adalah saudara seagama (sesama umat Islam). Karena itu, ghbah tidak
berlaku pada orang kafir (l ghbah f kfir).10 Ghbah tidak berlaku pada
orang kafir juga dapat didasarkan pada azbabun nuzul ayat QS. al-Hujur t
(49): 12
7
140
#YXT # # 22 # FC# XW# E # FC# ]CK%# <nm:[# S AW*B# S=W%X# W# SM{i U
Wc
#Oj\U # ]1UV# #
Wc # DU # 2iWPU # p
V f U # # W # 1 # W * W c # YX T # S S I U %
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
141
Muh. Rusli
pandangan Islam. Hal tersebut didasarkan pada hadis Nabi saw. yang
menyatakan bahwa ghbah termasuk dosa besar. Sebagaimana sabdanya :
# EQ o
D#l EM
D#lM
F # #J #o
# #D#w
#D# ok #E
# #15+gDg#LF#Dk,#\
#l L #p
#Xk #l ##l D
Artinya :
Rasulullah saw bersabda : Yang paling besar dosa besar adalah
gunjingan seseorang tentang kehormatan seseorang laki-laki Muslim
tanpa kebenaran.
Kemudian dalam hadis yang lain, juga disebutkan :
#E##SEL D#M p
D DM Q X
D#E#o
# #D#w
#D#ok #F
#D#l\
#QD#qD#Q #l]pD#EL#ltD#E##E#D#ok
#j #
\nD# # QD# ELlD# F # Q D# E# F # ]
EL# EJ
13
142
# #16+p#Dk,# S
E D#SE E D#SEx
]
D
Artinya :
Rasulullah saw bersabda: Jauhilah kalian tujuh mbiqt (kejahatan
yang membinasakan). Mereka berkata: Hai Rasulullah, apa itu ? Nabi
bersabda: Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah
haramkan kecuali dengan haq, makan harta anak yatim, makan riba,
berpaling pada hari pertempuran dan menuduh perempuan-perempuan
yang terpelihara kesuciannya lagi mukminat (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka dapat dipahami bahwa ghbah
merupakan dosa besar yang melebihi riba. Olehnya itu, menurut hadis tidak
ada kemungkinan untuk membolehkan orang melakukannya. Lain halnya
dengan ijtihad ulama dalam menyikapi ghbah, pada kasus-kasus tertentu
mereka membolehkannya sebagaimana hasil ijtihad Ibr him Muhammad
Jam l yang menurutnya, menggunjing dibolehkan dalam beberapa hal,
antara lain :
1. Ketika menyampaikan penganiayaan orang lain kepada penguasa/
pemerintah dengan menerangkan hakikat yang sebenarnya dan
menerangkan keadaan orang yang melakukannya.
2. Ketika meminta pertolongan untuk mengubah suatu kemungkaran
yang pada saat itu diminta keterangan dan penjelasannya.
3. Ketika meminta fatwa dalam masalah yang terkadang
membutuhkan banyak perincian bukti, bahkan sifat-sifat agar
pemberi fatwa mengerti kedudukan masalah yang dibicarakan
4. Ketika hendak memberikan peringatan dari musibah atau kefasikan
yang membutuhkan penjelasan dan untuk membersihkan diri ketika
ditanya tentang seorang saksi yang dianggap tidak benar dan
merugikan.
5. Ketika menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan gelarnya.
6. Menyebutkan orang-orang yang secara terang-terangan berbuat
kefasikan agar berhati-hati terhadapnya.17
Menyikapi pandangan ulama tersebut dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, maka ghbah itu diperbolehkan bilamana bukan bertujuan
untuk merendahkan harkat dan mengurangi kehormatan seseorang. Untuk
itu, setiap orang harus berhati-hati dalam berbicara apalagi jika yang
dibicarakan terkait dengan pribadi seseorang.
16
Ab Husayn Muslim Ibn Hajj j al-Qusyayri al-Naisab ri, op. cit., juz
I, h. 92
17
143
Muh. Rusli
D. Mudharat/Dampak Ghbah
Larangan Allah tentang ghbah bukanlah larangan belaka, namun
larangan tersebut mengindikasikan adanya dampak yang sangat besar yang
ditimbulkan oleh ghbah tersebut.
Menurut hemat penulis, dampak ghbah dapat dibagi dua yakni
1. Dampak di dunia.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa ghbah dapat merusak hubungan
persaudaraan, sebab orang yang digunjingnya itu setelah mengetahui
dirinya bicarakan, tentu saja hal itu menyebabkan hatinya sakit dan
perasaannya pun menjadi luka, sehingga tumbuh rasa permusuhan
antara yang menggunjing dan yang digunjing itu. Apabila rasa
permusuhan telah tumbuh, maka dapat mengakibatkan hilangnya
rasa kasih sayang dan sekaligus dapat merusak perdamaian.18
Dalam fenomena keseharian kita, tidak sedikit kita saksikan
orang yang tega menyakiti bahkan membunuh saudaranya, orang
tuanya atau keluarganya lantaran ia merasa sakit hati karena
dibeberkan aibnya. Olehnya itu, larangan ghbah merupakan aturan
agama yang berdampak langsung pada hubungan sosial.
2. Dampak di akhirat
Selain memiliki dampak yang besar di dunia. Nabi Muhammad saw.
juga telah memperingatkan akan siksaan yang dihadapi oleh pelaku
ghbah, berdasarkan riwayat hadis sebagai berikut ;
# # D# w
#
M D# # t F # R
# E# l
L # LF #
#E# d
# h lY
L # PG # # E # l M # # l # o
# # Y
# TEL#t
#Np L #EY
#lc
H#Xk #EF #RM Q oE
#E#E # d
o
# J #EF #E#T #h \
D#Dj # #h \
D#Dj
#M D##ELj #E J #E#T #
s
#E Q L # #E #E
# #19+hF#Dk,# M D
Artinya :
Dari Ab Bakrah berkata bahwa saya pernah berjalan bersama Nabi saw,
18
144
lalu (kami) melewati dua kuburan lalu beliau bersabda: siapa yang akan
memberiku pelapa kurma. Lalu Abi Bakrah berkata: saya dengan
seseorang yang lain mendatangkan kepadanya dahan kurmah, lalu beliau
membelah dua dan menjadikan (menancapkannya) pada tiap kubur satu
potongan dahan itu. Kemudian beliau bersabda: Semoga dengan (dahan
kurma) ini dapat meringankan siksaan keduanya selama dahan kurma
yang tertancap pada keduanya masih basah. Kemudian beliau bersabda
lagi: Sesungguhnya keduanya tersiksa karena masalah ghbah dan
kencing (HR. Ahmad)
Hadis lain yang bersumber dari Yala bin Syib bah yang matannya
berbunyi sebagai berikut :
#J #=#E #M \
Ew#Oj #lM ##l #o
# #D#w
#M D#F
# #+kEdMD#Dk,#rED#]#G#E#Dj
Artinya :
Sesungguhnya Nabi saw melewati sebuah kuburan yang tersiksa
penghuninya, maka ia bersabda, bahwa ini adalah karena memakan
daging-daging manusia (HR. al-Bukh ri)
Dari kedua hadis tersebut di atas, dapat dipahami bahwa dampak
atau balasan orang yang suka melakukan ghbah kemudian meninggal
sebelum bertaubat adalah mengalami siksaan kubur. Selain itu, ia tidak
masuk Surga bilamana perilaku ghbah yang dilakukannya itu didasari oleh
rasa iri hati, rasa dendam dan terutama oleh adu domba. Hal ini dapat
dipahami berdasarkan hadis Nabi saw, yakni ;
Dalam riwayat lain disebutkan :
#Dk,# S
EQ # Y
D# ch # E# # o
# # D# w
# M D
# #20+kEdMD
Artinya :
Adalah Nabi saw bersabda : Tidak akan masuk syurga orang yang
suka adu domna (HR. al-Bukh riy).
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa adanya
larangan Allah dan Nabi-Nya untuk tidak melakukan ghbah bukanlah
larangan tanpa sebab, melainkan akan berdampak buruk baik dalam
20
Al-H fizh Ahmad bin Hajar al-Asqal ni, Fath al-Bry bi Syarh Shahh alBukhry, juz X (Bair t-Libanon: t.p., t.th.), h. 472. CD. Rom Had al-Syarf al-Kutub al
Tisah dalam Shahh al-Bukhry, hadis nomor 5596, Kitab Adab
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
145
Muh. Rusli
21
146
# #22+kEdMD#Dk,#hw
Artinya :
Dari Nabi saw bersabda : setiap ucapan keselamatan bernilai sedekah;
seorang bapak yang bersungguh berkerja setiap hari mencari nafkah
(untuk keluarganya) atau meringankan beban (keluarganya) bernilai
sedekah; dan kalimat yang baik serta setiap langkah menuju ke mesjid
adalah sedekah; dan menunjukkan jalan (kepada seseorang) adalah
sedekah. (HR. al-Bukh riy)
Usaha lain agar terhindar dari ghbah adalah diam. Diam dapat
dimaknai sebagai sikap hidup tidak melakukan membicarakan hal-hal yang
terkait dengan kekurangan seseorang, baik lisan, isyarat, gerakan, gerakan
maupun tulisan.
F. Taubat Bagi Pelaku Ghbah
Taubat merupakan salah satu jalan untuk penyucian diri dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa ghibah
merupakan dosa besar yang sangat besar dampaknya. Olehnya itu, jika kita
terlancur melakukannya maka secepat mungkin untuk melakukan taubat.
Nabi saw. telah memberikan petunjuk tentang taubat bagi pelaku
ghibah, sebagaimana sabdanya :
#F # Q M Q D # # k E
# =# E# o
# # D# w
#
M D#
# #23+gDg#LF#Dk,# #l Q p
P
Artinya :
Dari Nabi saw beliau bersabda : Pembayaran denda orang yang
engkau telah mengumpatnya, yaitu engkau memintakan ampun
(kepada Allah) baginya. (HR. Ab D wud)
Mengenai hadis di atas, juga diriwayatkan oleh al-H ris dengan
isnad yang lemah, namun dari riwayat lain misalnya al-H kim berdasarkan
hadis dari Huzaifah dan Baih qy, hadis ini dianggapnya sebagai hadis yang
22
Al-Im m Ab Adill h Muhammad bin Isma l bin Ibr him bin alMugh rah bin Bardizbat al-Bukh riy, Shahh al-Bukhriy, juz VII. Bair t-(Libanon:
D r al-Fikr, 1981), h. 79
23
CD. Rom Had al-Syarf al-Kutub al Tisah dalam Sunan Ab Dwud, hadis
nomor 4231, Kitab Adab. Lihat juga al-H fizh Ibn Hajar al-Asqal ni, Bulgh al-Marm
min Adillat al-Ahkam (Indonesia: D r Ihy al-Kutub al-Arabiyah, t.th), h. 306-307
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
147
Muh. Rusli
berkualitas shahh.24
Interpretasi hadis di atas menuai kontroversi. al-Hasan mengatakan
pelaku ghbah itu dalam menebus dosanya sudah cukup dengan ber-itsighfr,
tanpa meminta penghalalan dari orang yang di-ghbah-nya.25 Namun,
menurut jumhur ulama cara bertaubat bagi orang yang menggunjingkan
orang lain adalah dengan meninggalkan kebiasaan tersebut dan bertekad
untuk tidak mengulanginya lagi, di samping harus meminta maaf kepada
orang yang digunjingnya.26
Menurut hemat penulis, jika usahanya untuk meminta maaf kepada
orang yang telah digunjingnya terhalang karena tidak tahu keberadaannya
atau telah meninggal, maka ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pelaku
ghbah yang hendak bertobat, yaitu; mendoakan keselamatan atas orang
yang pernah di-ghbah-nya; menunjukkan niat baik terhadap keluarganya;
dan membayarkan hutang-nya bila ternyata ia mempunyai hutang.
Demikian gambaran tentang ghbah dimana ghbah merupakan hal
yang sangat besar dampaknya bilamana menjangkiti umat Islam. olehnya itu,
sudah sepantanyalah umat Islam mampu menghindarkan diri dari perbuatan
tersebut. Bilamana ghbah terlanjur dilakukan maka secepat mungkin untuk
memohon ampun baik langsung kepada orang yang digunjing maupun
kepada Allah swt.
G. Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut
:
1. Hakikat ghbah adalah pengungkapan aib atau cacat seseorang Muslim
yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud menghina atau
merendahkan derajatnya. Dengan demikian ia berdosa. Tetapi jika
24
Lihat al-Sayyid al-Im m Muhammad bin Ism il al-Kahl niy alShan niy al-Mar f bin al-Am r, Subul al-Salm, juz IV (Bandung: Maktabah
Dahl n, t.th), h. 203
25
Lihat al-All mah al-Marh m al-Syaikh Muhammad Jam l al-D n alQ simiy al-Dimasyqy, Mauizah al-Muminn min Ihyh Ul al-Dn, juz I
(Indonesia: D r Ihy al-Kutub al-Arabiyah, t.th), h. 236
26
Lihat Ibr him Muhammad al-Jam l, op. cit., h. 79 Pendapat ini juga
dianut oleh Syiakh al-Naw wiy, bahkan ia menekankan kepada pelaku ghbah agar
meminta penghalalan dari orang yang di-ghbah-nya, di samping memenuhi tiga
syarat tobat lainnya, yaitu harus menghentikan maksiat, haruslah menyesali
perbuatannya dan bersungguh-sungguh tidak akan kembali mem-perbuatnya untuk
selama-lamanya, Lihat, Syaikh al-Hasan Muhy al-D n Ab Zakariyah Yahya bin
Syar f al-Nawawiy, Riyd al-Shlihn min Kalm Sayyid al-Mursaln
(Semarang-Indonesia: Maktabah wa Mathbaah Toha Putra, t.th), h. 12-13.
148
149
Muh. Rusli
150
http://journal.iaingorontalo.ac.id/indek.php/ma
151