Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PERITONITIS
Oleh
dr Charlie Windri
DAFTAR PUSTAKA
BAB I...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN....................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................... 3
LAPORAN KASUS.................................................................................................... 3
I. IDENTITAS..................................................................................................... 3
II. ANAMNESIS................................................................................................. 3
III. PEMERIKSAAN FISIK..................................................................................4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG......................................................................5
V. RESUME........................................................................................................ 6
VI. DIAGNOSIS................................................................................................. 6
VII. PENATALAKSANAAN.................................................................................6
VIII. PROGNOSIS.............................................................................................. 7
BAB III.................................................................................................................... 7
ANALISA KASUS...................................................................................................... 7
BAB IV.................................................................................................................. 11
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 11
I. DEFINISI...................................................................................................... 11
II. ANATOMI.................................................................................................... 11
III. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI...................................................................13
IV. FAKTOR RESIKO........................................................................................ 15
V. PATOFISIOLOGI.......................................................................................... 15
VI. GEJALA KLINIS.......................................................................................... 16
VII. PEMERIKSAAN FISIK.............................................................................. 16
VIII. DIAGNOSA.............................................................................................. 17
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG....................................................................17
XI. TERAPI ANTIBIOTIK................................................................................19
XII. INTERVENSI NON-OPERATIF................................................................19
XIII. TERAPI OPERATIF.................................................................................. 19
XIV. PROGNOSA............................................................................................. 20
KESIMPULAN........................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau
dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus meneras, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
BAB II
LAPORAN KASUS
2
I. IDENTITAS
Nama penderita
: Tn.S
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 21 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Nyeri di seluruh lapang perut.
2. Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut sejak 10 jam sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan terus menerus dan paling hebat terasa di bagian
perut kanan bawah. Keluhan disertai dengan demam sejak 1 hari yang lalu, demam dirasakan
naik turun. Sebelumnya pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu yang
semakin lama semakin bertambah dan nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang nyerinya
dirasakan semakin bertambah berat dan terus-menerus sehingga menyebabkan pasien tidak
bisa beraktifitas dan sulit untuk tidur. Keluhan ini juga disertai dengan mual, muntah dan
nafsu makan menurun. BAB (-) sejak 1 hari yang lalu, flatus (-) sejak pagi, BAK (+) lancar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma: disangkal
Riwayat alergi: disangkal
Riwayat operasi sebelumnya: disangkal
Riwayat perut sering kembung/perih: dibenarkan
Riwayat trauma: disangkal
4. Riwayat pengobatan:
Meminum obat-obatan maag yang dibeli di warung namun tidak ada perubahan.
Sempat diurut perutnya satu hari smrs.
5. Riwayat sosial lingkungan
Pasien bekerja sebagai petani.
3
Nadi
: 94x/ menit
Respirasi
: 24x/ menit
Suhu aksila : 38,7 C.
Tekanan Darah: 110/80
Nilai
Nilai normal
Hb
10.2
13-17 gr/dl
Leukosit
18.700
4-11 ribu/mm3
Eritrosit
4.3
4.5-6.2 juta/mm3
Trombosit
348.000
150-400 ribu/mm3
Hematokrit
31
40-54%
LED
15
<10 mm/jam
MCV
78
MCH
24
MCHC
30
Basofil
0-1
Eosinofil
1-3
Batang
2-5
Segmen
86
50-70
Limfosit
16
20-40
Monosit
2-8
GDS
127
<200 mg/dl
Bleeding Time
1-3 menit
Clotting Time
5-15 menit
HbsAg
Alvarado Score
Characteristic
Score
Pasien
Anorexia
Tenderness in RLQ
Rebound pain
Elevated temperature
Leukocytosis
Total
10
10
V. RESUME
Pasien tn. S 21 tahun datang dengan nyeri abdomen yang generalisata dan progresif. Disertai
gejala dan tanda sistemik yaitu demam. Juga disertai gejala gastrointestinal yaitu anoreksia,
mual, muntah, konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak kesakitan dan tanda-tanda akut
abdomen yaitu distensi, bising usus menurun, nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh
abdomen.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis.
VI. DIAGNOSIS
Peritonitis et causa Appendicitis Perforasi
VII. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 30 tetes/menit
Pasang NGT -> residu (+), kehijauan
Pasang kateter
Inj. Ceftriaxone 1 g / 12 jam IV
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam IV
Inj. Metronidazol 500 mg / 12 jam IV
Inj. Ketorolac 1 amp / 12 jam IV
Rencana appendictomy laparotomy cito
Puasa
Pantau KU, Kesadaran, TTV.
Pantau urin output.
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Dubia
Quo ad functionam
Dubia
6
Quo ad sanationam
Dubia
BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus ini seorang pria berusia 21 tahun datang ke IGD RSUD Damanhuri Barabai.
Berdasarkan autoanamnesis dengan pasien dan setelah dilakukan pemeriksaan fisik,
didapatkan:
7
Keluhan utama berupa nyeri di seluruh lapang perut yang bersifat progresif
Terdapat keluhan gastrointestinal berupa mual muntah dan anoreksia
Terdapat keluhan sistemik berupa demam
Terdapat gejala dan tanda akut abdomen seperti nyeri saat bergerak, distensi abdomen,
defens muskuler, nyeri tekan dan nyeri lepas, suara bising usus berkurang.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang
kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis generalisata.
Diduga menjadi peritonitis generalisata dengan ditemukannya penurunan bising usus
pada pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan terjadinya perlengketan organ-organ intra
abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Jika dibiarkan akan terjadi ileus
paralitik, usus menjadi atoni dan meregang, yang menimbulkan komplikasi dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria karena hilangnya cairan dan elektrolit ke usus. Sehingga pada
pasien ini diperlukan tindakan segera (cito). Perlekatan dapat terbentuk antara lengkunglengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.
tersebut
menyebabkan
mukus
yang
diproduksi
mukosa
mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejalagejala sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb)
10
atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakantindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan apendisitis.
Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Antibiotika
berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika
untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika
diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita.
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas
diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Pada pasien ini diberikan Cephalosporin
gen 3 (Ceftriaxon) dan Metronidazole.
Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke
cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti
klindamisin.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan
merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses
infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon,
maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster,
11
keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.
II. ANATOMI
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling kompleks yang terdapat
dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan
batas-batas:
* Anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
* Posterior
: retroperitoneum
* Inferior
* Superior
Peritoneum parietal
Peritoneum viseral
12
13
misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan
pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik,
merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,
sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan
peradangan.
14
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
cara operatif
dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra abdomen
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik, abses,
perlengketan intraperitoneal.
3. Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya
organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus,
gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah
dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam
peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat
pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses
intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
IV. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
kerusakan ginjal
appendisitis
ulkus gaster
trauma
pankreatitis
V. PATOFISIOLOGI
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen,
ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi
oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk
diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat
terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan
terjadi perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah.
Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik
intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.
Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
Rigiditas abdomen atau sering disebut perut papan, terjadi akibat kontraksi otot
dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada
dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
16
1.
2. Palpasi
3. Auskultasi
4. Perkusi
Pada rectal toucher akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani
menurun dan ampula recti berisi udara.
17
VIII. DIAGNOSA
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan sangat
diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga pasien dapat diterapi dengan
benar.
lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/...L ) dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG abdomen, CT scan, dan
MRI.
18
X. TERAPI
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan
medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
intervensi non-operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas, abses multipel.
Terapi intervensi non-operatif ini umumnya berhasil pada pasien dengan abses peritoneal
yang disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis, divertikulitis).
Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila suatu abses dapat di akses melalui drainase
percutaneus dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen lain yang
memerlukan pembedahan, maka drainase perkutaneus ini dapat digunakan dengan aman dan
efektif sebagai terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, luka dan
erosi, fistula.
XIV. PROGNOSA
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi. Prognosa
baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis general.
KESIMPULAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau
dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus meneras, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang..
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. Sabiston Textbook of Surgery 18th edition.
Chapter 43. Saunders Elsevier. 2008.
2. Klingensmith et al. The Washington Manual of Surgery 5th Edition. Chapter 11.
Lippincott Williams & Wilkins. 2008.
3. Brunicardi et al. Schwartzs Principle of Surgery 8th edition. McGraw Hill. 2007.
21
22