Anda di halaman 1dari 4

dr.

Shella Widya Gani


Prodi Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Rekomendasi untuk Perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional/BPJS

Alasan mengapa perlu dibangun sistem pembiayaan kesehatan tidak lain karena Negara
mengakui hak azasi warga atas kesehatan, Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Negara perlu
mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses pelayanan
kesehatan dan memberikan perlindungan terhadap risiko keuangan (WHA), Sejak tahun 2005
pemerintah mengadakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin
(Jamkesmas).
Pemerintah Daerah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
sebagai komplemen program Jamkesmas, untuk memperluas cakupan kepesertaan.
Masyarakat miskin dan atau tidak mampu diluar kuota Jamkesmas menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah melalui program Jamkesda. Namun sekarang negara sudah mengalihkan
sistem pembiayan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kenyataan yang terjadi saat ini BPJS bukannya memudahkan sistem pembiayaan kesehatan,
namun malah memperumit. Tidak hanya masyarakat yang merasa kurang merasakan
pelayanan pembiayaan yang optimal, namun sistem operasional yang berbelit- belit . Setelah
berjalan 1 tahun dapat kita lihat dan rasakan bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga
rumah sakit dan kalangan pekerja medis. Biaya pengobatan setiap pasien tidak dibayar oleh
BPJS sampai sembuh, tetapi sudah disiapkan paket-paket pembiayaan didalam sistim INA
CBGs. BPJS hanya bayar sesuai tarif yang dalam INA CBGs, tidak peduli sembuh atau
tidak. BPJS tidak mau tahu rumah sakit atau pasien mampu untuk menutupi kekurangan atau
tidak. Hal ini akan membuat pihak rumah sakit bangkrut terutama rumah sakit swasta dan
klinik- klinik. Jika tidak mengikuti sistem pembiayaan BPJS rumah sakit swasta dan klinik
akan sepi pasien , namun jika ikut sistem bpjs, rumah sakit dan klinik akan kewalahan karena

sebaik dan seoptimal apapun pelayanan yang diberikan, baik terapi invasive dan obat- obatan
akan dibayar sesuai INA CBGS.
Kalau pun belum bangkrut, rumah sakit tidak memiliki dana untuk menutupi kebutuhan obat
para pasien. Karena tidak cukup dana buat beli obat-obatan, akibatnya obat banyak kosong.
Akhirnya, pasien terpaksa harus beli obat sendiri diluar rumah sakit. Jika hal ini terus terjadi,
bias dibayangkan banyaknya rumah sakit yang akan bangkrut dan Rakyat yang merugi.
Permasalahan masih didominasi akibat ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan
--sebelumnya bernama PT Askes (Persero) dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi
masyarakat.
Sebagai contoh permasalahan-permasalahan terkait peraturan BPJS:
1. Banyak masyarakat tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayarkan, manfaat,
serta fasilitas yang akan didapat pekerja
2. Pekerja JPK Jamsostek yang otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan ternyata harus
disuruh mendaftar lagi ke BPJS Kesehatan. Ini yang membuat pekerja dan pengusaha
protes
3. Selain itu pada saat di Jamsostek, program JPK Pekerja Mandiri melingkupi keluarga
tetapi saat ini peserta Pekerja Mandiri di BPJS Kesehatan merupakan peserta
individual saja
4. Permasalahan pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan juga dikeluhkan
masyarakat, karena banyak lokasi pendaftaran hanya ada di lokasi-lokasi tertentu saja,
sehingga terjadi penumpukan calon pendaftar.
5. Pemeriksaan CT scan pada setiap organ tubuh dipukul rata hanya dihargai Rp
250.000. Padahal, kebutuhan untuk masing masing organ tubuh biayanya berbedabeda. Misalnya biaya CT-Scan kepala dan abdomen berbeda, belum dihitung biaya
kontras apabila diperlukan kontras. Rumah sakit tidak mungkin minta ke pasien,
sehingga akhirnya rumah sakit yang menalangi.
6. Pasien pasca rawat yang habis biaya sekitar 20 juta rupiah, namun BPJS hanya bayar
2,5 juta. Sisanya terpaksa rumah sakit yang menanggung. Satu atau dua pasien saja
sudah cukup besar kerugiannya, apalagi jika banyak pasien yang harus ditanggung. .
7. Tindakan operasi by pass arteri koroner. Tindakan ini hanya dihargai Rp 33-45 juta di
rumah sakit Kelas A. Padahal, tindakan ini umumnya membutuhkan biaya sekitar Rp
100-150 juta. Jika rumah sakit dipaksa memberikan pelayanan tersebut dengan harga
serendah itu, maka rumah sakit dengan cepat akan gulung tikar karena menalangi
hingga puluhan juta untuk suatu tindakan

8. Pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan obat seumur hidupnya. Pasien
yang sudah lanjut usia, dengan keterbatasan akibat penyakit yang dideritanya terpaksa
datang berulang kali untuk kontrol dan mengambil obat. Hal ini tentunya merepotkan,
mereka juga terpaksa akan mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk
transportasi.
Sepelik apapun permasalahan yang timbul dilapangan, BPJS tetap adalah bagian dari sistem
kesehatan nasional kita yang memegang peranan penting. Jika BPJS gagal menjalankan
fungsinya sebagai penyelenggara program jaminan kesehatan, gagal pula keseluruhan sistem
kesehatan nasional kita.
Beberapa orang masih berpandangan hanya perlu mengkoreksi sistim INA CBGs yang
dijalankan oleh BPJS. Padahal INA CBG's memang tujuannya dibuat untuk membatasi dana
yang keluar dari BPJS agar dana yang terkumpul bisa diinvestasikan.
Saran dari saya untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS):
1. Seharusnya harga obat tidak boleh memberatkan peserta dan BPJS Kesehatan juga
harus mengcover obat
2. Data dari Jamsostek bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu BPJS
Kesehatan untuk pekerja formal. Demikian juga data purnawirawan TNI/Polri
harusnya sudah bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu baru tanpa
keharusan para purnawirawan tersebut mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan. Padahal
sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek
otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.
3. Tarif INA-CBGs terlalu rendah dan perlu dilakukan revisi secepatnya. Contohnya
tarif di Rumah Sakit Kelas C yang jauh dibawah Rumah Sakit Kelas B dan A. Hal ini
membuat Rumah Sakit Kelas C "harus" naik ke Kelas B untuk dapat bertahan di
Industri Perumahsakitan. Perlunya juga direvisi tarif INA-CBG's untuk tindakan
invasif yang dinilai terlalu murah sehingga membuat Rumah Sakit merugi.
4. Sosialisasi program INA-CBGs yang "sangat tidak optimal". Ada yang mencontohkan
bahwa pasien marah ke dokter karena kartu BPJS pasien tidak bisa "langsung"
digunakan. Pasien baru mendaftar saat rawat inap, namun kartu baru bisa digunakan
14 hari kerja setelah mendaftar. Pasien yang tidak mampu akhirnya harus
menanggung biaya kesehatan yang mahal, tanpa BPJS. Pasien mengaku tidak pernah

mendapat sosialisasi dari manapun terkait hal tersebut. Pasien hanya tahu dengan
daftar BPJS, mereka bisa dibebaskan dari biaya kesehatan.
5. Kualitas obat yang digunakan jauh menurun bila dibandingkan masa sebelum BPJS,
karena Dokter tidak bisa dengan leluasa memberikan obat yang "Lege Artis", karena
terbentur plafon tarif INA-CBGs yang rendah.
6. Perlunya dilakukan penelitian sistematis untuk menilai apakah tarif yang ada sudah
berpihak pada keselamatan dan kesehatan pasien.
7. Sebaiknya tidak membedakan tarif INA-CBGs berdasarkan kelas rumah sakit, namun
hanya berdasar severity level-nya saja. Intinya adalah agar BPJS, IDI (dan organisasi
profesi yang lain) dan Pemerintah (Kementrian Kesehatan) untuk duduk bersama
membicarakan tarif yang bermanfaat untuk semua pihak.
8. Agar BPJS juga memperhatikan kesehatan tenaga kerja indonesia (TKI) di luar
negeri. Diharapkan perlindungan dan jaminan yang diberikan kepada TKI setara
dengan pekerja di Indonesia.
9. Harusnya BPJS Kesehatan juga menerima peserta pekerja mandiri berbasis keluarga
dengan iuran yang khusus, tidak mengacu pada hitungan pekerja mandiri
10. Seharusnya pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di Puskesmas-Puskesmas atau
rumah sakit-rumah sakit yang mudah di akses masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai