Anda di halaman 1dari 21

1

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) YANG


DITUMPANGSARIKAN DENGAN KEDELAI (Glycine max L.)

Rinaldi1 Milda Ernita, S.Si. MP 2 Yunis Marni, SP. MP 3


NPM. 0910005301074
Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi
Universitas Tamansiswa Padang

ABSTRAK

Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Zae mays L.) yang
ditumpangsarikan dengan kedelai (Glycine max L.) telah dilakukan dilahan kering di
jorong Batu Hampar Nagari Kampung Tangah Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten
Agam mulai bulan Juni sampai September 2013. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
dan mempelajari pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dan kedelai secara tumpang sari.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4 perlakuan dan 4
kelompok. Perlakuan yang dilakukan adalah: Jagung tanpa tumpangsari (MJ), Kedelai
tanpa tumpangsari (MK), tumpangsari jagung kedelai waktu tanam sama (TS1) dan
Jagung tumpangsari kedelai waktu tanam beda 2 minggu (TS2). Hasil percobaan ini
memberikan pengaruh nyata terhadap berat tongkol tanpa kelobot tanaman jagung, Hasil
tanaman jagung per plot dan per ha, tinggi tanaman kedelai, berat 100 biji kering tanaman
kedelai, Hasil per plot dan per ha tanaman kedelai. Berpengaruh tidak nyata terhadap
tinggi tanaman jagung dan total luas daun jagung. Pola tanam tumpangsari jagung dengan
kedelai waktu tanam sama menghasilkan NKL terbaik yaitu 1.15.

Kata Kunci: Jagung dan Kedelai.

Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Tamansiswa Angkatan 2009


Pembimbing I dan Dosen Universitas Tamansiswa Padang
3
Pembimbing II dan Dosen Universitas Tamansiswa Padang
2

I. PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu
tanaman pangan yang memiliki peranan
strategis dan bernilai ekonomis serta
mempunyai
peluang
untuk
dikembangkan. Jagung sebagai sumber
utama karbohidrat dan protein setelah
beras, disamping itu jagung juga
berperan sebagai bahan baku industri
pangan, industri pakan, dan bahan bakar
(Siregar, 2009).
Produksi jagung nasional untuk
tahun 2009-2014 dengan rata-rata
peningkatan produksi sebesar 2.5 juta
ton/tahun. Produksi jagung nasional
tahun 2011 sebesar 17.64 juta ton
pipilan kering atau turun sebanyak
684,39 ribu ton dibandingkan tahun
2010 yaitu sebesar 16.95 juta ton.
Penurunan produksi jagung nasional
terjadi di Jawa, sedangkan produksi
jagung Sumatera Barat meningkat dari
tahun 2010
sebanyak 354.262 ton
menjadi 471.849 ton (Anonim, 2012).
Tanaman jagung umumnya
ditanam monokultur, namun dalam
upaya
intensifikasi
lahan
dapat
ditumpangsarikan
dengan
kedelai.
Intensifikasi
adalah usaha untuk
mengoptimalkan lahan pertanian yang
ada (Ahira, 2011). Ekstensifikasi
peluangnya kecil karena terbatasnya
lahan pertanian produktif. Intensifikasi
merupakan pilihan yang perlu terus
dikembangkan, yang pelaksanaannya
dapat diwujudkan antara lain dalam
bentuk sistem tanam tumpangsari.
Warsana (2009) menyatakan, sistem
tanam tumpangsari adalah salah satu
usaha sistem tanam dimana terdapat dua
atau lebih jenis tanaman yang berbeda
ditanam secara bersamaan dalam waktu
relatif sama atau berbeda dengan
penanaman berselangseling dan jarak
tanam teratur pada sebidang tanah yang
sama.
Pola
sistem
tumpangsari
mengakibatkan terjadi kompetisi secara
intraspesifik
dan
interspesifik.
Kompetisi dapat berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan dan produksi

tanaman. Tetapi bagaimana sistem


tumpangsari
dapat
meminimalkan
kompetisi diantara tanaman atau dapat
saling mendukung untuk pertumbuhan
dan produksi dan meningkatkan
produktivitas per satuan luas lahan
(Sullivan, 2003 cit Suwarto, Yahya,
Handoko, dan Chozhin. 2005).
Tanaman
yang
ditumpangsarikan dipilih dari tanaman
yang mempunyai akar dalam dan
tanaman yang berakar dangkal. Hal ini
untuk
menghindari
persaingan
penyerapan hara dari dalam tanah.
Tinggi dan lebar tajuk antara tanaman
yang
ditumpangsarikan
akan
berpengaruh
terhadap
penerimaan
cahaya matahari akan berpengaruh
terhadap hasil secara keseluruhan
(Supriyatman, 2011).
Jagung
dan
Kedelai
memungkinkan untuk ditanam secara
tumpangsari karena Kedelai termasuk
tanaman C3, jagung tergolong tanaman
C4 sehingga sangat serasi (Indrati,
2009). Jagung tergolong tanaman C4
dan mampu beradaptasi dengan baik
pada faktor pembatas pertumbuhan dan
produksi. Salah satu sifat tanaman
jagung sebagai tanaman C4, antara lain
daun mempunyai laju fotosintesis lebih
tinggi dibandingkan tanaman C3,
fotorespirasi dan transpirasi rendah,
efisien dalam penggunaan air. Tinggi
tanaman jagung antara 100-300 cm,
umur panen 70 hari dan umur berbunga
18 35 hari ( Falah, 2009).
Tanaman jagung umur 18
sampai 35 hari, bahwa perkembangan
akar dan penyebarannya di tanah sangat
cepat
dan
pemanjangan
batang
meningkat dengan cepat. Tanaman
mulai menyerap unsur hara dalam
jumlah banyak. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam pola tumpangsari
adalah waktu tanam, karena waktu
tanam
berhubungan
dengan
pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan
vegetatif yang lebih cepat dan dominan
menguasai ruang maka akan lebih
mampu
berkompetisi
dalam
memperebutkan air, unsur hara dan
cahaya
dibandingkan
dengan

pertumbuhan vegetatifnya yang lambat,


akhirnya akan mempengaruhi produksi.
Pertumbuhan vegetatif jagung yang
lebih cepat dan dominan diatas tanah
dibandingkan
Kedelai
merupakan
pertimbangan pemilihan waktu dan jarak
tanam jagung sistem tumpangsari jagung
dan Kedelai (Anonim, 2009).
Pada
umumya
sistem
tumpangsari
lebih
menguntungkan
dibanding kan sistem monokultur karena
produktivitas lahan menjadi tinggi,
Produksi tumpangsari antara jagung
dengan kacang hijau menunjukkan nilai
kesetaraan lahan (NKL) 1,50 ini berarti
diperoleh efisiensi penggunaan lahan
sebesar 50% (Anonim, 2011).
Hasil penelitian Waluya (2009)
jagung adalah tanaman yang efisien
dalam penggunaan sarana tumbuh. Jarak
tanam jagung yang dapat digunakan 80
x 20 cm dan 80 x 30 cm. Suwarto et al.,
(2005) menyatakan semakin tinggi
populasi jagung yang ditumpangsarikan
baik dengan varietas Arjuna, Pioner 4,
maupun Cargil 9 mengakibatkan
penurunan hasil umbi ubi kayu yang
makin besar. Selanjutnya hasil penelitian
Effendi (2008) bahwa terjadi interaksi
antara perlakuan jarak tanam dan
defoliasi bunga jantan pada peubah
diameter tongkol. Perlakuan kombinasi
jarak tanam 70 x 20 cm dan bunga
jantan dapat meningkatkan diameter
tongkol lebih besar dibandingkan
dengan kombinasi perlakuan lainya
yaitu sebesar 14.50 cm.
Berdasarkan uraian di
atas dilakukan percobaan tentang
Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
(Zea mays L.) yang ditumpangsari
dengan kedelai (Glycine max L.)
B. Tujuan
Untuk
mengetahui
dan
mempelajari pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung dan kedelai secara
tumpang sari.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A.
Tanaman Jagung dan syarat
tumbuh
Tanaman
jagung
termasuk
famili rumput-rumputan (graminae) dari
sub famili myadeae. Dua famili yang
berdekatan dengan jagung adalah
teosinte dan tripsacum yang diduga
merupakan asal dari tanaman jagung.
Teosinte berasal dari Meksico dan
Guatemala sebagai tumbuhan liar
didaerah pertanaman jagung. Jagung
merupakan tanaman berumah satu
Monoecious dimana letak bunga jantan
terpisah dengan bunga betina pada satu
tanaman. Jagung termasuk tanaman C4
yang mampu beradaptasi baik pada
faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan
hasil. Salah satu sifat tanaman jagung
sebagai tanaman C4, antara lain daun
mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi
dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi
rendah, efisiensi dalam penggunaan air
(Muhadjir, 1988).
Jagung mempunyai akar serabut
dengan tiga macam akar, yaitu (a) akar
seminal, (b) akar adventif, dan (c) akar
kait atau penyangga. Akar seminal
adalah akar yang berkembang dari
radikula dan embrio. Pertumbuhan akar
seminal akan melambat setelah plumula
muncul ke permukaan tanah dan
pertumbuhan akar seminal akan berhenti
pada fase V3. Akar adventif adalah akar
yang semula berkembang dari buku di
ujung mesokotil, kemudian setelah takar
adventif berkembang dari tiap buku
secara berurutan dan terus keatas antara
7-10 buku, semuanya di bawah
permukaan tanah. Akar adventif
berkembang menjadi serabut akar tebal.
Akar seminal hanya sedikit berperan
dalam siklus hidup jagung. Akar
adventif berperan dalam pengambilan
air dan hara. Perkembangan akar jagung
(kedalaman
dan
penyebarannya)
bergantung pada varietas, pengolahan
tanah, fisik dan kimia tanah, keadaan air
tanah, dan pemupukan. Akar jagung
dapat dijadikan indikator toleransi
tanaman terhadap cekaman aluminium.
Tanaman yang toleran aluminium,

tudung akarnya terpotong dan tidak


mempunyai bulu-bulu akar (Syafruddin,
2002).
Tanaman jagung mempunyai
batang yang tidak bercabang, berbentuk
silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas
dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat
tunas yang berkembang menjadi
tongkol. Dua tunas teratas berkembang
menjadi tongkol yang produktif. Batang
memiliki tiga komponen jaringan utama,
yaitu kulit (epidermis), jaringan
pembuluh (bundles vaskuler), dan pusat
batang (pith).
Daun jagung mulai terbuka
sesudah koleoptil muncul di atas
permukaan tanah. Setiap daun terdiri
atas helaian daun, ligula, dan pelepah
daun yang erat melekat pada batang.
Jumlah daun sama dengan jumlah buku
batang. Jumlah daun umumya berkisar
antara 10-18 helai, rata-rata munculnya
daun yang terbuka sempurna adalah 3-4
hari setiap daun. Tanaman jagung di
daerah tropis mempunyai jumlah daun
relatif lebih banyak dibanding di daerah
beriklim sedang (temperate) (Paliwal
2000). Daun jagung muncul dari bukubuku batang, sedangkan pelepah daun
menyelubungi ruas batang untuk
memperkuat batang. Panjang daun
bervariasi antara 30-150 cm dan lebar
daun 4-15 cm dengan ibu tulang daun
yang sangat keras. Tepi helaian daun
halus dan kadang-kadang berombak
(Muhadjir, 1988).
Bunga jantan terletak dipucuk
yang ditandai dengan adanya malai atau
tassel dan bunga betina terletak di ketiak
daun dan akan mengeluarkan stigma.
Bunga jagung tergolong bunga tidak
lengkap karena struktur bunganya tidak
mempunyai petal dan sepal dimana
organ bunga jantan (staminate) dan
organ bunga betina (pestilate) tidak
terdapat dalam satu bunga disebut
berumah satu (Rochani, 2007).
Tanaman jagung mempunyai
satu atau dua tongkol, tergantung
varietas. Tongkol jagung diselimuti oleh
daun kelobot. Tongkol jagung yang
terletak pada bagian atas umumnya lebih
dahulu terbentuk dan lebih besar

dibanding yang terletak pada bagian


bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10-16
baris biji yang jumlahnya selalu genap.
Biji jagung disebut kariopsis, dinding
ovari atau perikarp menyatu dengan
kulit biji atau testa, membentuk dinding
buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian
utama, yaitu (a) pericarp, berupa lapisan
luar yang tipis, berfungsi mencegah
embrio dari organisme pengganggu dan
kehilangan air; (b) endosperm, sebagai
cadangan makanan, mencapai 75% dari
bobot biji yang mengandung 90% pati
dan 10% protein, mineral, minyak, dan
lainnya; dan (c) embrio (lembaga),
sebagai miniatur tanaman yang terdiri
atas plamule, akar radikal, scutelum, dan
koleoptil (Subekti, Syafruddin, Roy
Efendi, dan Sri Sunarti, 2010).
Secara umum tanaman jagung
dapat tumbuh pada daerah dengan
ketinggian 0-1.300 m dari permukaan
laut dan dapat hidup baik di daerah
panas maupun dingin (Badan Pengendali
Bimas, 1983).
Menurut
Sutoro,
Sulaiman, dan Iskandar (1988) bahwa
selama
pertumbuhannya,
tanaman
jagung harus mendapatkan sinar
matahari yang cukup karena sangat
mempengaruhi
pertumbuhannya.
Muhadjir (1988) menambahkan bahwa
jumlah radiasi surya yang diterima
tanaman selama fase pertumbuhan
merupakan faktor yang penting untuk
penentuan jumlah biji. Selanjutnya
Badan Pengendali Bimas (1983)
menambahkan bahwa intensitas cahaya
merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan tanaman jagung oleh sebab
itu tanaman jagung harus mendapatkan
cahaya matahari langsung.
Bila
kekurangan cahaya batangnya akan
kurus, lemah, dan tongkol kecil serta
hasil yang didapatkan rendah.
Tanah
yang
baik
untuk
pertumbuhan tanaman jagung adalah
subur, gembur, banyak mengandung
bahan organik, aerase dan drainasenya
baik. Jagung dapat tumbuh baik pada
berbagai
jenis
tanah
asalkan
mendapatkan pengolahan yang baik.
Tanah dengan tekstur lempung berdebu
adalah
yang
terbaik
untuk

pertumbuhannya. Tanah-tanah dengan


tekstur berat masih dapat ditanami
jagung dengan hasil yang baik bila
pengelolaan tanah dikerjakan secara
optimal,
sehingga
aerase
dan
ketersediaan air di dalam tanah berada
dalam kondisi baik. Kemasaman tanah
(pH) yang baik untuk pertumbuhan
tanaman jagung berkisar antara 5,6 7,5
(Rochani, 2007).
B. Tanaman Kedelai dan Syarat
tumbuhnya
Tanaman Kedelai merupakan
tanaman
polong-polongan
yang
memiliki beberapa nama botani yaitu
Glycine max (kedelai kuning) dan
glycine soja (kedelai hitam). Secara
lengkap, tanaman kedelai mepunyai
klasifikasi sebagi berikut: Kingdom:
plantae,
divisio:
spermatopyta,
subdivision: Angiospermae, Kelas:
Dikotyledoneae,
Subkelas:
Archihlamyadae,
Ordo:
Rosales,
Subordo:
Leguminosinae,
Famili:
Leguminosae, Subfamili polilonaceae,
Genus: Glycine, Spesies: Glycine max.L
Merril (Adisarwanto 2005).
Menurut Pitojo (2003), cirri
khas tanaman kedelai yaitu batang
tanaman kedelai berkayu dan tingginya
berkisar antara 30-1000 cm, memiliki 35 percabanagn dan berbentuk tanaman
perdu. Tipe pertumbuhan batang dapat
dibedakan menjadi terbatas (determinet),
tidak terbatas (indeterminet), dan
setengah terbatas (semi-determinet).
Tipe terbatas memiliki ciri khas
berbunga serentak dan mengakiri
pertumbuhan meninggi jika sudah
berbunga. Tanaman pendek sampai
sedang , ujung batang hampir sama
besar dengan batang bagian tengah daun
teratas sama besar dengan daun batng
tengah. Tipe tidak terbatas memiliki cirri
berbunga secara bertahap dari bawah
keatas. Tanaman berpostur sedang
sampai tinggi, ujung batang lebih kecil
dari bagian tengah. Tipe setengah
terbatas memiliki karateristik antara
kedua tipe lainnya (Adisarwanto 2005).
Di Indonesia kedelai dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik.
Pada pH tanah 5,8 7 tanaman ini dapat

tumbuh pada berbagai jenis tanah


asalkan drainase dan aerasi tanah cukup
baik, disamping itu tanaman kedelai
merupakan salah satu tanaman yang
peka terhadap pH rendah (Margarettha,
2002). Kesesuain pH pada tanah dapat
meningkatkan
pertumbuhan
dan
perkembangan akar tanaman, Hakim et
all 1986 melaporkan pH tanah
dipengaruhi oleh kejenuhan basa, sifat
misel (koloid) dan macam kation yang
terjerap pada lapisan tanah.
Tanaman
kedelai
juga
berproduksi dengan baik pada dataran
rendah sampai 900 m dpl, dan mampu
beradaptasi didataran tinggi sampai
1.200 m dpl. Kedelai tumbuh baik pada
daerah yang memiliki curah hujan 100400 mm/bulan, dengan suhu yang cocok
antara 230 C 300 C, serta kelembapan
antara 60 70%. Kedelai juga
merupakan salah satu tanaman yang
dapat dibudidayakan pada lahan pasang
surut dengan hasil yang cukup tinggi,
namun cara budidayanya berbeda dari
lahan sawah irigasi dan lahan kering (
Purwono dan Purwati, 2007).
Fachrudin (2000) menjelaskan,
perakaran tanaman kedelai terdiri dari
akar lembaga, akar tunggang dan akar
cabang berupa akar rambut yang dapat
membentuk bintil akar dan merupakan
koloni bakteri riozobium japanicum.
Akar tunggangnya dapat menembus
tanah yang gembur sedalam 150 cm
sedangkan bintil akar nya mulai
terbentuk pada umur 15-20 hari setelah
tanam. Antara bakteri rhyzobium sp.
dan tanaman kedelai terjadi kerja sama
yang saling menguntungkan. Tanaman
kedelai memberikan karbohidrat dan
perlindungan
pada
bakteri,
dan
sebaliknya
bakteri
mengkonversi
nitrogen atmosfire menjadi bentuk yang
komplek.
Kedelai memiliki dua tipe
pertumbuhan batang, yaitu determinet
dan indeterminet. Pertumbuhan batang
determinet ditunjukkan dengan batang
yang tidak tumbuh lagi pada saat
tanaman mulai berbunga, sedangkan
pertumbuhan indeterminet dicirikan bila
pucuk batang tanaman masih bisa

tumbuh daun, walaupun tanaman sudah


mulai berbunga pada batang terdapat
buku tempat tumbuhnya bunga, terdiri
15-30 buah dan biasanya jumlah buku
batang indeterminet lebih banyak
dibandingkan determinet (Adisarwanto,
2008).
Purwono dan Purwati (2007)
melaporkan bahwa kedelai mempunyai
empat tipe daun yang berbeda yaitu
kotiledon atau daun biji, daun primer
sederhana, daun bertiga dan daun
profilia. Pada pada buku (nodus)
pertaman tanaman yang tumbuh dari biji
terbentuk sepasang daun tunggal
selanjutnya Andrianto dan Indarto
(2004) menambahkan bentuk daun
kedelai umunya berbentuk bulat (oval)
dan lancip serta berbulu. Daun kedelai
merupakan tanaman majemuk yang
terdiri dari tiga helai anak daun dan
umunya berwarna hijau muda atau hijau
kekuning-kuningan, pada saat sudah tua
dau-daunnya akan rontok.
Bunga kedelai termasuk bunga
sempurna
dimana
setiap
bunga
mempunyai alat kelamin jantan dan alat
kelamin betina. Penyerbukan terjadi
pada saat mahkota bunga masih
menutup sehingga kemungkinan kawin
silang alami amat kecil. Bunga terletak
pada ruas-ruas batang, berwarna ungu
atau putih. Tidak semua bunga dapat
menjadi polong walaupun terjadi
penyerbukan secara sempurna, sekitar
60% bunga rontok sebelum membentuk
polong. Buah kedelai berbentuk polong,
setiap tanaman mampu menghasilkan
100-250 polong. Polong kedelai berbulu
dan berwarna kuning kecoklatan atau
abu-abu. Selama proses pematamgan
buah, polong yang mula-mula berwarna
hijaukan berubah menjadi coklat
kehitaman (Adisarwanto, 2005).
Tanaman kedelai harus dipanen
pada tingkat kematangan biji yang tepat.
panen yang terlalu awal menyebabkan
banyak butir kedelai menjadi keriput
sedangkan jadwal panen yang terlambat
akan mengakibatkan meningkatnya butir
yang rusak dan kehilangan biji yang
tinggi yang disebabkan oleh biji yang
mudah rontok. Ciri-ciri kedelai siap

untuk dipanen adalah daunnya telah


menguning, dan mudah rontok, polong
biji mongering dan berwarna kecoklatan.
Hasil produksi kedelai lokal optimal
mencapai 2 ton per hektar dengan masa
tanam sekitar 75 hari atau maksimal tiga
bulan (Purwono, 2007).
C. Tumpang sari Jagung dengan
Kedelai.
Pola
tanam
tumpangsari
merupakan sistem pengelolaan lahan
pertanian dengan mengkombinasikan
intensifikasi dan diversifikasi tanaman.
Tumpangsari merupakan bagian dari
multiple cropping yaitu penanaman
lebih dari satu tanaman pada waktu yang
bersamaan atau selama periode tanam
pada satu tempat yang sama. Tanaman
yang ditanam secara tumpangsari
sebaiknya mempunyai umur atau
periode pertumbuhan yang tidak sama,
karena mempunyai perbedaan kebutuhan
terhadap faktor lingkungan seperti air,
kelembaban, cahaya dan unsur hara
tanaman, karena itu akan mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil kedua tanaman
tersebut (Frina, Ratna dan Farida, 2000).
Kedelai dan jagung yang
ditanam secara tumpangsari akan terjadi
kompetisi dalam memperebutkan unsur
hara, air dan sinar matahari. Sehingga
pengaturan populasi dan pengaturan
selang waktu tanam penting untuk
mengurangi
terjadinya
kompetisi
tersebut (Subhan,1989). Diantara faktor
iklim yang penting dan langsung
mempengaruhi dalam pola tanam ganda
terutama faktor cahaya, sebab tanaman
kedelai merupakan tanaman yang peka
terhadap intensitas cahaya.
Menurut
beberapa
hasil
penelitian, produksi jagung maupun
kedelai akan turun apabila tanaman
tersebut ternaungi. Hasil penelitian
Barus dan Afriani (2004), penundaan
saat tanam 10 hari setelah jagung
dengan populasi 40.000 tanaman per
hektar dapat menurunkan hasil 67%.
Hasil penelitian Indriati (2009), juga
menunjukkan dimana populasi tiga
kedelai dan satu jagung menunjukkan
pertumbuhan kedelai yang meningkat
tetapi menekan pertumbuhan jagung.

Populasi dan saat tanam sangat penting


pada sistem tanaman ganda, terutama
pada tanaman yang peka terhadap
naungan. Untuk mengurangi pengaruh
tersebut, waktu tanam dan populasi
kedelai dan jagung perlu diatur agar
pada periode kritis dari suatu
pertumbuhan terhadap persaingan dapat
ditekan.
Tanaman kedelai termasuk
tanaman yang membutuhkan sinar
matahari penuh. Intensitas cahaya dan
lama
penaungan
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
hasil
kedelai.
Penurunan intensitas cahaya menjadi
40%
sejak
perkecambahan
mengakibatkan penurunan jumlah buku,
cabang, diameter batang, jumlah polong
dan hasil biji serta kadar protein.
Tanaman kedelai yang dinaungi atau
ditumpangsarikan akan mengalami
penurunan hasil 6-52%
pada
tumpangsari kedelai dan jagung dan 256% pada tingkat naungan 33% (Asadi,
et al. 2007).
Jenis komoditas yang dihasilkan
beragam, hemat pemakaian sarana
produksi dan resiko kegagalan dapat
diperkecil, memperkecil erosi, bahkan
cara ini berhasil mempertahankan
kesuburan tanah. Keuntungan agronomis
dari pelaksanaan sistem tumpangsari
dapat
dievaluasi
dengan
cara
menghitung nisbah kesetaraan lahan.
Nisbah kesetaraan lahan > 1 berarti
menguntungkan. Produktivitas lahan
pada sistem tumpangsari dihitung
berdasarkan nisbah kesetaraan lahan
(NKL).
Tanaman
yang
saling
menguntungkan maka nilai NKL didapat
lebih dari satu. Apabila salah satu
spesies tanaman tertekan (tidak saling
menguntungkan) maka nilai NKL
kurang dari satu (Frina, et al. 2000).
III. BAHAN DAN METODA
A. Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di
lahan kering di Jorong Batu Hampar,
Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten
Agam dengan tinggi tempat 102 m Dpl.
Waktu pelaksanaan bulan Juni sampai

September 2013 jadwal penelitian pada


(lampiran 1).
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pupuk kandang,
pupuk buatan (Urea, KCl, SP-36) dan
benih jagung Varietas Bima 3
Batimurung (Deskripsi pada Lampiran
2), Benih Kedelai varietas Kipas putih
(Deskripsi pada lampiaran 3).
Peralatan yang digunakan terdiri
dari label, cangkul, Ajir, sprayer,
Timbangan Analitik, meteran, alat tulis
dan lain-lain.
C. Metoda penelitian
Penelitian
dilakukan
menggunakan
Rancangan
Acak
Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4
perlakuan, masing masing perlakuan
terdiri dari 4 kelompok, 4 x 4 = 16 plot
dengan luas plot 3,2 x 1 m, jumlah
sampel pada masing masing plot
terdiri 4 tanaman. Adapun perlakuan
pada percobaan ini adalah: MJ = Jagung
tanpa tumpang sari (monokultur), MK=
Kedelai
tanpa
tumpangsari
(monokultur), TS1= Jagung Tumpang
sari Kedelai Waktu tanam sama, TS2 =
Jagung Tumpang sari dengan Kedelai
waktu tanam beda 2 minggu. Hasil yang
diperoleh dianalisis secara statistik
dengan uji F, jika F hitung lebih besar
dari F tabel 5% dilanjutkan dengan
Duncan Multi Rang Tes (DMRT) pada
taraf 5%. Denah petak perlakuan dapat
dilihat pada Lampiran 4.
D. Pelaksanaan penelitian
1. Persiapan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan 2
kali, pencangkulan pertama sedalam 30
cm, setelah 2 minggu dilakukan
penggemburan
fungsinya
untuk
memecahkan bongkah tanah agar
diperoleh tanah yang gembur. Setelah
itu buat plot dengan ukuran 3, 2 m x 1 m
dengan jarak antar plot 40 cm. Setelah
itu berikan pupuk kandang sebanyak 20
ton/ha setara dengan 6, 4 kg/ Plot.
Pemberian pupuk kandang ini dilakukan
2 minggu sebelum tanam. Dengan cara
disebar pada petakan dan diaduk merata.

2. Pelabelan dan ajir


Pemasangan label dilakukan
agar tidak terjadi kesalahan dalam
pemberian taraf perlakuan. Pemasangan
label dilakukan setelah pengolahan
lahan pada plot sesuai perlakuan. Ajir
ditancapkan disisi tanaman sampel
setelah tanam, sebagai dasar pengukuran
tinggi tanaman, 10 cm dari ajir dipasang
batang tanaman dan diberi tanda pada
ketinggian 10 cm dari permukaan tanah.
3. Penanaman ( perlakuan )
Lubang tanam dibuat dengan
alat tugal. Kedalaman lubang tanam 3
cm, dan tiap lubang diisi 2 benih. Jarak
tanam sesuai dengan perlakuan yaitu MJ
Jagung
tanpa
tumpang
sari
=
(Monokultur) jarak tanam 80 x 40 cm,
MK= Kedelai tanpa tumpangsari
(monokultur) jarak tanam 20 x 40 cm,
TS1= Jagung Tumpang sari Kedelai
Waktu tanam sama, TS2= Jagung
Tumpang sari dengan Kedelai waktu
tanam beda 2 minggu. waktu tanam
disesuaikan dengan perlakuan yaitu MJ,
MK, TS1 Waktu tanam sama, TS2=
Jagung Tumpang sari dengan Kedelai
waktu tanam beda 2 minggu. Jumlah
tanaman dalam satu plot jagung adalah
MJ= 16 batang tanaman jagung, MK=
16 batang tanaman kedelai, TS1 dan TS2
masing masing 16 batang tanaman
jagung dan 12 batang tanaman kedelai.
Tanaman sampel dalam plot ada pada
(lampiran 5).
4. Pemupukan
Pemupukan yang diberikan
adalah pupuk anorganik, dosis pupuk
Urea 300 kg/ha setara dengan 96 g/plot,
SP-36 150 kg/ha setara dengan 48
g/plot, KCl 100 kg/ha setara dengan 32
g/plot. Pemberian Pupuk Urea 1/3
bagian, SP-36, KCl diberikan pada
waktu tanam dengan cara pupuk
disebarkan ke petakan, 2/3 bagian urea
yang tinggal diberikan pada waktu
jagung berumur 4 minggu.
5. Penjarangan
Benih ditanam 2 biji per lubang,
kemudian diperjarang pada umur
2minggu setelah tanam,
dengan
meninggalkan tanaman yang tegap dan
sehat (seragam) sehingga mencapai

populasi yang diinginkan sesuai dengan


jarak tanamyang digunakan. Tanaman
yang tumbuhnya tidak baik, dipotong
dengan guntingyang tajam tepat di atas
permukaan tanah.
6. Penyiangan
Penyiangan bertujuan untuk
membersihkan lahan dari tanaman
pengganggu
(gulma).
Penyiangan
dimulai 2 minggu setelah tanam, waktu
interval penyiangan dilakukan 1 minggu
sekali. Penyiangan dilakukan dengan
cara mencabut gulma dan mencangkul.
Pada waktu tanaman berbunga tidak
dilakukan penyiangan setelah selesai
pembungaan atau mulai pembentukan
buah dilakukan penyiangan kembali
sesuai dengan kebutuhan.
7. Pembumbunan
Pembumbunan dilakukan pada
tanaman jagung saat tanaman berumur 4
minggu, bertujuan untuk memperkokoh
posisi batang di buat di sekeliling
bedengan atau plot, sehingga tanaman
tidak mudah rebah. Selain itu juga untuk
menutup akar yang bermunculan di atas
permukaan tanah, Caranya, tanah di
sebelah kanan dan kiri barisan tanaman
diuruk dengan cangkul, kemudian
ditimbun ke pangkal batang tanaman.
8.

Penyiraman

Setelah
benih
ditanam,
dilakukan penyiraman satu kali sehari ,
kecuali bila tanah telah lembab (hujan),
penyiraman sampai 1 minggu sebelum
berbunga.
9.

Pengendalian
penyakit

hama

dan

Setelah 4 hari tanam benih


mulai tumbuh. Pengendalian untuk
mencegah lalat bibit dimulai 4 hari
setelah tanam. Penyemprotan dilakukan
dengan interval 4 hari sekali. Pestisida
dipergunakan
adalah
Sidamethrin,
Metadordan Regent , dengan dosis 2 ml/
liter.
10. Panen
Panen dilakukan setelah biji
matang fisiologis yang ditandai dengan

terbentuknya lapisan hitam pada dasar


biji.
Tanda-tanda waktu panen
dilakukan dengan berpedoman pada
ciri-ciri 75% daun telah mengering,
kelobot telah kuning mengkilat dan biji
jika ditekan keras dan tidak berbekas.
Panen dilakukan secara manual dengan
cara melepaskan tongkol dari tanaman.
Panen Kedelai sesuai kriteria
penentuan
panen sebagai berikut :
Sebagian besar daun menguning dan
gugur, sebagian besar polong (80%)
telah tua, kulit polong cukup keras dan
berwarna coklat kehitam-hitaman, kulit
biji tipis dan mengkilat, batang mulai
mengeras, rongga polong telah berisi
penuh dengan biji dan keras. Sebelum
panen lahan disiram, agar pada waktu
panen
memudahkan
pengambilan
polong. Panen dilakukan dengan
mencabut batang tanaman secara hatihati agar polong tidak tertinggal dalam
tanah.

E.

Pengamatan

1. Tinggi tanaman jagung (cm)


Pengamatan tinggi tanaman
jagung dimulai dari pangkal batang
sampai keujung daun tertinggi dengan
meluruskan
daun
menggunakan
meteran.
Pengamatan
dilakukan
mulaipada umur 2 minggu setelah tanam
sampai tanaman mengeluarkan bunga
jantan, Interval waktu pengamatan 1
minggu.
2. Total luas daun Jagung
Pengukuran terhadap luas daun
dilakukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut : YT = K x (P x L) I
dimana YT = Total luas daun ; K =
Konstanta (Tabel ); P = Panjang daun
ke-i; L = Lebar dau ke-i. Nilai konstanta
yang digunakan adalah sebagaimana
tabel 1. berikut

Tabel 1 : Nilai konstanta dari jumlah daun dan pada daun ke-i yang diukur
Jumlah/daun ke
Nilai konstanta
8/5
4,1844
9/5
5,0390
10/6
5,4416
11/7
6,3911
12/7
6,7134
13/8
6,7892
14/9
7,1199
15/9
7,7282
Sumber
:
Dartius
(1986).
5. Tinggi Tanaman Kedelai (cm)
3. Berat tongkol tanpa kelobot (g)
Pengamatan terhadap berat
tongkol tanpa kelobot dihitung pada
saat panen
4. Berat pipilan kering /plot dan / ha.
Setelah biji jagung dijemur
sampai diperoleh kadar air sekitar 14%,
dilakukan penimbangan berat biji
pipilan kering untuk setiap 4 tanaman
sampel/plot. Hasil pipilan kering dalam
ukuran plot dikonversikan ke dalam luas
lahan 1 hektar dengan rumus:
Luas ha (10000 m2)

Y=
Luas plot ( 3.75 m2 )
per plot.

hasil

Tinggi tanaman kacang tanah


diukur mulai dari pangkal batang sampai
ketitik tumbuh. Pengamatan dimulai
pada waktu tanaman berumur 2 minggu
setelah tanam dengan interval waktu
pengamatan seminggu sekali sampai 10
MST.
6. Bobot 100 biji Tanaman Kedelai ( g
)
Pengamatan dilakukan setelah
panen dengan menimbang 100 biji setiap
tanaman sampel, diambil secara acak.
Hasil penimbangan dikonversikan pada
kadar air biji 8%. Sebelum ditimbang
ditentukan dulu kadar air bijinya

10

7. Hasil Tanaman Kedelai /plot dan


/ha

Yjk
= Produksi jagung
tumpangsari dengan kedelai

Hasil /plot merupakan berat biji


kering diperoleh dari hasil tanaman
sampel di rata-ratakan pada kadar air 8%
lalu di konversikanke hektar.

Yjj

8. Nisbah Kesetaraan Lahan


Nisbah
Kesetaraan
Lahan
(NKL) yang merupakan suatu nilai yang
digunakan
untuk
mengetahui
keuntungan sistem bertanam secara
tumpang sari menurut Mead dan Willey
(1980) dengan menggunakan persamaan
berikut:

= Produksi Jagung Monokultur

Ykj
= Produksi kedelai
tumpangsari dengan Jagung
Ykk

secara

secara

= Produksi Kedelai Monokultur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Tinggi Tanaman Jagung dan
Kedelai
Sidik ragam tinggi tanaman
jagung
dan
kedelai
yang
ditumpangsarikan pada jagung tidak
berpengaruh nyata (Lampiran 6a),
sedangkan pada kedelai berpengaruh
nyata (lampiran 6e). Hasil uji lanjut
disajikan pada Tabel 2.

Keterangan:
Tabel 2. Tinggi tanaman jagung dan kedelai pada pola tanam tumpangsari.
Tinggi Tanaman Jagung
Pola Tanam
(cm)
=

MJ
TS1
TS2

188,1
184,7
174,6

KK = 3.93
Pola Tanam
MK
TS1
TS2

Tinggi Tanaman Kedelai


(cm)
61.78 A
76.01 B
83.56
C

KK = 3.75
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
taraf 5 %.
Tabel
2.
Memperlihatkan
tumpangsari jagung dengan kedelai
tidak berpengaruh terhadap tinggi
tanaman jagung. Tinggi tanaman jagung
pola tanam monokultur (MJ) mencapai
188,1 cm, TS1= 174,6 cm dan TS2
184,7 cm. Tidak berpengaruhnya pola
tanam terhadap tinggi tanaman jagung
karena tanaman jagung tinggi dari
tanaman kedelai sehingga tidak ada
halangan
cahaya
untuk
sampai
ketanaman jagung. Cahaya sangat
dibutuhkan dalam proses fotosintesis
sebagaimana yang disampaikan oleh
(Dwidjoseputro, 2004) bahwa tanaman
butuh cahaya yang lebih banyak untuk

proses fotosintesis sebagai sumber


energi dan mengolahnya menjadi energi
kimia berupa karbohidrat.
Tinggi tanaman jagung saat
percobaan menunjukkan tinggi yang
tidak berbeda nyata, hal ini terjadi
karena tidak terjadi persaingan dalam
mendapatkan cahaya matahari yang
signifikan antara tanaman jagung
dengan tanaman jagung ataupun
persaingan antara tanaman jagung
dengan tanaman kedelai, persaingan
antara tanaman jagung dan tanaman
kedelai dalam mendapatkan cahaya
matahari tidak mempengaruhi tinggi
tanaman jagung juga disebabkan karena

11

tanaman jagung ditanam lebih cepat atau


bersamaan dengan tanaman kedelai,

Gambar 1.

pertumbuhan tanaman jagung dapat


dilihat pada Gambar 1.

Monokultur tanaman jagung.

Pada Gambar 1 terlihat tinggi


tanaman jagung yang tampak tidak
berbeda antara satu dengan yang
lainnya, walaupun tanaman jagung
ditanam dalam sistem tumpang sari
dengan tanaman kedelai namun tidak
mempengaruhi rata-rata tinggi tanaman
tanaman jagung. Jika dibandingkan
dengan deskripsi tanaman (Lampiran 2),
tinggi tanaman jagung rata-rata dapat
mencapai 2 meter, berbeda dengan hasil
yang didapat di lapangan dimana tinggi
tanaman jagung rata-rata yang didapat
dalam sistem monokultur adalah 188,1
meter.
Supriyatman
(2011)
menyatakan, tinggi dan lebar tajuk
antara tanaman yang ditumpangsarikan
akan berpengaruh terhadap penerimaan
cahaya matahari, lebih lanjut akan
mempengaruhi hasil sintesa (glukosa)
dan muara terakhir akan berpengaruh
terhadap hasil secara keseluruhan.
Tabel 2. Memperlihatkan bahwa
pola tanam berpengaruh terhadap tinggi
tanaman kedelai, tinggi tanaman kedelai
yang tertinggi diperoleh dari pola tanam
tumpangsari jagung dengan kedelai
dengan perbedaan waktu tanam selama 2
minggu (83,56 cm), tinggi tanaman
terbaik selanjutnya terdapat pada
perlakuan pola tanam tumpangsari
jagung dengan kedelai dengan waktu
tanam yang bersamaan (76.01 cm),
kemudiaan diikuti dengan tinggi

tanaman kedelai pada pola tanam


monokultur.
Perbedaan
tinggi
tanaman
terjadi karena persaingan tanaman
kedelai dengan tanaman jagung dalam
mendapatkan cahaya, pada sistem
tumpangsari jagung dengan kedelai yang
berbeda jarak tanam selama 2 minggu
dimana tanaman kedelai ditanam setelah
tanaman jagung berumur 2 minggu,
perbedaan jarak tanam yang signifikan
menyebabkan tanaman kedelai manjadi
ternaungi sehingga terjadi persaingan
yang lebih tinggi untuk mendapatkan
cahaya matahari pada masing-masing
tanaman dan menyebabkan tanaman
kedelai yang ditanam 2 minggu lebih
lambat tumbuh lebih tinggi.
Hal ini didukung oleh pendapat
Lakitan (2004) yang menyatakan bahwa
tanaman yang ternaungi cenderung
tumbuh lebih tinggi akibat usaha
tanaman tersebut untuk mendapatkan
cahaya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya dan melakukan kegiatan
fotosintesis.
Menurut deskripsi tanaman
(lampiran 3), kedelai dapat mencapai
tinggi 50 cm - 60 cm, tanaman kedelai
yang ditanam secara monokultur
memperlihatkan nilai tinggi tanaman
yang normal sesuai dengan deskripsi
(61.78 cm), sedangkan pada tanaman
kedelai
yang
ditanam
secara
tumpangsari lebih tinggi dibandingkan

12

dengan tanaman kedelai monokultur.


Perbedaan tinggi tanaman kedelai dapat

diperhatikan pada Gambar 2.

Gambar 2.
Perbedaan Tinggi Tanaman Kedelai
Pada
Gambar
2
dapat
dengan kedelai dengan waktu tanam
ditunjukkan perbedaan tinggi tanaman
yang bersamaan.
kedelai, angka 1 menunjukkan tanaman
B. Total Luas Daun Jagung
kedelai yang lebih tinggi pada perlakuan
Nilai total luas daun tanaman
pola tanam tumpangsari jagung dengan
jagung dengan perlakuan pola tanam
kedelai yang berbeda waktu tanam
tumpang sari tanaman jagung dan
selama 2 minggu, angka 2 menunjukkan
kedelai tidak ditentukan oleh perlakuan
tinggi tanaman kedelai pada perlakuan
pola tanam tumpangsari jagung dan
pola tanam tumpangsari tanaman jagung
kedelai, data rata-rata luas daun tanaman
jagung pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas daun tanaman jagung pada pola tanam tumpangsari dengan kedelai.
Pola Tanam

Total Luas Daun Jagung (cm2)

MJ
TS1
TS2

6280.19
5502.07
6030.92

KK = 15.61
Angka-angka pada lajur total luas daun berbeda tidak nyata menurut uji F taraf 5 %.
Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa rata-rata
total luas daun tanaman jagung tidak
berbeda secara statistik baik pada
perlakuan secara monokultur ataupun
perlakuan dengan sistem tumpang sari,
seiring dengan nilai tinggi tanaman, hal
ini disebabkan karena persaingan yang
terjadi tidak terlalu besar antara tanaman
jagung ataupun tanaman jagung dengan
tanaman kedelai.
Luas daun tanaman akan
berkaitan dengan kemampuan tanaman
dalam menyerap cahaya matahari untuk
melakukan
aktifitas
fotosintesis
tanaman, semakin luas daun maka

radiasi matahari yang diterima juga


semakin tinggi sehingga fotosintat yang
dihasilkan juga semakin banyak. Hal ini
didukung oleh Syarif (2004) yang
menyatakan luas daun merupakan
parameter yang menunjukkan potensi
tanaman melakukan fotosintesis dan
juga merupakan potensi produktif
tanaman di lapangan.
Luas
daun
yang
tinggi
berpotensi menurunkan hasil karena
daun yang paling bawah terus
melakukan respirasi yang lebih besar
daripada yang dihasilkan pada proses
fotosintesis
sehingga
pembagian

13

fotosintat ke organ lain menjadi


untuk menghasilkan biji atau umbi
berkurang. Luas daun yang tinggi akan
disamping jumlah yang cukup untuk
menguntungkan
jika
hasil
yang
pertumbuhan
dan
pemeliharaan
diinginkan adalah biomassa, tetapi bagi
respirasi. Luas daun yang lebih tinggi
tanaman yang dihasilkan berupa biji atau
juga diperlukan jika tujuannya adalah
umbi, hal itu tidak menguntungkan
biomassa total, bukan hasil panen
karena tidak tersedianya fotosintat yang
ekonomis, misalnya untuk tanaman
berlebihan untuk menghasilkan biji dan
budidaya hijauan.
umbi.
C. Berat Tongkol Tanpa Kelobot
Sejalan dengan yang dikemukan
Sisik ragam berat tongkol tanpa
oleh Syarif (2004), dalam hal itu tidak
kelobot berpengaruh nyata (lampiran
dibutuhkan atau tidak diharapkan
6c). Hasil uji lanjut disajikan pada tabel
adanya hasil asimilasi yang berlebihan
Tabel 5.
Tabel 4. Berat tongkol tanpa kelobot tanaman jagung pada pola tanam tumpangsari
dengan kedelai.
Pola Tanam
MJ
TS1
TS2

Berat Tongkol Tanpa Kelobot (Kg)


0.44 a
0.38
b
0.34
b

KK = 7.81
Angka-angka pada lajur berat tongkol tanpa kelobot diikuti oleh huruf yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji DMRT taraf 5 %.
Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa
pola tanam monokultur tanaman jagung
memperlihatkan nilai berat tongkol
tanpa kelobot lebih tinggi daripada pola
tanam tumpang sari jagung dengan
kedelai, baik dalam rentang waktu
tanam yang sama ataupun dalam rentang
waktu tanam kedelai 2 minggu setelah
tanam jagung, hal ini menunjukkan
bahwa persaingan antara tanaman
jagung dan kedelai lebih berpengaruh
jika dibandingkan dengan persaingan
antara tanaman jagung. Peningkatan
berat tongkol berhubungan erat dengan
besar fotosintat yang dialirkan ke bagian
tongkol, apabila transport fotosintat
kebagian tongkol tinggi maka semakin
besar tongkol yang dihasilkan. Dalam
hal ini yang berperan menentukan hasil
tanaman adalah hasil fotosintat yang
terdapat pada daun. Batang yang di
transfer saat pengisian biji ( Falah,
2009). Berat tongkol tanpa kelobot
dihitung berdasarkan berat bersih
masing-masing tongkol tanaman jagung
sebelum pemisahan tongkol dengan biji
tanaman.

Tumpangsari sangat berkaitan


erat dengan persaingan antara tanaman
yang satu dengan tanaman yang lainnya,
naman semakin padat jumlah tanaman
yang ada maka persaingan yang terjadi
juga semakin ketat (Syarif, 2004), hal ini
sejalan dengan data yang terdapat pada
tabel 2 dan 3 dimana semakin rapat
tanaman maka hasil yang didapatkan
semakin rendah.
Bahwa jarak
tanam ada
hubungan dengan waktu tanam, semakin
rapat jarak tanam dengan waktu tanam
jagung lebih dulu maka berat tongkol
yang dihasilkan rendah. Diduga ada
hubungan dengan laju asimilasi bersih
jagung, bila hasil laju asimilasi
bersihnya
kecil
akhirnya
juga
mempengaruhi rendahnya berat tongkol
dengan klobot, jarak tanam melampaui
batas optimum maka kompetisi tinggi
terhadap unsur hara, air dan cahaya
sehingga fotosintat yang dihasilkan
rendah akhirnya berat tongkol dengan
klobot juga rendah (Whardana, 2010).
D. Berat 100 Biji Tanaman Kedelai
Sidik ragam berat 100 biji
tanaman kedelai berpengaruh nyata

14

(Lampiran 6g). Hasil uji lanjut tersaji


organik yangterdapat pada biji.Hasil
pada Tabel 5.
analisis ragam terhadap nilai berat 100
Tabel 5 memperlihatkan bahwa
biji tanaman kedelai menunjukkan
berat 100 biji tanaman kedelai yang
bahwa
perlakuan
pola
tanam
tertinggi diperoleh dari pola tanam
tumpangsari mempengaruhi berat 100
kedelai secara monokultur (8.74 g),
biji tanaman kedelai baik pada perlakuan
sedangkan pada pola tumpangsari
pola tanaman tumpangsari tanaman
menunjukkan nilai berat 100 biji kedelai
kedelai yang ditanam secara bersamaan
yang lebih rendah, terutama pada pola
ataupun pada pola tumpangsari tanaman
tumpangsari dengan waktu tanama
kedelai yang ditanam pada waktu
berbeda 2 minggu. Berat 100 biji
tanaman jagung berumur 2 MST.
merupakan indikator penumpukan bahan
Tabel 5. Berat 100 biji tanaman kedelai pada pola tanam tumpangsari dengan jagung.
Pola Tanam
MK
TS1
TS2

Berat 100 Biji (g)


8.74 a
8.00 b
7.23
c

KK = 5.18
Angka-angka pada lajur berat 100 biji diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata
menurut DMRT taraf 5 %.
Jika
dibandingkan
dengan
deskripsi tanaman kedelai, berat 100 biji
varietas anjasmoro dapat mencapai 12
gram, sedangkan hasil yang didapatkan
pada pola monokultur hanya mencapai
8.4 gram lebih rendah dari deskripsi
tanaman, hal ini diduga karena
ketersedian hara yang belum mencukupi
untuk kebutuhan tanaman kedelai,
tanaman kedelai merupakan tanaman
bersimbiosis dengan bakteri rizobium
dalam memenuhi kebutuhan hara,
berkemungkinan bakteri yang terdapat
didalam tanah tersedia dalam jumlah
sedikit sehingga ketersediaan hara bagi
kedelai juga sedikit dan mengurangi
pertumbuhan tinggi tanaman kedelai
yang ditanam secara monokultur.
Tingginya nilai berat 100 biji
tanaman kedelai yang ditanam secara
monokultur
dibandingkan
dengan
tanaman
kedelai
dengan
pola
tumpangsari
disebakan
karena
persaingan antara tanaman kedelai
dalam
mendapatkan
faktor-faktor
tumbuh seperti hara, cahaya ataupun
ruang tumbuh tidak telalu tinggi,
sedangkan pada pola tanam tumpangsari
dengan luas lahan yang relatif sama
terjadi persaingan yang signifikan akibat

padatnya populasi tanaman yang ada


pada lahan tersebut.
Ketika dua atau lebih jenis
tanaman tumbuh bersamaan akan terjadi
interaksi, masing-masing tanaman harus
memiliki ruang yang cukup untuk
memaksimumkan
kerjasama
dan
meminimumkan kompetisi. Oleh karena
itu,
dalam
tumpangsari
perlu
dipertimbangkan berbagai hal yaitu (1)
pengaturan jarak tanam, (2) populasi
tanaman, (3) umur panen tiap-tiap
tanaman, (4) arsitektur tanaman
(Suwarto et al., 2005) .
Waktu tanam mempengaruhi
jumlah hasil pada suatu tanaman, Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam pola
tumpangsari adalah waktu tanam, karena
waktu tanam berhubungan dengan
pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan
vegetatif yang lebih cepat dan dominan
menguasai ruang maka akan lebih
mampu
berkompetisi
dalam
memperebutkan air, unsur hara dan
cahaya
dibandingkan
dengan
pertumbuhan vegetatifnya yang lambat,
akhirnya akan mempengaruhi produksi (
Gomez dan Gomez, 2007).

15

E. Berat Pipilan Tanaman Jagung


dan Hasil Tanaman Kedelai per
Plot dan per Hektar

Berat pipilan tanaman jagung


per
plot
ataupun
per
hektar
menunjukkan nilai yang terbaik pada
perlakuan pola tanam tanaman jagung
secara monokoltur, berbeda dengan hasil
pipilan pada perlakuan pola tanam
secara tumpang sari, hasil yang
didapatkan
justru
lebih
rendah,
perbedaan hasil ini berkaitan dengan
permasalahan persaingan tanaman dalam
pemenuhan kebutuhan tanaman untuk
mendapatkan hasil yang lebih maksimal.

Berat
pipilan
jagung
berhubungan dengan hasil panen bersih
biji tanaman jagung, berat pipilan
tanaman jagung per plot ataupun per
hektar dipengaruhi oleh perlakuan pola
tanam tumpang sari tanaman jagung
dengan kedelai (lampiran 6d dan 6e),
data berat pipilan per plot dan per hektar
tersaji pada Tabel 7.
Tabel 6. Hasil pipilan jagung dan kedelai pada pola tanam tumpangsari.
Hasil jagung
Hasil kedelai
Pola Tanam
Kg/plot
t/ha
Kg/plot
t/ha
MK
4.26 a
11.23
0.35 a
0.93
TS1
3.69 b
9.70
0.10 b
0.27
TS2
3.30 b
8.69
0.09 b
0.23
KK = 8.32
KK = 8.32
Angka-angka pada lajur hasil per plot diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata
menurut DMRT taraf 5 %.
Sesuai
dengan
deskripsi
tanaman potensi pipilan kering yang
dihasilkan mencapi 10 ton/ha, namun
hasil pipilan kering yang didapatkan
melebihi deskripsi yang ada yaitu
mencapai 11.23 ton/ha, hal ini disebakan
karena kondisi tanah yang cukup hara
dan lingkungan yang sesuai bagi
tanaman jagung sehingga hara tersebut
dapat diserap dengan sempurna tanpa
adanya gangguan komptetisi dari
tanaman yang lain. Sebaliknya pada
tanaman jagung yang ditumpangsarikan
dengan tanaman kedelai mennjukkan
hasil yang sedikit lebih rendah dari
deskripsi tanaman, hal ini dipengaruhi
oleh kompetisi tanaman.
Pada tanaman kedelai, hasil
tanaman kedelai pada pola tanam
monokultur lebih rendah dari deskripsi
tanaman seharusnya yaitu 0.93 ton/ha.
Potensi hasil seharusnya dapat mencapai
1.68 ton/ha, rendahnya hasil tanaman ini
diduga karena serapan hara yang kurang
maksimal pada tanaman kedelai hal ini
seiring dengan pengamatan tinggi

tanaman yang juga belum sesuai dengan


deskripsi seharusnya.
Menurut
analisis
ragam
(lampiran 6g dan 6h) dapat disimpulkan
bahwa, hasil tanaman kedelai per plot
dan per hektar ditentukan oleh perlakuan
pola tanam tumpang sari tanaman
jagung dengan kedelai, data hasil
tanaman kedelai per plot dan per hektar
disajikan pada tabel 9 dan 10.
Hasil tanaman kedelai per plot
atau per hektar tertinggi diperoleh dari
perlakuan pola tanam tanaman kedelai
secara tumpang sari, sedangkan hasil
terendah diperoleh dari perlakuan pola
tanam tumpang sari jagung dengan
kedelai yang ditanam pada waktu yang
berbeda selama 2 minggu, sejalan degan
hasil 100 biji tanan kedelai, nilai yang
tertinggi diperoleh dari pola tanam
kedelai secara monokultur. Bila dilihat
dari Tabel 1. Tinggi tanaman tertinggi
kedelai tertinggi diperoleh dari pola
tanam tumpang sari jagung dengan
kedelai yang ditanam pada waktu yang
berbeda selama 2 minggu.

16

Kompetisi
terjadi
apabila
tanaman mencapai tingkat pertumbuhan
tertentu dan akan semakin keras dengan
pertambahan ukuran tanaman dengan
umur. Kemampuan suatu tanaman
dipengaruhi oleh kemampuan suatu
organ yang melakukan kompetisi. Daun
dan akar merupakan bagian yang
berperan aktif dalam kompetisi. Daun
yang memiliki luas permukaan lebar,
daun yang banyak, lebar, dan tersebar di
seluruh
tubuh
tanaman
akan
meningkatkan kompetisi, akibatnya
kompetisi tanaman pun tinggi sehingga
dapat menurunkan hasil tanaman
(Indayani et al. ,2000).
Jumlah pertanaman per satuan
luas merupakan faktor penting untuk
mendapatkan
hasil
yang
tinggi.
Pengaruh jarak tanaman yang lebar
dapat menaikakan hasil tiap tanaman.
Sebaliknya
jarak
yang
sempit
mengakbatkan persaingan pemanfaatan
cahaya, air, unsur hara dan faktor
tumbuh lainnya diantara tanaman yang
tumbuh berdekatan Sarjiyah (2002).
Syarif(2004) menyatakan bahwa
dalam menyusun sistem tumpangsari
perlu memperhatikan kepekaan tanaman
terhadap persaingan selama daur
hidupnya. Banyak tanaman pada periode
tertentu jelas sangat sensitif dan
cekaman
pada
periode
tersebut
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil.
Agar persaingan antara jenis tanaman
sekecil mungkin, maka perlu diatur agar
permintaan sumber daya pertumbuhan
tertinggi untuk masing-masing jenis
tanaman tidak terjadi pada waktu yang
bersamaan.
Hasil tanaman berkaitan dengan
efektifitas serapan hara tanaman serta
kegiatan fotosintesis tanaman, apabila
salah satu hal diatas terganggu baik
akibat persaingan ataupun kekurangan
hara maka sangat memungkinkan
terjadinya penurunan hasil tanaman
tersebut (Supriyatman, 2001)
Tanaman kedelai yang ternaungi
mengakibatkan berat biji hasil tanaman
tersebut
menjadi
sedikit
karena
kurangnya fotosintat yang dihasilkan
oleh tanaman terganggunya aktifitas

fotosintesis terjadi akibat kekurangan


radiasi cahaya matahari yang tertutupi
oleh tanaman yang lebih tinggi seperti
contohnya tanaman jagung. Walaupun
tanaman kedelai dapat meghasilkan hara
nitrogen bagi dirinya sendri namun akan
sangat sulit digunakan pada kondis
ternaungi.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Marta (2013), status N tanaman
berpengaruh besar terhadap laju
perluasan daun. N mengendalikan
perkembangan
kanopi
sehingga
kekurangan suplai N akan menurunkan
pertumbuhan tanaman dan menghambat
laju
fotosintesis.
Sebagianbesar
pengaruh N terhadap fotosintesis adalah
melalui peningkatan intersepsi radiasi
matahari, sedangkan laju fotosintesis
persatuan luas daun menjadi berkurang
dengan berkurangnya kandungan N
dalam tanaman. Kandungan N dalam
daun
berkorelasi
positif
dengan
keberadaan cahaya.
F. Nisbah Kesetaraan Lahan
Nisbah kesetaraan lahan (NKL)
adalah jumlah nisbah hasil antara
tanaman
yang
ditumpangsarikan
terhadap hasil tanaman yang ditanam
secara tunggal pada tingkat managemen
yang sama. NKL merupakan salah satu
cara menghitung produktivitas lahan
yang ditanam dua atau lebih jenis
tanaman yang ditumpangsarikan. Data
NKL disajikan pada Tabel 7.

17

Tabel 7. NKL pada pola tanam tumpangsari tanaman jagung dengan kedelai.
Pola Tanam

Hasil jagung
t/ha

Hasil kedelai
t/ha

0.93

Xi
Yi
1.00

MJ
TS1

0.27

TS2
MK

NKL

Xj
Yj
-

0.29

9.70

0.86

1.15

0.23

0.24

8.69

0.77

1.01

11.23

1.00

1.009

1.00

Dari Tabel 7 dapat dijelaskan


pemilihan tanaman yang tepat dengan
bahwa hasil pada pola tanam tumpang
habitus dan sistem perakaran yang
sari jagung dengan kedelai setelah
berbeda diharapkan dapat mengurangi
dibandingkan dengan hasil tanaman
kompetisi dalam penggunaan faktor
tumbuh.
jagung yang ditanam secara monokultur
mempunyai NKL sebesar 1.15. Pada
V. KESIMPULAN DAN SARAN
pola tumpang sari kedelai dengan jagung
1. Kesimpulan
setelah dibandingkan dengan hasil
Berdasarkan hasil penelitian
tanaman kedelai maka didapatkan hasil
disimpulkan
bahwa pertumbuhan dan
NKL sebesar 1.02. Kedua sistem
hasil
tanaman
jagung dan kedelai dalam
tumpang
sari
ini
sama-sama
sistem
tumpangsari
terbaik pada pola
menguntungkan
tapi
akan
lebih
tanam
Tumpangsari
Jagung/Kedekai
menguntungkan jika kedua tanaman ini
dengan waktu tanam bersamaan dengan
ditanam dalam waktu yang bersamaan.
NKL 1,15. NKL menunjukkan nilai
Multiple cropping merupakan
besar dari pada 1 yang berarti sistem
system budidaya tanaman yang dapat
tumpangsari lebih menguntungkan dari
meningkatkan
produksi
lahan.
pada sistem monokultur.
Peningkatan ini dapat diukur dengan
2. Saran
besaran yaitu NKL (Nisbah Kesetaraan
Berdasarkan
kesimpulan
Lahan) atau LER (Land Equivalent
disarankan untuk menggunakan sistem
Ratio). Sebagai contoh nilai NKL atau
budidaya secara tumpangsari tanaman
LER = 1,8; artinya bahwa untuk
jagung dengan kedelai dengan waktu
mendapatkan hasil atau produksi yang
tanam bersamaan untuk meningkatkan
sama dengan 1 hektar diperlukan 1,8
untuk meningkatkan produktifitas per
hektar pertanaman secara monokultur
satu lahan.
(Gomez dan Gomez, 2007)
Pemilihan jenis tanaman akan
DAFTAR PUSTAKA
menentukan peningkatan nilai NKL pola
tanam secara tumpangsari. Dikatakan
oleh Sarman (2001) bahwa kombinasi
Adisarwanto.
2005.
Budidaya
yang memberikan hasil baik pada
Kedelai dengan Pemupukan
tumpangsari adalah jenis-jenis tanaman
yang
Efektif
dan
yang mempunyai kanopi daun yang
Pengoptimalan Peran Bintil
berbeda, yaitu jenis tanaman yang lebih
Akar. Penebar Swadaya .
rendah yang akan menggunakan sinar
Jakarta.
matahari lebih efisien. Selanjutnya
Marta (2013) menuliskan bahwa ---------------. 2008. Budidaya Kedelai
pemilihan
jenis
tanaman
yang
dengan
Pemupukan
yang
ditumpangsarikan
akan
dapat
Efektif dan Pengoptimalan
meningkatkan produksi karena dengan

18

Peran Bintil Akar. Edisi ke


Dua. Penebar Swadaya .
Jakarta.
Ahira, A. 2011. Hasil Melimpah
dengan Penerapan Intensifikasi
Pertanian. (http: // www.
Annaeahira. Com/ Intensifikasi
pertanian htm ).
Andrianto, T.T. dan N. Indarto, 2004.
Budidaya dan Analisis Usaha
Tani Kedelai, Kacang Hijau,
Kacang Panjang, Absolut,
Yogyakarta.
Anonim, 2012. Data Strategis BPS,
Badan Pusat Statistik. 102 Hal.
Anonim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT)
Jagung, Departemen Pertanian,
33 Halaman.
Anonim.
2009.
Tumpangsari
Tanaman Jagung manis (Sweet
corn). BPTP. Maros hal 6.
Asadi, D. M. Arsyad. H. Zahara dan
Darmijati, 2007. Pemuliaan
Kedelai
Untuk
Toleran
Naungan dan Tumpang sari.
Buletin Agrobio 1 (2) : 15 20.
Barus , W . Afriani. 2004. Respon
Pertumbuhan
dan
Hasil
Tanaman
Kedelai
yang
ditumpangsarikan
dengan
jagung Terhadap Pengaturan
Saat Tanam dan Jarak Tanam.
Jurnal: Agronomi , Fakultas
pertanian, Universitas Amir
Hamzah. Medan.
Dartius. 1986. Fisiologi Tanaman.
Fakultas Pertanian, Universitas
Islam Sumatera Utara, Medan.
Dwidjoseputro, D. 2004, Pengantar
Fisiologi Tumbuhan. edisi IV.
Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Efendi, S. 2008. Cropping System


Sutu Cara Untuk Stabilitas
Produksi Pertanian. Penataran
PPS Bidang Agronomi dalam
Pola
Bertanam.
Lembaga
penelitian Bogor.
Fachruddin L. 2000. Budidaya
Kacang Kacangan. Kanisius.
Yogyakarta.hal 6.
Falah, R. N. 2009. Budidaya Jagung
Manis. Balai Besar Pelatihan
Pertanian Lembang.
Frina. M. S. Ratna. A. W. Farida. Z
2000.
Pengaruh
Populasi
terhadap Pertumbuhan dan
Hasil
Kedelai
Yang
Ditumpangsarikan
dengan
Jagung. Universitas Sri Wijaya
Sumatera Selatan.
Gomez, A.A. dan K. A. Gomez.
2007. Multiple Cropping in the
Humid Tropic of Asia.
Terjemahan. Andalas Press.
Padang
Indayani, Neny, Nasrullah, dan D.
Priyanto.
2000.
Kegiatan
Biometrika Daya Saing antara
Varietas
Kedelai
pada
Pertananaman Campuran dan
Baris Berseling. Agrosains 13
(2) : 183-184.
Indrati. T. R. 2009. Pengaruh Pupuk
Organik dan Populasi Tanam
Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tumpang Sari Kedelai
dan Jagung. Tesis Surakarta:
Agronomi Program
Pasca
sarjana Universitas sebelas
Maret
Lakitan, B. 2004. Dasar-Dasar
Fisiologi Tumbuhan. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Margarettha.
2002.
Molybdenum

Pengaruh
terhadap

19

Nodulasi dan Hasil Kedelai


yang Diinokulasi Rhizobium
pada Tanah Ultisol. Jurnal
Mapeta. X (22) : 4-7.
Marta, Andrik. 2013. Produktifitas
Tumpangsari
Kentang
(Solanum tuberosum) /caisim
(Brassica juncea L) dengan
Beberapa Dosis Pupuk Organik
Cair (POC) dan Pupuk Za.
Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Andalas. Padang

Rochani, S. 2007. Bercocok Tanam


Jagung. Azka Press. 59 hal.
Sarjiyah., 2002. Parameter Seleksi
Kacang Tanah Pada Cara
Tanam Tunggal dan Tumpang
Sari dengan Jagung. Penelitian
Pertanian Pangan XVII (1) : 69
73.
Sarman, S. 2001. Kajian Tentang
Kompetisi Tanaman dalam
Sistem Tumpangsari di Lahan
Kering. Jurnal Agronomi 5.

Meifrina. Widiwurjani, W. H.
Nugroho, B. Guritno. 2000,
Kompetisi Tanaman Bawang
Daun (Allium fistulosum) dan
Jagung Manis (Zea mays
saccharata Sturt) Pada Sistim
Tumpangsari
Akibat
Pengaturan
Penanaman.
Fakultas Pertanian, Unibraw

Siregar, G.S. 2009. Analisis Respon


Penawaran Komoditas Jagung
dalam
Rangka
Mencapai
Swasembada
Jagung
di
Indonesia. Skripsi S-1 Fakultas
Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor. 130
Hal.

Muhadjir, F. 1988. Budidaya


Tanaman
Jagung.
Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. 423 hal.

Subekti. N. A, Syafruddin, Roy


Efendi, dan Sri Sunarti.2010.
Morfologi Tanaman dan Fase
Pertumbuhan Jagung. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Maros 28 halaman.

Nuning Argo Subekti, Syafruddin,


Roy Efendi, dan S. Sunarti.
2012. Morfologi Tanaman dan
Fase Pertumbuhan Jagung,
Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros.
Paliwal. R.L. 2000. Tropical Maize
Morphology.
In:
Tropical
Maize:Improvement
and
Production.
Food
and
Agriculture Organization of the
United Nations. Rome. p 13-20.
Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai.
Kanasius . Yogyakarta. hal 1246.
Purwono dan Purnawati 2007.
Budidaya 8 Jenis Tanaman
Pangan
Unggul.
Penebar
Swadya. Jakarta.

Subhan. 1989. Pengaruh Jarak


Tanam dan Pemupukan Fospat
terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Kacang Jogo (Phasealus
Vulgaris. L). Bull. Penel.
Horti.VIII.2. Lembang. 12 hal.
Sudarno, H., Rusin, Marjono dan
Supri. 2002. Pengaruh Sumber
Nitrogen, Dosis, dan Waktu
Pemberian Terhadap Produksi
dan Mutu Benih Jarak. Didalam
Proseding
Seminar
Pengembangan Wilayah dalam
Rangka Otonomi Daerah. 16
oktober
2002,
Malang.Supriyatman, B. 2011.
Introduksi Teknologi Tumpang
Sari Jagung dan Kacang Tanah.

20

Suprapto. 2002. Kedelai. Penebar


Swadaya. Jakarta.
Supriyatman, B. 2011. Introduksi
Teknologi Tumpangsari Jagung
dan Kacang Tanah. Karya
Ilmiah
Sutoro, Y., Soelaeman dan Iskandar,
1988.
Budidaya
Tanaman
Jagung.
Balai
Penelitian
Tanaman
Pangan
Bogor.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Tanaman
Pangan . Bogor.
Suwarto, S. Yahya, Handoko, M. A.
Chozhin. 2005. Kompetisi
Tanaman Jagung dan Ubi Kayu
dalam System Tumpang Sari.
USU. Medan
Syafruddin. 2002. Tolak Ukur dan
Konsentrasi
Al
untuk
Penapisan Tanaman Jagung
terhadap Ketenggangan Al.
Berita Puslitbangtan. 24 : 3-4.
Syarif. Z. 2004. Pertumbuhan dan
Hasil
Tanaman
Kentang
dengan dan Tanpa Diikatkan
dengan Turus dalam Sistem
Tumpangsari Kentang/Jagung
dengan Berbagai Waktu Tanam

Jagung di Dua Lokasi Dataran


Medium Berbeda Elevasi.
Disertasi.
Program
Pasca
Sarjana.
Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Waluya, A.2009. Gulma pada
Tanaman Jagung di Kebun
Percobaan Cikabayan, Institut
Pertanian Bogor. Penguasaan
Sarana Tumbuh. Departemen
Agronomi
dan
Hortikultura.Institut Pertanian
Bogor.
Warsana. 2009. Introduksi Teknologi
Tumpang Sari Jagung dan
Kacang tanah. BPTP Jawa
Tengah.
Whardana, W. 2010. Pengaruh
Waktu
Tanam
terhadap
Pertumbuhan dan Produksi
Pada
Sistem
Tanam
Tumpangsari Ubi Jalar dan
Jagung Manis. Departemen
Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor

21

Anda mungkin juga menyukai