Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SKRIPSI
FARAH RATIH
H34080138
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN
FARAH RATIH. Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan
HARMINI).
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun
menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pangan
bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Salah satu solusi dalam
upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan dengan
memanfaatkan pangan lokal yang ada seperti umbi-umbian.
Umbi-umbian termasuk dalam sub-sektor tanaman pangan. Sub-sektor
tanaman pengan menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan subsektor pertanian lainnya. Salah satu komoditas tanaman pangan yang mengalami
pertumbuhan adalah ubi jalar. Pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar
di Indonesia pada tahun 2011 terhadap 2010 bernilai positif jika dibandingkan
dengan beberapa komoditi lainnya. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan
ubi jalar sebagai produk olahan bernilai gizi tinggi seperti tepung ubi jalar dan
secara ekonomis memiliki peluang pasar yang besar. Namun, budidaya yang
selama ini dilakukan oleh petani ubi jalar diindikasikan masih belum efisien. Hal
tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak sesuai anjuran sehingga
menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat pendapatan usahatani
ubi jalar di Desa Cikarawang, (2) menganalisis faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi produksi ubi jalar di Desa Cikarawang, dan (3) menganalisis
efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani
ubi jalar di Desa Cikarawang.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2012.
Responden penelitian ini sebanyak 35 orang petani ubi jalar yang menanam ubi
jalar pada musim tanam akhir tahun 2011. Analisis dilakukan menggunakan
pendekatan fungsi produksi Stochastic Frontier dengan metode pendugaan MLE.
Efisiensi biaya dapat diperoleh dari luasan lahan yang lebih besar.
Pendapatan usahatani petani di daerah penelitian dengan luas lahan lebih dari 0,5
Ha lebih besar daripada luas lahan kurang dari 0,5 Ha baik atas biaya tunai
maupun biaya total. Analisis R/C rasio pun menunjukkan nilai yang lebih besar
pada luasan lahan lebih dari 0,5 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi
jalar di daerah penelitian menguntungkan untuk dilaksanakan karena nilai R/C
rasio menunjukkan nilai lebih dari satu. Faktor faktor yang mempengaruhi
produksi ubi jalar di daerah penelitian adalah adalah luas lahan, tenaga kerja,
penggunaan pupuk N, pupuk P, dan pestisida. Nilai rata-rata efisiensi teknis petani
responden hanya sebesar 0,564 artinya rata-rata produktivitas ubi jalar yang
dicapai petani adalah 56,4 persen dari produktivitas maksimum yang dapat
dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik. Hal ini berkaitan dengan sumbersumber inefisiensi teknis yang berpengaruh terhadap inefisiensi teknis yaitu usia
petani dan pengalaman.
ii
iii
FARAH RATIH
H34080138
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
Nama
NIM
: H34080138
Menyetujui,
Pembimbing
Mengetahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis Efisiensi
Teknis Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Farah Ratih
H34080138
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 November 1991. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Firdaus dan Ibunda
Sri Hartati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 02 pagi Kelapa Dua
Kebon Jeruk Jakarta pada tahun 2002. Pendidikan menengah pertama diselesaikan
pada tahun 2005 di SMPN 189 Jakarta. Pendidikan menengah atas di SMAN 65
Jakarta diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Saringan Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008.
Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada Biro BEMCorp
periode 2009-2010 dan pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Agribisnis
(HIPMA) pada Departemen Creativity and Career Development periode 20102011.
Penulis juga tercatat sebagai juara perak PKM kategori Pengabdian
Masyarakat PIMNAS XXIII, penerima dana hibah PKM bidang Kewirausahaan
dan Gagasan Tertulis PIMNAS XXIV, dan penerima dana hibah PKM bidang
Penelitian PIMNAS XXV.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efisiensi Teknis
Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi ubi jalar, efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi
inefisiensi teknis ubi jalar, serta pendapatan usahatani ubi jalar di Desa
Cikarawang.
Penulis menyadari karya tulis ini memiliki kekurangan dan keterbatasan.
Namun demikian, penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca.
Bogor, Juli 2012
Farah Ratih
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah yang
telah diberikan selama ini terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis
menyadari skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk
rasa syukur, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Ir. Harmini, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu, bimbingan,
dan kesabarannya selama ini. Terima kasih atas didikan dan pengajaran yang
telah diberikan kepada penulis.
2.
3.
Yanti Nuraeni Muflikh, SP. M. Agribuss selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas saran dan masukan bagi penulis.
4.
Ir. Narni Farmayanti, M.Sc sebagai pembimbing akademik. Terima kasih atas
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
5.
6.
7.
Seluruh dosen Departemen Agribisnis. Terima kasih atas segala ilmu yang
telah diberikan kepada penulis.
8.
Papa Firdaus dan Mama Sri Hartati atas kasih sayang, setiap doa, dukungan,
dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kelulusan penulis
dapat menjadi salah satu kebanggaan papa mama.
9.
Adik-adiku, Farah Fachria dan Bella Carenda atas kasih sayang, perhatian,
dan dukungannya terhadap penulis.
10. Bapak Ahmad Bastari, Bapak Ujang, dan Ibu Norma selaku Ketua Kelompok
Tani Hurip, Setia, dan KWT beserta seluruh petani responden penelitian ini
atas kesediaan, waktu, dan informasi yang diberikan.
11. Aparat kantor Desa Cikarawang atas kesediaanya memberikan informasi
desa.
12. Ryan Iga Septiawan, Amelia, Herawati atas dukungan, dan motivasinya
selama ini.
ix
13. Teman sebimbingan: Joko, Restika, dan Tsamaniatul atas kerjasama dan
motivasinya.
14. Teman-teman kontrakan Galuh Hanifatiha, Rullyana Nur Bianti, Novya
Azhari, Ariesta Adline Aprilia, Ira Suci Ariestia, dan Kade Ari Oktaviani atas
semangat, dukungan, dan motivasinya selama ini.
15. Keluarga Agribisnis 45 dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu
per satu yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Farah Ratih
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
xv
xvi
I.
PENDAHULUAN .........................................................................
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Ruang Lingkup
1
1
6
8
8
9
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Empiris Ubi Jalar
2.2. Tinjauan Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier
2.3. Tinjauan Empiris Efisiensi dan Inefisiensi Teknis
10
10
16
18
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
3.1.1. Konsep Usahatani
3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi
3.1.4. Konsep Efisiensi
3.1.5. Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
22
22
22
25
28
30
31
34
IV.
METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2. Jenis dan Sumber Data
4.3. Metode Pengambilan Contoh
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
4.4.1. Analisis Efisiensi dengan Fungsi Produksi
Stochastic Frontier
4.4.2. Uji Hipotesis
4.4.3. Analisis Pendapatan Usahatani
4.4.4. Definisi Operasional
38
38
38
39
39
49
49
50
50
56
56
57
64
64
V.
40
42
44
45
xi
VII.
68
70
70
72
75
91
91
91
DAFTAR PUSTAKA
93
LAMPIRAN
97
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Nomor
1.
2.
3
di
Indonesia
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Hasil per Hektar Ubi
Jalar di Jawa Barat Tahun 2010
20
5.
50
6.
50
51
51
52
53
53
54
54
55
55
55
17. Rata-rata Jumlah Panen dan Harga Jual Ubi Jalar pada Petani
dengan Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
63
18. Sebaran dan Persentase Tempat Tujuan Petani Menjual Ubi Jalar
66
3.
4.
7.
8.
9.
xiii
69
72
21. Perbandingan Biaya Usahatani pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan >
0,5 Ha per Musim Tanam
73
22. Sebaran Biaya Penyusutan pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5
Ha
75
76
24. Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier CobbDouglas dengan Metode MLE
79
80
81
84
85
85
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
Halaman
29
2.
33
3.
37
4.
49
5.
66
6.
Persentase Sebaran Harga Jual yang Diterima Petani Ubi Jalar ........
67
7.
86
8.
87
88
9.
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
97
2.
97
98
98
98
99
3.
4.
5.
6.
7.
100
8.
101
9.
103
xvi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah
penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta orang terdiri dari 119,6 juta orang laki-laki
dan perempuan sebanyak 118,0 juta orang. Dibandingkan dengan hasil Sensus
Penduduk 2000, telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 32,5 juta
orang atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun
(BPS 2012). Hal tersebut secara langsung menyebabkan terjadinya peningkatan
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Dalam UU No. 7 tahun 1996 pasal 1, pangan merupakan segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Untuk itu, kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan
penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Menurut
Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan pasal 1 ayat 9
dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan
prinsip gizi seimbang. Ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau telah diamanatkan
dalam UU No. 7 tahun 1996. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan 2011 juga telah menargetkan pada tahun 2010-2014 terjadi peningkatan
ketahanan pangan sejalan dengan peningkatan produksi per tahun yang rata-rata
padi 5,22 persen, jagung 10,02 persen, kedelai 20,05 persen, kacang tanah 10,20
persen, kacang hijau 4,55 persen, ubi kayu 5,54 persen, dan ubi jalar 6,78 persen.
Salah satu solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah
diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan penganekaragaman produk
makanan, namun tidak hanya berfokus pada hal itu saja, melainkan juga harus
mengubah ketergantungan masyarakat terhadap salah satu jenis makanan pokok
saja seperti beras (BKP 2010). Suyastiri (2008) menyatakan bahwa diversifikasi
pangan merupakan hal yang sangat penting karena (1) dalam lingkup skala
nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap
ketergantungan impor beras, (2) dapat mengubah lokasi sumberdaya ke arah yang
efisien, fleksibel, dan stabil jika didukung dengan pemanfaatan potensi lokal, dan
(3) diversifikasi konsumsi pangan penting dilihat dari segi nutrisi untuk dapat
mewujudkan Pola Pangan Harapan.
Cara yang dapat dilakukan dalam mencapai diversifikasi pangan salah
satunya dengan memanfaatkan pangan lokal yang ada seperti umbi-umbian. Hal
ini sesuai dengan Permentan No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Presiden No. 22
tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal. Kedua kebijakan tersebut ditujukan untuk
mendorong terwujudnya penyediaan aneka ragam pangan dan peningkatan pangan
berbasis potensi sumber daya lokal.
Saat ini masyarakat sayangnya belum memahami benar penganekaragaman
pangan berbasis potensi lokal. Masyarakat saat ini sering kali beranggapan bahwa
mengkonsumsi makanan pokok selain beras diidentikkan sebagai masyarakat
golongan rendah1. Hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap beras tetap
tinggi. Bahkan, masyarakat di wilayah Timur Indonesia yang semula tidak
mengkonsumsi beras sebagai pangan pokoknya sudah beralih mengkonsumsi
beras.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa
konsumsi beras lebih tinggi daripada bahan pangan sumber karbohidrat alternatif,
seperti umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak,
kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Konsumsi pangan ideal
untuk padi-padian adalah 275 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2008,
konsumsi padi-padian melebihi ideal sebesar 326 gram dan pada tahun 2009 pun
masih melebihi keadaan idealnya walaupun sudah menurun dibanding tahun 2009
yakni sebesar 314,4 gram. Bahkan skor PPH tahun 2009 menurun jumlahnya
1
dibandingkan skor PPH tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
penganekaragaman pangan masyarakat masih rendah dilihat dari skor PPH masih
dibawah 100. Ini disebabkan karena pola pikir yang berkembang di masyarakat
bahwa dikatakan belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Diketahui pula
bahwa terjadi penurunan terhadap konsumsi beras, namun secara bersamaan
konsumsi bahan pangan lainnya juga ikut menurun seperti umbi-umbian. Jumlah
konsumsi pangan umbi-umbian idealnya yaitu 100 gram per kapita per hari,
namun pada tahun 2008 hanya 51,7 gram dan pada tahun 2009 hanya 40,2 gram
(BPS diolah BKP 2010).
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam Renstra tahun 2010-2014
menetapkan tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional, yaitu: padi, jagung,
kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Berdasarkan
Lampiran 2, produksi tanaman pangan selama periode 2005-2010 mengalami
pertumbuhan yang positif untuk lima komoditas unggulan nasional. Selain itu,
sub-sektor tanaman pangan juga menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan
dengan sub-sektor pertanian lainnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian tahun 2005-2008
Subsektor
Tahun
2005
2006
Rata-rata
2007
2008
Tan.
22,961,255 22,765,897 22,311,310 23,382,721 22,547,778
Pangan
Hortikultu 2,728,861
2,686,072
2,637,874
2,574,835
2,666,165
-ra
Perkebun- 10,412,037 10,309,700 10,116,582 9,281,711
10,229,909
an
Total
41,561,987 41,229,716 41,907,617 42,689,635 41,599,395
Pertanian
Sumber: Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 2010-2014
Laju
Pertumbuh
an (%)
2,44
-1,20
-4,18
1,27
Sub-sektor tanaman pangan rata-rata menyerap 22,5 juta orang atau 54,19
persen dari angkatan kerja di sektor petanian dengan laju pertumbuhan terbesar
yaitu 2,44 persen per tahun. Lampiran 3 juga menunjukkan bahwa tanaman
pangan merupakan sumber penghasilan utama sebagian besar rumah tangga
pertanian di Indonesia yaitu sebesar 32,24 persen.
Salah satu komoditas tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan adalah
ubi jalar. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) merupakan salah satu dari dua puluh jenis
Dr. Handewi P. S. Rachman 2010. Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi
Ubi jalar.[http://km.ristek.go.id/assets/css/reset.css" rel="stylesheet" type="text/css"]
2.
3.
Jenis Komoditi
Padi
Produksi (000 Ton)
Luas Panen (000 Ha)
Produktivitas (Kw/Ha)
Jagung
Produksi (000 Ton)
Luas Panen (000 Ha)
Produktivitas (Kw/Ha)
Ubi Jalar
Produksi (000 Ton)
Luas Panen (000 Ha)
Produktivitas (Kw/Ha)
Pertumbuhan 2011
terhadap 2010 (%)
2010
2011
ARAM-III
66,469
13,253
50,15
65,385
13,224
49,44
-1,63
-0,22
-1,42
18,328
4,132
44,36
17,230
3,870
44,52
-5,99
-6,34
0,36
2,051
181
113,27
2,172
178
122,32
5,92
-1,92
7,99
Di provinsi Jawa Barat pun dapat dilihat baik dari sisi produksi dan
produktivitas ubi jalar dari tahun 2007-2011 memiliki trend yang terus meningkat
seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 5. Produktivitas ubi jalar pada tahun
2007 sebesar 133,73 Kw/Ha meningkat menjadi 150.62 Kw/Ha pada tahun 2011.
Begitu pun dengan produksi ubi jalar meningkat dari 375.714 ton tahun 2007
menjadi 422.228 ton tahun 2011.
Di beberapa negara, ubi jalar sudah merupakan produk komersial yang
cukup diminati. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan ubi jalar sebagai
produk olahan bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis memiliki peluang pasar
yang besar (Hasyim 2008). Beberapa varietas unggul seperti Cilembu, Sari,
Cangkuan memiliki produktivitas antara 15-30 ton/hektar (Destialisma 2009).
Namun, disaat produksi ubi jalar sangat melimpah yakni saat musim panen
raya, nilai jual komoditas ini akan menurun. Hal tersebut sesuai dengan hukum
ekonomi yaitu ketika supply meningkat maka harga jualnya akan turun. Untuk itu,
perlu dilakukan terobosan agar nilai jual komoditas ini tetap stabil sepanjang
tahun. Salah satunya dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi
serta metode pengolahan hasil atau pasca panen yang lebih baik.
Banyak hal telah dilakukan dalam pengolahan pasca panen ubi jalar seperti
membuat tepung ubi jalar dan pemanfaatannya dalam pembuatan beberapa produk
(Destialisma 2009). Selain itu, tepung ubi jalar juga telah dikembangkan menjadi
bahan baku pangan seperti mencoba pemanfaatan tepung ubi jalar dalam
pembuatan produk-produk roti, cookies dan biskuit dengan hasil yang cukup
memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa bahan baku berupa ubi
jalar diperlukan oleh industri sehingga perlu adanya kesinambungan bahan baku.
Namun, budidaya yang selama ini dilakukan oleh petani ubi jalar diindikasikan
masih belum efisien. Hal tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak
sesuai anjuran, tingkat pendapatan petani yang rendah, dan produksi ubi jalar
masih di bawah potensi produksi (Khotimah 2010).
Dari kedua sudut pandang tersebut, baik dari segi produksi maupun
pengolahannya, ubi jalar memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan konsep
diversifikasi yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai upaya untuk meningkatkan produksi baik dalam hal kualitas maupun
kuantitas.
1.2. Perumusan Masalah
Jawa Barat merupakan provinsi sentra produksi ubi jalar terbesar di
Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten yang berada di
dalamnya. Kontribusi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten
Bogor terhadap PDRB Jawa Barat merupakan yang terbesar yaitu 9,57 persen
dari total PDRB Wilayah Bogor4. Tingginya angka PDRB di Kabupaten Bogor
dipacu oleh pertumbuhan indusri khususnya industri yang berada di bagian utara
Kabupaten Bogor. Di Kabupaten Bogor terdapat 40 buah kecamatan, 409 desa, 17
kelurahan, dan 426 desa.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra ubi jalar. Hal ini dapat dilihat
dari segi luas tanam, luas panen, produksi, dan hasil per hektar. Ubi jalar di
Kabupaten Bogor menempati posisi tertinggi kedua setelah Kabupaten Kuningan,
seperti yang ditunjukkan di atas (Tabel 3).
Tabel 3. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Hasil per Hektar Ubi Jalar
di Jawa Barat Tahun 2010
Tahun 2010
Kabupaten
Bogor
Sukabumi
Bandung
Tasikmalaya
Kuningan
Sumedang
Luas Tanam
(Ha)
3,965
1,441
3,258
2,145
5,553
1,591
Luas Panen
(Ha)
3,881
1,443
2,524
2,123
5,592
1,539
Produksi
(ton)
59,555
21,270
29,122
23,388
96,857
18,974
Salah satu wilayah penghasil ubi jalar di Kabupaten Bogor adalah Desa
Cikarawang. Desa Cikarawang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Produktivitas ubi jalar di Kecamatan ini pada tahun
2007 dan 2008 sebesar 14,57 ton/ha dan 14,32 ton/ha (Lampiran 6). Di Desa
Cikarawang terdapat enam buah kelompok tani yang bergerak di komoditas padi
atau palawija. Kelompok tani tersebut antara lain kelompok tani Hurip, Setia,
Mekar, Subur Jaya, Andalan, dan KWT Melati.
Ubi jalar merupakan salah satu dari tujuh komoditas yang menjadi unggulan
nasional. Untuk itu, selama tahun 2010-2014 komoditas tersebut menjadi
perhatian pemerintah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan dan
kesejahteraan petani (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011). Hal ini akan
dapat terlaksana dengan baik jika komoditas tersebut dapat memberikan
keuntungan bagi petani sehingga petani mau untuk mengusahakan komoditas
tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usahatani ubi jalar
di Desa Cikarawang untuk mengetahui apakah usahatani ubi jalar di daerah
tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.
Potensi ubi jalar di Desa Cikarawang tersebut sayangnya dihadapi dengan
permasalahan produktivitas ubi jalar yang rendah. Rata-rata produktivitas ubi jalar
di Desa Cikarawang adalah 9,5 ton per hektar (wawancara dengan ketua
kelompok tani). Sedangkan menurut BPS (2012), produktivitas ubi jalar nasional
sebesar 12,232 ton per hektar. Ini menunjukkan bahwa produktivitas ubi jalar di
Desa Cikarawang masih rendah di bawah produktivitas nasional. Hal tersebut
diduga terjadi karena ketidakefisienan teknis dalam usahatani ubi jalar di Desa
10
di daerah dengan curah hujan optimal antara 750-1500 mm/tahun dan berada pada
ketinggian 0-1.500 m dpl.
2) Penyiapan Bibit
Teknik perbanyakan tanaman ubi jalar yang sering dilakukan petani adalah
dengan stek batang atau pucuk. Bibit yang berupa stek harus memenuhi syarat:
tanaman telah berumur 2 bulan atau lebih, panjang stek antara 20-30 cm, disimpan
ditempat teduh selama 17 hari. Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk areal
penanaman 1 hektar tergantung pada jarak tanam. Untuk jarak tanam 75x30 cm
maka kebutuhan bibitnya sekitar 32.000 stek.
3) Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan sebaiknya dilakukan pada saat tanah tidak terlalu basah
atau tidak terlalu kering, lengket atau keras. Cara penyiapan lahan dimulai dengan
mengolah tanah terlebih dahulu hingga gembur, kemudian dibiarkan selama satu
minggu, selanjutnya dibuat guludan-guludan, tanah diolah langsung bersamaan
dengan pembuatan guludan, lebar guludan bawah 60 cm, tinggi 3040 cm, lebar
atas 40 cm, dan jarak antar guludan 80100 cm.
4) Penanaman
Penanaman ubi jalar di lahan kering (tegalan) biasanya dilakukan pada awal
musim hujan (Oktober) atau akhir musim hujan (Maret). Di lahan sawah, waktu
tanam yang paling tepat adalah setelah padi rendengan atau padi gadu, yakni pada
awal musim kemarau. Stek ditanam miring dengan kedalaman tanam 10-15 cm
(4-6 ruas) dengan jarak tanam 10-15 cm.
5) Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman terdiri atas lima bagian yaitu penyulaman, pengairan,
penyiangan dan pembumbunan, pemupukan,
penyakit.
a) Penyulaman
Penyulaman merupakan suatu kondisi dimana terdapat bibit yang mati atau
tumbuh abnormal sehingga harus segera disulam (ditanam kembali) dan dilakukan
sesegera mungkin.
11
b) Pengairan
Pemberian air dilakukan selama 1530 menit hingga tanah (guludan) cukup
basah, kemudian airnya dialirkan ke saluran pembuangan. Pengairan berikutnya
masih diperlukan secara rutin hingga tanaman berumur 1-2 bulan. Pengairan
dihentikan pada umur 2 3 minggu sebelum panen.
c) Penyiangan dan Pembumbunan
Penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan kored/cangkul
pada umur 2,5 dan 8 MST (Minggu Setelah Tanam). Setiap satu bulan sekali
dilakukan pembalikan tanaman untuk menghindari menjalarnya tanaman ke
segala arah. Pembumbunan dapat dilakukan pada umur 23 minggu setelah
tanam.
d) Pemupukan
Pemupukan ubi jalar dilakukan dua kali, pemupukan pertama saat tanam
dengan 1/3 dosis pupuk nitrogen, 1/3 dosis kalium ditambah seluruh dosis fosfor.
Pemupukan kedua, pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam, dipupuk
dengan 2/3 dosis nitrogen dan 2/3 dosis kalium. Dosis pupuk yang dianjurkan
dalam usahatani ubi jalar adalah 45-90 kg N/Ha (100-200 kg urea/Ha) ditambah
25 kg P2O5/Ha (50 kg TSP/Ha), dan 50 kg K2O/Ha (100 kg KCl/Ha).
e) Pengendalian Hama dan Penyakit
Perlindungan tanaman dari OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
dilakukan secara terpadu seperti berikut:
- Secara kultur teknis, diantaranya mengatur waktu tanam yang tepat, rotasi
tanaman, sanitasi kebun, dan penggunaan varietas yang tahan hama dan penyakit.
- Secara fisik dan mekanis, yaitu dengan memotong atau memangkas atau
mencabut tanaman yang sakit atau terserang hama dan penyakit cukup berat,
dikumpulkan dan dimusnahkan.
- Secara kimiawi yaitu dengan menggunakan pestisida secara selektif dan
bijaksana.
6) Panen
Ubi jalar berumur pendek (genjah) dapat dipanen pada umur 3-3,5 bulan,
sedangkan varietas berumur panjang (dalam) dipanen pada umur 4,55 bulan.
Tahap-tahap panen ubi jalar adalah dengan memotong (pangkas) batang ubi jalar
12
13
adalah umbi cepat besar dan masa panen lebih cepat namun umbi cepat
membusuk jika tidak segera dipanen (Herdiman 2010).
Bibit yang digunakan dalam usahatani ubi jalar dapat berasal dari hasil
produksi sebelumnya, produksi petani lain, dan hasil pembibitan sendiri.
Penentuan varietas tertentu yang ditanam di daerah penelitian karena varietas
tersebut memiliki rasa yang manis, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama
penyakit, harga jual tinggi, dan permintaannya di pasar selalu ada sepanjang tahun
(Khotimah 2010; Defri 2011).
Ubi jalar dapat dipanen saat umur tanaman 4,5-6 bulan. Umur panen ubi
jalar dipengaruhi oleh kebutuhan petani, harga jual, dan orientasi usahatani. Di
Kabupaten Kuningan yang merupakan sentra ubi jalar terbesar di Jawa Barat, ratarata produksi total ubi jalar sebesar 20.117,23 kg/ha (Khotimah 2010).
Hasil panen petani berupa ubi jalar segar langsung dijual kepada pedagang
pengumpul, industri yang membutuhkan bahan baku ubi jalar atau dipasarkan
langsung ke pasar induk setempat (Khotimah 2010; Defri 2011) dan juga kepada
tengkulak seperti di Desa Gunung Malang (Defri 2011). Hal ini dikarenakan
produk turunan dari ubi jalar belum banyak dilakukan oleh petani. Sistem
penjualan ubi jalar terdiri atas dua jenis yaitu sistem borongan dan sistem bukti
(Herdiman 2010; Defri 2011). Sistem borongan merupakan sistem penjualan per
luas lahan, seperti yang dilakukan di Desa Purwasari sedangkan sistem bukti
meupakan sistem penjualan dimana pembeli yang melakukan pemanenan seperti
di Desa Gunung Malang.
Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani ubi jalar adalah biaya
tenaga kerja luar keluarga (TKLK) seperti usahatani di Kecamatan Cilimus
sebesar 49,40 persen dari biaya total (Khotimah 2010) dan sebesar 54,65 persen di
Desa Purwasari (Defri 2011). Jumlah HOK yang digunakan dalam usahatani ubi
jalar terdiri dari 54,75 HOK Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan 235,02
HOK Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) (Khotimah 2010).
Dilihat dari daya saingnya, budidaya ubi jalar menguntungkan baik secara
finansial maupun ekonomi (Nurmala 2011; Khotimah 2010). Berbeda halnya
dengan jenis umbian lain seperti talas misalnya. Penerimaan usahatani talas di
Kecamatan Bogor Barat yaitu Rp. 18.250.592 per hektar dengan harga jual di
14
petani Rp. 1.448/umbi. Hal tersebut menyebabkan produksi talas mulai menurun
karena kecilnya penerimaan yang diterima dan harga jual yang rendah.
Pendapatan usahatani talas secara monokultur atas biaya total di Kecamatan
Bogor Barat tidak menguntungkan atau rugi sebesar Rp 4.163.962 (Sari 2012).
Hal ini disebabkan jumlah biaya yang diperhitungkan lebih besar dari jumlah
biaya tunai. Jumlah biaya diperhitungkan yang besar dikarenakan penggunaan
TKDK yang besar. Nilai R/C rasio atas biaya tunai usahatani talas sebesar 3,73
namun R/C rasio atas biaya total sebesar 0,81 artinya usahatani talas tidak
menguntungkan untuk diusahakan.
Hasil analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus
menunjukkan bahwa pendapatan usahatani atas biaya tunai maupun biaya total
lebih besar dari nol. Selain itu, nilai rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,67 dan
rasio R/C atas biaya total 1,24 (Khotimah 2010). Hal tersebut menunjukkan
bahwa usahatani ubi jalar di lokasi penelitian menguntungkan. Hal yang sama
juga ditunjukkan pada pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Purwasari
Kecamatan Dramaga dan di Desa Gunung Malang yang menguntungkan dilihat
dari nilai rasio R/C atas biaya tunai ataupun biaya total lebih dari satu (Herdiman
2010; Defri 2011).
Berdasarkan peramalan yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu,
diketahui bahwa produksi kuartalan ubi jalar nasional tiap musim dan tahun
mengalami fluktuasi mengikuti fluktuasi produksi padi yang berkorelasi negatif,
sama halnya juga dengan konsumsi ubi jalar. Artinya disaat produksi padi
menunjukkan trend yang meningkat justru produksi ubi menunjukkan hasil
sebaliknya yakni trend yang cenderung menurun. Sama halnya dengan konsumsi
tahunan ubi jalar nasional yang mempunyai pola dengan trend cenderung
menurun. Diramalkan produksi dan konsumsi ubi jalar sampai tahun 2016 belum
bisa memenuhi target yang diharapkan (Aji 2008). Dari segi permintaan, petani
dan konsumen pada umumnya lebih menyukai ubi jalar dengan varietas yang
mempunyai tekstur kering, namun hingga saat ini belum dapat dipenuhi
dikarenakan produktivitas yang masih rendah5.
15
2.2.
digunakan untuk melihat efisiensi dari suatu usahatani. Fungsi produksi stochastic
frontier menggambarkan hubungan antara input yang tersedia dan output
maksimum yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh dalam usahatani.
Pendekatan Stochastic Production Frontier telah digunakan oleh Aisah
(2003) usahatani tomat di Desa Karawang Kecamatan Sukabumi; Astuti (2003)
usahatani kentang di Desa Margamulya
(2005) usahatani padi lahan kering di Desa Tanggeung Cianjur; Maryono (2008)
usahatani padi program benih bersertifikat di Karawang; Hutauruk (2008) untuk
usahatani padi benih bersubsidi di Karawang; Khotimah (2010) usahatani ubi jalar
di Kuningan; Defri (2011) usahatani ubi jalar di Desa Purwasari Kabupaten
Dramaga.
Pendekatan ini dipilih karena sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk
linier (Maryono 2008; Hutauruk 2008; Khotimah 2010). Fungsi produksi
stochastic frontier dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor produksi yang
mempengaruhi efisiensi teknis, dapat melihat efisiensi teknis usahatani dari sisi
input, dan efek inefisiensi yang berkaitan (Maryono 2008; Hutauruk 2008).
Dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier peneliti dapat
mengetahui faktor produksi apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis
usahatani serta bagaimana pengaruhnya terhadap usahatani.
Model yang digunakan adalah model fungsi Stochastic Production Frontier
Cobb-Douglas
menggunakan
parameter
pendugaan
Maximum
Likelihood
Estimated (MLE) (Haryani 2009; Khotimah 2010; Prayoga 2010). Salah satu
keuntungan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah jumlah
elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan
skala usaha (return to scale) (Maryono 2008). Parameter MLE digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara produksi maksimum yang dapat dicapai dengan
menggunakan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor-faktor produksi yang
dimaksud antara lain lahan, modal, tenaga kerja, dan manajemen atau
16
17
merupakan
hal
penting
dalam
pengukuran
keberhasilan
pelaksanaan proses produksi. Efisiensi teknik yang tinggi berperan penting dalam
upaya peningkatan keuntungan suatu usahatani. Farrell (1957) diacu dalam
Tasman (2010), mengajukan pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen
yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis merupakan
kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input
yang tersedia sedangkan efisiensi alokatif merupakan kemampuan dari perusahaan
menggunakan input dalam proporsi yang optimal sesuai dengan harga masingmasingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan
menyediakan ukuran total efisiensi ekonomi.
Salah satu komponen dari pengukuran efisiensi ekonomi adalah efisiensi
teknis. Suatu usahatani baru dapat dikatakan efisiensi ekonomi jika sudah
mencapai efisiensi teknis (Sukiyono 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa
usahatani tersebut sudah menggunakan input produksi yang dimiliki secara
optimal. Haryani (2009) melakukan penelitian mengenai efisiensi usahatani padi
sawah pada program pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di Kabupaten
Serang menunjukkan bahwa penyebab usahatani padi sawah efisien secara teknis
adalah karena penggunaan input sudah optimal. Tujuan pengoptimalan
penggunaan input tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan maksimal.
Namun, pada usahatani yang telah efisien secara teknis, belum tentu secara
alokatif efisien. Penggunaan input meskipun efisien secara teknis tetapi tidak
secara alokatif dapat dilihat dari nilai produk marjinalnya yang lebih rendah
dibandingkan harga input (Hutauruk 2008). Menurut Bakhsoodeh dan Thomson
diacu dalam Hutauruk (2008), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang
menggunakan lebih sedikit input untuk memproduksi sejumlah output pada
Jasmina dan Goeltom dalam Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia : Metode Pengukuran Fungsi
Biaya Frontir. 2010
18
tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari
petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.
Identifikasi efisiensi penggunaan sumberdaya merupakan isu penting
berbagai peluang dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan rumah tangga tani (Weersink, Turvey & Godah 1990
diacu dalam Adiyoga 1999). Untuk melihat efisiensi penggunaan faktor produksi
dapat dilihat dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan
Marjinal (BKM) yang harus sama dengan satu (Dumaria 2003).
Penelitian tentang efisiensi teknis usahatani yang telah dilakukan
sebelumnya umumnya terdapat multikolineritas atau korelasi antar variabel,
terutama lahan sehingga mereka merestriksi modelnya dengan mengelompokkan
variabel yang ada menjadi variabel bebas dan variabel terikat. Seperti dalam
Rachmina dan Maryono (2008) bahwa variabel luas lahan menimbulkan
multikolinearitas pada model sehingga variabel luas lahan dijadikan pebobot pada
variabel dependen maupun independen. Setelah model direstriksi, terbentuklah
model baru, kemudian jika pada model tersebut masih terdapat multikolinier maka
diretriksi kembali hingga didapatkan nilai R2 yang besar dan VIF lebih kecil dari
10 (Astuti 2003; Aisah 2003; Hutauruk 2008).
Variabel faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap efisiensi
teknis adalah luas lahan, tenaga kerja, pupuk, dan insektisida (Astuti 2003, Aisah
2003, Brahmana 2005, Hutauruk 2008). Hal lain yang dapat mengindikasikan
faktor-faktor produksi yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani adalah
dengan melihat faktor inefisiensi teknis usahatani. Beberapa penelitian mengenai
efisiensi teknis menggunakan metode efek inefisiensi teknis. Metode efek
inefisiensi teknis yang digunakan mengacu pada model efek inefisiensi teknis
yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1998) (Hutauruk 2008; Maryono
2008; Khotimah 2010). Dalam model tersebut terdapat variabel i yang berfungsi
untuk menghitung efek inefisiensi.
Faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis beberapa
komoditi dalam usahatani adalah pengalaman berusahatani, pendidikan,
pendapatan di luar usahatani, dan kepemilikan lahan (Sukiyono 2005; Hutauruk
2008; Maryono 2008; Haryani 2009; Khotimah 2010). Hutauruk (2008) dan
19
Komoditas
Variabel Produksi
Cabai merah
pendidikan formal
Pengaruhnya
terhadap Inefisiensi
(+); nyata
(-); tidak nyata
(-); tidak nyata
umur
Hutauruk (2008)
Maryono (2008)
Khotimah,H (2010)
Prayoga (2010)
pengalaman
Padi Benih umur bibit
Bersubsidi
pengalaman berusahatani
pendidikan
status kepemilikan lahan
pendapatan di luar
usahatani
jarak tanam
Padi
pengalaman petani
program
pendidikan formal petani
benih
umur bibit
bersertifikat
rasio urea-TSP
bahan organik
legowo
Ubi Jalar
umur petani
pengalaman berusahatani
pendidikan
pekerjaan petani di luar
usahatani
pendapatan
di
luar
usahatani
kepemilikan lahan
penyuluhan
Padi
jumlah anggota keluarga
Organik
usia produktif
lahan sawah
frekuensi
penyuluhan
mengikuti
20
21
Daniel
(2001),
usahatani
merupakan
kegiatan
mengorganisasi
(mengelola) aset dan cara dalam pertanian. Diartikan pula sebagai suatu kegiatan
yang mengorganisasi sarana produksi pertanian dan teknologi dalam suatu usaha
yang menyangkut bidang pertanian. Ilmu usahatani merupakan ilmu yang
mempelajari
cara-cara
petani
menentukan,
mengorganisasikan,
dan
22
23
24
dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang
dibayarkan dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani.
25
26
dianggap sama besarnya untuk setiap saat. Besarnya penyusutan sama dengan
harga pembelian dikurangi harga tidak terpakai dibagi dengan lamanya
pemakaian, (3) menggunakan sistem penyusutan yang menurun, yaitu dengan
menentukan persentase tertentu terhadap nilai pembelian yang telah dipotong
penyusutan tahun sebelumnya, (4) menggunakan sistem sebanding dengan jumlah
angka-angka tahun.
Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran total usahatani didefinisikan
sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam
produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Pengeluaran total
usahatani dipisahkan menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap.
Pengeluaran tetap merupakan pengeluaran usahatani yang besarnya tidak
bergantung kepada besarnya produksi. Pengeluaran tidak tetap atau variabel
merupakan pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak dan
jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak
tersebut.
Soekartawi et al. (1986) menyatakan selisih antara pendapatan kotor
usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani.
Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani
dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik
sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan
bersih usahatani mengukur keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk
membandingkan penampilan beberapa usahatani. Soekartawi et al. (1986)
mendefinisikan pendapatan usahatani sebagai kelebihan uang tunai usahatani
ditambah dengan penerimaan tunai rumah tangga seperti upah kerja yang
diperoleh dari luar usahatani.
Pendapatan bersih usahatani juga dapat diketahui melalui analisis R/C rasio.
R/C rasio menunjukkan penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk
setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Semakin besar nilai R/C
menunjukkan bahwa semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh
untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut menyimpulkan bahwa
kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.
27
Kegiatan usahatani dikatakan layak jika nilai R/C rasio menunjukkan angka
lebih dari satu, artinya setiap penambahan biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan
biayanya. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa
tambahan biaya setiap rupiahnya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih
kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Jika nilai R/C
rasio sama dengan satu artinya usahatani memperoleh keuntungan normal.
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi
Fungsi produksi merupakan hubungan fisik atau hubungan teknik antara
macam dan jumlah korbanan yang digunakan dengan jumlah produk yang
dihasilkan (Soeharjo 1973). Menurut Daniel (2001), fungsi produksi merupakan
suatu fungsi yang menunjukkan hubungan hasil
Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan cara
menambahkan jumlah salah satu atau lebih dari input yang digunakan. Soekartawi
(2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara
produksi/variabel yang dijelaskan (Y) dengan masukan/variabel yang menjelaskan
(Xi). Variabel yang dijelaskan (Y) berupa produksi dan (Xi) berupa input
produksi i, sehingga besar kecilnya Y bergantung dari besar kecilnya X1, X2, X3,..,
Xm yang digunakan. Pengertian lain dari fungsi produksi adalah menunjukkan
berapa output yang dapat diperoleh dengan menggunakan sejumlah variabel input
yang berbeda. Secara aljabar hubungan Y dan X ditulis sebagai berikut :
Y = f {X1, X2,...,Xn}
dimana : Y = produksi
X1 = input X1
X2 = input X2
Xn = input X yang ke-n
Masukan X1, X2, X3,...,Xm dikelompokkan menjadi dua yaitu input yang
dapat dikuasai seperti luas tanah, jumlah pupuk, tenaga kerja, dan lainnya serta
input yang tidak dapat dikuasai seperti iklim. Input yang digunakan dalam suatu
fungsi produksi belum tentu digunakan pula pada fungsi produksi lainnya. Hal ini
tergantung dari penting tidaknya pengaruh input tersebut terhadap produksi.
28
PTI
[y=f(x1| x2=x20]
X1
AP,
MP
AP1
MP1
X1
Gambar 1. Hubungan antara produk total, produk rata-rata, dan produk marginal dalam proses
produksi.
Sumber: (Coelli, et. al. 1998)
29
Produk marginal =
Y
X
30
= exp(-Ui)
31
efisiensi
teknis
adalah
adanya
pemisahan
dampak
dari
N(o, v2|))
N(o, v2|)
Random error, vi, berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor acak
lainnya seperti cuaca, iklim, hama penyakit, bersama-sama dengan efek
kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi di fungsi produksi. Variabel vi
merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal
(independent-identically distributed atau i.i.d) dengan rataan bernilai nol dan
ragamnya konstan. Variabel ui diasumsikan i.i.d eksponensial atau variabel acak
32
dalam
satu
waktu
tertentu
pada
beberapa
objek
untuk
33
Frontier output (yi*) merupakan hasil output batas (frontier) dari petani i
yakni melampaui nilai dari fungsi produksi f(x ). Penyebabnya adalah aktivitas
produksi yang dipengaruhi oleh kondisi menguntungkan, dimana variabel vi
bernilai positif. Sebaliknya, Frontier output (yj*) merupakan hasil output batas
(frontier) dari petani j yakni berada di bawah fungsi produksi f(x ). Penyebabnya
adalah aktivitas produksi yang dipengaruhi oleh kondisi tidak menguntungkan,
dimana variabel vi bernilai negatif (Coelli et al.1998).
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Menurut BPS (2012), laju pertumbuhan penduduk Indonesia setiap
tahunnya meningkat sebesar 1,49 persen. Hal tersebut secara langsung
menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Untuk itu, kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan
penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu
solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan.
Namun, masyarakat saat ini belum memahami benar penganekaragaman pangan
34
berbasis potensi lokal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat konsumsi pangan ideal
untuk padi-padian masih melebihi kondisi ideal.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam Renstra tahun 2010-2014
menetapkan tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional, salah satunya
adalah ubi jalar dimana produksinya selama periode 2005-2010 mengalami
pertumbuhan positif. Ubi jalar berpotensi dikembangkan untuk mendukung
program penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Potensi
tersebut antara lain partisipasi masyarakat dalam mengkonsumsi ubi jalar tinggi,
pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011
terhadap 2010 bernilai positif, dan ubi jalar berpotensi menjadi komoditi ekspor
Indonesia.
Salah satu daerah penghasil ubi jalar terbesar di Kabupaten Bogor adalah
Desa Cikarawang. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam usahatani ubi jalar
antara lain belum diterapkannya teknik budidaya dan penggunaan faktor produksi
yang sesuai dengan teori dan anjuran, sehingga tingkat efisiensi teknis petani
diduga belum optimal.
Mengingat ubi jalar merupakan salah satu komoditas unggulan nasional
yang dapat meningkatkan ketahanan pangan maka diperlukan pencapaian efisiensi
teknis agar menghasilkan output yang optimal. Oleh karena itu, penelitian ini
menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi ubi jalar.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi ubi jalar antara lain luas lahan,
jarak tanam, tenaga kerja, penggunaan pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, dan
jumlah pestisida. Kemudian akan dilihat nilai efisiensi teknis tiap individu petani
dan serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis individu petani.
Faktor yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis antara lain usia petani,
tingkat pendidikan formal, pengalaman, keikutsertaan dalam kelompok tani,
varietas yang ditanam, status petani dalam rumah tangga, status usahatani, status
kepemilikan lahan, dan pola tanam. Adapun bagan kerangka pemikiran
operasional disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan referensi yang ada maka penelitian ini menggunakan fungsi
produksi stochastic frontier yang diestimasi menggunakan Maximum Likelihood
Estimation (MLE) untuk mengidentifikasi faktor produksi yang mempengaruhi
35
efisiensi teknis, melihat efisiensi teknis usahatani dari sisi input, dan efek
inefisiensi yang berkaitan. Selain itu, fungsi produksi stochastic frontier
digunakan karena sederhana, dan dapat dibuat dalam bentuk linier. Variabel yang
akan digunakan pada penelitian ini untuk menduga produksi ubi jalar luas lahan,
jarak tanam, tenaga kerja, penggunaan pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, dan
jumlah pestisida. Sedangkan variabel yang akan digunakan untuk menduga
inefisiensi teknis ubi jalar adalah usia petani, tingkat pendidikan formal,
pengalaman, keikutsertaan dalam kelompok tani, varietas yang ditanam, status
petani dalam rumah tangga, status usahatani, status kepemilikan lahan, dan pola
tanam.
36
Usahatani
1. Budidaya: pembibitan-panen
2. Penggunaan Sarana Produksi
Penerimaan
Biaya
Pendapatan Usahatani
1. Pendapatan Besih
Usahatani
2. R/C rasio atas Biaya
Tunai dan R/C rasio
atas Biaya Total
Rekomendasi Usahatani yang
Efisien secara Teknis dan
Memberikan Keuntungan
Maksimum bagi Petani
1.Faktor-faktor
yang
mempengaruhi Produksi:
luas lahan, jarak tanam, tenaga
kerja, jumlah pupuk kandang, pupuk
N, pupuk P, dan pestisida.
P
r
o
d
u
k
s
i
2.Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
Efisiensi
dan
Inefisiensi Teknis:
usia petani, tingkat pendidikan
formal, pengalaman, keikutsertaan
dalam kelompok tani, varietas yang
ditanam, status petani dalam rumah
tangga, status usahatani, status
kepemilikan lahan, dan pola tanam.
37
Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan
Kabupaten Bogor dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor merupakan
sentra produksi ketiga ubi jalar di Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Jawa Barat, 2011). Pemilihan Desa Cikarawang sebagai lokasi penelitian karena
sebagian besar masyarakat di desa tersebut merupakan petani ubi jalar. Sedangkan
pemilihan dusun lokasi penelitian dilakukan secara acak (random sampling) dari
tiga dusun yang berada di Desa Cikarawang terpilih dua dusun yaitu Dusun
Carang Pulang dan Dusun Cangkrang. Waktu pengambilan data dilakukan pada
bulan Maret-April 2012.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yakni
petani ubi jalar di dusun Carang Pulang dan Cangkrang di Desa Cikarawang.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan
dalam bentuk
38
39
40
.
adalah PM (produk marginal). Untuk itu, besarnya elastisitas
= exp(-Ui)
dimana TE adalah efisiensi teknis petani ke-i, yi adalah produksi aktual dari
pengamatan, yi adalah produksi frontier yang diperoleh dari fungsi produksi
41
frontier stochastic dan exp (-i) adalah nilai harapan (mean) dari i, jadi 0 TEi
1. TE effect model pun menetapkan efek inefisiensi teknis dalam model bentuk
stochastic frontier yang diformulasikan sebagai berikut:
i = 0 + Zij j +Wi
i adalah salah satu kesalahan baku yang menyusun error term dalam model yang
menggambarkan ketidakefisienan teknik suatu usahatani dan bernilai positif,
sehingga semakin besar nilai i maka makin besar pula ketidakefisienan suatu
usahatani.
Untuk menentukan nilai efek inefisiensi teknis (i) pada penelitian ini
digunakan rumus sebagai berikut:
i = 0 + Z11 + Z22 + Z33 + Z44 + Z55 + Z66 + Z77 + Z88+ Z99+ Wi
dimana:
i = output (ubi jalar) dalam satuan ton
Z1 = usia petani dalam satuan tahun
Z2 = tingkat pendidikan dalam satuan tahun
Z3 = pengalaman dalam satuan tahun
Z4 = dummy keikutsertaan dalam kelompok tani
Z5 = dummy varietas yang ditanam
Z6 = dummy status dalam rumah tangga
Z7 = dummy status usahatani
Z8 = dummy status kepemilikan lahan
Z9 = dummy pola tanam
Seluruh parameter baik dalam fungsi produksi stochastic frontier dan efek
inefisiensi secara simultan diperoleh melalui program Frontier 4.1. Pengujian
parameter dan efek inefisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan parameter
pendugaan Maximum Likelihood (MLE) pada tingkat kepercayaan 5 %.
4.4.2. Uji Hipotesis
Sebagai jawaban awal dari analisis di atas dilakukan uji hipotesis berikut :
Hipotesis:
H0 : = 0
42
H1 : > 0
Hipotesis nol menyatakan bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model
fungsi produksi. Jika hipotesis ini diterima, maka model fungsi produksi rata
rata sudah cukup mewakili data empiris. Uji statistik yang digunakan adalah uji
Chi Square.
LR = -2{ln[L(H0)/L(H1)]} = -2{ln[L(H0)]-ln[L(H1)]}
dimana L(H0) dan L(H1) adalah nilai dari fungsi likelihood dibawah hipotesis H0
dan H1.
Kriteria Uji :
LR galat satu sisi > 2 restriksi (tabel Kodde dan Palm) tolak H0
LR galat satu sisi < 2 restriksi (tabel Kodde dan Palm) terima H0
Tabel Chi Square Kodde dan Palm adalah tabel upper and lower bound dari nilai
kritis untuk uji persamaan dan tidak persamaan restriksi.
Hipotesis kedua :
H0 : 1 = 0
H1 : 1
Hipotesis nol artinya koefisien dari masing masing variabel di dalam model efek
inefisiensi sama dengan nol. Jika hipotesis ini diterima maka masingmasing
variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi tidak memiliki pengaruh sama
sekali terhadap tingkat inefisiensi di dalam proses produksi.
Uji statistik yang digunakan adalah :
t-hitung = i 0
S (i)
t-tabel = t(/2, n-k)
Kriteria uji:
t-hitung > t-tabel (/2, n-k) : tolak Ho
t-hitung < t-tabel (/2, n-k) : terima Ho
dimana:
k = jumlah variabel bebas
n = jumlah pengamatan/responden
S(i) = simpangan baku koefisien efek inefisiensi
43
diperhitungkan
dimana:
Biaya Tunai = pengeluaran berupa uang tunai yang dikeluarkan secara
langsung oleh petani (Rp)
Biaya Diperhitungkan = pengeluaran petani berupa faktor produksi tanpa
mengeluarkan uang tunai (Rp)
TC = total biaya usahatani (Rp)
Dalam penelitian ini, komponen penyusutan dihitung dengan metode garis
lurus dengan rumus sebagai berikut:
Penyusutan/tahun = Biaya Nilai sisa
Umur Ekonomis
Sementara pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan
matematika sebagai berikut:
tunai = TR tunai Biaya Tunai
total = TRtotal TC
dimana:
= pendapatan (Rp)
Selain itu, analisis pendapatan usahatani dapat dilakukan dengan analisis
R/C rasio yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang
dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Suatu usahatani dikatakan
menguntungkan apabila R/C rasio lebih besar dari satu. Sebaliknya, apabila R/C
rasio lebih kecil dari satu maka usahatani tersebut tidak menguntungkan. Semakin
besar nilai R/C rasio maka usahatani tersebut semakin menguntungkan.
Perhitungan R/C dirumuskan sebagai berikut:
Rasio R/C atas biaya tunai = Total penerimaan (Rp) = Py x Y
Total biaya tunai (Rp)
biaya tunai
TC
45
46
9. Usia petani (Z1) adalah usia petani yang mengusahakan usahatani ubi jalar.
Satuan pengukuran yang digunakan adalah tahun. Semakin tua usia petani
diduga akan menurunkan tingkat inefisiensi karena semakin tua petani
menunjukkan semakin tinggi pengalamannya.
10.Tingkat pendidikan petani (Z2) adalah lamanya pendidikan formal yang pernah
diperoleh petani. Satuan pengukuran yang digunakan adalah tahun. Semakin
lama tingkat pendidikan formal petani, diduga berpengaruh negatif terhadap
inefisiensi teknis.
11.Pengalaman petani (Z3) adalah lamanya petani dalam mengusahakan usahatani
ubi jalar. Satuan pengukuran yang digunakan adalah tahun. Semakin lama
pengalaman petani dalam berusahatani maka akan berpengaruh negatif
terhadap inefisiensi teknis.
12.Keikutsertaan dalam kelompok tani (Z4) diukur dalam bentuk dummy.
Keikutsertaan dalam kelompok tani diduga akan berpengaruh negatif terhadap
inefisiensi teknis karena dengan ikut dalam kegiatan kelompok tani maka
pengetahuan petani akan bertambah. Nilai 1 untuk kondisi bergabung dengan
poktan dan nilai 0 untuk kondisi tidak bergabung dengan poktan.
13.Varietas yang ditanam (Z5) diukur dalam bentuk dummy. Dummy varietas yang
ditanam diduga akan berpegaruh negatif terhadap inefisiensi teknis jika
varietas yang digunakan memang varietas yang unggul. Nilai 1 untuk varietas
AC dan nilai 0 untuk varietas lainnya.
14.Status dalam rumah tangga (Z6) diukur dalam bentuk dummy. Dummy status
dalam rumah tangga diduga mempengaruhi petani dalam mengolah lahan. Nilai
1 untuk kepala keluarga dan nilai 0 untuk ibu rumah tangga.
15.Status usahatani (Z7) diukur dalam bentuk dummy. Dummy status usahatani
diduga berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis usahatani karena tingkat
keseriusan petani dalam menggarap usahataninya. Nilai 1 untuk usahatani
sebagai pekerjaan utama dan nilai 0 untuk usahatani sebagai sampingan.
16.Status kepemilikan lahan (Z8) diukur dalam bentuk dummy. Dummy status
kepemilikan lahan diduga berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Nilai
1 untuk petani pemilik dan nilai 0 untuk petani penggarap.
47
17.Pola tanam (Z9) diukur dalam bentuk dummy. Dummy pola tanam diduga
berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Nilai 1 untuk pola tanam
tumpang sari dan nilai 0 untuk pola tanam monokultur.
48
Kondisi Geografis
Desa Cikarawang adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Dramaga. Luas wilayah desa ini sebesar 226,56 Ha. Dilihat dari topografi dan
kontur tanah Desa Cikarawang secara umum berupa dataran dan persawahan
dengan ketinggian 193 m di atas permukaan laut. Kondisi suhu rata-rata harian
250C-300C. Desa Cikarawang terdiri dari tiga dusun, tujuh RW, dan 32 RT. Letak
Desa Cikarawang ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini.
49
lahan lainnya adalah sarana umum seluas 9,26 Ha (4,32 persen), seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Luas Wilayah Menurut Tata Guna Lahan Desa Cikarawang Tahun 2009
Tata guna lahan
Luas (Ha)
Pemukiman dan pekarangan
41,465
Sawah
128,109
Ladang
35,226
Jalan
7,5
Pemakaman
0,6
Perkantoran
0,16
Bangunan pendidikan
0,6
Bangunan peribadatan
0,4
Sumber: Potensi Desa Cikarawang 2009
5.2.
jumlah penduduk perempuan sebanyak 4.028 orang dan laki-laki sebanyak 4.199
orang. Jumlah penduduk paling banyak adalah pada sebaran umur antara 16-56
tahun yaitu sebanyak 6.087 orang (73,98 persen), seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 6 di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa
Cikarawang berada pada usia produktif.
Tabel 6. Sebaran Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Umur di Desa
Cikarawang tahun 2009
Umur (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
<1
241
2,93
1-<5
725
8,81
5-<7
170
2,07
716
8,70
7 - 15
6.087
73,99
16 - 56
> 56
288
3,50
Jumlah
8.227
100
Sumber: Potensi Desa Cikarawang 2009
50
5.3.
Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang akan dijelaskan meliputi jenis pekerjaan
keikutsertaan dalam kelompok tani, luas lahan garapan, kepemilikan lahan, dan
jumlah tanggungan keluarga. Karakteristik petani tersebut akan memengaruhi
keputusan petani dalam melakukan usahatani ubi jalar.
51
52
Tabel 10. Sebaran Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Usia
Petani
Usia Petani (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
26-35
3
8,57
36-45
8
22,86
46-55
10
28,57
56-65
8
22,86
> 65
6
17,15
Jumlah
35
100
Pada Tabel 11 menunjukkan tingkat pendidikan formal petani responden
dari tingkat pendidikan terakhir yang pernah dijalani. Tabel tersebut menunjukkan
sebesar 91,43 persen dari petani responden telah mengenyam pendidikan.
Responden terbesar adalah responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu
sebesar 48,57 persen. Ini menunjukkan bahwa untuk bertani ubi jalar tidak
diperlukan tingkat pendidikan tinggi dalam budidaya ubi jalar. Namun, diduga
tingkat pendidikan formal petani akan memengaruhi peningkatan produksi ubi
jalar. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi pendidikan petani responden maka
adaptasi penyerapan teknologi akan lebih mudah.
Tabel 11. Sebaran Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak bersekolah
3
8,57
Tidak tamat SD
3
8,57
SD
17
48,57
SMP
3
8,57
SMA
8
22,86
Sarjana
1
2,86
Jumlah
35
100
Pengalaman berusahatani responden diduga memengaruhi tingkat produksi
usahatani ubi jalar. Diduga bahwa semakin lama pengalaman berusahatani petani
maka kemampuan dalam pengelolaan usahatani akan semakin baik. Sebesar 68,57
persen dari 35 responden yang ada, pengalaman berusahatani responden berada
pada kurun waktu > 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar
telah lama responden lakukan sejak dahulu dan hanya sebagian kecil saja yang
53
2,86
28,57
68,57
100
54
luas lahannya berada pada rentang 0,5-1 hektar. Diduga semakin luas lahan maka
produksinya pun akan semakin tinggi.
Tabel 14. Sebaran Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas
Lahan Garapan
Luas Lahan (Ha)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
< 0,5
31
88,57
0,5 1
4
11,43
>1
0
0
Jumlah
35
100
Berdasarkan status kepemilikan lahan, terdapat tiga tipe kepemilikan lahan
yaitu lahan milik sendiri, bagi hasil, dan gadai. Petani dengan kepemilikan lahan
bagi hasil artinya menggarap lahan orang lain dan hasil penjualan ubi nantinya
dibagi dua dengan perbandingan 2:1 dengan pemilik lahan. Lahan gadai artinya
petani menggarap lahan milik orang lain yang digadaikan kepadanya hingga
pemilik lahan dapat mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada petani.
Tabel 15. Sebaran Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan
Kepemilikan Lahan
Kepemilikan Lahan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Pribadi
22
62,86
Bagi hasil
9
25,71
Gadai
4
11,43
Jumlah
35
100
Sebanyak 22 orang petani responden (62,86 persen) memiliki sendiri lahan
pertaniannya, dan sebesar 25,71 persen merupakan lahan bagi hasil serta lahan
gadai sebesar 11,43 persen.
Jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki responden cukup bervariasi
antara 1-7 orang. Persentase terbesar jumlah tanggungan keluarga sebesar 62,86
persen petani responden dengan jumlah 3-5 orang dan hanya sebagian kecil saja
yakni 14,29 persen yang memiliki tanggungan keluarga lebih dari 5 orang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Sebaran Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Jumlah
Tanggungan Keluarga
Jumlah Tanggungan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Keluarga
<3
8
22,86
3-5
22
62,86
55
>5
Jumlah
5
35
14,29
100
56
57
jalar berukuran 2.000 m2. Peralatan yang digunakan pun masih cukup sederhana
sehingga budidaya ubi jalar di daerah penelitian masih tergolong skala kecil.
c. Proses Produksi dan Teknologi
Proses usahatani ubi dilakukan di lahan terbuka, mulai dari proses
pembibitan sampai dengan pemanenan. Proses budidaya ubi jalar secara umum
meliputi pembibitan, pengolahan lahan dan pembuatan guludan, penanaman,
pengairan, penyulaman, pembongkaran sementara, penyiangan, pembalikan
batang, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan pemanenan.
(1) Pembibitan
Varietas yang ditanam oleh petani responden di wilayah penelitian adalah
ubi jalar varietas AC (kuningan). Alasan utama mayoritas petani menanam
varietas AC dikarenakan varietas tersebut lebih cepat dipanen dibandingkan
varietas lainnya. Ubi jenis ini dapat dipanen lebih cepat dibandingkan jenis ubi
lainnya yaitu dalam kurun waktu 3,5-4 bulan. Selain itu, varietas AC juga
memiliki beberapa kelebihan antara lain produktivitas tinggi, mudah ditanam,
umbi besar, dan kecocokan dengan lahan.
Terdapat tiga metode yang digunakan petani di wilayah penelitian untuk
memperoleh bibit ubi jalar yaitu dengan cara pengipukan atau melakukan
pembibitan sendiri, hasil produksi sebelumnya, atau hasil produksi petani lain.
Mayoritas petani responden yaitu sebanyak 57,14 persen menggunakan bibit dari
hasil panen sebelumnya, sebanyak 14,29 persen melakukan pengipukan untuk
pembibitan, dan bibit hasil produksi petani lain sebanyak 28,57 persen.
Pembibitan dengan cara pengipukan ubi dimulai dengan menanam ubi di
lahan penunasan. Umbi yang ditanam adalah umbi dengan ukuran besar dan sehat.
Jumlah umbi yang digunakan untuk pengipukan kurang lebih sebanyak 50 kg.
Setelah 2-3 bulan, tunas yang tumbuh dipotong dan dipindahkan ke lahan yang
lebih luas. Tiga bulan kemudian bibit ubi sudah dapat digunakan sebagai bibit
dengan cara memotong bagian pucuk atau batang tunas tersebut. Bibit hasil
pengipukan dapat digunakan hingga tiga generasi.
Bibit yang diperoleh dari hasil produksi sebelumnya atau hasil produksi
petani lain menggunakan stek pucuk atau stek batang. Pemetikan stek pucuk dan
batang tersebut diperoleh dari tanaman ubi jalar yang sudah berumur kurang lebih
58
59
60
baru. Penyulaman dilakukan oleh petani di lokasi penelitian pada waktu satu
minggu setelah tanam. Pada lokasi penelitian, penyulaman juga biasanya
dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma. Penyulaman umumnya
dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang
digunakan untuk penyulaman sebanyak 1,11 HOK.
(6) Pembongkaran Sementara
Pembongkaran sementara merupakan proses pembukaan kembali sisi-sisi
guludan ubi jalar. Bongkaran guludan selanjutnya didiamkan selama 1 minggu.
Setelah 1 minggu, bongkaran tersebut ditaburkan pupuk kandang di kedua atau
satu sisi dan pupuk NPK di sisi lainnya (jika ingin menggunakannya) kemudian
bongkaran kembali ditutup.Tujuan dilakukan pembongkaran sementara agar dapat
memberikan ruang masuk cahaya matahari ke dalam tanah sehingga dapat
menjadikan ukuran umbi lebih besar dan menggemburkan tanah.
(7) Penyiangan
Penyiangan adalah proses pencabutan gulma di sekitar tanaman ubi. Gulma
merupakan tanaman lain yang kehadirannya tidak diinginkan dan dapat
menggangu pertumbuhan tanaman utama. Penyiangan dilakukan agar tanaman ubi
dapat memperoleh unsur hara dan cahaya matahari dalam jumlah cukup tanpa
tersaingi oleh tumbuhan lain. Kegiatan ini dilakukan oleh petani di lokasi
penelitian setelah tanaman berumur 2-4 minggu. Jumlah rata-rata tenaga kerja
yang digunakan untuk penyiangan sebanyak 1,11 HOK.
(8) Pembalikan Batang
Pembalikan batang atau lebih dikenal petani dengan istilah pengebatan
merupakan pengangkatan tanaman ubi dari tanah agar akar-akar kecil yang baru
tumbuh tidak menempel di tanah dan hasil fotosintesis seluruhnya difokuskan
untuk memperbesar umbi. Pembalikan batang hanya dilakukan oleh beberapa
petani saja di lokasi penelitian.
(9) Pemupukan
Pemupukan merupakan kegiatan terpenting dalam berusahatani ubi jalar.
Petani di lokasi penelitian melakukan pemupukan pada saat pengolahan lahan dan
pembongkaran sementara. Pupuk yang banyak digunakan oleh petani di lokasi
penelitian dalam bertani ubi jalar antara lain pupuk kandang, pupuk urea dan
61
pupuk phonska. Pupuk kimia lainnya seperti pupuk NPK, TSP, dan KCl jarang
digunakan oleh petani. Pupuk kandang diperoleh petani dari kotoran hewan ternak
yang mereka pelihara atau membelinya dari peternak di lokasi penelitian. Ratarata jumlah pupuk kandang yang digunakan adalah 99,64 kg/ha, urea sebanyak
99,64 kg/ha, dan phonska sebanyak 82,56 kg/ha. Sedangkan pupuk NPK
digunakan petani sebanyak 41,28 kg/ha, TSP sebanyak 51,96 kg/ha, KCl hanya
sebanyak 1,14 kg/ha. Selain pupuk jenis padat, sebagian kecil petani pun
menggunakan pupuk cair sebanyak 49,11 ml/ha.
Pemberian pupuk jenis padat dilakukan dengan membuat alur pada guludan
dengan kedalaman 5-10 cm kemudian pupuk ditaburkan sambil ditimbun dengan
tanah. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan untuk pemupukan sebanyak
1,36 HOK.
(10) Pengendalian Hama dan Penyakit
Di lokasi penelitian, pengendalian hama penyakit tanaman ubi jalar
dilakukan sesuai kondisi hama penyakit yang menyerang tanaman. Pengendalian
menggunakan pestisida dilakukan jika tanaman yang diserang lebih dari 10 persen
sedangkan jika hanya sedikit hama penyakit yang menyerang hanya dilakukan
penanganan dengan memangkas atau mencabutnya
Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman ubi di lokasi penelitian
adalah lanas dan ulat. Penyebabnya adalah perubahan cuaca dari musim kemarau
ke musim hujan atau sebaliknya sehingga hama dan penyakit berkembang.
Akibatnya ubi jalar yang sudah mendekati waktu panen menjadi membusuk dan
daun umbi pun menjadi banyak berlubang sehingga hanya sekitar 20-50 persen
saja dari total jumlah panen biasanya yang dapat dipanen. Pengendalian hama
penyakit
dilakukan
dengan
menyemprotkan pestisida
sebanyak 50
ml
dicampurkan dengan 20 liter air. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan
untuk pengendalian hama penyakit sebanyak 0,1 HOK.
(11) Panen
Ubi jalar di lokasi penelitian dapat dipanen pada umur 3,5-4 bulan.
Pengambilan keputusan waktu panen dipengaruhi oleh permintaan pasar dan juga
kebutuhan finansial petani. Jika kebutuhan finansial petani mendesak maka pada
umur 3,5 bulan ubi akan langsung dipanen. Rata-rata hasil panen per Ha yang
62
dijual petani sebanyak 92,326 ton. Harga ubi jalar di lokasi penelitian berfluktuasi
mengikuti harga pasar berkisar Rp. 1.200- Rp. 2.000. Pada Tabel 17 disajikan
rata-rata jumlah panen dan harga jual yang diterima petani di daerah penelitian
yang dibedakan berdasarkan luasan lahan.
Tabel 17. Rata-rata Jumlah Panen dan Harga Jual Ubi Jalar pada Petani dengan
Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
Keterangan
< 0,5 Ha
> 0,5 Ha
Jumlah panen (kg/Ha)
13.422,15
12.967,26
1.832
2.000
Pada Tabel 17 diketahui jumlah panen ubi jalar petani dengan luas lahan <
0,5 Ha sebesar 13.422,15 kg/Ha, sedikit lebih besar dibandingkan dengan petani
dengan luas lahan > 0,5 Ha yaitu 12.967,26 kg/Ha. Rata-rata harga jual yang
diterima petani pun berbeda, petani dengan luas lahan < 0,5 Ha memperoleh harga
jual sebesar Rp.1.832/kg sedangkan petani dengan luas lahan > 0,5 Ha
memperoleh harga jual sebesar Rp.2.000/kg.
Semua petani di lokasi penelitian menjual hasil panen langsung di lahannya
dengan biaya panen ditanggung oleh poktan atau tengkulak selaku pembeli. Petani
menerima penjualan hasil panennya setelah 3-7 hari kemudian. Adapun kegiatan
pemanenan antara lain pemetikan daun untuk bibit dan pakan, penggalian ubi
jalar, pembersihan umbi dari tanah, pengumpulan dalam karung, dan
pengangkutan hasil panen ke jalan. Umumnya tengkulak hanya akan membeli
umbi dengan kualitas terbaik dan sisanya akan dibiarkan begitu saja di lahan.
Sistem penjualan ubi jalar dilakukan dengan sistem bukti artinya tengkulak
akan memberikan tanda bukti sesuai dengan jumlah panen ubi jalar pada petani.
Upah yang diterima oleh tenaga kerja pemanenan disesuaikan dengan jumlah
umbi hail panen yang dikerjakan. Setiap satu kilogram umbi dihargai Rp.100
untuk setiap pekerja. Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan untuk panen
sebanyak 0,44 HOK.
d. Kendala Produksi
Permasalahan yang dihadapi petani pada subsistem produksi adalah
serangan organisme pengganggu tanaman seperti lanas atau hama boleng. Lanas
merupakan kumbang kecil yang bagian sayap dan moncongnya berwarna biru,
63
namun coraknya berwarna merah. Kumbang betina dewasa hidup pada permukaan
daun sambil meletakkan telur di tempat yang terlindung. Telur menetas menjadi
larva (ulat), selanjutnya ulat akan membuat gerekan (lubang kecil) pada batang
atau ubi yang terdapat di permukaan tanah terbuka. Gejalanya adalah terdapat
lubang-lubang kecil bekas gerekan yang tertutup oleh kotoran berwarna hijau dan
berbau menyengat. Hama ini biasanya menyerang tanaman ubi jalar yang sudah
berubi. Bila hama terbawa oleh ubi ke gudang penyimpanan, sering merusak ubi
hingga menurunkan kuantitas dan kualitas produksi secara nyata (Jayanto 2009).
Ini terjadi karena perubahan musim secara tiba-tiba dan persoalan ini belum
teratasi secara efektif. Untuk mengatasi hama lanas yang banyak menyerang ubi
sebaiknya petani melakukan pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis tanaman
lain selain ubi jalar.
Permasalahan lain adalah saluran irigasi agak terhambat setelah adanya
pembangunan wisata Situgede sehingga menyulitkan petani dikala musim
kemarau tiba. Untuk itu, pemerintah daerah sebaiknya mengatur sistem irigasi
pertanian di wilayah penelitian terlebih setelah adanya pembangunan wisata
setempat sehingga tidak berdampak pada produktifitas komoditas pertanian.
5.4.3. Subsistem Pasca Panen
Ubi jalar yang sudah memasuki masa panen dipanen menggunakan cangkul
kemudian umbi dibersihkan dari tanah yang melekat dan selanjutnya ubi yang
berukuran besar dimasukkan dalam karung untuk selanjutnya dibawa ke gudang
pengumpulan untuk ditimbang beratnya. Tidak ada kriteria pasti untuk
mengelompokkan ubi ke dalam kategori baik, yang terpenting umbi berukuran
besar dan tidak terserang hama. Umbi berukuran kecil dan masih berkualitas baik
biasanya dimanfaatkan menjadi tepung ubi sedangkan kualitas buruk dibiarkan di
lahan. Tidak terdapat kendala yang berarti di dalam subsistem pasca panen.
5.4.4. Subsistem Pemasaran
a.Saluran Pemasaran
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, setidaknya terdapat
enam saluran pemasaran dalam usahatani ubi jalar. Penjabaran dari setiap saluran
pemasaran adalah sebagai berikut:
64
65
Pengecer
Tengkulak
Pedagang
Besar
Petani
Ubi
Pengecer
Pabrik Saos
Poktan
Pedagang
Besar
Pengecer
Pedagang Pengecer
Pengecer
Konsumen Akhir
Konsumen Akhir
Berdasarkan pada saluran pemasaran ubi jalar yang ada di daerah penelitian
menunjukkan bahwa petani menjual hasil panennya ke tempat yang berbeda satu
sama lain. Adapun sebaran dan persentase tempat tujuan petani menjual ubi
jalarnya disajikan pada Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18. Sebaran dan Persentase Tempat Tujuan Petani Menjual Ubi Jalar
Tempat Tujuan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Poktan Setempat
20
57,14
Tengkulak
12
34,29
8,57
35
100
Pasar
Jumlah
66
ubi yang berlaku di pasar. Saat pengambilan data penelitian, harga jual ubi sebesar
Rp. 2.000. Lembaga selanjutnya yang menjadi tempat tujuan petani menjual ubi
jalarnya adalah tengkulak yaitu sebesar 34,29 persen. Harga jual yang diterima
petani berkisar Rp.1.200-1.800. Hal tersebut menunjukkan bahwa petani yang
bergabung dalam kelompok tani menerima harga lebih tinggi dibandingkan
dengan petani yang tidak bergabung dalam kelompok tani. Petani yang menjual
hasil panennya ke tengkulak hanya bertindak selaku price taker karena bargaining
position petani ubi jalar di daerah penelitian yang masih lemah sehingga mereka
hanya menerima harga yang ditentukan oleh tengkulak sedangkan hanya sebagian
kecil (8,57 persen) dari petani responden yang berada di daerah penelitian yang
menjualnya langsung ke pasar. Untuk itu, sebaiknya petani yang belum bergabung
dalam kelompok tani dapat bergabung dengan kelompok tani setempat agar dapat
memperkuat posisi tawarnya terhadap harga jual ubi jalar.
Harga jual ubi yang diterima oleh petani pun berbeda. Sebaran harga jual
yang diterima oleh petani ubi jalar di daerah penelitian disajikan pada Gambar 6
di bawah ini.
Gambar 6. Persentase Sebaran Harga Jual yang Diterima Petani Ubi Jalar
67
68
Tabel 19. Rata-rata Penggunaan Input Produksi Usahatani Ubi Jalar di Desa
Cikarawang pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
Input Produksi
< 0,5 Ha
> 0,5 Ha
Jumlah
Harga
Jumlah
Harga
(Rp/satuan)
(Rp/satuan)
Pupuk Kandang (kg)
4.735,26
1.489
1.677,42
1.544
Pupuk Urea (kg)
112,10
4.842
83,87
1.075
Pupuk cair (ml)
64,97
10.000
29,03
12.500
Pupuk KCl (kg)
2,04
2.500
Pupuk TSP (kg)
67,52
2.589
32,26
2.500
Pupuk Phonska (kg)
135,03
3.516
16,13
2.560
Pupuk NPK (kg)
10,19
3.000
80,65
3.000
Pestisida (kg)
177,07
21.400
6,45
4.667
TKLK (HOK)
113,11
21.049
43,65
21.049
Irigasi (tahun)
1,00
801.189
1,00
523.656
Pajak Lahan (tahun)
1,00
801.189
1,00
523.656
TKDK (HOK)
56,40
21.049
3,37
21.049
Penyusutan (tahun)
1,00
46.312
1,00
52.813
Sewa lahan (tahun)
1,00
6.450.106
1,00
8.064.516
Dapat diketahui bahwa petani dengan luas lahan < 0,5 Ha menggunakan
pupuk phonska jauh lebih banyak yaitu sebanyak 135,03 kg daripada petani
dengan luas lahan > 0,5 Ha yang hanya menggunakan sebanyak 16,13 kg
sedangkan petani dengan luas lahan > 0,5 Ha justru lebih banyak menggunakan
pupuk NPK yaitu sebanyak 80,65 kg. Ini menunjukkan bahwa petani dengan luas
lahan < 0,5 Ha lebih memilih menggunakan pupuk phonska untuk memenuhi
kebutuhan unsur makro tanamannya sedangkan petani dengan luas lahan > 0,5
Ha lebih memilih menggunakan pupuk NPK daripada phonska.
69
70
harga yang diterima oleh petani tersebut dihasilkan dari rata-rata harga jual yang
diterima oleh petani responden di daerah penelitian. Setiap petani menjual ubi
tidak hanya ke satu tempat yang sama sehingga harga yang diterima pun
bervariasi. Petani dengan luas lahan < 0,5 Ha menjual ubi ke tiga tempat yang
berbeda yaitu poktan, tengkulak, dan pasar sedangkan petani dengan luas lahan >
0,5 Ha hanya menjual ubi jalar ke poktan setempat. Ini menyebabkan rata-rata
harga ubi di tingkat petani dengan luas lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha berbeda.
Untuk itu, sebaiknya petani yang belum bergabung dalam kelompok tani dapat
bergabung dengan kelompok tani setempat agar dapat memperkuat posisi
tawarnya terhadap harga jual ubi jalar.
Selain itu, penerimaan tidak tunai petani dengan luas lahan > 0,5 Ha lebih
rendah. Artinya petani dengan luas lahan > 0,5 Ha lebih sedikit mengonsumsi
secara pribadi hasil produksinya atau lebih banyak hasil yang dijual sehingga
penerimaannya pun menjadi lebih besar. Rata-rata jumlah ubi yang dikonsumsi
oleh petani dengan luas lahan > 0,5 Ha hanya sebanyak 32,26 kg sedangkan
petani dengan luas lahan < 0,5 Ha sebanyak 116,15 kg. Ini menunjukkan bahwa
petani dengan luas lahan > 0,5 Ha sudah berpikir lebih komersil dari petani
dengan luas lahan < 0,5 Ha yang cenderung lebih subsisten.
Penerimaan total petani dengan luas lahan < 0,5 Ha sebesar Rp. 24.592.816
dan penerimaan total petani dengan luas lahan antara > 0,5 Ha sebesar Rp.
25.935.484. Hasil ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya mengenai
usahatani ubi jalar oleh Defri 2011 di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga.
Walaupun produktivitas ubi di wilayah tersebut hampir sama yaitu sebesar 13,281
ton namun penerimaan tunai hanya sebesar Rp. 10.017.883,60 dan total
penerimaan sebesar Rp. 10.198.907,60. Hal ini dikarenakan harga jual ubi di
wilayah tersebut
71
Tabel 20. Perbandingan Penerimaan Usahatani pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan >
0,5 Ha per Musim Tanam
Komponen Penerimaan
Nilai (Rp)
< 0,5 Ha
> 0,5 Ha
Penerimaan Tunai
- Ubi yang dijual
24.380.002
25.870.968
Penerimaan Tidak Tunai
- Konsumsi oleh RT
212.814
64.516
Total Penerimaan
24.592.816
25.935.484
Mayoritas petani responden penelitian menjual hasil panennya kepada
poktan setempat. Mekanisme penjualannya adalah perwakilan pengurus poktan
yang biasanya diwakili oleh ketua poktan datang langsung ke lahan petani dan
membeli di lokasi tersebut. Adapun beban biaya panen dan pasca panen
merupakan tanggungan poktan. Alasan petani menjual hasil panennya kepada
poktan adalah karena alasan kemudahan, merasa tidak enak atau sungkan karena
banyak membantu dalam penyediaan input produksi, dan faktor kebiasaan.
Pembayaran hasil panen kepada petani tidak diberikan pada hari yang sama
dengan hari panen melainkan 3-7 hari kemudian.
6.2.
diperhitungkan atau tidak tunai. Biaya tunai merupakan pengeluaran uang tunai
yang dikeluarkan secara langsung oleh petani. Biaya yang diperhitungkan
merupakan pengeluaran petani berupa faktor produksi tanpa mengeluarkan uang
tunai.
Pada Tabel 21 diketahui bahwa total biaya yang dikeluarkan petani dengan
luas lahan < 0,5 Ha jauh lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan petani
dengan luas lahan > 0,5 Ha. Biaya total untuk petani dengan luas lahan < 0,5 Ha
sebesar Rp. 22.683.655 sedangkan untuk petani dengan luas lahan > 0,5 Ha hanya
sebesar Rp. 13.591.107. Hal serupa juga terjadi dengan pengeluaran tunai.
Pengeluaran tunai petani dengan luas lahan < 0,5 Ha juga jauh lebih besar
daripada pengeluaran petani dengan luas lahan > 0,5 Ha. Pengeluaran tunai petani
dengan luas lahan < 0,5 Ha sebesar Rp. 15.000.082 dan pengeluaran petani
dengan luas lahan > 0,5 Ha sebesar Rp. 5.402.755. Hal ini terjadi karena petani
dengan luas lahan > 0,5 Ha lebih efisien dalam penggunaan input produksi terlihat
72
dari jumlah input produksi yang digunakan jauh lebih sedikit daripada petani
dengan luas lahan < 0,5 Ha sehingga biaya yang dikeluarkan pun menjadi jauh
lebih kecil.
Tabel 21. Perbandingan Biaya Usahatani pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
per Musim Tanam
Komponen Biaya
< 0,5 Ha
> 0,5 Ha
Nilai (Rp)
Persentase
Nilai (Rp)
Persentase
(%)
(%)
BiayaTunai
Pupuk Kandang
5.349.873
23,58
2.589.516
19,05
Pupuk Urea
542.794
2,39
90.161
0,66
Pupuk cair
649.682
2,86
362.903
2,67
Pupuk KCl
5.096
0,02
0,00
0,00
Pupuk TSP
174.791
0,77
80.645
0,59
Pupuk Phonska
474.744
2,09
41.290
0,30
Pupuk NPK
30.573
0,13
241.935
1,78
Pestisida
3.789.299
16,70
30.108
0,22
TKLK
2.380.853
10,50
918.884
6,76
Irigasi
801.189
3,53
523.656
3,85
Pajak Lahan
801.189
3,53
523.656
3,85
Total Biaya Tunai
15.000.082
66,13
5.402.755
39,75
Biaya
Diperhitungkan
Pupuk Kandang
1.699.560
7,49
TKDK
1.187.155
5,23
71.023
0,52
Penyusutan
46.312
0,20
52.813
0,39
Sewa lahan
6.450.106
28,44
8.064.516
98,49
Total Biaya
7.683.574
33,87
8.188.352
60,25
Diperhitungkan
Total Biaya
22.683.655
100,00
13.591.107
100,00
Hasil ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya mengenai usahatani
ubi jalar oleh Defri 2011 di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga. Total biaya
yang dikeluarkan pada penelitian ini lebih besar daripada penelitian sebelum.
Biaya usahatani pada penelitian sebelum sebesar Rp. 8.304.829,20. Hal ini
dikarenakan memang jumlah input yang digunakan pada penelitian ini lebih
banyak. Pada penelitian sebelumnya, biaya tunai input yang dikeluarkan hanyalah
pupuk urea, TSP, phonska, TKLK, dan pajak lahan.
Pada komponen biaya tunai, biaya terbesar yang dikeluarkan petani baik
petani dengan luas lahan < 0,5 Ha maupun luas lahan > 0,5 Ha adalah biaya
73
pupuk kandang dengan persentase sebesar 23,58 persen untuk petani dengan luas
lahan < 0,5 Ha dan sebesar 19,05 persen untuk petani dengan luas lahan > 0,5 Ha.
Ini menunjukkan bahwa petani masih lebih menyukai menggunakan pupuk
organik daripada pupuk kimia. Pupuk organik yang digunakan berasal dari sisa
umbi yang membusuk dan dibiarkan di lahan serta kotoran hewan seperti kotoran
kerbau dan kotoran ayam.
Biaya tenaga kerja luar keluarga pada petani dengan luas < 0,5 Ha maupun
luas lahan > 0,5 Ha juga memiliki persentase yang besar dalam komponen biaya
tunai petani sama halnya pada penelitian sebelumnya. Hampir setiap kegiatan
seperti pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, dan pemupukan
menggunakan jasa dari TKLK atau buruh tani. Para pekerja biasanya dibayar
langsung setelah selesai bekerja. Untuk pekerja pria dibayar sekitar Rp. 20.000Rp. 25.000 ditambah dengan bayaran natura berupa makan dan rokok sedangkan
pekerja wanita dibayar sekitar Rp. 15.000-Rp. 20.000 tanpa natura. Namun untuk
kegiatan pengolahan lahan, petani membayar pekerja dengan sistem borongan
disesuaikan dengan luas lahan petani.
Pada komponen biaya diperhitungkan, persentase terbesar adalah biaya
lahan. Ini merupakan opportuniy cost jika lahannya disewakan kepada orang lain.
Biaya terbesar berikutnya adalah tenaga kerja dalam keluarga. Petani dengan luas
lahan < 0,5 Ha mengeluarkan biaya lebih besar untuk komponen tenaga kerja
dalam keluarga daripada petani dengan luas lahan > 0,5 Ha. Hal ini menunjukkan
petani dengan luas lahan < 0,5 Ha (petani gurem) lebih banyak menggunakan
tenaga kerja dari dalam keluarga daripada petani dengan luas lahan > 0,5 Ha.
Penggunaan TKDK lebih sedikit digunakan petani dengan luas lahan > 0,5 Ha
karena sebagian besar petani telah menggunakan jasa buruh tani untuk
mengerjakan lahan ubinya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya pada bab kerangka pemikiran,
apabila dalam usahatani itu digunakan mesin-mesin pertanian, maka harus
dihitung penyusutannya dan dianggap sebagai pengeluaran. Komponen biaya
penyusutan cukup kecil nilainya karena peralatan yang dimiliki petani hanya
berupa peralatan sederhana seperti cangkul, golok, parang, garpu, dan pacul.
74
Tabel 22 menunjukkan sebaran biaya penyusutan petani dengan luas lahan < 0,5
Ha dan > 0,5 Ha.
Tabel 22. Sebaran Biaya Penyusutan pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
Biaya Penyusutan (Rp.)
< 0,5 Ha (orang)
> 0,5 Ha (orang)
< 20.000
10
> 100.000
Jumlah
31
46.312
52.813
Rata-rata (Rp.)
Dari sejumlah komponen biaya yang dikeluarkan petani, hanya nilai biaya
pupuk NPK saja yang lebih besar dikeluarkan oleh petani dengan luas lahan > 0,5
Ha dibanding petani dengan luas lahan < 0,5 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa
petani dengan luas lahan > 0,5 Ha lebih banyak menggunakan pupuk NPK
dibandingkan penggunaan pupuk kimia jenis lain.
6.3.
total. Pendapatan tunai diperoleh dari hasil selisih penerimaan tunai dengan biaya
tunai sedangkan pendapatan total merupakan selisih penerimaan total dengan
biaya total. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui pendapatan atas biaya tunai dan
pendapatan atas biaya total baik pada petani dengan luas lahan < 0,5 Ha dan
petani dengan luas lahan > 0,5 Ha.
Pendapatan atas biaya tunai petani dengan luas lahan < 0,5 Ha adalah
sebesar Rp. 9.379.921. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai petani dengan luas
lahan > 0,5 Ha sebesar Rp. 20.468.213. Kemudian pendapatan atas biaya total
petani dengan luas lahan < 0,5 Ha adalah sebesar Rp. 1.909.161. Sedangkan
pendapatan atas biaya total petani dengan luas lahan > 0,5 Ha sebesar Rp.
12.344.377. Dengan demikian, pendapatan atas biaya tunai maupun biaya total
75
petani dengan luas lahan lebih dari 0,5 Ha lebih besar daripada petani dengan luas
lahan kurang dari 0,5 Ha.
Tabel 23. Perbandingan Pendapatan Usahatani pada Luas Lahan
0,5 Ha per Musim Tanam
Keterangan
Nilai (Rp.)
< 0,5 Ha
Penerimaan
Penerimaan Tunai
24.380.002
Penerimaan Diperhitungkan
212.814
Total Penerimaan
24.592.816
Pengeluaran
Pengeluaran Tunai
15.000.082
Pengeluaran Diperhitungkan
7.683.574
Total Pengeluaran
22.683.655
Pendapatan atas Biaya Tunai
9.379.921
Pendapatan atas Biaya Total
1.909.161
R/C rasio atas Biaya Tunai
1,63
R/C rasio atas Biaya Total
1,07
> 0,5 Ha
25.870.968
64.516
25.935.484
5.402.755
8.188.352
13.591.107
20.468.213
12.344.377
4,79
1,90
76
sebesar 1,23. Hasil penelitian tersebut menunjukkan usahatani ubi jalar di daerah
penelitian tersebut juga menguntungkan. Hal tersebut karena nilai R/C atas biaya
tunai maupun biaya total lebih besar dari satu.
77
78
7.1.
tujuh variabel independen diperlihatkan pada Tabel 20. Nilai parameter pada
fungsi produksi stochastic frontier (MLE) menunjukkan elastisitas produksi batas
dari sejumlah input yang digunakan. Elastisitas pada fungsi produksi batas yang
lebih besar menunjukkan bahwa peningkatan masing-masing input produksi
dengan asumsi input lainnya tetap akan berpengaruh pada peningkatan produksi
yang lebih besar dibandingkan dengan fungsi produksi rata-rata. Tabel 24
menunjukkan koefisien parameter dugaan fungsi produksi stochastic frontier
dengan metode MLE beserta nilai signifikansinya dengan menggunakan fungsi
produksi Cobb-Douglas.
Tabel 24. Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb
Douglas dengan Metode MLE
Variabel
Koefisien MLE
t-hitung
Konstanta
2,293
3,651
Ln Luas lahan (Ha)
0,799*
7,264
Ln Jarak tanam (cm)
-0,001
-0,033
Ln Tenaga kerja (HOK)
0,182
1,307
Ln Pupuk kandang (kg)
0,061*
1,940
Ln Pupuk N (kg)
-0,064*
-2,135
Ln Pupuk P (kg)
-0,099*
-2,767
Ln Pestisida (ml)
0,002
0,072
2
0,095
0,999
R-sq
0,762
Keterangan: * nyata pada 5 %
t-tabel = 1,703
Nilai koefisien MLE fungsi produksi Cobb-Douglas menghasilkan output
yang bernilai negatif serta berpengaruh nyata yaitu pada variabel pupuk N dan
pupuk P. Seperti telah dibahas pada bab metode penelitian, penggunaan fungsi
Cobb-Douglas berada dalam keadaan law of diminishing return untuk setiap
inputnya. Dengan demikian, model fungsi produksi Cobb-Douglas tidak dapat
digunakan untuk mengestimasi produksi ubi jalar pada penelitian ini sehingga
fungsi produksi linier berganda digunakan dalam penelitian ini. Tabel 25
menunjukkan koefisien parameter dugaan fungsi produksi stochastic frontier
dengan metode MLE dengan menggunakan fungsi produksi linier berganda.
79
R-sq
Keterangan: * nyata pada 5 %
t-tabel = 1,703
80
Tabel 26. Elastisitas Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier Berganda dengan
Metode MLE
Variabel
Elastisitas
Luas lahan (Ha)
7,669*
Jarak tanam (cm)
0,709
Tenaga kerja (HOK)
-0,118*
Pupuk kandang (kg)
0,191
Pupuk N (kg)
-0,375*
Pupuk P (kg)
-5,386*
Pestisida (ml)
-5,391*
Keterangan: * nyata pada 5 %
t-tabel = 1,703
Hasil perhitungan elastisitas fungsi produksi stochastic frontier linier
berganda dengan metode MLE menunjukkan bahwa faktor produksi yang
berpengaruh nyata dan bernilai positif terhadap produksi ubi jalar di daerah
penelitian pada taraf nyata 5 persen hanyalah variabel luas lahan. Sebaliknya,
variabel
81
sebesar satu persen maka akan menurunkan produksi ubi sebesar 0,118 persen,
cateris peribus. Hal ini menunjukkan rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani
di daerah penelitian yaitu sebanyak 29,885 HOK seperti yang sudah dikemukakan
sebelumnya sudah cukup bahkan berlebih. Penggunaan tenaga kerja oleh petani
baik tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga di daerah penelitian
sangat lazim mulai dari proses penyiapan guludan, penanaman, pemupukan,
hingga pemanenan.
Variabel pupuk kandang bernilai elastisitas positif dan berpengaruh tidak
nyata terhadap produksi ubi di daerah penelitian. Nilai koefisien pupuk kandang
sebesar 0,191. Hal ini menunjukkan rata-rata pupuk kandang yang digunakan
petani di daerah penelitian yaitu sebanyak 3,2 ton seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya sudah cukup bahkan berlebih. Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari petani menunjukkan bahwa pupuk kandang memiliki peran
penting untuk meningkatkan kesuburan tanah yang akan mempengaruhi
pertumbuhan ubi jalar. Ini dapat dilihat dari jumlah penggunaan pupuk kandang
yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan pupuk lainnya.
Variabel pupuk N memiliki nilai elastisitas negatif dan berpengaruh nyata
terhadap produksi ubi di daerah
koefisien variabel ini sebesar -5,386. Hal ini menjelaskan bahwa penambahan
82
penggunaan pupuk P sebesar satu persen justru akan mengurangi produksi ubi
jalar di daerah penelitian sebesar 5,386 persen. Hal ini diduga terjadi akibat
penggunaan pupuk P yang terkandung dalam pupuk phonska melebihi batas yang
dianjurkan yaitu 25 kg phonska/Ha sedangkan rata-rata penggunaan pupuk
phonska di lapang sebesar 75,58 kg phonska/Ha sehingga penambahan
penggunaan pupuk P akan mengurangi produksi ubi jalar.
Di daerah penelitian, variabel pestisida memiliki nilai elastisitas negatif dan
berpengaruh nyata terhadap produksi ubi. Nilai koefisien lahan sebesar 5,391
menunjukkan setiap peningkatan penggunaan pestisida sebesar satu persen maka
akan menurunkan produksi ubi sebesar 5,391 persen, cateris peribus. Rata-rata
penggunaan pestisida di daerah penelitian sebanyak 91,76 kg. Ini menunjukkan
penggunaan pestisida di daerah penelitian sudah cukup bahkan berlebih. Kejadian
ini juga diduga terjadi akibat residu penggunaan pestisida sebelumnya sehingga
lahan tidak bisa menyerap kandungan pestisida dengan baik. Berdasarkan hasil
wawancara di lapang, petani yang melakukan penyemprotan pestisida cenderung
hanya menduga-duga takaran yang mereka gunakan, tidak ada jumlah pasti yang
diberikan petani sehingga diduga melebihi dosis yang dianjurkan. Takaran yang
lebih banyak biasanya digunakan saat jumlah hama penyakit yang menyerang
tanaman lebih banyak.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa variabel pupuk N, pupuk P, dan
pestisida memiliki nilai elastisitas negatif dan berpengaruh nyata terhadap
produksi ubi di daerah penelitian. Penyebabnya diduga terjadi akibat penggunaan
pupuk maupun pestisida yang melebihi batas dari yang dianjurkan sehingga
peningkatan penggunaannya justru akan menurunkan produksi ubi jalar. Untuk
itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah subsistem pendukung yang
ada diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada petani mengenai
penerapan teknologi pemupukan berimbang dan pestisida tepat guna sesuai
dengan dosis anjuran agar dapat meningkatkan efisiensi teknis usahatani ubi jalar.
7.2. Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis
Efisiensi teknis dianalisis menggunakan model fungsi produksi stochastic
frontier. Sebaran efisiensi teknis petani responden dapat dilihat pada Tabel 27.
Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis petani
83
responden hanya sebesar 0,564 dengan nilai terendah 0,131 dan nilai tertinggi
0,955. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa rata-rata
produktivitas ubi jalar yang dicapai petani adalah 56,4 persen dari produktivitas
maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik. Petani
responden masih memiliki banyak kesempatan untuk memperoleh hasil potensial
yang lebih tinggi seperti yang diperoleh petani yang memiliki nilai efisiensi teknis
paling tinggi. Dalam jangka pendek, secara rata-rata petani ubi jalar di daerah
penelitian berpeluang untuk meningkatkan produksi sebesar 40,94 persen (10,564/0,955).
Tabel 27. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pencapaian Efisiensi
Teknis dalam Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang
Indeks Efisiensi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
7
20,00
0,2
> 0,2 0,3
2
5,71
> 0,3 0,4
2
5,71
> 0,4 0,5
5
14,29
> 0,5 0,6
0
0,00
> 0,6 0,7
3
8,57
> 0,7 0,8
3
8,57
> 0,8 0,9
4
11,43
> 0,9 1
9
25,71
Total
35
100
Rata-rata
0,564
Minimum
0,131
Maksimum
0,955
Adapun sebaran efisiensi petani ubi jalar di Desa Cikarawang berdasarkan
luas lahannya disajikan dalam Tabel 28 berikut. Pada Tabel 28 dapat diketahui
bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis petani responden dengan luas lahan berturutturut < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha sebesar 0,474 dan 0,576. Berdasarkan nilai rata-rata
tersebut menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas ubi jalar yang dicapai petani
dengan luas lahan < 0,5 Ha adalah 57,6 persen dari produktivitas maksimum yang
dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik sedangkan rata-rata
produktivitas ubi jalar yang dicapai petani dengan luas lahan > 0,5 Ha sebesar
47,4 persen dari produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem
pengelolaan yang terbaik. Hal ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan hasil
analisis pendapatan yang telah dijabarkan sebelumnya dimana petani dengan luas
84
lahan > 0,5 Ha lebih efisien dari aspek biaya. Berdasarkan sebaran efisiensi petani
berdasarkan luas lahan ternyata petani dengan luas lahan > 0,5 Ha justru memiliki
nilai efisiensi teknis lebih rendah dibandingkan dengan petani yang memiliki luas
lahan < 0,5 Ha.
Tabel 28. Sebaran Tingkat Pencapaian Efisiensi Teknis dalam Usahatani Ubi
Jalar di Desa Cikarawang pada Luas Lahan < 0,5 Ha dan > 0,5 Ha
< 0,5 Ha
> 0,5 Ha
Indeks
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Efisiensi
(orang)
(%)
(orang)
(%)
5
16,13
2
0,50
0,2
> 0,2 0,3
2
6,45
0
0,00
> 0,3 0,4
2
6,45
0
0,00
> 0,4 0,5
5
16,13
0
0,00
> 0,5 0,6
0
0,00
0
0,00
> 0,6 0,7
2
6,45
1
0,25
> 0,7 0,8
3
9,68
0
0,00
> 0,8 0,9
4
12,90
0
0,00
> 0,9 1
8
25,81
1
0,25
Total
31
100
4
100
Rata-rata
0,576
0,474
Minimum
0,131
0,167
Maksimum
0,955
0,931
Tabel 29 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi
teknis petani di daerah penelitian dengan menggunakan efek inefisiensi teknis dari
fungsi produksi stochastic frontier. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap
efek inefisiensi adalah usia petani dan pengalaman.
Tabel 29. Parameter Dugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic
Frontier
Variabel
Nilai Dugaan
t-rasio
Konstanta
5,606
2,778
Usia petani
-0,122*
-3,085
Tingkat pendidikan
-0,139
-1,199
Pengalaman
0,074*
2,598
Keikutsertaan poktan
-0,010
-0,012
Varietas yang ditanam
-0,293
-0,272
Status dalam Rumah Tangga
0,808
1,074
Status usahatani
-0,911
-1,407
Status kepemilikan lahan
1,126
1,594
Pola tanam
-0,145
-0,147
*
Keterangan:
nyata pada 5 %
t-tabel = 1,703
85
2. Tingkat Pendidikan
Faktor tingkat pendidikan adalah lama waktu (tahun) yang digunakan petani
untuk menjalani pendidikan formalnya. Tingkat pendidikan diduga berpengaruh
negatif tetapi tidak nyata. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh
86
3. Pengalaman
Pengalaman diukur berdasarkan lamanya (jumlah waktu) petani telah
berusahatani ubi jalar. Tabel 29 menunjukkan bahwa pengalaman petani diduga
berpengaruh positif dan nyata pada taraf nyata 5 persen terhadap efek inefisiensi.
Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Khotimah 2010. Koefisien pada
faktor pengalaman sebesar 0,074 menunjukkan bahwa peningkatan pengalaman
petani satu persen justru akan meningkatkan inefisiensi teknis sebesar 0,074
persen. Hal ini bisa terjadi karena semakin lama pengalaman petani dalam
87
berusahatani ubi jalar maka akan merasa semakin benar apa yang sudah biasa
diterapkannya. Salah satu indikatornya adalah hasil produksi yang baik menurut
petani sehingga petani enggan mengikuti saran-saran yang diberikan penyuluh
walaupun pada nyatanya apa yang telah diterapkannya selama bertani tidak sesuai
anjuran. Gambar 9 menunjukkan hubungan antara produktivitas dan pengalaman
petani responden di daerah penelitian.
variabel pendidikan non formal petani. Ini dikarenakan dalam sebuah kelompok
tani akan terdapat kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan dan pelatihan yang
merupakan bagian dari pendidikan non formal petani. Tabel 29 menunjukkan
bahwa faktor keikutsertaan petani dalam kelompok tani diduga berpengaruh
negatif tetapi tidak nyata. Koefisien keikutsertaan poktan sebesar -0,010. Artinya
bahwa keikutsertaan petani dalam kelompok tani akan menrunkan tingkat
inefisiensi petani dalam berusahatani ubi jalar atau menyebabkan efisiensi teknis
produksi ubi jalar menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak
ikut serta dalam kelompok tani. Ini disebabkan karena pendidikan yang diperoleh
petani dalam kelompok tani berupa penyuluhan dan pertemuan rutin akan
membuka wawasan petani serta menambah keterampilan dan pengalaman petani
dalam mengelola usahataninya. Variabel ini berpengaruh tidak nyata karena
88
sebanyak 82,58 persen (29 orang) dari seluruh responden penelitian telah
tergabung dalam kelompok tani setempat sehingga variasinya rendah.
5. Varietas yang Ditanam
Faktor varietas yang ditanam diduga memberikan pengaruh negatif terhadap
inefisiensi teknis. Hasil perhitungan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa varietas
yang ditanam memiliki pengaruh tidak nyata terhadap inefisiensi teknis. Nilai
negatif pada variabel ini menunjukkan bahwa penggunaan varietas Ace dapat
memperkecil tingkat inefisiensi teknis dibandingkan dengan menanam varietas
jenis lain. Variabel ini berpengaruh tidak nyata karena hanya sebanyak 11,43
persen saja (4 orang) dari seluruh responden penelitian yang tidak menanam
varietas Ace.
6. Status dalam Rumah Tangga
Status dalam rumah tangga diduga akan berpengaruh positif tetapi tidak
nyata terhadap inefisiensi teknis pada taraf nyata 5 persen. Artinya petani yang
berstatus sebagai kepala keluarga akan lebih tidak efisien secara teknis. Hal ini
terjadi karena status sebagai kepala keluarga menjadikan petani bertanggung
jawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya sehingga menuntut seseorang
untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika hasil dari bertani ubi jalar
dirasakan belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga maka petani akan
mencari tambahan pekerjaan lain sehingga konsentrasinya terhadap usahatani ubi
jalar sedikit berkurang. Petani responden di daerah penelitian, selain berusahatani
ubi jalar juga bekerja sebagai peternak. Hal tersebut dapat menyebabkan petani
memluangkan waktu lebih banyak untuk mengurus ternaknya, dimana hewan
ternak harus diberi makan minimal dua kali dalam sehari berbeda halnya dengan
tumbuhan.
7. Status Usahatani
Status usahatani ubi jalar petani sebagai pekerjaan utamanya diduga
berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Tabel 29 menunjukkan variabel
status usahatani negatif tetapi tidak nyata. Artinya petani yang menganggap
bertani ubi jalar sebagai pekerjaan utamanya akan lebih efisien secara teknis
dibandingkan dengan petani yang hanya menganggap bertani ubi jalar sebagai
pekerjaan sampingan saja. Petani yang menganggap bertani ubi jalar sebagai
89
90
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat
91
seperti tepung dan keripik ubi jalar sehingga petani dapat memperoleh
tambahan pendapatan.
3. Sebaiknya pemerintah melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dapat
lebih mensosialisasikan dan mengefektifkan teknologi budidaya ubi jalar
sehingga dapat meningkatkan efisiensi teknis usahatani ubijalar.
4. Untuk mengatasi hama lanas yang banyak menyerang ubi sebaiknya
dilakukan pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis tanaman lain selain
ubi jalar.
5. Pemerintah daerah sebaiknya mengatur sistem irigasi pertanian di
wilayah penelitian terlebih setelah adanya pembangunan wisata setempat
sehingga tidak berdampak pada produktifitas komoditas pertanian.
6. Penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis tingkat efisiensi alokatif
dan ekonomis sehingga diperoleh analisis efisiensi yang lebih
komprehensif.
92
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga W. 1999. Beberapa Alternatif Pendekatan untuk Mengukur Efisiensi dan
In-Efisiensi dalam Usahatani. Informatika Pertanian 8.
Aisah N. 2003. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Produksi Usahatani
Tomat dengan Pendekatan Stochastic Production Frontier di Desa
Karawang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
AjiN. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional dalam Rangka
Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Astuti I. 2003. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Produksi Usahatani
Kentang di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung dengan Pendekatan Stochastic Production Frontier[skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2010. Pola Pangan Harapan Tahun 2008-2009.
Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
[BKP] Badan KetahananPangan. 2010. Nasi Aruk dan Ketahanan Pangan
Nasional. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2011. Pemanfaatan Pangan Lokal Perkuat
Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
[BPS] Badan Pusat Statistik Nasiona Jawa Barat. 2010. Luas panen-ProduktivitasProduksi Tanaman Ubi Jalardi Jawa Barat. Bandung: Badan
Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik Nasional. 2012a. Berbagai tahun. Luas panenProduktivitas-Produksi Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat Tahun 20002011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] BadanPusat Statistik Nasional. 2012b. Hasil Sensus Penduduk
2010.Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPPP Kementan] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian
Pertanian.2011. Kajian Keterkaitan Perdagangan Ubi Jalar untung
Mendukung Program Keanekaragaman Pangan dan Gizi. Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.
[BPTP]
Balai
Pengkajian
Teknologi
Pertanian.
2009.
Panduan
PengelolaanUsahatani (Ipomoea batatas). Bandung: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Barat.
[BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikan dan Kehutanan
Kabupaten Bogor. 2011.Data Kelompok Tani Wilayah Dramaga.
http://
bp4k.bogorkab.go.id.[10 November 2011].
93
94
LAMPIRAN
96
PPH Nasional
Skor
Gram
PPH
275
5,0
100
2,5
150
24,0
20
5,0
10
35
30
250
-
1,0
10,0
2,5
30,0
0,0
100
Komoditi
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
2005
54.151
12.524
808
836
321
19.321
1.857
2006
54.455
11.609
748
838
316
19.987
1.854
2007
57.157
13.288
593
789
322
19.988
1.887
2008
60.326
16.317
776
770
298
21.757
1.882
2009
64.399
17.630
975
778
314
22.039
2.058
*)
2010
66.411
18.364
908
780
292
23.908
2.051
Pertumb.
(%)
4,19
8,43
4,30
-1,34
-1,75
4,42
2,07
Sumber : BPS
Keterangan : *) Angka Sementara
97
Lampiran 3. Persentase Rumah Tangga Pertanian di Jawa dan Luar Jawa dengan
Sumber Pengahasilan Utama
Sumber Penghasilan
Jawa (%)
Luar Jawa
Indonesia (%)
Utama
(%)
Tanaman Pangan
32,47
31,97
32,24
Hortikultura
4,89
3,94
4,45
Perkebunan
4,81
29,52
16,09
Kehutanan
1,38
0,26
0,87
Peternakan
4,52
3,16
3,90
Perikanan
1,94
4,13
2,94
Pertanian Lain
1,23
2,00
1,58
Buruh Pertanian
9,43
4,94
7,38
Luar Pertanian
39,34
20,07
30,54
Sumber: BPSdalam Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 20102014
Lampiran 4. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar di
Beberapa Provinsi Indonesia Tahun 2011
Provinsi
Luas Panen
Produktivitas
Produksi (ton)
(Ha)
(Kw/Ha)
Sumatera Utara
13.629
123,03
167.680
Jawa Barat
28.033
150,62
422.228
Jawa Tengah
8.127
179,28
145.698
Jawa Timur
14.340
152,95
219.324
Nusa Tenggara Timur
15.160
82,49
125,048
Papua
35.810
101,05
361.870
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Luas Panen
(Ha)
Produktivitas(Ku/Ha)
Produksi
(Ton)
2007
2008
2009
2010
2011
28 096
27 252
33 387
30 073
28 033
133,73
138,15
140,67
143,32
150,62
375 714
376 490
469 646
430 998
422 228
98
Kecamatan
2007
2008
Produksi (ton)
Luas
Panen
(Ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
Luas
Panen
(Ha)
Produktivitas (ton/ha)
8.857
291
14,59
8.732
603
14,48
Tenjolaya
Cibungbulang
244
655
14,35
8.822
601
14,68
3
4
5
Ciampea
Dramaga
Megamendung
2.540
2.040
2.604
122
135
152
14,61
14,57
13,71
8.576
2.720
3.644
586
190
269
14,63
14,32
13,55
99
t-ratio
0.36512095E+01
0.72641619E+01
-0.33368257E-01
0.13066653E+01
0.19395091E+01
-0.21345909E+01
-0.27673169E+01
0.72349359E-01
0.15168836E+01
-0.20589421E+01
-0.37426004E+00
0.96317141E+00
0.29520124E+01
-0.52773723E-01
0.13690877E+01
-0.88888232E+00
0.52704235E+00
0.90338663E+00
0.33609972E+01
0.23535334E+05
100
t-ratio
-0.94222069E-01
0.10368501E+02
-0.22033144E+00
0.31045773E+01
-0.12315100E+00
-0.75979791E+01
-0.43376231E+01
0.14722007E+01
0.13442095E+01
0.11911552E+02
-0.72944470E+00
0.33639516E+01
0.65600435E+00
-0.89807645E+01
-0.42591239E+01
0.17856407E+01
0.27783597E+01
-0.30849643E+01
-0.11992774E+01
0.25976083E+01
-0.11725352E-01
-0.27213025E+00
0.10743607E+01
-0.14066156E+01
0.15940499E+01
-0.14662424E+00
0.32811434E+01
0.36196612E+00
101
102
103