Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA

Nurcholish Madjid
Nama Kelompok :
Jumiati Ratna Sari
Reza Hidayat
Revi
Richie Pratama

Profil
Nama
: Prof. Dr. Nurcholish Madjid, biasa dipanggil Cak
Nur.
Tempat Tanggal Lahir : Jombang Jawa Timur, 17 Maret 1939
Ayah
: KH. Abdul Madjid
Ibu
: Fatonah
Istri
: Omi Komariyah
Anak
: Nadya Madjid, Ahmad Mikail Madjid
Pekerjaan
: Rektor, Cendekiawan, Budayawan
Wafat
: 29 Agustus 2005 (pada umur 66) di Jakarta

Pendidikan
Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Madrasah Ibtidaiyah alWathaniyah pada tahun 1952
Pesantren Darul ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois,
Amerika Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang
diminati Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam,
Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi Agama, Politik
negara-negara berkembang

Ide (pemikiran) Nurcholis Madjid dalam pembaruan islam


Berikut ini adalah beberapa pemikiran Nurcholis Madjid yang membawa pengaruh besar pada rekonstruksi
pemikiran Islam dan dinamisasi semangat keislaman di Indonesai.
1.

Modernisasi
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap

fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh
nilai-nilai baru modernis.
Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholis Madjid, adalah
agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya, karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki
hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam
kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan,
tetapi

justru

menjadi

pengembangannya

dan

tidak

melihat

perpisahan

antara

iman

dan

ilmu.

2. Tentang Substansi
Nurcholis Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu
dimaksudkan sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan
peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang
bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Quran dan Hadth yang mengandung esensi
abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali berdasarkan tuntutan dan rentang waktu
sejarah kaum Muslim serta dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku
pada masanya.

3.

Integrasi

Keislaman

dan

Keindonesiaan

Madjid menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak
dapat dihadang, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa pengembangan Islam di
Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan tentang
perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam
bersifat universal, pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang
lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan
politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa)

4.

Penerimaan

Terhadap

Pancasila

Mengenai penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam Indonesia, Madjid


mengapresiasi peran besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat diterima oleh
umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana caranya untuk mengisi dan
menjalankan Pancasila secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah
ideologi terbuka, maka terbuka lebar kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil
bagian secara positif untuk mengisi dan melaksanakannya. Madjid mengatakan bahwa kaum
Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama,
Nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan antara
berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.

5.

Islam

Yes,

Partai

Islam

No!

Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan


pendapat Islam yes, partai Islam no!. Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan
wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide
tersebut sudah tidak menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang
sedang menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai
Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang
terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan
korupsi. Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya yang
terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami
dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.

6.

Sekularisasi

bukan

Sekularisme

Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah
tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah
diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya, yang dimaksud dengan sekularisasi
adalah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka
Islami,

mana

yang

transendental

dan

mana

yang

sifatnya

temporal.

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan merubah


Muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang
semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya.

7.

Peranan

Umat

Islam

Mengenai peranan yang harus dimainkan umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat
pada tiga hal, yaitu: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam hal ini
Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh masyarakat. Kedua,
Mengembangkan pemahaman terhadap agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang
tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan
prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industri yang
maju. Hal ini harus dijadikan pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan
proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai