Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL KULIT DAN JARINGAN PENUNJANG


PEMICU 3

KELOMPOK DISKUSI 4

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Ardiansyah
Faisal Abdullah
Windy Valentin Sumbari
Muhammad Amin
Antony Halim
Noer Kumala Sari
Aisyah
Ely Kusumawardani
Siti Aulia Rahmah
Peter Fernando
Febriska Taradipa

I11108077
I11109052
I11112085
I1011131020
I1011131029
I1011131030
I1011131042
I1011131044
I1011131063
I1011131074
I1011131084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Pemicu
Seorang ibu berusia 50 tahun, mengeluh dengan ruam kulit yang gatal
sejak 2 hari yang lalu. Hasil pemeriksaan darah tepi ditemukan peningkatan
eosinofil. Satu minggu kemudian ruam tersebut menjadi lebih parah, bernanah
yang disertai rasa nyeri. Dilakukan pengambilan bahan untuk pemeriksaan
laboratorium dari kelainan kulit yang bernanah.

1.2

Klarifikasi dan Definisi

Nanah: cairan kaya protein kulit, hasil proses proses peradangan yang

mengandung leukosit, debris seluler, dan cairan encer.


Ruam: bintik-bintik merah pada kulit.
Eosinofil: jenis sel darah putih yang diperoleh dari sumsum tulang yang
membentuk 1-3% dari jumlah leukosit.

1.3

Kata Kunci
Usia 50 tahun
Ruam
Gatal
Peningkatan eosinofil
Bernanah
Nyeri

1.4

Rumusan Masalah
Ibu 50 tahun mengeluh ruam kulit yang gatal dan ditemukan
peningkatan eosinofil, setelah 1 minggu bertambah parah, bernanah dan terasa
nyeri.

1.5

Analisis Masalah
Ibu 50 tahun

Sejak 2 hari

Ruam dan gatal


Infeksi

Non infeksi
Dermatitis

Jamur
Virus
Bakteri
Parasit

Hipersensitivitas

Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik

Penunjang

Bernanah
Nyeri

Eosinofil

Infeksi sekunder
Patogen

1.6

Hipotesis
Ibu 50 tahun tersebut mengalami alergi dan setelah satu minggu
kemudian terjadi infeksi pada daerah lesi.

1.7

Pertanyaan Diskusi
1. Apa saja jenis ujud kelainan kulit?
2. Bagaimana cara pengambilan sediaan untuk pemeriksaan kelainan kulit?
3. Apa saja pemeriksaan penunjang kelainan kulit?
4. Bagaimana etiologi gatal?
5. Apa saja klasifikasi gatal?
6. Apa saja mediator penyebab gatal?
7. Bagaimana patofisiologi gatal?
8. Bagaimana pengobatan pada tatalaksana gatal?
9. Bagaimana pencegahan gatal?
10. Bagaimana proses terjadinya hipersensitivitas?
11. Apa saja jenis hipersensitivitas?
12. Jelaskan mengenai jenis-jenis leukosit!
13. Pada keadaan apa saja ditemukan eusinofil?
14. Bagaimana patofisiologi nyeri?
15. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi dari jamur?
16. Bagimana mekanisme terjadinya infeksi dari virus?
17. Bagimana mekanisme terjadinya infeksi dari bakteri?
18. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi dari parasit?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis-jenis Ujud Kelainan Kulit1
a. Ruam kulit primer
Makula adalah efloresensi primer yang berbatas tegas, hanya berupa
perubahan warna kulit tanpa perubahan bentuk, seperti pada tinea
versikolor, morbus Hansen, melanoderma, leukoderma, purpura,
petekie, ekimosis.

Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran


pembuluh kapiler yang reversible.

Papula adalah penonjolan superficial pada permukaan kulit dengan


massa zat padat, berbatas tegas, berdiameter < 1cm.

Nodus adalah massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau


subkutan, dapat menonjol. (jika diameter < 1 cm disebut nodulus).

Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serum, beratap,


mempunyai dasar dengan diameter < 1 cm misalnya pada varisela,
herpes zoster.

Bula adalah vesikel dengan diameter > 1 cm, misal pada pemfigus,
luka bakar. Jika vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula
hemaragik . Jika bula berisi nanah disebut bula purulen.

Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela,


psoriasis pustulosa.

Urtika adalah penonjolan di atas kulit akibat edema setempat dan


dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa
dan gigitan serangga.

Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan


pertumbuhan sel atau jaringan tubuh.

Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang


berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat, seperti pada kista
epidermoid.

Plak

(plaque)

adalah

peninggian

di

atas

permukaan

kulit,

permukaannya rata dan berisi zat padat (biasanya infiltrate),


diameternya 2 cm atau lebih. Contonya papul yang melebar atau
papulpapul yang berkonfluensi pada psoriasis.

Abses adalah kumpulan nanah dalam jaringan / dalam kutis atau


subkutis.

b. Ruam kulit sekunder

Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat


berupa sisik halus (TV), sedang (dermatitis), atau kasar (psoriasis).
Skuma dapat berwarna putih (psoriasis), cokelat (TV), atau seperti
sisik ikan (iktiosis).

Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang
sudah mengering di atas permukaan kulit, misalnya pada impetigo
krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapa berwarna hitam (pada
jaringan nekrosis), merah (asal darah), atau cokelat (asal darah, nanah,
serum).

Erosi adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh kehilangan jaringan


yang tidak melampui stratum basal.

Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris


sehingga kulit tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan.
Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima.

Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan dermis) yang memiliki


dasar, dinding, tepi dan isi. Misal ulkus tropikum, ulkus durum.

Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat


kecil/dalam misal pada keratoskisis, keratodermia.

Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis


dan dermis yang sudah hilang. Jaringan ikat ii dapat cekung dari kulit
sekitarnya (sikatriks atrofi),dapat lebih menonjol (sikatriks hipertrofi),
dan dapat normal (eutrofi/luka sayat). Sikatriks tampak licin, garis
kulit dan adneksa hilang.

Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas.

Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di


dalam jaringan. Misalnya abses bartholini dan abses banal.

Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan/relief


kulit tampak lebih jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis.

Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang


destruktif, kronik, dengan penyebaran pertiginosa. Misal pasa sifilis
gumosa.

Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga


kulit tampak lebih hitam dari sekitarnya. Misal pada melasma, dan
pasca inflamasi.

Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit menjadi


lebih putih dari sekitarnya, misalnya pada skleroderma dan vitiligo.

c. Ruam kulit khusus

Kanalikuli adalah ruam kulit berupa saluran-saluran pad stratum


korneum, yang timbul sejajar denga permukaan kulit, seperti yang
terdapat pada skabies.

Milia (= White head) adalah penonjolan di atas permukaan kulit


yang berwarna putih, yang ditimbulkan oleh penyumbatan saluran
kelenjar sebasea, seperti pada akne sistika.

Komedo (=Black head) adalah ruam kulit berupa bintik-bintik


hitam yang timbul akibat proses oksidasi udara terhadap sekresi
kelenjar sebasea dipermukaan kulit, seperti agne.

Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak


dalam waktu singkat dan tidak berlangsung lama, biasanya
didahului demam, seperti pada demam berdarah.

Roseola ialah eksantema lentikuler berwarna merah tembaga


seperti pada sifilis dan frambusia.

Purpura yaitu perdarahan di dalam/di bawah kulit yang tampak


medikamentosa

Lesi target. Terdiri dari 3 zona yang berbentuk lingkaran,


lingkaran pertama mengandung purpura atau vesikel di bagian
tengah yang dikelilingi oleh lingkaran pucat (lingkaran kedua),
lingkaran ketiga adalah lingkaran eritema. Lesi target biasanya
dijumpai di telapak tangan penderita eritema multiforme (gambaran
seperti mata sapi).

Burrow adalah terowongan yang berkelok-kelok yang meninggi di


epidermis superficial yang ditimbulkan oleh parasit.

Teleangiektasi adalah pelebaran pembuluh darah kecil superficial


(kapiler, arteriol, dan venul) yang menetap pada kulit.

Vegetasi adalah pertumbuhan berupa penonjolan-penonjolan bulat


atau runcing menjadi satu.

2.2 Cara Pengambilan Sediaan Untuk Pemeriksaan Kelainan Kulit2


Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik
berupa pemeriksaan langsung sediaan basah (kerokan) dan biakan.
Pemeriksaaan dengan kerokan
Pengambilan pada kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan
dari bagian tepi kelainan hingga mencapai sedikit di luar kelainan sisik
kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul steril. Untuk
pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu
dicabut, kemudian kulit dikerok untuk memperoleh sisik. Pemakaian
agen antifungal dalam waktu dekat terkadang dapat menyulitkan
identifikasi.
Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object
glass, kemudian ditambah 1 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi
20%. Setelah menunggu sekitar 15 20 menit untuk melarutkan
jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker
superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara
lebih nyata. Adapun waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan
pemanasan di atas api kecil.
Pemeriksaan

langsung

sediaan

basah

dikerjakan

dengan

mikroskop, umumnya cukup dengan menggunakan pembesaran 10 x 10

dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk dermatofitosis pada kulit


adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar
dengan sekat dan cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan
kulit yang lama dan / atau sudah diobati.
Pemeriksaan dengan pembiakan
Pada pemeriksaan jenis ini diperlukan untuk menentukan spesies
jamur dalam upaya menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah.
Pemeriksaan dilakukan dengan menanamkan bahan klinis ke dalam
media buatan, yaitu medium agar dekstrosa Saboraud yang telah
ditambahkan

dengan

antibiotik

maupun

klorheksimid

untuk

menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur lain. Kultur dilakukan


pada suhu 280 C-350 C selama 1-4 minggu.

2.3 Pemeriksaan Penunjang Kelainan Kulit3-4


a. Pemeriksaan Mikologi3
1) Pemeriksaan langsung dari sediaan basah
Spesimen yang dapat digunakan yaitu kerokan kulit, kuku, dan
rambut. Sebelum pengambilan spesimen, tempat pengambilan
terlebih dahulu dibersihkan dengan spiritus 70%. Kulit tidak
berambut diambil dengan mengerok kulit bagian tepi lesi sampai
dengan bagian sedikit luar kelainan sisik kulit. Kulit dikerok dengan
pisau tumpul steril. Apabila kulit berambut, rambut dicabut terlebih
dahulu baru dilakukan kerokan terhadap kulit yang mengalami
kelainan. Untuk kuku, bahan diambil dari permukaan kuku yang
sakit dan dipotong sedalam-dalamnya hingga mengenai seluruh tebal
kuku. Bahan di bawah kuku diambil pula.
Sediaan basah dibuat dengan meletakan spesimen di atas kaca
objek kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH 10% untuk rambut
atau 20% untuk kulit dan kuku. Preparat ditunggu 15-20 menit untuk
melarutkan jaringan atau dipanaskan di atas api kecil beberapa detik

hingga mulai keluar uap. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata
dapat ditambahkan zat warna misalnya tinta Parker super-chroom
blue black.
2) Pemeriksaan biakan
Kultur dilakukan dengan cara menanamkan spesimen pada
media agar dekstrosa sabouraud. Pada medium dapat ditambahkan
antibiotik kloramfenikol saja atau dengan klorheksimid untuk
menghindari kontaminasi.
3) Pemeriksaan dengan lampu wood
Lampu wood adalah alat diagnostik yang digunakan dalam
dermatologi. Cahaya UV 365 nm disinarkan ke lesi kulit pasien dari
jarak 10-15 cm kemudian diamati fluoresensinya.
b. Pemeriksaan Histopatologi3
Pemeriksaan histopatologi biasanya dilakukan terhadap penyakit
kulit akibat infeksi virus seperti veruka vulgaris, moluscum contagiosum,
variola, varisela, kondiloma akuminata, dan herpes serta penyakit kulit
akibat keganasan. Pengambilan spesimen dilakukan dengan cara biopsi
seperti pada veruka atau kerokan dasar vesikel seperti pada varisela. Lesi
yang dipilih yaitu lesi primer. Pemeriksaan histopatologi juga dapat
dilakukan pada penyakit kulit karena parasit seperti scabies dan penyakit
kulit karena bakteri seperti lepra. Pewarnaan dilakukan dengan HE,
oersin, atau Giemsa.
c. Pemeriksaan dengan Mikroskop Elektron dan PCR3
Pemeriksaan lain dari infeksi virus yaitu dengan deteksi partikel
virus menggunakan mikroskop electron atau mendeteksi materi genetic
virus menggunakan teknik PCR. Namun kedua pemeriksaan ini sangat
mahal harganya.
d. Pemeriksaan langsung untuk Skabies3
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan tungau. Caranya
adalah dengan mencari terowongan yang masih utuh, belum digaruk,

belum mengalami perubahan efluorosensi. Pada ujung terowongan yang


terlihat papul atau vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakan di atas
kaca objek kemudian ditutup dengan penutup dan dilihat dibawah
mikroskop cahaya. Cara lain adalah dengan menyikat lesi dengan sikat
dan ditampung di atas selembar kertas putih dan dilihat dengan kaca
pembesar.
e. Pemeriksaan Bakteriologi3
1) Pemeriksaan Mikroskopis
Bahan berupa pus, jaringan kulit, dan jaringan kelenjar getah
bening pada tuberculosis kutis. Kerokan lesi aktif dan irisan hingga
ke dermis pada cuping teling sebanyak 4-6 lesi digunakan untuk
pemeriksaan lepra. Sekret dari dinding ulkus digunakan untuk
memeriksa

ulkus

tropikum

untuk

menemukan

bakteri

penyebab.Pewarnaan dilakukan dengan pewarnaan Gram pada


penyakit pioderma misalnya dan pewarnaan Ziehl-Neelson pada
tuberculosis kutis dan lepra.
2) Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik dilakukan terhadap penyakit lepra,yaitu
dengan uji MLPA (Mycobacteium leprae particle agglutination), Uji
ELISA

(Enzym

Linked

Immunosorbent

Assay),

dan

ML

(Mycobacterium leprae) dipstick.


f. Pemeriksaan Darah Rutin3
Sampel yang diambil adalah darah vena. Digunakan untuk melihat
leukositosis pada pioderma, misalnya
g. Pemeriksaan Alergi4
1) Pemeriksaan Hitung Eosinofil Total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi.
Eosinofilia adalah apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari
450 eosinofil/L. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih

akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus


darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat,
keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang
berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Jumlah
eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian
kortikosteroid secara sistemik.
2) Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit
alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis
penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE
tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi
dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien
alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-alergi,
namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan
non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE
total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya
meningkat

pada

penyakit

non-alergi

(infeksi

virus/jamur,

imunodefisiensi, keganasan).
3) Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu
dapat dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro
dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzymelinked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode
RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak
dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST
berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.
4) Uji Kulit

Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi


dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen
dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan
aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly
generated mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam
timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji
kulit positif). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai
puncak dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit.
Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas
yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan
berakhir setelah 24 jam (fase lambat). Terdapat 3 cara untuk
melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin prick
test/SPT), dan uji gores (scratch test).
a) Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan
ke

dalam

lapisan

dermis

sehingga

timbul

gelembung

berdiameter 3 mm. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang


menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan
konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm. Teknik uji
kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),
namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena
dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
b) Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena
kurang akurat.
c) Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada
alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan.
Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes
ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit.
Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan
jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang
terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin,

kortikosteroid dan -agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,


sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling
baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas
SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen
hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang
lebih rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki
korelasi yang lebih baik.

2.4 Etiologi Gatal5


Pruritus dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan. Antara lain
yaitu:
1. Pruritus lokal
Pruritus lokal adalah pruritus yang terbatas pada area tertentu di
tubuh. Beberapa Penyebab Pruritus Lokal:
a. Kulit kepala

: Seborrhoeic dermatitis, kutu rambut

b. Punggung

: Notalgia paraesthetica

c. Lengan

: Brachioradial pruritus

d. Tangan

: Dermatitis tangan

e. Pruritus perianal terjadi akibat partikel feses yang terjepit dalam


lipatan perianal atau melekat pada rambut anus.
2. Gangguan sistemik/penyakit
a. Gagal ginjal kronik.
b. Obstruksi biliaris intrahepatika atau ekstrahepatika.
c. Endokrin/Metabolik

seperti

Diabetes,

hipertiroidisme,

Hipoparatiroidisme, dan Myxoedema.


d. Anemia, Polycythaemia, Leukimia limfatik, dan Hodgkin's
disease.
3. Gangguan pada kulit

Dermatitis kontak, kulit kering, prurigo nodularis, urtikaria,


psoriasis, dermatitis atopic, folikulitis, kutu, scabies, miliaria, dan
sunburn.
4. Pajanan terhadap faktor tertentu
Pajanan kulit terhadap beberapa factor, baik berasal dari luar
maupun dalam dapat menyebabkan pruritus. Faktor yang dimaksud
adalah allergen atau bentuk iritan lainnya, urtikaria fisikal, awuagenic
pruritus, serangga, dan obat-obatan tertentu (topical maupun sistemik;
contoh: opioid, aspirin).
5. Hormonal
Sejumlah 2% dari wanita hamil menderita pruritus tanpa adanya
gangguan dermatologic. Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen
dan terkadang terdapat hubungan dengan kolestasis. Pruritus terutama
terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dimulai pada abdomen atau
badan, kemudian menjadi generalisata. Ada kalanya pruritus disertai
dengan anoreksi, nausea, dan muntah. Pruritus akan menghilang
setelah penderita melahirkan. Ikterus kolestasis timbul setelah
penderita mengalami pruritus 2-4 minggu. Ikterus dan pruritus
disebabkan oleh karena terdapat garam empedu di dalam kulit. Selain
itu, pruritus juga menjadi gejala umum terjadi menopause. Setidaknya
50% orang berumur 70 tahun atau lebih mengalami pruritus. Kelainan
kulit yang menyebabkan pruritus, seperti scabies, pemphigoid
nodularis, atau eczema grade rendah perlu dipertimbangkan selain
gangguan sistemik seperti kolestasis ataupun gagal ginjal. Pada
sebagian besar kasus pruritus spontan, penyebab pruritus pada lansia
adalah kekeringan kulit akibat penuaan kulit. Pruritus pada lansia
berespon baik terhadap pengobatan emollient.
Atau, bisa diklasifikasikan penyebab dari pruritus terdiri dari:
a) Faktor endogen ( penyakit yang diderita, hormonal atau daya
tahan tubuh)

b) Faktor eksogen ( Pakaian, logam, serangga, tungau atau faktor


lingkungan yang menyebabkan kulit menjadi lembab atau kering)

2.5 Klasifikasi Gatal6


Menurut Twcross, jenis penyebab gatal dapat digolongkan menjadi:
1) Pruritoseptif
Gatal pruritoseptif adalah gatal yang berasal dari kulit dan
terjadi akibat adanya pruritogen, seperti kulit yang kering, terjadi
inflamasi, serta terjadi kerusakan kulit.
2) Neuropati
Gatal neuropatik adalah gatal yang terjadi akibat terdapat lesi
di jaras aferen penghantaran impuls, seperti neuralgia dan
gangguan serebrovaskuler.
3) Neurogenik
Gatal neurogenik adalah gatal yang berasal dari pusat (sentral)
tanpa disertai keadaan patologis. Contohnya adalah sumbatan
kantung empedu yang akan meningkatkan kadar senyawa opioid
yang akan memicu timbulnya pruritus.
4) Psikogenik
Gatal psikogenik adalah gatal yang cenderung ditimbulkan
akibat aktivitas psikologis dan kebiasaan berulang. Misalnya,
ketakutan terhadap parasit (parasitofobia) dapat menyebabkan
sensasi gatal.
Berdasarkan etiologinya, gatal dapat dibagi menjadi lima, masingmasing, yaitu:
1) Dermatologis
Perubahan kondisi kulit yang sering terjadi pada orang tua
menyebabkan serosis atau kulit kering. Kondisi lingkungan yang
juga menyebabkan hilangnya kelembapan dari lapisan epidermis
dapat menyebabkan lesi serosis, yang akan menciptakan patahan

dan lipatan. Oleh karena itu dapat menyebabkan pruritus dan


perdarahan yang memungkinkan juga terjadinya infeksi. Penyebab
lain kulit kering termasuk cuaca yang ekstrim seperti udara dingin
ataupun kelembapan yang rendah, dan kelebihan paparan air,
terkhusus pada iklim yang dingin.
2) Neuropatik dan neurogenik
Kerusakan atupun gangguan pada serabut saraf atau otak
dapat mengakibatkan pruritus yang juga dikenal gatal tanpa
ruam. Jenis gangguan neuropatik ini di proses pada thalamus
setelah stimulasi pada saraf ujung dorsal. Rasa gatal tersebut juga
dapat disebabkan oleh beragam kelainan ataupun gangguan
hubungan antar saraf, termasuk multiple-sklerosis, infeksi herpes,
dan tumor otak.
3) Psikatrik
Pruritus juga dapat diakibatkan oleh beberapa gangguan
psikatrik. Pada sebuah penelitian, 70% pasien dengan pruritus
kronik memiliki setidaknya enam diagnosa psikatrik, termasuk
demensia, schizophrenia, gangguan dasar depresi, gangguan
kepribadian, dan kelainan perilaku.
4) Gangguan sistemik
Pasien dengan gangguan sistemik sering memiliki ambang
batas respon gatal yang rendah sehingga mengakibatkan stimulus
yang kecil sekalipun dapat mengakibatkan rasa gatal yang hebat.
Pasien dengan gangguan fungsi hati sering mengalami rasa gatal,
pasien dengan masalah ginjal juga mengalami rasa gatal.
5) Indusi obat
Beberapa obat dapat mengakibatkan reaksi alergi pada
beberapa orang sehingga mengakibatkan rasa gatal, obat-obatan
juga dapat mengakibatkan rasa gatal dengan mempengaruhi hati
dan ginjal, sehingga fungsinya dapat terganggu.

2.6 Mediator Penyebab Gatal7


1. Histamin
Konsentrasi histamin yang rendah pada lapisan dermo-epiderma
menyebabkan sensasi gatal, namun injeksi yang lebih dalam (deeper
intracutaneus) menyebabkan nyeri. Histamin disintesis di dalam sel
mast dan tersimpan pada granula sel mast. Ketika terjaddi reaksi
radang, sel mast terdegranulasi dan keluarlah histamin tersebut.
Histamin terdiri dari dua macam, H1 dan H2. Histamin yang
menyebabkan gatal adalah H1.
2. Serotonin
Amina jenis ini ditemukan pada platelet tapi tidak terdapat pada
sel mast manusia. seotonin dapat menyebabkan gatal melalui pelepasan
histamin dari sel mast dermal.
3. Endopeptidase
Endopeptidase

seperti

tripsin

atau

papain

dapat

dapat

menyebabkan gatal. Tripsin adalah komponen penting dari sel mast


dermal dan dilepaskan akibat aktivasi sel mast. Sel mast memperoleh
triptase, dari kerja proteinase-activated reseptor-2 (PAR-2) pad
aterminal saraf C yang berdekatan sehingga membangkitkan
neuropeptida pruritogenik dari terminal yang sama. Hal ini
memperlihatkan interaksi sistem imun dan sistem saraf dalam
menyebabkan sensasi gatal. Selain tripsin, reaksi inflamasi juga
menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang ikut berperan dalam timbulnya
gatal.
4. Neuropeptida
Substansi P yang terdapat pada terminal neuron C dilepaskan
sebagai akibat dari kerja triptase sel mast pada PAR-2 dan
menyebabkan gatal dengan baik dengan aksi langsung maupun
memicu pelepasan histamin oleh sel mast melalui reseptor NK-1. Dosis

rendah dari morphin menyebabkan gatal dan efeknya adalah pelepasan


prostaglandin dan degranulasi sel mast. Reseptor agonis opioid adalah
para saraf tulang belakang atau ganglion dorsal karena dosis rendah
dari morphine dapat menyebabkan gatal segmental.
5. Eicosanoid
Transformasi asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) memiliki
peran yang kuat dalam mediator inflamasi tapi tidak secara langsung
menyebabkan gatal. Prostaglandin E (PGE) menyebabkan gatal
melalui mediator lain. Konsentrasi rendah PGE pada satu area kulit
menurunkan ambang batas timbulnya sensasi gatal akibat kerja
histamin pada area tersebut.

2.7 Patofisiologi Gatal8-10


Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat
memicu terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di
dekat junction dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinap
sterjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan
neuron kedua yang menyeberang ke tengah, lalu menuju traktus spinotalamikus
kontralateral hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron
ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsidi korteks
serebri.8
Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik
perhatian terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild surface
stimuli), sehingga diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu
terjadi. Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran
dan penemuan teknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut saraf
C dapat diukur menggunakan elektroda kaca yang sangat halus) berhasil
menemukan serabut saraf yang terspesiaslisasi untuk menghantarkan
impuls gatal, dan dengan demikian telah mengubah paradigma bahwa
pruritus merupakan stimulus nyeri dalam skala ringan.8

Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling sensation)


merupakan saraf yang sama seperti yang digunakan untuk menghantarkan
rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut saraf yang khusus
menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer, maupun
disistem saraf pusat.9
Serabut saraf tipe C ini tidak termielinasi. Hal ini dibuktikan dengan
fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketika dilakukan blokade
terhadap penghantaran saraf nyeri dalam proseduranestesi. Namun
demikian, telah ditemukan pula saraf yang hanya menghantarkan sensasi
pruritus. Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf tipe C adalah nosiseptor
polimodal (merespons stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan
20%

sisanya

merupakan

nosiseptor mekano-insensitif,

yang

tidak

dirangsang oleh stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20%
serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan histamin
negatif), sedangkan hanya 5% yang histamine positif dan merangsang gatal.
Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang paling banyak
dipelajari saat ini. Selain dirangsang oleh pruritogen seperti histamin,
serabut saraf yang terakhir ini juga dirangsang oleh temperatur.9
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan
bahwa sel-sel keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor
yang diduga terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya
NGF (nerve growth factor) dan reseptor vanilloid TRPV1; serta PAR
2 ( proteinase activated receptor type 2), juga kanal ATP berbasis voltase.
Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut saraf intraepidermal
terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal, bukan hanya
persarafan saja. TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang
terkandung dalam cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak
bersama-sama dengan TRPV1 dan menyebabkan endokanabioid

juga dapat

merangsang TRPV1 dan memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus.8


Melaui jaras asenden, stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks
serebri. Saat ini, melalui PET (ositron-emission tomography) dan fMRI

(functional MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus
singuli anterior (anterior singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan
dalam

kesadaran

sensasi

gatal6,

menyebabkan

efek

emosional

berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga


terlibat dalam inisasi tindakan menggaruk.8
Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut persarafan
nosiseptor

polimodal

tidak

terangsang.

Rangsangan

nosiseptor

polimodalterhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri,


dan akan menginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun
demikian, setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih
ada, makasensasi gatal akan muncul lagi. Perlu diingat bahwa tidaklah
semua rangsang gatal dicetuskan dari serabut saraf histamin positif ini,
melainkan ada pula rangsang gatal yang dicetuskan oleh rangsangan
nosiseptor polimodal.8

2.8 Pengobatan Pada Tatalaksana Gatal10


Pada priuritus ani iritan:

Higiene yang baik, diet tinggi serat, dan pengobatan dengan steroid
topikal biasanya memberikan hasil.

Pengobatan terhadap hemoroid yang ada dapat mengurangi


terjadinya pengeluaran sekret.

Pada kelainan kulit dan dermatitis kontak alergi

Sebagian besar memerlukan steroid topikal

Pada kandidosis

Digunakan krim antijamur dan pesarium. Akan tetapi perlu


diperhatikan apakah pasien menderita diabetes atau tidak.

Pada priuritis senilis dan serosis

Pengobatan sangat sulit. Pemberian anti histamin sedatif sering


menyebabkan timbulnya rasa mengantuk dan kebingungan yang
hebat, sedangkan steroid topikal terbatas penggunaannya.

Bila tekstur kulit kering, mungkin emolien dapat dipakai dengan


bebas.

Kurangi penggunaan sabun dan kurangi frekuensi mandi, karena


frekuensi mandi yang meningkat atau pemakaian sabun dan
deterjen yang keras dapat membuat keadaan menjadi bertambah
buruk.

Pada priuritis yang tidak ditemukan adanya kelainan

Pemberian steroid topikal dan antihistamin sedatif seperti


hidroksizin. Namun pemberian obat-obat antipruritus dengan faktor
penyebab yang belum ditemukan jarang memberikan hasil.

Pemeriksaan psikologis perlu dilakukan oleh ahli psikologis. Hal


ini merujuk pada priuritis yang disebabkan oleh stres (priuritis
neuropatik)

2.9 Pencegahan Gatal11


Langkah-langkah

untuk

mengurangi

kemungkinan

untuk

mendapatkan kondisi gatal meliputi:

Mandi atau mandi secara teratur, cuci rambut setidaknya sekali


seminggu, mencuci tangan untuk menghindari tertular infeksi kulit,
mencuci pakaian olahraga setelah setiap kali digunakan

Menghindari lingkungan lembab panas

Mengenakan pakaian yang ringan dan longgar serta pakaian yang


dibuat oleh bahan yang menyerap keringat (seperti kapas). Hindari
menggunakan bahan wol dan pakaian sintetis karena dapat
mengiritasi kulit.

Menggunakan pelindung ketika berhadapan dengan zat iritan,


seperti menggunakan sarung tangan ketika berkebun ataupun
ketika mencuci pakaian menggunakan tangan

Melindungi terhadap diri matahari dengan menggunakan pakaian


dan krim yang sesuai

2.10

membatasi penggunaan kosmetik

Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.

Menghindarkan stres emosi.

Proses Terjadinya Hipersensitivitas12


Istilah "hipersensitivitas" atau "alergi, menunjukkan suatu

keadaan dengan respons imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau


tidak sesuai yang membahayakan pejamu. Pada orang tertentur reaksireaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan antigen
spesifik (alergen). Kontak pertama adalah kejadian pendahulu yang
diperlukan yang dapat menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.
Terdapat empat jenis utarna reaksi hipersensitivitas. Tipe I, II, dan
III dirnediasi antibodi; tipe IV dimediasi sel.
Tipe I. Hipersensitivitas Tipe cepat (Anafilaktik)
Hipersensitivitas tipe I bermanifestasi sebagai reaksi jaringan yang
terjadi dalam waktu 5 menit setelah antigen bergabung dengan antibodi
yang sesuai. Suatu antigen menginduksi pembentukan antibodi IgE, yang
berikatan kuat melalui bagian Fc ke suatu reseptor pada sel-sel mast dan
eosinofil. Beberapa waktu kemudian, kontak kedua seseorang dengan
antigen yang sama menyebabkan fiksasi antigen ke IgE yang terikat sel,
membentuk ikatan silang pada molekul IgE, dan melepaskan mediator
yang aktif secara farmakologis dari sel-sel dalam waktu beberapa menit.
Nukleotida siklik dan kalsium berperan penting dalam pelepasan mediator.
Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II melibatkan pengikatan antibodi (IgG atau
IgM) ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraselular.
Antibodi yang ditujukan pada antigen permukaan sel dapat mengaktifkan
komplemen (atau efektor lain) untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM)

melekat pada antigen melalui regio Fab dan bekerja sebagai jembatan
terhadap komplemen melalui regio Fc. Hasilnya dapat terjadi lisis yang
diperantarai komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik,
reaksi transfusi ABO, dan penyakit hemolitik Rh.
Tipe III: Hipersensitivitas Kompleks Imun
Bila antibodi bergabung dengan antigen spesifiknya, akan
terbentuk kompleks imun. Biasanya, kompleks imun akan segera dibuang
oleh sistem retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks ini menetap
dan tersimpan dalam jaringan, menyebabkan beberapa gangguan.
Di mana pun tersimpan, kompleks imun dapat mengaktifkan sistem
komplemen, dan makrofag serta neutrofil tertarik menuju rempar tersebut,
kemudian di sini akan terjadi peradangan dan cedera jaringan. Terdapat
dua bentuk utama hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun.
Bentuk pertama bersifat lokal (reaksi Arthus) dan khas timbul pada kulit
bila antigen dosis rendah disuntikkan dan terbentuk kompleks imun
setempat. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG, dan aktivasi komplemen
yang terjadi menyebabkan aktivasi sel-sel mast dan neutrofil, pelepasan
mediator, dan peningkatan permeabilitas vaskular. Keadaan tersebut khas
terjadi sekitar 12 jam.
Tipe IV: Hipersensitivitas Selular (Lambat)
Hipersensitivitas selular bukanlah suatu fungsi antibodi tetapi
limfosit T yang tersensitisasi secara spesifik sehingga mengaktifkan
makrofag dan menimbulkan respons radang. Respons ini bersifat lambat
yaitu, biasanya dimulai 2-3 hari setelah kontak dengan antigen dan sering
berlangsung selama berhari-hari.

2.11

Jenis-jenis Hipersensitivitas13-15
Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan berdasarkan

mekanisme terjadinya menjadi tipe I-IV.13


a. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang
timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang
sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah
antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang
cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut:
1) Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan
terpajan oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop
alergen tersebut ke permukaannya, sehingga makrofag bertindak
sebagai

antigen

presenting

cells

(APC).

APC

akan

mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel


Th2

mengeluarkan

mediator

IL-4

(interleukin-4)

untuk

menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi


sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini
akan berikatan di reseptor FC-R di sel Mast/basofil di jaringan.
Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat
khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan
basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih
normal.
2) Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan
berikatan dengan IgE yang melekat di reseptor FC-R sel
Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa sehingga
membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar dua IgE di
permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak
bekerja jika IgE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi
serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara kaskade,
sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini
mengakibatkan

pelepasan

mediator-mediator

alergik

yang

terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor


kemotaktik eosinofil, dan platelet activating factor (PAF). Selain
itu, peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel
Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4,

LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang


dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang
menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi
pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada
mukosa dan hipersekresi.
Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma, reaksi
anafilaksis, angioedema dan alergi atopik.
b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga dengan reaksi
sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM
yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan
tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba
atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen
tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG
dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama
di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan
antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit,
sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi
di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini
mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri,
sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis
(sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:
1. Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat
dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi)
akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan
sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat
toksik yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme
ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).

2. Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di


permukaan sel sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan
dan merangsang terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang
akan berujung kepada kehancuran sel.
3. Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen.
Komplemen C3b yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di
reseptor C3 pada pemukaan sel efektor. Hal ini akan meningkatkan
proses sitolisis oleh sel efektor.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah
terpajan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang
ditimbulkan: Reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma
pneumoniae related cold agglutinins, Tiroiditis Hashimoto, Sindroma
Goodpastures, Delayed transplant graft rejection.
c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang
melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen
yang terlarut dalam serum. Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia
akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik.
Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM
spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum
membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan
mengendap di salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di
endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga menimbulkan
reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga
dihasilkanlah

mediator-mediator

inflamasi

seperti

anafilatoksin,

opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan


makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena
kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel
efektor terhadapnya juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut.
Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala klinis,

dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah


pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit
yang

ditimbulkan:

Systemic

Lupus

Erythematosus,

Erythema

Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis,


Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
d. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi hipersensitivitas tipe IV berbeda dengan reaksi
sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi
melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12
jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa
jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein,
bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain. Prosesnya
secara umum adalah sebagai berikut:
Ketika

tubuh

terpajan

alergen

pertama

kali,

ia

akan

dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana ia


akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang
disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas
sitokin (berupa IFN-, TNF-, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8,
MCAF, MIF) yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang
berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas.1
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
1) Reaksi Jones Mote, ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah
epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya
berupa eritem tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI.
2) Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak, timbul pada kulit
tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC
memegang peranan pada reaksi ini.

3) Reaksi Tuberkuli, terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen.


Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul
infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah
yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit.
4) ReaksiGranuloma, merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling
penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut
terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag
yang

biasanya

berupa

mikroorganisme

yang

tidak

dapat

dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada


alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan
untuk membatasi antigen yang persisten, sedang reaksi tuberkulin
merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang
sama misalnya M. tuberculosis dan M. leprae.
Menurut waktu terjadinya reaksi, dibagi menjadi tiga, yaitu:14-15
a. Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam.
Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan
eksema.
b. Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis
ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh
IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel
NK. Manifestasinya berupa:

Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia


hemolitik autoimun.

Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,


vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan
LES.

c. Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin
yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak,
reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

Jenis-jenis Leukosit16

2.12

Leukosit atau sel darah putih bermingrasi dari sumsum tulang ke


jaringan, tempat leukosit menjadi fungsional dan melakukan berbagai
aktivitas. Jumlah leukosit dalam darah bervariasi sesuai umur, jenis
kelamin, dan keadaan fisiologis. Normalnya pada orang dewasa terdapat
sekitar 6000-10.000 leukosit per mikroliter darah. Ada lima jenis leukosit,
yaitu:
a. Neutrofil
Merupakan 60-70% leukosit yang beredar. Diameternya 12-15
m pada sediaan apus darah inti yang terdiri atas 2-5 lobus yang
dihubungkan oleh jembatan inti yang halus. Neutrofil adalah fagosit
aktif untuk bakteri dan partikel kecil lain dan biasanya merupakan
leukosit pertama di tempat infeksi. Neutrofil memiliki waktu paruh 6-7
jam dalam darah dan memiliki rentang hidup selama 1-4 hari dalam
jaringan ikat sebelum leukosit mengalami apoptosis.
b. Eusinofil
Merupakan 2-4% leukosit dalam darah normal, berukuran kurang
lebih sama dengan neutrofil dan mengandung inti bilobus yang khas.
Ciri utamanya adalah sejumlah besar sel granul spesifik berukuran
besar dan lonjong (oval) yang terpulas dengan eosin. Eosinofil memiliki

efek

sitotoksit terhadap parasit dan memfagosit kompleks antigen-

antibodi dan memodulasi respon inflamotorik dengan banyak cara.


c. Basofil
Berdiameter sekitar 12-15 m, tetapi membentuk kurang dari 1%
leukosit dalam darah sehingga sukar ditemukan pada apusan darah
normal. Intinya terbagi menjadi dua lobuli ireguler. Granul spesifik
basofil

banyak

mengandung

histamin

dan

berbagai

mediator

peradangan. Basofil dapat melengkapi fungsi sel mast pada reaksi


hipersensitivitas cepat, dengan cara bermingrasi ke dalam jaringan ikat.
d. Limfosit
Inti berbentuk sferis. Limfosit dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu limfosit B, limfosit T dan natural killer (NK). Limfosit
berperan dalam berbagai proses imun tubuh, memiliki diameter 6-8 m
dan paling besar berdiameter 9-18 m. Limfosit adalah satu-satunya
jenis leukosit yang dapat kembali ke aliran darah dari jaringan setelah
mengalami diapedesis.
e. Monosit
Merupakan agranulosit yang berasal dari sumsum tulang dengan
diameter 12-20 m. Intinya besar, terletak agak eksentrik. Berbentuk
lonjong, ginjal atau seperti huruf U. Monosit darah merupakan sel
prekursor dari sistem fagosit mononuklear, monosit berdiferensiasi
menjadi makrofag dalam jaringan ikat, mikroglia dalam SSP, osteoklas
dalam tulang dan lain-lain.

2.13

Keadaan Ditemukannya Eusinofil17


Granulosit eosinofil merupakan 1-3 % dari jumlah leukosit di

sirkulasi. Persamaannya banyak dengan sel neutrofil dan berasal dari sel
progenitor yang sama dan menunjukkan monogenesis yang sama. Berbeda
dengan neutrofil, eosinofil matang di sumsum tulang dalam waktu 3-6 hari
dan kemudian

berada di sirkulasi dengan masa paruh 6-12 jam.

Sedangkan di jaringan masa paruhnya beberapa hari. Eosinofil melakukan


fungsinya di jaringan dan tidak akan kembali ke sirkulasi, serta akan
dieliminasi melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Diperkirakan
untuk tiap satu sel eosinofil di sirkulasi terdapat 200 eosinofil matang di
sumsum tulang dan 500 eosinofil di jaringan pengikat.
Dalam proses pematangannya terjadi perubahan granula azurofilik
ke bentuk granula sitoplasmik besar yang mempunyai struktur kristaloid.
Granula eosinofil tidak berisi lisozim dan fagositin seperti pada neutrofil,
tetapi kaya akan asam fosfatase dan peroksidase. Terdapat eosinophilic
basic protein (EBP) pada inti kristalin, dengan ukuran 11.000 Dalton yang
sangat toksik untuk parasit (skiatosoma) dan epitel trakea. Walaupun sel
ini dapat memfagosit bermacam partikel, mikroorganisme atau kompleks
antigen-antibodi terlarut, tetapi kurang efisien dibandingkan neutrofil.
Sampai sekarang peran spesifik sel ini belum diketahui, kecuali ada
hubungannya dengan alergi dan infeksi parasit. Selain untuk eliminasi
kompleks imun, ia juga berperan dalam menghambat proses inflamasi
dengan menghambat efek mediator, misalnya arif sulftase B yang
dihasilkan sel eosinofil akan menginaktifkan SRS-A yang dilepaskan sel
mast. Eosinofil berperan juga pada reaksi antibody mediated cytotoxity
dalam memusnahkan parasit. Pada membran sel eosinofil terdapat reseptor
IgE (FcRII) yang mempunyai afinitas 100 kali lebih rendah dari afinitas
reseptor IgE pada sel mas dan basofil (FcRI).
Pada orang normal diperkirakan 10-30% dari jumlah eosinofil
mempunyai reseptor IgG. Aktivasi reseptor IgG pada sel eosinofil dengan
IgG yang meliputi skistosoma akan menyebabkan degranulasi sel dan
menghasilkan mediator newly generated LTC4. Aktivasi ini 10 kali lebih
besar pada eosinofil hipodens dibanding eosinofil normodens.
Pada 40-50% eosinofil orang normal terdapat reseptor komplemen,
sedangkan pada neutrofil 90% mempunyai reseptor komplemen. Pada
sindrom hipereosinofilia, infeksi parasit, dan atopi persentase reseptor
komplemen akan meningkat yang membuktikan adanya proses inflamasi.

Berdasarkan densitasnya sel eosinofil perifer terdiri dari 2 jenis,


yaitu eosinofil hipodens dan normodens. Sel eosinofil aktif adalah yang
hipodens. Eosinofil dapat diaktifkan oleh endotelium waskular, T cell
derived cytokines (GM-CSF, IL-3, IL-5) dan monocyte macrophage
derived cytokines (IL-1 dan TNF).

2.14

Patofisiologi Nyeri18
Nyeri adalah perasaan dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan yang terkait dengan adanya kerusakan jaringan potensial


atau aktual. Reseptor myeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Respon nyeri disebut juga nosiseptor, secara
anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri akibat kerusakan
jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor sering
disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan
saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.
Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan
mengeluarkan

berbagai

mediator

inflamasi,

seperti

bradikinin,

prostaglandin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat


mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan,
atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara langsung maupun
tak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia.

2.15

Mekanisme Terjadinya Infeksi Jamur19


Pada keadaan normal kulit memiliki daya tangkis yang baik terhadap

kuman dan jamurkarena adanya lapisan lemak pelindung dan terdapatnya


flora bakteri yang memelihara suatukeseimbangan biologis. Akan tetapi
bila lapisan pelindung tersebut rusak atau keseimbanganmikroorganisme
terganggu,

maka

spora-spora

dan

fungi

dapat

dengan

mudah

mengakibatkaninfeksi. Terutama pada kulit yang lembab, misalnya tidak


dikeringkan dengan baik setelahmandi, karena keringat, dan menggunakan
sepatu tertutup.
Penularan terjadi oleh spora-spora yang dilepaskan penderita
mikosisbersamaan dengan serpihan kulit. Spora ini terdapat dimana-mana,
seperti di tanah, debu rumah dan juga di udara,di lingkungan yang panas
dan lembab, dan di tempat dimana banyak orang berjalan tanpa alaskaki,
infeksi dengan spora paling sering terjadi misalnya di kolam renang, spa,
ruang olahraga, kamar ganti pakaian, dan kamar mandi.
Setelah terjadi infeksi, spora tumbuh menjadi mycellium sengan
menggunakan

serpihankulit

sebagai

makanan.

Benang-benangnya

menyebar ke seluruh arah sehingga lokasi infeksi meluas. Enzim pada


fungi menembus ke bagian dalam kulit dan mengakibatkan suatu
reaksi peradangan. Peradangan tersebut terlihat seperti bercak-bercak
merah bundar dengan batas-batas tajam yang melepaskan serpihan kulit
dan menimbulkan rasa gatal-gatal.

2.16

Mekanisme Terjadinya Infeksi Virus20


Untuk menginfeksi, pertama-tama virus harus masuk ke dalam tubuh

penjamu dahulu, biasanya virus akan menempel lalu masuk ke salah satu
sel permukaan tubuh seperti kulit, saluran napas, saluran urogenital, atau
konjungtiva. Selanjutnya virus akan mulai bereplikasi, biasanya di port
dentree (tempat masuk atau menempelnya virus). Setelah bereplikasi,
virus kemudian menyebar. Sifat penyebaran dapat bersifat lokal maupun
menyebar ke tempat yang lebih jauh. Setelah menyebar, virus akan
menyebabkan kerusakan sel akibat adanya penghancuran sel yang
terinfeksi virus menyebabkan timbulnya gangguan fisiologis yang
berdampak pada munculnya penyakit klinis. Tahap selanjutnya adalah
pemulihan infeksi. Penjamu dapat meninggal atau sembuh dari infeksi
virus. Mekanisme pemulihan dari infeksi mencangkup respon imun alami
maupun adatif. Tahap akhir dari infeksi virus adalah pelepasan virus yang

infeksius ke lingkungan. Pelepasan virus menandakan bahwa individu


yang terinfeksi tersebut bersifat infeksius bagi individu lainnya. Biasanya
pelepasan terjadi melalui jalur masuknya virus ke dalam tubuh atau jalur di
mana virus tersebut berlokasi dalam tubuh penjamu menuju ke permukaan
luar tubuh penjamu.

2.17

Mekanisme Terjadinya Infeksi Bakteri21


Bakteri adalah prokariot yang tidak memiliki inti sel dan retikulum

endoplasma. Bakteri memiliki dinding sel yang terdiri atas dua membran
lapis-ganda fosfolipid yang dipisahkan oleh lapisan peptidoglikan
(organisme gram positif).
Orang sehat nomal dikolonisai oleh hampir 1012 bakteri di kulit,
1010 bakteri di mulut, 1014 dalam saluran cerna. Bakteri yang mengolonisasi
kulit mencakup Staphylococcus epidermidis, Corynebakterium spp., dan
Propionibacterium acnes (penyebab jerawat pada remaja). Bakteri aerob
dan anaerob, terutama Staphylococcus mutans, berperan membentuk
mikroba padat yang disebut bakteri yang disebut karang gigi (dental
plaque), penyebab utama karusakan gigi.
Mekanisme cidera akibat bakteri, kerusakan jaringan pejamu oleh
bakteri bergantung pada kemampuan bakteri melekat dan masuk ke sel
pejamu atau mengeluarkan toksis. Koordinasi antara perlekatan bakteri
dan pengeluaran toksin merupakan hal yang sangat penting bagi virulensi
bakteri sehingga gen yang mengkode protein perekat dan toksin sering
dikendalikan bersama oleh sinyal lingkungan spesifik.
Infeksi bakteri cukup sering dijumpai, yakni infeksi bakteri
Staphylococcus aureus grup A, C dan G dan infeksi Pseudomonas pada
daerah subkutan. Dapat ditemukan abses dan ulkus pada daerah anal akibat
diare yang tidak tekontrol dan menimbulkan iritasi serta terjadi infeksi
sekunder. Ditemukan selulitis pada jaringan lunak didaerah leher akibat
infeksi Hemophilus influenzaee dan S. aureus. Infeksi ini dapat juga

terjadi pada daerah jaringan lunak lainnya. Sering selulitis ini


membutuhkan insisi dan drainage.
Bila infeksi Sifilis terutama banyak dijumpai pada penderita
homoseksual. Biasanya pada pemeriksaan, dijumpai Tes Serologik untuk
Sifilis (TTS) positif dengan titer yang sangat tinggi. Untuk infeksi
Mikobakterium du jumpai lesi berbentuk ektima tanpa granuloma. Pada
pembiakan ditemukan mikobakteria. Sedangkan pada protozoa ditemukan
infeksi Achanthaamoeba castellani dengan kelainan berbentuk papul pada
daerah tungkai.

2.18

Mekanisme Terjadinya Infeksi Parasit22

Parasit dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu protozoa parasitik


dan cacing parasitik. Protozoa merupakan eukariot uniseluler yang
membentuk satu kesatuan kingdom. Cacing parasitik atau cacing yang
menyerang manusia, mencangkup dua filum, yaitu nematoda (cacing
gelang) dan plantihelmintes (cacing pipih).
Pada keadaan normal kulit memiliki daya tangkis yang baik
terhadap mikroorganisme, termasuk parasit, karena adanya lapisan lemak
pelindung dan terdapatnya flora bakteri yang memelihara suatu
keseimbangan biologis. Manifestasi parasit pada kulit terjadi oleh
beberapa faktor diantaranya lingkungan padat, higiene kurang, kurang gizi,
dan perilaku seksual yang suka berganti-ganti pasangan.Higiene
perorangan yang tidak adekuat memegang peranan penting dalam
infestasi parasit dikulit.
Sama halnya dengan bakteri dan virus, parasit menginfeksi dengan
cara masuk ke dalam tubuh. Akan tetapi fase infeksius dan lokasi infeksi
dari setiap species berbeda, begitu pula dengan jalur masuk dan
mekanisme infeksinya. Ada parasit yang menginfeksi melalui gigitan dan
masuk ke dalam darah, melalui makanan atau minuman yang terdapat kista
atau ookista, melalui kontaminasi feses, air atau tanah, dan lain
sebagainya. Setelah masuk, parasit akan berkembang biak dan dapat pula
menyebar.
BAB III
KESIMPULAN

Ibu 50 tahun tersebut mengalami alergi dan setelah 1 minggu kemudian


terjadi infeksi pada daerah lesi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, Jakarta:
EGC. 2004

2. Janik MP, Hefferman MP. Yeast infections: candidiasis, tinea (pityriasis


versicolor. Dalam: Wolff, Goldsmith L, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine.
Edisi ke-7. New York:McGraw Hill; 2008.
3. Djuanda, A.; A. Kosasih; Benny E. W.; E.C. Natahusada; Emmy S. D.;
Evita H. E.; et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed ke-5, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007.
4. Sudewi, N. P.; E. M. Dadi S.; Zakiudin M.; Arwin A. P. A. Berbagai
Teknik Pemeriksaan untuk Menegakan Diagnosis Penyakit Alergi, Sari
Pediatri: 2009. 11(3): 174-178.
5. Patrick Davey. Medicine et a glance. Jakarta: Erlangga.2005.
6. Cohen, Kenneth R., Frank, Jerry. Pruritus In Elderly, Clinical Approaches
to the Improvement of Quality of Life; 2012. Vol. 37 No. 4
7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; hal : 321- 323
8. Greaves MW. Recent advances in pathophysiology an current management
of itch. Ann Acad Mes Singapore. 2007; 36(9):788-926.
9. Burns T. Breathnach S. Cox N. Griffiths C. (editor). Rooks textbook of
dermatology:

volume

1,

eight

edition.

Oxford: Wiley-Blackwell

Publishers; 2010. p.931-485.


10. Graham Brown, Robin. Dermatologi Edisi 8. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2005. Hal. 183,185
11. Mordic, Jan. Itch (Pruritus) Diagnosis, Prevention & Treatment.
Tersedia:http://www.healthhype.com/itch-pruritus-diagnosis-preventiontreatment.html. Diunduh pada 29 Oktober 2014.
12. Brooks, Geo F. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg.
Ed.23. Jakarta : EGC. 2007.
13. Baratawidjaja GK. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi ke 7; 2006.
14. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15. Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi Tujuh. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

16. Mescher. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. Edisi 12. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. Hal. 200-206
17. Ikatan Dokter Indonesia. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010
18. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Todays
Clinical

Practice.

http://www.medscape.com/viewprogram/2361.html.

Diunduh 27 Oktober 2014.


19. Rani A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.
20. Jawetz, dkk. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Edisi
25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2013. Hal. 417-420.
21. Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000
22. Jawetz, dkk. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg,
Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2013. Hal. 695-698

Anda mungkin juga menyukai