Anda di halaman 1dari 2

Nabi Musa, Musyrik dan Mencium Kuburan

REP | 13 May 2013 | 01:16

Dibaca: 3962

Komentar: 90

20 menarik

Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu,
batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik.
Mintalah kepada Khaliq, Allah Swt.
Sepenggal kalimat bernada larangan di atas sering terdengar melalui speaker
pengajian-pengajian mingguan, yang diadakan di pelosok Indonesia, dari
tingkat RT hingga Kelurahan. Sangat pendek, namun sarat arti. Pesannyapun singkat, yaitu jangan berlaku syirik.
Namun, memaknai ke-syirikan tak semudah mengucapkannya. Secara
umum, masyarakat kita memaknainya dengan jika Tuhan telah diduakan
dari segala aspek, baik penciptaan hingga kekuasaannya. Tak sepenuhnya
salah, bahkan benar, walau memerlukan pendalaman.
Jika kita sering mendengar Nabi Musa a.s. beserta pasukkannya dikejar
Firaun hingga terdesak ke pinggir lautan, kemudian Allah memerintahkan,
Pukulkan tongkatmu ke air. Lantas laut itu terbelah, maka jangan langsung
diartikan bahwa yang dipegang oleh Musa itu tongkat sakti, sehingga Nabi
Musa juga Maha Dukun yang sakti pula.
Alasannya?, sebab, jika hari-hari berikutnya -misalnya- kita meminta Nabi
Musa a.s. untuk kembali membelah lautan dengan cara dan tongkat yang
sama, maka belum tentu lautan itu akan terbelah seperti ketika menghindari
kejaran Firaun. Walhasil, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa, tongkat
atau ajianya, tapi perintah atau perkenaan Allah Swt. (Emha Ainun Nadjib,
Demokrasi La Roiba Fihi).
Meyakini Musa, tongkat atau aji-aji yang menjadi sebab terbelahnya lautan,
maka inilah yang dipandang syirik. Menduakan Tuhan dalam segi
kekuasaannya. Boleh saja kita berkata, Musa, tongkat atau ajiannya
berperan, tapi sebatas perantara, dan bukan hakikatnya. Tapi juga jangan
dilupakan peran adanya perantara untuk sampai kepada hakikat.
Masalah syirik yang lebih pelik muncul takkala kita melihat serombongan
penziarah yang menciumi kuburan orang salih yang diziarahi. Mereka ini
kerap dituduh telah berlaku syirik. Padahal, mereka tak menyembah kuburan.
Mereka juga belum tentu mengagungkan kuasa kuburan melebihi Kuasa
Tuhan. Harus bagaimana kita memandangnya?.
Baiklah. Pernahkah anda membaca kisah dua pecinta abadi, Laila dan
Majnun? Cinta Majnun terhadap Laila sama sekali tak memudar meski
dipisahkan oleh orang tua Laila. Ketika Majnun tidak bisa lagi menjumpai Laila
secara fisik, maka di tengah keheningan malam Majnun mendatangi rumah
Laila. Ia usap tembok rumah Laila sebagai pengganti kerinduan akan fisik
Laila yang tak bisa dijumpainya kembali.
Saat seseorang mencium kuburan, maka bukan berarti orang itu telah
menganggungkan segunduk tanah atau menyembahnya, namun -mirip

dengan Majnun- ciuman itu sebagai pengganti kerinduan terhadap sosok


yang berada di dalam kubur.
Demikian pula dengan mencium kuburan Nabi Muhammad Saww, maka
bukan berarti anda telah berlaku musyrik di kubur Nabi, melainkan anda
mewakilkan kerinduan anda kepada sosok Nabi Saww melalui sebuah
ciuman.
Atau lebih mudahnya saya akan mengutip analogi Emha yang dengan sangat
cerdasnya meng-ibaratkannya dengan suami yang pergi tugas ke luar kota
yang sangat jauh. Suami tersebut membawa celana dalam istrinya. Ketika kita
melihatnya ia membawa dan menciumi celana dalam sang istri, jangan anda
langsung berperasangka buruk. Dengan mengatakan ia penyembah celana
dalam -misalnya. Atau celana dalam lovers. Bukan, tapi suami itu
menumpahkan kerinduannya terhadap sang istri dan komitmen kesetiaan
mereka melalui medium celana dalam.
Saat kita melihat seseorang yang berziarah, kemudian menciumi kuburan,
jangan langsung disalah artikan bahwa mereka itu kuburan mania atau ngefans sama kuburan. Tapi mereka mengukuhkan kecintaan mereka kepada
sosok mayat yang berada di dalam kuburan, dan bukan kepada kuburannya
itu sendiri.
Demikian pula dengan mencium Hajar Aswad. Maka jangan disalah artikan
bahwa umat Islam itu stone-mania atau Stone lovers, tapi mereka
mengukuhkan cinta kepada makluk yang dicintai oleh Allah, yakni Rasulallah
Muhammad Saww. Sebab, semasa hidup-Nya, Rassul juga mencium batu
tersebut.
Akhirnya, saya akan mengutip Cak Nun dalam karyanya Demokrasi La Roiba
Fihi, bahwa kita dianjurkan datang kepada dokter, minta obat, atau datang
kepada Kiai dengan membawa air putih, namun, ingat, jangan posisikan
mereka semua pada maqam Allah. Kita berlaku syirik atau tidak, bukan
terletak pada pil, dokter, tongkat, Musa, air, kiai, batu, atau kuburan, tapi
-menurut Emha- letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara
berpikirmu.

Anda mungkin juga menyukai