Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi
basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah
bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual
masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek
modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan
situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan
keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang
bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafii melalui proses kanonisasi dan
kodifikasi sunnah ke dalam hadits.
Pertentangan penafsiran terhadap materi sunnah pada tepian lain memunculkan istilah
bidah sebagai kebalikan konsep sunnah. Konsep sunnah dan bidah ini dipakai secara
berbeda oleh para ahli hadits, ahli usul, ahli fiqh dan ahli kalam. Jika ahli fiqh lebih
berorientasi kepada penilaian hukum, ahli hadits dan ahli usul memaknainya sebagai proses
keberagaman yang berorientasi pada Nabi Saw dan salaf al-Salih. Sementara ahli kalam
memaknainya salam artian Itikad yang didasarkan kepada Allah dan RasulNya dan tidak
kepada rasio semata. Makna ini dimunculkan pada abad 4 H oleh golongan Asyariyah dan
Maturidiyah yang dikenal dengan sebutan ahl al-Sunnah, sementara golongan yang berbeda
pandangan seperti Murjiah, Khawarij, Mutazilah dan Syiah mendapatkan sebutan Iahl albidah, ahl al-alwa dan ahl al zaig wa al-tadlil.

B. Rumusan Masalah
1. Konsep sunnah dan bidah ?
2. Pembagian sunnah dan bidah ?
3. Bidah pada masa Rasul dan sahabat ?
4. Kelompok anti bidah dan dalilnya ?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep sunnah dan bidah.
2. Mengetahui pembagian sunnah dan bidah.
3. Mengetahui bidah pada masa Rasul dan sahabat.
4. Mengetahui kelompok anti bidah dan dalilnya.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
A Konsep Sunnah dan Bidah
Diskursus tentang sunnah dan bidah oleh Kyai Hasyim dipersandingkan dengan
sunnah secara berlawanan. Term bidah dipakai oleh Kyai Hasyim untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesesuaian dengan
parameter Ahl al-sunnah dalam konsepsinya. Mereka ini, oleh Kyai Hasyim disebut
Ahl al-Bidah. Selain itu, uraian tentang bidah dikaitkan dengan perbedaan
pandangan antara kalangan pesantren dan pembaru mengenai sejauhmana sebuah
ekspresi keagamaan atau pranata-pranata baru dalam agama bisa disebut bidah.
Dalam Risalah Ahl al-sunnah wa al-jamaah dan karya-karyanya yang lain, Kyai
Hasyim banyak memberikan penjelasan secara detail tentang bidah dan berbagai
manifestasinya di tengah-tengah masyarakat. Terutama setelah diskursus bidah yang
mengemuka banyak dipersinggungkan dengan praktek-prakter keberagamaan muslim
tradisional di Jawa, seperti peringatan hari kelahiran Nabi (maulid nabi), slametan
(sedekah untuk mayit), ziarah ke makam leluhur dan para wali, dan sebagainya.
Menurut Kyai Hasyim, bidah dapat diartikan mendatangkan atau menciptakan
suatu perkara baru di dalam agama, dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran
agama, padahal perkara tersebut sebenernya tidak menjadi bagian dari ajaran agama.
berbeda dengan sementara kalangan yang menganggap bahwa, seluruh perkara baru
(muhdathah) adalah bidah dan sekaligus sesat tanpa terkecuali, bagi Kyai Hasyim
tidak semua muhdathah berstatus bidah. Dalam bahasa berbeda dapat dinyatakan,
tidak semua muhdathah adalah bidah, karena meskipun tidak terdapat dalil yang
jelas (sarih), namun bisa jadi, tetap bersandar pada shariat. Sandaran dimaksud
dapat digali dengan menggunakan berbagai pendekatan metodelogis yang ada,
misalnya, melalui mekanisme penganalogian (qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan
terhadap teks-teks otoritatif (Hadith) tetang bidah harus menggunakan pendekatan
yang lebih menyeluruh (holistik) atau hanya tekstual semata.
Setiap perkara yang baru datang harus ditelusuri secara meneyeluruh, sebelum
diputuskan status hokum kebidahannya. Jika sebuah perkara yang baru datang
3

(muhdathah) memiliki sandaran shariat, baik secara langsung maupun setelah


ditelisik melalui berbagai pendekatan kontekstual, maka hal itu tidak berstatus
bidah. Sebaiknya, muhdathah baru disebut sebagai bidah, ketika ia tidak memiliki
persinggungan dengan shariat sedikitpun. Selain itu, pengambilan tentang bidah
juga harus menyertakan kajian terhadap berbagai pendapat yang ada secara
komprehensif. Ketika, misalnya, terdapat dua pendapat atau lebih dalam satu perkara
yang baru datang (muhdathah), tidak dengan serta merta mengambil pendapat yang
membidahkan muhdathah tersebut. Sebaliknya, berbagai pendapat harus diuji atau
ditarjih lebih dulu, dan pendapat yang paling unggul (al-quran al mutamad)
akhirnya dipakai sebagai rujukan memutuskan status muhdathah tersebut.
Untuk menentukan status bidah pada suatu muhdathah, dibutuhkan terlebih
dahulu analisa teks al-Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mustalah Hadith yang telah
dibakukan oleh generasi pendahulu (salafuna al-salih), termasuk para mujtahid.
Pendapat tentang status bidah baru akan di terima, setelah melalui analisis
mendalam terhadap teks Hadith yang dijadikan sebagai rujukan. Selian itu, apakah
muhdathah tersebut pernah dipraktekkan oleh generasi salaf atau tidak harusnya
ditetapkan secara proporsional. Muhdathah yang belum pernah dilakukan oleh
generasi salat, selama tidak ada pelarangan dan memiliki argument shariat, tidak
termasuk bidah. Ini berarti muhdathah yang tidak pernah dilakukan oleh generasi
terdahulu tidak seluruhnya adalah bidah. Karena bisa jadi, ada kodisi-kondisi
historis tertentu yang memungkinkan muhdathah belum pernah dilakukan.
Penentuan status bidah pada muhdathah tertentu harus dirinci berdasarkan
klasifikasi status hokum yang berlaku dalam shariat Islam. Status muhdathah sangat
terkait dengan enam status hokum yang selama ini berlaku, yakni wajib, sunnah,
haram, makruh, khilaf awla, dan mubah. Selama terdapat argumentasi dan dalil yang
dapat dijadikan sebagai ilhaq terhadap penentuan status muhdathah, maka tidak
berstatus bidah. Sebaliknya, jika dengan menggunakan metode ilhaq dan tidak
ditemukan argument maupun dalilnya, maka status muhdathah adalah bidah secara
otomatis.
Dengan penggunaan metode ilhaqi ini, maka bisa jadi muhdathah emiliki status
bidah yang bermacam. Terdapat muhdathah yang memiliki status bidah wajibah,
4

mandumah, namun juga terdapat status diharamkan (mahrumah) dan tersesat.


Dengan mengutip al-Shabshiri dalam Sharkh Arba in Nahwawi, Kyai Hasyim
menegaskan, terhadap Hadist Nabi yang mengatakan:

(Barang siapa menciptakan suatu perkara yang baru datang dalam agama atau
melindungi orang yang menciptakan perkara yang baru tersebut, maka baginya
laknat Allah).
Maka termasuk dalam kandungan Hadith tersebut adalah transaksi-transaksi
yang rusak,hukum-hukum yang penuh kebohongan dan penyelewengan, dan contohcontoh lainnya yang tidak bersesuaian dengan hokum shariat. Dikecualikan dari
masalah-masalah di atas, adalah muhdathah yang tidak memiliki dalil shara seperti
masalah-masalah ijtihadiyah yang diantara masalah-masalah dan dalil-dalil
penguatnya tidak memiliki persinggungan langsung, kecuali berdasarkan atas
persangkaan (judgement) mujtahid. Seperti menulis teks al-Quran, membersihkan
madhhab-madhhab (dari penyelewengan), menulis kitab-kitab gramatika Bahasa
Arab dan Matematika. Atas dasar paparan di atas, ibn Abd al-Salam membagi
hukum perkara-perkara yang baru datang (al-hawadith) ke dalam lima status
hokum. Lalu dia mengatakan: Bidah adalah perbuatan yang tidak diketahui pada
zaman Nabi SAW, adalah wajib hukumnya seperti belajar gramatika Bahasa Arab,
kosa kata-kosa kata yang asing (gharib) dalam al-Quran dan al-Sunnah
berdasarkan ketentuan shariat yang ada. (Bidah) yang disunnahkan, seperti
membangun pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga madrasah, dan berbagai
kebajikan lainnya yang belum pernah dilakukan pada zaman Muhammad. (Bidah)
yang dimakruhkan seperti diperbolehkan seperti bersalaman setelah shalat Asar dan
Subuh, membuat aneka ragam minuman, makanan, pakaian dan sebagainya.
Jika engkau mengetahui apa yang telah dipaparkan di atas, jika dikatakan:
Bidah seperti membuat tasbih, mengucapkan niat dengan suara kerasa, tahlil

beserta sedekah kepada mayit ketika memiliki kesempatan melakukannya, ziarah


kubuh, dan sebagainya. Seluruhnya (pada dasarnya) bukanlah bidah.
Lebih lanjut, Kyai Hasyim membagi membagi bentuk-bentuk bidah menjadi tiga:
pertama, bidah sarihah, yaitu suatu perkara yang dianggap merupakan bagian dari
agama, padahal tidak memiliki landasan dalil shari dan juga tidak memiliki
kesesuaian atau tidak bisa disepadankan dengan suatu maslah yang telah memiliki
ketetapan hokum shara apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bidah
jenis ini berpontensi membunuh eksistensi sunnah dan membatalkan perkara yang
haq. Bidah ini merupakan seburuk-buruknya bidah, meskipun daripadanya
dikemukakan sejumlah alas an pada kerangka usul maupun furu tetaplah tidak dapat
mempengaruhi ke-sarih-an bidah-nya; kedua, bidah izafiyah, yaitu suatu perkara
yang disandarkan pada suatu masalah --yang telah memiliki ketetapan hokum
tertentu--, sehingga apabila masalah itu diterima sebagai sandaran perkara bidah
tersebut, maka akan menepis kontroversi mengenai status hukumnya, apakah sebagia
sunnah atupun bidah, dan ; ketiga, bidah khilafiyah, yaitu bidah yang dilandasi
oleh dua dalil yang saling bertentangan, di satu sisi bisa dinyatakan sebagai sunnah
berdasarkan pada dalil tertentu, dan dinyatakan sebagi bidah jika menggunakan dalil
yang berbeda. Contoh bidah jenis ini adalah membuat kepengurusan jamiyah atau
majlis dzikir dan doa bersama.
Narasi Kyai Hasyim tentang bidah di atas, secara umum berhasil mementahkan
judgement kalangan modernis bahwa semua bidah adalah sesat (kullu bidah
dalalah), sekaligus mengukuhkan fungsi shariat menjawab tuntutan Islam sebagai
hidayah dan rahmat bagi umat manusia. Berbagai pranata sosial yang diungkapkan
oleh Kyai Hasyim sebagai contoh Muhdathat dalam kutipan di atas, merupakan
bentuk bidah yang tak terhindarkan dalam wilayah kebudayaan yang bersifat sangat
dinamis. Oleh karena itu, tidak mungkin menyatakan bahwa semua kebaikan yang
menyertai perkembangan kebudayaan manusia itu disebut bidah yang sesat.
B Pembagian Sunnah dan Bidah
Pembagian Sunnah
Sunnah dalam pandangan ulama terbagi dalam empat bagian, yaitu :
6

1. Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah merupakan perkataan atau sabda Rasulullah SAW yang
didalamnya menerengkan hukum-hukum agama dan maksud Al-Quran yang berisi
peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Sunnah qauliyah ini juga
dinamakan khabar, hadits, atau sunnah. Sunnah qauliyah pun terbagi menjadi tiga
tingkatan ;
a) Sunah qauliyah yang jelas dan pasti kebenarannya dari Allah melalui Rasul dan
diriwayatkan secara mutawatir.
b) Sunah qauliyah yang diragukan kebenarannya atau kesalahannya, karena tidak
bisa membedakan mana yang kuat, benar atau salah, orang yang meriwayatkan
diragukan kejujuran dan keadilannya, dst.
c) Sunah qauliyah yang dianggap tidak benar sama sekali, seperti tidak masuk
akal, khabar yang menyalahi atau bertentangan dengan khabar mutawatir, dst.
2. Sunnah filiyah
Sunnah filiyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan tuntunan rabbani untuk
ditiru dan diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para sahabat. Seperti :

Artinya : Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melaksanakan
shalat ( HR Bukhari dan Muslim ).

Artinya : Ambillah daripadaku cara cara mengerjakan haji ( HR Muslim ).
3. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi dengan tidak mengingkari sesuatu
yang diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan mengikuti syara ) ketika
dihadapan nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu nabi sendiri tidak
menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan bahwa beliau
meridhainya. Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama
dengan perkataan dan perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah
(ketetapan hukum), seperti ketika sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah,
Nabi bersabda :

7

Artinya : Janganlah melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani


Quraidhah. Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada
sahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani Quraidhah,
sebagian lagi memahami hadits tersebut mengharuskan segera shalat ashar, agar
setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.
4. Sunnah hammiyah
Sunnah hammiyah adala sesuatu yang dikehendaki Nabi lalu disampaikan kepada
para sahabat sehingga sahabat itu mengetahui, tetapi beliau belum sempat
melaksanakan. Menurut Imam As-Syaukany, sunnah hammiyah tidak masuk
kategori karena hanya merupakan goresan hati dan lintasan hati yang tidak pernah
diperintahkan dan dilaksanakan Rasulullah SAW. Berbeda halnya dengan imam
Syafii

mengatakan bahwa sunah hammiyah termasuk, walaupun masih dalam lintasan


hati, namun seandainya ada pada waktu pasti nabi akan melaksanakannya
sehingga menjadi sunah bagi kita. Seperti nabi menghendaki puasa pada tanggal
9 Muharram dengan sabdanya : Insya Allah tahun depan saya akan memuasai
hari yang kesembilannya. (HR Muslim dan Abu Dawud). Cita-cita Nabi tersebut
tidak sempat dikerjakan sebab sebelumnya sampai tanggal tersebut Nabi wafat.
Pembagian Bidah
Secara garis besar, para ulama membagi bidah menjadi dua ; yaitu bidah
hasanah (bidah yang baik) dan bidah madzmumah (bidah yang tercela). Dalam hal
ini, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-SyafiI mujtahid besar dan
pendiri madzhab SyafiI yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jamaah di
dunia Islam-, berkata:

Bidah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
al-Quran atau sunnah atau Ijma, dan itu disebut bidah dhalalah (tersesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah
dan Ijma dan itu disebut bidah yang tidak tercela. (Al-Baihaqi, Manaqib alSyafiI, 1/469).
AlImam

al-

Nawawi
juga
membagi
bidah
pada

dua

bagian.
Ketika membicarakan masalah bidah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa alLughat (3/22), beliau mengatakan :

Bidah terbagi menjadi dua, bidah hasanah (baik) dan bidah qabihah (buruk).
(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat 3/22).
Bahkan dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibin, al-Imam alNawawi membagi bidah tidak hanya menjadi dua bagian. Bahkan membagi bidah
secara lebih rinci, yaitu menjadi lima hokum sesuai dengan alur yang diikuti oleh
mayoritas ulama. Pembagian bidah menjadi dua, dan bahkan menjadi lima, juga
dilakukan oleh al-Hafizh Bin Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, beliau berkata:

Secara
bahasa,
bidah
adalah
sesuatu
yang
dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara, bidah diucapkan
sebagai lawan sunnah, sehingga bidah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabilah
bidah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara, maka
disebut bidah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk
menurut syara, maka disebut bidah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam
naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bidah itu dapat
dibagi menjadi lima hokum. (Fath al-Bari, 4/253).
Pembagian bidah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin
Ismail al-Amir al-Shanani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum
Wahabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau
mengatakan :

Bidah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksud bidah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
10

didahului
pengakuan
syara melalui
al-Quran
dan Sunnah.
Ulama telah
membagi
bidah
menjadi lima
bagian:

1)

bidah

membukukannya

dan

wajib

seperti

menolak

memelihara

ilmu-ilmu

terhadap kelompok-kelompok

agama

dengan

sesat

dengan

menegakkan dalil-dalil, 2) bidah mandubah seperti membangun madrasahmadrasah, 3) bidah mubabah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam
dan baju yang indah, 4) bidah muharramah dan 5) bidah makruhah, dan keduanya
sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadist semua bidah itu sesat, adalah katakata umum yang dibatasi jangkauannya. (Al-Imam al-Amir al-Shanani, Subul alSalam, 2/48).
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi
kaum Wahabi, juga membagi bidah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian.
Dalam kitabnya Nail al-Authar (3/25)-yang telah diterbitkan dalam bahasa edisi
Indonesia oleh kaum Wahabi-, al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari tentang pembagian bidah tanpa memberinya komentar.

11

Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari, Asal mula bidah adalah suatu
yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara, bidah
diucapkian sebagai kebalikan sunnah, sehingga bidah itu tercela. Sebenarnya,
apbila bidah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara,
maka disebut bidah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap
buruk menurut syara, maka disebut bidah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk
dalam keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bidah itu dapat dibagi
menjadi lima hokum. (al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, juz
3 hal. 25).
Lebih dari itu, pembagian bidah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi (Wahabi). Dalam hal
ini, Syaikh Ibn Taimiyah berkata:

12

Dari

sini

dapat
diketahui
kesesatan
orang

yang

membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak
akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa
Rasulullah tidak akan pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash
adalah bidah yang berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan
pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bidah.
Al-Imam al-SyafiI berkata, Bidah itu ada dua. Pertama bidah menyalahi alQuran, Sunnah, Ijma dan astar sebaian sahabat Rasulullah. Ini disebut bidah
dhalalah. Kedua, bidah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut
bidah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, Inilah sebaik-baik bidah.
Pernyataan al-Syafii ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal
dengan sanad yang shahih. (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu al-Fatawa, juz 20, hal.
163).
Dari uarian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap
kurun waktu mulai dari al-Imam al-SyafiI, al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar
dan Syaikh Ibn Taimiyah telah membagi bidah menjadi dua, yaitu bidah hasanah
dan bidah madzmunah. Bahkan lebih rinci, bidah dibagi menjadi lima bagian sesuai
dengan komposisi hokum syara yang ada. Pembagian tersebut juga diikuti oleh dua
ulama Syiah Zaidiyah yang menjadi rujukan kaum Wahabi, yaitu al-Imam alShanani dan al-Imam al-Syaukuni dalam kedua kitab beliau, yaitu kitab Subul alSalam Syah Bulugh al-Maram dan kitab Nail al-Authar min Asrar Muntaqa alAkhbar.
13

C Bidah
Masa

Pada
Rasul

dan Sahabat
Bidah
hasanah Pada
Masa Rasulullah Saw
1. Hadist Sayidina Muadz bin Jabal

Abdurrahman bin Abi Laila berkata: pada masa Rasulullah, bila seseorang
dating terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orangorang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat
yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk kedalam shalat berjamaah
bersama mereka. Pada suatu hari Muadz bin Jabal datang terlambat, lalu
orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah
dilaksanakan, akan tetapi Muadz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan
tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah selesai shalat,
maka Muadz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah
Rasulullah selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Muadz bin Jabal yang
berbedah dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab: Muadz bin jabal,
beliau bersabda; Muadz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.
Dalam riwayat Muadz bin jabal, beliau bersabda; Muadz telah memulai cara
14

yang

baik

buat

shalat

kalian.
Begitulah
shalat yang
harus kalian
kerjakan. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syabibah dan lainlain. Hadist ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-Id dan al-hafizh Ibn
Hazm al-Andalausi).
Hadist ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntutan syara. Dalam hadist ini, Nabi
tidak menegur Muadz dan tidak pula berkata, Mengapa kamu membuat cara baru
dalam

shalat

sebelum
bertanya
kepadaku?
Bahkan

beliau

membenarkannya, karena perbuatannya Muadz sesuai dengan kaidah berjamaah,


yaitu makmum harus mengikuti imam.
2. Hadist Sayidina Bilal

15

Abu hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada bilal ketika shalat
fajar. Hai bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam
islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu disurga? Ia
menjawab: Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum
pernah berwudhu, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkan dengan
shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya. Dalam riwayat lain,
beliau berkata kepada bilal:Dengan apa kamu mendahuluiku ke surge? Ia
menjawa: Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua rakaat
setelahnya. Dan aku belum pernah hadast, kecuali aku berwudhu setelahnya dan
harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah. Nabi berkata:
Dengan
dua kebaikan
itu,

kamu

meraih
derajat itu. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (3/34), hadist ini memberikan
faidah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena bilal
memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi membenarkannya.
Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai
berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi bilal melakukannya atas ijtihadnya
sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi. Ternyata Nabi
membenarkannya, bahkan memberikannya kabar gembira tentang derajatnya disurga,
sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunat bagi seluruh umat.

16

3. Hadist Ibn Abbas

Sayyidina Ibn Abbas r.a berkata: Aku mendatangi Rasulullah pada akhir
malam, lalu aku shalat di belakangnya. Teryata beliau mengambil tanganku dan
menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah Saw memulai shalatnya, aku
mundur ke belakang. Lalu Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya. Setelah aku
mau pulang, beliau berkata; Ada apa. Aku tempatkan kamu lurus di sebelahku,
tetapi kamu malah mundur? Aku menjawab: Ya Rasulullah, tidak selayaknya
bagi seorang shalat lurus di sebelahmu sedang engau Rasulullah yang telah
menerima karunia dari Allah. Ibn Abbas berkata: Teryata beliau senang dengan
jawabanku,
lalu

mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku terhadap


agama.
Hadits shahih. (HR. al-Imam Ahmad).

17

Hadits ini membolehkan berjihat membuat perkara baru dalam agama apabila
sesuai dengan syara. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal
sebelumnya Rasulullah Saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau Saw,
teryata
Saw

beliau
tidak

menegurnya,
bahkan merasa
senang

dan

memberinya
hadiah doa. Dan
seperti

inilah

yang dimaksud
dengan

bidah

hasanah.
4. Hadits Ali bin Abi Thalib r.a

Sayidina Ali r.a berkata: Abu Bakar bila membaca al-Quran dengan suara
lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca alQuran, mencampur surah ini dengan surah ini dengan surah itu. Kemudianhal
itu dilaporkan pada Nabi Saw. Sehingga beliau Saw bertanya kepada Abu Bakar:
18

Mengapa kamu membaca dengan suara lirih? Ia menjawab: Allah dapat


mendengar suaraku walaupun lirih. Lalubertanya kepada Umar. Mengapa
kamu membaca dengan suara keras?Umar menjawab: Aku mengusir setan dan
menghilangkan kantuk. Lalu beliau bertanya kepada Ammar: Mengapa kamu
mencampur surah ini dengan surah itu?Ammar menjawab: Apakah engkau
pernah

mendengarku

mencampurnya

dengan

sesutau

yang

bukan

al-

Quran?Beliau menjawab: Tidak.Lalu beliau bersabda: Semuanya baik.


(HR. Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bidah hasanah dalam agama. Ketiga
sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihatnya masingmasing, sehingga sebagian sahabatnya melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang
berbeda-beda itu, dan teryata Rasulullah Saw membenarkan dan menilai semuanya
baik serta tidak
ada yang buruk.
Dari sini dapat
disimpulkan,
bahwa

tidak

selamanya
sesuatu

yang

belum diajarkan
oleh Rasulullah
Saw pasti buruk
atau keliru.
5. Hadits
Amr
al-Ash r.a

19

bin

Amr bin al-Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Salasil berkata:
Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau manid, tapi takut
sakit. Akhirnya aku betayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama
sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah Saw, mereka
melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya: Hai Amr,
mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu
junub?Aku menjawab: Aku teringat firman Allah: Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Peyanyang kepadamu.
(Qs. Al-NISA: 29). Maka aku bertayamum dan shalat. Lalu Rasulullah Saw
tersenyum dan tidak berkata apa-apa (HR. Abu Dawud, Ahmad dan alDaraquthni. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Dzahabi dan lain-lain).
Hadits ini menjadi dalil bidah hasanah.Amr bin al-Ash melakukan tayamum
karena

kedinginan

berdasarkan

ijtihadnya.

Kemudian

setelah

Nabi

Saw

mengetahuinya,
beliau

tidak

menegurnya
bahkan

membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak dianjurkan oleh
20

Nabi Saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi bidah hasanah apabila sesuai
dengan tuntunan syara seperti dalam hadits ini.
6. Hadits Umar bin al-Khaththab r.a

Umar r.a berkata: Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah
didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: Allahu akbar kabiran
walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.Setelah Nabi Saw
selesai
shalat,
beliau
bertanya:
Siapa yang

mengucapkan kalimat tadi?Laki-laki itu menjawab: Saya, ya Rasulullah. Demi


Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu, Beliau bersabda:
Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu.
Ibn Umar berkata: Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.
(HR. Muslim).

21

7. Hadits Rifaah bin Rafi r.a

Rifaah bin Rafi r.a berkata: Suatu ketika kami shalat bersama Nabi r.a. ketika
beliau bangun dari ruku, beliau berkata: samiallahu liman hamidah. Lalu
seorang laki-laki di belakangnya berkata: rabbana walakalhamdu hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fih. Setelah selesai shalat, beliau bertanya:
Siapa yang membaca kalimat tadi? Laki-laki itu menjawab: Saya,Beliau
bersabda: Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya.
(HR. al-Bukhari).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya
dari Nabi Saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam Itidal.
Teryata Nabi Saw membenarkan perbuatan mereka, bahkan member kabar gembira
tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara,
dimana dalam itidal dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu alImam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267),
bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama
dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang matsur (datang dari Nabi Saw), dan
bolehnya
mengeraskan
suara

dalam

bacaan

dzikir

selama

tidak

mengganggu
orang lain.

Bidah hasanah setelah Rasulullah Saw Wafat


1. Penghimpunan al-Quran dalam Mushhaf

22

Sayidina Umar r.a mendatangi Khalifah Abu Bakar r.a dan berkata: Wahai
Khalifah Rasulullah Saw, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah
telah mengorbanan para penghafal al-Quran, dan bagaimana kalau anda
mengihimpun

al-Quran

dalam

satu

Mushhaf?

Khalifah

menjawab:

Bagaimana kita akan melakukan sesuatau yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw? Umar berkata: Demi Allah, ini baik. Umar terus
meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu bakar menerima usulan Umar.
Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit r.a, dan menyampaikan tentang
rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: Bagaimana kalian akan melakukan
sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw? Keduanya
menjawab: Demi Allah, ini baik. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga
akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagimana telah melapangkan dada Abu
Bakar dan Umar dalam rencana ini, (HR. al-Bukhari).
Umar mengusulkan penghimpunan al-Quran dalam satu Mushhaf. Abu Bakar
mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tetapi
Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walupun belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian, tindakan beliau ini tegolong
bidah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-Quran dalam satu mushhaf
23

hukumnya
wajib, meskipun
termasuk
bidah, agar alQuran

tetap

terpelihara.
Oleh karena itu,
penghimpunan
al-Quran

ini

tergolong
bidah hasanah
yang wajibah.
2. Shalat
Tarawih

Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: Suatu malam di bulan Ramadhan aku
pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Teryata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga
yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu umar r.a berkata: Aku
24

berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih
baik. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Kaab. Malam
berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu,
Umar berkata: Sebaik-baik bidah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir
malam, lebih baik daripada di awal malam.Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam. (HR. al-Bukhari).
Rasulullah Saw tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah.
Beliau

hanya

melakukanya
beberapa malam,
kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam.
Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukanya.demikian pula pada masa
Khalifah Abu Bakar r.a kemudian Umar r.a mengumpulkan mereka untuk melakukan
shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukanya.
Apa yang beliau lakukan ini tergolong bidah. Tetapi bidah hasanah, karena itu
beliau
mengatakan:
Sebaik-baik
bidah
ini.

adalah
Pada

hakekatnya, apa
yang

beliau

lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah Saw telah bersabda:

Rasulullah Sawbersabda: Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah


Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk.
25

3. Adzan Jumat

Al-Saib bin Yazid r.a berkata: Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan
Umar adzan Jumat pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar.
Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau
menambah adzan ketiga di atas Zaura, yaitu nama tempat di pasar Madinah.
(HR. al-Bukhari).
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adzan Jumat dikumandangkan
apabila imam telah duduk diatas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin
luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui
dekatnya waktu Jumat sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambahkan
adzan pertama, yang dilakukan di Zaura, tempat di Pasar Madinah, agar mereka
segera berkumpul untuk menunaikan shalat jumat, sebelum imam hadir diatas
mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau
lakukan ini termasuk bidah, tetapi bidah hasanah dan dilakukan hingga sekarang
oleh kaum Muslimain. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Ustman
termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadist
sebelumnya.

26

4. Shalat
Sunnah
Sebelum
Shalat

Id

dan
Sesudahnya

Al-Walid bin Sari berkata: Pada suatu hari raya, kami keluar bersama, Amirul
Muminin Ali bin Abi Tholib ra. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau
menanyakan tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat id an sesudahnya.
Tertapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang
menayakan hal yang sama pada beliau. Dan beliaupun tidak menjawabnya.
Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir 7
kali, dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khotbah. Setelah turun dari
mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: Hai Amirul
27

Muminin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat id! Beliau


menjawab: Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya padaku tentang
sunnah, sesungguhnya Nabi Saw belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan,lakukanlah, dan
siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang
yang mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba
ketika dia mengerjakan shalat. (HR. al-Imam al-Bazzar dalam al-Musnad.
(Lihat: al-Hafizh al-Haitsami, Majma al-Zawaid (2/438).
Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat id dan
sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Muminin
Ali

bin

Abi

Thalib r.a, dan


teryata

beliau

membiarkan
dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bidah
hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah
satu Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan
oleh Rasulullah Saw belum tetntu salah dan tercela.
5. Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh
Rasulullah Saw ketika menunaikan ibadah haji adalah:

Tetapi Abdullah bin Umar r.a sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan
kalimat:

28

Hadits

tentang

doa

talbiyah Nabi Saw dan


tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan oleh Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu
Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar r.a juga melakukan
tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184).
Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar
menambah bacaan talbiyah dari Nabi Saw dengan kalimat:

Dalam

riwayat

Abu Dawud (1813)

dengan sanad yang shahih, Ahmad (3/320) dan Ibn Khuzaimah (2626), sebagai
sahabatmenambah bacaan talbiyah-nya dengan kalimat:

Al-

Imam al-Hafizh Ibn Hajar

al-Asqalani dalam al-Mathalib al-Aliyah meriwayatkan bahwa, Sayidina Anas bin


Malik r.a dalam talbiyah-nya menambah kalimat:

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang
beragam dari para sahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam
tasyahhud, talbiyah dan lain-lainya terhadap dzikir yang matsur (datang dari Nabi
Saw). Karena Nabi Saw sendiri telah mendengar tamabahan para sahabat dalam
talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan
tambahan pula, seperti Umar Ibn Umar, Abdullah bin Masud, Hasan bin Ali, Anas
dan lain-lain r.a. Kebolehan menambahkan dzikir baru terhadap dzikir yang matsur
ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma (konsensus) ulama.
6. Redaksi Shalawat Nabi Saw
29

Syaikh
Qayyim

Ibn
al-

Jauziyah,

murid

terdekat

Syaikh

Ibn Taimiyah dan


salah satu ualama
otoritatif di kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi
Saw yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala al-Afham
fi al-Shalat wa al-Salam ala Khair al-Anam Saw. Antara lain shalawat yang disusun
oleh Abdullah bin Masud r.a berikut ini:

Syaikh Ibn Qayyim alJauziyah juga meriwayatkan redaksi shalawat Sayidina Abdullah bin Abbas r.a,
berikut ini:

Syaikh Ibn al-Qayyim juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam
Alqamah al-NakhaI r.a, seorang tabiin, sebagai berikut:

30

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh alImam al-Syafii r.a sebagai berikut:

Demikian
beberapa
redaksi
shalawat Nabi Saw yang disusunoleh para sahabat dan ulama salaf yang
diriwayatkan olek Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya jala al-Afham fi al-Shalat
wa al-Salam ala Khair al-Anam Saw. Hal tersebut yang menjadi inspirasi bagi para
ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga lahirlah shalawat
Nariyah, Thibbul Qulub, al-Fatih, al-Munjiyat dan lain-lain.
D. Kelompok Anti Bidah dan Dalilnya
Sebelum pemaparan dalil-dalil bidah hasanah, perlu disebutkan disini hadist
yang dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya bidah hasanah. Hadist
tersebut berbunyi :

Jabir bin Abdullah berkata, Rasuluallah bersabda : Sebaik-baik ucapan


adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelekjelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bidah itu kesesatan. (HR.
Muslim).
Menurut kelompok ini, hadist di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua
bidah itu adalah kesesatan. Ddalam hal ini, seorang ulama Wahabi kontemporer
bernama Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, berkata dalam kitabnya al-

31

Ibda fi kamal al-SyarI wa Khathar al-Ibtida (kreasi tentang kesempurnaan syara


dan bahanya bidah) :

Hadist semua bidah adalah sesat, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa
terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan
umum yang paling kuat yaitu kata-kata kull (seluruh). Apakah setelah
ketepatan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bidah menjadi tiga bagian,
atau menjadi lima bagian? Selamanya, (pembagian) ini tidak akan pernah.
(Muhammad bin Shalih alUtsaimin, al-Ibda fi Kamal al-SyarI wa Khathar al-

Ibtida, hal. 13)


Pernyataan di atas memberikan pengertian bahwa hadist semua bidah adalah
sesat, bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bidah, tanpa
terkecuali, sehingga tidak ada satu pun bidah yang boleh disebut bidah hasanah,
apalagi disebut bidah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya.
Penolakan pembagian bidah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadist
diatas, masih perlu dipertimbangkan. Kerena tidak semua kosa kata kullu dalam
al-Quran dan hadist, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan
pembatasan. Dalam hal ini, Syaikh al-Utsaimin sendiri misalnya berkata :

32

Redaksi
seperti
kullu
syayin
(segala
sesuatu)
adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan kepada makna yang
terbatas, seperti firman Allah tentang Ratu Saba :Ia dikarunia segela sesuatu.
(QS. Al-Naml: 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam
kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman.
Dalam pernyataan diatas, Syaikh al-Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata
kullu dalam teks al-Quran dan hadist bermakna general (am), tetapi ada yang
bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak
persoalan baru yang harus diakui, Syaikh al-Utsaimin juga terjebak dalam
pembagian bidah menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini, Syaikh al-Utsaimin
berkata:

33

Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi,
bidah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan
keharamannya. Tetapi hokum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama
adalah dilarang. Jadi, berbuat bidah dalam urusan-urusan agama adalah haram
dan bidah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan
keberlakuannya. (Al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 639-640).
Pernyataan al-Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bidah
secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Dengan klasifikasi
bidah menjadi dua (versi al-Utsaimin), yaitu bidah dalam hal agama, dan memberi
bukti bahwa al-Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (tidak ada
pembagian dalam bidah). Dalam bagian lain, al-Utsaimin juga menyatakan :

Di antara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum
tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga

disyariatkan.

Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan


perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan
madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun
bidah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dalam bentuk seperti ini,
namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara
mengikuti hokum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah
untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya di hukumi
haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syariat, maka

34

membangunnya disyariatkan. (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, alIbda fi Kamal al-SyarI wa Khathar al-Ibtida, hal. 18-19).
Dalam pernyataan ini, al-Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil
sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan bahwa semua bidah secara keseluruan,
tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya dineraka, dan tidak akan pernah
benar membagi bidah menjadi tiga apalagi lima.
Dengan demikian, para ulama ahli hadist dan ahli fikih berpandangan bawha
hadist semua bidah itu sesat, adalah kata-kata general (am) yang maknanya
terbatas (khash). Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-nawawi menyatakan:

Sabda
Nabi Saw
semua
bidah
adalah
sesat, ini
adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud semua bidah itu sesat,
adalah sebagian besar bidah itu sesat (bukan seluruhnya). (al-Imam alNawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadist semua itu sesat, adalah redaksi general yang maknanya
terbatas, makna para ulama membagi bidah menjadi dua, bidah hasanah (baik) dan
bidah sayyiah (buruk). Lebih rinci lagi, bidah itu terbagi menjadi lima bagian
sesuai komposisi hukum islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Tidak semua bidah itu sesat dan tercela.
Dalil-dalil berikut ini akan dibagi menjadi dua; dalil-dalil bidah hasanah pada
masa Rasulullah, dan dalil-dalil bidah hasanah sesuai Nabi wafat.

35

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi
basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah
bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual
masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek
modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan
situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan
keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang
bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafii melalui proses kanonisasi da
kodifikasi sunnah ke dalam hadits.
Bidah adalah mengerjakan suatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah (Qawaid al-Ahkam fi Mashalil al-Anam,2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam MUhyiddin Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafii. Beliau berkata :
Bidah adalah mengerjakan suatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah
(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asmawa al-Lughar,3/22).
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, para perawat mampu mengetahui konsep keluarga sejahtera
dengan baik dan mampu mengaplikasikannya dengan lancar.

36

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Navis dkk. 2012.Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.Surabaya:Khalista
Achmad

Muhibbin

Zuhri,

2010.Pemikiran

Aswaja.Surabaya:Khalita

37

KHM.

Hasyim

Asyari

tentang

Anda mungkin juga menyukai