TINJAUAN PUSTAKA
A. Balita
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita
adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular
dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006, dalam
Kemenkes, 2015) atau biasa digunakan perhitungan bulan, yaitu usia 12 - 59
bulan (Kemenkes, 2015).
Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak
secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat
sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi
kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris,2006,
dalam Yuandari, 2012). Para ahli menggolongkan usia balita sebagai tahapan
perkembangan anak yang cukup rentan terhadap berbagai serangan penyakit,
termasuk penyakit yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan asupan
nutrisi jenis tertentu (Kemenkes, 2015).
B. Status Gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variabel tertentu, contohnya gondok endemik merupakan keadaan tidak
seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa,
2014). Menurut Suhardjo (1986) dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014), status
gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan
penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi
tubuh pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan. Status
gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan menurut jenis dan
beratnya keadaan gizi (Depkes, 1992, dalam Adriani dan Wirjatmadi (2014).
Status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan dan
kebuutuhan zat gizi. Dengan demikian, asupan zat gizi memengaruhi status
gizi seseorang ( Waspadji et al., 2003 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Kebutuhan gizi balita (Adriani dan Wirjatmadi, 2014) :
1. Kebutuhan energi balita
Kebutuhan energi dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal
metabolisme. Sekitar 5% kalori total digunakan untuk aktivitas
metabolisme, 25% untuk aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan, dan
8% zat yang dibuang atau sekitar 90-100 kkal/kgBB (Karyadi, 1996
dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Ketika laju pertumbuhan menurun pada masa batita dan
prasekolah, kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu masa
bayi. Pedoman umum yang dapat digunakan untuk menghitung
kebutuhan kalori pada masa awal anak sama dengan (1.000 kkal) + 100
kkal setiap tahun umur. Jadi, anak tiga tahun membutuhkan sekitar 1.300
kkal per hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
2. Kebutuhan protein balita
Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan
imunitas tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan konsumsi
protein sebesar 1,5-2 g/kgBB, yang mana 2/3 diantaranya didapat dari
protein bernilai biologi tinggi. Pada umur 3-5 tahun konsumsi protein
menjadi 1,57 g/kgBB/hari (Karyadi, 1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi,
2014).
3. Kebutuhan lemak balita
Lemak merupakan sumber energi yang konsentrasinya cukup
tinggi dalam tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal. Lemak juga
berfungsi sebagai sumber asam lemak esensial pelarut vitamin A, D, E,
dan K serta pemberi rasa gurih pada makanan. Konsumsi lemak yang
dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-20% dari energi total (Karyadi,
1996 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Kebutuhan gizi balita menurut Widya Karya Nasional Pangan dan
Gizi yang disusun dalam tabel angka kecukupan gizi (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).
Berat
Tinggi
Energ
Protei
Bada
Badan
Vitamin
D
E
n
(kg)
(cm)
(kkal)
(g
(g
(g
(g
)
7,5
)
3
)
5
(g)
0-6 bln
5,5
60
560
12
)
350
7-12 bln
8,5
71
800
15
350
10
10
1-3 thn
12
90
1250
23
350
10
15
4-6 thn
18
110
1750
32
460
10
20
pada
orang
sehat
kelebihan
nutrien
tertentu
dapat
4. Gizi berlebih
Gizi lebih terjadi jika seseorang mengonsumsi nutrisi dalam
jumlah yang berlebih. Contohnya, gizi lebih dapat terjadi pada orang
yang membeli sendiri suplemen vitamin dan mineral dalam jumlah besar,
dan pada mereka yang terlalu banyak makan. Kebiasaan seperti ini dapat
menyebabkan obesitas.
Di Indonesia, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2001)
menetapkan klasifikasi status gizi sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi status gizi balita
Indeks
Berat badan / umur
(BB/U)
Tinggi badan / umur
(TB/U)
Indeks
Berat badan / tinggi
badan (BB/TB)
Status Gizi
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
Jangkung
Normal
Pendek
Sangat pendek
Simpangan Baku
+2 SD
-2 SD s/d +2 SD
-3 SD s/d < -2 SD
-3 SD
+2 SD
-2 SD s/d +2 SD
-3 SD s/d < -2 SD
-3 SD
Status Gizi
Gizi lebih (gemuk)
Gizi baik (normal)
Gizi kurang (kurus)
Gizi buruk (sangat kurus)
Simpangan Baku
+2 SD
-2 SD s/d +2 SD
-3 SD s/d < -2 SD
-3 SD
Dikutip dari : Ardriani dan Wirjatmadi, 2014. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta : Kencana.
dua cara, yakni penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi
secara tidak langsung (Supariasa, 2014).
1. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi
menjadi
empat
penilaian,
yaitu
antropometri,
klinis,
Ditinjau
dari
sudut
pandang
gizi,
maka
umum
ketidakseimbangan
digunakan
asupan
untuk
protein
melihat
dan
energi
perkembangan
berat
badan,
yaitu
dapat
biokimia
adalah
Pengumpulan
data
konsumsi
makanan
dapat
keluarga
dan
individu.
Survei
ini
dapat
tulisan untuk laki-laki. KMS anak perempuan berwarna dasar merah muda
dan terdapat tulisan untuk anak perempuan(Kemenkes, 2010).
Status pertumbuhan berdasarkan grafik pertumbuhan anak dalam
KMS dikatakan naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan
diatasnya atau grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhannya. Dikatakan
tidak naik apabila grafik berat badan memotong garis pertumbuhan
dibawahnya, grafik berat badan mendatar, atau grafik berat badan menurun.
Hasil penilaian pertumbuhan balita dalam KMS ada empat, yakni berat badan
naik, berat badan tidak naik 1 kali, dan berat badan tidak naik 2 kali atau
berada di Bawah Garis Merah (Kemenkes, 2010).
D. Bawah Garis Merah (BGM)
Bawah Garis Merah (BGM) adalah berat badan balita hasil
penimbangan yang dititikkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan berada
di bawah garis merah (Kemenkes, 2011). Berat badan di Bawah Garis Merah
(BGM), yaitu bila berat badan bayi atau balita berada di bawah garis merah
pada KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS yang diedarkan Depkes RI, garis
merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk
melainkan garis kewaspadaan (Arisman, 2014). Balita BGM tidak selalu
berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, hal tersebut menunjukkan bahwa
balita mengalami masalah gizi (Achmad, 2010).
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian BGM
Pada dasarnya KMS mempergunakan klasifikasi Gomez untuk
menilai kondisi gizi anak yang disesuaikan dengan kondisi anak di Indonesia.
beberapa
cara,
yaitu
mempengaruhi
nafsu
makan,
pencernaan
bayi,
lengkap
kandungan
gizinya,
juga
mengalami pertumbuhan
protein daripada anak perempuan. Dan hal ini dengan mudah dapat
dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
(Soetjiningsih, 1995 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
2. Faktor eksternal
a. Tingkat pendidikan orang tua
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah
menerima informasi pengetahuan mengenai penyediaan makanan
yang baik (Notoatmodjo, 1985, dalamAdriani dan Wirjatmadi,
2014). Tingkat pendidikan seseorang akan berkaitan erat dengan
wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan
yang baik untuk konsumsi keluarga (Niehof, 1988, dalam Adriani
dan Wirjatmadi, 2014).
b. Tingat pengetahuan gizi
Pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan zat gizi
berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga
sesungguhnya
berpenghasilan
cukup,
tetapi
makanan
yang
lebih kecil akan mendapat jatah makanan yang lebih sedikit, karena
makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka yang lebih
besar (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan sulit
untuk diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang dan dapat
mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana demikian secara tidak
langsung akan menurunkan nafsu makan anak yang terlalu peka
terhadap suasana yang kurang menyenangkan. Jumlah anak yang
kelaparan dari keluarga besar ini hampir empat kali lebih besar
(Apriadji, 1986 dalam Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
e. Ketersediaan pangan
Jumlah serta macam pangan yang mempengaruhi pola makan
penduduk di suatu daerah atau kelompok masyarakat biasanya
berkembang dari pangan yang tersedia di daerah itu, atau pangan
yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang
panjang. Untuk tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan dalam
keluarga antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendapatan atau daya
beli keluarga, jumlah anggota keluarga, dan pengetahuan ibu tentang
pangan dan gizi (Suhardjo, 1989, dalam Adriani dan Wirjatmadi,
2014).
f. Pola makan
Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang
memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan
Pajanan
Kasus
a
Kontrol
b
Jumlah
m1
m2
Jumlah
n1
n2
kontrol
(Budiarto,
2013).
Rumus-rumus
yang
dipergunakan untuk perhitungan odds ratio, chi kuadrat, dan MantelHaenszel adalah sebagai berikut:
( Psi )=oddsratio=ad /bc
|adbc| 1
(
x 2=
c
2N
n1 n2 m1 m2
)N
gabungan tabel
mh=
bici
( )
( )
n1 i m 1 i
|1 /2 ]
ni
n1 i n 2i m1i m2 i
ai
xc =
2
n1i2 ( ni 1 )
a
c
b
d
n1
n2
m1
m2
Jumlah
a/c
b/d
Pajanan
Jumlah
Odds
Odds ratio () =
a /c
ad
=
b/d
bc
I.M.
I.M
Perokok
20
14
34
bukan perokok
80
186
266
Jumlah
100
200
300
Pajanan
ratio adalah
227 99993
=32,50
. Dari hasil tersebut terdapat selisih
7 99773
sebesar 0,07. Namun, secara umum selisih tersebut tidak bermakna dan
dapat disimpulkan bahwa risiko relatif sama dengan odds ratio. Ini berarti
bahwa perokok berat mempunyai risiko kematian 32 kali lebih besar
pada
penelitian
retrospektif
(kasus-kontrol).
Untuk
p2
adalah risiko
kelompok tanpa pajanan yang diperoleh dari sumber lain (Budiarto, 2013).
Risiko atribut pada penelitian kasus-kontrol dapat juga digunakan
untuk memperkirakan risiko atribut di masyarakat yang disebut
Population Atributable Risk (PAR). Menurut Levin (dalam Budiarto,
2013), risiko atribut adalah proporsi semua kasus dalam populasi umum
yang diakibatkan oleh suatu faktor atau proporsi insidens penyakit dalam
seluruh populasi yang disebabkan terpajan oleh faktor risiko. PAR adalah
insidens yang terdapat pada seluruh populasi yang dikurangi dengan
insidens pada kelompok yang tidak terpajan dan hasilnya dibagi dengan
insidens pada seluruh populasi (Budiarto, 2013).