Anda di halaman 1dari 74

.......................

Dari Redaksi
Sidang Pembaca Yang Terhormat,

enerbitan Majalah Berita Inderaja LAPAN


merupakan media distribusi informasi per
kembangan teknologi penginderaan jauh
(inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada
edisi Juli 2010, merupakan hasil kegiatan pene
litian dan operasional di Kantor Kedeputian
Bidang Penginderaan Jauh LAPAN - Jakarta
dan kiriman sebuah judul makalah/ tulisan
Peneliti dari Kantor LEMIGAS - Jakarta. Tu
lisan/ artikel adalah hasil pemanfaatan data
satelit inderaja, diantaranya menggunakan
data satelit LAPAN TUBSAT, Landsat-5 dan
Landsat-7, SPOT-4, ALOS, Palsar, MODIS,
Qmorph dan SRTM. Diharapkan materi/
tulisan yang disampaikan dapat berman
faat bagi pembaca.
Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ke
tersediaan informasi potensi perkebunan kelapa sawit mengisi ruang pada
Rubrik Topik Inderaja dengan judul : Informasi Spasial Sebaran dan Potensi
Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera Selatan.
Rubrik Pengolahan Data Inderaja menyajikan tulisan: Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satellite dengan Metode Digital Mono Plotting
(DMP), Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious Satellite Sensor
Model; Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi
DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Studi Kasus:
Wilayah Semarang dan Sekitar; dan Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut.
Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya
adalah: Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001-2009 dan
Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau
Ranau dan Danau Maninjau.
Penyebarluasan informasi produk data dan perkembangan teknologi sate
lit inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisan
nya adalah: Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat, dan Lautan China Selatan dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia, Program
Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS, dan Analisis Curah Hujan di
Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009.
Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up
to date. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan
poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada
kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan maaf, karena belum
dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pe
ngembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi
mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Te
rima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.
Hormat Kami,
Redaksi

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Diterbitkan oleh:
Bidang Penyajian Data,
Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional
Pelindung:
Kepala LAPAN, Deputi B
idang
Penginderaan Jauh
Penanggung Jawab:
Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh
Editor:
Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D,
Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo,
Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi.
Staf Redaksi:
Ir. Yuliantini Erowati, M. Si,
Yudho Dewanto ST,
Drs. Mohammad Natsir, M.T,
Abdul Kholik, SH
Staf Sekretariat:
Arief Nurcahyo, Abdul Makmun,
Bambang Haryanto, SE, Suhariyanti.
Alamat Redaksi:
Bidang Penyajian Data,
Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN,
Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710.
Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870.
Fax.: (021) 8717715
Website: http://www.lapanrs.com.
Email: bankdata@lapanrs.com.
Majalah ini diterbitkan untuk pengguna
data satelit penginderaan jauh LAPAN.
Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik
dari para pembaca. Naskah mohon diketik
satu spasi dan bila ada gambar dalam
format (.gif/.tiff).
Frekuensi terbit: 2 kali setahun.

Surat Pembaca.............................................
Agar lebih sering/banyak memberikan bim
bingan dan pelatihan di daerah-daerah khususnya
Kabupaten/Kota agar bisa lebih optimal di dalam
memanfaatkan penginderaan jauh untuk ILM.
Agung Nugroho
Ka.Subbag Pengendalian Bagian
Pembangunan
Perum Korpri Blok B-I No. 16
Jl. Jelarai Tanjung Selor,
Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur
Terima kasih atas saran Bapak Agung Nugroho.
Pada kesempatan ini kami sampaikan bahwa Pusat
Data Penginderaan Jauh LAPAN hingga saat ini
tetap giat melaksanakan kegiatan sosialisasi/pro
mosi dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Ka
bupaten/Kota, seperti : menyelenggarakan kegiatan
Pameran, Kunjungan Kerja ke daerah, Penelitian
dan Bimbingan Teknis. Untuk informasi lebih leng
kap dapat menghubungi Iklan Layanan Masyarakat
(ILM) Bidang Penyajian Data pada Pusat Data
Penginderaan Jauh LAPAN :
Jl. LAPAN No. 70, Pekayon Pasar Rebo,
Jakarta Timur 13710,
Telp. (021) 8710786; Fax. 8717715.
Email : bankdata@lapanrs.com ;
Website : http://www.lapanrs.com
_______________________________________
Kami ucapkan terima kasih atas pengiriman
majalah Berita Inderaja, dimana informasi pengin
deraan jauh sangat dibutuhkan dalam pengolahan
data dan GIS yang telah kami miliki. Kami meng
harapkan kedepan dapat terjalin kerjasama dalam
pengolahan inderaja yang lebih teknis lagi. Akhir
kata, kami mengharapkan informasi inderaja untuk
meningkatkan pengetahuan.
Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT.
Kepala Sub. Bidang Penataan Ruang Bappeda
Kota Tanjungbalai
Jl. Jend. Sudirman Km. 5.5, Kota Tanjungbalai.
Bapak Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT,
terima kasih atas apresiasinya. Majalah Berita Inde
raja adalah media publikasi informasi pemanfaatan
4

teknologi Penginderaan Jauh. Redaksi berharap


penerbitan majalah ini dapat membantu dan mem
permudah dalam penyelesaian tugas yang terkait
dengan pengolahan data inderaja dan GIS di Kantor
Bapak. Harapan kedepan dapat menjalin kerjasama
dalam pengolahan data inderaja yang lebih teknis
lagi, semoga terlaksana.
_______________________________________
Kapan Danau Maninjau untuk dibuatkan foto
satelit Daerah Tangkapan Airnya dan citra 3 Di
mensi ?
Muhammad Abril.
Ka.Subbag Pertambangan dan Energi
Jl. Sudirman No. 1 Lubuk Basung
Provinsi Sumatera Barat
Terima kasih atas atensi Bapak Muhammad
Abril. Sesuai dengan pertanyaan yang telah di
sampaikan, Radaksi majalah berusaha untuk men
jawab dan memenuhi harapan pembacanya. Pada
penerbitan majalah No.16 edisi Juli 2010 kali ini,
ditampilkan tulisan/artikel dengan judul: Anali
sis Data Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan
Lingkungan Danau Ranau Dan Danau Maninjau.
Mudah-mudahan tulisan/artikel yang ditampilkan
dapat menjawab dan bermanfaat.
_______________________________________
Sudah bagus dan kalau bisa terbit 2 kali seta
hun
M. Murhi Dayat
Jl. Arwana III Blok AA4/5
Perum Taman Pagelaran Ciomas
Bogor, Provinsi Jawa Barat
Dalam kesempatan ini kami sekaligus men
jawab beberapa pertanyaan/permohonan serupa
yang disampaikan ke meja redaksi. Majalah Berita
Inderaja hingga saat ini penerbitannya 2 kali terbit
dalam 1 Tahun dan merupakan media penyebarlu
asan informasi pemanfaatan teknologi dan aplikasi
penginderaan jauh LAPAN. Terima kasih atas ko
mentar Bapak M. Murhi Dayat.

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

DAFTAR ISI

BERITA INDERAJA Volume IX, No. 16, Juli 2010 - ISSN 1412-4564

TOPIK INDERAJA
Informasi Spasial Sebaran
dan Potensi Perkebunan
Kelapa Sawit dari Data
Penginderaan Jauh di
Provinsi Sumatera Selatan
Halaman 6

DARI REDAKSI 3
SURAT PEMBACA

BERITA RINGAN
4

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


l



l



l

Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satellite


dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP),
Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious
Satellite Sensor Model 13
Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90
menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi
Kriging (CoKriging) Studi Kasus: Wilayah Semarang
dan Sekitar 20
Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi
Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi
Pengaruh Liputan Awan dan Kabut 25

APLIKASI INDERAJA
l


l

Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi


Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan
Sepanjang Tahun 2001 - 2009 31
Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan
Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau 37

INFORMASI DATA INDERAJA


l


l
l

Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan


Lautan China Selatan dan Dampaknya Terhadap
Curah Hujan di Indonesia 43
Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS 50
Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data
Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009 57

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

l


l

Simposium GEOSS (Global on Earth Observations


System of Systems) Asia Pasific Ke 4 di Hotel Sanur
Paradise Plaza, Bali. 62
Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur
63

PERISTIWA DALAM GAMBAR


l


l

l

Kunjungan Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP)


Semarang Ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh
LAPAN, Pekayon Jakarta
64
Ditopad Selenggarakan Simposium dan Pameran
Teknologi Survei dan Pemetaan
65
Seminar Nasional Manajemen Pulau-Pulau Terluar 66

POSTER

l

l

Peta Citra Satelit LAPAN TUBSAT (Orthoimage)


Bandara Husein Satranegara Bandung 71
PCS Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006 DTA
Danau Ranau Provinsi Sumatera Selatan 72

COVER

Depan
:
Depan Dalam :


Belakang Dalam:


Belakang
:

PCS 3D Sumatera Selatan


Citra Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006.
DTA Danau Maninjau
Prov. Sumatera Barat.
Peta Digital Surface Model (DSM) 10
Wilayah Semarang dengan Polynomial
Drift Order 2
Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran
Hutan dan Lahan Kalimantan
5

TOPIK INDERAJA

Informasi Spasial Sebaran dan Potensi


Perkebunan Kelapa Sawit dari
Data Penginderaan Jauh di
Provinsi Sumatera Selatan
Oleh: Florentina Sri Hardiyanti Purwadhi, Nanik Sur yo Har yani, Sukentyas Estuti Siwi

nventarisasi, pemantauan, evaluasi, dan potensi la


han untuk perkebunan dapat dilakukan secara cepat
dan tepat dengan menggunakan data penginderaan
jauh. Inventarisasi, pemantauan sebaran perkebunan ke
lapa sawit berdasarkan interpretasi penutup lahan citra
penginderaan jauh, sedangkan penentuan potensi lahan
untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit didasarkan
hasil analisis kesesuaian lahan dan evaluasi lahan untuk
tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hal tersebut LAPAN
tahun 2009 telah mengadakan kerjasama dengan Direk
torat Jendral Perkebunan, untuk menginventarisasi se
baran perkebunan kelapa sawit di beberapa provinsi.
Tujuan penelitian untuk (1) melakukan inventarisasi
perkebunan kelapa sawit dan menyajikannya dalam ben
tuk spasial, berdasarkan interpretasi penutup lahan citra
penginderaan jauh SPOT di Provinsi Sumatera Selatan
dengan skala 1 : 250.000. (2) Menentukan potensi lahan
untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit di Provinsi
Sumatera Selatan. (3) Menghitung luas penutup lahan,
sebaran perkebunan, dan potensi lahan untuk perke
bunan kelapa sawit, dari hasil kajian dari SPOT4 tahun
2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan
Metode inventarisasi, evaluasi, penilaian potensi,
dan perhitungan luas perkebunan kelapa sawit di Pro
vinsi Sumatera Selatan, dengan suatu rancangan model
sesuai dengan pokok permasalahan serta kondisi setem
pat. Analisis dengan pendekatan keruangan, didasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola penyebaran
perkebunan kelapa sawit, sehingga pola tersebut dapat
dimodifikasi atau diubah, agar penyebarannya lebih
efisien dan seimbang. Rancangan model seperti Gambar 1, yang dibagi dalam 9 (sembilan) tahapan, mulai
dari (1) pengumpulan data meliputi data spasial dan ta
6

bular daerah penelitian, (2) penyusunan dan manajemen


basis data, (3) pembuatan peta tematik, (4) Klasifikasi/
interpretasi penutup lahan/penggunaan lahan dari data
penginderaan jauh satelit multi temporal, (5) perhitun
gan luas penutup/penggunaan lahan hasil interpretasi,
(6) ekstraksi penutup lahan perkebunan (kelapa sawit
dan non kelapa sawit) dari hasil interpretasi citra (7) per
hitungan luas perkebunan kelapa sawit (8) analisis po
tensi lahan untuk tanaman kelapa sawit, (9) pembuatan
peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Penilaian potensi memerlukan data kondisi fisik
wilayah penelitian. Kondisi topografi Provinsi Sumatera
Selatan mulai dari pantai timur 0 m dpl hingga gununggunung (> 2000 m dpl) dibagian barat Kabupaten Empat
Lawang dan Kabupaten Musi Rawas. Karakteristik fisik
berupa proses volkanik, proses diatropisme yang meng
hasilkan struktur daratan, dataran tinggi, pegunungan,
kubah, lipatan strata, dan patahan.
Kondisi hidrologi berkaitan ketersediaan air permu
kaan dan air tanah. Air permukaan di Provinsi Sumatera
Selatan diperoleh dari air sungai, cekungan alam seperti
(rawa, danau, dan genangan yang terdapat di bantaran
sungai. Ketersediaan air tergantung lokasi dan iklim.
Provinsi Sumatera Selatan terdapat 12 daerah aliran
sungai (DAS). Geologi Provinsi Sumatera Selatan ada 6
proses pembentukan struktur batuan, yaitu (1) endapan
permukaan, (2) batuan endapan (sedimen), (3) batuan
malihan (metamorfosis), (4) batuan gunung api (volkan
ik), (5) batuan intrusi, dan (6) batuan tektonit. Masingmasing kondisi fisik tersebut digunakan untuk mem
buat evaluasi lahan, yang akan dibobot dalam penilaian
potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit
Citra penginderaan jauh yang digunakan mosaik ci
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

TOPIK INDERAJA
SPOt 2 &
SPOt 4
2008 / 2009

Koreksi Radiometrik

Geologi
Jenis tanah

DAtA SURVEI
LAPANGAN

Mosaik
DEM SRtM
Kelerengan

Layer data spasial

tItIK
KONtROL
tANAH
(GCP)

RBI /
Kontur

Iklim

Koreksi Geometrik

Penutup Lahan
Lahan

Bentuk Lahan

transformasi
WGS 84

Interpretasi
Satuan Lahan

BASIS DAtA SPASIAL


Overlay

S
I

Ekstraksi
Perkebunan

Overlay
Overlay

Peta
Penutup Lahan

Peta Sebaran
Perkebunan

EVALUASI LAHAN

Kesesuaian Lahan Untuk


tanaman Kelapa Sawit

Kriteria Persyaratan
tubuh Kelapa Sawit

Peta Potensi Lahan


Untuk Perkebunan Kelapa Sawit

Gambar 1. Rancangan model pengolahan data dan perhitungan potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit.

tra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, sedangkan


survei lapangan dilakukan bulan November 2009. Infor
masi spasial yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa
peta citra satelit (PCS) pada Gambar 2, dan PCS tiga
demensi (3D) pada Gambar 3, peta penutup/penggu
naan lahan, peta sebaran perkebunan, dan peta potensi
lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit, nasingmasing di Provinsi Sumatera Selatan skala 1: 250.000.
Peta hasil klasifikasi penutup lahan Provinsi Suma
tera Selatan (Gambar 4) terdiri dari 13 (tigabelas) kelas,
yaitu hutan, ladang/tegalan, lahan terbuka, mangrove,
rawa, sawah, perkebunan kelapa sawit, perkebunan ke
lapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, permu
kiman, semak belukar, tambak, dan tubuh air. Luas penu
tup/penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Selatan TaBERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

bel 1. dimana tegalan sebagai wilayah terluas di Provinsi


Sumatera Selatan, yaitu 2.723.798,92 Ha (31,3 %), disusul
semak belukar 1.962.594,08 Ha (22,63 %), dan hutan
1.222.589,31 Ha (14,29 %), sedangkan penutup/penggu
naan lahan lainnya masing-masing kurang dari 10 %.
Sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan,
diekstrak dari hasil interpretasi penutup lahan mosaik
citra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, yang dibe
dakan menjadi tiga macam, (1) perkebunan kelapa sawit,
(2) perkebunan kelapa sawit campuran, dan (3) perke
bunan non kelapa sawit, sedangkan penggunaan lainnya
tidak dikelaskan. Hasil sebaran perkebunan di Provinsi
Sumatera Selatan pada Gambar 5. Luas sebaran perke
bunan Provinsi Sumatera Selatan pada Tabel 2. Luas se
baran perkebunan Provinsi Sumatera Selatan dari hasil
7

TOPIK INDERAJA

Gambar 2. Peta citra satelit (PCS) SPOT 2 dan SPOT 4 Tahun 2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar 3. PCS SPOT 2 dan SPOT 4 Tahun 2008/2009 tiga demensi (3D) Provinsi Sumatera Selatan.
8

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

TOPIK INDERAJA

Gambar 4. Peta Penutup Lahan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009

Gambar 5. Peta Sebaran Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009


BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

TOPIK INDERAJA
Tabel 1. Luas penutup/penggunaan Lahan di
Provinsi Sumatera Selatan
No.

Penggunaan Lahan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Hutan
Ladang/Tegalan
Lahan Terbuka
Mangrove
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan Kelapa Sawit Campur
Perkebunan Non Kelapa Sawit
Permukiman
Rawa
Sawah
Semak Belukar
Tambak
Tubuh Air
TOTAL

Luas
Hektar (Ha)
Persen (%)
1.222.589,31
14,29
2.723.798,92
31,30
80.914,40
0,92
180.817,15
2,15
763.010,18
8,75
467.220,34
5,41
325.607,28
3,74
223.995,12
2,58
109.466,08
1,26
467.558,23
5,36
1.962.594,08
22,63
50.943,53
0,58
87.191,32
1,03
8.665.705,93
100

Tabel 2. Luas sebaran perkebunan di


Provinsi Sumatera Selatan
No.
1
2
3
4

Penggunaan Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan Kelapa Sawit Campur
Perkebunan Non Kelapa Sawit
Non Perkebunan
TOTAL

Luas
Hektar (Ha)
763.010,18
467.220,33
325.607,28
7.109.868,14
8.665.705,93

Persentase (%)
8,80
5,40
3,75
82,05
8.665.705,93

Tabel 3. Luas sebaran potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit


di Provinsi Sumatera Selatan
No
1
2
3
4

Kelas Potensi
Lahan berpotensi tinggi
Lahan berpotensi sedang
Lahan berpotensi rendah
Lahan tidak berpotensi
TOTAL

interpretasi citra SPOT2 dan SPOT 4 tahun 2008/2009,


(1) perkebunan kelapa sawit 763.010,18 Ha (8,8%), (2)
perkebunan kelapa sawit campur (dengan penutup tana
man kelapa sawit > 50 %) seluas 467.220,33 Ha (5,4 %),
dan (3) perkebunan non kelapa sawit seluas 325.607,28
Ha (3,75 %). Catatan : untuk penutup lahan tanaman ke
lapa sawit contoh rona pada citra untuk tanaman kelapa
sawit dan tanaman kelapa sawit campur sudah dicoco
kan dengan kondisi lapangan (Gambar 6)
Penentuan lahan potensi lahan untuk tujuan penggu
naan untuk perkebunan kelapa sawit, pada penelitian ini di
arahkan melalui evaluasi kemampuan lahan dan kesesuai
an lahan untuk tanaman kelapa sawit. Kesesuaian lahan
10

Luas
Hektars (Ha)
Persen (%)
181.692,07
2,1
7.030.264,24
81,14
322.025,66
3,7
1.131.723,95
13,06
8.665.705,93
100

yang berbasis pada penggunaan lahan berkelanjutan.


Penggunaan lahan diusulkan tidak akan mengakibatkan
degradasi lahan baik sebagai akibat erosi (salinisasi atau
pemasaman tanah) atau lainnya
Evaluasi dapat dilaksanakan secara kualitatif atau
kuantitatif. Kemampuan lahan merupakan kapasitas la
han untuk tingkat penggunaan, sedangkan kesesuaian
lahan merupakan penilaian relatif penyesuaian terha
dap suatu penggunaan disini perkebunan kelapa sawit.
Penilaian kemampuan lahan dari data penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis (SIG), menggu
nakan sistem pembobotan dan perbandingan. Kom
ponen lahan secara sistematik dikelompokkan dalam
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

TOPIK INDERAJA

Gambar 6. Foto Titik Survei Lapangan Tahun 2009 Provinsi Sumatera Selatan

kategori potensi, penghambat, bahaya penggunaan


nya. Kriteria kelas kemampuan lahan didasarkan pada
ada atau tidaknya faktor pembatas, baik pembatas per
manen atau pembatas sementara. Faktor pembatas
adalah sifat-sifat lahan yang dapat membatasi dalam
penggunaan untuk tanaman kelapa sawit. Faktor pem
batas yang tidak dapat diperbaiki (iklim dan kedalaman
tanah), sedangkan faktor pembatas sementara (dapat
diperbaiki selama pengelolaan) antara lain kandungan
hara, keasaman, drainase. Penilaian karakteristik lahan
didasarkan pengelompokan kualitas lahan, menurut
CRS/FAO (1983), yaitu tergantung 7 (tujuh) kualitas,
adalah (1) temperatur, (2) ketersediaan air, (3) kondisi
perakaran, (4) resistensi hara, (5) ketersediaan hara,
(6) taksositas, (7) kondisi medan (termasuk rentan
terhadap bencana). Pengelompokan unsur pokok, kua
litas lahan (status lahan tidak diperhitungkan dalam
penelitian ini), dan karakteristik lahan digunakan un
tuk menilai potensi lahan terhadap penggunaan lahan
tanaman/perkebunan kelapa sawit.
Hasil analisis potensi lahan untuk perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Sumatera Selatan, yang sebaran digam
barkan berupa peta potensi lahan untuk perkebunan ke
lapa sawit (Gambar 7). Potensi lahan dibedakan dalam
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

empat macam, yaitu berpotensi tinggi, berpotensi se


dang, berpotensi rendah, dan tidak berpotensi. Luas se
baran potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa
sawit pada Tabel 3. Kriteria setiap kelas potensi lahan
untuk tanaman kelapa sawit, yang terdapat di Provinsi
Sumatera Selatan sebagai berikut.
1. Lahan berpotensi tinggi untuk tanaman kelapa sawit
apabila lahan Sangat Sesuai seluas 181.692,07 Ha
(2,1 %), terletak pada penutup lahan ladang, semak
belukar, lahan terbuka, perkebunan kelapa sawit,
perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non
kelapa sawit, permukiman, berstatus sebagai areal
penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi
(HPK). Sesuai dengan UU tentang Kehutanan (UU
No. 5/1974 dan UU No. 41/99) dan Peraturan Peme
rintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
bahwa Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah Hutan
Produksi yang dapat dikonversi (kawasan hutan yang
dicadangkan untuk pembangunan non kehutanan).
Oleh karena itu lahan berpotensi tinggi tersebut yang
boleh dimanfaatkan hanya yang terletak pada wilayah
areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi kon
versi (HPK), sedangkan pada hutan lindung (HL),
suaka margasatwa (SM), swaka alam atau hutan wi
11

TOPIK INDERAJA

Gambar 7. Peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit Tahun 2009,
Provinsi Sumatera Selatan

sata (HSAW), cagar alam (CA), dan taman nasional


(TN) tidak diperbolehkan.
2. Lahan berpotensi sedang untuk tanaman kelapa sawit
merupakan lahan Sesuai seluas 7.030.264,24 Ha (81,14
%), yang terletak pada penutup lahan ladang, semak
belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa
sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, lahan ter
buka, permukiman, sawah, dan hutan. Status sebagai
areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konver
si (HPK), hutan produksi (HP), hutan lindung (HL),
dan taman nasional (TN). Lahan berpotensi sedang
tersebut sebenarnya yang boleh dimanfaatkan hanya
pada areal penggunaan lain (APL), hutan produksi
konversi (HPK).
3. Lahan berpotensi rendah untuk tanaman kelapa sawit
merupakan lahan Sesuai marginal seluas 322.025,66
Ha (3,7 %), yang terletak pada penutup lahan ladang,
semak belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan
kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit,
lahan terbuka, permukiman, sawah, dan hutan. La
han tersebut berstatus areal penggunaan lain (APL)
dan hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi
(HP), hutan lindung (HL), dan taman nasional (TN).
Lahan berpotensi rendah tersebut, yang boleh diman
faatkan hanya pada areal penggunaan lain (APL), hu
tan produksi konversi (HPK).
12

4. Lahan tidak berpotensi


untuk tanaman kelapa sawit
merupakan lahan yang Tidak
Sesuai seluas 1.131.723,95
Ha (13,06), yang terletak
pada penutup lahan ladang,
mangrove, semak belukar,
lahan terbuka, sawah, per
mukiman, rawa, tambak, dan
hutan, berstatus sebagai are
al penggunaan lain (APL)
dan hutan produksi konversi
(HPK), hutan produksi (HP),
hutan produksi terbatas
(HPT), hutan lindung (HL),
cagar alam (CA), suaka mar
gasatwa (SM), taman nasi
onal (TN). Lahan tidak ber
potensi tersebut, memang
tidak ada yang dimanfaatkan
sebagai lahan/area perkebu
nan kelapa sawit.

Berdasarkan hasil pene


litian ini, maka disarankan
1. Perlu perhatian/penanganan khusus, beberapa perke
bunan kelapa sawit campur (KSC) yang terletak pada
status lahan Suaka Margasatwa (SM) dan Hutan Lin
dung (HL), karena KSC sebagian besar usaha ma
syarakat.
2. Lahan berpotensi tinggi sebagian masuk ke wilayah
berstatus Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Suaka
Margasatwa, yang saat ini ada yang sudah dikonversi
menjadi penggunaan non kehutanan agar dihutan
kan kembali, sedangkan yang saat ini belum berupa
perkebunan kelapa sawit, perlu dijaga sehubungan
potensinya, maka ada kemungkinan/kecenderungan
penggunaan kearah/untuk perkebunan kelapa sawit
atau penggunan lain non hutan.
3. Informasi penutup lahan, sebaran perkebunan, dan
potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala
1:250.000 bermanfaat untuk mendukung pengelolaan
sumberdaya alam dan perencanaan tata ruang wilayah
(RTRW) provinsi dan tingkat regional. Informasi
yang lebih rinci skala 1 : 50.000 atau skala lebih besar
diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam dan
perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
kecamatan diperlukan citra penginderaan jauh resolu
si lebih tinggi.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image


Satelite dengan Metode Digital Mono Plotting
(DMP), Ratio Polynomial Coefficients (RPCs),
dan Rigorious Satelite Sensor Model
Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita
* Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370
Email: verbhakov@yahoo.com

erkembangan Teknik Geodesi dan Geomatika su


dah mencapai kemajuan signifikan pada bidang
penginderaan jauh. Hal ini ditandai dengan ber
munculannya berbagai jenis satelit, baik yang bersifat
militer, sumber daya alam maupun yang bersifat ling
kungan dan cuaca. Satelit sumber daya alam memiliki
resolusi spasial dari 0,4 meter sampai puluhan meter
(sekitar 60 meter). Satelit tersebut ada yang memiliki
resolusi temporal tinggi dan ada juga yang rendah. Sen
sor bawaan yang digunakan dalam perekaman citra ter
diri dari sensor aktif dan sensor pasif. Sensor aktif atau
yang lebih dikenal dengan radar memiliki kelebihan
bebas dari efek awan. Misal, satelit Alos (Palsar), Ter
raSAR, EnviSat. Sedangkan untuk sensor pasif memiliki
kelebihan dalam multispektral, akan tetapi tidak bebas
dari efek awan. Misal, Ikonos, Worldview-1, GeoEye,
QuickBird, SPOT, LAPAN TUBSAT, Landsat, ALOS
(Prism dan AVNIR-2), dan lain-lain. Ilmu dan teknologi
penginderaan jauh sebagai bagian dari Teknik Geoma
tika memegang peranan yang sangat penting dalam me
mecahkan persoalan data satelit, baik untuk pengolahan
data, interpretasi citra maupun inventarisasi sumber daya
al am. Penginderaan jauh dapat memanfaatkan data ci
tra satelit untuk memperoleh data mengenai rupa bumi
dengan cepat dan tepat serta mampu mencakup daerah
yang relatif luas. Citra satelit yang digunakan untuk pe
metaan topografi, batimetri, dan tematik, setiap citranya
harus terletak seakurat mungkin di atas permukaan
bumi (Julzarika, 2009).
Data yang diperoleh dari satelit adalah berupa data
digital. Data ini masih berupa data mentah (raw data),
yang masih banyak mengandung kesalahan, baik kesa
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

lahan acak maupun sistematik. Kesalahan tersebut


dapat disebabkan oleh pergerakan satelit (rotasi dan
translasi), perekaman citra (skala, rotasi dan translasi),
kesalahan atmosferik sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan geometrik dan kesalahan radio
metrik. Rotasi yang dimaksudkan disini adalah terjadi
pergerakan omega, phi, dan kappa pada satelit saat pe
rekaman sehingga akan terjadi translasi berubah perge
seran koordinat pada arah sumbu X, Y, dan Z sehingga
dapat menyebabkan terjadinya perubahan skala. Hal ini
sangat ditentukan oleh jenis transformasi dan model al
gorithm matematika yang terjadi pada saat perekaman.
Kesalahan geometrik ini dapat diminimalisir dengan
melakukan orthorektifikasi sehingga akan diperoleh
orthoimage. Orthorektifikasi ini dapat dilakukan dengan
metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial
Coefficients (RPCs), Rigorious Satellite Sensor Model, Pa
rallel Projective, orthophoto, direct linear, Rational Poly
nomial Camera/3D Reconstruction (Forward RPCs, Er
ror Propagation, Inverse RPCs, Straight Line Algorithm).
Metode-metode ini menggunakan konsep pergeseran
bayangan, Kolinear (rigorous satellite image orthorec
tification), perpotongan ke belakang, hitung perataan,
resampling, proyeksi peta, sistem dan transformasi ko
ordinat. Orthorektifikasi citra satelit memiliki konsep
yang sama dengan orthofoto dengan foto udara meng
gunakan ilmu Fotogrametri (Soetaat, 1996).
Pada penelitian ini digunakan beberapa data ma
sukan untuk pembuatan orthoimage. Data tersebut me
liputi SPOT2 (wilayah pulau Rimau), SPOT4 (wilayah
pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya),
Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah), Alos
13

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism wide scene (Wila
yah Kebumen), Alos Avnir-2 (Kabupaten Tana Tidung),
LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara), Iko
nos (Wilayah Solo dan Sragen), serta Quick Bird (Wila
yah Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM)). Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah DMP, RPCs,
dan Rigorious Satellite Sensor Model.
Pergeseran bayangan merupakan ketidak-tepatan
posisi obyek pada citra yang disebabkan oleh perbedaan
tinggi terhadap bidang referensi (Harintaka, 2003). Efek
pergeseran bayangan obyek pada citra selalu menjauhi
pusat proyeksi. Pada gambar (1), titik A di permukaan
Bumi seharusnya mempunyai bayangan a pada bidang
citra, tetapi karena titik A yang mempunyai elevasi h
terhadap bidang datum maka bayangannya berada
pada titik a. Pergeseran a ke a merupakan pergeseran
bayangan yang selalu mempunyai sifat menjauhi pusat
proyeksi o.

Gambar 1. Pergeseran bayangan

Jika citra mempunyai kemiringan maka pergeseran


ideal bayangan adalah sebesar d=(r-r) yang dihitung de
ngan melibatkan besar kemiringan tilt. Menurut (Moffit
and Mikhail, 1980), besar pergeseran bayangan d pada
citra tegak dihitung dengan persamaan berikut ini.

d=

r' h
H h

Dimana:
d=pergeseran bayangan
r= tinggi obyek di permukaan bumi di atas datum
H = tinggi pusat proyeksi di atas bidang datum.
Ortofoto adalah foto yang menyajikan gambaran
obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, 1993).
Beda utama antara ortofoto dan peta adalah bahwa orto
14

foto terbentuk oleh obyek sebenarnya, sedangkan peta


menggunakan garis dan simbol yang digambarkan se
suai dengan skala untuk mencerminkan kenampakan.
Ortofoto dapat digunakan sebagai peta untuk melakukan
pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan dae
rah tanpa melakukan koreksi bagi pergeseran letak
gambar.
Ortofoto dibuat dari foto perspektif melalui proses
rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran le
tak gambar yang disebabkan oleh posisi miring sensor
pada saat perekaman dan variasi topografi. Pada foto
miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung
pada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan
bumi, dan ketinggian (Frianzah, 2009). Dalam proses
nya, pergeseran letak oleh relief pada sembarang foto
dan variasi skala dapat dieliminasi sehingga skala menja
di seragam pada seluruh foto. Orthoimage merupakan
ortofoto yang dibuat dari beberapa sumber citra satelit
seperti ALOS, ASTER, IKONOS, SPOT, Quickbird, dan
lain-lain. Orthoimage diperoleh dengan melakukan pro
ses ortorektifikasi pada citra.
Ortorektifikasi adalah proses pembuatan foto mi
ring ke foto/image yang ekuivalen dengan foto tegak.
Foto tegak ekuivalen yang dihasilkan disebut foto terek
tifikasi. Ortorektifikasi pada dasarnya merupakan pro
ses manipulasi citra untuk mengurangi/menghilangkan
berbagai distorsi yang disebabkan oleh kemiringan ka
mera/sensor dan pergeseran relief. Secara teoritik foto
terektifikasi merupakan foto yang benar-benar tegak
dan oleh karenanya bebas dari pergeseran letak oleh
kemiringan, tetapi masih mengandung pergeseran kare
na relief topografi (relief displacement). Pada foto udara
pergeseran relief ini dihilangkan dengan rektifikasi diffe
rensial. (Frianzah, 2009).
Model matematis yang digunakan pada ortorekti
fikasi adalah model matematis rigorous (persamaan ko
linear), dan dalam prosesnya menggunakan input data
DEM untuk mengkoreksi pergeseran relief akibat posisi
miring sensor pada saat perekaman. Penyelesaian mo
del matematis rigorous adalah dengan menghitung po
sisi dan orientasi sensor pada waktu perekaman image.
Posisi dan orientasi sensor yang telah teridentifikasi, di
gunakan untuk menghitung distorsi yang terdapat pada
image (Julzarika, 2007). Model matematis yang digu
nakan pada pembuatan orthoimage/photo adalah persa
maan Kolinear (Soetaat, 1996).
Persamaan kolinear menunjukkan bahwa titik obyek
di permukaan tanah, bayangan di citra, dan pusat proyek
si terletak pada satu garis lurus atau kesegarisan (Wolf,
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


1983). Gambar (2) menunjukkan titik B (di permukaan
tanah), titik b (pada bidang citra), dan O (pusat proyek
si) terletak pada satu garis lurus.
Xi = f
Yi = f

(r11 ( X i Tx ) + r12 (Yi T y ) + r13 ( Z i Tz )


(r31 ( X i Tx ) + r32 (Yi T y ) + r3 ( Z i Tz )
(r21 ( X i Tx ) + r2 (Yi T y ) + r23 ( Z i Tz )
(r31 ( X i Tx ) + r32 (Yi T y ) + r3 ( Z i Tz )

Persamaan Kolinear menurut (Mofitt and Mikhail,


1980).
Xi =
Yi =

(r1 X i + r21 Yi r31 f )


( Z i Tz ) + Tx
(r13 X i + r23 Yi r3 f )

(r1 X i + r2 Yi + r32 f )
( Z i Tx ) + Ty
(r13 X i + r23 Yi + r3 f )

Dengan difinisi:
Xi, Y i, Zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi
nat peta
Xi, yi, zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi
nat citra
f

= panjang fokus sensor/kamera
Tx, T y, Tz = koordinat titik pusat proyeksi sensor/

kamera
r11, ...., r33 = elemen matriks rotasi atau f (, , )

Gambar 2. Konsep persamaan Kolinear

Perpotongan ke belakang (space resection) meru


pakan suatu metode penentuan posisi ke arah belakang
dari titik yang diketahui koordinatnya (Harintaka, 2003).
Pada citra satelit, metode ini digunakan untuk menen
tukan parameter orientasi (, , ) dan posisi pusat
proyeksi (Tx, T y, Tz). Perpotongan ke belakang memer
lukan minimal tiga titik yang diketahui dari koordinat
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

peta atau lapangan (titik A, B, C) dan koordinat citranya


(titik a, b, c). Jika telah diketahui enam parameter de
ngan kondisi skala=1 serta posisi pusat proyeksi sensor/
kamera pada saat perekaman maka setiap obyek pada
citra dapat dihitung koordinat petanya. Dengan syarat
harus diketahui tinggi obyek di permukaan tanah terha
dap referensi.
Penyajian data permukaan bumi dalam bentuk fungsi
permukaan pendekatan, misal dengan fungsi interpolasi
polinomial, memberikan keuntungan dari segi efisiensi
media penyimpanan. Persamaan polinomial yang dapat
digunakan untuk memodelkan permukaan bumi ber
bentuk polinomial orde satu atau dua (Li, Zhu, and Gold,
2005). Interpolasi polinomial orde satu baik untuk dae
rah datar sedangkan untuk permukaan bergelombang
sebaiknya menggunakan polinomial orde dua atau tiga.
Berikut ini persamaan polinomial orde satu dan dua.
Z(X, Y)=b0+b1X+b2Y
Z(X, Y)=b0+b1X+b2Y+b3XY+b4X2+b5Y2
Dengan:
Z(X, Y)
= nilai titik tinggi (1D)
b0, ...., b5 =koefisien polinomial
X, Y
= koordinat horizontal (2D)
Data masukan berupa sejumlah titik kontrol tanah
(TKT) sudah diketahui koordinatnya (X2, Y2, Z2). Nilai
titik tinggi dapat ditentukan dengan menggunakan per
samaan linear orde dua. Selanjutnya melakukan hitung
perataan kuadrat terkecil metode parameter yang di
gunakan untuk menghitung nilai parameter (b0, b1, b2,
b3, b4). Jumlah parameter tergantung pada jenis model
matematika yang digunakan. Selanjutnya dilakukan hi
tung perataan dengan metode single model bundle yang
digunakan untuk menghitung parameter luar (exterior
orientation). Setelah parameter luar diketahui, maka di
bentuk matrik R dengan persamaan berikut ini (Soetaat,
1996).
( + 1 / 2c 2 ) (a + 1 / 2bc ) (b + 1 / 2ac )

1
R = (a + 1 / 2bc ) ( + 1 / 2b 2 )
(c + 1 / 2ab )

( + 1 / 2a 2 )
(b + 1 / 2ac ) (c + 1 / 2ab )
= 1 + 1 / 4( a 2 + b 2 + c 2 )
= 1 1 / 4(a 2 + b 2 + c 2 )

Proses selanjutnya adalah memilih pada salah satu


titik di sistem koordinat tanah yang sudah diketahui
koordinat 3D nya. Misal I (X2i, Y2i, Z2i), titik I dilakukan
pendekatan dengan Z20 dimana Z20 bisa diambil dari titik
kontrol terdekat. Proses selanjutnya adalah menghitung
15

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


nilai X2i dan Y2i dengan persamaan berikut ini.
i

X2 =
i

Yi =

(r1 X 1 + r21 Y1 r31 f )


0
(Z 2 Z 0 ) + X 0
(r13 X 1 + r23 Y1 r3 f )

(r1 X 1 + r2 Y1 + r32 f )
0
( Z 2 Z 0 ) + Y0
(r13 X 1 + r23 Y1 + r3 f )

Setelah diperoleh nilai X2i dan Y2i maka proses se


lanjutnya adalah menghitung nilai Z21. persamaan yang
digunakan adalah Z21=b0+b1X2i+b2Y2i+b3X2i2+b4Y2i2
Hasil hitungan Z21 digunakan sebagai Z20. Proses se
lanjutnya dilakukan iterasi sesuai dengan proses yang
dilakukan sebelumnya. Iterasi baru berhenti jika perbe
daan X2i, Y2i, dan Z2i dengan hitungan sebelumnya kecil
atau mendekati nol.
Model fungsional RPCs merupakan perbandingan
dua polinomial kubik koordinat tanah, dan menyediakan
fungsional antara koordinat tanah (, , h) dan koordi
nat citra (L, S) (Frianzah, 2009). Pemisahan fungsi rasio
nal disediakan untuk pemetaan koordinat tanah ke ko
ordinat citra (line/baris dan sample/kolom) secara be
rurutan. Untuk memperbaiki ketelitian secara numerik,
koordinat citra dan tanah dinormalisasikan ke range <-1
dan +1> menggunakan offsets dan faktor skala tertentu.
(Grodecki, Dial, and Lutes, 2004)

Keterangan:
: lintang
: bujur
h : tinggi di atas ellipsoid
L, S : koordinat baris kolom
0, 0, h0, L0, S0, s, s, hs, Ls, Ss : offsets dan fak
tor skala pada lintang, bujur, tinggi, kolom, dan baris.
Koordinat tanah diselesaikan secara iterasi. Pada
setiap langkah iterasi, aplikasi dasar hitung perataan
kuadrat terkecil menghasilkan perkiraan untuk koordi
nat tanah pendekatan yaitu (Grodecki, Dial, dan Lutes,
2004).
Metode ini merupakan konsep orthorektifikasi
sederhana karena hanya memerlukan metadata dari
raw data citra satelit yang digunakan. Metadata tersebut
berisi informasi parameter dalam (interior orientation)
berupa nilai omega, phi, kappa, dan titik kontrol sebanyak
lima yaitu pada empat titik pojok dan satu titik tengah
citra satelit. Akurasi dan presisi yang dihasilkan masih
16

belum baik karena masih berupa orientasi relatif dimana


koordinat ke lima titik kontrol tersebut didasarkan pada
informasi saat perekaman citra satelit. Persamaan yang
digunakan pada metode ini adalah Kolinear. Sedangkan
jenis transformasi koordinat menggunakan transformasi
Sebangun dengan resampling Nearest Neighbour.
Metode orthorektifikasi ini memungkinkan untuk
menambah titik kontrol tanah untuk meningkatkan
akurasi dan presisi orthoimage. Hal yang perlu diperha
tikan adalah dalam pembentukan jaring kontrol geode
tik dari titik kontrol yang dimiliki. Metode ini memiliki
kemiripan dengan DMP yaitu dalam pembacaan meta
data, tapi berbeda dalam persamaan arah sumbu Z, yaitu
menggunakan konsep pemotongan ke belakang dengan
persamaan polynomial (DMP) dan konsep jaring kontrol
geodetik arah sumbu X, Y, dan Z (Rigorious satellite sen
sor model). Metode ini juga memiliki kesamaan dengan
RPCs yaitu dalam penggunaan konsep jaring kontrol
geodetik, tetapi memiliki perbedaan dalam pembacaan
metadata (Rigorious satellite sensor model) dan tanpa
menggunakan metadata (RPCs) (Julzarika, 2009).
Penelitian ini menggunakan beberapa multi oblique
image satellite, yaitu SPOT2 (wilayah pulau Rimau),
SPOT4 (wilayah pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang
dan sekitarnya), Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat ba
gian tengah), Alos Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism
wide scene (Wilayah Kebumen), Alos Avnir-2 (Kabupa
ten Tana Tidung), LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein
Sastranegara), Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen), serta
Quick Bird (Wilayah Kampus UGM).
1. SPOT2 (Wilayah Pulau Rimau)
Citra ini memiliki incidence angle 21,6 derajat. Metode
yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model.
Metode ini dipilih karena data memiliki metadata leng
kap yang diperoleh dari satelit sehingga parameter orien
tasi dalam sudah diketahui. TKT yang digunakan ada se
banyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar
934+ standar deviasi meter. Pergeseran ini ditunjukkan
pada Gambar (3). Pada gambar tersebut terlihat perge
seran pada salah satu titik antara SPOT non-orthoimage
terhadap SPOT orthoimage. Uji ketelitian dilakukan te
rhadap ALOS Palsar Orthoimage dan survei lapangan.
2. SPOT4 (wilayah pulau Bali)
Citra ini memiliki incidence angle 27,9 derajat. Metode
yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model.
TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage
mengalami pergeseran sekitar 693,33 + standar devia
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


diperoleh metadata sebagai salah satu parameter orien
tasi dalam dan ditambah dengan beberapa TKT yang
diketahui di lapangan. TKT yang digunakan ada seba
nyak delapan. Orthoimage mengalami pergeseran seki
tar 16,92+ standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan
terhadap data hasil survei lapangan dengan GPS Geode
tik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

Gambar 3. Pergeseran titik antara SPOT2 non-orthoimage


dengan SPOT2 orthoimage

4. Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah)


Citra ini memiliki incidence angle 8,09 derajat . Metode
yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model.
TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage
mengalami pergeseran sekitar 21,48+ standar deviasi
meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar
Orthoimage, Google Earth, dan data lapangan.

Gambar 6. Landsat7 orthoimage terhadap GE (kiri) dan


ALOS Palsar orthoimage (kanan)
Gambar 4. SPOT4 orthoimage terhadap ALOS Palsar
orthoimage dan GE

si meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar


Orthoimage dan Google Earth (GE). Google Earth meru
pakan orthoimage dengan proyeksi plate carre.
3. SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya)
Citra ini memiliki incidence angle -6,3526 derajat. Me
tode yang digunakan adalah DMP. Metode ini dipakai
karena terdapat informasi metadata lengkap dari satelit
serta memiliki Digital Terrain Model (DTM) lapangan
serta juga dimiliki TKT akurasi tinggi dan presisi seksa
ma. Kerangka dasar acuan orthoimage berupa lima titik
kontrol (empat titik sudut dan satu titik pusat citra) yang

5. Alos Prism backward dan forward (Wilayah Cilacap)


Citra ini memiliki incidence angle +23,8 (arah x) dan
0,86 (arah y). Metode yang digunakan adalah RPCs. Me
tode ini digunakan karena data tidak memiliki metadata
lengkap dari satelit sebagai parameter orientasi dalam
dan hanya memiliki TKT dengan akurasi tinggi dan pre
sisi seksama di lapangan. TKT yang digunakan ada se
banyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran seki
tar 2,058 + standar deviasi meter (backward) dan 2,07 +

Gambar 7. Raw image ALOS Prism Backward (kiri) dan


orthoimage ALOS Prism Backward (kanan)

Gambar 5. SPOT5 orthoimage terhadap peta jalan


BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Gambar 8. Raw image ALOS Prism Forward (kiri) dan


orthoimage ALOS Prism Forward (kanan)
17

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


standar deviasi meter (forward). Uji lapangan dilakukan
terhadap data dan survei lapangan dengan GPS Geode
tik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.
6. Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen)
Citra ini tidak memiliki informasi incidence angle. Meto
de yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan
ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran
sekitar 5,6 km + standar deviasi meter. Pergeseran terse
but ditunjukan pada Gambar (9). Uji ketelitian dilakukan
terhadap data lapangan dengan GPS Geodetik, Sipat Da
tar, Total Station, dan Theodolit.

Gambar 11. LAPAN TUBSAT orthoimage terhadap GE

Gambar 9. Pergeseran ALOS Prism wide scene nonorthoimage terhadap ALOS Prism wide scene orthoimage

9. Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen).


Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui
sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan
adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada seba
nyak 14. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar
33,18 + standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan
dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan
Theodolit.

7. Alos Avnir-2 (Kabupaten Tana Tidung)


Citra ini memiliki tidak memiliki informasi incidence
angle. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang
digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami
pergeseran sekitar 110 + standar deviasi meter. Uji la
pangan dilakukan dengan dengan GPS Geodetik, Sipat
Datar, Total Station, dan Theodolit.

Gambar 12. Ikonos orthoimage terhadap peta


jaringan jalan
Gambar 10. ALOS AVNIR-2 orthoimage

8. LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara)


Citra ini memiliki incidence angle 30-70 derajat. Data
LAPAN TUBSAT berupa video sehingga teknik pengo
lahannya dilakukan secara videogrammetri. Metode
yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan
ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran
sekitar 17,22 + standar deviasi meter. Uji ketelitian di
lakukan terhadap Google Earth.

18

10. Quick Bird (Wilayah Kampus UGM)


Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui
sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan
adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada seba
nyak 20. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 4+
standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan
GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.
Tabel 1 berikut merupakan hasil penelitian pembu
atan orthoimage dengan metode DMP, RPCs dan Rigori
ous satellite sensor model.
Teknik orthorektifikasi tersebut bisa diaplikasi
kan untuk berbagai citra satelit. Beberapa citra satelit
yang sudah dilakukan pembuatan orthoimage adalah
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


data lengkap atau diketahui parameter dalam (interior
orientation) citra satelit tersebut. Metode DMP digu
nakan jika mempunyai Digital Terrain Model (DTM))
lapangan dan TKT dengan akurasi tinggi dan presisi
seksama sehingga bisa memperbaiki kualitas orthoim
age dari Rigorious satellite sensor model. Metode RPCs
digunakan jika tidak diketahui parameter dalam (inte
rior orientation) pada raw data yang akan diorthorek
tifikasi atau metadata tidak lengkap. Pengujian akurasi
dan presisi digunakan teknik hitung perataan dari data
survei lapangan maupun peta vektor dan citra satelit
orthoimage lainnya.
Pembuatan orthoimage memerlukan DTM dengan
akurasi tinggi dan presisi seksama. Pada metode rigorious
satellite sensor model hanya memerlukan lima titik kontrol
(empat titik sudut dan satu titik tengah) yang diperoleh
dari metadata. Metode DMP memerlukan minimal dela
pan titik kontrol (lima titik kontrol dari metadata dan tiga
TKT dari lapangan). Metode RPCs memerlukan minimal
tujuh titik kontrol yang diperoleh dari TKT lapangan. Pe
nyebaran TKT untuk pembuatan orthoimage ini disesuai
kan dengan konsep jaring kontrol geodetik.

Gambar 13. Quick Bird orthoimage terhadap


peta jaringan jalan

SPOT2, SPOT4, SPOT5, Landsat7, ALOS Prism (Back


ward), ALOS Prism (Forward), ALOS Prism (Wide
Scene), ALOS AVNIR-2, LAPAN TUBSAT, IKONOS,
dan QuickBird. Rigorious satellite sensor model jika citra
satelit tersebut masih berupa raw data dengan meta

Tabel 1. Hasil penelitian pembuatan orthoimage dengan metode DMP, RPCs, dan Rigorious satellite sensor model.
No

Citra Satelit

Wilayah
penelitian

Metode
Orthoimage

TKT

Akurasi Horizontal

1.

SPOT2

Pulau Rimau

rigorious satellite
sensor model

934+ standar deviasi meter

2.

SPOT4

Pulau Bali

rigorious satellite
sensor model

693,33 + standar deviasi


meter

3.

SPOT5

Semarang

DMP

16,92+ standar deviasi meter

4.

Landsat7

Sumatera Barat
bagian tengah

rigorious satellite
sensor model

21,48+ standar deviasi meter

5.

ALOS Prism (Backward)

Cilacap

RPCs

2,058 + standar deviasi meter

ALOS Prism (Forward)

Cilacap

RPCs

2,07 + standar deviasi meter


(forward)

6.

ALOS Prism (Wide Scene)

Kebumen

RPCs

7.

ALOS AVNIR-2

Tana Tidung

RPCs

8.

LAPAN TUBSAT

Bandara Hussein
Sastranegara

RPCs

17,22 + standar deviasi


meter

9.
10.

IKONOS
QuickBird

Solo-Sragen
Kampus UGM

RPCs, DMP
RPCs, DMP

14
20

33,18 + standar deviasi meter


4+ standar deviasi meter

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

5,6 km + standar deviasi


meter
110 + standar deviasi meter

19

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Teknik Penurunan Digital Surface Model


(DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10
Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging)
Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita
* Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370
Email: verbhakov@yahoo.com

urvei dan Pemetaan merupakan bidang ilmu kebu


mian yang mengkaji berbagai aspek pemetaan di
darat, air, dan udara. Salah satu hasil dari survei
dan pemetaan adalah peta, baik yang berisi informasi 1D,
2D, 3D, 4D maupun yang sampai 12D. Pada tulisan ini
lebih fokus pada informasi 3D dimana informasi 3D ini
dapat berupa DSM, Digital Elevation Model (DEM), Di
gital Terrain Model (DTM), Digital Geoid Model (DGM)
dan model 3D lainnya. Informasi 3D ini bisa didapatkan
dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Peng
ukuran langsung ini melalui survei dan pemetaan, dila
kukan langsung di lapangan, baik dengan pengukuran
terrestrial maupun non terrestrial, menggunakan alat
ukur geodetik seperti theodolit, sipat datar, total stati
on, laser scanner. Sedang pengukuran tidak langsung
bisa dengan pemetaan dengan fotogrammetri, video
grammetri, radargrammetri, dan penginderaan jauh,
dilakukan dengan wahana tertentu, menggunakan foto
udara, video udara, lidar, mobile web mapping, maupun
citra satelit. Pada kajian ini, pemodelan 3D berupa DSM
menggunakan data Shuttle Radar Topographic Mission
90 (SRTM90). Data ini diperoleh menggunakan waha
na satelit dengan karakteristik tertentu seperti memiliki
sensor aktif, resolusi spasial 90+standar deviasi meter,
akurasi vertikal 5-8 meter.
Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam peme
taan dengan citra satelit adalah model 3D dalam resolusi
spasial yang kurang bagus. Resolusi spasial 90 m hanya
sesuai dengan pemetaan model 3D skala menengah (se
kitar 1:50.000), sedangkan saat ini sudah tersedia citra
satelit dengan resolusi tinggi, akan tetapi data model 3D
yang tersedia juga minim dan harga yang sangat mahal.
Permasalahan lainnya adalah dalam koreksi geometrik
citra satelit, terutama dalam pembuatan orthoimage akan
diperlukan model 3D dengan akurasi dan presisi tinggi
20

pula. SRTM90 merupakan data model 3D yang tersedia


secara gratis sehingga memungkinkan untuk melakukan
peningkatan akurasi dan presisi dari data yang tersedia.
Interpolasi matematika dalam survei pemetaan merupa
kan salah satu solusi untuk peningkatan akurasi dan pre
sisi. Ada beberapa interpolasi matematika yang dikenal
pada survei pemetaan, diantaranya Inverse distance to a
power, Kriging, Minimum curvature, Modified Shepards
method, Natural Neighbor, Nearest Neighbor, Polynomial
Regression, Radial Basis Function, Triangulation with
Linear Interpolation, Moving Average, Data Metrics, Lo
cal Polynomial, Nearest point, Trend Surface, Anisotropic
Kriging, Universal Kriging, CoKriging, Simple Kriging,
Ordinary Kriging, IRFk-Kriging, Indicator Kriging, Mul
tiple indicator Kriging, Disjunctive Kriging, Lognormal
Kriging, Spline, Newton, Langrange, dan lain-lain.
Pada penelitian ini akan menggunakan interpola
si Kriging jenis CoKriging untuk menurunkan DSM
SRTM90 menjadi DSM SRTM10. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan akurasi dan presisi DSM yang di
hasilkan serta bisa meningkatkan kualitas geometrik se
waktu diturunkan lagi menjadi DEM, DTM, dan DGM
sehingga bisa mendukung pembuatan orthoimage untuk
citra satelit resolusi tinggi. SRTM10 yang dimaksudkan
disini adalah model 3D yang memiliki resolusi spasial
10+standar deviasi meter.
Pemodelan 3D SRTM10 tersebut memerlukan inter
polasi Kriging karena saat ini Kriging merupakan metode
terbaik dalam melakukan interpolasi secara geostatistik
(Julzarika, 2009). Metode Kriging memerlukan suatu ja
ring kontrol geodetik. Pada pemodelan permukaan digi
tal, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik
dapat menghasilkan grid data secara matematis (Julza
rika, 2007). Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian
koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transfor
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


masi koordinat (Soetaat, 1996). Transformasi koordinat
yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta
dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol
geodetik menjadi koordinat raster pada grid data (Arsa
na dan Julzarika, 2006). Secara matematis, metode Kri
ging dapat menghasilkan nilai akurasi tinggi dan presisi
seksama (Li, Zhu, and Gold, 2005).
Metode Kriging adalah metode interpolasi yang ber
basis geostatistik (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Meto
de ini diturunkan dari teori variabel pembatas (regional
variable) yang mengasumsikan bahwa variasi data geo
grafi dapat disebut sebagai variabel pembatas. Kriging
menurunkan pembobotan untuk interpolasinya dari se
mivariogram. Setiap pengukuran mempunyai kesalahan
ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak
acak (Julzarika dan Sudarsono, 2009). Pemerataan titik
kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi
akurasi dan presisi data (Moffit and Mikhail, 1980).
Penghitungan dan penggambaran semivariogram
adalah inti dari interpolasi metode Kriging. Semivario
gram menentukan tingkatan hubungan spasial (spatial
correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah, atau
tingkat hubungan dari data spasial yang merupakan va
riabel pembatas tersebut (Widjajanti dan Sutanta, 2006).
Semivariogram ini mengatur proses pembobotan inter
polasi metode Kriging, dan juga mengatur kualitas hasil
dari interpolasi. Sebelum melakukan interpolasi dengan
metode Kriging maka harus ditentukan terlebih dahulu
bentuk semivariogram.
Semivariogram yang merupakan tingkat hubungan
spasial tersebut sebenarnya adalah suatu
gambaran dari semivarian yang mempunyai
interval antar data yang tidak sama untuk
suatu pengambilan data dalam suatu ke
lompok data (Widjajanti dan Sutanta, 2006).
Jika terdapat suatu kelompok data dengan
jumlah n, dan interval antar data yang sama
atau , maka dengan persamaan semivarian
dapat dinyatakan hubungan antar suatu pa
sangan data ke-I dan data ke-h, yang dinota
sikan dengan .

gh =

hitungan semivarian tersebut digambarkan menjadi se


buah bentuk semivariogram.
Secara matematis, metode CoKriging merupakan
interpolasi titik, membutuhkan peta titik sebagai data
masukan dan menghasilkan peta raster dengan estimasi
dan peta kesalahan/error. CoKriging adalah multiva
riate variant dengan operasi dasar Kriging. CoKriging
menghitung perkiraan atau prediksi dengan sampel
minimumdengan bantuan variabel yang lebih baik (co
variable). Variabel harus dengan korelasi tinggi (positif
atau negatif). CoKriging baik untuk mendapatkan hasil
yang presisi. CoKriging menggunakan semivariograms
kovarian dengan memperhitungkan bobot S w i = 1 and
S h j = 0 dan metode Kriging (Ilwis, 2009). Nilai vario
gram dengan model semivariogram g A , g B dan model
silang variogram untuk observasi predictand Ai dan n
observasi dari covariable Bj sesuai dengan persamaan
CoKriging.
s2 = S wi gA(hi) + S hj g AB(hj) + m1
Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran,
baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Ar
sana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol da
lam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan
presisi data (Julzarika, 2007).
Hasil dan pembahasan
Penelitian ini menggunakan DSM SRTM90 sebagai
data masukan. Data ini memiliki resolusi spasial sekitar

in h ( X i X i h ) 2
2n

Pada persamaan tesebut, Xi adalah data


ke-i dan Xi-h adalah data pengukuran yang
lain dengan interval h. Jika interval antar
titik data tidak sama atau h mempunyai ni
lai yang berbeda, kemudian hasil dari per
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Gambar 1. DSM SRTM90


21

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


90 m. Wilayah kajian adalah Semarang dan sekitarnya.
Gambar (1) merupakan tampilan DSM SRTM90 wilayah
Semarang dan sekitarnya.
Semarang memiliki topografi beragam sehingga
pada kajian ini wilayah tersebut dibagi atas dua yaitu
Semarang bawah (dekat dengan laut sepanjang pantai
Kendal-Semarang-Demak) dan Semarang atas (sekitar
Banyumanik sampai Ungaran). Pada wilayah Semarang
bawah, kondisi pantai terlihat memiliki akurasi dan pre
sisi kurang baik dimana terlihat ukuran piksel (resolusi
spasial 90 m) sehingga batas antara darat dan laut tidak
jelas, hanya berupa rangkaian kotak. Sedangkan di Se
marang atas terlihat pola DSM yang sangat jelas tidak
beragam, yaitu pola pemukiman dan semak serta belu
kar yang ada di wilayah tersebut. Kondisi ini tidak men
cerminkan kondisi model 3D elevasi maupun terrain
sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh perekaman DSM
SRTM90 menggunakan C band sehingga yang dianggap
permukaan adalah bagian teratas dari objek di permu
kaan Bumi seperti tajuk pojok, atap bangunan.
Kemudian wilayah yang sama dibandingkan dengan
DSM SRTM30 dari DLR. DSM ini memiliki resolusi spa
sial 30+standar deviasi meter, ada pada gambar (2). Pada
wilayah Semarang bawah, ukuran piksel sudah menjadi
kecil dan kondisi di sekitar pantai sudah lebih detail di
bandingkan dengan DSM SRTM90. Kemudian dilihat
pada daerah yang sama di Semarang atas, kondisi model
3D juga sudah jauh lebih baik dibanding DSM SRTM90
walaupun masih belum mencerminkan kondisi elevasi
dan terrain sebenarnya. Perekaman DSM SRTM90

Gambar 2. DSM SRTM30 (DLR)


22

menggunakan X band sehingga yang direkam bukan


lagi bagian paling atas objek permukaan Bumi, tetapi le
bih pada sekitar tengah objek. Akurasi dan presisi DSM
SRTM30 lebih baik dari pada DSM SRTM90.
Kemudian dengan interpolasi Kriging dibuat model
semivariogram dengan kriteria model semivariogram di
antaranya tipe komponen menggunakan model Spheri
cal, sudut Anisotropy 0, panjang Anisotropy 1, rasio Ani
sotropy 1, dan skala variogram. Gambar (3) merupakan
model SRTM10 dengan menggunakan Polynomial drift
order 0. Pada wilayah Semarang bawah sudah terlihat
batas jelas antara darat dengan laut sehingga pemetaan
di wilayah pesisir juga lebih jelas. Sedangkan untuk ke
detilan di sekitar Semarang bawah juga lebih meningkat
dari DSM SRTM30. Hasil pemetaan standar deviasi ter
hadap DSM SRTM10 juga berkisar antara 0,1-1,0 meter
sehingga kondisi ini juga membantu untuk peningkatan
model elevasi dan terrain ke kondisi sebenarnya. Seti
daknya terjadi penurunan sebesar 0,1-1,0 m pada per
mukaan objek di permukaan Bumi. Kebanyakan pada
wilayah Semarang bawah terjadi penurunan pada objek
bangunan dan taman kota. Pada wilayah Semarang atas
juga mengalami peningkatan akurasi dan presisi diban
dingkan DSM SRTM30. Kondisi yang sama seperti di
wilayah Semarang bawah, standar deviasi berkisar an
tara 0,1-1,0 meter sehingga juga menyebakan terjadinya
penurunan objek sebesar 0,1-1,0 meter. Penurunan ter
sebut terjadi pada objek semak, belukar, dan pemuki
man. Interpolasi Kriging dengan Polynomial drift order 0
ini memiliki kekurangan dalam tingkat kedetilan objek,
tetapi sudah bisa meningkatkan akurasi dan
presisi DSM sehingga akan berdampak juga
pada akurasi dan presisi jika DSM tersebut
diturunkan ke DEM, DTM, maupun DGM.
Selain menggunakan Polynomial drift
order 0, juga dilakukan penurunan menjadi
DSM SRTM10 dengan Polynomial drift or
der 1. Kondisi ini jauh lebih meningkatkan
akurasi dan presisi dibandingkan dengan
order 0. Pada wilayah Semarang bawah ter
lihat dengan baik batas darat dan laut serta
memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik.
Nilai standar deviasi yang diperoleh sekitar
0,1-13,4 meter. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya penurunan objek sebesar 0,113,4 meter. Pada wilayah Semarang bawah
terjadi penurunan pada bangunan dan po
hon sebesar 0,1-13,4 meter sedangkan pada
wilayah Semarang atas terjadi penurunan
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Gambar 3. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 0)

objek pada bangunan, semak, belukar, dan objek lain


nya. Nilai standar deviasi ini akan meyebabkan akurasi
dan presisi lebih baik dalam penurunan DSM ke DEM,
DTM, maupun DGM. Gambar (4) merupakan tampilan
DSM SRTM10 dengan Polynomial drift order 1.
Terakhir dilakukan penurunan SRTM90 menjadi
DSM SRTM10 dengan interpolasi Kriging mengguna
kan Polynomial drift order 2. Hasil yang diperoleh adalah
penetapan batas antara darat dan laut yang jauh lebih
akurat serta tingkat presisi yang lebih seksama. Selain

itu tingkat kedetilan objek juga jauh lebih


baik dibandingkan dengan order 0 maupun
order 1. Nilai standar deviasi yang dipero
leh berkisar 0-14 meter. Pada wilayah Sema
rang bawah, terjadi penurunan pada objek
bangunan, semak, belukar sedangkan ob
jek laut dan tanah terbuka tidak mengalami
penurunan. Demikian pula dengan wilayah
Semarang atas, yang terjadi penurunan
pada objek bangunan, semak, dan belukar
dan objek tanah terbuka tidak mengalami
penurunan. Kondisi ini menyebabkan DSM
SRTM10 ini lebih mendekati elevasi dan
terrain sebenarnya. Hal ini juga dibuktikan
dengan DTM hasil pengukuran lapangan
dimana perbedaan selisih terkecil terjadi
pada DSM SRTM10 Polynomial drift order
2. Gambar (5) merupakan tampilan DSM
SRTM10 Polynomial drift order 2.
Selanjutnya dilihat perbedaan DSM SRTM90 ter
hadap masing-masing model 3D SRTM10. Dari hasil ter
sebut perbedaan yang terjadi adalah 0-14 m untuk order
2, 0,1-13,5 m untuk order 1, 0,1-1 m untuk order 0, dan -88 meter untuk SRTM30. Pembedaan laut dan darat yang
lebih jelas terjadi pada order 2, demikian juga dengan
tingkat kedetilan juga terjadi pada order 2. Gambar (6)
merupakan tampilan perbedaan masing-masing model
3D terhadap DSM SRTM90.
Dari hasil tersebut diatas, terbukti bahwa DSM
SRTM10 Polynomial drift order 2 memiliki akurasi lebih
tinggi dan presisi lebih seksama dibanding
kan model 3D lainnya. Hal ini disebabkan
oleh kedekatan model 3D terhadap kondisi
elevasi dan terrain sebenarnya setelah di
bandingkan dengan DTM Lapangan. Se
lain itu juga bisa membedakan antara laut
dengan darat dengan lebih teliti dan tingkat
kedetilan yang jauh lebih baik. Interpolasi
Kriging merupakan salah satu metode geo
statistik yang bisa digunakan untuk pening
katan akurasi dan presisi model 3D dalam
mendukung pemetaan skala besar dan da
lam pembuatan orthoimage.

Gambar 4. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 1)


BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

23

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Gambar 5. DSM SRTM10 (Polynomial drift order 2)

Gambar 6. Perbedaan masing-masing model 3D terhadap DSM SRTM90

24

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Meningkatkan Kemampuan Citra untuk


Ekstraksi Informasi Penutup Lahan
Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan
Awan dan Kabut
Oleh: Tri Muji Susantoro*, Muhammad Dzulhanif Harahap**
* Staf Kelompok Penginderaan Jauh, KPRT Eksplorasi, PPPTMGB LMIGAS, ** Staf Bappeda Prov. D. I. Yogyakarta
Email: trimujis@lemigas.esdm.go.id, mdzulhanif@yahoo.com

ermasalahan tutupan awan di Indonesia merupa


kan hal klasik yang menyebabkan penggunaan
data penginderaan jauh sistem optis menjadi
terbatas. Banyak perekaman data penginderaan jauh
sistem optis di Indonesia yang tidak bisa digunakan de
ngan baik karena tutupan awan yang cukup tinggi. Pada
pemetaan penggunaan lahan ataupun pemetaan kondisi
fisik lainnya permasalahan tutupan awan menjadi hal
yang sangat serius. Kondisi awan yang tebal dan meluas
menyebabkan gelombang elektromagnetik tidak sampai
ke obyek/permukaan bumi tetapi langsung dipantulkan
oleh awan tersebut, sehingga pada citra optis yang tere
kam hanyalah awan yang berwarna keputihan. Disam
ping itu bayangan awan pun menjadi permasalahan yang
ada bersamaan dengan awan itu sendiri. Permasalahan ini
sebenarnya sudah dapat diatasi dengan adanya citra radar
yang mempunyai kemampuan menembus awan (L band).
Hanya saja citra radar mempunyai keterbatasan untuk
pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan pada
citra radar obyek yang terekam merupakan pencerminan
dari kondisi kekasaran permukaan, bukan tutupan lahan
secara langsung. Walaupun pada perkembangannya de
ngan menggunakan radar multipolarisasi dan multiwaktu
pemetaan penggunaan lahan dapat terbantu. Salah satu
pemecahan masalah untuk mengatasi kondisi awan di In
donesia khususnya adalah dengan teknik fusi antara data
radar dan data citra optis.
Artikel ini membahas fusi antara citra Palsar (radar)
dengan citra optis (Landsat 7ETM+) dan aplikasinya
untuk pemetaan penggunaan lahan. Selain teknik fusi
dilakukan juga pengolahan data dengan dasar transfor
masi tasseled cap (haze reduction) yang dilakukan untuk
mengurangi haze. Dengan transformasi ini komponen
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

yang terkait dengan haze dikurangi atau dihilangkan.


Aplikasi teknik tersebut dilakukan pada di Selatan Kota
Samarinda dan sebagian Delta Mahakam.
Penggunaan citra satelit radar dimaksudkan untuk
mendapatkan data yang bebas dari pengaruh liputan
awan karena panjang gelombang yang digunakan mampu
menembus liptuan awan disamping mempunyai keung
gulan lain. Interpretasi penggunaan lahan pada Palsar
secara mandiri sebagai data band tunggal relatif sulit
menjadi pertimbangan lain dalam studi ini. Penggunaan
Landsat 7ETM+ dikarenakan data tersebut merupakan
data yang paling banyak digunakan di Indonesia untuk
pemetaan penggunaan lahan. Hal ini akan memudahkan
dalam pengenalan obyek dan karakteristik citra terse
but. Artikel ini menjelaskan proses peningkatan kualitas
citra, fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ dan reduksi
pengaruh kabut (haze) untuk pemetaan penutup lahan.
Diharapkan nantinya dapat dikembangkan untuk berba
gai aplikasi lainnya.
Lokasi studi terletak di sebelah Selatan Kota Sama
rinda, antara 117 22 50 BT sampai dengan 116 43
23 BT dan 0 31 57 LS sampai dengan 1 4 37 LS
(Gambar 1). Pada lokasi studi terdapat daerah migas,
terutama di Sanga-Sanga. Pada daerah ini juga terdapat
sungai besar yang di muaranya membentuk delta yang
sangat luas, yaitu Sungai Mahakam.
Data landsat 7ETM+ yang digunakan berada di Path/
Row 116/61 dengan waktu perekaman tanggal 13 Januari
2002. Palsar yang digunakan merupakan data band tung
gal dengan polarisasi HH dan direkam dengan incident
angle 38.833 serta tanggal perekaman 16 Febuari 2009.
Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan menggu
nakan software Erdas Imagine sedangkan untuk visuali
25

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


kan untuk menghilangkan haze yang
ada pada citra Landsat karena pengaruh
atmosfer. Keuntungan proses ini adalah
dapat menghasilkan produk citra yang
lebih baik/tajam sehingga lebih mudah
digunakan untuk interpretasi secara vi
sual (Gambar 2).
Reduksi haze yang merupakan ba
gian dari koreksi radiometrik mampu
meningkatkan kualitas citra dalam hal
ketajaman obyek dengan baik. Obyekobyek yang mempunyai luasan kecil, se
perti sumur migas lebih dapat diidenti
fikasi dari citra tersebut. Menggunakan
citra hasil reduksi Haze maka obyekobyek yang bersifat linear seperti jalan
lebih mudah diinterpretasi, demikian
pula dengan penggunaan lahan dapat le
bih terbedakan dengan baik.
Proses fusi antara landsat 7ETM+
dan Palsar menggunakan metode Bro
vey Transform, Principal Component dan
Multiplicative. Fusi tersebut dilakukan

Gambar 1. Lokasi Studi


DATA LANDSAT 7ETM+

HAZE REDUCTION 3 X 3

HAZE REDUCTION 5 X 5

Gambar 2. Perbedaaan Hasil Kenampakan Citra Landsat 7ETM+ yang Dilakukan Proses Reduksi Haze

sasi dalam sistem informasi geografis menggunakan Ma


pinfo (pada lokasi pengamatan tidak terjadi perubahan
signifikan terhadap penutup lahan antara Januari 2002
dan Februari 2009). Pengolahan data penginderaan jauh
merupakan suatu teknik pengolahan data yang berba
sis raster. Pada tahap awal dilakukan pengolahan data
untuk penajaman radiometrik dan koreksi geometrik.
Penajaman radiometrik ini menggunakan teknik haze
reduction yang berguna untuk meningkatkan kualitas
citra secara radiometrik. Koreksi geometrik dilakukan
untuk mengurangi error terhadap posisi geografis yang
sebenarnya dan memudahkan dalam proses fusi antara
Palsar dan Landsat 7ETM+. Proses reduksi haze dilaku
26

untuk memperoleh data yang lebih baik secara visual


dan diharapkan mampu mengeliminir awan, sehingga
data citra hasil fusi tersebut menjadi bebas awan. Hasil
fusi tersebut mempunyai kelebihan, yaitu; citra yang
dihasilkan lebih baik untuk interpretasi penggunaan
lahan/tutupan lahan, morfologi lebih jelas, citra yang
dihasilkan mencerminkan sifat-sifat Landsat 7ETM+
dan Palsar, kondisi obyek yang sifatnya linier lebih je
las dan tegas. Gambar 3 berikut merupakan sampel
citra Landsat7ETM+, Palsar dan citra hasil fusi antara
keduanya.
Hasil fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ mem
punyai keuntungan dan kekurangan yang berbeda-beda
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Gambar 3.
Perbedaaan Kenampakan Citra
Landsat 7ETM+, Palsar dan Hasil
Fusi antara keduanya pada
daerah yang berawan

a. Landsat 7EtM+ tahun 2002

c. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+


dengan Brovey transform

b. Palsar

d. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+


dengan Principal Component

antara ketiga metode tersebut. Perbedaannya adalah se


bagai berikut:
Citra Hasil Fusi dengan Metode Brovey Transform
Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara
kteristik citra sebagai berikut:
- Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam,
- Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha
sil fusi dengan metode principal component,
- Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah
dan mulai diganti dengan citra Palsar,
- Pada daerah yang berawan tebal citra yang dihasilkan
diganti dengan palsar,
- Citra Palsar jelas tercermin pada citra hasil fusi ini hal
ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra
Landsat asli,
- Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di
daerah yang berawan,
- Kenampakan Obyek di laut sangat tegas.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

e. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+


dengan Multiplicative

Citra Hasil Fusi dengan Principal Component


Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai karak
teristik citra sebagai berikut:
- Citra yang dihasilkan lebih tegas dalam membedakan
antara vegetasi dan nonvegetasi,
- Kenampakan obyek liniar seperti jalan lebih tegas dan
tajam,
- Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah
ke arah gelap, tetapi obyek dibawahnya masih dapat di
identifikasi,
- Pada daerah yang berawan tebal kenampakan berubah
seperti kenampakan air sehingga obyek dibawahnya
menjadi tidak terlihat,
- Morfologi kurang tajam dan tegas,
- Citra Palsar kurang dapat terjerminkan pada citra ini,
- Kenampakan batas pantai pada daerah yang berawan
tidak jelas,
- Kenampakan obyek di laut tidak jelas.

27

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

a. Palsar

b. Landsat 7EtM+
tahun 2002

c. Citra Hasil Fusi Palsar &


Landsat 7EtM+ dengan Principal
Component

Gambar 4.
Perbedaaan Kenampakan Obyek
Tambang Batubara pada Citra
Landsat 7ETM+, Palsar dan Hasil
Fusi antara keduanya.
d. Citra Hasil Fusi Palsar &
Landsat 7EtM+ dengan
Multiplicative

e. Citra Hasil Fusi Palsar &


Landsat 7EtM+ dengan
Brovey transform

Citra Hasil Fusi dengan Multiplicative


Citra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara
kteristik citra sebagai berikut:
- Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam,
- Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha
sil fusi dengan metode principal component,
- Pada daerah yang berawan tipis kenampakan awannya
masih terlihat dan menyatu seperti obyek tutupan la
han,
- Pada daerah yang berawan tebal kenampakan terlihat
jelas,
- Citra Palsar masih tercermin pada citra hasil fusi ini hal
ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra
Landsat asli,
- Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di
daerah yang berawan,
- Kenampakan Obyek di laut tegas.
28

Gambar 4. berikut adalah contoh perbedaan ke


nampakan obyek tutupan lahan (Tambang Batubara)
antara citra Landsat 7ETM+ dan citra hasil fusi.
Berdasarkan hasil pengolahan data yang berupa
reduksi haze dan fusi landsat 7ETM+ dan Palsar dilaku
kan interpretasi penggunaan lahan secara manual. Pada
daerah yang berawan di Landsat 7ETM+ citra hasil fusi
dengan Palsar mempunyai kenampakan sedikit berbeda.
Dimana rona/warna citra tidak seperti rona/warna pada
citra optik umumnya, sehingga site tekstur dan asosia
si lebih dominan digunakan sebagai dasar interpreta
si. Disamping itu pengetahuan mengenai daerah studi
juga menjadi bagian penting dalam proses interpretasi.
Adapun hasil interpretasi yang diperoleh dengan meng
gunakan citra-citra tersebut adalah seperti Gambar 5.
sedangkan luasan tutupan lahan hasil interpretasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PENGOLAHAN DATA INDERAJA

Gambar 5. Peta Tutupan Lahan Hasil Interpretasi Citra.

NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

TUTUPAN LAHAN
Fasilitas olahraga/Stadion
Hutan
Hutan Rawa
Industri
Kebun
Lahan Terbuka
Lapangan Migas
Mangrove
Perkebunan
Permukiman
Rawa
Sawah
Semak
Tambak
Tambang Batubara
Tubuh Air
Grand Total

LUAS (Km2)
0.97
1,979.66
18.70
0.07
542.04
34.12
1.76
195.70
244.06
140.69
3.54
6.59
70.46
66.05
46.58
616.11
3,967.08

Tabel 1. Luas tutupan lahan daerah Selatan Kota Samarinda


dan sekitarnya.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Tutupan lahan yang diperoleh berdasarkan interpre


tasi terdapat 16 jenis kategori. Khusus untuk Fasilitas
Olahraga/ Stadion di Selatan Kota Samarinda terlihat je
las pada Citra hasil fusi antara Landsat 7ETM+ & Palsar.
Padahal pada Landsat 7ETM+ daerah tersebut masih be
rupa kebun dan belum terbangun stadion tersebut.
Pemanfaatan data Palsar untuk fusi dengan Landsat
7ETM+ atau citra optik lainnya yang mempunyai tutu
pan awan yang tinggi dapat menjadi alternatif yang baik
untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan
pada citra hasil fusi tersebut tutupan awan dapat berku
rang dan digantikan dengan Palsar tersebut. Metode fusi
yang relatif baik untuk menggabungkan antara Palsar &
Landsat 7ETM+ adalah metode Brovey Transform. Pada
citra ini tampak adanya ketegasan yang baik dalam mor
fologi, jalan sungai dan garis pantai.
Citra hasil fusi antara Palsar & Landsat 7ETM+ da
pat digunakan secara efektif untuk pemetaan penggu
naan lahan. Disini diperlukan kejelian dalam memahami
obyek-obyek pada citra hasil fusi tersebut, karena ke
nampakan obyek sedikit berbeda dengan citra Landsat
29

PENGOLAHAN DATA INDERAJA


Gambar 6. Hasil Fusi dengan
metoda Brovey Transform.

Gambar 7. Hasil Fusi dengan


metoda Multiplicative.

Gambar 8. Hasil Fusi dengan


metoda Principal Component.

7ETM+ murni. Efek morfologi pada citra hasil


fusi ini lebih tegas dan kuat. Keuntungan lain
nya adalah pada citra hasil fusi ini dapat digu
nakan untuk mendeteksi kapal yang berada
dipermukaan laut seperti citra Radar secara
umum. Pengolahan reduksi haze baik juga dila
kukan untuk mempertegas kenampakan obyek,
terutama mempertegas batas obyek. Walaupun
reduksi haze ini sebenarnya merupakan bagian
dari koreksi atmosferik.
30

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA

Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot)


Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di
Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun
2001 - 2009
Oleh: Suwarsono*, Fajar Yulianto*, Par wati*, dan Totok Suprapto**
*Staf Peneliti Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN, ** Kepala Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN

ampir sudah dapat dipastikan bahwa di wilayah


Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kaliman
tan akan terjadi peningkatan intensitas keba
karan hutan dan lahan pada musim-musim kemarau,
yang terjadi pada bulan-bulan sekitar April hingga Ok
tober. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila
terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO
(lebih sering disingkat dengan El Nino), seperti yang
terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun
1997 dinyatakan oleh Asian Development Bank (ADB)
sebagai kebakaran hutan dan lahan yang paling parah
dengan luas total areal yang terbakar adalah 9,75 juta
ha yang tersebar di Sumatera 1,7 juta ha, Kalimantan
6,5 juta ha, Jawa 0,1 juta ha, Sulawesi 0,4 juta ha, dan
Papua 1 juta ha. Berdasarkan data tersebut tampak bah
wa wilayah Kalimantan mempunyai luasan areal terba
kar yang paling besar. Berdasarkan data dari Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas areal
hutan yang terbakar dari tahun 2004 hingga 2008 untuk
seluruh wilayah Indonesia berturut-turut adalah 3.344
ha, 5.502 ha, 32.199 ha, 7.078 ha dan 7.245 ha.
Sudah lebih dari satu dekade Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN) secara konsisten mela
kukan pemantauan titik panas (hotspot) sebagai indikasi
kebakaran hutan dan lahan menggunakan data satelit
penginderaan jauh di wilayah Indonesia, khususnya di
wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan tekno
logi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan kebaka
ran hutan dan lahan telah memberikan andil yang nyata
terutama sejak pertengahan tahun 90-an seiring dengan
terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan paling pa
rah dalam sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada
musim kemarau tahun 1997 tersebut di atas. Beroperasi
nya satelit Terra pada tahun 1999 dan Aqua pada tahun

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

2002 yang membawa sensor MODIS (Moderate Imaging


Resolution Spectroradiometer) telah meningkatkan kua
litas hasil pemantauan hotspot disamping pemanfaatan
data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Admi
nistration).
Pada tulisan ini akan diuraikan kondisi hotspot, baik
jumlah maupun sebarannya untuk wilayah Kalimantan
sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2009 menggunakan
data MODIS. Selain itu juga menyajikan hasil analisis ke
padatan hotspot dari kurun waktu tersebut untuk identi
fikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
Sebaran hotspot di Kalimantan tahun 2001-2009
Selama kurun waktu tahun 2001 hingga 2009 di Kali
mantan dijumpai sebanyak 77.274 titik panas (Gambar 110). Jumlah hotspot tahunan dari 2001 hingga 2009 yaitu
tahun 2001 (1.315 hotspot), tahun 2002 (12.219 hotspot),
tahun 2003 (5.869 hotspot), tahun 2004 (10.973 hotspot),
tahun 2005 (3.121 hotspot), tahun 2006 (16.495 hotspot),
tahun 2007 (1.912 hotspot), tahun 2008 (1.919 hotspot)
dan tahun 2009 (23.551 hotspot). Berdasarkan data ter
sebut dapat diketahui bahwa hotspot mengalami pening
katan pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009. Kondisi de
mikian dapat dipahami karena pada tahun-tahun tersebut
bersamaan dengan terjadinya fenomena El Nino.
Berdasarkan data jumlah hotspot bulanan di Kali
mantan selama kurun waktu 2001 2009 dapat diketahui
bahwa hotspot mengalami peningkatan selama bulan
Agustus hingga Oktober dengan puncak hotspot terjadi
pada bulan September (Gambar 11). Berdasarkan data
tersebut maka perlu diwaspadai terhadap peningkatan
intensitas kebakaran hutan dan lahan pada bulan-bulan
tersebut, terutama sekali apabila diprediksi pada bulanbulan tersebut akan terjadi fenomena El Nino.
31

APLIKASI INDERAJA

Gambar 1.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2001 di
wilayah Kalimantan

Gambar 2.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2002 di
wilayah Kalimantan

Gambar 3.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2003 di
wilayah Kalimantan

Gambar 4.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2004 di
wilayah Kalimantan

32

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA

Gambar 5.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2005 di
wilayah Kalimantan

Gambar 6.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2006 di
wilayah Kalimantan

Gambar 7.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2007 di
wilayah Kalimantan

Gambar 8.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2008 di
wilayah Kalimantan

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

33

APLIKASI INDERAJA

Gambar 9.
Jumlah hotspot bulanan
sepanjang tahun 2009
di wilayah Kalimantan

Gambar 10.
Jumlah hotspot sepanjang
tahun 2001-2009
di wilayah Kalimantan

Tabel 1. Jumlah hotspot tahun 2001-2009


per provinsi di Kalimantan
No

Provinsi

Sebaran hotspot di tiap-tiap provinsi dan kabupaten


Sebaran hotspot paling banyak terdapat di Provinsi
Kalimantan Tengah, yaitu sebanyak 40.412 hotspot
(52,2% dari jumlah total di Kalimantan). Sedangkan pro
vinsi lainnya berturut-turut yaitu ; Provinsi Kalimantan
Barat sebanyak 21.090 hotspot (27,3%), Kalimantan Ti
mur sebanyak 8.261 hotspot (10,7%), dan Kalimantan
Selatan sebanyak 7.611 hotspot (9,8%). Selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
34

Prosentase
(%)

Kalimantan Tengah

40.412

52.2

Kalimantan Barat

21.090

27.3

Kalimantan Timur

8.261

10.7

Kalimantan Selatan

7.611

9.8

77.374

100.0

Total
Gambar 11.
Jumlah hotspot rerata bulanan sepanjang tahun 2001 - 2009
di wilayah Kalimantan.

Jumlah
Hotspot


Di Provinsi Kalimantan Tengah hotspot paling
banyak terdapat di Kabupaten Pulangpisau, yaitu seba
nyak 9.082 hotspot (22,5% dari jumlah total di Provinsi
Kalimantan Tengah). Selain itu hotspot juga banyak di
jumpai di Kabupaten Kotawaringin Timur (5.509 hotspot
atau 13,6%), Kabupaten Kapuas (4.723 hotspot atau 11,7%),
Kabupaten Seruyan (4.707 hotspot atau 11,6%), Kabu
paten Katingan (3.721 hotspot atau 9,2%), dan Kabupaten
Kotawaringin Barat (2.914 hotspot atau 7,2%). Sedangkan
di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah
2.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA
Tabel 2. Jumlah hotspot tahun 2001-2009
per kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah
No

Provinsi

Jumlah
Hotspot

Prosentase
(%)

No

801

3.8

10

Sekadau

293

1.4

Kota Singkawang

25

0.1

Kota Pontianak

14

0.1

21.090

100.0

Pulangpisau

9.082

22.5

Kotawaringin Timur

5.509

13.6

12

Kapuas

4.723

11.7

Seruyan

4.707

11.6

Katingan

3.721

9.2

Kotawaringin Barat

2.914

7.2

Kota Palangkaraya

1.759

4.4

Sukamara

1.559

3.9

Barito Selatan

1.381

3.4

10

Barito Utara

1.191

2.9

11

Lamandau

1.159

2.9

12

Barito Timur

1.018

2.5

13

Gunungmas

956

2.4

14

Murungraya

733

1.8
100.0


Di Provinsi Kalimantan Barat hotspot paling
banyak terdapat di Kabupaten Ketapang, yaitu sebanyak
8.676 hotspot (41,1% dari jumlah total di Provinsi Kali
mantan Barat). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai
di Kabupaten Ketapang (2.299 hotspot atau 10,9%), Ka
bupaten Bengkayang (1.929 hotspot atau 9,1%), Kabu
paten Pontianak (1.729 hotspot atau 8,2%), Kabupaten
Kapuas Hulu (1.578 hotspot atau 7.5%), Kabupaten Sam
bas (1.462 hotspot atau 6,9%), dan Kabupaten Sanggau
(1.368 hotspot atau 6,5%). Sedangkan di kabupaten lain
nya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Se
lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah hotspot tahun 2001-2009
per kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat
No

Provinsi

Jumlah
Hotspot

Prosentase
(%)

Ketapang

8.676

41.1

Sintang

2.299

10.9

Bengkayang

1.929

9.1

Pontianak

1.729

8.2

Kapuas Hulu

1.578

7.5

Sambas

1.462

6.9

Sanggau

1.368

6.5

Landak

916

4.3

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Prosentase
(%)

Melawi

40.412

Jumlah
Hotspot

9
11

Total

Provinsi

Total


Di Provinsi Kalimantan Timur hotspot paling
banyak terdapat di Kabupaten Kutai Barat, yaitu seba
nyak 1.796 hotspot (21,7% dari jumlah total di Provinsi
Kalimantan Timur). Selain itu hotspot juga banyak di
jumpai di Kabupaten Kutai Kartanegara (1.734 hotspot
atau 21%) dan Kabupaten Pasir (1.318 hotspot atau
16%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot
berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah hotspot tahun 2001-2009
per kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur
No

Provinsi

Jumlah
Hotspot

Prosentase
(%)

Kutai Barat

1.796

21.7

Kutai Kartanegara

1.734

21.0

Pasir

1.318

16.0

Berau

925

11.2

Kutai Timur

782

9.5

Nunukan

593

7.2

Bulungan

565

6.8

Penajam Paser Utara

272

3.3

Malinau

154

1.9

10

Kota Bontang

86

1.0

11

Kota Balikpapan

19

0.2

12

Kota Tarakan

12

0.1

13

Kota Samarinda

0.1

8.261

100.0

Total

Di Provinsi Kalimantan Selatan hotspot paling ba


nyak terdapat di Kabupaten Banjar, yaitu sebanyak 1.541
hotspot (20,2% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan
Selatan). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Ka
bupaten Kotabaru (1.218 hotspot atau 16%). Sedangkan
di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah
1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

35

APLIKASI INDERAJA
Tabel 5. Jumlah hotspot tahun 2001-2009
per kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan
No

Provinsi

Prosentase
(%)

Banjar

1.541

20.2

Kotabaru

1.218

16.0

Tapin

994

13.1

Baritokuala

985

12.9

Tanahlaut

915

12.0

Tanahbumbu

618

8.1

Hulusungai Selatan

515

6.8

Hulusungai Utara

264

3.5

Tabalong

211

2.8

10

Balangan

131

1.7

11

Kota Banjarbaru

103

1.4

12

Hulusungai Tengah

89

1.2

13

Kota Banjarmasin

27

0.4

7.611

100.0

Total

Jumlah
Hotspot

dioverlaykan dengan data DEM-SRTM (gambar sebelah


kiri). Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui bahwa
daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan
paling banyak terkonsentrasi di Kabupaten Pulang Pisau,
Kapuas, Barito Selatan, Kotawaringin Timur, Katingan,
Barito Utara dan Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan
Tengah, Kabupaten Ketapang, Sambas, Bengkayang,
dan Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten
Kutai Timur dan Berau Provinsi Kalimantan Timur, serta
Kabupaten Banjar dan Tapin Provinsi Kalimantan Selatan
(ditunjukkan oleh gradasi warna merah).
Pada gambar sebelah kanan ditunjukkan contoh per
besaran daerah rawan kebakaran tersebut yang diover
laykan dengan citra SPOT-4 yang mencakup sebagian
wilayah di Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan
Timur. Pada gambar tersebut tampak dengan jelas kon
sentrasi kepadatan hotspot yang tinggi sehingga daerah
tersebut memiliki tingkat kerawanan terhadap keba
karan hutan dan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah sekitarnya. Warna merah pada kenam
pakan citra SPOT-4 tersebut merupakan indikasi dari la
han yang banyak ditumbuhi alang-alang kering dengan
tingkat kehijauan vegetasi yang rendah (dry grassland),
lahan terbuka (bareland) atau lahan bekas terbakar (bur
ned area). Daerah-daerah rawan tersebut perlu menda
patkan perhatian serius terhadap kemungkinan akan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama pada
musim kemarau yang disertai dengan El Nino.

Identifikasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan


Berdasarkan data sebaran hotspot sepanjang tahun
2001 hingga tahun 2009 dapat diketahui wilayah-wilayah
mana saja yang memiliki jumlah dan kepadatan hotspot
(density) paling banyak. Wilayah-wilayah tersebut dapat
diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki tingkat kera
wanan kebakaran hutan
dan lahan lebih tinggi
dibandingkan
dengan
daerah lainnya. Kepa
datan hotspot di wilayah
Kalimantan berkisar an
tara 0 hingga 250 hotspot
per 5 km2 (rata-rata seki
tar 10 hotspot per km2).
Semakin tinggi kepa
datan hotspot maka akan
semakin tinggi tingkat
kerawanannya terhadap
kebakaran hutan dan la
han. Gambar 12 menya
jikan Peta Tingkat Kera
wanan Kebakaran Hutan
dan Lahan berdasarkan
Gambar 12.
kepadatan hotspot dari
tahun 2001 2009 di Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan, dioverlaykan dengan
wilayah
Kalimantan data DEM-SRTM (sebelah kiri) dan contoh perbesarannya yang dioverlaykan dengan citra SPOT-4
(sebelah kanan).
dari data MODIS yang
36

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA

Analisis Data Penginderaan Jauh untuk


Pemantauan Lingkungan Danau Ranau
dan Danau Maninjau
Oleh: M. Natsir
email: mohnatsir@yahoo.com

Salah satu kegiatan di dalam Program Pusat Data


Penginderaan Jauh pada T.A 2008 adalah pemanfaatan
peta citra satelit untuk pemantauan sumber daya air.
Dalam kegiatan ini dilakukan pengamatan danau-danau
seluruh Indonesia yang kebetulan juga menjadi prioritas
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk direhabi
litasi (KLH, 2007). Sebagian danau di pulau Sumatera
yang dimonitor adalah danau Toba, danau Maninjau,
danau Singkarak dan danau Ranau. Danau-danau itu
mempunyai kesamaan pembentukannya yaitu berasal
dari aktifitas gunung berapi (Wikipedia, 2009). Keem
pat danau itu masing-masing juga menjadi obyek wisata
penting di daerahnya serta menjadi penampung air dan
sumber air sungai yang dimanfaatkan sebagai irigasi,
penggerak pembangkit tenaga listrik dan sebagainya.
Secara fisik lingkungan danau dan sungai dibagi menja
di dua yaitu DTA dan DAS. DTA atau daerah tangkapan
air adalah kawasan lingkungan danau yang mengalirkan
air ke danau, sebagai kawasan pengisi danau. Kalau ka
wasan DTA ada hujan maka airnya akan dialirkan ke
danau melalui sungai-sungai yang bermuara ke danau.
Sedangkan daerah aliran sungai yang sudah bukan ling
kungan danau, namun merupakan daerah lingkungan
sungai. Seluruh kawasan yang aliran airnya menuju
ke satu sungai berada dalam satu daerah aliran sungai.
Daerah aliran sungai (DAS) itu ada yang di dalamnya
terdapat danau dan dapat juga tidak ada danau. Secara

skematis siklus air dapat digambarkan dalam Gambar


1 berikut. (Hernandez, 2002)
Berdasarkan aliran airnya yang digambarkan dengan
anak panah, sebagian siklus air ini digambarkan dimulai
dari DTA yang menampung air hujan untuk dialirkan ke
danau. Danau menerima air, setelah melebihi batas bibir
danau air dialirkan ke sungai. Di lingkungan sungai sen
diri terdapat kawasan pensuplai air sungai. Dan danau
pun termasuk pensuplai air sungai yang mengalirkan
airnya ke muaranya di pantai, dan akhirnya pun ke laut.
Air penting dalam kehidupan manusia, karena
nya manusia harus berusaha untuk memperlama ke
beradaan air di daratan, melalui penampungan alami
danau, penampungan buatan seperti waduk untuk ska
la besar, sedang untuk perorangan dengan kolam, bak
ataupun bejana-bejana dan kemudian dimanfaatkan. Air
yang meresap ke tanah pun dimanfaatkan, diambil mela
lui sumur (dengan timba atau dengan memompanya)
untuk berbagai keperluan. Pemantauan keadaan sumber
daya air itu karenanya sangat diperlukan dalam rangka
pelestarian sumber daya air.
Dalam tulisan ini akan diuraikan sebagian hasil pe
mantauan, membahas kesamaan dan perbedaan daerah
tangkapan air (DTA) danau Ranau Sumatera Selatan dan
danau Maninjau Sumatera Barat. Data penginderaan
jauh yang digunakan untuk memantau danau-danau ter
sebut adalah citra ETM Landsat 7 dan TM Landsat 5.

Gambar 1.
Diagram daur air
danau ke laut.

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

37

APLIKASI INDERAJA

Gambar 2. Citra Landsat (3 dimensi) DTA danau Ranau Sumatera Selatan.

Danau Ranau terletak di perbatasan antara Kabupa


ten Ogan Komering Hulu (OKU) Selatan Provinsi Su
matera Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang Provinsi
Lampung. Danau itu terletak antara sekitar 103o 48 30
- 103o 55 50 bujur timur dan pada 4 46 25 4 51
45 lintang selatan. Danau Ranau merupakan danau ter
luas ke dua di pulau Sumatera yang luasnya 130 km2,
terbentuk karena aktivitas vulkanik yang menyebabkan
terbentuknya lubang yang kemudian terisi air menjadi
danau. Daerah tangkapan air danau itu meliputi suatu
kawasan cekungan yang di dalamnya tedapat gunung
Seminung yang merupakan gunung berapi aktif dengan
ketinggian 1880 m dari permukaan laut, perkampungan,
persawahan dan perkebunan. Penduduk sekitar danau
memelihara ikan di dalam danau menggunakan keram
ba. Namun ada bahaya yang mengancam ikan-ikan yaitu
masuknya zat belerang yang berasal dari gunung Semi
nung ketika gunung berapi itu yang berbatasan dengan
danau itu aktif. Air keluar melalui sungai Komering yang
merupakan anak sungai Musi.
Sedangkan danau Maninjau terletak di kabupaten
Agam Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis terle
38

tak pada 0o15 45 - 0o 24 50 lintang selatan dan 100o


930 100o145 bujur timur. Danau ini merupakan
bekas kepundan sebuah gunung mati tua yang digena
ngi air sejak berabad-abad yang lalu dengan luas 9.847,6
Ha. Kawasan DTA dan danau Maninjau ini berbentuk
mangkok dikelilingi oleh tebing yang sangat terjal. Peng
gunaan lahan di kawasan itu terdiri atas hutan, ladang/
tegal, pemukiman, sawah dan ada juga yang dibiarkan
menjadi semak belukar serta hutan yang lebat. Kawa
san DTA ini meliputi satu daerah kecamatan/wali nagari
Tanjung Raya, seluas 13.629 Ha. Danau Maninjau dijadi
kan kawasan pariwisata. Penduduk di sekitar danau ini
pun selain bertani juga memelihara ikan dalam danau
menggunakan keramba. Ikan yang hidup dalam danau
ini terancam racun belerang yang naik terbawa arus
up welling yang berulang setiap 10 tahunan (1999 s/d
2009). Pada awal tahun 2009 ikan yang mati karena zat
belerang mencapai 7.000an ton. Selain karena belerang
ada penyebab lain kematian itu, yaitu endapan palet sisa
makanan ikan dalam keramba yang tidak habis terma
kan, membusuk di dasar danau. Hasil pemeriksaan labo
ratorium menyimpulkan 70% ikan mati karena belerang
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA

Gambar 3. Citra Landsat (3 dimensi) DTA danau Maninjau Sumatera Barat.

dan 30% ikan mati keracunan sisa palet makanan ikan


(Bapedalda Sumbar, 2009 ).
Analisis data penginderaan jauh Landsat 7 ETM+ ta
hun 2001 dan Landsat 5 TM tahun 2006 menunjukkan
bahwa luas danau Ranau itu adalah 12.631,485 Ha, de
ngan luas DTA 36.282,05 Ha. Selama kurun waktu lima
tahun, dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 tidak
ada perubahan berarti pada kawasan itu kecuali pada
hutan yang susut seluas 1.256,688 Ha menjadi semak
belukar. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil klasifikasi
data Landsat-7 ETM+ tahun 2001 dan data Landsat 5
TM tahun 2006 yang diperlihatkan pada Gambar 4 dan
Gambar 5 berikut.
Perubahan tutupan lahan daerah tangkapan air da
nau Ranau dapat dilihat Tabel 1.
Keadaan penutup lahan di DTA danau Ranau dari
tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 mengalami be
berapa perubahan yang antara lain adalah penurunan
luas hutan namun diimbangi oleh kenaikan luas semak
belukar. Berarti penebangan yang kemudian ditinggal
kan begitu saja menjadi belukar, seluas 12.566,688 Ha.
Walaupun akan berpengaruh kepada tangkapan air da
nau Ranau, tetapi belum terlihat pada luas danau. Da
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Tabel 1. Perubahan Penutup lahan DTA danau Ranau.


No
1
2
3
4
5
6
7

Penutup Lahan
Hutan
Ladang / Tegalan
Pemukiman
Sawah
Semak / Belukar
Perkebunan
Danau

Luas ( Ha )
Tahun 2001
9494.511
2439.847
279.407
1978.892
16755.670
5333.723
12631.485

Tahun2006
8237.823
2439.847
279.407
1978.892
18012.358
5333.723
12631.485

lam daerah tangkapan air danau Ranau terdapat sebuah


gunung yang aktif, merupakan sumber belerang yang
mencemari air danau.
Dari analisis data penginderaan jauh Landsat 5 TM
diperoleh bahwa penggunaan/tutupan lahan daerah
tangkapan air danau Maninjau itu terdiri atas hutan, la
dang/tegalan, pemukiman, sawah, semak belukar dan
tanah terbuka. Kawasan danau Maninjau ini sangat dina
mis, dari tahun 1994, sampai tahun 2006 sudah terjadi
banyak perubahan pada semua jenis tutupan lahan se
cara berarti kecuali air danaunya.

39

APLIKASI INDERAJA

Gambar 4. Penutup Lahan DTA Ranau tahun 2001.


Tabel 2. Perubahan Penutup Lahan DTA danau Maninjau.
No

Penutup Lahan

1
2
3
4
5
6

Hutan
Ladang/Tegalan
Pemukiman
Sawah
Semak/ Belukar
Tubuh air

Tahun
1994
9558,4
145,7
185,5
2492,8
1246,6
9847,6

Luas (Ha)
Tahun
2000
9280,8
271,0
186,7
2511,7
1378,8
9847,6

Tahun
2006
9201,4
998,9
200,3
2522,3
706,2
9847,6

Perubahan penutup lahan daerah tangkapan air


danau Maninjau antara tahun 1994 sampai tahun 2006,
antara lain adalah luas hutan yang terus berkurang dari
9558,4 Ha di tahun 1994 turun menjadi 9280,8 Ha pada
tahun 2000 dan pada tahun 2006 menjadi 9201.4 Ha. Se
mak belukar juga mengalami perubahan dari luas 1246,6
Ha di tahun 1994 pada tahun 2000 sedikit naik menjadi
1378,8 Ha, dan pada tahun 2006 turun cukup besar se
hingga tinggal 706,2 Ha saja. Perubahan ini kemung
kinan disebabkan oleh perluasan ladang/tegalan di tepi
hutan kawasan kecamatan Matur dari 145,7 Ha di tahun
1994, naik menjadi 271,0 Ha di tahun 2000 dan naik se
cara drastis sampai 988,9 Ha di tahun 2006. Sawah naik
40

tidak sedikit saja yaitu dari 2492,8 Ha di tahun 1994,


menjadi 2511,7 Ha di tahun 2000 dan pada tahun 2006
hanya naik menjadi 2522,3 Ha.
Perubahan itu menyebabkan beberapa hal, antara
lain hutan yang berkurang akan menyebabkan simpanan
air di daerah tangkapan air berkurang, sehingga sediaan
air tahunan akan cepat habis. Perluasan lahan pertanian
menyebabkan pemakaian pupuk dan pestisida bertam
bah. Bila hujan datang, aliran air akan membawa sisa
pupuk dan pestisida ke danau, mencemari air danau. Pe
rubahan kedua hal itu (luas hutan dan lahan pertanian)
menyebabkan air berkurang dan polutan bertambah.
Adanya kandungan belerang sangat besar di dasar danau
Maninjau yang berasal dari kawah sejak beratus tahun
yang lalu, menambah potensi polusi air danau mening
kat. Hal itu ditandai dengan tumbuh suburnya enceng
gondok karena sisa pupuk (potasium), serta keterangan
pejabat Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Agam me
nyebabkan banyaknya spesies ikan asli yang mati.

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

APLIKASI INDERAJA

Gambar 5. Penutup Lahan DTA Ranau tahun 2006.


Tabel 3. Perbedaan dinamika Penutup Lahan 2000 2006.
No

Jenis Penutup
Lahan

Danau Ranau
Tetap

Berubah

Danau Maninjau
Tetap

Berubah

Hutan

-1256.687 Ha

-79.4 Ha

Semak belukar

+1256.687 Ha

- 672.6 Ha

Perkebunan

Ladang / Tegalan

727.9 Ha

5
6

Sawah
Pemukiman
Danau
(tubuh air)

10.6 Ha
13.6 Ha

Kesamaan dan perbedaan lingkungan danau Ranau


dan danau Maninjau dapat disajikandalam Tabel 3 dan
Tabel 4. Tabel 2 memberikan informasi perbedaan
dinamika penutup lahan, menunjukkan bahwa pada dae
rah tangkapan air danau Ranau terdapat perkebunan
yang tidak ada pada daerah tangkapan air danau Manin
jau, kemudian penggunaan lahan di daerah tangkapan
air danau Ranau tetap kecuali perubahan hutan menjadi
semak belukar, yang kemungkinan akan dijadikan per
kebunan. Sedangkan perubahan penutup lahan daerah
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

tangkapan air danau Maninjau sangat dinamis,


luas semua penutup lahan berubah kecuali
danaunya, menunjukkan kegiatan usaha yang
ramai. Terjadi pengurangan luas hutan dan se
mak belukar sebesar 897,4 Ha yang sebagian
besar berubah fungsi menjadi ladang/tegalan
seluas 853,2 Ha, kemudian menjadi sawah
29,5 Ha dan pemukiman seluas 14,8 Ha.
Dari data sekunder diketahui bahwa ter
dapat adanya polutan yang berasal dari pesti
sida, pupuk, sisa palet makanan ikan dan bele
rang disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Polutan danau Ranau dan Singkarak.

No

Jenis Polutan

Danau
Ranau

Danau
Maninjau

Pestisida

Pupuk
Sisa palet
makanan ikan
Belerang

++

++

Keterangan

Berbeda
sumber
(arti +, ++, +++ lihat pada text, Dinas Lingkungan Hidup, Bape
dalda Prov. Sumbar, 2008)

+++

+++

41

APLIKASI INDERAJA
Sisa pestisida yang masuk ke dalam
kedua danau belum diketahui secara
pasti, namun hilangnya binatang kecil
dan ikan asli menunjukkan adanya sisa
pestisida dalam danau dan sekitarnya
(pada Tabel 4 ditandai dengan tanda +).
Sedangkan adanya sisa pupuk dapat dili
hat dari suburnya tanaman air (enceng
gondok) di dalam danau (Juga ditandai
dengan tanda + pada Tabel 4). Sisa palet
makanan ikan dapat diidentifikasi dari
banyaknya keramba yang ada di kedua
danau (pada Tabel 4 ditandai dengan
tanda ++). Belerang menurut informasi
dari dinas lingkungan hidup dan masya
rakat di sekitar danau berasal dari sum
ber yang berbeda; belerang yang masuk
ke danau Ranau berasal dari gunung Se
minung, sedangkan belerang di danau
Maninjau sudah berada mengendap se
lama ratusan tahun di dasar danau.
Adanya peristiwa banyaknya ikan
yang mati dan hasil kajian ini maka
masyarakat petani dan nelayan, sekitar
danau Ranau maupun danau Maninjau
terutama pemerintah daerah harus was
pada, selain mengamankan usaha ma
syarakat harus pula melestarikan ling
kungan tanpa saling merugikan. Pemu
pukan yang tidak mencemari air danau
nampaknya harus dipilih demikian pula
pelestarian predator alami harus diupa
yakan mengganti penggunaan pestisida.
Teknik efisiensi pemberian makanan
ikan yang sudah dirancang oleh Ke
mentrian Lingkungan Hidup (KLH) dan
Dinas Lingkungan Hidup setempat su
paya segera dilaksanakan. Siklus sepu
luh tahunan upwelling danau harus di
waspadai dengan tidak memelihara ikan
pada tahun-tahun bahaya dan mengada
kan tabungan kerugian.
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa da
nau Ranau dan danau Maninjau mempunyai kesamaan
dan perbedaan lingkungan. Kondisi danau Ranau dan
danau Maninjau sebgai obyek wisata tidak ada masalah.
Sebagai tempat pemeliharaan ikan ada sedikit masalah
dengan adanya pencemaran yang dapat diatasi bila pe
tani sekitar menggunakan pupuk organik dan pelestari
42

Gambar 6. Penutup Lahan DTA Maninjau Tahun 2000.

Gambar 7. Penutup Lahan DTA Maninjau Tahun 2006.

an predator alami untuk memberantas hama. Siap siaga


adanya siklus upwelling belerang di danau Maninjau,
maupun turunnya belerang dari gunung Seminung di
danau Ranau. Sebagai penyedia air ada sedikit masalah
dengan berkurangnya luas daerah penyangga berupa
hutan di kawasan DTA yang dari tahun ke tahun luasnya
terus menyusut.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik


Barat dan Lautan China Selatan
dan Dampaknya terhadap Curah Hujan
di Indonesia
Oleh: Ina Junaeni
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Email: inajunaeni@yahoo.com

iklon bermula dari gelombang atmosfer yang ke


mudian berubah menjadi spot tekanan rendah dan
kemudian berkembang menjadi badai. Jika terjadi
peningkatan kecepatan angin, maka badai berubah men
jadi siklon. Di wilayah tropis, 85 % kejadian siklon dipicu
oleh gelombang tropis. Ada beberapa kondisi yang ha
rus dipenuhi untuk berkembangnya siklon, yaitu : suhu
muka laut harus lebih besar dari 26.5 oC, gaya Coriolis ti
dak nol dan harus mencapai nilai tertentu. Gaya Coriolis
diperlukan untuk tetap mempertahankan spot tekanan
rendah dari siklon. Jika siklon bergerak ke arah ekua
tor dimana gaya Coriolisnya rendah, spin/putaran siklon
akan melemah akibat tidak ada keseimbangan antara
gaya Coriolis dengan gaya gradien tekanan (Gambar
1, Sumber: http://web.mit.edu/). Syarat lain terjadinya
siklon adalah shear angin vertikal rendah agar terjadi
gerakan spiral vertikal.
Dari persyaratan tersebut maka wilayah yang poten
sial untuk terjadinya siklon adalah wilayah tropis dan
subtropis, atau pada zona konvergensi tropis/ zona front/
palung monsun,lokasi dimana sering terjadi tekanan
rendah, seperti diperlihatkan pada Gambar 2 (Sumber:
http://www.windows.ucar.edu/earth/images/). Setiap
wilayah menamai badai besar dengan nama yang ber
beda. Nama siklon (cyclone) digunakan untuk wilayah
lautan Hindia, laut China selatan dan Pasifik barat. Di Pa
sifik barat bagian utara, badai dinamai typhoon. Di lautan
Atlantik dan Pasifik timur dinamai hurricane. Siklon di
wilayah tropis biasanya berada pada wilayah 10 sampai
30 derajat lintang utara (LU) atau lintang selatan (LS).
Karena Coriolis yang lemah yang terkait dengan rotasi
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Gambar 1 Skema aliran udara di sekitar spot tekanan


rendah (di Belahan Bumi Utara). Graden tekanan di
gambarkan oleh panah berwarna biru.
(Sumber:http://www.windows.ucrar.edu/earth/images/

bumi, jarang sekali terjadi siklon di wilayah 5 derajat LU/


LS apalagi sampai di wilayah 0 derajat, tetapi kenyataan
nya ada juga siklon yang sampai wilayah 5 derajat LU/
LS seperti kejadian siklon Vamei tahun 2001 dan siklon
Agni tahun 2004. Di Atlantik utara dan Pasifik timur
laut, angin pasat atau angin yang bergerak ke arah barat
membawa gelombang tropis ke arah barat, dari Afrika
ke laut Karibia, lalu ke Amerika utara terakhir sampai
di laut Pasifik tengah. Gelombang tropis ini merupakan
43

Informasi Data INDERAJA


prekursor bagi siklon tropis. Di lautan Hindia dan Pa
sifik barat, perkembangan siklon lebih ditentukan oleh
gerakan musiman dari palung monsun atau zona tekan
an rendah atau ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone)
dibandingkan oleh gelombang. Siklon tropis juga dapat
dibangkitkan oleh sistem lain seperti sistem tekanan
rendah, sistem tekanan tinggi, front panas dan front di
ngin (Velasco and Fritsch, 1987; Chen and Frank, 1993;
Emanuel, 1993; Zehr, 1992).
Tempat terjadi yang berdekatan dengan wilayah In
donesia ditambah dengan sistem pemicunya yang sangat
berhubungan dengan kondisi cuaca dan iklim Indonesia,
maka siklon tropis merupakan unsur atmosfer yang per
lu dikaji. Selain meneliti variabilitasnya dan perilakunya
dipandang perlu untuk meneliti dampak siklon tropis
terhadap atmosfer Indonesia, khususnya curah hujan.
Terlebih akhir-akhir ini siklon tropis mengalami pening
katan frekuensi dan kekuatan (Emanuel, 2005; Webster
et al., 2005).
Untuk mempelajari perilaku dan dampak siklon tro
pis terhadap kondisi atmosfer Indonesia digunakan data
radar presipitasi (PR), TRMM (Tropical Rainfall Measu
ring Mission), Microwave Imager (TMI) dan VIRS (Vis

ible and Infrared Scanner) yang diunduh dari http://


trmm.gsfc.nasa.gov untuk periode tahun 2008 dan 2009
serta data angin NNR (NCEP/ NCAR Reanalysis) dari
http://www.esrl.noaa.gov/psd/. PR mempunyai resolu
si horisontal ~ 5 km dan dapat memberikan informasi
struktur vertikal hujan dan salju mulai permukaan sam
pai ketinggian 20 km. TMI adalah sensor gelombang
mikro yang dirancang untuk memberikan informasi
kuantitas curah hujan melalui pengukuran jumlah uap
air, jumlah air dalam awan dan intensitas curah hujan.
VIRS adalah pemantau radiasi yang datang dari bumi
dalam 5 wilayah spektral, dari visibel sampai infrared,
atau dari 0,63 sampai 12 mikrometer. Wilayah penelitian
dibatasi di teluk Benggala dan lautan Pasifik Barat (di
tunjukkan dengan anak panah pada Gambar 2), sebagai
lokasi terjadinya siklon yang berdekatan dengan wilayah
Indonesia.
Siklon di Pasifik Barat
Pada tahun 2008, data gabungan dari PR, TMI dan
VIRS (http://trmm.gsfc.nasa.gov) menunjukkan ter
jadi 74 kejadian siklon dari 47 siklon yang berbeda di
lautan Pasifik barat. Berarti, ada siklon yang terjadi lebih

Gambar 2. Peta lokasi badai dan lokasi penelitian


(Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/)

44

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA


6

2008

5
4
3
2

Frekuensi

DOLPHIN
27W
96W
INVESt
91W
90W
NOUL
97W
MAYSAK
96W
94W
24W
93W
BAVI
IN2
22W
HIGOS
MEKKHALA
JANGMI
21W
99W
HAGUPIt
SINLAKU
17W
16W
98W
95W
14W
NURI
13W
VONGFONG
92W
11W
PHANFONE
KAMMURI
10W
FUNG_WONG
KALMAEG
08W
FENGSHEN
NAKRI
HALONG
04W
RAMMASUN
03W
NEOGURI
02W
01W

1 2 3 4 5 6 7 8 9 3 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47

Nama siklon

Gambar 3. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2008

dari satu kali yaitu siklon-siklon 96W, INVEST,


91W, 90W, 97W, 96W, 24W, 21W, 16W, 98W dan
VONGFONG (Gambar 3).
Frekuensi kejadian siklon 96W dan 24W
tertinggi selama tahun 2008 yaitu 5 kejadian.
Dari 47 siklon baru 21 yang sudah diberi nama
sisanya hanya diberi kode. Siklon terjadi ham
pir sepanjang tahun dengan waktu hidup satu
sampai 11 hari. Siklon SINLAKU adalah siklon
dengan waktu hidup terlama tahun 2008, yaitu
11 hari. Kekuatan siklon yang diidentifikasi
dengan estimasi kecepatan angin permukaan
maksimum sangat bervariasi (Cooper et al.,
2008). Kecepatan angin pada siklon tahun 2008
bervariasi mulai 33 knot sampai 145 knot. Siklon
JANGMI mempunyai kecepatan angin terbesar
yaitu 145 knot, yang terjadi mulai 23 September
sampai 1 Oktober 2008 (Tabel 1). Bentuk vi
sual siklon JANGMI pada tanggal 26 September
2008 yang terekam oleh PR, TMI dan VIRS di
perlihatkan pada (Gambar 4). Gambar terse
but juga menunjukkan distribusi spasial curah
hujan pada dinding siklon. Garis penampang
yang dibuat melalui siklon tersebut menunjuk
kan aktivitas hujan yang aktif pada dinding si
klon, sedangkan pada mata siklon cuaca tampak
cerah. Semakin jauh dari mata siklon curah hu
jan semakin kecil. Curah hujan tertinggi berada
pada wilayah dengan jarak kurang dari 1 derajat
(~111 km) dari mata siklon. Salah satu siklon
dengan kecepatan angin rendah yaitu 40 knot
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Tabel 1. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2008


(Sumber: Cooper et al. , 2008)

13
23
23
9
19
29
29
19
18
12
7
9
24
7
47
8
1
24

V
(knot)
40
100
135
40
75
125
110
90
95
50
35
55
100
35
125
35
40
125

P
(mb)
992
948
921
992
966
929
940
955
951
985
996
981
948
996
929
996
992
929

29

145

914

Nama

Periode

Peringatan

TS 01W
TY 02W-Neoguri
STY 03W-Rammasum
TS 04W-Matmo
TY 05W- Halong
TY 06W- Nakri
TY 07W- Fengshen
TY 08W-Kalmaegi
TY 09W- Fung-Wong
TS 10W-Kammuri
TS 11W
TS 12W-Vongfong
TY 13W-Nuri
TS 14W
TY 15W- Sinlaku
TS 16W
TS 17W
TY 18W-Hagupit

13 - 16 Januari
14 - 20 April
7 - 12 Mei
14 - 16 Mei
15 - 20 Mei
27 Mei - 3 Juni
18 - 25 Juni
14 - 18 Juli
24 - 28 Juli
4 - 6 Agustus
13 - 14 Agustus
14 - 16 Agustus
17 - 22 Agustus
26 - 28 Agustus
8 - 20 September
10 - 11 September
14 September
18 - 24 September
23 September - 1
Oktober
28 - 30 September
29 September - 4
Oktober
14 - 15 Oktober
18 - 20 Oktober
7 - 10 November
15 - 16 November
16 - 17 November
10 - 18 Desember

STY 19W-Jangmi
TS 20W-Mekkhala
TS 21W-Higos
TS 22W
TS 23W-Bavi
TS 24W- Maysak
TS 25W-Haishen
TS 26W-Noul
TY 27W- Dolphin

55

981

21

45

988

6
6
14
4
7
33

35
50
55
40
40
90

996
985
981
992
992
955

Keterangan:
Angka dalam kolom Peringatan menunjukkan jumlah peringatan yang
dikeluarkan NASA terkait meningkatnya kekuatan angin pada siklon.

45

Informasi Data INDERAJA


B
A

Gambar 4. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon


JANGMI, Kanan: Penampang curah hujan di tengah siklon
dari titik A sampai titik B
(http://trmm.gsfc.nasa.gov)

adalah siklon HIGOS, bentuk visualnya


diperlihatkan pada (Gambar 5). Siklon
HIGOS adalah salah satu siklon yang
bentuknya tidak simetris dan mata siklon
juga kurang jelas terlihat. Ini merupakan
salah satu tanda siklon yang lemah.
Pada tahun 2009, terjadi 76 kejadian
dari 50 jenis siklon di lautan Pasifik Barat.
Siklon-siklon yang terjadi lebih dari satu
kali pada tahun 2009 adalah 99W, 98W,
97W, 96W, 95W, 94W, 93W, 92W, 91W,
90W dan AL (Gambar 6). Siklon terjadi
hampir sepanjang tahun, dengan waktu
hidup (life time) satu sampai empat be
las hari. Siklon PARMA adalah siklon
dengan waktu hidup terlama tahun 2009,
yaitu 18 hari. Kecepatan angin dalam si
klon bervariasi dari 25 knot (siklon 24
W) sampai 150 knot (Tabel 2).
Dari uraian di atas nampak bahwa
frekuensi kejadian siklon tahun 2008 dan
2009 tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti. Dari perbandingan antar tahun
tersebut juga teridentifikasi bahwa tidak
semua siklon mempunyai periode satu ta
hun atau dengan kata lain siklon tidak se
lalu berulang setiap tahun, bahkan siklon
yang muncul tahun 2008 berbeda dengan
yang terjadi pada tahun 2009.
Siklon di Teluk Benggala
Di teluk Benggala, pada tahun 2008
terjadi 14 kejadian dari 13 jenis siklon,
46

Gambar 5. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon


HIGOS, Kanan: Penampang curah hujan di tengah siklon dari
titik A sampai titik B
(http://trmm.gsfc.nasa.gov)

Tabel 2. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2009


(Sumber: Cooper et al. , 2008)
Nama
TY 01W - Kujira
TY 02W - Chan-Hom
TY 03W - Linfa
TS 04W - Nangka
TS 05W - Soulder
TD 06W
TY 07W - Molave
TS 08W - Goni
TY 09W - Morakot
TS 10W - Etau
TY 11W - Vamco
TY 12W - Krovanh
TS 13W - Dujuan
TD 14W - Mujigae
STY 15W - ChoiWan
TY 16W - Koppu
TY 17W - Ketsana
TD 18W
STY 19W - Parma
STY 20W - Melor
TS 21W - Nepartak
STY 22W - Lupit
TY 23W - Mirinae
TD 24W
TS 25W
STY 26W - Nida
TD 27W
TD 28W
TS 01C - Maka
TD 02C

2 - 7 Mei
3 - 11 Mei
17 - 22 Juni
22 - 26 Juni
9 - 12 Juli
13 - 14 Juli
15 - 19 Juli
2 - 8 Agustus
3 - 9 Agustus
8 - 12 Agustus
17 - 25 Agustus
28 - 31 Agustus
3 - 8 September
9 - 12 September

20
29
21
18
11
5
16
15
25
18
34
16
25
12

V
(knot)
115
90
75
45
35
30
105
45
80
40
120
65
55
30

12 - 20 September

33

140

918

13 - 15 September
25 - 29 September
27 - 30 September
27 September - 14 Oktober
29 September - 9 Oktober
8 - 13 Oktober
14 - 26 Oktober
26 Oktober - 2 November
2 - 3 November
7- 9 November
22 November - 03 Desember
23 - 24 November
5 Desember
14 - 18 Agustus
30 Agustus

9
19
13
68
38
20
49
31
2
10
45
5
1
15
2

75
90
30
135
150
55

966
955
1000
921
910
981
918
955
1003
988
910
1000
1000
988
1000

Periode

Peringatan

140
90
25
150
30
30
45
30

P
(mb)
936
955
966
988
996
1000
944
988
963
992
933
974
981
1000

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA


6

2009

5
4
3
2
1

91W
AL
97W
28W
NIDA
96W
27W
93W
92W
25W
98W
24W
MIRINAE
NONAME
LUPIt
22W
PARMA
NEPARtAK
MELOR
18W
19W
KEtSANA
99W
17W
CHOIWAN
KOPPU
16W
MUJIGAE
DUJUAN
95W
13W
90W
VAMCO
11W
94W
EtAU
MORAKOt
10W
GONI
MOLAVE
07W
06W
SOUDELOR
05W
NANGKA
04W
LINFA
KUJIRA
CHANHOM
INVESt

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50

Nama siklon

Gambar 6. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2009

Gambar 7. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2008


Nama
1B-Nargis
2B
3A
4B-Rashmi
5B- Khai-Muk
6B-Nisha
7B

Periode
27 April - 3 Mei
16 September
20 - 23 Oktober
26 - 27 Oktober
14 - 16 November
25 - 27 November
4 - 7 Desember

Peringatan
25
2
11
5
9
7
13

V (knot)
115
45
30
45
45
50
35

Tabel 3. Siklon tropis di Hindia Utara tahun 2008


(Sumber: Cooper et al. , 2008)
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Nama
Bijli
Aila
Phyan
Ward

atau ada siklon yang terjadi dua kali


yaitu siklon 92B, siklon lain hanya
terjadi satu kali (Gambar 7). Sik
lon NARGIS adalah siklon dengan
kekuatan angin tertinggi pada ta
hun 2008, yaitu 115 knot (Tabel
3). Meskipun cukup kuat, tetapi
siklon ini tidak membentuk mata
siklon atau mata siklon tidak jelas.
Distribusi spasial curah hujan nam
pak berkumpul ditengah siklon
(Gambar 8. Kiri). Siklon NISHA
(Gambar 8. Kanan) dengan inten
sitas yang lebih kecil menunjukkan
distribusi spasial curah hujan yang
hampir sama dengan siklon NAR
GIS, namun siklon NARGIS menun
jukkan bentuk yang lebih simetris
dibandingkan siklon NISHA.
Periode
15 - 17 April
24 - 25 Mei
05 September
09 - 11 November
11- 14 Desember

Peringatan
12
7
1
1
12

V (knot)
50
65
40
40
45

Tabel 4. Siklon tropis di Hindia Utara /Teluk Benggala


tahun 2009
(Sumber: Cooper et al. 2008)
47

Informasi Data INDERAJA

Gambar 8. Siklon NARGIS (kiri), Siklon NISHA (kanan)


Keterangan gambar: Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon NARGIS/NISHA, Kanan: Curah hujan di tengah
siklon dari titik A sampai titik B (http://trmm.gsfc.nasa.gov)

Gambar 9. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala


tahun 2009

Pada tahun 2009 terjadi 12 kejadian dari 11 jenis si


klon di teluk Benggala. Siklon 94B terjadi dua kali pada
tahun tersebut, sedangkan siklon lain hanya terjadi satu
kali (Gambar 9). Di teluk Benggala frekuensi kejadian
siklon lebih rendah dibandingkan di Pasifik barat, si
klus hidupnyapun lebih pendek dibandingkan siklon di
Pasifik barat yaitu satu sampai enam hari. Siklon NAR
GIS adalah siklon yang mempunyai life time terlama (6
hari) pada tahun 2008, dan siklon WARD (4 hari) pada
tahun 2009 (Tabel 4). Gambar 9 juga menunjukkan
bahwa tidak terjadi peningkatan frekuensi siklon pada
tahun 2009 dibandingkan tahun 2008.
Karena lokasi siklon di Pasifik Barat dan Benggala
dekat dengan wilayah Indonesia, putaran/spin siklon
akan menarik massa atmosfer (udara dan atau awan) dari

Gambar 10. Vektor angin NNR pada 28 April 2008


(Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd/).
48

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

A
A

Gambar 11. Kiri: Image radar TRMM untuk siklon 06B (Sumber: htttp://trmm.gsfc.nasa.gov),
Kanan: Vektor angin dari NNR (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd/) pada 12 November 2009)
300

Ratarata untuk : 10o LU15o LS, 95oBt145oBt

Curah hujan (mm)

250
200
150

2008
2009

100
50
0
1

10

11

12

Bulan

Gambar 12. Curah hujan kumulatif bulanan tahun 2008 dan 2009 berdasarkan TRMM
untuk wilayah Indonesia (10o LU s/d 15o LS, 95o BT s/d 145 oBT).

atas wilayah Indonesia akibatnya di atas wilayah Indone


sia menjadi cerah. Kasus seperti ini terjadi pada saat ter
jadi siklon NARGIS tanggal 28 April 2008 dan siklon 06 B
pada tahun 2009. Ditunjukkan oleh angin dari NNR, ter
jadi pengalihan massa udara/awan dari laut Hindia yang
seharusnya masuk ke wilayah Indonesia tertarik ke arah
Teluk Benggala (Gambar 10 dan Gambar 11).
Curah hujan bulanan dari Precipitation Radar TRMM
di wilayah Indonesia pada tahun 2008 lebih tinggi daripa
da tahun 2009 terutama setelah bulan Mei (Gambar 12).
Perbedaan curah hujan kumulatif bulanan juga dipenga
ruhi oleh suplai massa dari lautan Hindia dan lautan Pa
sifik. Pada tahun 2008 suplai massa dari lautan Hindia
selatan ke wilayah Indonesia berlangsung sampai bulan
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

April sedangkan pada tahun 2009 hanya sampai bulan


Maret. Dari lautan Pasifik, suplai massa pada tahun 2008
berlangsung dari bulan Januari sampai Juli dan Novem
ber sampai Desember. Pada tahun 2009, suplai terjadi
dari bulan Januari sampai Juni dan bulan Desember. Ini
berarti, suplai massa dari kedua lautan tersebut pada ta
hun 2009 lebih kecil dibandingkan tahun 2008. Kondisi
seperti ini merupakan salah satu penyebab jumlah hujan
tahun 2009 lebih rendah daripada jumlah curah hujan ta
hun 2008, karena massa udara dari lautan Pasifik dan
lautan Hindia adalah massa udara dengan kadar uap air
dan salinitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan
aktivitas konveksi basah atau konveksi dengan peluang
terjadinya hujan yang tinggi.
49

Informasi Data INDERAJA

Program Satelit Lingkungan


Berorbit Polar NPOSES
Oleh: Gokmaria Sitanggang
Peneliti di Bidang Bangfatja, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh - LAPAN.

emanfaatan data penginderaan jauh (inderaja)


satelit lingkungan dan cuaca di Indonesia telah
dimulai sejak awal tahun 1970-an. Kebutuhan akan
data satelit lingkungan dan cuaca tersebut, direalisir
dengan dibangunnya Stasiun Bumi Satelit Lingkungan
dan Cuaca, yang dikelola oleh LAPAN, yang dapat me
nerima data satelit cuaca GMS (Geo-Stationary Meteo
rological Satellite) dan satelit NOAA (National Oceanic
Atmosfheric Administration) hingga kini. Seiring den
gan dibuat dan diluncurkannya satelit TERRA/AQUA
oleh Badan Antariksa Amerika Serikat NASA (National
Aeronautics and Space Administration), yang dilengkapi
dengan sensor MODIS untuk berbagai aplikasi lingkun
gan, Stasiun Bumi LAPAN yang berlokasi di Parepare,
juga telah dikembangkan, sehingga dapat menerima
data tersebut.
Sistem satelit lingkungan berorbit polar NPOESS
(National Polar-orbiting Operational Environmental Sat
ellite System) adalah suatu sistem satelit inderaja yang
merupakan generasi lanjutan dari satelit-satelit lingkung
an berorbit polar pada ketinggian rendah yang akan di
gunakan untuk memantau kondisi-kondisi lingkungan
global, mengumpulkan dan mendiseminasikan data
yang berkaitan dengan cuaca, atmosfir, lautan, daratan
dan lingkungan antariksa-dekat. Sistem satelit lingkung
an NPOESS akan memperbaiki prakiraan cuaca dan
melakukan kontinuitas pemantauan iklim. Sistem satelit
lingkungan NPOESS akan mengitari bumi sekitar 1
kali setiap 100 menit. Selama rotasi-rotasi ini NPOESS
akan menghasilkan cakupan global, memonitor kondisi
lingkungan, mengumpulkan, mendiseminasikan dan me
ngolah data cuaca Bumi, atmosfir, lautan, daratan dan
lingkungan antariksa dekat.
Selama tiga dekade, Amerika Serikat mengopera
sikan sistem-sistem satelit lingkungan berorbit polar
untuk mengumpulkan, memproses dan mendistribusi
50

kan data inderaja meteorologi, oceanografi dan data


lingkungan antariksa, terpisah antara sipil dan militer.
Departemen Perdagangan AS (Department of Com
merce-DoC) bertanggung jawab untuk program Satelit
Lingkungan Operasional Berorbit Polar (Polar-Orbiting
Operational Environmental Satellite-POES) NOAA. As
pek-aspek kunci dari missi POES meliputi pengumpulan
data atmosfir untuk prakiraan cuaca, penelitian iklim
global, dan tujuan-tujuan pencarian dan penyelamatan
bahaya situasi gawat darurat. Departemen Pertahanan
AS (Department of Defense -DoD ) bertanggung jawab
untuk Program Satelit Meteorologi Pertahanan (De
fense Meteorological Satellite Program-DMSP). Misi dari
DMSP adalah untuk mengumpulkan dan mendistribusi
kan secara global data awan dalam spektral gelombang
tampak dan inframerah, data meteorologi, oceanografi
dan geofisik untuk menghasilkan kemampuan menye
lamatkan dalam mendukung operasi-operasi militer.
Badan Antariksa Amerika Serikat NASA, menghasilkan
teknologi inderaja baru dan teknologi satelit yang me
ningkatkan secara potensial kemampuan operasional
satelit melalui usaha-usaha pengembangan Sistem Ob
servasi Bumi (Earth Observing System-EOS).
Sistem satelit lingkungan NPOESS akan menginte
grasikan sistem-sistem satelit berorbit polar yang terse
dia, sehingga berada dibawah program nasional tunggal.
Sistem Satelit Lingkungan NPOESS akan mengintegra
sikan program Satelit lingkungan POES (Polar-orbit
ing Operational Environmental Satellite) NOAA dari
Departemen Perdagangan AS (DoC) dan satelit DMSP
(Defense Meteorological Satellite Pogram) dari Departe
men Pertahanan AS (DoD) menjadi suatu sistem satelit
tunggal yang yang menghasilkan data lingkungan dari
penginderaan jauh berbasis antariksa untuk pelayanan
data lingkungan dengan misi terintegrasi lingkup na
sional untuk keperluan sipil dan militer. Sistem satelit
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA


lingkungan NPOESS akan menggunakan wahana dan
instrument dari satelit-satelit Sistem Observasi Bumi
(Earth Observing System-EOS) dari NASA yang diinte
grasikan dengan teknologi terdepan. Rencana integrasi
tersebut dimulai semenjak tanggal 5 Mei 1994, Presiden
Clinton menanda tangani National Science & Technology
Council Presidential Decisision Directive, yang menye
tujui atau meresmikan pemusatan sistem-sistem satelit
berorbit polar sipil dan militer, menjadi program opera
sional tunggal. Tujuan dari rencana integrasi tersebut,
adalah untuk mengurangi biaya dalam melakukan akui
sisi dan mengoperasikan satelit lingkungan berorbit
polar. Operasional tersebut tetap secara berkelanjutan
untuk memenuhi keperluan-keperluan pengamanan
nasional dan sipil Amerika Serikat. Sebagai bagian dari
tujuan ini, program operasional akan menggabungkan
aspek-aspek yang cocok dari Sistem-Sistem Observasi
Bumi (EOS) dari NASA.
Dalam mengimplementasikan rencana integrasi sa
telit-satelit lingkungan operasional tersebut diatas, akti
fitas dilakukan yaitu pada tanggal 1 Oktober 1994, De
partemen Perdagangan AS (DoC/NOAA, Departeman
Pertahanan AS(DoD) dan NASA mendirikan Kantor
Program Terpadu NPOESS (Integrated Program OfficeIPO). IPO akan bertanggung jawab untuk pengelolaan,
akuisisi, dan operasi sistem yang dipusatkan tersebut.
IPO akan berada dibawah arahan seorang Direktur Pro
gram Sistem yang akan melaporkan kepada Triagency
Executive Committee melalui Department of Commerces
Under Secretary for Oceans and Atmosphere. Kontrak
tor utama adalah Northrop Grumman Space Technology,
bertanggung jawab akan rancangan dan pengembang
an sistem secara keseluruhan, rekayasa dan integrasi
sistem, perakitan dan pengujian satelit dan akuisisi
instrument. Raytheon sebagai anggota kelompok, me
lengkapi fungsi-fungsi Ruas Bumi, kendali dan komuni
kasi, pengolahan data misi dan dukungan, serta teknik
rekayasa sistem.
Program pencapaian NPOESS jangka panjang adalah
pengembangan sensor dan transisi satelit, serta evolusi
untuk menghasilkan liputan kondisi-kondisi meteo
rologi yang lengkap untuk sipil, militer, serta tujuan il
miah, yang dicapai dengan memotong biaya operasional
secara dramatis. Pengurangan biaya ini dicapai dengan
penggabungan program-program satelit-satelit lingkung
an yang berorbit polar yang tersedia dari Departemen
Pertahanan AS (DoD), dan Departemen Perdagangan
AS (DoC) menjadi suatu sistem tunggal. Satelit-satelit
NPOESS dalam Tiga bidang orbit akan menggantikan
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Dua satelit konstelasi DMSP dan Dua satelit konstelasi


POES (NOAA). Data tersebut akan diproses menjadi
Rekaman-Rekaman Data Mentah (Raw Data RecordsRDR), Rekaman-Rekaman Data Sensor (Sensor Data Re
cords-SDRs), dan Rekaman-Rekaman Data Lingkungan
(Environmental Data Records-EDRs) untuk digunakan
oleh sejumlah komunitas operasional.
Sistem Satelit Lingkungan NPOESS akan mengum
pulkan dan mendesiminasikan data yang berkaitan de
ngan: cuaca, atmosfir, lautan, daratan, dan lingkungan
antariksa-dekat. Pengukuran-pengukuran dihasilkan
dengan bermacam instrumen (sensor) yang baru mau
pun warisan yang tersedia, yaitu : 1). VIIRS (Visible/
Infrared Imager/Radiometer Suite), 2). CMIS (Conical
Microwave Imager/Sounder), 3). CrIS (Crosstrack Infra
red Sounder), 4). OMPS (Ozone Mapping and Profiler
Suite), 5). SESS (Space Environment Sensor Suite), 6).
APS (Aerosol Polarimeter Sensor), 7). ATMS (Advanced
Technology Microwave Sounder), 8). DCS (Data Collec
tion System), 9). ERBS (Earth Radiation Budget Sensor),
10). RADAR Altimeter, 11). SARSAT (Search and Res
cue Satellite Aided Tracking), 12). Sensor TSI (Total So
lar Irradiance), 13). ASCAT (Advanced Scatterometer)
ESA, dan 14). Retroreflector array.
Pada tahun 2006 dilakukan restrukturisasi program
NPOESS, sebagai akibat dari problem pengembangan
sensor dan kenaikan biaya yang terjadi pada tahun-ta
hun sebelumnya. Restrukturisasi program NPOESS
dilakukan untuk dapat memberikan hasil yang berarti.
Program yang distruktur-ulang tersebut adalah: jumlah
satelit dikurangi yaitu: yang pada mulanya Enam satelit
menjadi Empat satelit (C1 C4) dan sensor-sensor ter
kait, yang ditempatkan pada Dua bidang orbit yaitu: 1330
LTAN (Local Time Ascending Node) dan 1730 LTAN un
tuk mendapatkan keperluan operasional dari NOAA dan
DoD. Resensi rancangan pada tahun 2006 merubah bera
gam instrument-instrumen iklim dari program NPOESS
tersebut yaitu: yang dihilangkan atau dipindahkan dari
NPOESS adalah: 1). TISS (Total Solar Irradiance Sen
sor), 2). ERBS (Earth Radiation Budget Sensor), ALT
(Ocean Altimeter), dan OMPS-Limb (Ozone Mapping
and Profiler Suite Limb Subsystem). Sebagai bagian dari
restrukturisasi program pada tahun 2006, keputusan
telah dibuat untuk menerbangkan OMPS-Limb pada
satelit NPP (NPOESS Preparatory Project) yang akan
diluncurkan sekitar tahun 2010.
Status program NPOESS sekarang ini sebagai
berikut: NOAA, DoD dan NASA bekerja sama dengan
kontraktor utama NGST (Northrop Grumman Space
51

Informasi Data INDERAJA


Technology) dan kontraktor-kontraktor tambahan lain
nya bergabung untuk mengembangkan sistem satelit
lingkungan dan cuaca operasional generasi berikutnya
yaitu: NPOESS. Sistem Satelit Lingkungan NPOESS
akan terdiri dari Empat wahana antariksa (C1-C4) dan
sensor-sensor terkait, dalam dua orbit yaitu:
1) Orbit 1330 LTAN (Local Time Ascending Node), dan
2) Orbit 1730 LTAN.
Satelit NPOESS sore hari, akan membawa 4 instru
men utama yaitu:
1) VIIRS (Visible/ Infrared Imager Radiometer Suite),
2) CrIS (Cross-track Infrared Sounder),
3) ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder),
dan
4) OMPS (Ozone Mapping and Profiler Suite).
Sebagai tambahan satelit NPOESS sore hari akan
membawa sensor:
1) MIS (Microwave Image/ Sounder) hanya pada C3,
2) SEM (Space Environment Monitor),
3) CERES (Clouds and the Earths Radiant Energy Sys
tem) hanya pada C1, dan
4) TSIS (Total Solar Irradiance Sensor) hanya pada C1.
Satelit NPOESS pagi hari akan mengorbit dengan
instrumen-instrumen pelengkap yang jumlahnya di
kurangi yaitu: VIIRS dan MIS (hanya pada C2 dan C4).
Baik satelit NPOESS pagi hari maupun sore hari akan
dilengkapi juga dengan peralatan ADCS (Advanced Data
Collection System) dan SARSAT (Search and Rescue Sat
ellite Aided Tracking System).
Orbit pagi (mid morning) (2130 LTAN) akan ditem
pati oleh satelit MetOp (Meteorological Operational) dari
EUMETSAT (European Organisation for the Exploitation
of Meteorological Satellite) yang membawa instrumentinstrumen yang mirip dengan yang dibawa NPOESS.
Satelit MetOp-A dari EUMETSAT yang diluncurkan
pada Oktober 2006 secara permanen menggantikan
satelit POES (Polar-orbiting Operational Environmental
Satellite) NOAA pada orbit pagi (mid morning) sebagai
bagian dari NOAA/ EUMETSAT Initial Joint Polar-orbit
ing Operational Satellite System (IJPS). Konstelasi ber
sama satelit-satelit NPOESS dan MetOp akan memung
kinkan komunitas internasional untuk merealisir caku
pan global dari instumen-instrumen pengamat atmosfir
dan instrumen pengamat gema suara (sounding) yang
termaju, dengan kecepatan penyegaran data sekitar 4
sampai 6 jam.
52

Satelit NPP (NPOESS Preparatory Project) yang


merupakan proyek persiapan terhadap NPOESS, yang
dikelola secara bersama oleh IPO dan NASA, dijad
walkan akan diluncurkan pada tahun 2010. Satelit NPP
akan membawa Lima sensor NPOESS untuk meleng
kapi pengujian pada orbit dan validasi sensor, algoritma,
operasi di Bumi dan sistem pengolahan data sebelum
peluncuran satelit NPOESS operasional yang pertama
yaitu:
1) VIIRS (Visible/ Infrared Imager Radiometer Suite),
2) CrIS (Cross-track Infrared Sounder),
3) ATMS (Advanced Technology Microwave Sounder),
4) OMPS (Ozone Mapping and Profiler Suite), dan
5) CERES (Clouds and the Earths Radiant Energy Sys
tem).
Satelit NPP akan diluncurkan pada orbit 1330 LTAN
untuk mengurangi resiko kekosongan data antara satelit
POES yang terakhir dan satelit NPOESS yang pertama.
NPP juga akan menyediakan jembatan dari misi-misi
riset EOS (Earth Observing System) NASA untuk misi
NPOESS operasional. Unit-unit penerbangan untuk in
strumen-instrumen NPP hampir selesai dan mengalami
karakterisasi dan kalibrasi akhir sebelum diintegrasikan
pada pesawat antarisa NPP.
Satelit NPOESS yang pertama dijadwalkan diluncur
kan pada tahun 2013. Satelit-satelit terakhir pada Dua or
bit konstelasi NPOESS, diharapkan untuk melanjutkan
operasi-operasi hingga sekitar tahun 2023-2026. Satelit
NPOESS berada pada lintasan orbitnya untuk mengirim
kan hasil pengamatan penting untuk cuaca operasional
dan peramalan dan pengamatan laut, penggunaan lahan
dan cuaca antariksa, sementara itu menyediakan konti
nuitas data untuk 14 dari 26 variabel iklim yang sangat
diperlukan. Sebagai bagian dari restrukrisasi program
pada tahun 2006, meskipun beberapa sensor iklim NPO
ESS tidak jadi diluncurkan, satelit NPOESS dirancang
untuk menangani mengganti ulang semua sensor-sen
sor yang tidak jadi diluncurkan, termasuk sensor-sensor
pemantauan iklim. Sebagai hasil, sekarang ini CERES
ditambahkan pada NPP dan keduanya CERES dan TSIS
akan diterbangkan pada satelit NPOESS (C-1). NOAA
dan NASA saat ini bekerja pada pilihan lain untuk me
menuhi kebutuhan-kebutuhan pemantauan iklim jangka
panjang dari ruang angkasa yang dapat mengikutserta
kan NPOESS. Pada Gambar 1, ditunjukkan konfigurasi
NPOESS, sedangkan Program NPOESS ditunjukkan
pada Tabel 1. Parameter-Parameter atau spesifikasi
umum Satelit NPOESS ditunjukkan pada Tabel 2. Sen
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA


Tabel 1. Program NPOESS.
Satelit
NPOES C1
NPOES C2
NPOES C3
NPOES C4
NPOES C5
NPOES C6

Waktu Peluncuran
2013
2016
2023
2023
Dibatalkan
Dibatalkan

Pesawat Peluncur
EELV
EELV
EELV
EELV
EELV
EELV

Tabel 2. Parameter-Parameter Satelit NPOESS.


Negara :
Jenis/
Aplikasi :
Operator:

Gambar 1. Konfigurasi Satelit NPOESS yang ditempatkan


pada bidang orbit : 13.30 LTAN (Local Time Ascending Node).

Kontraktor :

sor (instrument) yang akan dibawa pada Sistem Satelit


Lingkungan NPOESS, beserta aplikasi sensor-sensor
(Instrument) tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.
Ruas Bumi satelit NPOESS terdiri dari 3 komponen
utama yaitu: 1). Ruas Komando, Kontrol dan Komu
nikasi (Command, Control and Communications Seg
ment-C3S), 2). Ruas Pengolahan Data Interface (In
terface Data Processing Segment-IDPS) dan 3). Ruas
Terminal Lapangan (Field Terminal Segment). Northrop
Grumman Space Technology sebagai kontraktor utama,
bertanggung jawab untuk rancangan sistem secara ke
seluruhan dan pengembangan, rekayasa sistem dan
integrasi, akuisisi instrument, perakitan satelit, dan pe
ngujian. Raytheon Intelligence and Information Systems,
dibawah kontrak terhadap Northrop Grumman, akan
menghasilkan kemampuan yang penuh atas rancangan
Ruas Bumi satelit NPOESS dan melalui operasi-operasi
dan berkelanjutan.
Komponen-komponen kunci dari Ruas Komando,
Kontrol dan Komunikasi (C3S) dari satelit NPP dan
NPOESS telah diinstalasi dan telah melewati uji persi
apan di Stasiun Satelit Svalbard dan di Fasilitas Operasi
Satelit NOAA. Kemampuan komunikasi dari Antartika
sedang ditingkatkan untuk mendukung satelit NPOESS.
Saat ini NOAA dan EUMETSAT tengah menjejaki pelu
ang untuk menerima data MetOp dari Stasiun Bumi
Antartika, dengan demikian secara substansi memper
baiki keadaan data yang belum kelihatan pada orbit pagi
(mid-morning). Instalasi dan pengujian Sistem Pengo
laan Data Terintegrasi (Integrated Data Processing Sys
tem) NPOESS pada fasilitas NOAA dan DoD dirancang
dilengkapi pada tahun 2008, sebelum peluncuran satelit
NPP yang direncanakan. Ruas Komando, Kontrol dan
Komunikasi (C3S) mengelola operasi misi yang meliputi

Instrumen/
sensor :

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Konfigurasi :
Orbit:
Inklinasi
Eccentricity
Ketinggian
Orbit
Massa:
Umur Operasi
Yang
diharapkan
(Lifetime):

Amerika Serikat.
Lingkungan dan Cuaca
NASA, NOAA, DoD
Northrop Grumman Space Technology (ex
TRW)
VIIRS, CrIS, ATMS, OMPS (Nadir), SEM, CERES,
TSIS, SARSAT, A-DCS (#C1) VIIRS, MIS, SARSAT,
A-DCS, (#C2) VIIRS, CrIS, ATMS, MIS, OMPS
(Nadir), SEM, SARSAT, A-DCS (#C3)
T330 (AB - 1200)
Polar
98.7 +/- 0.05 derajad
0.0011
833 +/- 17 km
~550 kg
7 tahun

perencanan misi dan penjadwalan sumberdaya, pengon


trolan dan pemberian komando satelit, penerimaan dan
penghitungan data misi secara aktif, pengelolaan perusa
haan, resolusi anomali, sistem sekuriti, dan pengiriman
data yang dapat dipercaya dari dan ke Pusat para peng
guna. Pada Gambar 2. ditunjukkan aliran data satelit
NPOESS pada Ruas Antariksa dan Ruas Bumi.
Lingkungan kita sedang berubah secara konstan
konsekuensinya, operasional data lingkungan membu
tuhkan waktu dengan cepat. Ruas Komando, Kontrol
dan Komunikasi (C3S) menjawab masalah ini dengan
mengoperasikan Lima Belas buah stasiun bumi global
yang tanpa awak, yang dinamakan SafetyNet, untuk
menerima data misi pada saat satelit NPOESS lewat di
atas Stasiun Bumi tersebut. Penerima (receptor) ini di
hubungkan dengan fiber komersial yang mempunyai
lebar kanal (band width) tinggi, yang membawa data
tersebut dengan cepat ke Empat Pusat Pengolahan Data.
Semua data yang mutakhir ini diproses dengan lengkap
dan dikirimkan ke Pusat-Pusat Cuaca dalam waktu lebih
yang kurang dari 28 menit dihitung dari waktu akuisisi.
53

Informasi Data INDERAJA


Tabel 3. Sensor (instrument) yang akan dibawa pada sistem satelit lingkungan NPOESS dan aplikasi sensor (instrument).
No

SENSOR( INSTRUMENT)

VIIRS (Visible/ Infrared Imager/


Radiometer Suite)

CMIS (Conical Microwave Imager/


Sounder)

CrIS (Crosstrack Infrared Sounder)

GPSOS (Global Positioning System


Occultation Sensor)

OMPS Ozone Mapping and Profiler


Suite
SESS (Space Environment Sensor
Suite)

APS (Aerosol Polarimeter Sensor)

ATMS (Advanced Technology


Microwave Sounder)

APLIKASI
Mengumpulkan data radiometrik pada kanal spektral tampak dan inframerah dari atmosfir
Bumi, lautan, dan permukaan daratan. Jenis-jenis data meliputi: atmosfir, awan, budget
radiasi Bumi, temperatur daratan/ perairan dan temperatur permukaan laut, warna lautan,
dan citra cahaya-rendah (low light).
Mengumpulkan data radiometrik gelombang mikro dan data sounding untuk
menghasilkan citra gelombang-mikro dan data oceanografi dan meteorologi yang lain.
Mengukur radiasi Bumi untuk menentukan distribusi vertikal dari temperatur, kelengasan
dan tekanan dalam atmosfir.
Mengukur refraksi dari sinyal-sinyal gelombangradio dari GPS dan Sistem Satelit Navigasi
Global milik Rusia (Global Navigation Satellite System-GLONASS) untuk memperoleh
karakteristik dari ionosfir.
Mengumpulkan data untuk memungkinkan kalkulasi ditribusi vertikal dan horizontal dari
ozon dalam atmosfir Bumi.
Mengumpulkan data yang berhubungan dengan partikel-partikel neutral dan yang dialiri
arus listrik, elektron dan medan-medan magnetik, dan ciri-ciri optik dari aurora.
Tujuan dari APS adalah untuk menarik kembali aerosol yang dispesifkasikan dan parameterparameter awan dengan menggunakan photopolarimetry multispektral.
Sounder (sekarang ini dibawah pengembangan NASA). Dalam hubungannya dengan
CrIS,observasi-observasi global dari profil-profil temperatur dan kelembaban pada resolusi
temporal tinggi (~ harian).

DCS (Data Collection System)

Sitem Pengumpulan Data (Data Collection System-DCS) dari NPOESS akan mirip dengan DCS
dari ARGOS yang terletak pada POES yang sekarang dari NOAA dan mengukur faktor-faktor
lingkungan seperti temperatur dan tekanan atmosfir, dan kecepatan dan arah arus-arus
lautan dan angin.

11

ERBS (Earth Radiation Budget Sensor)

NPOESS akan mengukur parameter-parameter Budget radiasi Bumi (Earth Radiation Budget)
dengan menggunakan instrument-instrumen yang mirip dengan instrument-instrumen
warisan lama ERBE dan CERES

12

RADAR Altimeter

NPOESS akan menggunakan suatu altimeter RADAR yang mirip dengan yang digunakan
pada Jason-1 yang digunakan untuk mengukur topogfafi permukaan laut untuk mencapai
akurasi 4, 2 cm.

13

SARSAT (Search and Rescue Satellite


Aided Tracking)

Sistem SARSAT menggunakan satelit-satelit NOAA pada orbit Bumi-rendah dan orbit
geostationer untuk mendeteksi dan melokasikan para penerbang, para marinir dan para
pengguna berbasis lahan yang dalam keadaan bahaya.

14

TSIS (Total Solar Irradiance Sensor)

TSIS adalah suatu pemantau irradiansi matahari total ditambah pemantau irradiansi
spectral matahari 0.2 - 2 micron.

Pusat Pengelolaan Misi (Mission Management Center)


menyediakan peralatan yang akurat dan berdaya guna
tinggi yang mengelola secara presisi seluruh missi
NPOESS. Pada Gambar 3 ditunjukkan Lokasi-lokasi
SafetyNet NPOESS.
Satelit Lingkungan NPOESS akan mengirimkan
data resolusi spektral, temporal dan spasial yang lebih
tinggi secara signifikan, meningkatkan keadaan keko
songan data untuk memungkinkan pengguna sipil dan
militer dalam merealisir manfaat utama melalui operasi
dan aplikasi riset skala luas. Untuk sektor sipil, data
NPOESS akan memperbaiki ketepatan waktu dan akur
54

asi peringatan-dini dan ramalan cuaca, berkontribusi un


tuk meningkatkan keamanan industri transportasi, dan
menyediakan data atmosfer dan terestrial yang berharga
dan produk-produk untuk memprediksi keadaan tingkat
produksi pertanian dunia. Untuk militer, produk-produk
NPOESS akan menghasilkan informasi keadaan permu
kaan, atmosfer, kelautan dan antariksa dekat-bumi yang
tepat waktu dan akurat untuk mendukung spektrum
penuh operasi militer-daratan, udara, laut dan lingkung
an antariksa-dekat.
Aplikasi-aplikasi operasional dari pencitra NPOESS:
VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite), ditun
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

Gambar 2. Aliran Data satelit NPOESS


pada Ruas Antariksa dan Ruas Bumi.

Gambar 3. Lokasi-lokasi SafetyNet NPOESS.

jukkan pada contoh-contoh berikut ini. Pencitra VIIRS


akan mengumpulkan citra pada kanal tampak/inframe
rah dan data radiometrik pada atmosfir, awan, neraca
radiasi Bumi, permukaan-permukaan lahan/air udarabersih, suhu permukaan laut, dan warna lautan, demiki
an juga citra kanal tampak cahaya-rendah (low-light).
Sensor VIIRS akan menawarkan perbaikan daya handal
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

radiometrik, spektral, dan spasial yang belum pernah


terjadi sebelumnya dibandingkan dengan kemampuan
satelit-satelit lingkungan yang operasional sekarang ini.
Instrument VIIRS akan terdiri dari 22 kanal dan
menggunakan banyak kemampuan dari MODIS (Mode
rate Resolution Imaging Spectrometer), tetapi ada sejum
lah perbedaan. VIIRS akan mempunyai lebar liputan
55

Informasi Data INDERAJA

Gambar 4. Contoh aplikasi/ produk


simulasi VIIRS-NPOESS. Suhu
Permukaan Laut dan Index Vegetasi
dari MODIS. Citra ini adalah citra
komposit MODIS yang menunjukkan
gelombang hijau di Amerika Utara
dan suhu permukaan laut di lautan.

Gambar 5. Contoh aplikasi/ produk


simulasi VIIRS NPOESS, Cahaya-cahaya
pada malam hari. Citra ini adalah
hasil pengamatan yang diperoleh
dari instrument atau sensor OLS
(Operational Linescan System) pada
satelit DMSP (Defense Meteorological
Satellite Program) USAF.

satu citra 3000 km vs 2330 km untuk MODIS. VIIRS


tidak akan mempunyai kanal-kanal uap-air gelombangmenengah dari MODIS, tetapi akan mempunyai kanal
tampak cahaya- rendah, yang disebut kanal DNB (Day/
Night Band) yang tidak ada pada MODIS. Kanal DNB
dipertimbangkan akan dapat memperbaiki kemampuan
tersebut dibandingkan terhadap kanal spektral tampak
waktu-malam pada satelit DMSP (Defense Meteorologi
cal Satellite Program), dengan bertambahnya tingkatan
tampilan, derau (noise) dan artifak (artifacts) yang lebih
kecil, resolusi spasial yang lebih tinggi, dan integrasi
yang penuh dengan VIIRS.
Contoh aplikasi peramalan cuaca operasional dari
pencitra VIIRS NPOESS, ditunjukkan pada Gambar 4
dan Gambar 5 berikut ini. Gambar 4 menunjukkan
contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS-NPOESS yaitu:
Suhu Permukaan Laut dan Index Vegetasi menggu
nakan data MODIS. Citra ini adalah citra komposit MO
DIS yang menunjukkan gelombang hijau di Amerika
Utara dan suhu permukaan laut di lautan. Pada Gambar
5 ditunjukkan contoh aplikasi/ produk simulasi VIIRS
56

NPOESS yaitu: Cahaya pada malam hari yang ditangkap


dari kota-kota di Amerika Serikat pada malam hari. Citra
ini adalah hasil pengamatan yang diperoleh dari instru
ment atau sensor Operational Linescan System (OLS)
pada satelit DMSP (Defense Meteorological Satellite Pro
gram) USAF. Satelit-satelit DMSP secara terus menerus
membantu dalam pemahaman dan prediksi fenomenafenomena cuaca, demikian juga memberikan informasi
kunci tentang pola populasi, level-level cahaya kota, dan
bahkan kebakaran hutan pedesaan.
Hasil kajian ini memberikan informasi yang cukup
menyeluruh sehingga, dapat digunakan sebagai alat
pertimbangan di dalam pemilihan atau pemanfaatan
data satelit masa depan NPOESS untuk perencanaan
dan pengelolaan lingkungan dan cuaca di Indonesia.
Hasil kajian ini dapat juga digunakan sebagai alat per
timbangan di dalam kontinuitas penyediaan/ pelayanan
data satelit lingkungan melalui pengembangan Stasiun
Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca yang dikelola oleh
LAPAN untuk dapat menerima data satelit masa depan
NPOESS di Indonesia.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

Analisis Curah Hujan di Indonesia


Berdasarkan Data Penginderaan Jauh
QMORPH Tahun 2009
Oleh: Nanik Sur yo Har yani*, Any Zubaidah*, Dini Oktavia Ambar wati*, Totok Suprapto**
*Peneliti Iklim dan Cuaca, Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN
**Kepala Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN

erolehan data curah hujan di Indonesia sebagian


besar diperoleh dari hasil pengukuran alat pe
nakar hujan dari stasiun klimatologi atau stasiun
pengamatan cuaca di lapangan. Data curah hujan dari
stasiun pengamatan cuaca di lapangan dirasa kurang
dapat merepresentasikan wilayah Indonesia yang me
miliki topografi beraneka ragam. Informasi curah hujan
terbaru (up to date) sangat diperlukan untuk berbagai
kebutuhan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk pe
nyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan data curah hujan yang diperoleh dari ana
lisis data satelit penginderaan jauh Qmorph.
Data curah hujan Qmorph (Q Morphing) merupa
kan data curah hujan yang diturunkan dari data satelit
penginderaan jauh Qmorph. Data Qmorph berpotensi
untuk memantau curah hujan, dimana data Qmorph
mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi
aktual, konsisten, terkini (near real time) secara spasial
dan temporal serta daerah cakupan yang luas.
Pemanfaatan data Qmorph telah dilakukan oleh LA
PAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)
untuk memberikan informasi curah hujan setiap satu
jam di wilayah Indonesia. Data Qmorph telah tersedia
sejak bulan Desember tahun 2002 dan sampai sekarang.
Data Qmorph mempunyai resolusi spasial 8 kilometer
dan resolusi temporal 30 menit (Joyce dalam NOAA,
2004).
Informasi curah hujan dari data Qmorph hasil kajian
para peneliti LAPAN di Kedeputian Penginderaan Jauh
dapat dilihat di website Sistem Informasi untuk Mitiga
si Bencana Alam (SIMBA) dengan alamat http://www.
rs.lapan.go.id/SIMBALAPAN
Sebagai contoh informasi curah hujan harian dari
data penginderaan jauh Qmorph yang diperoleh setiap
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

jam dapat dilihat pada Gambar 1, sehingga satu hari


tersedia data Qmorph sebanyak 24 data. Data tersebut
hasil rekaman jam 00Z sampai jam 23Z. Data Qmorph
untuk akumulasi curah hujan satu hari, dapat dilihat
pada Gambar 2. Huruf Z menunjukkan waktu dalam
UTC (Coordinated Universal Time), jika waktu Z ditrans
fer ke dalam WIB (Waktu Indonesia Barat) ditambah 7
jam, (sebagai contoh data Qmorph jam 10Z berarti data
Qmorph jam 17 WIB).
Informasi curah hujan harian pada tanggal 2 Maret
2009 jam 10Z (Gambar 1) terlihat bahwa curah hujan
yang besarnya berkisar antara 5 sampai dengan 45 mm/
jam terjadi di Jawa Timur, Pulau Bangka, Kabupaten Pu
tusibau (Kalimantan Barat), di Papua Tengah dan Papua
Barat. Curah hujan tinggi mencapai dari 45 mm/ jam
terjadi di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Mojokerto,
Surabaya, Gresik dan Bojonegoro.
Curah hujan yang terjadi pada tanggal 2 Maret 2009
setiap jam, berkisar antara 5 sampai dengan 45 mm/
jam. Informasi curah hujan tersebut terjadi pada jam 07Z
dan jam 08Z di Papua Tengah, pada jam 09Z dan 10Z ter
jadi di Jawa Timur, pada jam 15Z dan jam 16Z terjadi di
daerah Lampung dan Riau, pada jam 17Z dan jam 18Z
terjadi di Sumatera Selatan dan Riau. Pada jam 19Z sam
pai dengan jam 21Z terjadi di Sumatera Selatan, Jambi
dan Riau.
Akumulasi curah hujan sehari pada tanggal 2 Maret
2009 dari jam 00Z s/d jam 23Z (Gambar 2) tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan curah hu
jan berkisar 10 - 125 mm/hari, kecuali di Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Utara, dan Bengkulu, dalam kondisi cerah. Akumulasi
curah hujan harian yang tinggi mencapai 75 mm/hari
pada tanggal 2 Maret 2009 di Pulau Sumatera meliputi
57

Informasi Data INDERAJA


Wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung.
Curah hujan yang tinggi juga terjadi di Pulau Jawa yaitu
di Wilayah Jawa Timur. Di Kalimantan terjadi di Wilayah
Kalimantan Barat, dan di Papua terjadi di Wilayah Papua
Tengah dan Papua Timur.
Informasi curah hujan bulanan diperoleh dari aku
mulasi curah hujan harian selama 1 bulan. Data pengin
deraan jauh Qmorph, selama tahun 2009 dapat memberi
kan informasi musim penghujan dengan curah hujan
yang tinggi terjadi pada bulan Maret 2009 (Gambar 3)
dan pada bulan Desember 2009 (Gambar 4). Informasi
curah hujan bulanan pada musim kemarau tahun 2009
diambil contoh bulan Juli 2009 (Gambar 5) dan bulan
Agustus 2009 (Gambar 6), berikut.
Akumulasi curah hujan bulanan pada musim peng
hujan bulan Maret 2009 (Gambar 3) tersebar di hampir
seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan tertinggi men
capai 350 mm/bulan terjadi disebagian besar wilayah
Indonesia, meliputi Pulau Sumatera, Provinsi Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kaliman
tan Tengah, sebagian Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, sebagian Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tengah, dan Papua. Curah hujan pada
bulan Maret 2009 yang mencapai < 150 mm/hari terjadi
di Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Sulawesi Selatan, Jawa tengah, Jawa Timur,
Maluku, Bali Nusa Tenggara Barat dan nusa Tenggara
Timur. Sedangkan curah hujan rendah mencapai < 50
mm/bulan terjadi di Sumatera Barat (P. Sipora), Jawa
Timur (Probolinggo), P. Bali bagian utara (Singaraja
dan Ami Apura), Nusa Tenggara Barat (Mataram dan P.
Sumbawa Besar), Sulawesi Selatan (Kota Makasar), Su
lawesi Tengah (Toli-Toli).
Akumulasi curah hujan bulanan pada musim peng
hujan bulan Desember 2009 (Gambar 4) tersebar di
hampir seluruh wilayah Indonesia, curah hujan tertinggi
mencapai 350 mm/bulan terjadi P. Sumatera sebelah
selatan Katulistiwa, Kalimantan Barat, Kalimantan Te
ngah, Kalimantan Selatan, sebagian Jawa Barat, Sulawe
si Tenggara, dan sebagian Papua. Curah hujan rendah
mencapai < 50 mm/bulan terjadi di sebagian Banten
(Serang), Jawa Timur (Lamongan Utara, Probolinggo,
Lumajang), sebagian Sulawesi Tengah (Palu, Toli-Toli,
Luwuk), Gorontalo, Halmahera Utara, Sebagian P. Bali
(Negara dan Ami Apura), sebagian P. Lombok (Mata
ram) dan sebagian Sumbawa Besar.
Curah hujan bulanan pada musim kemarau bulan Juli
2009 (Gambar 5), akumulasi curah hujan tinggi 350
mm/bulan terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (Kuta
58

Cane dan Langsa), Riau (Bengkalis), Kalimantan Timur


(Malinau), dan Papua (Sorong dan Nabire). Adapun
curah hujan rendah < 50 mm/bulan terjadi di Nangroe
Aceh Darusalam bagian utara (Banda Aceh dan Lhok
seumawe), Sumatera Utara (Padang Sidempuan), Riau
(Pekan Baru dan Bangkinang), Sumatera Barat (Muara
Sijunjung), Bengkulu, Sumatera Selatan (Lubuk Ling
gau dan Palembang), Bangka Belitung (Sungai Liat
dan Tanjung
Pandan), Lampung (Bandar Lampung dan Metro),
Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Tengah (Palangkaraya), Kalimantan
Selatan (Banjarmasin dan Tanjung), Kalimantan Timur
(Tanah Grogot), Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Su
lawesi Tenggara (Kendari dan Kolaka).
Curah hujan bulanan pada musim kemarau bulan
Agustus 2009 (Gambar 6), akumulasi curah hujan tinggi
350 mm/ bulan terjadi di Nangroe Aceh Darusalam
(Langsa), Sumatera Utara (Binjai, Medan, Pematang Si
antar, Kisaran, Rantau Prapat, Labuan Batu), Kalimantan
Barat (Sambas), Kalimantan Timur (Malinau dan Tara
kan) dan Papua (Sorong). Curah hujan yang rendah < 50
mm/ bulan terjadi di Sumatera Selatan (Lahat, Muara
Enim, Prabumulih, Kayu Agung dan Palembang), Bang
ka Belitung (P. Bangka dan P. Belitung), P. Jawa, P. Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Kali
mantan Barat (Ketapang, P.Maya dan Padang Tikar),
Kalimantan Tengah (Pangkalan Bun), Kalimantan Se
latan (Banjarmasin, Martapura, Tanjung dan P. Laut),
Kalimantan Timur (Tanjung Redep), Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah (Luwuk dan ToliToli), Gorontalo, Sulawesi Utara dan Maluku Selatan.

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

Gambar 1. Informasi curah hujan harian tanggal 2 Maret 2009 jam 10Z.

Gambar 2. Akumulasi curah hujan harian tanggal 2 Maret 2009 jam 00Z 23Z.

Gambar 3. Akumulasi curah hujan di Indonesia Maret 2009.


BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

59

Informasi Data INDERAJA

Gambar 4. Akumulasi curah hujan di Indonesia Desember 2009.

Gambar 5. Akumulasi curah hujan di Indonesia Juli 2009.

Gambar 6. Akumulasi curah hujan di Indonesia Agustus 2009.


60

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Informasi Data INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

61

BERITA RINGAN
Simposium GEOSS Asia Pasific ke 4 dan Pameran
di Hotel Sanur Paradise Plaza, Provinsi Bali

imposium GEOSS (Global on Earth Observations Sys


tem of Systems) Asia Pasific Ke IV diselenggarakan
tanggal 10-12 Maret 2010 di Hotel Sanur Paradise Plaza,
Bali. Kegiatan ini dihadiri oleh 26 negara Asia Pasific, aca
ra dibuka oleh Menteri Riset dan Teknologi Drs. Suharna
Surapranata, MT. Indonesia merupakan anggota dari
GEO (Group on Earth Observations) dipercaya menjadi
tuan rumah untuk tahun 2010. LAPAN sebagai lembaga
penelitian kedirgantaraan dan observasi kebumian men
jadi panitia penyelenggara yang bekerjasama dengan Se
kretariat GEO (Jepang). GEOSS merupakan infrastruktur
yang memungkinkan pengambil keputusan merespon
masalah lingkungan secara efektif dan sekaligus berfung
si sebagai wadah pertukaran informasi dan pemahaman
di antara negara-negara Asia-Pasifik dalam menangani
perubahan iklim.Hasil dari pertemuan tersebut nantinya
akan menjadi rekomendasi untuk Group on Earth Obser
vation System (GEO) Ministerial Summit di Beijing, Cina,
pada November 2010 mendatang.
Kegiatan ini merupakan kolaborasi internasion
al untuk menggali potensi pengamatan bumi guna
mengatasi masalah lingkungan di dunia. Anggota GEO
terdiri dari organisasi internasional dan pemerintah

62

yang berhubungan dengan kegiatan pengamatan bumi.


Pada simposium ini, ada 9 (sembilan) area yang menjadi
wilayah pembahasan, yaitu bencana alam, kesehatan,
energi, iklim, air, cuaca, ekosistem, pertanian, dan biodi
versity. Dan dibagi lagi menjadi 4 (empat) topik utama
yang menjadi fokus pembahasan dalam simposium ini.
Topik tersebut diantaranya : Kapasitas pemantauan
dan variabilitas iklim Asia-Pasifik, Manajemen sumber
daya air dan Hidrometeorologi terkait dengan bencana
alam, Pemantauan karbon hutan, dan Jaringan observasi biodiversity. Kegiatan ini merupakan bentuk sinergi
untuk tingkat nasional, regional dan internasional dalam
membangun jejaring observasi bumi untuk kesejahtera
an masyarakat.
Selain acara simposium, diselenggarakan acara pa
meran hasil-hasil penelitian/ riset berkaitan dengan ke
giatan observasi kebumian. Pada kesempatan tersebut,
Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN berusaha
menampilkan berbagai contoh produk dan informasi apli
kasi pemanfaatan data penginderaan jauh guna mendu
kung kegiatan simposium ini. Produk dan informasi yang
disajikan/ dilayout dalam bentuk modul promosi seperti :
banner, panel/ poster, buku-buku, majalah dan brosur.
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

BERITA RINGAN
Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur

Foto bersama pada pembukaan Bimtek Deputi Inderaja Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing., (duduk di depan kiri) dan
didampingi oleh Bupati Sampang Bapak Nur Cahya (duduk di depan kanan).

egiatan kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah


Daerah Kabupaten Sampang telah dimulai pada ta
hun 2009. Pada kegiatan tersebut dilakukan pembuatan
peta tematik sebagai data dasar wilayah mengunakan
citra satelit penginderaan jauh. Dan dari kerjasama yang
dilakukan dihasilkan peta tematik yang berupa : peta ad
ministrasi Kabupaten dan Kecamatan, peta Ketinggian,
peta Kontur, peta Kelerengan, peta Jaringan Sungai, peta
Batas Daerah Aliran Sungai, peta Geologi, Peta Tanah, peta
Penutup Lahan Kabupaten dan 14 Kecamatan, peta Jar
ingan Jalan, peta Penutup Lahan Kota, dan peta Fasilitas
Umum.
Selain kegiatan kerjasama pembuatan peta tematik,
juga dilaksanakan kerjasama yang bertujuan untuk pe
ningkatan SDM untuk Pemda Kabupaten Sampang, dalam
hal ini dilaksanakan Bimbingan Teknis (Bimtek) di LAPAN
selama 60 hari kalender (tanggal 20 Mei 2010 - 16 Juli
2010). Kegiatan Bimtek diselenggarakan tanggal 20 Mei
2010 dan acara pembukaan Bimtek oleh Deputi Inderaja
Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing., dihadiri oleh Bupati Sampang
Bapak Nur Cahya berserta Kepala Bappeda dan para Ke
pala Dinas di Kabupaten Sampang.
Pada pelaksanaan Bimtek ini diawali dengan acara
kuliah singkat tentang teknologi penginderaan jauh, di
antaranya : pengenalan teknologi inderaja, jenis data in

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

deraja, koreksi data, pengantar citra digital, pengenalan


jenis-jenis perangkat lunak pengolahan data, pengenalan
GPS dan aplikasi pemanfaatannya. Materi Bimtek adalah
praktikum pengolahan data yang dilanjutkan dengan
survei lapangan sebagai verifikasi hasil praktikum. Pada
acara penutupan Bimtek diakhiri dengan presentasi hasil
pelatihan oleh para peserta.
Acara Bimtek diikuti sebanyak 10 orang peserta dari
berbagai Instansi Kedinasan di Pemda Tingkat II Kabupa
ten Sampang, diantaranya : Bappeda sebanyak 3 orang,
Dinas Pertanian sebanyak 1 orang, Dinas Pengairan seba
nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Bina Marga) seba
nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Prasarana) seba
nyak 1 orang, Dinas Pekerjaan Umum (Cipta Karya) se
banyak 1 orang, Dinas Pendidikan sebanyak 1 orang, dan
Dinas Kesehatan sebanyak 1 orang.
Sebagai tindak lanjut dari kerjasama tersebut pihak
Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang akan mening
katkan kerjasamanya dengan LAPAN pada tahun 2010 ini
dalam bentuk kegiatan: Inventarisasi dan pemutakhiran
basis data spasial infrastruktur untuk mendukung tataru
ang menggunakan data penginderaan jauh di Kabupaten
Sampang. Kegiatan tahun 2010 telah mulai dilaksanakan,
dimana data yang digunakan adalah data satelit resolusi
tinggi : ALOS, SPOT dan IKONOS. (Nanik Suryo Haryani)
63

PERIS TIWA
D alam G ambar

Kunjungan Mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang


ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon - Jakarta

enin, 1 Februari 2010, Rombongan


Mahasiswa Program Studi Teknik
Geodesi Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang mengunjungi Fasilitas Pusat
Data (Pusdata) Penginderaan Jauh (In
deraja). Pada acara kunjungan, rombong
an peserta diterima oleh Kepala Bidang
Produksi Data (Ka.Bid Prodata) Drs, Kustiyo
M.Si. Dalam sambutannya Ka.Bid Prodata
menjelaskan mengenai ruang lingkup
kegiatan di Kedeputian Bidang Penginde
raan Jauh LAPAN, khususnya Pusdata In
deraja. Dijelaskan, bahwa Pusdata Inderaja
memiliki tugas sebagai Operator Stasiun
Bumi Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
Bank Data Penginderaan Jauh Nasional
serta Pelayanan kepada Pengguna. Data
Inderaja yang telah diakuisisi dan direkam
oleh Stasiun Bumi LAPAN, selanjutnya dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan Peta Citra Satelit (PCS), Peta Penutup La
han dan Inventarisasi Potensi Lahan. Berdasarkan informasi
pada Kegiatan Pelayanan Data, kebutuhan/ permintaan data
inderaja hingga saat ini dirasakan semakin meningkat. Data
inderaja dapat dimanfaatkan untuk mendukung program
otonomi daerah khususnya untuk penyusunan rencana
pengembangan wilayah. Pada kesempatan tersebut juga
disampaikan, bahwa dalam kegiatan pemanfaatan aplikasi
data dan informasi inderaja, diperlukan suatu proses dan
analisis data, tahap kegiatan ini dilakukan di Pusat Pengem
bangan Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh (Pus
bangja) LAPAN untuk menghasilkan added value.
Pada sambutan berikutnya, Ketua Program Studi Teknik
Geodesi, Ir. Bambang Sudarsono, MS., menjelaskan bahwa
kunjungan 30 Mahasiswa dan 3 Dosen Pembimbing ini
merupakan bagian dari Kunjungan Kerja Lapangan. Tujuan
nya, agar Mahasiswa mendapat wawasan pengetahuan dari
hasil kunjungan studi ke instansi pemerintah maupun swasta
yang berhubungan dengan jasa survei pemetaan.
Setelah acara sambutan, rombongan Mahasiswa mem
peroleh paparan materi mengenai pemanfaatan Teknologi
Penginderaan Jauh yang disampaikan oleh Peneliti Pusdata,
Dipo Yudatama, S.T. Dijelaskan, bahwa pemanfaatan teknolo
gi penginderaan jauh dilakukan melalui cara pemantauan/

64

pengamatan suatu obyek dari jarak jauh menggunakan ber


bagai wahana, seperti : balon udara, foto udara, dan satelit.
Dan pada acara ini, hanya dijelaskan tentang pemanfaatan
teknologi penginderaan jauh menggunakan teknologi
satelit. Satelit penginderaan jauh memiliki dua sistem orbit,
yaitu : geostationer dan polar. Geostationer adalah sistem or
bit satelit yang mengikuti pergerakan atau rotasi bumi dan
Polar adalah sistem orbit satelit yang beredarnya secara verti
kal dari kutub utara ke kutub selatan dan juga sebaliknya. Se
dangkan berdasarkan sensornya, satelit penginderaan jauh
didisain memiliki 3 (Tiga) jenis sensor, yaitu: sensor thermal,
optik dan radar. Satelit yang bekerja menggunakan sensor
optik memanfaatkan energi dari matahari untuk memantau
kenampakan permukaan bumi sedangkan sensor radar tidak
perlu bantuan energi matahari dalam melakukan peman
tauan bumi. Pada akhir pemaparan disebutkan, bahwa data
satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan antara lain
untuk membuat Peta Informasi Lahan, Pemantauan Iklim dan
Cuaca, Mitigasi Bencana, Potensi Sumber Daya Alam, Ling
kungan serta Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Usai acara diskusi, seluruh rombongan mengunjungi
Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh untuk menyaksikan
sistem peralatan produksi dan proses data serta melihat
produk Peta Citra Satelit (PCS) hasil kegiatan Penelitian dan
Kerjasama LAPAN dengan berbagai Instansi. (AK)
BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

PERIS TIWA
D alam G ambar

DITOPAD Selenggarakan Simposium dan Pameran


Teknologi Survei dan Pemetaan
sama, para pemangku kepentingan
(stakeholder) segenap pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan
penyediaan data atau informasi
geografi, baik itu Pemerintah, Swas
ta, Masyarakat Umum maupun TNI.
Juga ditambahkan, bahwa untuk
menjaga kepentingan pertahanan
negara dibutuhkan informasi geo
grafi yang tidak hanya mencakup
geografi/ medan dan cuaca namun
juga termasuk informasi tentang
kondisi dan sebaran penduduk, po
litik, ekonomi, sosial budaya, sarana
dan prasarana serta potensi sum
ber daya alam.
Kemudian disampaikan, terkait
dengan kedudukan pulau-pulau
kecil terluar, dilihat letaknya secara
geografis pulau Rondo (Nanggroe
Aceh Darussalam) merupakan pu
Wakil Kepala Staf TNI-AD Letjen J. Suryo Prabowo, menyaksikan berbagai produk
lau kecil terluar berada di wilayah
litbang Peta Citra Satelit (PCS), Buku, Album Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Majalah LAPAN.
paling barat Negara Kesatuan Re
publik Indonesia. Pulau Miangas Sulawesi Utara), pulau kecil
akil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI
terluar yang terletak di wilayah paling utara. Pulau Liki (Pa
Johanes Suryo Prabowo membuka Simposium dan
pua), pulau kecil terluar yang terletak di wilayah paling timur
Pameran Teknologi Survei dan Pemetaan yang bertemakan
dan Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur), adalah pulau kecil ter
Penyediaan Informasi Geografi/ Medan untuk Kepentingan
luar yang terletak di wilayah paling selatan.
Pertahanan Negara, Simposium dan Pameran berlangsung
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cu
tanggal 20 April 2010 di Kantor Direktorat Topografi Angka
kup
luas, untuk memantau wilayah ini secara rutin diperlukan
tan Darat, Jl. Kalibaru Timur V No. 47 Jakarta Pusat. Acara ini
teknologi yang mampu dan memiliki tingkat akurasi yang
diselenggarakan dalam rangka peringatan HUT DITTOP TNI
sangat tinggi. Untuk kebutuhan tersebut, penggunaan citra
AD ke-64 yang jatuh pada tanggal 26 April dan dihadiri oleh
satelit beresolusi tinggi (Landsat-TM/ETM dan SPOT) sampai
perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan (stakehol
beresolusi sangat tinggi (Ikonos dan Quick Bird) menjadi pi
der) baik dari Instasi Pemerintah, Swasta, Pengusaha, Pergu
lihan sangat prioritas. Dan akhirnya dengan sangat antusias
ruan Tinggi dan Pelajar dari beberapa Sekolah. Kegiatan ini
berharap dapat memperoleh informasi yang lebih menda
bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
lam tentang perkembangan teknologi satelit penginderaan
mengenai sistem pelaksanaan tugas TNI dalam menjaga ke
jauh beserta aplikasinya agar dapat memanfaatkannya untuk
amanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar.
mendukung sistem pertahanan negara.
Dalam pidato sambutan disampaikan oleh Wakasad se
Setelah selesai acara Simposium para peserta meninjau
bagai Keynote Speech, permasalahan penyediaan informasi
stand
pameran, LAPAN turut berpartisipasi pada Pameran terse
Geografi/Medan untuk kepentingan pertahanan negara pada
but
dan
menampilkan berbagai Poster/Panel Peta Citra Satelit
saat ini bukan lagi menjadi milik eksklusif Direktorat Topografi
(PCS), Brosur, Buku, dan Album Pulau-pulau Kecil Terluar. (AK)
Angkatan Darat, namun menjadi milik dan perhatian kita ber

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

65

PERIS TIWA
D alam G ambar

Seminar Nasional Manajemen Pulau-pulau Terluar


vitas akademi UGM dan Instansi yang
terkait antara lain : Pemda Daerah Is
timewa Yogjakarta, BAKOSURTANAL,
BAPPENAS, LAPAN, DITOPAD, DKP,
dan DISHIDROS TNI-AL.
Ka.Pusbangja Ir. Agus Hidayat,
M. Sc.,dalam seminar tersebut me
ngungkapkan, bahwa data multitem
poral dapat menganalisis perubahan
tutupan lahan pulau-pulau terluar. Ia
menambahkan, pengembangan anali
sis tutupan lahan pulau-pulau terluar
dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya melalui: pemantauan pe
rubahan tutupan lahan, inventarisasi
sumber daya alam, pemanfaatan sum
ber daya alam berwawasan lingkung
an, pemantauan kondisi lingkungan,
dan pengelolaan lingkungan. Pada
Ka.Pusbangja LAPAN Ir. Agus Hidayat, M. Sc,sebagai nara sumber (ketiga dari kiri).
prinsipnya, LAPAN siap mendukung
umat 22/1/2010, Indonesia adalah negara kepulauan
dan bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya manaje
dengan kurang lebih 17.000 pulau dan sekitar 100 pulau
men pemantauan dan pengelolaan pulau-pulau terluar.
merupakan pulau-pulau terluar/ terdepan di wilayah Nega
Selain Seminar Sehari juga diselenggarakan Pameran, LA
ra Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pulau-pulau terluar
PAN pada kegiatan Pameran menampilkan berbagai produk
tersebut memiliki nilai strategis, sebagai titik dasar garis/
Peta Citra Citra Satelit (PCS) dalam bentuk Panel/ Poster.
pangkal untuk penentuan wilayah NKRI, ZEE dan Landas Kon
Pemanfaatan aplikasi data satelit penginderaan jauh dan in
tinen. Peran LAPAN dalam pembuatan Peta Citra Citra Satelit
formasi turunannya, yang merupakan salah satu komponen
(PCS) untuk manajemen pulau-pulau terluar sangat penting.
penting dalam mendukung kegiatan inventarisasi pulau-pu
Ini disebabkan, data penginderaan jauh mampu melakukan
lau terluar. (AK)
inventarisasi sebaran pulau-pulau tersebut. Selain itu juga,
dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi data penginder
aan jauh dapat mengidentifikasi kondisi pulau-pulau terluar
di wilayah NKRI.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Pengemba
ngan Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Ka.Pusbangja) LAPAN
Ir. Agus Hidayat, M. Sc.,saat menjadi pembicara dalam Semi
nar Nasional Manajemen Pulau-pulauTerluar NKRI dengan
judul: Peranan LAPAN dan Teknologi Inderaja dalam melaku
kan inventarisasi pulau-pulau terluar NKRI. Kegiatan Seminar
Sehari dilaksanakan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada, Yogjakarta, Sabtu (22/1). Acara seminar dibuka Rektor
Universitas UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng. Ph.D jam 09.00
WIB dan ditutup oleh Dekan Fakultas Geografi UGM Prof. DR.
Peserta seminar saat mengunjungi Stan Pameran LAPAN.
Suratman, M.Sc pada jam 12.30 WIB. Seminar dihadiri oleh ci

66

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

BERITA RINGAN

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

67

BERITA RINGAN

68

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

BERITA RINGAN

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

69

BERITA RINGAN

70

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

POSTER

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

71

POSTER
72

BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

Anda mungkin juga menyukai