Anda di halaman 1dari 5

Penelitian dilakukan untuk mengetahui efek resistensi obat pada hasil dari ECT,

Prudic et all menemukan bahwa resistensi pengobatan ditemukan pada 100 pasien dengan
unipolar, nonpsychotic depression sebelum mereka menerima terapi ECT. Riwayat
pengobatandari seluruh pasien dievaluasi menggunakan Antidepressant treatment history
form (ATHF) yang mengijinkan pengkajian yang komprehensif pada treatment yang
utama. Prudic dkk. Hanya mengevaluasi indeks episode saja, dari 54 pasien yang
sebelumnya tidak pernah diobati dengan ECT, dan menemukan perbedaan yang signifikan
dalam tingkat respons segera setelah dan 1 minggu setelah jalannya ECT.
Faktor prediktor resistensi obat akibat ECT adalah pemanjangan durasi perlakuan
ECT dan batas Ham0D skor yang tinggi. Resisten terhadap antidepressan heterocyclic
(e.g., imipramine, nortriptyline, amitriptyline) berhubungan dengan respon rendah
terhadap ECT dan kemudian menjadi resisten terhadap SSRIs atau tidak adekuat tehadap
obat lainnya.
Efek Samping: Persepsi dan Realitas
Ketakutan tentang ECT, produk dari praktek perlakuan buruk dan penggambaran
yang tidak tepat oleh media, telah menjadi hambatan orang-orang untuk mendapatkan
pengobatan ECT. Masyarakat takut akan konsekuensi medis dan psikiatris serius dan
stigma yang melekat pada ECT berupa tampak berlawanan dengan intuisi , kurang dari
segi keamanan dan keselamatan. Gagasan bahwa ECT menyebabkan kerusakan otak atau
"fried brain" telah diberitahukan sejak awal pengobatan ini. Namun, tidak ada data untuk
mendukung ide ini, pada kenyataannya, membantah hal tersebut. Misalnya, pada tahun
1994, Devanand dkk. Menerbitkan review sistematis dari hampir semua penelitian dan
literatur umum mengenai hal ini, meninjau efek kognitif, pencitraan, otopsi pada mantan
pasien ECT, studi epilepsi pada manusia, dan lebih dari 20 studi pada hewan, dan tidak
menemukan bukti bahwa ECT menyebabkan kerusakan otak struktural atau seluler.
Keseriusan Hasil Medis dan Kontraindikasi
Hasil medis serius yang berhubungan dengan ECT cukup langka. Departemen
Kesehatan Mental di Texas memiliki persyaratan pelaporan yang ketat, sehingga
menyediakan data mengenai hal ini. Shiwach et al memiliki database informasi tentang

8148 pasien yang menerima 49.048 perawatan ECT selama periode 5 tahun. Database
menjelaskan 30 pasien meninggal dalam waktu 14 hari setelah ECT. Namun tidak ada
kematian terjadi selama ECT. Dari 30 pasien yang meninggal dalam waktu 14 hari setelah
ECT, 10 meninggal karena komplikasi jantung, 8 oleh bunuh diri, 4 oleh kecelakaan
mobil. Tiga pasien meninggal karena sepsis, yang tidak mungkin berhubungan dengan
ECT. Tiga pasien meninggal karena masalah neurologis (supranuclear palsy, stroke, dan
pecah aneurism) tidak berhubungan dengan ECT. Satu pasien meninggal akibat spasme
laring, mungkin berhubungan dengan intubasi yang dilakukan untuk anestesi. Pasien lain
meninggal karena pneumonitis sekunder akibat aspirasi muntahan, yang mungkin secara
tidak langsung berhubungan dengan ECT. Satu pasien meninggal karena kanker, dan dua
tidak diketahui penyebabnya.
Pertimbangan khusus dalam menggunakan ECT untuk pasien dengan gangguan
kardiovaskular tertentu seperti miokard infark, gagal jantung kongestif, atau penyakit
jantung katup. Kondisi lain yang menjadi perhatian adalah gangguan neurologis seperti
space-occupaying lession atau kelainan vena, diabetes, penyakit paru obstruktif, dan
osteoporosis.
Shiwach et al. melaporkan satu kematian yang terjadi pada hari ECT, yang disebabkan
laringospasme yang disebabkan anestesi. Kematian yang terjadi dalam waktu 48 jam ECT
termasuk 5 dari komplikasi jantung, 3 dari sepsis, 1 oleh bunuh diri, dan 1 dari penyebab
yang tidak diketahui. Disebutkan bahwa angka kematian langsung akibat ECT adalah
sebesar 2-10 kejadian dari 100.000, sedangkan angka kematian karena anestesi saja adalah
3,3-3,7 kematian di 100,000.
Efek Samping Kognitif: Empat Jenis Gangguan Memory
Gangguan memori tetap adalah efek yang paling sering terjadi akibat dari ECT. Sejak
diperkenalkannya ECT pada tahun 1938, pasien yang telah menerima pengobatan telah
melaporkan adanya efek samping kognitif.
Efek samping kognitif yang dibagi dalam empat kategori dasar, yaitu:
1. stereotypical and transient postictal disorientation
terjadi segera setelah perawatan ECT, yang merupakan akibat dari kejang ataupun
anestesi yang diberikan. Tergolong dalam rentang ringan, terjadi dalam beberapa menit

sampai beberapa jam, jarang sampai terjadi sindrom organik yang parah. Faktor-faktor
yang mempengaruhi termasuk penempatan elektroda dan jumlah perawatan dapat
mempengaruhi waktu pemulihan.
2. Tipe kedua dari efek kognitif adalah amnesia anterograde, ketidakmampuan untuk
menyimpan informasi selama dan tak lama setelah pengobatan ECT, yang juga
bervariasi dalam tingkat keparahan. Amnesia anterograde dapat menyebabkan pasien
tidak mampu untuk mempertahankan informasi penting, baik secara umum dan secara
khusus tentang pengobatan.
3. Jenis ketiga dari efek kognitif adalah amnesia retrograde jangka pendek, yang
melibatkan memori kesenjangan untuk peristiwa yang terjadi dalam beberapa minggu
atau mungkin bulan sebelum perjalanan ECT. Amnesia retrograde biasanya membaik
selama beberapa bulan pertama setelah ECT, tapi pemulihan dapat tidak lengkap untuk
beberapa pasien.
4. Jenis gangguan kognitif yang keempat, yang untungnya jarang, melibatkan kehilangan
memori retrograde yang lebih luas di mana pasien mengalami defisit memori persisten
yang berat dan dapat kembali dalam beberapa bulan atau bahkan tahun.

Efek Samping Fisik secara Umum: Apa yang Pasien Alami


Kebanyakan pasien tidak melaporkan bahwa ECT adalah pengalaman yang menyebabkan
stress. Namun, beberapa pasien mungkin mengalami efek samping fisik termasuk sakit
kepala, mual, dan nyeri otot, terutama di awal pengobatan. Efek ini mungkin akibat dari
kejang, anestesi, atau beberapa kombinasi dari keduanya dan secara medis tidak serius.
Pasien juga mungkin mengalami efek samping yang jarang dari kombinasi anestesi dan
relaksan otot, yang dikenal sebagai anesthesia awareness, di mana mereka mungkin
sadar sebelum relaksan otot berhenti bekerja.
Oleh karena itu penting untuk menginformasikan kepada pasien tentang kemungkinan
efek samping.
1. Post Ictal Headache
45% dari pasien mengalami postictal headache. sakit kepala ini khas memiliki karakter
berdenyut pada frontal, biasanya ringan, dan terjadi lebih sering pada pasien yang lebih
muda. Meskipun etiologinya tidak dikenal, ditandai komponen vaskular yang rusak
akibat aspek teknis dari treatment. post-iktal biasanya ditangani dengan analgesik,

namun beberapa pasien mengalami sakit kepala lebih parah dan memerlukan
pengobatan profilaksis dengan agen non-steroid anti-inflammatory (NSAID) atau
spesifik pengobatan anti-migrain.
2. Mual
Pasien mungkin mengalami mual setelah ECT, dengan tingkat dilaporkan mual mulai
dari 1% menjadi 23% . Mual mungkin terkait dengan sakit kepala atau pengobatan,
atau mungkin terjadi secara independen sebagai efek samping anestesi. Mual dapat
diatasi sekaligus dengan pengobatan sakit kepala atau pengobatan profilaksis dengan
agen seperti ondansetron.
3. Nyeri otot
paling sering terjadi setelah awal pengobatan. Nyeri ini kemungkinan besar karena
fasikulasi intens (berkedut otot) terkait dengan depolarisasi relaksan otot seperti
suksinilkolin.
4. Pasien juga mungkin mengalami nyeri rahang, karena stimulasi langsung dari otot di
dekat rahang oleh stimulus ECT. Penutupan rahang saat dilakukannya ECT dapat
meminimalkan rasa sakit, yang nantinya dapat diobati dengan aspirin atau NSAID.
5. Anestesia awareness
Yaitu respon individu yang tak terduga berhubungan dengan anestesi, dapat terjadi
meskipun kasusnya jarang. Dalam situasi ini, pasien mungkintidak dapat bergerak dan
merasa tidak mampu untuk bernapas, tetapi tidak mampu untuk memberitahukan staf.
Meskipun tidak berbahaya untuk pasien, oksigen perlu disediakan, analgesik dan
intervensi psychoeducational solid.
Persepsi Publik
Persepsi publik tentang ECT bervariasi, dari yang sangat positif dan negatif. Memang ada
beberapa pasien yang telah mengalami ECT dan tidak membaik, kehilangan memori.
Namun beberapa pendidik terkenal mengungkapkan bahwa mengalami pengurangan
depresi setelah dilakukan ECT. Pengungkapan ini telah sangat membantu dalam
mengubah citra pengobatan ECT bagi masyarakat awam. Bahwa ECT lebih efektif dan
lebih aman bila diberikan dengan cara yang sehat secara medis, menggabungkan empiris
berasal pengetahuan dan keadaan teknologi.
Jurnal ke 2
Electroconvulsive Therapy Part II: A Biopsychosocial
Perspective

Bagaimana ECT menjadi terapi yang disalahpahami dan memiliki stigma negatif
Obat: The New Panacea
Sifat antidepresan dari imipramine menjadikannya obat pertama yang digunakan untuk
mengobati depresi. Imipramine, sebuah Iminodibenzyl awalnya dipasarkan berhasil
sebagai antihistamin dan kemudian sebagai antipsikotik, tercatat memiliki kemampuan
menaikkan mood pada kelompok pasien dengan skizofrenia pada tahun 1955. Namun,
karena kekhawatiran tentang efek samping (misalnya, parkinsonisme terkait dengan
antipsikotik, efek kardiovaskular dari TCA) dan efikasi obat yang mengecewakan selama
tahun 1970 meningkat, sehingga digunakanlah ECT, meskipun banyak timbul kontroversi.
PERSEPSI ECT OLEH MASYARAKAT
Meskipun bertahun-tahun mendapat serangan sosial, politik, dan hukum dan kurangnya
penerimaan oleh publik, sekitar 100.000 orang di Amerika Serikat dan lebih dari
1.000.000 di seluruh dunia kini menerima ECT setiap tahunnya, namun masih banyak juga
yang meragukan. Misalnya, ketika penulis, dan dokter yang bekerja dengan pasien yang
diobati dengan ECT, membahas ini, kami secara rutin mendengar tanggapan seperti:
"Oh, apakah mereka masih melakukan itu? Saya pikir yang dilarang. Itu pasti menjadi
pekerjaan yang sangat menyedihkan.
Informasi yang salah tentang ECT telah diumumkan melalui empat jalan utama: 1) media,
termasuk artikel dalam pers dan berita televisi; 2) penggambaran di film; 3) coalitions
lobbying for anti-ECT legislation, dan 4) Internet.

Anda mungkin juga menyukai