Anda di halaman 1dari 4

Ekonomi Ilmu Sedih (?

)
http://www.econlib.org/library/Columns/LevyPeartdismal.html --> pendapat yang
setuju
http://www.altafsir.com/Tafasir.asp?
tMadhNo=0&tTafsirNo=1&tSoraNo=2&tAyahNo=187&tDisplay=yes&Page=9&Size=
1&LanguageId=1 Tafsir Thabari yang menjelaskan arti lain
https://pbs.twimg.com/media/CQgt_IGU8AAZ_P4.jpg:large Tulisan Pak Chatib
http://blogs.worldbank.org/africacan/can-rapid-population-growth-be-good-foreconomic-development --> over population tidak masalah/bukan menjadi masalah
utama
http://www.cheatsheet.com/breaking-news/overpopulation-threatens-globaleconomy.html/ populasi over dapat menjadi masalah

Meredefinisi Ilmu Ekonomi (sebagai Ilmu Sedih)


Ekonomi dikenal sebagai the dismal science. M. Chatib Basri memadankan istilah
tersebut dengan padanan ilmu yang sedih [1] karena ---menurutnya--- ilmu
ekonomi lebih banyak memprediksi krisis daripada kemakmuran. Untung saja,
beliau tidak memadankannya dengan istilah ilmu yang menyedihkan atau ilmu
tentang kesedihan. Hehe...
Secara substansial, penyebutan ilmu ekonomi sebagai ilmu yang sedih disebab
ada unsur yang berpotensi membuat sedih seperti halnya krisis ekonomi, kiranya
benar. Namun secara sabab an-nuzul, penjelasan M. Chatib Basri kurang tepat.
Istilah the dismal science sendiri pertama kali diujarkan oleh seorang esais
Skotlandia, Thomas Carlyle dalam tulisannya[3]. The dismal science dimaksudkan
sebagai istilah lawan dari gay science yang diturunkan dari ungkapan gai sober
yang menjelaskan kecakapan khusus seorang pujangga. Versi umum yang dhaif
menjelaskan bahwa istilah tersebut merupakan respons terhadap pemikiran T.R.
Malthus yang menganggap laju pertumbuhan penduduk memiliki dampak yang
buruk. Hal tersebut karena pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan
laju pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung. Akibatnya, hal tersebut akan
terus memicu kemiskinan dan kesulitan-kesulitan ekonomi akibat ketidakstabilan
kebutuhan pangan yang harus diminta dengan ketersediaan bahan pangan.
Namun demikian, sejatinya Thomas Carlyle mengujarkan istilah the dismal science
sebagai deskripsi sindiran terhadap ilmu ekonomi bukan karena pendapat Malthus
mengenai teorinya tentang korelasi kependudukan dan kemiskinan. Versi yang lebih
shahih [2] menjelaskan bahwa Thomas Carlyle sedang mengkritik kebijakan antiperbudakan yang kala itu diperlakukan oleh Inggris. Kebijakan anti-perbudakan
tersebut membuat para pengusaha dirugikan karena mereka harus memperlakukan
budak yang bekerja sebagai karyawan. Budak-budak tersebut harus digaji dengan
layak, tidak boleh lagi diperlakukan sewenang-wenang sewaktu dipekerjakan. Budak
harus ditempatkan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama. Ekonom John

Stuart Mill berargumentasi bahwa seharusnya pasar tenaga kerja didorong dengan
interaksi permintaan dan penawaran, bukan dengan pemaksaan budak untuk
bekerja. Oleh karenanya, Thomas Carlyle beranggapan melalui istilah satirenya
bahwa ekonomi merupakan ilmu yang sedih karena membuat para pengusaha
sedikit banyak dirugikan dengan kebijakan tersebut.
Antitesis Versi Dhaif
Pemikiran T.R. Malthus beranggapan bahwa semakin bertambahnya populasi
manusia berdampak kurang baik terhadap keadaan ekonomi masyarakat tersebut.
Hal itu dikarenakan pertumbuhan pasokan makanan tidak bisa mengimbangi
cepatnya pertumbuhan populasi manusia.
Terhadap pendapat Malthus, banyak pemikir yang pro, kontra, maupun bersikap
moderatif[4] (tidak sepenuhnya membenarkan atau pun menyalahkan, tapi lebih
kepada mengoreksi apa yang kurang tepat dan membiarkan apa yang sudah
benar). Yang tidak setuju seperti Karl Marx dan Fried Engels berpendapat bahwa
kemiskinan terjadi bukan karena tekanan sumber bahan makanan, melainkan
karena tekanan kesempatan lapangan kerja yang dikuasai kaum kapitalis. Sedikit
berbeda dengan Karl Marx dan Fried Engels, John Stuart Mill menerima kebenaran
bahwa laju pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dari laju pertumbuhan bahan
pangan. Namun ia mengoreksi pada situasi tertentu manusia akan beradaptasi
dengan sendirinya dan memengaruhi perilaku demografinya.
Pandangan Agama
Terdapat ungkapan yang cukup populer dalam masyarakat: banyak anak banyak
rezeki. Ungkapan ini bisa jadi merupakan implikasi langsung dari dalil-dalil Al-Quran
maupun As-Sunnah yang menganjurkan untuk berketurunan.[5] Bahkan, Nabi Saws
sendiri akan berbangga dengan ummatnya apabila jumlahnya banyak. Salah satu
ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk mempunyai keturunan yang banyak
adalah sebagai berikut,








Artinya: Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Ibnu Katsir mengutip perkataan Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadhi,
Mujahid, dan yang lainnya menafsiri maa kataba Allah lakum (apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu) sebagai anak.
Namun demikian ada pula ulama yang menafsirkan maa kataba Allah lakum bukan
sebagai anak. Ath-Thabari dalam tafsirnya[6] mengutip pendapat Ibnu Zaid yang
memaknai maa kataba Allah lakum sebagai jimak/hubungan badan, sedangkan
Qatadah menganggap sebagai apa-apa yang telah dihalalkan untukmu. Ibnu Abbas
dalam kesempatan yang lain menafsiri maa kataba Allah lakum sebagai malam
lailatul qadr.
Justifikasi Empiris

Ambilah penafsiran ayat apa yang telah ditetapkan Allah untukmu sebagai anak.
Hal ini akan berimplikasi baik secara langsung atau tidak langsung pada
pertambahan populasi penduduk dan tidak sejalan dengan pandangan Malthus
karena berpotensi menimbulkan kemiskinan akibat terbatasnya sumber daya alam
atau pun pangan.
Namun demikian dari perspektif sejarah, kemiskinan terjadi lebih disebabkan karena
praktik perbudakan dan penjajahan atau kolonialisme (bukan karena jumlah
penduduk yang berlebih), demikian yang diungkapkan Phil Bartle.[7] Selain itu
---lanjut Bartle--- kemiskinan terjadi karena faktor alam dan faktor non-alam. Faktor
alam seperti penyebaran penyakit (disease) atau pun kondisi lingkungannya.
Adapun faktor non-alam melibatkan tata kelola ekonomi yang buruk akibat sikap
ketidakpedulian lingkungan sosial dan pemerintah yang koruptif (ignorance,
dishonesty, apathy, dependency).
Bahkan kondisi populasi berlebih pada saat tertentu akan memiliki benefit ekonomi
bagi suatu negara. Kondisi pertumbuhan populasi yang meningkat akan
menghadirkan lebih banyak tenaga kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan
produktivitas suatu negara. Contohnya, dividen pertumbuhan ekonomi Kenya[8]
sekarang ini merupakan implikasi langsung dari meningkatnya populasi penduduk
dengan tipe piramida penduduknya yang muda.
Sedikit banyak, Indonesia juga mengalami hal yang sama secara fundamental. Akan
tetapi karena tata kelola yang buruk, apa yang bisa menjadi peluang malah menjadi
halangan. Contohnya, isu pangan di Indonesia bisa diselesaikan dengan tata kelola
agraria yang lebih baik. Sehingganya, kebijakan-kebijakan nir-ekonomis seperti
impor bahan pangan dapat dihindarkan. Malah sebaliknya secara teoritis, jumlah
penduduk Indonesia yang banyak bisa menjadi keunggulan untuk menggenjot
produktivitas pertanian. Namun kendalanya berada pada sisi efisiensi produktivitas
agraria yang sekarang ini masih terjadi. Pada akhirnya, produktivitas yang tidak
efisien sementara tingkat konsumsinya (semakin) besar jalan pintas yang diambil
adalah impor.
Ekonomi Ilmu yang Bermanfaat
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang bermanfaat karena desain utamanya adalah untuk
mencari solusi atas pemetaan masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, ilmu ekonomi
bukanlah ilmu yang sedih karena selain memprediksi kemuraman-kemuraman,
ianya juga pada saat yang bersamaan menampilkan beragam solusi alternatif.
Misalnya kasus populasi berlebih memiliki solusi alternatif dengan pengembangan
teknologi pangan yang lebih mutakhir guna menunjang efisiensi produktivitas.
Kendati demikian, keanekaragaman solusi tersebut tidak ada yang mampu
menggaransi kemujarabannya. Jika tidak mujarab, berarti tidak berhasil, dan
kembali lagi ke sedih. Lho kok?

[1] https://pbs.twimg.com/media/CQgt_IGU8AAZ_P4.jpg:large
[2] http://www.econlib.org/library/Columns/LevyPeartdismal.html

[3] http://cruel.org/econthought/texts/carlyle/carlodnq.html
[4] http://christdhawie.blogspot.co.id/2011/07/teori-teori-kependudukan.html
[5] http://muslim.or.id/9511-banyak-anak-banyak-rezeki.html
[6] http://www.altafsir.com/Tafasir.asp?
tMadhNo=0&tTafsirNo=1&tSoraNo=2&tAyahNo=187&tDisplay=yes&Page=9&Size=
1&LanguageId=1
[7] http://cec.vcn.bc.ca/cmp/modules/emp-pov.htm
[8] http://blogs.worldbank.org/africacan/can-rapid-population-growth-be-good-foreconomic-development

Over populasi memiliki advantage tersendiri kasus Afrika

Anda mungkin juga menyukai