Anda di halaman 1dari 3

Abu Thalhah adalah seorang shahabat dari kalangan kaum Anshar.

Nama aslinya
adalah Zaid bin Sahl bin Al Aswad bin Haram An Najari Al Anshari. Abu Thalhah adalah
suami Ummu Sulaim, Ibu dari Anas bin Malik. Dia termasuk shahabat yang banyak
memiliki harta. Di antara harta beliau adalah kebun kurma yang banyak meberikan
hasil. Dan di antara harta yang paling dia cintai adalah kebun kurma yang menghadap
Masjid Nabawi. Rasulullah pun pernah masuk ke kebun tersebut kemudian minum
airnya yang jernih
.
Ketika turun ayat ini:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan

sebagian

harta

yang

kamu

cintai. (Ali

Imran:

92)

Maka Abu Thalhah hendak menyedekahkan kebun kurma yang paling dicintai tersebut
di jalan Allah. Hal ini beliau lakukan dalam rangka untuk meraih kebaikan yang
sempurna dan pahala dari Allah. Kebaikan yang dapat menghantarkan pelakunya ke
surga
Beliau bergegas datang kepada Rasulullah kemudian berkata, Wahai Rasulullah
sesungguhnya Allah berfirman, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai, dan
sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun kurma, maka kebun kurma
tersebut aku sedekahkan untuk Allah taala dan aku mengharap kebaikan dan
pahalanya di sisi Allah. Maka gunakanlah kebun itu wahai Rasulullah sebagaimana
yang telah diperintakhkan kepadamu.
Kemudian Rasulullah bersabda, Sungguh menakjubkan! Itu adalah harta yang sangat
menguntungkan, itu adalah harta yang sangat menguntungkan dan aku telah
mendengar apa yang kamu katakan. Menurutku lebih baik kamu berikan kepada
kerabatmu.
Rasulullah memandang kerabat-kerabat Abu Thalhah lebih membutuhkan untuk
disantuni. Maka beliau menganjurkan Abu Thalhah untuk menyedekahkan kebun kurma
tersebut kepada kerabatnya. Mendengar jawaban Rasulullah, Abu Thalhah berkata,
Aku akan melaksanakannya wahai Rasulullah. Maka Abu Thalhah membagikan kebun
kurmanya kepada kerabat dan anak pamannya.

Abu Thalhah telah membuktikan keimanannya. Beliau rela menyedekah harta yang
paling dicintainya demi meraih kebaikan yang sempurna. Ini merupakan bukti
kesempurnaan iman seorang hamba. Demikian dengan shahabat yang lain. Ketika
mereka mendengar ayat ini mereka langsung mencari harta yang paling mereka cintai
untuk diinfaqkan di jalan Allah.
Adalah Umar bin Al Khaththab bersemangat untuk menyedekahkan harta yang paling
berharga baginya. Sesungguhnya Umar mempunyai seratus anak panah yang ia beli
dari Kahibar. Maka beliau mendatangi Rasulullah seraya berkata, Wahai Rasulullah,
tidak ada harta yang paling berharga bagi kecuali anak panah yang saya beli dari
Khaibar, dan aku ingin mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Maka apa yang
engkau perintahkan kepadaku dengan anak panah tersebut? Namun Rasulullah
bersabda, Tahan (jangan engkau berikan kepada siapa pun) dan gunakanlah pada
jalan kebaikan.
Demikian pula dengan Abdullah bin Umar ketika mendengar ayat, Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. Kemudian beliau teringat bahwa tidak ada harta yang
paling ia cintai selain budak wanita dari Romawi. Maka beliau pun membebaskan budak
wanita tersebut dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah.
Demikianlah hendaknya seorang muslim. Mempunyai tekad yang kuat untuk
menyedekahkan harta terbaik dan yang paling dicintai. Yaitu harta yang berharga dan
yang dicintai oleh hawa nafsu. Hingga terbukti kejujurannya dalam beramal karena
Allah dari pada menuruti hawa nafsunya. Maka seandainya seorang hamba lebih
mendahulukan kecintaan Allah dari pada kecintaan terhadap harta, tentu ia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat keridhaan-Nya. Termasuk dengan
menyedekahkan harta yang berharga dan bersedekah dengan harta yang sangat ai
butuhkan serta bersedekah ketika dalam kondisi sehat. Karena yang demikian
menunjukkan kejujuran iman, kejernihan hati dan kekuatan takwanya.
Menginfaqkan harta yang paling dicintai menjadi tolok ukur kebajikan seseorang.
Seorang hamba telah cukup dianggap telah sempurna kebajikannya ketika ia
menginfakkan harta yang paling dicintainya. Dan sebaliknya, berkurang kebajikannya

ketika ia enggan menginfaqkan harta yang dicintainya. Walapun seorang hamba akan
tetap mendapat pahala ketika berinfak, baik banyak maupun sedikit, dengan harta yang
dicintai atau pun tidak. Namun seandainya ia berinfak dengan harta yang terbaik dan
yang paling dicintai tentu hal itu akan lebih sempurna kebjikannya dan lebih jelas bukti
kejujuran imannya. Wallahu alam bish shawwab.

Anda mungkin juga menyukai