Anda di halaman 1dari 6

Tugas Individu Paper

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Amran Razak, SE., M.Sc.


Mata Kuliah

: Sistem Pembiayaan Kesehatan

SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

Nurul Fitria Gamayanti


P1802214024

PROGRAM PASCASARJANAADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

1. AFTA/MEA Mempengaruhi Sistem Pembiayaan Kesehatan dan Perekonomian


Indonesia
Globalisasi adalah peristiwa mendunia atau proses membuana dari keadaan lokal
yang lebih terbatas sebelumnya. Artinya pembatasan antar negara untuk perpindahan barang,
jasa, modal, manusia, teknologi, pasar, dan masih banyak hal lain menjadi tidak berarti atau
malahan hilang sama sekali. Globalisasi di berbagai sektor yang mengarah pada pasar bebas
tidak bisa dihindari oleh negara-negara lain termasuk diantaranya Indonesia. Di era ini, batas
negara semakin menghilang, sementara kemajuan teknologi dan informasi berkembang
demikian cepat. Globalisasi mempengaruhi perubahan di semua sektor, tidak terkecuali di
bidang kesehatan. Apalagi akan diberlakukannya Asean Free Trade Area (AFTA) atau istilah
lainnya Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 ini. Pengaruh tersebut dapat
dilihat di bidang perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan
asuransi kesehatan.
Dari segi pembiayaan kesehatan, Indonesia lebih rendah daripada Negara lainnya.
Menurut survei PriceWaterhouse Coopers (1999), sebelum krisis ekonomi (1997), Indonesia
membelanjakan 19,1 dollar AS per kapita per tahun untuk pemeliharaan kesehatan, atau
sekitar 1,7 persen GDP. Bandingkan dengan Malaysia (97,3 dollar AS atau 2,4 persen GDP),
Thailand (108,5 dollar AS atau 4,3 persen GDP), Singapura (667 dollar AS atau 3,5 persen
GDP), Taiwan (623,8 dollar AS atau 4,8 persen GDP). Belanja untuk kesehatan di Indonesia
ini lebih rendah dari standar yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang telah
menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara pada kisaran minimal 5%
dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto), sedangkan Indonesia hanya
bisa mematok 2,4% dari GDP setelah krisis ekonomi (2007). Perencanaan dan pengaturan
pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di
suatu

negara

untuk

dapat

memobilisasi

sumber-sumber

pembiayaan

kesehatan,

mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif.


Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada
masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses
yang universal.
Biaya kesehatan di Indonesia cenderung meningkat yang disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya adalah pola penyakit degeneratif, orientasi pada pembiayaan kuratif,
pembayaran out of pocket (fee for service) secara individual, servis yang ditentukan oleh
provider, teknologi canggih, perkembangan (sub) spesialisasi ilmu kedokteran, dan tidak
lepas juga dari tingkat inflasi. Dengan kondisi dan situasi yang ada seperti ini maka akses dan

mutu pelayanan kesehatan terancam, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Hal ini
menyebabkan derajat kesehatan masyarakat semakin rendah. Kondisi tersebut diperparah
dengan tarif rumah sakit yang tidak standar, sehingga masing-masing rumah sakit cenderung
menetapkan tarif sendiri.
Tidak dapat dihindari bahwa peranan sektor swasta akan bertambah besar, yang
disebabkan karena meningkatnya sosial ekonomi penduduk, jumlah penduduk yang dilayani
bertambah dan adanya kesadaran akan kualitas pelayanan yang baik. Tumbuhnya penyedia
layanan kesehatan terutama di kota-kota besar, menyebabkan tingkat kompetisi di antara
mereka terutama swasta cukup tinggi. Dengan tingkat kompetisi yang tinggi, maka akan
diikuti dengan segala upaya untuk mempertahankan keberadaan mereka. Hanya yang dapat
menyediakan layanan yang bermutu dengan pembiayaan yang relatif rendah dapat unggul
dalam kompetisi ketat tersebut.
Sektor kesehatan (secara keseluruhan) mengalami inflasi di seluruh dunia
diperkirakan diatas inflasi ekonomi. Penyebab inflasi tersebut antara lain :
1. Indemnity Health Insurance
2. Medical Technology
3. Demand, karena konsumer juga berpengaruh meminta pelayanan yang berkualitas dan
menggunakan alat-alat canggih
4. Komponen non-medis seperti pemenuhan kebutuhan convenience dan amenities
5. Defensive medicine, sehingga dokter melakukan pemeriksaan/prosedur diagnostik
selengkap-lengkapnya untuk menghindari gugatan mal-praktek
6. Meningkatnya proporsi penduduk usia lanjut yang menyebabkan meningkatnya
insiden penyakit kronis.
Terkait dengan pemberlakuan MEA, kalangan kedokteran dituntut untuk mulai
melek dengan ekonomi. Kita harus paham bahwa Investasi asing di bidang kesehatan berarti
(1) membuka peluang bisnis bagi pemilik modal, (2) kesempatan menikmati kemajuan
mutakhir teknologi kedokteran bagi kalangan mampu dan (3) semakin terpinggirnya
kelompok miskin yang tidak tercakup oleh sistem jaminan apapun. Tanpa perlindungan dari
pemerintah dan kepedulian sektor kesehatan kita khawatir Indonesia hanya menjadi ladang
basah bagi dokter asing maupun pemodal asing di bidang kesehatan.
Salah satu kesepakatan yang ditandatangi dalam ASEAN Framework Agreement on
Services adalah penyertaan modal asing yang mencapai 70 persen, kecuali di Makassar dan

Manado yang hanya 51 persen. Kita layak khawatir akan terjadi liberalisasi jasa kesehatan
jika investasi mereka ditetapkan sebesar itu. Karena itu semua jajaran sektor kesehatan
Indonesia, perlu mendorong dan memperkuat pemerintah untuk sepenuhnya memegang
kendali dalam perbaikan sistem kesehatan nasional. Tanpa itu, MEA hanya akan
mengakibatkan pelayanan kesehatan berbiayai tinggi dan jurang yang semakin dalam di
antara kelompok masyarakat dengan tingkat penghasilan berbeda, maupun di wilayah
berbeda. Dan itu adalah hal yang kita semua tidak inginkan.

2. Pendapat Mengenai Dana APBD Dipakai Regulasi


Setuju, jika APBD dipergunakan dengan baik dan wajar. APBD ditetapkan
melalui Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari
tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Permasalahan mendasar dari PerdaPerda APBD ini adalah keterbukaan pemda terhadap alokasi anggaran dan keberpihakan
pemda terhadap kelompok sasaran. Akses kelompok sasaran dalam penentuan program dan
alokasi anggaran sangat terbatas. Secara normatif terbuka peluang kelompok sasaran untuk
ikut serta dalam proses penetapan APBD melalui penjaringan aspirasi masyarakat.
Telah menjadi pembicaraan umum bahwa di Era Otonomi Daerah, alokasi belanja
APBD dianggap kurang memihak pada pelayanan publik. Hal ini tercermin dari alokasi
anggaran belanja pembangunan yang lebih kecil dibanding belanja aparatur. Salah satu
persoalan yang menyebabkan kurang terakomodirnya kepentingan rakyat secara optimal
dalam APBD adalah belum terintegrasinya proses perencanaan dan penganggaran.
Integrasi Perencanaan dan Penganggaran dalam proses penetapan suatu Perda APBD
merupakan intrumen yang potensial untuk mendorong tercapainya good governance dan
clean government, jika prosesnya dilakukan secara cermat dan sungguh-sungguh dan tidak
sekedar melaksanakan prosedur formal. 10 prinsip good governance, yang relevan dalam
perumusan dan implementasi Perda APBD adalah prinsip-prinsip: Partisipasi Masyarakat,
Transparansi, Akuntabilitas serta Efektifitas dan Efisiensi. Dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektifitas APBD, perlu dirancang suatu system monev dan pengawasan
legislative yang efektif. Melalui kegiatan monev rutin setiap bulan dan Rakordal tiap kuartal
dapat dipastikan bahwa implementasi APBD tersebut dapat berjalan dengan konsisten sesuai
rencana dan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran.
3. Sistem Pembiayaan Kesehatan Menggunakan Pajak

Peraturan yang mengatur kebijakan UU no 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional menyatakan bahwa sistem pembiayaan kesehatan berbasis asuransi sosial,
namun dalam implementasinya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh
pembiayaan pemerintah dari sumber pajak yaitu negara membayar langsung kepada pemberi
pelayanan kesehatan melalui mekanisme Jaminan Kesehatan.
Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah
sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan oleh pihak swasta.
Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini sulit dilaksanakan karena
memerlukan dana yang sangat besar.
Contoh :
1. Dana pemerintah pusat
2. Dana pemerintah provinsi
3. Dana pemerintah kabupaten kota
4. Saham pemerintah & BUMN
5. Premi bagi Jamkesmas yang dibayarkan oleh pemerintah
4. Hubungan BPJS Dengan Rumah Sakit Swasta
Rumah sakit swasta umumnya belum menyepakati tarif INA CBG's dan sistem
kapitasi dalam BPJS. Bahkan ada yang mundur dari kesepakatan hubungan kerja sama ini.
Mundurnya rumah sakit swasta satu persatu dari kerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) disebabkan ketidakcocokan sistem pembayaran Indonesian Case
Based Groups (INA CBGs). Sistem INA CBG's disebutkan sangat tidak sesuai dengan
pembiayaan yang ada di rumah sakit. Pembiayaan dengan paket yang paten, kebanyakan
tidak pas dengan biaya tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit pada pasien,
sementara seharusnya mendapat tindakan lebih, sehingga yang terjadi adalah memperburuk
layanan kesehatan untuk masyarakat.
INA CBGs merupakan sistem pengelompokan penyakit berdasarkan ciri klinis
yang sama dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Pengelompokan ini
ditujukan untuk pembiayaan kesehatan pada penyenggaraan jaminan kesehatan sebagai pola
pembayaran yang bersifat prospektif dalam rangka kendali biaya dan kendali mutu. INA
CBG's (Indonesian Case Based Groups) dibuat dengan tujuan untuk mempercepat pasien
dalam membayar, kadang menjadi modus moral hazard ataupun fraud rumah sakit.

5. Mengomentari Tulisan Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH berjudul Keberhasilan
(Secuil Peran) Program Kesehatan di surat kabar Fajar 6 Oktober 2015
Memang program-program kesehatan di Sulawesi Selatan telah dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Seperti program kesehatan gratis di Sulsel yang telah berjalan
dengan sangat baik. Meskipun, masih ada beberapa aspek yang harus disempurnakan,
khususnya dari segi pelayanan. Misalnya saja bagaimana tenaga medis memperlakukan
pasien.
Banyak program pemerintah yang notabene memberikan jaminan kesehatan kepada
masyarakat khususnya masyarakat miskin, seperti BPJS yang digelontorkan oleh pemerintah
pusat atau Jamkesda yang menjadi program pemerintah tingkat provinsi tetapi kondisi
dilapangan masih banyak masyarakat yang ditolak ataupun tidak bisa mengakses fasilitas
tersebut dengan berbagai alasan, pihak pihak terkait dalam hal ini pihak BPJS dan Pemerintah
Provinsi harus sigap membaca kondisi ini, dengan melakukan banyak sosialisasi ke tengah
masyarakat tentu dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, tujuannya agar masyarakat
paham akan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka terkait fasilitas tersebut.

Anda mungkin juga menyukai