DPRyang
notabenanya dibuat untuk kepentingan negara berdasarkan pendekatan politis.
Sementara itu, laporan keuangan komersial disusun dengan menggunakan prinsipprinsip akuntansi berterima umum (PSAK untuk di Indonsia)yang notabenanya
dibuat untuk kepentingan para pelaku usaha dan stake holders (manajemen,
investor, kreditur dan pemerintah) dengan menggunakan pendekatan bisnis.
Perbedaan kepentingan antara pajak dengan akuntansi kemudian menimbulkan
perbedaan cara memandang suatu transaksi keuanganbaik dalam menentukan
waktu pengakuan maupun besarnya nilai yang diakui.
Perbedaan perlakuan terhadap pendapatan dan biaya (baik itu saat pengakuan
maupun nilai-nya), sudah pasti akan menimbulkan perbedaan nilai antara Laba
Sebelum Pajak dengan Laba Kena Pajak (DPP PPh) dalam Laporan Laba/Rugi,
yang pada akhirnya juga mengakibatkan perbedaan pada pengakuan Utang Pajak
Penghasilan di Neraca.
Misalnya:
Kasus-1. PT. JAK adalah perusahaan kontraktor. Untuk laporan komersial, JAK
menggunakan metode persentase penyelesaian (percentage-of-completion
method) dimana pendapatan diakui berdasarkan persentase tingkat penyelesaian
proyek, dan untuk tahun 2012 JAK menerima pembayaran sebesar Rp 100,000,000
dari total kontrak senilai 200,000,000 yang rencananya akan rampung di 2013.
Sedangkan untuk laporan fiskal, JAK menggunakan metode penyelesaian kontrak
(completed-contract method) dimana pendapatan baru akan diakui sekaligus ketika
seluruh pembayaran diterima (saat proyek rampung di 2013.) Akibatnya, di 2012
terjadi perbedaan pengakuan pendapatan. Perbedaan pengakuan pendapatan ini
mengakibatkan perbedaan pengakuan Laba Kena Pajak yang otomatis juga akan
mengakibatkan perbedaan pengakuan Kewajiban Pajak Penghasilan (Utang PPh)
baik di masa kini maupun yang akan datang.
Kasus-2. PT. JAK adalah perusahaan retail. Dalam Neraca komersial tahun 2012,
PT. JAK mengakui adanya utang penukaran point belanja yang belum dibayar
sebesar Rp 25,000,000 yang kemungkinan akan diklaim oleh pelanggan di 2013. Di
sisi lainnya, PT. JAK juga mengakui Harga Pokok Penjualan handuk (sebagai
penukar point) sebesar yang sama dalam Laporan Laba-Rugi. Sedangkan dalam
Laporan Laba-Rugi fiskal, Harga Pokok Penjualan (HPP) handuk yang belum
sungguh-sungguh terjadi tidak boleh diakui di 2012 (sesuai ketentuan pajak).
Akibatnya, terjadi perbedaan pengakuan HPP antara laporan laba-rugi komersial
dengan fiskal. Perbedaan pengakuan HPP tersebut mengakibatkan laba kena
pajak (laba fiskal) dan laba sebelum pajak (laba komersial) juga berbeda, yang
pada akhirnya akan membuat Kewajiban Pajak Penghasilan (utang PPh) juga
menjadi berbeda.
Kasus-3. PT. JAK adalah perusahaan manufaktur. Selama periode 2012, PT. JAK
mengeluarkan uang makan untuk beberapa orang pegawai sebesar Rp 2,000,000.
Di laporan komersial, semua jenis pengeluaran diakui sebagai beban (atau biaya)
termasuk uang makan tersebutyang akan mengurangi Laba Kena Pajak.
Sedangkan menurut aturan perpajakan, uang makan tersebut tidak boleh diakui
sebagai biaya. Sehingga, besanya laba kena pajak antara laporan fiskal dengan
komersial akan berbeda.
Perhatikan kembali contoh kasus pertama di atas. Menurut laporan fiskal 2012
pendapatan JAK nol sehingga TIDAK ADA Laba Kena Pajak (laba fiskal), otomatis
juga tidak ada utang pajak penghasilan)karena pendapatan baru akan diakui
sekaligus di 2013 sebesar Rp 200,000,000, sehingga laba kena pajak dan utang
pajak penghasilan akan terjadi sekaligus di 2013. Sedangkan menurut laporan
komersial untuk 2012 adalah Rp 100,000,000, sehingga ADA Laba Kena Pajak (laba
komersial) dan Utang Pajak Penghasilansisanya yang Rp 100,000,000 akan
diakui di 2013. Total pengakuan pendapatan, laba kena pajak dan utang pajak, sejak
2012 hingga 2013, akan sama. Perbedaan hanya terjadi pada waktu
pengakuan-nya, oleh sebab itu perbedaan yang seperti ini diistilahkan dengan
beda waktu (timing difference). Dengan kata lain: perbedaan yang terjadi di 2012
hanya bersifat sementarapada titik tertentu nanti akan menjadi sama, itu sebabnya
belakangan ini istilah beda waktu (timing difference) sudah jarang dipakai, digantikan
dengan istilah beda sementara (temporary difference.)
Demikian juga dengan contoh kedua, yang terjadi hanya beda sementara
(temporary difference). Di tahun 2012 pengakuan HPP laporan fiskal lebih besar
dibandingkan laporan komersial, akan tetapi di 2013 yang terjadi adalah sebaliknya
laporan komersial akan mengakui HPP lebih besar dibandingkan laporan fiskal.
Sehingga, saat semua point diklaim oleh pelanggan, total HPP antara laporan fiskal
dan komersial akan sama, total laba fiskal dan laba komersial sama, dan total utang
PPh juga sama.
Contoh kasus yang ketiga tidak sama dengan dua contoh sebelumnya. Pada
kasus ini, perbedaan yang terjadi bersifat tetap. Dari aspek pajak, pengeluaran untuk
uang makan beberapa orang pegawai TIDAK AKAN PERNAH BISA diakui sebagai
bebanartinya juga tidak akan pernah bisa dijadikan faktor pengurang laba kena
pajak dan tidak akan pernah mengurangi utang pajak di masa-masa yang akan
datang. Sedangkan dari prinsip akuntansi, pengeluaran yang sama akan tetap diakui
sebagai beban. Dengan kata lain, utang pajak antara yang di laporan fiskal dengan
komersial tidak akan pernah sama. Perbedaan yang seperti ini disitilahkan dengan
Beda Tetap (Permanent Different.)
Lalu, apa hubungannya dengan pajak tangguhan? Mungkin ada yang berpikir
seperti itu.
Ya jelas ada hubungannya. Jika tidak, untuk apa saya capek-capek menuliskannya
sampai panjang lebar. Justru yang di atas itulah kunci pemahaman dari konsep
Dari perbandingan laporan fiskal dan komersial di atas jelas terlihat bahwa,
perbedaan pengakuan pendapatan di 2012 mengakibatkan terjadinya perbedaan
laba kena pajak sebesar Rp 50,000,000. Perbedaan laba fiskal dan komersial
tersebut akan mengakibatkan peningkatan Utang PPh di 2013 nanti sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 50,000,000 = Rp 15,000,000.
Peningkatan Utang PPh inilah yang diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan
(Deferred Tax Liability) di tahun 2012. Bagaimana caranya JAK menjurnal
pengakuan kewajiban pajak tangguhan?
Mungkin anda sudah tahu bahwa pengakuan jurnal pengakuan Biaya dan Utang
PPh biasanya, sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 15,000,000
Tetapi karena laporan fiskal mengakui utang PPh nihildan sebagai gantinya
PT. JAK mengakui adanya kewajiban pajak tangguhan, maka jurnalnya menjadi
sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = 0
[Kredit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
(Catatan: Untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan)
Dengan dimasukannya jurnal ini, maka di Laporan Laba-Rugi komersial PT JAK
akan menunjukan biaya PPh sebesar Rp 15,000,000 di satu sisinya, dan di Neraca
Anggap total klaim point belanja yang ditukarkan oleh pelanggan, di 2013,
memang mencapai Rp 25,000,000 seperti yang di perkirakan, dan ada laba fiskal
sebesar Rp 20,000,000 di periode 2013, maka aset pajak tangguhan yang diakui di
2012 dihapuskan (istilahnya dipulihkan)
dengan mengkreditkannya (melawankannya) dengan Utang PPh 2013. Jurnalnya
adalah sbb:
[Debit]. Biaya PPh = 20,000,000
[Kredit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang PPh = 12,500,000
(Catatan: Utang PPh = Utang PPh 2013 Aset Pajak Tangguhan 2012 = 20,000,000
7,500,000 = Rp 12,500,000.)
Jika saya rangkum semua, maka bisa disimpulkan bahwa:
1. Pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, sebagai antisipasi terhadap
konsekwensi utang pajak penghasilan, baik yang timbul di masa kini maupun masa
depan.
2. Salah satu penyebab terjadinya pajak tangguhan adalah adanya perbedaan
sementara antara laba fiskal dengan laba komersial, yang pada ujungnya
menimbulkan perbedaan antara Utang PPh dalam laporan fiskal dengan laporan
komersial.
3. Jika laba pajak lebih besar dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih
tersebut diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset), sebesar
selisih tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya bisa dikreditkan (dijadikan
pengurang) di tahun fiskal berikutnya.
4. Jika laba pajak lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih
tersebut diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability),
sebesar selisih tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya dihapuskan ketika
bisa dipulihkan di masa depan.
Ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan, antara lain:
[-]. Kasus yang sering saya temui adalah adanya pajak tangguhan (baik berupa
aset maupun kewajiban) yang menumpuk. Itu artinya keputusan untuk
menagguhkan, kemungkinan besar diambil dengan pertimbangan dan alasan yang
tidak cukup kuat, sehingga pajak tangguhannya tidak pernah mengalami pemulihan.
Ada 2 kemungkinan penyebab:
Agar ini tidak terjadi, pajak tangguhan sebaiknya hanya diakui jika potensi pemulihan
hampir bisa dipastikan (most probably) akan terjadi di masa depan. Jika tidak terlalu
yakin sebaiknya jangan mengakui pajak tangguhan.
[-]. Aset pajak tangguhan tidak selalu berasal dari temporary difference
dimana laba fiskal lebih besar dibandingkan dengan laba komersial. Sesuai
dengan PSAK 46, asset pajak tangguhan juga bisa terjadi akibat adanya:
Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, yang biasa disebut dengan istilah Loss
Carry Forward (LCF); dan
Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan (jika peraturan perpajakan mengizinkan.)
Demikian halnya dengan kewajiban pajak tangguhan, juga tidak selalu berasal dari
temporary differenecedimana laba fiskal lebih kecil dibandingkan laba komersial.
Masih ada beberapa kemungkinan penyebab selain temporary difference.
Lagipula, pada prakteknya ragam penyebab temporary difference juga sangat
banyakyang tentunya perlu penghitungan dan pernjurnalan yang berbeda. Tetapi
untuk sementara, seperti sudah saya sampaikan, di tulisan ini saya hanya
membahas konsep dasarnya. Anggaplah ini pengenalan awal.
Di posting-posting berikutnya, saya akan bahas berbagai kemungkinan temporary
difference yang bisa timbul antara laba pajak dengan laba komersialbeserta tips
cara menentukan apakah suatu temporary difference akan menimbulkan deferred
tax asset atau deferred tax liability. Juga kemungkinan proses pemulihan dan
penghapusan yang melewati beberapa tahun fiskal, dengan variasi tarif efektif pajak
yang berbeda antara satu tahun denga tahun lainnya. Tentunya dengan contoh
kasus dan penjurnalannya.
Untuk sementara, silahkan pahami konsep dasarnya terlebih dahulu, asah pola pikir
anda agar setiap timbul Utang PPh, pikiran anda otomatis merespon dengan
pertanyaan: (a) apakah ada temporary difference; (b) apakah temporary
differencenya memiliki potensi pemulihan yang tinggi di masa depan; (c) apakah
perlu mengakui pajak tangguhan; (d) jika iya, jurnal seperti apa yang diperlukan; (e)
bagaimana nanti proses penghapusannya; (f) dan seterusnya. Itu dulu yang penting.