Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
Dispnea atau sesak napas merupakan suatu istilah yang menggambarkan
suatu persepsi subjektif mengenai ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari
berbagai sensasi yang berbeda intensitasnya. Sesak napas merupakan hasil
interaksi berbagai faktor baik fisiologi, psikologi, sosial maupun lingkungan dan
dapat menginduksi respons fisiologi dan perilaku sekunder. Sesak napas
merupakan

suatu

gejala

yang

memiliki

banyak

kemungkinan

etiologi

dibaliknya.1,2
Dispnea atau breathlessness atau sesak napas biasa dikenal awam dalam
bentuk tidak bisa menghirup cukup udara, udara tidak masuk sempurna, rasa
penuh didada, dada terasa berat/sempit, napas pendek ataupun napas berat. Salah
satu penyakit yang memiliki gejala sesak napas adalah tumor paru. Sesak napas
yang diakibatkan oleh tumor paru terjadi akibat adanya penekanan oleh massa
pada rongga paru tersebut.1,2,3
Tumor paru adalah penyakit yang ditandai dengan tidak terkontrolnya
pertumbuhan sel di jaringan paru. Tumor paru primer berasal dari saluran
pernapasan. Lebih dari 90% tumor paru primer merupakan tumor ganas, dan 95%
tumor ganas ini termasuk karsinoma bronkogenik. Bila kita menyebut kanker paru
maka yang dimaksud adalah karsinoma bronkogenik.4
Menurut data WHO tahun 2010, setiap tahun di seluruh dunia terdapat 1,2
juta penderita karsinoma paru baru, atau 12,3% dari seluruh tumor ganas,
meninggal dunia 1,2 juta, atau 17,8% dari mortalitas total tumor. Yang lebih serius
adalah, di semua negara pemakai tembakau, kasus baru karsinoma paru terus
meningkat, menjadi penyakit umum yang semakin mengancam jiwa dan
kesehatan penduduk.4,5
Dari data WHO tersebut, terlihat bahwa kanker paru adalah jenis penyakit
keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian
akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan.
Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya

penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal
penyakit.5,6
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada
kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru
pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis
dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas
hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat
menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat
buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam
beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penanganan sesegera
mungkin meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUMOR PARU
2.1.1 Definisi
Secara normal, tubuh memelihara suatu sistim dari pemeriksaanpemeriksaan

(checks)

dan

keseimbangan-keseimbangan

(balances)

pada

pertumbuhan sel-sel sehingga sel-sel membelah untuk menghasilkan sel-sel baru


hanya jika diperlukan. Gangguan atau kekacauan dari sistim checks dan balances
ini

pada

pertumbuhan

sel

berakibat

pada

suatu

pembelahan

dan

perkembangbiakan sel-sel yang tidak terkontrol yang pada akhirnya membentuk


suatu massa yang dikenal sebagai suatu tumor.3
Tumor-tumor bisa menjadi jinak atau ganas. Kanker adalah tumor yang
dipertimbangkan sebagai ganas. Tumor-tumor jinak biasanya dapat diangkat dan
tidak menyebar ke bagian-bagian lain tubuh. Tumor-tumor ganas, akan tumbuh
secara agresif dan menyerang jaringan-jaringan lain dari tubuh. Masuknya sel-sel
tumor kedalam aliran darah atau sistim limfatik menyebabkan menyebarnya
tumor ke tempat-tempat lain di tubuh. Proses penyebaran ini disebut metastasis,
area-area pertumbuhan tumor pada tempat-tempat yang berjarak jauh disebut
metastases. Karena kanker paru-paru cenderung untuk metastase, maka tidak aneh
bila kanker paru merupakan

kanker yang sangat mengancam nyawa dan

merupakan satu dari kanker-kanker yang paling sulit dirawat. Kelenjar adrenal,
hati, otak, dan tulang adalah tempat-tempat yang paling sering menjadi tempat
metastase untuk kanker paru.3
2.1.2 Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari pada kanker
paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang
bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor
lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain.1
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru
sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928),
telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok

yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, 1
dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru.3 Hidrokarbon karsinogenik telah
ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan,
menimbulkan tumor.4
Laporan beberapa penelitian terakhir ini mengatakan bahwa perokok pasif
pun akan berisiko terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap rokok
selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali lipat
dibandingkan dengan yang tidak terpapar, dan perempuan yang hidup dengan
suami/pasangan perokok juga terkena risiko kanker paru 2-3 kali lipat.
Diperkirakan 25 % kanker paru dari bukan perokok adalah berasal dari perokok
pasif.1
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg
dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker
paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini
diduga merupakan agen etiologi operatif.5 Insiden yang tinggi juga terjadi pada
pekerja yang terpapar karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi
rumput). Pekerja pemecah hematite dan orangorang yang bekerja dengan
asbestos dan kromat juga mengalami peningkatan insiden. 2 Mereka yang tinggal di
kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang
tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari dan uap
diesel dalam atmosfer di kota.5
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, selenium dan vitamin
A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru. 1 Pemberian Nutrisi dan
supplement dapat mengurang gejala yang disebabkan oleh kanker paru. Vitamin D
dan Fe sangat baik untuk diberikan oleh penderita penyakit kanker paru, Begitu
pula dengan makanan antioxidant seperti cherri, dan buah tomat. 6,7 Terdapat
perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker paru, yakni: Proto
oncogen, Tumor suppressor gene, Gene encoding enzyme. 1

2.1.3

Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus

menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan


karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasanya akan
timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus
vertebra.8
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang
terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti
dengan supurasi di bagian distal. Gejala gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat terdengar
pada auskultasi.8
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya
metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur
struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak,
tulang rangka.8
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukan gejala-gejala

1.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

klinis. Bila sudah menampakan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.1
Gejala-gejala dapat bersifat 1:
Lokal (tumor tumbuh setempat)
Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
Batuk darah
Mengi karena ada obstruksi saluran napas
Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
Atelektasis
Invasi lokal
Nyeri dada
Sesak karena cairan pada rongga pleura
Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia
Sindrom vena cara superior
Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis

servikalis
3. Gejala Penyakit Metastasis
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)

4.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
5.

Sindrom Para neoplastik (10% pada Ca Paru), dengan gejala:


Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
Hipertrofi osteoartropati
Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
Neuromiopati
Endoktrin: sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)
Dermatologik : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
Renal: Syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
Asimtomatik dengan kelainan radiologi
2.1.5 Klasifikasi
Berdasarkan level penyebarannya penyakit kanker paru-paru terbagi dalam dua

kriteria:
1. Kanker paru primer
Memiliki 2 tipe utama, yaitu:
a. Small cell lung cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dan memiliki daya
pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut oat cell
carcinomas (karsinoma sel gandum). Tipe ini sangat erat kaitannya dengan
perokok, Penanganan cukup berespon baik melalui tindakan kemoterapi dan
radioterapi.7 Stadium (Stage) SCLC ada 2 yaitu9:
Stage terbatas (limited) jika hanya melibatkan satu sisi paru (hemitoraks)
Stage luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks atau menyebar
ke organ lain
b. Non-small cell lung cancer (NSCLC).
NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi seringkali
menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru, 7 mencakup adenokarsinoma,
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel besar (Large Cell Ca) dan karsinoma
adenoskuamosa.9
Stage NSLCLC dibagi atas : Stage 0, IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB dan IV
yang ditentukan menurut International Staging System for Lung Cancer 1997,
berdasarkan sistem TNM. 9
Stadium
Occult carcinoma
0
IA
IB
IIA
IIB

TNM
Tx
Tis
T1
T2
T1
T2

N0
N0
N0
N0
N1
N1

M0
M0
M0
M0
M0
M0, T3 N0 M0

IIIA
IIIB
IV

T1 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2


M0
berapapun T N3 M0, T4 berapapun N M0
berapapun T berapapun N M1

Kategori TNM untuk Kanker Paru 9:


T : Tumor Primer
To : Tidak ada bukti ada tumor primer
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel
tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radiologis
atau bronkoskopis.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh
jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih
proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor
sembarang ukuran dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang
meluas ke proksimal bronkus utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut:
- Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
- Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina, dapat
mengenai pleura viseral
- Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke
daerah hilus, tetapi belum mengenai seluruh paru.
T3 : Tumor sembarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada
(termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor
dalam bronkus utama yang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau
tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif seluruh
paru.
T4 : Tumor sembarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung,
pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai

dengan efusi pleura ganas atau tumor satelit nodul ipsilateral pada lobus yang
sama dengan tumor primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai
No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial
dan/atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB
subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus/supraklavikula ipsilateral/kontralateral
M : Metastasis (anak sebar) jauh
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
Mo : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh. Nodul ipsilateral di luar lobus tumor primer
dianggap sebagai M1
2. Kanker paru sekunder
Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker
dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan
kanker usus (perut). Kanker menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena
kedekatan organ.7
2.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Sesuaikan atau cocokkan dengan manifestasi dari Ca Paru yang dijelaskan
sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti.. Tumor
paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan
memberikan hasil yang lebih informatif,2 pada 50% pasien NSCLC dan 25%
pasien SCLC didapatkan adanya sindrom vena cava.10

Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage kanker,
seperti pembesaran KGB (kelenjar getah bening) atau tumor diluar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya
fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang. 2
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Untuk kanker paru pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang
mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor
satelit. Pada foto, tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi
pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.2

Gambaran radiologis Small Cell Lung Carcinoma (SCLC)

Tampak gambaran opasitas pada paru bagian kiri atas. Juga tampak gambaran
nodul pada paru kanan bagian bawah yang diduga deposit metastasis. Peningkatan
opasitas pada paratracheal paru kanan yang mengindikasikan limfadenopathy.
Efusi pleura yang minimal dengan blunting sudut costiphrenicus.

Tampak peningkatan opasitas pada hilus dan region peretracheal kanan dengan
penebalan garis paratracheal kanan. Pengurangan volume juga terlihat pada lobus
bawah paru kanan. SCLC sering muncul sebagai massa pada hilus atau
mediastinal.
Gambaran radiologis Non Small Cell Lung Carcinoma

Tampak gambaran efusi pleura dan berkurangnya volume sekunder dari NSCLC
pada lobus basal paru kiri. Pemeriksaan pada cairan efusi pleura didapatkan hasil
maligna dan lesi tidak dapat dioperasi

NSCLC, kolaps pada puncak paru kiri yang hampir selalu disebabkan oleh
carcinoma endobronchial brokhogenik.

NSCLC, kolaps penuh pada paru kiri sekunder dari carcinoma bronkhogenik pada
bronkus utama kiri.
CT-Scan dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto
toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm
secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra
bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke
mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CTscan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih
baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. USG abdomen
dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut.2

Kanan :CT scan posisi mediastinal pria 68 tahun dengan gejala batuk produktif
dan hemoptysis. Gambaran hiperdens, carcinoid endobonchial pada bronchus
intermedius. Kiri, CT scan potongan paru memperlihatkan kistik postobstuktif
bronkiektasis yang berat.
b. Bronkoskopi
Bertujuan diagnostik sekaligus dapat mengambil jaringan atau bahan agar
dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa
intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan
mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,
mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan
biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.2
c. Biopsi Aspirasi Jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena
amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya
dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering
memberikan hasil negatif.2
d. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah.
Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk
kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi
syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum
dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di
atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau

dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol
90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalam formalin 4%.2
e. Pemeriksaan Cairan Pleura (Kalau ditemukan efusi pleura)
Cairan efusi dapat bersifat transudat maupun eksudat, dan juga bersifat
hemoragik karena dapat dilewati sel-sel darah terutama eritrosit, kadar glukosa
rendah.
2.1.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari kanker paru antara lain:
1. Kanker Mediastinum
2. Tuberculosis
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan
pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi nonmedis seperti fasilitas yang dimiliki rumah sakit dan ekonomi penderita juga
merupakan faktor yang amat menentukan.2
Adapun penanganan kanker paru yang dapat dilakukan adalah:
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk NSCLC stadium I dan
II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combine modality therapy,
misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk NSCLC stadium IIIA. Indikasi lain adalah
bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru
dengan sindroma vena kava superiror berat.2
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap
berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup
untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan
bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan
diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis. Hal penting lain yang
penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui toleransi
penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita
yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak
memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD).2
2. Radiasi

Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan


bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti
mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus. Pada
terapi kuratif, radioterapi

menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk

NSCLC stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi
alternatif terapi kuratif. 2,11
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau
otak. 2,11
3. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien SCLC atau dengan metastase luas serta untuk melengkapi
bedah atau terapi radiasi. Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker
paru. Syarat utama harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan
(performance status) harus lebih dari 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut
skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat
antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu,
penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.2
Geftinib dapat digunakan untuk terapi lini pertama pada pasien NSCLC,
yang dipilih berdasarkan mutasi EGFR yang mampu meningkat angka
kelangsungan hidup, dengan toksisitas yang dapat diterima, dibandingkan dengan
kemoterapi laiinya. 2
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah2:
a. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
b. Respons obyektif satu obat antikanker sebesar 15%
c. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
d. Terapi harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada
penilaian terjadi tumor progresif.
4. Photodynamic Therapy (PDT)
Satu terapi yang lebih baru yang digunakan untuk beberapa tipe dan
tingkatan dari kanker paru (begitu juga beberapa kanker-kanker lain) adalah
photodynamic therapy.

Pada perawatan photodynamic, suatu GocalG photosynthesizing (seperti


suatu porphyrin, suatu GocalG yang terjadi secara alami di tubuh) disuntikkan
kedalam aliran darah beberapa jam sebelum operasi.12
Selama waktu ini, GocalG ini menempatkan dirinya secara selektif pada selsel yang tumbuh dengan cepat seperti sel-sel kanker. Suatu prosedur kemudian
mengikutinya dimana dokter menggunakan suatu sinar dengan panjang
gelombang tertentu melalui suatu tongkat yang dipegang tangan langsung ke
tempat dari kanker dan jaringan-jaringan sekitarnya. Energi dari sinar
mengaktifkan GocalG photosensitizing, menyebabkan produksi dari suatu racun
yang menghancurkan sel-sel tumor.12
PDT mempunyai keuntungan-keuntungan yang mana ia dapat secara tepat
mengenai sasaran dari lokasi kanker, lebih tidak GocalGsi daripada operasi, dan
dapat diulang pada tempat yang sama jika diperlukan. Kelemahan-kelemahan dari
PDT adalah bahwa ia hanya bermanfaat dalam merawat kanker-kanker yang dapat
dicapai dengan suatu sumber sinar dan tidak cocok untuk perawatan kankerkanker yang luas/ekstensif. Penelitian sedang berlangsung untuk lebih jauh
menentukan keefektivitasan PDT pada kanker paru.12
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa11 :
1. Kuratif, yaitu untuk memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan
angka harapan hidup klien.
2. Paliatif , untuk mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal, untuk mengurangi dampak
fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
4. Suportif, untuk menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal seperti
pemberian nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti
infeksi
2.1.9 Prognosis
Prognosis dari kanker paru merujuk pada kesempatan untuk penyembuhan
dan tergantung dari lokasi dan ukuran tumor, kehadiran gejala-gejala, tipe kanker
paru, dan keadaan kesehatan secara keseluruhan dari pasien.12
SCLC mempunyai pertumbuhan paling agresif, dengan suatu waktu
kelangsungan hidup median (angka yang ditengah-tengah) hanya dua sampai
empat bulan setelah didiagnosis jika tidak dirawat. (Itu adalah pada dua sampai
empat bulan separuh dari semua pasien-pasien telah meninggal). Bagaimanapun,

SCLC adalah juga tipe kanker paru yang paling GocalGsive pada terapi radiasi
dan kemoterapi. Karena SCLC menyebar sangat cepat dan biasanya berhamburan
pada saat diagnosis, metode-metode seperti pengangkatan secara operasi atau
terapi radiasi Gocal berkurang efektif dalam merawat tipe tumor ini.
Bagaimanapun, ketika kemoterapi digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan metode-metode lain, waktu kelangsungan hidup dapat diperpanjang empat
sampai lima kali.12 Namun, kelangsungan hidup secara keseluruhan rata-rata
pasien dengan pengobatan kombinasi hanya 12 bulan saja.1
Dari semua pasien-pasien dengan SCLC, hanya 5%-10% masih hidup lima
tahun setelah diagnosis. Kebanyakan dari mereka yang selamat (hidup lebih lama)
mempunyai tingkat yang terbatas dari SCLC.12 Pada non-small cell lung cancer
(NSCLC), hasil-hasil dari perawatan standar biasanya keseluruhannya jelek
namun kebanyakan kanker yang terlokalisir dapat diangkat secara operasi.
Bagaimanapun, pada tingkat I kanker dapat diangkat sepenuhnya, angka
kelangsungan hidup lima tahun dapat mendekati 75%. Terapi radiasi dapat
menghasilkan suatu penyembuhan pada suatu minoritas dari pasien-pasien dengan
NSCLC dan menjurus pada pembebasan gejala-gejala pada kebanyakan pasienpasien.12
Prognosis keseluruhan untuk kanker paru adalah jelek jika dibandingkan
dengan beberapa kanker-kanker lain. Angka-angka kelangsungan hidup untuk
kanker paru umumnya lebih rendah daripada yang untuk kebanyakan kankerkanker, dengan suatu angka keseluruhan kelangsungan hidup lima tahun untuk
kanker paru sebesar 16% dibandingkan dengan 65% untuk kanker kolon, 89%
untuk kanker payudara, dan lebih dari 99% untuk kanker prostat.12
2.1.10 Pencegahan
Penghentian merokok adalah langkah/tindakan yang paling penting yang
dapat mencegah kanker paru.3,12 Banyak produk-produk, seperti permen karet
nikotin, spray-spray nikotin, atau inhaler-inhaler nikotin, mungkin bermanfaat
bagi orang-orang yang mencoba berhenti merokok. Mengecilkan paparan pada
merokok pasif juga adalah suatu tindakan pencegahan yang efektif. Menggunakan
suatu kotak tes radon rumah dapat mengidentifikasi dan mengizinkan koreksi dari
tingkat-tingkat radon yang meningkat di rumah, yang juga dapat menyebabkan
kanker-kanker paru. Metode-metode yang mengizinkan deteksi dini kanker-

kanker, seperti helical low-dose CT scan, mungkin juga bermanfaat dalam


mengidentifikasi kanker-kanker kecil yang dapat disembuhkan dengan resection
secara operasi dan pencegahan dari kanker yang menyebar luas dan tidak dapat
disembuhkan.12
Makan makanan yang mengandung buah-buahan dan sayuran. Pilih diet
sehat dengan berbagai buah-buahan dan sayuran. Makanan sumber vitamin dan
nutrisi yang terbaik. Hindari mengambil dosis besar vitamin dalam bentuk pil,
karena mungkin akan berbahaya.
Sebagai contoh, para peneliti berharap untuk mengurangi risiko kanker
paru-paru pada perokok berat memberi mereka suplemen beta karoten. Hasilnya
menunjukkan suplemen benar-benar meningkatkan risiko kanker pada perokok.12
Akhir-akhir ini pencegahan dengan chemoprevention banyak dilakukan, yakni
dengan memakai derivate asam retinoid, carotenoid, vitamin C, selenium dan lainlain. Jika seseorang berisiko terkena kanker paru maka penggunaan betakaroten,
retinol, isotretinoin ataupun N-acetyl cystein dapat meningkatkan resiko kanker paru

pada perokok. Untuk itu, penggunaan kemopreventif ini masih memerlukan


penelitian lebih lanjut sebelum akhirnya direkomendasi untuk digunakan. Hingga
saat ini belum ada konsensus yang diterima oleh semua pihak.3
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam.
Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus,
yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal
saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga
dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling
bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan
dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal,
diafragama, mediastinal, dan servikal.3
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran
maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung
kontak antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2)
tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui

saluran napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antar
membran adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura
parietal memiliki persarafan, sehingga iritasi terhadap membran ini dapat
mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui
n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n. frenikus).

Gambar 1 Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps
(Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang
terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan
kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah
(sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke
dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke
arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu mendrainase cairan
sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga pleura memiliki faktor
keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20 kali baru akan
menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan cairan
pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.

Gambar 2 Desain Morfofungsional Rongga Pleura


(s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)
Gambar

adalah

bentuk

kompartmen

pleuropulmoner

yang

tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik parietal,


ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan mikrosirkulasi
visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler endotelium, serta mesotel
parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang selain menampung kelebihan
dari interstisial juga menampung keleibhan dari rongga pleura (terdapat bukaan
dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura yang disebut sebagai stomata
limfatik. Kepdatan stomata limfatik tergantung dari regio anatomis pleura parietal
itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata cm -2 di pleura parietal interkostal,
sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran stomata juga
bervariasi dengan rerata 1 m (variasi antara 1 40 m)4.
Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula hukum
Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua kompartmen.
Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut5:
Jv = Kf [(PH1 PH2) - (1 - 2)]
Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori
membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah

tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1


menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut
tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat
terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran zat terlarut
dapat berlangsung secara bebas).

Gambar 3 Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang


menggambarkan hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura.
Hipotesis ini terlalu sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan
limfatik pleura; sedangkan (b) merupakan teori yang saat ini diterima
berdasarkan percobaan terhadap kelinci.
Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler sistemik)
ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil mendorong cairan
ini ke rongga pleura.3 Nilai antara intersitisium parietal dengan rongga pleura
relatif kecil (=0,3), sehingga pergerakan protein terhambat dan akibatnya

kandungan protein cairan pleura relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan


interstisium parietal (2,5 g dl-1)5.
Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura
visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada sebagian
besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua rongga
yang secara fungsional terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada manusia
pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal, sehingga permeabilitas
terhadap air dan zat terlarutnya relatif rendah. Saluran limfatik pleura parietal
dapat menghasilkan tekanan subatmosferik -10 cmH2O.
2.2.1 Efusi Pleura
Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai
absoprsi (drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada
mekanisme yang telah dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk dari
pleura visceral atau rongga peritoneum (melalui lubang kecil di diafragma).
Dengan demikian efusi dapat terjadi apabila terjadi kelebihan produksi (berasal
dari interstisial paru atau pleura visceral, pleura parietal, dan rongga peritoneal)
serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi limfatik).
Pendekatan diagnostik pada efusi pleura melibatkan pengukuran parameter
cairan pleura serta keadaan sistemik. Efusi perlu dibedakan antara transudat
(yang umumnya terjadi akibat faktor sistemik) dan eksudat (akibat faktor lokal).
Transudat dan eksudat dapat dibedakan dengan mengukur LDH dan protein,
sehingga dapat disimpulkan bahwa eksudat dicirikan dengan6:
1. Rasio protein cairan pleura/serum > 0,5
2. Rasio LDH cairan pleura/serum >0,6
3. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 batas atas LDH serum
Perlu pula dilakukan pengukuran gradien protein antara serum dengan
pleura, yang mana gradien yang lebih dari 3,1 g/dL menggambarkan jenis
transudat. Temuan karakteristik eksudat membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut, seperti kadar glukos, hitung jenis, studi mikrobiologis, dan sitologi.6
Gambar 5 menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan
algoritma pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan
transudat memerlukan kecurigaan ke arah:

1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat
kegagalan pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular
paru. NT-proBNP >1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal
2.
3.
4.
5.
6.
7.

jantung kongestif.
Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.
Emboli paru
Sindroma nefrotik
Dialisis peritonela
Obsgtruksi sindroma kava superior
Miksedema
Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis

tuberkulosis dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90% sel
darah putih), serta marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura (yakni
adenosin deaminase/ADA> 40 IU/L atau interferon gamma lebih dari 140 pg/mL).
Cairan pleura dapat pula dikultur, biopsi jarum pleura, atau torakoskopi. Efusi
yang banyak mengandung sel darah merah menggambarkan keganasan, trauma,
atau emboli paru.
Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau
bronkiektasis. Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi purulen
yang masif.

Gambar 5 Algoritma Diagnosis Efusi Pleura7


Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah
penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos toraks
tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain seperti

ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi
opak dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian
masif umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan
tuberkulosis. Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura
masif berada, perlu dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun
penekanan akibat tumor.7

Gambar 6 Kiri: Foto PA yang Menggambarkan Penumpullan Sudut


Kostrofrenikus Kiri; Kanan: Foto LLD Pasien yang Sama7
2.3 EFUSI PLEURA MALIGNA
2.3.1 Definisi
Efusi pleura maligna (EPM) adalah masalah klinis yang sering terjadi pada
kasus kanker. EPM didefinisikan sebagai efusi yang terjadi berhubungan dengan
keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan sitologi
cairan pleura atau biopsi pleura. Kenyataannya sel ganas tidak dapat ditemukan
pada sekitar 25% kasus efusi pleura yang berhubungan dengan penyakit
keganasan, sehingga jika hanya menggunakan definisi di atas dapat terjadi
kekeliruan pada kasus dengan sitologi / histologi negatif. Pada kasus efusi pleura
bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau hasil biopsi pleura tetapi
ditemukan kanker primer di paru atau organ lain, Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

memasukkannya sebagai EPM. Pada beberapa kasus, diagnosis EPM didasarkan


pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/
hemoragik, berulang, masif, tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat
produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis untuk mengurangi volume
cairan intrapleura.17
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia mendefinisikan efusi pleura ganas yaitu : 18
a. Efusi pleura yang terbukti ganas secara sitologi (cairan pleura) atau histologi
(biopsi pleura)
b. Efusi pleura pada pasien dengan riwayat atau bukti yang jelas terdapat
keganasan organ intratoraks maupun ekstratoraks
c. Efusi pleura yang sifat keganasannya hanya dapat dibuktikan secara klinis,
yaitu hemoragik, masif, berulang dan tidak responsif terhadap pengobatan
antiinfeksi.
2.3.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan kadar
protein rendah (<1,5g/dl) yang dibentuk oleh pleura viseral dan parietal. Cairan
kemudian diserap oleh pleura parietal melalui pembuluh limfe dan pleura viseral
melalui pembuluh darah mikro. Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam hampir
sama dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura volume cairan
pleura lebih kurang 10 20 ml. Mekanisme ini mengikuti hukum Starling yaitu
jumlah pembentukan dan pengeluaran seimbang sehingga volume dalam rongga
pleura tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak
dengan leluasa saat bernapas. Patofisiologi EPM belum jelas benar tetapi
berkembang beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme EPM itu.
Akumulasi efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel
kanker pada pleura parietal dan/ atau viseral. Mekanisme lain yang mungkin
adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi pada
kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer pleura (mesotelioma).
Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat

deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori
lain menyebutkan terjadi peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh
gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing factor- (TNF-),
tumor growth factor- (TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).
Penulis lain mengaitkan EPM dengan gangguan metabolisme, menyebabkan
hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan perembesan
cairan ke rongga pleura.18,19
Efusi pleura maligna (EPM) dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada
ruang pleura. EPM metastatik berasal dari penyebaran langsung sel-sel ganas dari
tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara, dan dinding dada), invasi
dari vaskularisasi paru dengan embolisasi dari sel-sel tumor ke pleura viseralis,
atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis. Begitu didapatkan
pada ruangan pleura, deposit tumor menyebar di sepanjang membran pleura
parietalis dan menyumbat stomata limfatik yang akan mengalirkan cairan
intrapleural.17
Tumor pleura juga akan menstimulasi pelepasan kemokin yang akan
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan membrane pleura, sehingga akan
memicu efusi pleura. Sel- sel tumor pada EPM adalah sumber yang penting dari
monocyte chemoattractantprotein-1 (MCP-1) yang merupakan pemicu poten
untuk terjadinya perubahan permeabilitas vaskuler, penarikan sel-sel mononuklear
ke ruang pleura dan angiogenesis pada tumor-tumor pleura.20
Pasien dengan kanker juga dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura
sebagai efek tidak langsung dari kanker, walaupun tanpa ditemukannya sel-sel
kanker pada ruangan pleura. Efusi jenis ini dikenal dengan nama efusi
paraneoplastik atau paramaligna, yang dapat terjadi dari infiltrasi tumor kelenjar
getah bening mediastinum, emboli paru, sindrom vena cava superior, atau
penurunan tekanan onkotik.20

2.3.3 Epidemiologi
Efusi pleura maligna (EPM) terjadi paling banyak disebabkan oleh
metastase tumor di pleura yang berasal dari kanker paru dan kanker payudara
sekitar 50 65%. Kanker lain adalah limfoma, kanker yang berasal dari sistem
gastrointestinal dan genitourinaria sebanyak 25% sedangkan 7 - 15% tidak
diketahui asalnya.17,18
Keganasan yang sering disertai EPM: 17,18
Jenis Keganasan Insidens

(%)

Kanker paru

35

Kanker payudara

23

Adenokarsinoma (primer tidak diketahui)

12

Leukimia/Limfoma

10

Traktus reproduksi

Traktus gastrointestinal

Traktus genitourinari

Primer tidak diketahui

Lain lain

2.3.4 Diagnosis
Diagnosis EPM dengan mudah dan cepat dapat ditegakkan hanya dengan
prosedur diagnosa dan alat bantu diagnostik yang sederhana, misalnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks dan torakosentesis saja.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam alur diagnosa dan penatalaksanaannya
menuliskan langkah awal yang paling penting untuk diagnosis EPM adalah
memastikan apakah cairan bersifat eksudat dan/atau menemukan tumor primer di
paru atau organ lain. Selain itu disingkirkan juga penyebab lain misalnya pleuritis
akibat infeksi bakteri atau penyakit nonkeganasan lain. 20,21
Pasien dengan EPM memberikan riwayat keluhan dan pemeriksaan yang
tidak spesifik dan memerlukan analisis sitopatologi cairan pleura atau jaringan
pleura untuk menegakkan diagnosis. Keluhan pasien dengan EPM biasanya
dengan sesak nafas, batuk, dan penurunan toleransi fisik terhadap latihan, atau

dapat juga asimtomatik, yang diketahui berdasarkan pemeriksaan imaging.


Beberapa hal khusus yang ditemukan pada pasien berhubungan dengan penyebab
efusi pleuranya antara lain nyeri dada. Pasien EPM karena adenokarsinoma
biasanya tanpa nyeri dada, sedangkan 60% pasien dengan mesotelioma sering
datang dengan nyeri dada pleuritik terlokalosasi. Pneumotoraks sering ditemukan
pada pasien EPM karena sarkoma.22 Pada pemeriksaan fisik dada akan
menunjukkan efusi pleura tipikal. Beberapa tanda fisik efusi pleura seperti
asimetris saat ekspansi dada, asimetris dari fremitus taktil, perkusi yang dullness
pada area efusi, menghilangnya suara nafas, serta pleural rub akan ditemukan
juga pada EPM. Penekanan penting pada pemeriksaan fisik adalah dalam melihat
tanda keganasan ekstrapleura yang mendasari.22,23
Pemeriksaan radiologis dengan foto dada standar dapat mendeteksi efusi
pleura dengan volume minimal 50 cc pada pandangan lateral, tetapi pemeriksaan
ini hanya bersifat sugestif untuk diagnosis EPM. Efusi pleura yang massif
meningkatkan kemungkinan terbentuknya meniscus sign dengan cairan yang
terlihat memanjat pada dinding dada lateral, pergeseran mediastinum ke sisi
kontralateral, dan inverse dari diafragma. Tanda radiografi dari suatu EPM
termasuk penebalan pleura terlobulasi yang sirkumferensial, penuhnya iga
(crowded

ribs), dan peninggian hemidiafragma atau pergeseran mediastinu

ipsilateral konsisten dengan atelektasis karena obstruksi oleh tumor.21


Pemeriksaan ultrasonografi dada belakangan ini makin luas penggunaannya
untuk mengevaluasi pasien - pasien dengan efusi pleura karena kemampuannya
untuk mendeteksi cairan dengan volume yang sedikit (5 cc), mengidentifikasi
gambaran sugestif dari EPM, dan menuntun thoracentesis dan pemasangan kateter
thoraks. Temuan sugestif EPM antara lain densitas pleural solid, penebalan pleura
yang hypoechoic dengan batas yang ireguler atau tidak jelas, invasi massa
pleural-based ke jaringan sekitar, serta pola melingkar dalam cairan pleura yang
menunjukkan debris seluler.21,22
Contrast-enhanced chest computed tomography/ CT dada dengan kontras
memberikan informasi imaging yang paling bermanfaat untuk mengevaluasi
pasien dengan kecurigaan EPM. Hasil pencitraan di sini akan dapat melihat

sampai ke abdomen atas (untuk metastasis adrenal dan hepar). Selain itu, tumor
primer yang tersembunyi dapat diidentifikasi seperti pada kanker payudara,
kanker paru, thymoma (tumor mediatinum), atau konsolidasi pada rongga
(limfoma). Temuan CT dada yang mengarah pada diagnosis EPM antara lain
penebalan pleura sirkumferensial, penebalan pleura nodular, penebalan pleura
parietal yang lebih dari 1 cm, dan keterlibatan pleura mediastinal atau bukti
adanya tumor primer. Semua temuan sugestif tersebut memiliki sensitivitas antara
88% sampai 100% dengan spesifisitas 22% hingga 56%.23
Pemeriksaan penunjang lain yang tidak kalah pentingnya dalam
menegakkan diagnosis EPM adalah analisis cairan pleura serta pemeriksaan
sitologi dan biopsi jaringan. Beberapa karakteristik dari cairan pleura dapat
memberikan petunjuk untuk diagnosis EPM dan penting untuk menentukan jenis
pemeriksaan diagnostik selanjutnya. Seperti misalnya, efusi eksudatif memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi mengalami keganasan daripada transudat, tetapi
temuan ini sifatnya nonspesifik karena banyaknya penyebab inflamasi dari efusi
pleura eksudatif. Selain itu sekitar 3% - 10% EPM dikatakan merupakan efusi
pleura yang bersifat transudat. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, seperti tidak
baiknya prosedur pemeriksaan cairan efusi atau karena kondisi komorbid yang
berhubungan dengan transudat, seperti hipoalbuminamia, sirosis dengan ascites,
atau gagal jantung kongestif. Efusi pleura secara umum dikategorikan sebagai
transudat dan eksudat dengan kriteria Light. Menurut kriteria ini, cairan efusi
pleura dikategorikan eksudat apabila ditemukan satu dari tiga kriteria (rasio LDH
cairan pleura/serum > 0,6; rasio protein cairan pleura/ serum > 0,5; atau LDH
cairan pleura > dua per tiga batas atas normal LDH serum). Beberapa kriteria lain
memakai juga kadar kolesterol cairan pleura (> 45 mg/dl) serta kadar protein
cairan pleura (>3 g/dl) sebagai tambahan untuk lebih menunjang kategori efusi
pleura eksudat.23
Pemeriksaan lain pada cairan pleura adalah sitologi cairan pleura, yang
dapat memberikan konfirmasi suatu EPM dengan kemungkinan penemuan sel
rata-rata sekitar 64% (berkisar antara 50% sampai 90%) pada kategori umum dari
semua pasien dengan EPM. Kemungkinan mendapatkan diagnosis yang tepat

dengan metode sitologi standar ini dapat meningkat dengan dilakukannya


thorakosentesis berulang.21
Electrochemiluminescence dan microparticle enzyme immunoassays dari
cairan pleura dapat mendeteksi penanda tumor, seperti carcinoembryonic antigen,
carbohydrate antigen 15, cytokeratin 19, dan cancer antigen 125. Tetapi tidak ada
satupun penanda tumor tadi yang memiliki kekuatan diagnostik yang memadai
untuk dapat dipakai sebagai standar pada praktek klinik rutin.18,19
Diagnosa pasti EPM adalah dengan penemuan sel ganas pada cairan pleura
(sitologi) atau jaringan pleura (histologi patologi). Jika dengan pencitraan tidak
ditemukan tumor primer intratoraks maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk
melihat tanda keganasan (mukosa infiltratif atau tumor primer) pada lumen
bronkus atau penekanan dinding bronkus oleh massa sentral di rongga toraks. 20
2.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efusi pleura ganas harus segera dilakukan sebagai terapi
paliatif setelah diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera
ini adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Torakosentesis terapeutik, pleurodesis, drainase yang
dengan

kateter

pleuroperitoneal. 22

indwelling

jangka

panjang,

serta

pembuatan

shunt

Gambar 1. Penatalaksanaan Efusi Pleura Maligna 21


1.

Torakosentesis terapeutik
Awal manajemen untuk EPM yang simtomatik adalah torakosentesis

terapeutik. Dengan pendekatan ini akan dapat dinilai respon sesak nafas terhadap
pengeluaran cairan. Walaupun keluhan dapat membaik setelah torakosentesis,
sekitar 98% - 100% pasien dengan EPM akan mengalami reakumulasi cairan dan
sesak nafas yang berulang dalam 30 hari. Apabila setelah dilakukan torakosentesis
volume besar sesak nafas tidak membaik, maka diperlukan evaluasi untuk mencari

penyebab lain seperti emboli mikrotumor, kanker limfangitik, atau efek dari
kemoterapi atau radioterapi. 20,21
Torakosentesis berulang dengan anestesi topikal dapat dilakukan pada
pasien EPM. Metode ini juga akan meningkatkan resiko pneumothoraks, efusi
terlokulasi, dan empyema. Tehnik torakosentesis dengan guiding ultrasound
dikatakan lebih aman dan mengurangi resiko pneumothoraks. Volume cairan yang
dikeluarkan berkisar antara 1 sampai 1,5 liter. Pengeluaran cairan yang lebih
banyak akan berakibat terjadinya oedem paru re-ekspansi, apalagi bila
sebelumnya sudah terdapat obstruksi endobronchial.20
Bronkhoskopi intervensional untuk membuka jalan nafas yang mengalami
obstruksi sebelum dilakukan torakosentesis dikatakan dapat mengurangi resiko
terjadinya oedem paru tadi. Torakosentesis terapeutik berulang adalah pilihan
terapi untuk pasien dengan performance status yang buruk atau dengan penyakit
tahap lanjut, dan dengan harapan hidup yang sangat pendek.21
2.

Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dan parietalis baik secara

kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi


cairan maupun udara dalam rongga pleura. 22
Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah
berulangnya efusi pleura (terutama bila terjadi dengan cepat), torakosintesis, atau
pemasangan selang dada berikutnya serta menghindari morbiditas yang berkaitan
dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis,
pneumonia, insuffisiensi respirasi, tension pneumothorax). Pemilihan teknik yang
tepat, agen sklerosis, kriteria pemilihan pasien merupakan hal yang sering
diperdebatkan serta menentukan keberhasilan tindakan pleurodesis. 23
Teknik pleurodesis diklasifikasikan menjadi 2 aspek, yaitu :21
a. Aspek Mekanis
Untuk menghasilkan perlekatan antara lapisan pleura parietal dengan pleura
viseralis diperlukan evakuasi udara dan cairan secara sempurna. Obstruksi oleh
bekuan dapat dicegah dengan penggunaan selang dada. Penggunaan selang dada

yang dipasang sebelum tindakan dilakukan, serta meninggalkannya beberapa


waktu (untuk monitoring paska tindakan) dapat meningkatkan keberhasilan.
b.

Aspek Biologis
Agar terjadi perlekatan yang sempurna, permukaan pleura harus teriritasi

baik secara mekanik maupun dengan pemberian agen sklerosis. Selain itu, telah
berkembang konsep baru yaitu peran fungsional respon mesothelium terhadap
stimulus sklerosis.
Agen sklerosis ideal yang dapat digunakan untuk pleurodesis harus efektif,
murah, aman dan mudah diperoleh. Namun tidak ada agen yang ideal, semuanya
berbeda tingkat keberhasilan dan efek samping yang timbul. Ada lebih dari 30
jenis agen sklerosis yang digunakan untuk prosedur pleurodesis, diantaranya
adalah povidon iodin dan bleomycin.
3.

Drainase dengan indwelling catheter


Pemasangan indwelling catheter jangka panjang dapat memberikan drainase

intermiten sampai 1000 ml cairan pleura pada 2 sampai 3 kali periode seminggu.
Berkurangnya keluhan sesak nafas segera dirasakan pada 94% sampai 100%
pasien. Terdapat beberapa jenis kateter yang dapat dipakai pada prosedur ini, yang
banyak dipakai belakangan ini adalah kateter pleura Pleurx. Qureshi, dkk. juga
mendapatkan hasil yang memuaskan pada pemasangan kateter Pleurx terutama
pada pasien EPM dengan trapped lung syndrome. Kateter pleura Pleurx ini
terdiri dari kateter silikon 15,5F sepanjang 66 cm, dengan lubang-lubang
sepanjang 25,5 cm bagian proksimalnya. Pada bagian distalnya terdapat polyester
cuff dan di bagian ujungnya dengan mekasisme katup latex rubber. Katup ini
didisain untuk mencegah lewatnya cairan atau udara, kecuali bila tersambung
dengan access tip dari komponen drainase yang terdapat pada paket kateter ini.
Setelah dilakukan anestesi, bronkoskopi dilakukan untuk mengeksklusi obstruksi
endobronchial. Video- assisted thoracoscopic surgery (VATS) dilakukan untuk
menilai rongga pleura. Setelah drainase dan diseksi dikerjakan, penilaian ekspansi
paru dilakukan sebagai syarat untuk memasang kateter ini. Ujung yang berlubanglubang tadi dimasukkan ke rongga pleura dengan VATS, kemudian dibuat
terowongan subkutan untuk mengeluarkan kateter hingga ujung polyester terletak

1 cm dari insisi anterior. Ikatan dengan Prolene 2/0 dilakukan pada terowongan,
sedangkan insisi kulit ditutup dengan nylon 4/0. Bagian kateter dengan katup
tersisa di luar kulit dan dilindungi dengan cap.20,21
Drainase inisial dilakukan dengan suction -10kPa untuk mencegah
terperangkapnya udara pada rongga pleura. Drainase dapat dilakukan di rumah,
dengan 3 kali seminggu untuk 3 minggu pertama, selanjutnya tergantung keluhan
klinis dan produksi cairan pleura. Pemasangan kateter indwelling ini merupakan
pilihan manajemen paliatif apabila pasien tidak memenuhi syarat untuk dilakukan
pleurodesis. Belakangan jugaditemukan bahwa pemasangan kateter indwelling
jangka panjang ini memberikan kemungkinan terjadinya pleurodesis spontan
berkisar antara 40% sampai 58% dalam 2 sampai 6 minggu drainase.
4.

(19)

Pleuroperitoneal shunting
Pleuroperitoneal shunting adalah sebuah tehnik alternatif untuk menangani

EPM yang refrakter dengan pleurodesis kimiawi maupun pada pasien dengan
trapped lung syndrome. Beberapa kasus serial mengenai shunting pleuroperitoneal
mendapatkan perbaikan gejala sekitar 95% dari seluruh kasus shunting.
Pemasangan alat dilakukan dengan bantuan thorakoskopi atau minithorakotomi.
Perlengkapan untuk tehnik ini yaitu dua buah katup unidireksional dengan kateter
pleural dan peritoneal yang berlubanglubang pada kedua ujungnya. Kerja alat ini
diaktivasi oleh tekanan yang diberikan oleh pasien untuk mengatasi tekanan
positif dari rongga peritoneum. Suatu kasus serial dari 160 pasien EPM yang
dipasang pleuroperitoneal shunting, didapatkan komplikasi pada 15% pasien.
Komplikasi yang terjadi antara lain erosi kulit, infeksi, dan oklusi dari shunt
sehingga memerlukan perbaikan atau penggantian.18

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama

: Tn. M. Yakop

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 70 tahun

Alamat

: Aceh timur

Pekerjaan

: Tukang

Tanggal Masuk RS

: 24 November 2015 pk. 11.05 wib

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama

: Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Sesak semakin memberat sekitar 4 hari SMRS . Sesak
berlangsung sepanjang hari dan tidak dipengaruhi cuaca. Sesak berkurang jika
pasien duduk. Sesak memberat ketika pasien berbaring.dan berkurang jika pasien
berbaring ke arah kiri Sesak tidak disertai suara mengi. Keluhan sesak napas
kadang diikuti dengan dada terasa nyeri. Nyeri dirasakan pada dada di sebelah kiri
namun tidak menjalar ke bahu atau ke punggung . Nyeri dirasakan seperti
menusuk. Tidak ada rasa panas di dada.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sudah sejak 1 tahun SMRS, batuk
berdahak (+), berwarna putih dan tidak berdarah. Saat ini pasien mengeluhkan
batuknya semakin memberat. Pasien juga mengalami demam yang hilang timbul
namun suhu tubuh tidak terlalu tinggi. Selain itu, tubuh pasien terasa lemah, nafsu
makan menurun, dan badan dirasakan semakin kurus. Berkeringat di malam hari
tidak dirasakan pasien. Selain itu diketahui mata pasien sebelah sudah tidak dapat
melihat lagi sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengatakan hal ini terjadi diawali dari
matanya selalu berair dan meradang lalu perlahan pasien tidak bisa melihat.

Pasien tidak mengeluhkan mual muntah dan batuk pilek. BAK teratur, tidak ada
nyeri saat BAK dan tidak ada BAK berdarah. BAB juga dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi , diabetes melitus , asma, penyakit jantung dan riwayat konsumsi OAT
juga disangkal. Riwayat penyakit infeksi paru sebelumnya juga disangkal.
Riwayat pengobatan:
Pasien sebelumnya di rawat di RS Graha Bunda selama 10 hari dan didiagnosis
efusi pleura masif serta mendapat terapi antibiotik
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada pihak keluarga yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami
oleh pasien.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Sehari hari pasien bekerja sebagai tukang bangunan dan sering terpapar dengan
debu dan semen.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum

: Baik

Keadaan sakit

: Tampak lemah

Kesadaran

: Compos Mentis, E4M6V5

Tanda vital
-

Nadi

: 124 x/menit

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Napas

: 30 x/menit

Suhu

: 37,2 C

Kulit

: warna kulit sawo matang , sianosis (-), turgor kulit normal

Kepala

: bentuk normocephal, simetris, nyeri tekan (-)

Mata

: Pupil bulat (+/sdn), isokor, (3 mm/ sdn), refleks cahaya


(+/-) konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga

: sekret (-)

Hidung

: sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut

: bibir sianosis (-), lidah kotor (-), selaput putih (-)

Leher

: pembesaran limfanodi daerah supraklavikula (-/-), kaku


kuduk (-/-), deviasi trakea (-/-), bedungan JVP (-)

Torak

: bentuk dada normal, sela iga tidak melebar

Paru
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Kanan
Normal
Fremitus normal
Sonor
Vesikuler

Kiri
Tertinggal
Fremitus menurun
Redup
Vesikuler melemah

Jantung
-

Inspeksi

: ictus cordis terlihat di SIC V

Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC V

Perkusi

Batas atas

: SIC III garis midklavikula sinistra

Batas kanan

: SIC V garis para sternalis dekstra

Batas kiri

: SIC VI garis midklavikula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
-

Inspeksi

: bentuk simetris, venektasi (-)

Palpasi

: nyeri tekan (-)

Perkusi

: timpani pada ke empat kuadran, asites (-)

Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas

: akral hangat (+), edema (-/-), sianosis (-), Capillary Refill Time

< 2 detik.
3.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen thorak
Kesan :
2. EKG :
sinus rhytme
3. Laboratorium
Tgl 20/11/2015
Hb
Ht
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
- eosinophil
- basophil
- netrofil segmen
- limfosit
- monosit
Hati dan empedu
AST/ SGOT
ALT/ SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
: 3.8
Klorida
Diabetes
Gula Darah Puasa
Ginjal Hipertensi
Ureum
Kreatinin
4. USG thorax
5. CT SCAN thorax

: 11.6
: 32
: 19
: 114
: 32
:0
:0
:2
: 58
: 40
: 13
: 16
: 6.1
: 2.9
: 3.2
: 144
: 108
: 126
: 16
: 0.4

Tgl 27/11/2015
Hb
Ht
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
- eosinophil
- basophil
- netrofil segmen
- limfosit
- monosit
Hati dan empedu
AST/ SGOT
ALT/ SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
4.2
Klorida
Diabetes
Gula Darah Puasa
Ginjal Hipertensi
Ureum
Kreatinin

: 12.2
: 34
: 3.8
: 10.2
: 31
:0
:0
:2
: 58
: 40
:::::: 142
:
: 105
: 127
: 16
: 0.4

3.5 Diagnosis Banding dan Diagnosis


Diagnosis banding : Atelektasis sinistra ec dd 1. Tumor paru 2. Tumor
mediastinum 3.TB paru + Efusi pleura sinistra
Diagnosis : Atelektasis sinistra ec tumor paru + efusi pleura sinistra
3.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa :
Istirahat dan mengurangi aktivitas berlebih
Tirah baring
Terapi cairan RL selang seling aminofuchsin 20 gtt/i
Terapi nutrisi (tinggi kalori tinggi protein, makanan berserat)
O2 2 liter/ menit via nasal kanul
Medikamentosa:
Levofloxacin 500 mg 1x 1 tab
Curcuma 2x1 tab
Codein 3 x1 tab
3.7 Planing
USG Thorax
CT scan Thorax
Bronkoskopi
TTNA
Analisa cairan pleura
Konsul pulmonologi intervensi
Konsul mata
3.8 Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanactionam

: dubia ad malam

3.9 Follow Up
S: sesak, batuk, lemas

S: sesak, batuk, lemas

O:
TD =120/70
Nadi= 100 x
RR=28 x
T= 37 C

O:
TD =100/60
Nadi= 115 x
RR=30 x
T= 37 C

I= dada kiri tertinggal


P= fremitus (+/<)
P= sonor (+/redup)
A= vesikuler
(+/melemah), rh(+/+)

I= dada kiri tertinggal


P= fremitus (+/+)
Nyeri (+)
P= sonor (+/+)
A= vesikuler (+/+)

S: sesak, batuk
berkurang
O:
TD =100/70
Nadi= 112 x
RR=25 x
T= 37 C
I= dada kiri tertinggal
P= fremitus (+/+)
Nyeri (+)
P= sonor (+/+)
A= vesikuler (+/+)

A: atelektasis ec tumor
A: atelektasis ec tumor paru + efusi pleura
A: atelektasis ec tumor
paru + efusi pleura
sinistra
paru + efusi pleura
sinistra
sinistra
P: P:
P: foto thorax
Th:
Th:
Levofloxacin 500 mg Th:
Levofloxacin 500 mg
Levofloxacin 500 mg
1x 1 tab
1x 1 tab
1x 1 tab
Curcuma 2x1 tab
Curcuma 2x1 tab
Curcuma 2x1 tab
Codein 3 x1 tab
Codein 3 x1 tab
Codein 3 x1 tab

S: sesak berkurang
O:
TD =100/70
Nadi= 92 x
RR=26 x
T= 37 C
I= dada kiri
tertinggal
P= fremitus (+/+)
Nyeri (+)
P= sonor (+/+)
A= vesikuler (+/+)
A: atelektasis ec
tumor paru + efusi
pleura sinistra
P: USG thoraks
Ct scan thoraks
Bronkoskopi
Analisis cairan
pleura
Th:
Levofloxacin 500
mg 1x 1 tab
Curcuma 2x1 tab
Codein 3 x1 tab

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki 70 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Sesak
napas dirasakan sejak sekitar 3 bulan yang lalu, sesak semakin hebat sejak sekitar
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas kadang diikuti dengan nyeri dada.
pasien juga mengeluhkan adanya batuk sejak 1 tahun yang lalu, berdahak,
berwarna putih dan kadang terdapat bercak darah warna merah. Pasien juga
mengeluhkan bahwa tubuhnya terasa lemah, nafsu makan menurun, dan badan
dirasakan semakin kurus. Pasien mengatakan bahwa ia tidak dapat melihat dan
hanya dapat melihat bercas cahaya. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak
bertahun-tahun yang lalu.
Keluhan mual, muntah dan pusing disangkal, adanya demam yang hilang
timbul, adanya penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan, sedangkan
adanya keringat malam hari juga disangkal. Pasien mengaku memiliki ebiasaan
merokok sejak muda sekitar 1 bungkus perhari, namun sudah berhenti sejak 2
tahun yang lalu.
Pasien tampak sakit ringan dan terlihat lemah. pada pemeriksaan paru
didapatkan hasil bahwa pada keadaan statis maupun dinamis kedua dada masih
terlihat simetris. Pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler disertai dengan
suara napas tambahan rhonki pada lapang paru kanan dan kiri.
Pada follow up yang dilakukan selama pasien di rawat di rumah sakit
didapatkan pada anamnesis keluhan batuk dan sesak serta kelemahan tubuh pada
pasien yang menetap dan cenderung memberat. Pasien merasa semakin lemah dan
sulit beraktifitas meskipun untuk kebutuhan sendiri seperti makan, minum
ataupun ke toilet. Pasien mengalami penurunan nafsu makan namun BAB dan
BAK masih seperti biasa.
Pada pasien ini, usia merupakan faktor risiko terjadinya keganasan pada
paru. Kemungkinan seseorang untuk mendapatkan kanker paru pada pria dimulai
di usia 40 tahun dan akan meningkat pada usia 75 tahun. Pada wanita insiden
lebih kecil tetapi mengikuti pola yang sama, mulai terkena di usia 40 dan
mencapai puncak di usia 70 tahun dengan rata-rata penderita 155 orang / 100.000

penduduk. Lebih kurang 75% kanker paru sudah bermanifestasi pada dekade
kelima sampai keenam dari umur penderita.1,2,3
Faktor risiko terbesar untuk terjadinya kanker paru sampai saat ini adalah
tembakau, dimana lebih dari 80% kanker paru ditemukan pada perokok dan
insidennya 10 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok. Pada pasien ini
memiliki riwayat merokok yaitu sejak usia muda sekitar 1 bungkus perhari.
Namun pasien mengaku sudah berhenti merokok sejak dua tahun yang lalu.4,5
Gejala sesak napas yang dialami pasien disebabkan tumor yang berada
intrapulmoner menekan saluran napas serta dapat menyebabkan atelektasis dan
penurunan faal paru serta efusi pleura. Kebanyakan kasus efusi pleura ganas
simptomatis meskipun sekitar 15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan
volume cairan kurang dari 500 ml. Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus
EPM terutama jika volume cairan sangat banyak. Sesak napas juga terjadi akibat
refleks neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum
ke arah kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral. Meskipun terjadi
perubahan fungsi paru pada penderita EPM misalnya perubahan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat
menjelaskan mekanisme sesak. Hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena
berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks
oleh cairan.6
Nyeri dada mengisyaratkan adanya keterlibatan pleura parietalis, dan
dirasakan saat inspirasi. Batuk terjadi karena adanya berbagai rangsangan pada
reseptor batuk intratoraks antara lain terdapat di bronkus. Batuk merupakan
keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh penderita kanker paru (70% - 90%
kasus).8,9,17
Pada pemeriksaan fisik paru saat inspeksi ditemukan asimetris dimana dada
kiri tertinggal saat bernafas, pada palpasi ditemukan vokal fremitus pada dada kiri
menurun sedangkan pada dada kanan normal, pada perkusi ditemukan dullness
pada dada kiri dan sonor pada dada kanan, pada auskultasi ditemukan suara
vesikuler yang menurun pada dada kiri sedangkan pada dada kanan normal.

Semua abnormalitas yang ditemukan pada pasien disebabkan karena adanya


massa dan timbunan cairan pada rongga pleura kiri serta kolapsnya paru akibat
obstruksi yang ditimbulkan massa dan kompresi dari cairan efusi.12,18
Sesak napas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta
penurunan suara napas vesikuler pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi
pleura. Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai
dinding toraks sehingga vocal fremitus melemah. Adanya cairan menyebabkan
bising ketok redup saat diperkusi. Bunyi pernapasan yang lemah juga dapat
disebabkan efusi pleura, karena cairan merupakan rintangan bagi bising vesikuler,
serta adanya efusi mengakibatkan alveolus tidak dapat mengembang dengan luas.
Untuk konfirmasi dugaan akan adanya efusi pleura maka mutlak diperlukan
pemeriksaan foto toraks (PA). Bila masih meragukan (karena temuan klinis yang
kuat) dapat dimintakan pula pada posisi lateral dengan sisi yang sakit di depan.
Suatu perselubungan yang menutupi gambaran paru normal yang dimulai dari
diafragma (bila posisi pasien duduk atau berdiri) adalah suatu tanda jelas dari
efusi pleura. Batas perselubungan ini akan membentuk suatu kurva dengan
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari bagian medial. Kelainan dapat
unilateral atau bilateral tergantung dari etiologi penyakitnya. 1 Pada kasus ini telah
dilakukan pemeriksaan foto thorak AP dan ditemukan adanya perselubungan pada
hemithorak kiri dengan kesan efusi pleura kiri massif.
Penyebab efusi pleura perlu dianalisis lebih lanjut berdasarkan hasil
pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

menentukan penyebab dari efusi pleura adalah analisis cairan pleura. Perbedaan
mendasar antara efusi pleura akibat keganasan atau tuberkulosis adalah sebagai
berikut:8

Penyebab

Tampila

Hitung

Eritrosi

jenis

pH

Glukos

Keterangan

leukosi
t
Turbid

1-

<100.00

Norma

Normal

Pemeriksaan

hingga

10.000

hingga

sitologi

berdarah

limfosit

hingga

Tuberkulos

Serosang

5-

Norma

Normal

Pemeriksaan

is

(campura

10.000

sampai

marker TB

n darah

limfosit

sampai

ADA: >70

IU/L TB,

Keganasan

dan

<10.000

jika<40 IU/L

cairan
serosa)

bukan TB.
Pewarnaan
BTA: 0-10%
dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi

Kemungkinan bakteri lain sebagai penyebab dari efusi pleura dapat


diperiksa melalui kultur bakteri aerobik dan anaerobik. Hasil dengan kultur
meningkat apabila cairan pleura diinokulasikan langsung (bedside ) ke dalam
botol kultur darah. Sedangkan untuk kecurigaan yang mengarah ke pleuritis TB,
selain kultur cairan pleura, harus dilakukan pula kultur sputum. Untuk kecurigaan
yang mengarah pada keganasan, dilakukan pemeriksaan sitologi. Pada keganasan,
pemeriksaan sitologi cairan pleura memberikan hasil 60% positif. Jika negatif,
kemungkinan besar keganasan berupa mesotelioma, sarkoma, dan limfoma.7
Efusi pleura sendiri dapat berupa cairan dapat berupa transudat dan eksudat.
Efusi transudat terjadi karena penyakit lain bukan primer paru seperti pada gagal

jantung kongestif,

sirosis

hati, sindroma

nefrotik,

dialisis

peritoneum,

hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, mikaedema,


glomerulonefritis, obstruksi vena kava superior, emboli pulmonal, atelektasis
paru, hidrotoraks, dan pneumotoraks. Sedangkan pada efusi eksudat, terjadi bila
ada proses peradangan yang menyebabkan permabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan
terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Pada umumnya EPM bersifat
eksudat serohemoragik ataupun hemoragik.5
Etiologi dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis. Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum
yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh
pembiusan lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan
posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru di sela iga IX garis
aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema
paru.5
Untuk diagnostik cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serous-xanthoctrorne). Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru,
keganasan. Dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan
agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah coklat, ini
menunjukkan adanya abses karena amuba.
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat
c. Sitologi

Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik


penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel
tertentu. Apabila yang dominan sel neutrofil menunjukkan adanya infeksi akut, sel
limfosit menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau
limfoma malignum, sel mesotel menunjukkan adanya infark paru.
Pemeriksaan laboratorium darah pada pasien ini didapatkan dalam batas
normal, sedangkan dari ct scan thorax selain efusi pleura terdapat nya massa pada
paru kiri disertai atelektasis. Sementara jenis pasti dari tumor tersebut belum dapat
dipastikan. Direncanakan akan dilakukan bronkoskopi dan TTNA untuk
memastikan jenis tumor pada pasien jika kondisi klinis pasien sudah stabil.1,2,3,11
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien ini didiagnosis dengan efusi pleura sinistra et causa tumor paru.
Diagnosis ini ditegakkan karena pada anamnesis pasien ditemukan keluhan sesak
yang berat, terus menerus serta tidak membaik dengan istirahat, ditemukan juga
keluhan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, pada pemeriksaan fisik
ditemukan asimetris dimana dada kiri tertinggal, vocal fremitus serta suara
vesikuler menurun pada sisi kiri, dan saat diperkusi ditemukan dullness pada sisi
kiri, serta pada pemeriksaan foto thorak yang menunjukkan adanya efusi pleura
kiri. Kausa malignancy semakin menguat karena pada pasien ini dtemukan massa
pada CT scan thoraks. Seharusnya bisa dilakukan punksi dan analisa cairan pleura
untuk melihat jenis cairan tersebut.7
Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan
kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD) dan pleurodesis. Pada
kasus ini belum dilakukan tindakan karena keluarga pasien menolak untuk
dilakukan tindakan invasif. Dalam teori dikatakan bahwa WSD ditujukan untuk
terapetik dan diagnositik. Sebagai terapi terapeutik evakuasi ini bertujuan
mengeluarkan sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga
pleura sehingga diharapkan paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi
dengan baik, serta jantung dan mediastinum tidak lagi terdesak ke sisi yang sehat,
dan penderita dapat bernapas dengan lega kembali. Sebagai terapi diagnostik

dilakukan dengan mengambil sedikit cairan pleura untuk dilihat secara fisik
(warna cairan) dan untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta), serta sitologi. (6) (7)
Volume cairan yang harus dikeluarkan saat torakosentesis pada EPG massif
tidak baku untuk semua kasus, untuk memutuskan jumlah cairan yang akan
dikeluarkan penting diperhatikan reaksi tubuh pasien, umumnya tidak dianjurkan
mengeluarkan > 1.500 ml satu kali punksi untuk mencegah terjadi syok karena
hipovolemik mendadak dan/ atau reaksi pemutaran organ mediastinum (jantung).
Pengosongan dalam jumlah banyak dan tiba-tiba juga dapat menyebabkan terjadi
peningkatan permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru reekspansi.
Demikian juga pada kondisi jika harus dilakukan pemasangan WSD, pada
awalnya dilakukan pengaliran secara bertahap dengan jumlah 100-300 ml per 4
jam sampai terjadi produksi harian yang stabil pada posisi WSD terpasang dan
aliran tetap terbuka. Rekomendasi tentang torakosentesis pada EPM; melakukan
punksi berulang untuk mengatasi sesak napas dan WSD hanya dianjurkan bila
direncanakan akan dilakukan pleurodesis untuk mencegah terjadi rekurensi. Pada
kondisi cairan yang terus diproduksi dilakukan usaha untuk mengurangi produksi
cairan dengan target sel tumor yang ada di rongga pleura (kemoterapi intrapleura).
Biasanya dilakukan setelah volume cairan yang diproduksi sudah tidak terlalu
banyak (<400 ml/hari). Jenis obat yang sering digunakan untuk tujuan itu adalah
bleomisin dengan dosis 45-60 mg/kali atau adriamisin 45 mg/kali. (8)
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah bersifat suportif .10
DAFTAR
MASALAH

PLANNING NONMEDIKAMENTOSA
Tirah baring

MEDIKAMENTOSA

Antitusif
Mukolitik
Rencana CT-scan thorax
dan bronkoskopi
Multivitamin

Codein tab 3x 1
Vectrin tab 3 x 1

Levofloxacin 3x1

Cegah infeksi
Batuk
Atelektasis
Suplemen makanan
Levofloxacin

Curcuma tab 2x1

Indikasi adalah infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitive


terhadap fluoroquinolone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi
saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi
intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan
infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.11
Codein dan erdostein (vectrin)
Berfungsi sebagai sebagai ekspektoran dan antitusif,

melegakan

tenggorokan membersihkan sinus dan sebagai antimikroba.


Kodein merupakan analgesik agonis opioid. Efek kodein terjadi apabila
kodein berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di
susunan saraf pusat. Efek analgesik kodein tergantung afinitas kodein terhadap
reseptor opioid tersebut.Kodein dapat meningkatkan ambang rasa nyeri dan
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima dari thalamus.Kodein juga merupakan antitusif yang bekerja pada
susunan saraf pusat dengan menekan pusat batuk.11
Erdosteine (2 - [(2-oxothiolan-3-il) carbamoylmethylsulfanyl] asam asetat )
merupakan turunan tiol dikembangkan untuk pengobatan bronkitis kronis
obstruktif,

termasuk

eksaserbasi

infeksi

akut

dari

bronkitis

kronis.

Erdostein adalah agen mukolitik yang dapat mengencerkan mukus dan sputum
purulen. Erdostein adalah prodrug, yang menjadi aktif setelah proses metabolism
dimana gugus sulfihidril bebas dibentuk. Gugus sulfihidril akan memecahkan
ikatan disulfide yang mengikat serat-serat glikoprotein di dalam mukus, yang
menyebabkan sekresi bronkus menjadi encer sehingga lebih mudah dikeluarkan.
Erdostein juga ternyata terbukti memiliki sifat antioksidan.11

BAB V
KESIMPULAN
Seorang laki-laki, 70 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sederhana berupa foto rontgen thorax didapatkan
diagnosis kerja adanya suspek tumor paru disertai atelektasis dan efusi pleura.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu berupa pengobatan suportif dan
pengobatan simptomatik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kalantari Farhad, Sarami Abdollah, Shahba Nariman, Marashi seyed Kamal,
Reza Shafiezadeh. Prevalence of cancers in the National Oil Company
employees referred to Ahwaz health and industrial medicine in 5 years
(Ministry of oil). Life Science Journal. 2011;8(4):698-700] (ISSN:1097-8135).
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Kanker Paru Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta
3. Scottish Intercollegiate Guidelines network. Management of patients with lung
cancer. A national clinical guidelines. SIGN, Eidenburg, 2005.
4. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N.
Kanker paru jenis

karsinoma bukan sel kecil . Pedoman nasional untuk

diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2005. PDPI dan POI, Jakarta,


2005.
5. Price S.A, Wilson L.M., 1995. Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. EGC Jakarta.
Hal. 1049 1051
6. National Collaborating Center for Acute Care. Lung cancer: The diagnosis and
treatment of lung cancer. Clinical Effectiveness Unit, London, 2005.
7. Division of Thoracic Oncology. Focus on Lung Cancer. 2006.
8. Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3,
Balai Penerbit FKUI,Jakarta
9. Practice Guidelines in Oncology Non-small Cell Lung Cancer. Version 1.2002.
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2002.
10. Abid, Irshad, James G. Ranevel and Susan Ackerman. Lung Cancer, Small
Cell. Available at http://emedicine.medscape.com /article/ 358274 -overview.
11. Robert L. K. Neoplastic Lung Disease. Editor : Hanley, Michael E. dan
Welsh, Carolyn H. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine.
2006. USA : Mc Graw Hill Company.
12. Willie J. Tumor Daerah Toraks. Editor: Wan D. In: Buku Ajar Onkologi
Klinis Edisi 2. 2008(15): 337. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
13. Djojodibroto, Darmanto., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
14. Lukas., 2010. Atelektasis. Kesehatan Milik Semua : Pusat Informasi Penyakit
dan
Kesehatan
.
Penyakit
Paru
dan
Saluran
Pernafasan. www.infopenyakit.com

15. Rasad Sjahriar., 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit FKUI p.
132
16. Mayo., 2010. Dasar-dasar Atelektasis. Mayo Foundation untuk Pendidikan
dan Penelitian Medis.www.mayo.com
17. Subagyo , Jusuf a, Hudoyo a. Efusi pleura ganas. J Respir Indo. 2004; 18:
155-60.
18. DeCamp MM, Mentzer SJ, Swanson SJ, Sugarbaker DJ. Malignant effusive
diseases of pleural and pericardium. Chest. 1997; 112: S291-5.
19. Heffner JS, Klein JS. Recent advances in the diagnosis and management of
malignant pleura effusions. Mayo clin Proc. 2008; 83(2):235-50.
20. Stathopoulos GT, Psallidas I, Moustaki A. A central role for tumor-derived
monocyte chemoattractant protein-1 in malignant pleural effusion. JNCI.
2008; 100(20):1464-76.
21. Antunes N. Management of malignant pleural effusions. thorax. 2005; 55.
981-983.
22. Diaz-Guzman E, Budev MM. Accuracy of the physical examination in
evaluating pleura effusion. Cleveland Clinic Journal. 2008; 75:297-303.
23. Tassi GF, Cardilo G, Marchetti GP, Carleo. Diagnostic and therapeutical

management of malignant pleural effusion. Annals of Oncology. 2006;


17(2):11-20.

Anda mungkin juga menyukai