PENDAHULUAN
Dispnea atau sesak napas merupakan suatu istilah yang menggambarkan
suatu persepsi subjektif mengenai ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari
berbagai sensasi yang berbeda intensitasnya. Sesak napas merupakan hasil
interaksi berbagai faktor baik fisiologi, psikologi, sosial maupun lingkungan dan
dapat menginduksi respons fisiologi dan perilaku sekunder. Sesak napas
merupakan
suatu
gejala
yang
memiliki
banyak
kemungkinan
etiologi
dibaliknya.1,2
Dispnea atau breathlessness atau sesak napas biasa dikenal awam dalam
bentuk tidak bisa menghirup cukup udara, udara tidak masuk sempurna, rasa
penuh didada, dada terasa berat/sempit, napas pendek ataupun napas berat. Salah
satu penyakit yang memiliki gejala sesak napas adalah tumor paru. Sesak napas
yang diakibatkan oleh tumor paru terjadi akibat adanya penekanan oleh massa
pada rongga paru tersebut.1,2,3
Tumor paru adalah penyakit yang ditandai dengan tidak terkontrolnya
pertumbuhan sel di jaringan paru. Tumor paru primer berasal dari saluran
pernapasan. Lebih dari 90% tumor paru primer merupakan tumor ganas, dan 95%
tumor ganas ini termasuk karsinoma bronkogenik. Bila kita menyebut kanker paru
maka yang dimaksud adalah karsinoma bronkogenik.4
Menurut data WHO tahun 2010, setiap tahun di seluruh dunia terdapat 1,2
juta penderita karsinoma paru baru, atau 12,3% dari seluruh tumor ganas,
meninggal dunia 1,2 juta, atau 17,8% dari mortalitas total tumor. Yang lebih serius
adalah, di semua negara pemakai tembakau, kasus baru karsinoma paru terus
meningkat, menjadi penyakit umum yang semakin mengancam jiwa dan
kesehatan penduduk.4,5
Dari data WHO tersebut, terlihat bahwa kanker paru adalah jenis penyakit
keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian
akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan.
Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya
penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal
penyakit.5,6
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada
kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru
pada stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis
dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas
hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat
menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat
buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam
beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penanganan sesegera
mungkin meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUMOR PARU
2.1.1 Definisi
Secara normal, tubuh memelihara suatu sistim dari pemeriksaanpemeriksaan
(checks)
dan
keseimbangan-keseimbangan
(balances)
pada
pada
pertumbuhan
sel
berakibat
pada
suatu
pembelahan
dan
merupakan satu dari kanker-kanker yang paling sulit dirawat. Kelenjar adrenal,
hati, otak, dan tulang adalah tempat-tempat yang paling sering menjadi tempat
metastase untuk kanker paru.3
2.1.2 Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari pada kanker
paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang
bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor
lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain.1
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru
sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928),
telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok
yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, 1
dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru.3 Hidrokarbon karsinogenik telah
ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan,
menimbulkan tumor.4
Laporan beberapa penelitian terakhir ini mengatakan bahwa perokok pasif
pun akan berisiko terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap rokok
selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali lipat
dibandingkan dengan yang tidak terpapar, dan perempuan yang hidup dengan
suami/pasangan perokok juga terkena risiko kanker paru 2-3 kali lipat.
Diperkirakan 25 % kanker paru dari bukan perokok adalah berasal dari perokok
pasif.1
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg
dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker
paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini
diduga merupakan agen etiologi operatif.5 Insiden yang tinggi juga terjadi pada
pekerja yang terpapar karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi
rumput). Pekerja pemecah hematite dan orangorang yang bekerja dengan
asbestos dan kromat juga mengalami peningkatan insiden. 2 Mereka yang tinggal di
kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang
tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari dan uap
diesel dalam atmosfer di kota.5
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, selenium dan vitamin
A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru. 1 Pemberian Nutrisi dan
supplement dapat mengurang gejala yang disebabkan oleh kanker paru. Vitamin D
dan Fe sangat baik untuk diberikan oleh penderita penyakit kanker paru, Begitu
pula dengan makanan antioxidant seperti cherri, dan buah tomat. 6,7 Terdapat
perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker paru, yakni: Proto
oncogen, Tumor suppressor gene, Gene encoding enzyme. 1
2.1.3
Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus
1.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
klinis. Bila sudah menampakan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.1
Gejala-gejala dapat bersifat 1:
Lokal (tumor tumbuh setempat)
Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
Batuk darah
Mengi karena ada obstruksi saluran napas
Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
Atelektasis
Invasi lokal
Nyeri dada
Sesak karena cairan pada rongga pleura
Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia
Sindrom vena cara superior
Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis
servikalis
3. Gejala Penyakit Metastasis
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
4.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
5.
kriteria:
1. Kanker paru primer
Memiliki 2 tipe utama, yaitu:
a. Small cell lung cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dan memiliki daya
pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut oat cell
carcinomas (karsinoma sel gandum). Tipe ini sangat erat kaitannya dengan
perokok, Penanganan cukup berespon baik melalui tindakan kemoterapi dan
radioterapi.7 Stadium (Stage) SCLC ada 2 yaitu9:
Stage terbatas (limited) jika hanya melibatkan satu sisi paru (hemitoraks)
Stage luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks atau menyebar
ke organ lain
b. Non-small cell lung cancer (NSCLC).
NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi seringkali
menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru, 7 mencakup adenokarsinoma,
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel besar (Large Cell Ca) dan karsinoma
adenoskuamosa.9
Stage NSLCLC dibagi atas : Stage 0, IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB dan IV
yang ditentukan menurut International Staging System for Lung Cancer 1997,
berdasarkan sistem TNM. 9
Stadium
Occult carcinoma
0
IA
IB
IIA
IIB
TNM
Tx
Tis
T1
T2
T1
T2
N0
N0
N0
N0
N1
N1
M0
M0
M0
M0
M0
M0, T3 N0 M0
IIIA
IIIB
IV
dengan efusi pleura ganas atau tumor satelit nodul ipsilateral pada lobus yang
sama dengan tumor primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai
No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial
dan/atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB
subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus/supraklavikula ipsilateral/kontralateral
M : Metastasis (anak sebar) jauh
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
Mo : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh. Nodul ipsilateral di luar lobus tumor primer
dianggap sebagai M1
2. Kanker paru sekunder
Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker
dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan
kanker usus (perut). Kanker menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena
kedekatan organ.7
2.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Sesuaikan atau cocokkan dengan manifestasi dari Ca Paru yang dijelaskan
sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti.. Tumor
paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan
memberikan hasil yang lebih informatif,2 pada 50% pasien NSCLC dan 25%
pasien SCLC didapatkan adanya sindrom vena cava.10
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage kanker,
seperti pembesaran KGB (kelenjar getah bening) atau tumor diluar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya
fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang. 2
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Untuk kanker paru pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang
mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor
satelit. Pada foto, tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi
pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.2
Tampak gambaran opasitas pada paru bagian kiri atas. Juga tampak gambaran
nodul pada paru kanan bagian bawah yang diduga deposit metastasis. Peningkatan
opasitas pada paratracheal paru kanan yang mengindikasikan limfadenopathy.
Efusi pleura yang minimal dengan blunting sudut costiphrenicus.
Tampak peningkatan opasitas pada hilus dan region peretracheal kanan dengan
penebalan garis paratracheal kanan. Pengurangan volume juga terlihat pada lobus
bawah paru kanan. SCLC sering muncul sebagai massa pada hilus atau
mediastinal.
Gambaran radiologis Non Small Cell Lung Carcinoma
Tampak gambaran efusi pleura dan berkurangnya volume sekunder dari NSCLC
pada lobus basal paru kiri. Pemeriksaan pada cairan efusi pleura didapatkan hasil
maligna dan lesi tidak dapat dioperasi
NSCLC, kolaps pada puncak paru kiri yang hampir selalu disebabkan oleh
carcinoma endobronchial brokhogenik.
NSCLC, kolaps penuh pada paru kiri sekunder dari carcinoma bronkhogenik pada
bronkus utama kiri.
CT-Scan dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto
toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm
secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar
secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra
bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke
mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CTscan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih
baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. USG abdomen
dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain
dalam rongga perut.2
Kanan :CT scan posisi mediastinal pria 68 tahun dengan gejala batuk produktif
dan hemoptysis. Gambaran hiperdens, carcinoid endobonchial pada bronchus
intermedius. Kiri, CT scan potongan paru memperlihatkan kistik postobstuktif
bronkiektasis yang berat.
b. Bronkoskopi
Bertujuan diagnostik sekaligus dapat mengambil jaringan atau bahan agar
dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa
intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan
mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,
mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan
biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.2
c. Biopsi Aspirasi Jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena
amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya
dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering
memberikan hasil negatif.2
d. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah.
Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk
kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi
syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum
dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di
atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau
dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol
90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalam formalin 4%.2
e. Pemeriksaan Cairan Pleura (Kalau ditemukan efusi pleura)
Cairan efusi dapat bersifat transudat maupun eksudat, dan juga bersifat
hemoragik karena dapat dilewati sel-sel darah terutama eritrosit, kadar glukosa
rendah.
2.1.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari kanker paru antara lain:
1. Kanker Mediastinum
2. Tuberculosis
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan
pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi nonmedis seperti fasilitas yang dimiliki rumah sakit dan ekonomi penderita juga
merupakan faktor yang amat menentukan.2
Adapun penanganan kanker paru yang dapat dilakukan adalah:
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk NSCLC stadium I dan
II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combine modality therapy,
misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk NSCLC stadium IIIA. Indikasi lain adalah
bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru
dengan sindroma vena kava superiror berat.2
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap
berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup
untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan
bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan
diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis. Hal penting lain yang
penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui toleransi
penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita
yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak
memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD).2
2. Radiasi
NSCLC stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi
alternatif terapi kuratif. 2,11
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau
otak. 2,11
3. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien SCLC atau dengan metastase luas serta untuk melengkapi
bedah atau terapi radiasi. Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker
paru. Syarat utama harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan
(performance status) harus lebih dari 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut
skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat
antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu,
penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.2
Geftinib dapat digunakan untuk terapi lini pertama pada pasien NSCLC,
yang dipilih berdasarkan mutasi EGFR yang mampu meningkat angka
kelangsungan hidup, dengan toksisitas yang dapat diterima, dibandingkan dengan
kemoterapi laiinya. 2
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah2:
a. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
b. Respons obyektif satu obat antikanker sebesar 15%
c. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
d. Terapi harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada
penilaian terjadi tumor progresif.
4. Photodynamic Therapy (PDT)
Satu terapi yang lebih baru yang digunakan untuk beberapa tipe dan
tingkatan dari kanker paru (begitu juga beberapa kanker-kanker lain) adalah
photodynamic therapy.
SCLC adalah juga tipe kanker paru yang paling GocalGsive pada terapi radiasi
dan kemoterapi. Karena SCLC menyebar sangat cepat dan biasanya berhamburan
pada saat diagnosis, metode-metode seperti pengangkatan secara operasi atau
terapi radiasi Gocal berkurang efektif dalam merawat tipe tumor ini.
Bagaimanapun, ketika kemoterapi digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan metode-metode lain, waktu kelangsungan hidup dapat diperpanjang empat
sampai lima kali.12 Namun, kelangsungan hidup secara keseluruhan rata-rata
pasien dengan pengobatan kombinasi hanya 12 bulan saja.1
Dari semua pasien-pasien dengan SCLC, hanya 5%-10% masih hidup lima
tahun setelah diagnosis. Kebanyakan dari mereka yang selamat (hidup lebih lama)
mempunyai tingkat yang terbatas dari SCLC.12 Pada non-small cell lung cancer
(NSCLC), hasil-hasil dari perawatan standar biasanya keseluruhannya jelek
namun kebanyakan kanker yang terlokalisir dapat diangkat secara operasi.
Bagaimanapun, pada tingkat I kanker dapat diangkat sepenuhnya, angka
kelangsungan hidup lima tahun dapat mendekati 75%. Terapi radiasi dapat
menghasilkan suatu penyembuhan pada suatu minoritas dari pasien-pasien dengan
NSCLC dan menjurus pada pembebasan gejala-gejala pada kebanyakan pasienpasien.12
Prognosis keseluruhan untuk kanker paru adalah jelek jika dibandingkan
dengan beberapa kanker-kanker lain. Angka-angka kelangsungan hidup untuk
kanker paru umumnya lebih rendah daripada yang untuk kebanyakan kankerkanker, dengan suatu angka keseluruhan kelangsungan hidup lima tahun untuk
kanker paru sebesar 16% dibandingkan dengan 65% untuk kanker kolon, 89%
untuk kanker payudara, dan lebih dari 99% untuk kanker prostat.12
2.1.10 Pencegahan
Penghentian merokok adalah langkah/tindakan yang paling penting yang
dapat mencegah kanker paru.3,12 Banyak produk-produk, seperti permen karet
nikotin, spray-spray nikotin, atau inhaler-inhaler nikotin, mungkin bermanfaat
bagi orang-orang yang mencoba berhenti merokok. Mengecilkan paparan pada
merokok pasif juga adalah suatu tindakan pencegahan yang efektif. Menggunakan
suatu kotak tes radon rumah dapat mengidentifikasi dan mengizinkan koreksi dari
tingkat-tingkat radon yang meningkat di rumah, yang juga dapat menyebabkan
kanker-kanker paru. Metode-metode yang mengizinkan deteksi dini kanker-
saluran napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antar
membran adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura
parietal memiliki persarafan, sehingga iritasi terhadap membran ini dapat
mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui
n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n. frenikus).
Gambar 1 Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps
(Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang
terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan
kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah
(sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke
dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke
arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu mendrainase cairan
sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga pleura memiliki faktor
keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20 kali baru akan
menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan cairan
pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.
adalah
bentuk
kompartmen
pleuropulmoner
yang
1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat
kegagalan pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular
paru. NT-proBNP >1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal
2.
3.
4.
5.
6.
7.
jantung kongestif.
Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.
Emboli paru
Sindroma nefrotik
Dialisis peritonela
Obsgtruksi sindroma kava superior
Miksedema
Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis
tuberkulosis dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90% sel
darah putih), serta marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura (yakni
adenosin deaminase/ADA> 40 IU/L atau interferon gamma lebih dari 140 pg/mL).
Cairan pleura dapat pula dikultur, biopsi jarum pleura, atau torakoskopi. Efusi
yang banyak mengandung sel darah merah menggambarkan keganasan, trauma,
atau emboli paru.
Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau
bronkiektasis. Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi purulen
yang masif.
ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi
opak dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian
masif umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan
tuberkulosis. Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura
masif berada, perlu dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun
penekanan akibat tumor.7
deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori
lain menyebutkan terjadi peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh
gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing factor- (TNF-),
tumor growth factor- (TGF-) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).
Penulis lain mengaitkan EPM dengan gangguan metabolisme, menyebabkan
hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan perembesan
cairan ke rongga pleura.18,19
Efusi pleura maligna (EPM) dipastikan dengan adanya sel-sel kanker pada
ruang pleura. EPM metastatik berasal dari penyebaran langsung sel-sel ganas dari
tempat sekitar (seperti pada keganasan paru, payudara, dan dinding dada), invasi
dari vaskularisasi paru dengan embolisasi dari sel-sel tumor ke pleura viseralis,
atau metastasis jauh hematogen dari tumor ke pleura parietalis. Begitu didapatkan
pada ruangan pleura, deposit tumor menyebar di sepanjang membran pleura
parietalis dan menyumbat stomata limfatik yang akan mengalirkan cairan
intrapleural.17
Tumor pleura juga akan menstimulasi pelepasan kemokin yang akan
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan membrane pleura, sehingga akan
memicu efusi pleura. Sel- sel tumor pada EPM adalah sumber yang penting dari
monocyte chemoattractantprotein-1 (MCP-1) yang merupakan pemicu poten
untuk terjadinya perubahan permeabilitas vaskuler, penarikan sel-sel mononuklear
ke ruang pleura dan angiogenesis pada tumor-tumor pleura.20
Pasien dengan kanker juga dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura
sebagai efek tidak langsung dari kanker, walaupun tanpa ditemukannya sel-sel
kanker pada ruangan pleura. Efusi jenis ini dikenal dengan nama efusi
paraneoplastik atau paramaligna, yang dapat terjadi dari infiltrasi tumor kelenjar
getah bening mediastinum, emboli paru, sindrom vena cava superior, atau
penurunan tekanan onkotik.20
2.3.3 Epidemiologi
Efusi pleura maligna (EPM) terjadi paling banyak disebabkan oleh
metastase tumor di pleura yang berasal dari kanker paru dan kanker payudara
sekitar 50 65%. Kanker lain adalah limfoma, kanker yang berasal dari sistem
gastrointestinal dan genitourinaria sebanyak 25% sedangkan 7 - 15% tidak
diketahui asalnya.17,18
Keganasan yang sering disertai EPM: 17,18
Jenis Keganasan Insidens
(%)
Kanker paru
35
Kanker payudara
23
12
Leukimia/Limfoma
10
Traktus reproduksi
Traktus gastrointestinal
Traktus genitourinari
Lain lain
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis EPM dengan mudah dan cepat dapat ditegakkan hanya dengan
prosedur diagnosa dan alat bantu diagnostik yang sederhana, misalnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks dan torakosentesis saja.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam alur diagnosa dan penatalaksanaannya
menuliskan langkah awal yang paling penting untuk diagnosis EPM adalah
memastikan apakah cairan bersifat eksudat dan/atau menemukan tumor primer di
paru atau organ lain. Selain itu disingkirkan juga penyebab lain misalnya pleuritis
akibat infeksi bakteri atau penyakit nonkeganasan lain. 20,21
Pasien dengan EPM memberikan riwayat keluhan dan pemeriksaan yang
tidak spesifik dan memerlukan analisis sitopatologi cairan pleura atau jaringan
pleura untuk menegakkan diagnosis. Keluhan pasien dengan EPM biasanya
dengan sesak nafas, batuk, dan penurunan toleransi fisik terhadap latihan, atau
sampai ke abdomen atas (untuk metastasis adrenal dan hepar). Selain itu, tumor
primer yang tersembunyi dapat diidentifikasi seperti pada kanker payudara,
kanker paru, thymoma (tumor mediatinum), atau konsolidasi pada rongga
(limfoma). Temuan CT dada yang mengarah pada diagnosis EPM antara lain
penebalan pleura sirkumferensial, penebalan pleura nodular, penebalan pleura
parietal yang lebih dari 1 cm, dan keterlibatan pleura mediastinal atau bukti
adanya tumor primer. Semua temuan sugestif tersebut memiliki sensitivitas antara
88% sampai 100% dengan spesifisitas 22% hingga 56%.23
Pemeriksaan penunjang lain yang tidak kalah pentingnya dalam
menegakkan diagnosis EPM adalah analisis cairan pleura serta pemeriksaan
sitologi dan biopsi jaringan. Beberapa karakteristik dari cairan pleura dapat
memberikan petunjuk untuk diagnosis EPM dan penting untuk menentukan jenis
pemeriksaan diagnostik selanjutnya. Seperti misalnya, efusi eksudatif memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi mengalami keganasan daripada transudat, tetapi
temuan ini sifatnya nonspesifik karena banyaknya penyebab inflamasi dari efusi
pleura eksudatif. Selain itu sekitar 3% - 10% EPM dikatakan merupakan efusi
pleura yang bersifat transudat. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, seperti tidak
baiknya prosedur pemeriksaan cairan efusi atau karena kondisi komorbid yang
berhubungan dengan transudat, seperti hipoalbuminamia, sirosis dengan ascites,
atau gagal jantung kongestif. Efusi pleura secara umum dikategorikan sebagai
transudat dan eksudat dengan kriteria Light. Menurut kriteria ini, cairan efusi
pleura dikategorikan eksudat apabila ditemukan satu dari tiga kriteria (rasio LDH
cairan pleura/serum > 0,6; rasio protein cairan pleura/ serum > 0,5; atau LDH
cairan pleura > dua per tiga batas atas normal LDH serum). Beberapa kriteria lain
memakai juga kadar kolesterol cairan pleura (> 45 mg/dl) serta kadar protein
cairan pleura (>3 g/dl) sebagai tambahan untuk lebih menunjang kategori efusi
pleura eksudat.23
Pemeriksaan lain pada cairan pleura adalah sitologi cairan pleura, yang
dapat memberikan konfirmasi suatu EPM dengan kemungkinan penemuan sel
rata-rata sekitar 64% (berkisar antara 50% sampai 90%) pada kategori umum dari
semua pasien dengan EPM. Kemungkinan mendapatkan diagnosis yang tepat
kateter
pleuroperitoneal. 22
indwelling
jangka
panjang,
serta
pembuatan
shunt
Torakosentesis terapeutik
Awal manajemen untuk EPM yang simtomatik adalah torakosentesis
terapeutik. Dengan pendekatan ini akan dapat dinilai respon sesak nafas terhadap
pengeluaran cairan. Walaupun keluhan dapat membaik setelah torakosentesis,
sekitar 98% - 100% pasien dengan EPM akan mengalami reakumulasi cairan dan
sesak nafas yang berulang dalam 30 hari. Apabila setelah dilakukan torakosentesis
volume besar sesak nafas tidak membaik, maka diperlukan evaluasi untuk mencari
penyebab lain seperti emboli mikrotumor, kanker limfangitik, atau efek dari
kemoterapi atau radioterapi. 20,21
Torakosentesis berulang dengan anestesi topikal dapat dilakukan pada
pasien EPM. Metode ini juga akan meningkatkan resiko pneumothoraks, efusi
terlokulasi, dan empyema. Tehnik torakosentesis dengan guiding ultrasound
dikatakan lebih aman dan mengurangi resiko pneumothoraks. Volume cairan yang
dikeluarkan berkisar antara 1 sampai 1,5 liter. Pengeluaran cairan yang lebih
banyak akan berakibat terjadinya oedem paru re-ekspansi, apalagi bila
sebelumnya sudah terdapat obstruksi endobronchial.20
Bronkhoskopi intervensional untuk membuka jalan nafas yang mengalami
obstruksi sebelum dilakukan torakosentesis dikatakan dapat mengurangi resiko
terjadinya oedem paru tadi. Torakosentesis terapeutik berulang adalah pilihan
terapi untuk pasien dengan performance status yang buruk atau dengan penyakit
tahap lanjut, dan dengan harapan hidup yang sangat pendek.21
2.
Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dan parietalis baik secara
Aspek Biologis
Agar terjadi perlekatan yang sempurna, permukaan pleura harus teriritasi
baik secara mekanik maupun dengan pemberian agen sklerosis. Selain itu, telah
berkembang konsep baru yaitu peran fungsional respon mesothelium terhadap
stimulus sklerosis.
Agen sklerosis ideal yang dapat digunakan untuk pleurodesis harus efektif,
murah, aman dan mudah diperoleh. Namun tidak ada agen yang ideal, semuanya
berbeda tingkat keberhasilan dan efek samping yang timbul. Ada lebih dari 30
jenis agen sklerosis yang digunakan untuk prosedur pleurodesis, diantaranya
adalah povidon iodin dan bleomycin.
3.
intermiten sampai 1000 ml cairan pleura pada 2 sampai 3 kali periode seminggu.
Berkurangnya keluhan sesak nafas segera dirasakan pada 94% sampai 100%
pasien. Terdapat beberapa jenis kateter yang dapat dipakai pada prosedur ini, yang
banyak dipakai belakangan ini adalah kateter pleura Pleurx. Qureshi, dkk. juga
mendapatkan hasil yang memuaskan pada pemasangan kateter Pleurx terutama
pada pasien EPM dengan trapped lung syndrome. Kateter pleura Pleurx ini
terdiri dari kateter silikon 15,5F sepanjang 66 cm, dengan lubang-lubang
sepanjang 25,5 cm bagian proksimalnya. Pada bagian distalnya terdapat polyester
cuff dan di bagian ujungnya dengan mekasisme katup latex rubber. Katup ini
didisain untuk mencegah lewatnya cairan atau udara, kecuali bila tersambung
dengan access tip dari komponen drainase yang terdapat pada paket kateter ini.
Setelah dilakukan anestesi, bronkoskopi dilakukan untuk mengeksklusi obstruksi
endobronchial. Video- assisted thoracoscopic surgery (VATS) dilakukan untuk
menilai rongga pleura. Setelah drainase dan diseksi dikerjakan, penilaian ekspansi
paru dilakukan sebagai syarat untuk memasang kateter ini. Ujung yang berlubanglubang tadi dimasukkan ke rongga pleura dengan VATS, kemudian dibuat
terowongan subkutan untuk mengeluarkan kateter hingga ujung polyester terletak
1 cm dari insisi anterior. Ikatan dengan Prolene 2/0 dilakukan pada terowongan,
sedangkan insisi kulit ditutup dengan nylon 4/0. Bagian kateter dengan katup
tersisa di luar kulit dan dilindungi dengan cap.20,21
Drainase inisial dilakukan dengan suction -10kPa untuk mencegah
terperangkapnya udara pada rongga pleura. Drainase dapat dilakukan di rumah,
dengan 3 kali seminggu untuk 3 minggu pertama, selanjutnya tergantung keluhan
klinis dan produksi cairan pleura. Pemasangan kateter indwelling ini merupakan
pilihan manajemen paliatif apabila pasien tidak memenuhi syarat untuk dilakukan
pleurodesis. Belakangan jugaditemukan bahwa pemasangan kateter indwelling
jangka panjang ini memberikan kemungkinan terjadinya pleurodesis spontan
berkisar antara 40% sampai 58% dalam 2 sampai 6 minggu drainase.
4.
(19)
Pleuroperitoneal shunting
Pleuroperitoneal shunting adalah sebuah tehnik alternatif untuk menangani
EPM yang refrakter dengan pleurodesis kimiawi maupun pada pasien dengan
trapped lung syndrome. Beberapa kasus serial mengenai shunting pleuroperitoneal
mendapatkan perbaikan gejala sekitar 95% dari seluruh kasus shunting.
Pemasangan alat dilakukan dengan bantuan thorakoskopi atau minithorakotomi.
Perlengkapan untuk tehnik ini yaitu dua buah katup unidireksional dengan kateter
pleural dan peritoneal yang berlubanglubang pada kedua ujungnya. Kerja alat ini
diaktivasi oleh tekanan yang diberikan oleh pasien untuk mengatasi tekanan
positif dari rongga peritoneum. Suatu kasus serial dari 160 pasien EPM yang
dipasang pleuroperitoneal shunting, didapatkan komplikasi pada 15% pasien.
Komplikasi yang terjadi antara lain erosi kulit, infeksi, dan oklusi dari shunt
sehingga memerlukan perbaikan atau penggantian.18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
: Tn. M. Yakop
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 70 tahun
Alamat
: Aceh timur
Pekerjaan
: Tukang
Tanggal Masuk RS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
: Sesak napas
Pasien tidak mengeluhkan mual muntah dan batuk pilek. BAK teratur, tidak ada
nyeri saat BAK dan tidak ada BAK berdarah. BAB juga dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi , diabetes melitus , asma, penyakit jantung dan riwayat konsumsi OAT
juga disangkal. Riwayat penyakit infeksi paru sebelumnya juga disangkal.
Riwayat pengobatan:
Pasien sebelumnya di rawat di RS Graha Bunda selama 10 hari dan didiagnosis
efusi pleura masif serta mendapat terapi antibiotik
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada pihak keluarga yang mengalami hal yang sama seperti yang dialami
oleh pasien.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Sehari hari pasien bekerja sebagai tukang bangunan dan sering terpapar dengan
debu dan semen.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum
: Baik
Keadaan sakit
: Tampak lemah
Kesadaran
Tanda vital
-
Nadi
: 124 x/menit
Napas
: 30 x/menit
Suhu
: 37,2 C
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
: sekret (-)
Hidung
Mulut
Leher
Torak
Paru
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Kanan
Normal
Fremitus normal
Sonor
Vesikuler
Kiri
Tertinggal
Fremitus menurun
Redup
Vesikuler melemah
Jantung
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas atas
Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
: akral hangat (+), edema (-/-), sianosis (-), Capillary Refill Time
< 2 detik.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen thorak
Kesan :
2. EKG :
sinus rhytme
3. Laboratorium
Tgl 20/11/2015
Hb
Ht
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
- eosinophil
- basophil
- netrofil segmen
- limfosit
- monosit
Hati dan empedu
AST/ SGOT
ALT/ SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
: 3.8
Klorida
Diabetes
Gula Darah Puasa
Ginjal Hipertensi
Ureum
Kreatinin
4. USG thorax
5. CT SCAN thorax
: 11.6
: 32
: 19
: 114
: 32
:0
:0
:2
: 58
: 40
: 13
: 16
: 6.1
: 2.9
: 3.2
: 144
: 108
: 126
: 16
: 0.4
Tgl 27/11/2015
Hb
Ht
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis
- eosinophil
- basophil
- netrofil segmen
- limfosit
- monosit
Hati dan empedu
AST/ SGOT
ALT/ SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
4.2
Klorida
Diabetes
Gula Darah Puasa
Ginjal Hipertensi
Ureum
Kreatinin
: 12.2
: 34
: 3.8
: 10.2
: 31
:0
:0
:2
: 58
: 40
:::::: 142
:
: 105
: 127
: 16
: 0.4
: dubia ad malam
Ad functionam
: dubia ad malam
Ad sanactionam
: dubia ad malam
3.9 Follow Up
S: sesak, batuk, lemas
O:
TD =120/70
Nadi= 100 x
RR=28 x
T= 37 C
O:
TD =100/60
Nadi= 115 x
RR=30 x
T= 37 C
S: sesak, batuk
berkurang
O:
TD =100/70
Nadi= 112 x
RR=25 x
T= 37 C
I= dada kiri tertinggal
P= fremitus (+/+)
Nyeri (+)
P= sonor (+/+)
A= vesikuler (+/+)
A: atelektasis ec tumor
A: atelektasis ec tumor paru + efusi pleura
A: atelektasis ec tumor
paru + efusi pleura
sinistra
paru + efusi pleura
sinistra
sinistra
P: P:
P: foto thorax
Th:
Th:
Levofloxacin 500 mg Th:
Levofloxacin 500 mg
Levofloxacin 500 mg
1x 1 tab
1x 1 tab
1x 1 tab
Curcuma 2x1 tab
Curcuma 2x1 tab
Curcuma 2x1 tab
Codein 3 x1 tab
Codein 3 x1 tab
Codein 3 x1 tab
S: sesak berkurang
O:
TD =100/70
Nadi= 92 x
RR=26 x
T= 37 C
I= dada kiri
tertinggal
P= fremitus (+/+)
Nyeri (+)
P= sonor (+/+)
A= vesikuler (+/+)
A: atelektasis ec
tumor paru + efusi
pleura sinistra
P: USG thoraks
Ct scan thoraks
Bronkoskopi
Analisis cairan
pleura
Th:
Levofloxacin 500
mg 1x 1 tab
Curcuma 2x1 tab
Codein 3 x1 tab
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki 70 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Sesak
napas dirasakan sejak sekitar 3 bulan yang lalu, sesak semakin hebat sejak sekitar
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas kadang diikuti dengan nyeri dada.
pasien juga mengeluhkan adanya batuk sejak 1 tahun yang lalu, berdahak,
berwarna putih dan kadang terdapat bercak darah warna merah. Pasien juga
mengeluhkan bahwa tubuhnya terasa lemah, nafsu makan menurun, dan badan
dirasakan semakin kurus. Pasien mengatakan bahwa ia tidak dapat melihat dan
hanya dapat melihat bercas cahaya. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak
bertahun-tahun yang lalu.
Keluhan mual, muntah dan pusing disangkal, adanya demam yang hilang
timbul, adanya penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan, sedangkan
adanya keringat malam hari juga disangkal. Pasien mengaku memiliki ebiasaan
merokok sejak muda sekitar 1 bungkus perhari, namun sudah berhenti sejak 2
tahun yang lalu.
Pasien tampak sakit ringan dan terlihat lemah. pada pemeriksaan paru
didapatkan hasil bahwa pada keadaan statis maupun dinamis kedua dada masih
terlihat simetris. Pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler disertai dengan
suara napas tambahan rhonki pada lapang paru kanan dan kiri.
Pada follow up yang dilakukan selama pasien di rawat di rumah sakit
didapatkan pada anamnesis keluhan batuk dan sesak serta kelemahan tubuh pada
pasien yang menetap dan cenderung memberat. Pasien merasa semakin lemah dan
sulit beraktifitas meskipun untuk kebutuhan sendiri seperti makan, minum
ataupun ke toilet. Pasien mengalami penurunan nafsu makan namun BAB dan
BAK masih seperti biasa.
Pada pasien ini, usia merupakan faktor risiko terjadinya keganasan pada
paru. Kemungkinan seseorang untuk mendapatkan kanker paru pada pria dimulai
di usia 40 tahun dan akan meningkat pada usia 75 tahun. Pada wanita insiden
lebih kecil tetapi mengikuti pola yang sama, mulai terkena di usia 40 dan
mencapai puncak di usia 70 tahun dengan rata-rata penderita 155 orang / 100.000
penduduk. Lebih kurang 75% kanker paru sudah bermanifestasi pada dekade
kelima sampai keenam dari umur penderita.1,2,3
Faktor risiko terbesar untuk terjadinya kanker paru sampai saat ini adalah
tembakau, dimana lebih dari 80% kanker paru ditemukan pada perokok dan
insidennya 10 kali lebih besar dibandingkan bukan perokok. Pada pasien ini
memiliki riwayat merokok yaitu sejak usia muda sekitar 1 bungkus perhari.
Namun pasien mengaku sudah berhenti merokok sejak dua tahun yang lalu.4,5
Gejala sesak napas yang dialami pasien disebabkan tumor yang berada
intrapulmoner menekan saluran napas serta dapat menyebabkan atelektasis dan
penurunan faal paru serta efusi pleura. Kebanyakan kasus efusi pleura ganas
simptomatis meskipun sekitar 15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan
volume cairan kurang dari 500 ml. Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus
EPM terutama jika volume cairan sangat banyak. Sesak napas juga terjadi akibat
refleks neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum
ke arah kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral. Meskipun terjadi
perubahan fungsi paru pada penderita EPM misalnya perubahan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat
menjelaskan mekanisme sesak. Hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena
berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks
oleh cairan.6
Nyeri dada mengisyaratkan adanya keterlibatan pleura parietalis, dan
dirasakan saat inspirasi. Batuk terjadi karena adanya berbagai rangsangan pada
reseptor batuk intratoraks antara lain terdapat di bronkus. Batuk merupakan
keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh penderita kanker paru (70% - 90%
kasus).8,9,17
Pada pemeriksaan fisik paru saat inspeksi ditemukan asimetris dimana dada
kiri tertinggal saat bernafas, pada palpasi ditemukan vokal fremitus pada dada kiri
menurun sedangkan pada dada kanan normal, pada perkusi ditemukan dullness
pada dada kiri dan sonor pada dada kanan, pada auskultasi ditemukan suara
vesikuler yang menurun pada dada kiri sedangkan pada dada kanan normal.
menentukan penyebab dari efusi pleura adalah analisis cairan pleura. Perbedaan
mendasar antara efusi pleura akibat keganasan atau tuberkulosis adalah sebagai
berikut:8
Penyebab
Tampila
Hitung
Eritrosi
jenis
pH
Glukos
Keterangan
leukosi
t
Turbid
1-
<100.00
Norma
Normal
Pemeriksaan
hingga
10.000
hingga
sitologi
berdarah
limfosit
hingga
Tuberkulos
Serosang
5-
Norma
Normal
Pemeriksaan
is
(campura
10.000
sampai
marker TB
n darah
limfosit
sampai
ADA: >70
IU/L TB,
Keganasan
dan
<10.000
jika<40 IU/L
cairan
serosa)
bukan TB.
Pewarnaan
BTA: 0-10%
dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi
jantung kongestif,
sirosis
hati, sindroma
nefrotik,
dialisis
peritoneum,
dilakukan dengan mengambil sedikit cairan pleura untuk dilihat secara fisik
(warna cairan) dan untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta), serta sitologi. (6) (7)
Volume cairan yang harus dikeluarkan saat torakosentesis pada EPG massif
tidak baku untuk semua kasus, untuk memutuskan jumlah cairan yang akan
dikeluarkan penting diperhatikan reaksi tubuh pasien, umumnya tidak dianjurkan
mengeluarkan > 1.500 ml satu kali punksi untuk mencegah terjadi syok karena
hipovolemik mendadak dan/ atau reaksi pemutaran organ mediastinum (jantung).
Pengosongan dalam jumlah banyak dan tiba-tiba juga dapat menyebabkan terjadi
peningkatan permeabiliti kapiler sehingga menyebabkan edema paru reekspansi.
Demikian juga pada kondisi jika harus dilakukan pemasangan WSD, pada
awalnya dilakukan pengaliran secara bertahap dengan jumlah 100-300 ml per 4
jam sampai terjadi produksi harian yang stabil pada posisi WSD terpasang dan
aliran tetap terbuka. Rekomendasi tentang torakosentesis pada EPM; melakukan
punksi berulang untuk mengatasi sesak napas dan WSD hanya dianjurkan bila
direncanakan akan dilakukan pleurodesis untuk mencegah terjadi rekurensi. Pada
kondisi cairan yang terus diproduksi dilakukan usaha untuk mengurangi produksi
cairan dengan target sel tumor yang ada di rongga pleura (kemoterapi intrapleura).
Biasanya dilakukan setelah volume cairan yang diproduksi sudah tidak terlalu
banyak (<400 ml/hari). Jenis obat yang sering digunakan untuk tujuan itu adalah
bleomisin dengan dosis 45-60 mg/kali atau adriamisin 45 mg/kali. (8)
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah bersifat suportif .10
DAFTAR
MASALAH
PLANNING NONMEDIKAMENTOSA
Tirah baring
MEDIKAMENTOSA
Antitusif
Mukolitik
Rencana CT-scan thorax
dan bronkoskopi
Multivitamin
Codein tab 3x 1
Vectrin tab 3 x 1
Levofloxacin 3x1
Cegah infeksi
Batuk
Atelektasis
Suplemen makanan
Levofloxacin
melegakan
termasuk
eksaserbasi
infeksi
akut
dari
bronkitis
kronis.
Erdostein adalah agen mukolitik yang dapat mengencerkan mukus dan sputum
purulen. Erdostein adalah prodrug, yang menjadi aktif setelah proses metabolism
dimana gugus sulfihidril bebas dibentuk. Gugus sulfihidril akan memecahkan
ikatan disulfide yang mengikat serat-serat glikoprotein di dalam mukus, yang
menyebabkan sekresi bronkus menjadi encer sehingga lebih mudah dikeluarkan.
Erdostein juga ternyata terbukti memiliki sifat antioksidan.11
BAB V
KESIMPULAN
Seorang laki-laki, 70 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sederhana berupa foto rontgen thorax didapatkan
diagnosis kerja adanya suspek tumor paru disertai atelektasis dan efusi pleura.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu berupa pengobatan suportif dan
pengobatan simptomatik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kalantari Farhad, Sarami Abdollah, Shahba Nariman, Marashi seyed Kamal,
Reza Shafiezadeh. Prevalence of cancers in the National Oil Company
employees referred to Ahwaz health and industrial medicine in 5 years
(Ministry of oil). Life Science Journal. 2011;8(4):698-700] (ISSN:1097-8135).
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Kanker Paru Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta
3. Scottish Intercollegiate Guidelines network. Management of patients with lung
cancer. A national clinical guidelines. SIGN, Eidenburg, 2005.
4. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N.
Kanker paru jenis
15. Rasad Sjahriar., 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta: balai penerbit FKUI p.
132
16. Mayo., 2010. Dasar-dasar Atelektasis. Mayo Foundation untuk Pendidikan
dan Penelitian Medis.www.mayo.com
17. Subagyo , Jusuf a, Hudoyo a. Efusi pleura ganas. J Respir Indo. 2004; 18:
155-60.
18. DeCamp MM, Mentzer SJ, Swanson SJ, Sugarbaker DJ. Malignant effusive
diseases of pleural and pericardium. Chest. 1997; 112: S291-5.
19. Heffner JS, Klein JS. Recent advances in the diagnosis and management of
malignant pleura effusions. Mayo clin Proc. 2008; 83(2):235-50.
20. Stathopoulos GT, Psallidas I, Moustaki A. A central role for tumor-derived
monocyte chemoattractant protein-1 in malignant pleural effusion. JNCI.
2008; 100(20):1464-76.
21. Antunes N. Management of malignant pleural effusions. thorax. 2005; 55.
981-983.
22. Diaz-Guzman E, Budev MM. Accuracy of the physical examination in
evaluating pleura effusion. Cleveland Clinic Journal. 2008; 75:297-303.
23. Tassi GF, Cardilo G, Marchetti GP, Carleo. Diagnostic and therapeutical