Heat Treatment
Heat Treatment
PENDAHULUAN
Tujuan dari percobaan Perlakuan Panas dan Uji Kekerasan ini adalah untuk
mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap perubahan sifat mekanik
(kekerasan) logam sebagai ukuran ketahanan beban terhadap deformasi plastis.
Nilai kekerasan disini dinyatakan dalam kekerasan Rockwell (HR).
1.3 Batasan masalah
Adapun pembatasan masalah pada Perlakuan Panas dan Uji Kekerasan ini
adalah
pengujian
dilakukan
di
Laboratorium
Metalurgi
FT.UNTIRTA.
Berdasarkan dua variabel bebas dan terikat, pengujian ini terdiri beberapa batasan.
Variabel terikat pengujian dilakukan pada 3 bahan uji yang berbeda perlakuan,
pengujian dilakukan pada suhu 850oC, bahan uji yang digunakan adalah baja AISI
1045 dan pengujian dilakukan pada 2 titik. Dan veirabel bebas dari pengujian
adalah waktu pendinginan bahan uji dan media pendingin bahan uji.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan ini dibuat dengan maksud memberikan
gambaran secara garis besar dari setiap bab dalam laporan ini. Bab I menjelaskan
mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, dan
sistemaika penulisan. Bab II menjelaskan mengenai teori-teori yang mendukung
penelitian. Bab III berisikan kerangka metode percobaan dengan menggunakan
diagram alir percobaan, alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, serta
prosedur percobaan. Bab IV berisikan tentang hasil-hasil penelitian, serta
pembahasannya. Bab V mengemukakan beberapa kesimpulan dari pembahasan
dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.
3.
Besi dikenal sebagai satu logam yang memiliki sifat allotropi, memiliki
bentuk lattice yang berbeda, besi memiliki tiga macam modifikasi allotropi.
Time
1.
2.
3.
pemanasan mencapai garis A1 maka perlit akan mengalami reaksi eutektoid secara
isothermal, reaksinya yaitu:
Ferit + Fe3C
Austenit ...............................................................(1)
Dimana lamel-lamel ferrit dan sementit dari perlit akan bereaksi membentuk
austenit. Temperatur tidak akan mengalami kenaikan bila perlit belum habis,
setelah habis kenaikan temperatur akan terjadi dan ferrit proeutektoid akan
mengalami transformasi allotropi ferit yang BCC akan menjadi austenit yang
FCC.
Bila pemanasan mencapai temperatur A1 maka akan terjadi reaksi eutektoid
seperti baja hipoeutektoid yaitu ferit dan sementit pada perlit akan bereaksi
membentuk austenit. Pada temperatur A1 austenit mengandung 0.8% C, sisanya
berada pada sementit, jika temperatur dinaikan diatas A1, maka kemampuan
austenit melarutkan karbon juga akan naik, sehingga karbon yang tadinya berada
pada sementit sedikit demi sedikit mulai larut ke dalam austenit, jaringan austenit
lama kelamaan akan menipis dan akhirnya akan habis, struktur seluruhnya sudah
menjadi austenit.
Austenit yang terbentuk belum homogen, dimana pada baja hipoeutektoid
austenit dari perlit mengandung 0,8%C sedang yang berasal dari ferit kadar
karbon jauh lebih sedikit. Pada baja hipereutektoid austenit awalnya mengandung
0,8%C dari perlit, namun akan bertambah dari karbon yang larut dari jaringan
sementit yang berada di sekitar austenit.
2.3 Transformasi Fasa Pada Saat Pendinginan
Dalam suatu proses laku panas, setelah mencapai temperatur austenit dan
ditahan pada temperatur tersebut secukupnya maka selanjutnya dilakukan
pendinginan dengan laju pendinginan tertentu.
Struktur mikro yang terjadi setelah pendinginan akan tergantung pada laju
pendinginan. Sehingga akan dapat diprediksi sifat mekanik apa yang diharapkan.
Transformasi fasa pada saat pendinginan memegang peranan penting terhadap
sifat baja yang dikenal suatu proses laku panas. Austenit dari baja hipoeutektoid
bila didinginkan dengan lambat, pada temperatur kritis A3 mulai membentuk inti
kristal ferit yang tumbuh pada batas butir kristal austenit. Transformasi ini terjadi
karena austenit mengalami perubahan allotropi dari besi gamma menjadi besi
alpha. Karena ferit hanya dapat melarutkan karbon dalam jumlah sedikit maka
kandungan karbon dalam austenit akan semakin besar bila ferit yang tumbuh
makin banyak (ditandai dengan turunnya temperatur), besarnya kandungan karbon
dalam austenit dengan menurunnya temperatur mengikuti garis A3, sehingga pada
temperatur mencapai titik A1 komposisi sisa austenit sama dengan komposisi
eutektoid dan selanjutnya austenit akan bertransformasi menjadi perlit.
2.4 Diagram Fasa Fe-C
Proses pemanasan biasanya dilakukan sampai temperatur austenit dimana
austenit merupakan fasa yang tidak stabil sehingga akan mengalami transformasi
selama proses pendinginan, pemberian waktu tahan (holding time) bertujuan
untuk
memberikan
menghomogenkan
kesempatan
austenit.
atom-atom
Pendinginan
untuk
akan
berdifusi
menyebabkan
sehingga
austenit
bertransformasi dan struktur mikro yang terbentuk akan sangat tergantung dari
laju pendinginan.
diagram fasa tersebut dapat dipergunakan tanpa menghiraukan adanya unsurunsur tersebut. Selama pemanasan, besi murni mengalami perubahan dua struktur
kristal sebelum mencair. Pada temperatur ruang terbentuk fasa yang stabil yaitu
ferrite, atau besi yang memiliki struktur kristal BCC.
Pada temperatur 912C, ferrite mengalami transformasi struktur kristal
menjadi FCC yang disebut austenite, atau besi . Austenit akan berlangsung lama
hingga temperatur 1394C dan pada temperatur ini austenite mengalami
perubahan struktur fasa dari FCC kembali menjadi struktur fasa BCC yang
disebut fasa ferrite, yang akhirnya mencair pada temperatur 1538C [Callister,
2007].
Baja yang mengandung 0,4% C, pada temperatur 1500C mulai terjadi
pemadatan. Pada temperatur 1450C pemadatan berakhir, baja membeku atau
padat seluruhnya. Struktur austenit yang seragam (struktur BCC, karbon dalam
keadaan padat di antara larutan padat besi ). Di bawah temperatur tersebut hingga
temperatur 900C tidak terjadi perubahan struktur. Pada 800C atau pada suhu
kritis atas, austenite mulai berubah menjadi ferrite (struktur besi BCC, secara
praktis tidak ada tempat untuk karbon besi ). Pada waktu temperatur turun
hingga 723C karbon semakin meresap pada austenit yang masih ada. Pada
temperatur 723C telah banyak austenite yang berubah menjadi ferrite sehingga
sejumlah karbon dalam austenite dapat mencapai 0,83%. Ketika temperatur
mencapai sedikit di bawah 723C atau pada temperatur kritis bawah, sisa austenit
mengandung 0,83% C, berubah bentuk menjadi eutektoid sebagai lapisan-lapisan
ferrite (0,03% C) dan sementit (Fe3C) mengandung 6,9% C. Komposisi eutektoid
yang terdiri atas lapisan-lapisan ferrit dan sementit disebut pearlite. Sampai baja
menjadi dingin pada suhu kamar, tidak ada perubahan lagi yang terjadi pada
strukturnya.
2.5 Jenis-Jenis Perlakuan Panas
Secara garis besarnya proses perlakuan panas terbagi dalam dua kondisi,
antara lain kondisi equilibrium dan kondisi non equilibrium.
Melunakkan
Menghilangkan tegangan sisa
Merubah sifat mekanis
Mendapatkan struktur mikro homogen
10
11
12
5. Recrystallization Annealing
Proses ini digunakan setelah pengerjaan dingin (proses akhir).
Hasil perlakuan ini akan diperoleh baja dengan bentuk yang telah
berubah (menjadi pelat), tetapi sifatnya telah kembali (tidak brittle).
Pendinginan
udara
kasar
akibat
pembentukan,
untuk
memodifikasi
dan
13
hardenability yaitu untuk menentukan laju pendinginan atau media kuens yang
digunakan, memberi informasi kekerasan maksimal yang diperoleh dari baja
pada kulit atau inti pada komoposisi kimia, ukuran sampel, dan jenis media
kuens, menentukan besarnya distribusi dan kedalaman kekerasan, data
hardenability dapat untuk memprediksi pembentukan tegangan tekan dan
tegangan sisa setelah kuens pada bantalan maupun baja tahan lelah.
Hardenability berpengaruh pada kecenderungan retak setelah pengelasan
komponen baja. Suatu baja dengan komposisi kimia sama dan austenit grain
size yang sama bila mengalami pendinginan dengan laju pendinginan yang
sama akan memiliki kekerasan yang sama dan struktunya juga sama, tidak
tergantung pada bentuk dan ukuran benda kerja serta kondisi pendinginan.
2.6
dengan menyepuh baja. Menyepuh yang dimaksud disini adalah memanaskan baja
sampai temperatur tertentu, sampai perubahan fasa yang homogen dan dibiarkan
14
Pengujian Kekerasan
Kekerasan adalah ketahanan material terhadap deformasi plastik yang
diakibatkan tekanan atau goresan dari benda lain [Amir, 2010]. Sebenarnya,
kekerasan memiliki banyak arti, diantaranya kekerasan dapat diartikan sebagai
suatu bahan yang tahan terhadap goresan, ketahanan material terhadap indentasi,
dan ketahanan material terhadap gesekan serta kemampuan suatu logam untuk
menahan penetrasi permanen dengan alat yang lebih keras. Pengujian kekerasan
dengan menggunakan indentasi (jejak) dapat diketahui nilai kekerasannya. Jika
jejaknya besar, maka logam tersebut bersifat lunak dan jika jejaknya kecil, maka
logam tersebut keras dengan asumsi gaya yang diberikan terhadap logam sama.
Lunak atau kerasnya suatu logam yang kita uji dapat diukur dengan indentor.
Pengujian kekerasan dilakukan dengan menekan sebuah indentor ke permukaan
benda uji. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching),
pantulan ataupun ndentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda
uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan
[Gregorious, 2009]:
1. Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan lanjut,
tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan
oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini
berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini
bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana
15
dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi,
sebagaimana dimiliki oleh intan. Prinsip pengujiannya yaitu bila suatu mineral
mampu digores oleh orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh apatite
(no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan
hal ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa
ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineralmineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar
antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar. Dalam skala
Mohs urutan nilai kekerasan material dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai Kekerasan Mineral
Mineral
Scale Number
Talc
Gypsum
Calcite
Fluorite
Apatite
Orthoclase
Quartz
Topaz
Corundum
Diamond
10
16
Metode Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode brinell bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment).
Idealnya, pengujian brinell diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan
Brinnel sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut maka disarankan
menggunakan metode pengujian rockwell ataupun vickers. Angka Kekerasan
brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam
Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas
luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (Bola baja)
biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida
Tungsten. Jika diameter Identor 10 mm maka beban yang digunakan (pada
mesin uji) adalah 3000 N sedang jika diameter Identornya 5 mm maka beban
yang digunakan (pada mesin uji) adalah 750 N. Diameter bola dengan gaya
yang di berikan mempunyai ketentuan, yaitu:
1.
Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang di berikan terlalu
kecil maka akan mengakibatkan bekas lekukan (jejak) yang terjadi
akan terlalu kecil dan mengakibatkan sukar diukur sehingga
memberikan informasi yang salah.
2.
Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang di berikan terlalu
besar makan dapat mengakibatkan diameter bola pada benda yang
di uji besar (jejaknya bola)sehingga mengakibatkan harga
kekerasannya menjadi salah.
17
.............................. (2.1)
Keterangan :
HB : Angka kekerasan brinell
P
: Beban (kg)
Metode Vickers
Vickers adalah hampir sama dengan uji kekerasan brinell hanya saja
dapat mengukur sekitar 400 VHN. Pengujian kekerasan dengan metode vickers
18
HV
HV
2.8
2 P sin
d
........................................................................... 2.2
1,8544 P
d2
............................................................................ 2.3
Kekerasan bahan
Kekerasan suatu bahan adalah peristilahan yang kabur, yang mempunyai
banyak arti tergantung pada pengalaman pihak-pihak yang terlibat. Namun pada
umumnya,
19
20
2.9
Kekerasan Brinell
Uji lekukan yang pertama kali banyak digunakan serta disusun pembakuannya
adalah metode yang diajukan oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Uji kekerasan
Brinell berupa pembentukan lekukan pada permukaan logam dengan memakai
bola baja berdiameter 10 mm dan diberi beban 3000 kg. Untuk logam lunak,
beban dikurangi hingga tinggal 500 kg, untuk menghindarkan jejak yang dalam,
dan untuk bahan yang sangat keras, digunakan paduan karbida tungsten, untuk
memperkecil terjadinya distorsi indentor. Beban diterapkan selama selang waktu
tertentu, biasanya 30 detik, dan diameter lekukan diukur dengan mikroskop daya
rendah, setelah beban tersebut dihilangkan. Kemudian dicari harga rata-rata dari 2
buah pengukuran diameter pada jejak yang berarah tegak lurus, permukaan
dimana lekukan akan dibuat harus relatif halus, bebas dari debu atau kerak.Angka
kekerasan Brinell (BHN) dinyatakan sebagai beban P dibagi luas permukaan
lekuakan. Rumus untuk angka kekerasan tersebut adalah:
...............................................................(2.4)
21
Untuk mendapatkan BHN yang sama dengan beban atau diameter bola yang
tidak standar, diperlukan keserupaan lekukan secara geometris. Keserupaan
geometris diperoleh, sejauh besar sudut 2 tidak berubah. Tanpa menjaga P/D2
konstan, yang dalam percobaan sering merepotkan maka BHN akan bervariasi
terhadap beban. Pada daerah dengan beban yang beragam, BHN akan mencapai
harga maksimum pada beban menengah. Oleh karena itu, tidak mungkin
menggunakan beban tunggal untuk mencakup seluruh daerah harga kekerasan
yang terdapat pada logam-logam komersial. Jejak yang relatif besar dari pada
kekerasan Brinell memberikan keuntungan dalam membagikan secara pukul rata
ketidakseragaman lokal, selain itu uji Brinell tidak begitu dipengaruhi oleh
goresan dan kekerasan permukaan dibandingkan dengan uji kekerasan yang lain.
Dilain pihak, jejak Brinell yang besar ukurannya, dapat menghalangi pemakaian
uji tersebut untuk benda uji yang kecil, atau pada bagian yang kritis terhadap
tegangan, dimana lekukan yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan (failure).
2.10 Kekerasan Vickers
Permukaan benda uji ditekan dengan penetrator intan berbentuk piramida.
Dasar piramida berbentuk bujur sangkar dan sudut antara dua bidang miring yang
berhadapan 136. Sudut ini dipilih, karena nilai tersebut mendekati sebagian besar
nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan diameter bola
penumbuk pada uji kekerasan Brinell. Karena bentuk penumbuknya piramid,
maka pengujian ini sering dinamakan uji kekerasan piramidsa intan. Angka
kekerasan piramida intan (DPH), atau angka kekerasan Vickers (VHN atau VPH),
didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas
ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak. DPH dapat
ditentukan dari persamaan berikut:
HVN
2 1,854P ..................................................................(2.6)
2PSin
d2
d2
22
23
dicapai, suatu indikasi terlihat pada alat, yang mengikuti pergerakan indentor dan
demikian bereaksi terhadap perubahan kedalaman penetrasi oleh indentor, ini
merupakan angka posisi pertama. Beban kedua atau beban utama ditambahkan
tanpa menghilangkan beban awal, sehingga akan meningkatkan kedalaman
penetrasi. Saat keseimbangan kembali tercapai, beban utama dihilangkan tetapi
beban awal masih tetap diberikan. Dengan hilangnya beban utama maka akan
terjadi recovery parsial dan terjadi pengurangan jejak kedalaman. Peningkatan
kedalaman penetrasi akhir sebagai hasil aplikasi ini dan kehilangan beban utama
digunakan untuk menentukan nilai kekerasan Rockwell [Djaprie, 1992].
HR = E e ...............................................................................................(2.7)
Dimana : F0 = beban awal minor (kgf)
F1 = beban tambahan utama (kgf)
F = beban total (kgf)
e = peningkatan kedalaman akhir dari penetrasi dimana
E = konstanta yang bergantung pada indentor,
HR = angka kekerasan Rockwell
(b)
(a)
(c)
Indenter
F0
F1
Diamond cone
1/16" steel ball
kgf
10
10
kgf
50
90
kgf
60
100
Value of
E
100
130
24
C
D
E
F
G
H
K
L
M
P
R
S
V
Diamond cone
Diamond cone
1/8" steel ball
1/16" steel ball
1/16" steel ball
1/8" steel ball
1/8" steel ball
1/4" steel ball
1/4" steel ball
1/4" steel ball
1/2" steel ball
1/2" steel ball
1/2" steel ball
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
140
90
90
50
140
50
140
50
90
140
50
90
140
150
100
100
60
150
60
150
60
100
150
60
100
150
100
100
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130
25
BAB III
METODE PERCOBAAN
Masukkan
Quenching
air
Quenching
oli
Non Treatment
Mengamplas Bahan
Uji
Menguji kekerasan di
3
Titik dengan
Menggunakan Rockwell
Data
Pengamatan
Pembahasan
Kesimpulan
Literatur
26
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temperatur
AISI
1045
AISI
1045
AISI
1045
850C
850C
15
Treatment
menit
dengan
Heat
36 HRC
menit
dengan
Treatment
43,2 HRC
media Air
40.8 HRC
Tidak
67,2 HRB
mengalami
Heat
treatment
Hardness
VHN
67,8 HRB
media Oli
15
Average
67,8 HRB
40 HRC
67,73
HRB
126
392
122,3
68,2 HRB
4.2 Pembahasan
Diagram TTT atau Isothermal Transformation Diagram (I-T diagram)
merupakan sebuah diagram yang menghubungkan transformasi austenite terhadap
waktu (dalam skala log) dan temperatur. Dalam proses laku panas pada baja,
biasanya pemanasan dilakukan hingga mencapai temperatur austenite, kemudian
ditahan pada temperatur tersebut beberapa saat lalu didinginkan dengan laju
pendinginan tertentu. Struktur mikro yang terjadi setelah pendinginan akan
tergantung pada laju pendinginan. Karenanya sifat mekanik dari baja setelah akhir
28
suatu proses laku panas akan banyak ditentukan oleh laju pendinginan. Proses
transformasi ini dibaca dengan diagram TTT karena kondisi tidak setimbang.
Setiap baja (komposisi penyusun baja yang berlainan) akan mempunyai I-T
diagram sendiri.
Kurva diagram TTT pada gambar 4.1 menunjukkan saat mulainya
transformasi isothermal dan kurva sebelah kanan menunjukkan saat selesainya
transformasi isothermal. Diatas garis A1 austenit dalam keadaan stabil (tidak
terjadi transformasi walaupun waktu penahannya bertambah). Di bawah
temperatur kritis A1 pada daerah di sebelah kiri kurva awal transformasi austenite
tidak stabil (suatu saat ia akan bertransformasi) dan disebelah kanan kurva akhir
transformasi terdapat hasil transformasi isothermal dari austenite, sedang pada
daerah diantara dua kurva tersebut terdapat sisa austenite (yang belum
bertransformasi) dan hasil transformasi isotermalnya. Titik paling kiri dari kurva
awal transformasi disebut hidung (nose) diagram ini. transformasi austenite diatas
nose akan menghasilkan perlit sedangkan di bawah nose akan menghasilkan
bainit. Tetapi bila transformasi berlangsung pada temperature yang lebih rendah
lagi (dibawah garis Ms = Martensite start) akan diperoleh martensit.
Karena austenit kaya akan karbon sedang ferrit sebaliknya maka karbon yang
terperangkap secara difusi akan keluar membentuk sementit pada arah bidang
kristallografi tertentu dari sementit yang terbentuk, struktur ini disebut martensit.
Cara pembentukan martensit dilakukan dengan memanaskan baja sampai
temperatur austenit kemudian didinginkan dengan cepat sampai diatas hidung
diagram TTT dan diatas garis Ms, serta dibiarkan pada temperatur tersebut sampai
transformasi selesai.
Transformasi
dari
austenit
menjadi
martensite
berlangsung
dengan
29
perubahan. Semakin tinggi kadar karbon (dalam range baja hipoeutektoid) maka
jumlah martensitnya akan semakin banyak dibandingkan dengan perlit.
Mekanisme pembentukan martensit bisa langsung dilihat dari diagram
dibawah ini.
30
Dari hasil pengamatan dan dari grafik diatas dapat diliahat bahwa pada
material AISI 1045 dengan Quenching air memiliki nilai kekerasan maksimum
dan nilai material AISI 1045 tanpa perlakuan memiliki kekerasan terendah.
Dua benda uji dari material AISI 1045 yang telah dimasukan kedalam tube
furnance kemudian dilakukan perlakuan yang berbeda. Quenching dilakukan
untuk mendinginkan material yang mengalami pemanasan. Terdapat dua media
quenching yang dilakukan yaitu, air dan oli. Berdasarkan keduaa media tersebut
diketahui tingkat laju pendinginan secara berurutan adalah sebagai berikut, air
dan oli. Hal tersbut dapat terjadi karena pada zat cair, faktor yang mempengaruhi
laju pendinginan adalah kerapatan dan kekentalan dari cairan tersebut. Semakin
rapat maka tingkat kelajuan semakin tinggi. Semakin kental maka tingkat kelajuan
semakin rendah. Air memiliki kerapatan yang lebih tinggi dan tingkat kekentalan
yang lebih rendah dibandingkan oli.
Berdasarkan teori struktur mikro yang terbentuk berdasarkan perlakuan dari
masing-masing quenching menghasilkan struktur mikro yang berbeda-beda. Pada
media air menhasilkan struktur mikro martensit, media oli martensit, udara ferrit
dan non treatment menghasilkan struktur mikro berupa pearlit dan ferrit.
Sifak mekanik yang terbentuk dari ketiga perlakuan berdasarkan pengujian
dengan menggunakan mesin uji kekerasan rockwell dapat diketahui nilai
kekerasan material. Dengan perlakuan quenching air sebesar 392 VHN, oli
sebesar 126 VHN, dan non treatment sebesar 122,3 VHN. Berdasarkan nilai
kekerasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai kekerasan tersebut sesuai
dengan teori pembentukan struktur mikro, bahwa quenching air memiliki struktur
mikro martensit, dan memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan kedua
media lainnya.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disimpulkan dari percobaan Perlakuan Panas dan Uji
Kekerasan ini adalah :
1.
2.
VHN, Quenching oli sebesar 126 VHN dan Non HT sebesar 122,3 VHN.
Baja dengan Quenching air mamiliki nilai
kekerasan terbesar dan tanpa perlakuan memiliki nilai kekerasan
terrendah. Hal tersebut sesuai dengan teori.
5.2 Saran
Adapun saran agar percobaan selanjutnya lebih baik adalah sebagai berikut :
1. Proses pengambilan sempel dari tube furnace dilakukan dengan cepat
agar proses Quenching dapat berjalan baik.
2. Proses pengujian kekerasan dengan mesin uji kekerasan dilakukan dengan
akurat, dimana jarum penunjuk tepat diangka yang diperintahkan.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN A
CONTOH PERHITUNGAN
34
Contoh Perhitungan
1. Baja Aisi 1045 (Quenching Oli) = (67,8 + 66,5+73,9) : 3 = 69,4 HRB
2. Baja Aisi 1045 (Quencing Air)
= (36+43,2+40,8) : 3 = 40 HRC
= 69,4
X1
= 66,7
X2
= 71,2
Y1
= 120
Y2
= 130
126 = y
Jadi 126 VHN
2. Bahan uji quenching Air
Kekerasan rata-rata = (36+43,2+40,8) / 3
= 40 HRC
Konversi menjadi vickers
X
= 40
X1
= 39,8
X2
= 40,8
Y1
= 390
Y2
= 400
392 = y
35
= 67,73
X1
= 66,7
X2
= 71,2
Y1
= 120
Y2
= 130
122,3= y
Jadi 122,3 VHN
36
LAMPIRAN B
JAWABAN PERTANYAAN DAN TUGAS KHUSUS
37
5.
Jawaban :
1. Diagram TTT
Diagram TTT
Diagram TTT (Time, Temperature, dan Transformation) adalah sebuah
gambaran dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma untuk baja paduan
dengan komposisi tertentu. Diagram ini biasanya digunakan untuk menentukan
kapan transformasi mulai dan berakhir pada perlakuan panas yang isothermal
(temperatur konstan) sebelum menjadi campuran Austenit. Ketika Austenit
didinginkan secara perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis,
struktur yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu
transformasi Perlit akan semakin menurun. Struktur mikro dari materialnya
38
pada
saat
suhu
yang
dibutuhkan
tercapai.
39
40
secara cepat baja tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada
kecepatan pendingin yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja. Pada
waktu pendinginan yang cepat pada fase austenit tidak sempat berubah menjadi
ferit atau perlit karena tidak ada kesempatan bagi atom-atom karbon yang telah
larut dalam austenit untuk mengadakan pergerakan difusi dan bentuk sementitoleh
karena itu terjadi fase, lalu yang mertensit, ini berupa fase yang sangat keras dan
bergantung pada keadaan karbon. Fasa mikrostruktur yang terbentuk adalah
austenit.
3. Tipe Pengujian Kekerasan secara Indentasi (Penjajakan/Penekanan):
Tipe pengujian kekerasan material/logam ini adalah dengan mengukur tahanan
plastis dari permukaan suatu material komponen konstruksi mesin dengan
spesimen standar terhadap penetrator. Adapun beberapa bentuk penetrator atau
cara pegetesan ketahanan permukaan yang dikenal adalah :
1) Ball indentation test (Brinell)
Pengujian kekerasan dengan metode brinell bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment).
Idealnya, pengujian brinell diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan
Brinnel sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut maka disarankan
menggunakan metode pengujian rockwell ataupun vickers. Angka Kekerasan
brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam
Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas
luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (Bola baja)
biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida
Tungsten. Jika diameter Identor 10 mm maka beban yang digunakan (pada
mesin uji) adalah 3000 N sedang jika diameter Identornya 5 mm maka beban
yang digunakan (pada mesin uji) adalah 750 N. Diameter bola dengan gaya
yang di berikan mempunyai ketentuan, yaitu:
1. Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang di berikan terlalu
kecil maka akan mengakibatkan bekas lekukan (jejak) yang terjadi
41
Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang di berikan terlalu
besar makan dapat mengakibatkan diameter bola pada benda yang
di uji besar (jejaknya bola)sehingga mengakibatkan harga
kekerasannya menjadi salah.
42
keseimbangan kembali
tercapai, beban utama dihilangkan tetapi beban awal masih tetap diberikan.
Dengan hilangnya beban utama maka akan terjadi recovery parsial dan terjadi
pengurangan jejak kedalaman. Peningkatan kedalaman penetrasi akhir sebagai
hasil aplikasi ini dan kehilangan beban utama digunakan untuk menentukan
nilai kekerasan Rockwell [Djaprie, 1992].
4.
Rekristalisasi
terjadi
melalui
43
a
a.
b.
c.
Pearlite Cementite jauh lebih keras tetapi lebih rapuh dari ferrite. Oleh
karena itu peningkatan fraksi Fe3C akan membuat bahan yang dihasilkan lebih
keras dan kuat. Ketika Fe3C rapuh, terjadi peningkatan isi kandungan, namun
menurunkan keuletan material. Ketebalan lapisan penting untuk sifat mekanis
material. Pearlite halus lebih keras dan lebih kuat dari pearlite kasar.
Pearlite kasar lebih ulet dari pearlite halus, karena pembatasan yang lebih besar
terhadap deformasi plastik dari pearlite halus.
b.
Baja bainitic memiliki struktur lebih halus sehingga lebih kuat dan lebih
keras dari pearlitic. Memiliki kekuatan dan keuletan yang cukup baik.
c.
Baja paduan paling keras dan kuat serta bentuk yang paling rapuh.
logam. Kemudian
dua
organisasi
Standard
44
Amerika, ASTM (American Society For Testing & Metal) dan SAE (Society of
Automotive Engineers) mengembangkan sebuah standard untuk logam yaitu
UNS (The Unified Numbering System).
a) AISI/SAE Steel Designation System
SAE (Society of Automotive Engineers) menetapkan standard baja yaitu
SAE steel grades. Ini terdiri dari empat digit yang menjadi repsrenstasi
komposisi kimia. AISI memakai standard dengan system penomoran yang
sama dengan SAE, namun menambahkan huruf untuk menujukan proses
pembuatan baja. Sebagai contoh prefix C untuk open hearth furnace, basic
oxygen furnace (BOF) dan E untuk electric arc furnace.
Sistem penomoran AISI/SAE:
45
AISI/SAE
Tipe
1XXX
Carbon steels
2XXX
Nickel steels
3XXX
Nickel-chromium steels
4XXX
Molybdenum steels
5XXX
Chromium steels
6XXX
Chromium-vanadium steels
7XXX
Tungsten steels
Nickel-chromium-vanadium
8XXX
steels
9XXX
Silicon-manganese steels
46
47
screwdrivers.
- 0,50 % - 0,60 % C : hammers dan sledges.
3) Baja karbon tinggi (high carbon steel) kandungan karbon sekitar 0.7%1.3%. Sifatnya sulit dibengkokkan, dilas dan dipotong.
Penggunaan :
- screw drivers, blacksmiths hummers, tables knives, screws, hammers,
vise jaws, knives, drills. tools for turning brass and wood, reamers, tools
for turning hard metals, saws for cutting steel, wire drawing dies, fine
cutters.
3. Gambarkan dan jelaskan diagram fasa Fe-Fe3C.
Diagram Fe-Fe3C yaitu diagram yang menampilkan hubungan antara
temperatur dan kandungan karbon (%C) selama pemanasan lambat. Dari
diagram fasa tersebut dapat diperoleh hasil yaitu berupa informasi penting
yaitu antara lain:
1. Fasa yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan
pendinginan lambat.
2. Temperatur pembekuan dan daerah-daerah pembekuan paduan Fe -C bila
dilakukan pendinginan lambat.
3.Temperatur cair dari masing-masing paduan.
4.Batas-batas kelarutan atau batas kesetimbangan dari unsur karbon fasa
tertentu.
5.Reaksi-reaksi metalurgis yang terjadi.
Besi merupakan salah satu logam yang memiliki sifat allotropi. Sifat
allotropi yang dimiliki besi sendiri ada 3, yaitu :
Delta iron () mampu melarutkan karbon max 0,1% pada 1500 C
Gamma iron () mampu melarutkan karbon max 2 % pada 1130 C
Alpha iron () mampu melarutkan karbon max 0,025% pada 723 C
Transformasi allotropik yang pada besi, Fe() Fe() Fe() terjadi
secara difusi sehingga membutuhkan waktu tertentu pada temperatur konstan
karena reaksi mengeluarkan panas laten.
48
49
Reaksi-reaksi
yang
terjadi
pada
diagram
Fe
Fe3C
50
S S1 + S2
+ Fe3C (pearlite)
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT DAN BAHAN
51
52
LAMPIRAN D
BLANKO PERCOBAAN
53