Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perlakuan panas adalah suatu proses pemanasan dan pendinginan logam
dalam keadaan padat dengan tujuan untuk mengubah sifat-sifat mekanik dan
struktur mikro dari logam tersebut. Perlakuan panas hampir dilakukan pada
material yang akan dilakukan pengerjaan lanjut, dengan kata lain perlakuan panas
menyiapkan material setengah jadi untuk dilakukan pengerjaan selanjutnya.
Kegunaan dari baja sangat tergantung pada sifat - sifatnya yang sangat bervariasi.
Sifat mekanik dari baja sangat tergantung pada struktur mikronya. Sedangkan
struktur mikro sendiri sangat mudah diubah melalui proses perlakuan panas.
Proses pengerasan pada baja dilakukan dengan memanaskan baja sampai ke
temperatur austenisasi dan menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka
waktu tertentu dan kemudian didinginkan dengan laju pendinginan yang sangat
tinggi agar diperoleh sifat baja yang diinginkan Pada perlakuan panas akan terjadi
distorsi atau perubahan dimensi yang seharusnya tidak boleh terjadi terutama
untuk komponen-komponen permesinan yang mempunyai presisi atau toleransi
yang tinggi seperti dies dan roda gigi. Namun karena tidak dapat dihindari harus
diupayakan agar distorsi yang terjadi sekecil mungkin.
Distorsi dalam proses perlakuan panas baja dapat timbul antara lain karena
adanya perubahan volume yang tidak seragam pada saat proses pencelupan benda
kerja, dapat juga disebabkan karena adanya gradien tamperatur pada benda kerja
yang menyimpan tegangan sisa. Pada saat pencelupan, untuk suatu benda kerja
ada berbagai posisi pencelupan yang dapat dilakukan. Tiap posisi pencelupan ini
dapat menimbulkan distorsi yang berbeda beda pada baja.

1.2 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan Perlakuan Panas dan Uji Kekerasan ini adalah untuk
mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap perubahan sifat mekanik
(kekerasan) logam sebagai ukuran ketahanan beban terhadap deformasi plastis.
Nilai kekerasan disini dinyatakan dalam kekerasan Rockwell (HR).
1.3 Batasan masalah
Adapun pembatasan masalah pada Perlakuan Panas dan Uji Kekerasan ini
adalah

pengujian

dilakukan

di

Laboratorium

Metalurgi

FT.UNTIRTA.

Berdasarkan dua variabel bebas dan terikat, pengujian ini terdiri beberapa batasan.
Variabel terikat pengujian dilakukan pada 3 bahan uji yang berbeda perlakuan,
pengujian dilakukan pada suhu 850oC, bahan uji yang digunakan adalah baja AISI
1045 dan pengujian dilakukan pada 2 titik. Dan veirabel bebas dari pengujian
adalah waktu pendinginan bahan uji dan media pendingin bahan uji.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan ini dibuat dengan maksud memberikan
gambaran secara garis besar dari setiap bab dalam laporan ini. Bab I menjelaskan
mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, dan
sistemaika penulisan. Bab II menjelaskan mengenai teori-teori yang mendukung
penelitian. Bab III berisikan kerangka metode percobaan dengan menggunakan
diagram alir percobaan, alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, serta
prosedur percobaan. Bab IV berisikan tentang hasil-hasil penelitian, serta
pembahasannya. Bab V mengemukakan beberapa kesimpulan dari pembahasan
dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perlakuan Panas


Logam mempunyai beberapa sifat antara lain sifat fisis, kimia, dan mekanik.
Sifat fisis yang dimiliki logam antara lain adalah konduktivitas panas dan
konduktor terhadap listrik. Contoh dari sifat kimia yang dimiliki logam adalah
sifat korosif logam. Dan sifat-sifat mekanik yang dimiliki oleh logam antara lain
kekuatan, kekerasan, ketangguhan, keuletan, mampu bentuk, dan mampu las.
Sifat-sifat mekanik tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
komposisi kimia, perlakuan yang diberikan, dan struktur butirnya.
Perlakuan panas adalah proses pada saat bahan dipanaskan hingga suhu
tertentu kemudian didinginkan dengan cara tertentu pula. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan sifat bahan yang lebih baik dan yang diinginkan sesuai dengan
batas-batas kemampuannya. Perlakuan panas adalah suatu operasi yang penting
dalam proses fabrikasi akhir suatu komponen dalam kebanyakan komponen
teknik. Hanya dengan perlakuan panas akan diperoleh sifat mekanik yang tinggi
pada komponen baja atau perkakas sehingga usia pakai komponen maupun
perkakas tersebut akan lebih lama.
Perlakuan panas didefinisikan sebagai usaha mengubah sifat mekanik suatu
material (baja) sehingga akan sesuai dengan performansi design yang diharapkan,
dengan cara melakukan pemanasan pada temperatur tertentu, menahanya selama
waktu tertentu kemudian mendinginkan dengan kecepatan tertentu. Sifat yang
berhubungan dengan maksud dan tujuan perlakuan panas tersebut meliputi
meningkatnya kekuatan dan kekerasan, mengurangkan tegangan, melunakkan,
mengembalikan pada kondisi normal akibat pengaruh pengerjaan sebelumnya dan
menghaluskan butir kristal yang akan berpengaruh terhadap keuletan bahan, serta
beberapa maksud yang lain.
Adanya transformasi fasa dan perubahan struktur yang terjadi selama
perlakuan panas dapat mengakibatkan perubahan sifat pada logam tersebut.
Perlakuan panas dapat mengatur mikro struktur sehingga sifat mekanisnya pun

dapat diprediksi. Perlakuan panas dapat mengoptimalkan keuletan maupun


kekuatan logam (baja).
Faktor penting yang menjadi dasar perlakuan panas, antara lain:
1.

Transformasi fasa selama pemanasan.

2.
3.

Pengaruh laju pendinginan pada perubahan struktur slama pendinginan.


Pengaruh kadar karbon dan elemen paduan.

Besi dikenal sebagai satu logam yang memiliki sifat allotropi, memiliki
bentuk lattice yang berbeda, besi memiliki tiga macam modifikasi allotropi.

Time

Gambar 2.1 Kurva pendinginan pada besi murni


Pada Gambar 2.1 menunjukan kurva pendinginan besi murni cair yang
didinginkan akan mulai membeku pada 1535 C menjadi besi delta () dengan
struktur BCC. Pada 1400 C akan mengalami transformasi menjadi besi gamma
() struktur FCC. Besi gamma ini tetap stabil sampai temperatur 910 0C, dimana
terjadi transformasi lagi menjadi besi alpha non magnetik () yang berstuktur
BCC. Pada pendinginan selanjutnya sudah tidak ada lagi perubahan transformasi
fasa. Pada 768 0C terjadi perubahan menjadi besi alpha non magnetik menjadi
alpha magnetik, tetapi tidak terjadi perubahan pada struktur kristal.
Setiap proses transformasi selalu mengalami penghentian penurunan
temperatur yang ditandai oleh garis mendatar, yang menunjukan proses
berlangsung secara isothermal. Tiap bentuk allotropi besi mempunyai kemampuan
melarutkan karbon yang berbeda-beda.

1.

Besi delta mampu melarutkan karbon sampai maksimum 0.10 % pada


1500 C

2.

Besi gamma mampu melarutkan karbon sampai maksimum 2.0 %


pada 1130 OC

3.

Besi alpha mampu melarutkan karbon sampai maksimum 0.025 %


pada 723 OC

Untuk mempelajari laku panas maka terlebih dahulu harus mempelajari


karakteristik baja selama proses transformasi selama pemanasan maupun
pendinginan, seperti pada gambar 2.2, karena hal ini dapat dilakukan untuk
memprediksi struktur mikro apa yang terbentuk.

Gambar 2.2 Diagram fasa besi - karbon untuk baja


2.2 Transformasi Fasa Pada Saat Pemanasan
Transformasi fasa pada saat pemanasan dipengaruhi oleh pengaturan
temperatur pemanasan dan unsur paduan yang terkandung dalam baja. Pada
temperatur kamar, baja hipoeutektoid terdiri dari butir kristal ferit dan perlit, bila

pemanasan mencapai garis A1 maka perlit akan mengalami reaksi eutektoid secara
isothermal, reaksinya yaitu:
Ferit + Fe3C

Austenit ...............................................................(1)

Dimana lamel-lamel ferrit dan sementit dari perlit akan bereaksi membentuk
austenit. Temperatur tidak akan mengalami kenaikan bila perlit belum habis,
setelah habis kenaikan temperatur akan terjadi dan ferrit proeutektoid akan
mengalami transformasi allotropi ferit yang BCC akan menjadi austenit yang
FCC.
Bila pemanasan mencapai temperatur A1 maka akan terjadi reaksi eutektoid
seperti baja hipoeutektoid yaitu ferit dan sementit pada perlit akan bereaksi
membentuk austenit. Pada temperatur A1 austenit mengandung 0.8% C, sisanya
berada pada sementit, jika temperatur dinaikan diatas A1, maka kemampuan
austenit melarutkan karbon juga akan naik, sehingga karbon yang tadinya berada
pada sementit sedikit demi sedikit mulai larut ke dalam austenit, jaringan austenit
lama kelamaan akan menipis dan akhirnya akan habis, struktur seluruhnya sudah
menjadi austenit.
Austenit yang terbentuk belum homogen, dimana pada baja hipoeutektoid
austenit dari perlit mengandung 0,8%C sedang yang berasal dari ferit kadar
karbon jauh lebih sedikit. Pada baja hipereutektoid austenit awalnya mengandung
0,8%C dari perlit, namun akan bertambah dari karbon yang larut dari jaringan
sementit yang berada di sekitar austenit.
2.3 Transformasi Fasa Pada Saat Pendinginan
Dalam suatu proses laku panas, setelah mencapai temperatur austenit dan
ditahan pada temperatur tersebut secukupnya maka selanjutnya dilakukan
pendinginan dengan laju pendinginan tertentu.
Struktur mikro yang terjadi setelah pendinginan akan tergantung pada laju
pendinginan. Sehingga akan dapat diprediksi sifat mekanik apa yang diharapkan.
Transformasi fasa pada saat pendinginan memegang peranan penting terhadap
sifat baja yang dikenal suatu proses laku panas. Austenit dari baja hipoeutektoid
bila didinginkan dengan lambat, pada temperatur kritis A3 mulai membentuk inti

kristal ferit yang tumbuh pada batas butir kristal austenit. Transformasi ini terjadi
karena austenit mengalami perubahan allotropi dari besi gamma menjadi besi
alpha. Karena ferit hanya dapat melarutkan karbon dalam jumlah sedikit maka
kandungan karbon dalam austenit akan semakin besar bila ferit yang tumbuh
makin banyak (ditandai dengan turunnya temperatur), besarnya kandungan karbon
dalam austenit dengan menurunnya temperatur mengikuti garis A3, sehingga pada
temperatur mencapai titik A1 komposisi sisa austenit sama dengan komposisi
eutektoid dan selanjutnya austenit akan bertransformasi menjadi perlit.
2.4 Diagram Fasa Fe-C
Proses pemanasan biasanya dilakukan sampai temperatur austenit dimana
austenit merupakan fasa yang tidak stabil sehingga akan mengalami transformasi
selama proses pendinginan, pemberian waktu tahan (holding time) bertujuan
untuk

memberikan

menghomogenkan

kesempatan
austenit.

atom-atom

Pendinginan

untuk

akan

berdifusi

menyebabkan

sehingga
austenit

bertransformasi dan struktur mikro yang terbentuk akan sangat tergantung dari
laju pendinginan.

Gambar 2.3 Diagram Fasa Besi-Karbon


Gambar 2.3 menunjukkan diagram keseimbangan besi-karbon sebagai dasar
dari bahan yang berupa besi baja. Selain karbon pada besi dan baja terkandung
kira-kira 0,25% Si, 0,3-1,5% Mn dan unsur pengotor lain sebagainya. Karena
unsur-unsur ini tidak memberikan pengaruh utama kepada diagram fasa, maka

diagram fasa tersebut dapat dipergunakan tanpa menghiraukan adanya unsurunsur tersebut. Selama pemanasan, besi murni mengalami perubahan dua struktur
kristal sebelum mencair. Pada temperatur ruang terbentuk fasa yang stabil yaitu
ferrite, atau besi yang memiliki struktur kristal BCC.
Pada temperatur 912C, ferrite mengalami transformasi struktur kristal
menjadi FCC yang disebut austenite, atau besi . Austenit akan berlangsung lama
hingga temperatur 1394C dan pada temperatur ini austenite mengalami
perubahan struktur fasa dari FCC kembali menjadi struktur fasa BCC yang
disebut fasa ferrite, yang akhirnya mencair pada temperatur 1538C [Callister,
2007].
Baja yang mengandung 0,4% C, pada temperatur 1500C mulai terjadi
pemadatan. Pada temperatur 1450C pemadatan berakhir, baja membeku atau
padat seluruhnya. Struktur austenit yang seragam (struktur BCC, karbon dalam
keadaan padat di antara larutan padat besi ). Di bawah temperatur tersebut hingga
temperatur 900C tidak terjadi perubahan struktur. Pada 800C atau pada suhu
kritis atas, austenite mulai berubah menjadi ferrite (struktur besi BCC, secara
praktis tidak ada tempat untuk karbon besi ). Pada waktu temperatur turun
hingga 723C karbon semakin meresap pada austenit yang masih ada. Pada
temperatur 723C telah banyak austenite yang berubah menjadi ferrite sehingga
sejumlah karbon dalam austenite dapat mencapai 0,83%. Ketika temperatur
mencapai sedikit di bawah 723C atau pada temperatur kritis bawah, sisa austenit
mengandung 0,83% C, berubah bentuk menjadi eutektoid sebagai lapisan-lapisan
ferrite (0,03% C) dan sementit (Fe3C) mengandung 6,9% C. Komposisi eutektoid
yang terdiri atas lapisan-lapisan ferrit dan sementit disebut pearlite. Sampai baja
menjadi dingin pada suhu kamar, tidak ada perubahan lagi yang terjadi pada
strukturnya.
2.5 Jenis-Jenis Perlakuan Panas
Secara garis besarnya proses perlakuan panas terbagi dalam dua kondisi,
antara lain kondisi equilibrium dan kondisi non equilibrium.

2.5.1 Panas Pada Kondisi Equilibrium


Laku panas yang terjadi pada kondisi equilibrium akan menghasilkan
struktur mikro yang mendekati diagram fasanya. Laku panas pada kondisi
equilibrium bertujuan untuk menghilangkan internal stress, meningkatkan
keuletan (ductility). menghaluskan butir kristal, memperbaiki machinability,
dan memperbaiki sifat kelistrikan. Laku panas kondisi ini masih mengacu
pada diagram Fe-C.
Pada kondisi equilibrium perlakuan panas terdiri dari beberapa jenis
antara lain :
1. Annealing
Annealing adalah perlakuan panas yang umumnya diterapkan kepada
paduan logam yang telah mengalami pengerjaan dingin dengan tujuan
untuk melunakkan kembali paduan logam dari keadaan pengerasan
regangan (strain hardening). Prinsip annealing adalah memanaskan
baja sampai suhu tertentu (suhu annealing), yaitu pada temperatur
austenisasinya, kemudian menahannya sampai waktu tertentu kemudian
didinginkan dengan lambat. Tujuan utama proses annealing adalah
meningkatkan keuletan, menghaluskan butir kristal, dan menghilangkan
internal stress.
2. Full Annealing
Tujuan dari proses full annealing :
a.
b.
c.
d.

Melunakkan
Menghilangkan tegangan sisa
Merubah sifat mekanis
Mendapatkan struktur mikro homogen

Baja yang telah mengalami deformasi dingin dipanaskan sedikit di


atas Ac3 untuk baja hipoeutektoid atau di atas Ac1 untuk baja
hipereutektoid. Kemudian didinginkan dengan kecepatan pendinginan
lambat (dalam furnace). Untuk baja hipereutektoid adalah bila
dipanaskan di atas Ac1 (daerah g), saat pendinginan lambat terjadi
pengendapan Fe3C pada batas butir g. Maka akan terbentuk brittle
carbide network dan mudah patah.

10

Gambar 2.4 Mekanisme Transformasi Fasa pada Full Annealling


3. Spheroidize Annealing
Struktur micro spheroidize yaitu struktur mikro dimana sementit
(Fe3C) berada dalam morfologi membulat bukan dalam bentuk plat.
Dengan stuktur bulat akan dihasilkan baja dengan ductility
maksimum dan hardness minimum untuk baja karbon rendah atau
medium. Untuk baja karbon tinggi menghasilkan machinability
maksimum
Proses spheroidisasi dikontrol oleh difusi karbon di dalam matriks
ferit. Harga koefisien difusi memiliki hubungan eksponensial terhadap
temperatur, makin tinggi temperatur maka harga koefisien difusi
meningkat semakin cepat sehingga fluks atom karbon juga meningkat.
Ini mengakibatkan untuk waktu yang sama maka ukuran partikel
sementit bulat akan semakin besar untuk temperatur yang semakin
tinggi.

11

Gambar 2.5 Mekanisme Transformasi Fasa pada Spheroidize Annealing


4. Stress-Relief Annealing
Tegangan sisa akan tersimpan di dalam logam yang mengalami
proses pengerjaan dingin.
Stress-relief erat kaitannya dengan fenomena recovery.

Gambar 2.6 Mekanisme Stress-Relief Annealing

12

5. Recrystallization Annealing
Proses ini digunakan setelah pengerjaan dingin (proses akhir).
Hasil perlakuan ini akan diperoleh baja dengan bentuk yang telah
berubah (menjadi pelat), tetapi sifatnya telah kembali (tidak brittle).

Pendinginan
udara

Gambar 2.7 Mekanisme Recrystallization Annealing


6. Normalizing
Proses normalizing bertujuan untuk mengeliminasi struktur butiran
yang

kasar

akibat

pembentukan,

untuk

memodifikasi

dan

meningkatkan struktur dendrite cor-coran serta mengurangi segregasi


dengan homogenising mikrostruktur, untuk mendapatkan mikro
struktur dan sifat mekanik yang diinginkan, dan meningkatkan
machinability pada baja karbon rendah
Normalizing pada umumnya menghasilkan struktur yang halus,
sehinga baja dengan komposisi kimia yang sama akan memiliki yield
strength, UTS, kekerasan, dan impact strength akan lebih tinggi dari
pada hasil full annealling. Normalizing dapat juga menghomogenkan
struktur mikro sehingga dapat memberi hasil yang bagus dalam proses
hardening, sehingga ummnya sebelum di-hardening baja harus dinormalizing terlebih dahulu.

13

Pada normalizing pemanasan sebaiknya tidak terlalu tinggi karena


butir kristal austenit yang terjadi akan terlalu besar, sehingga pada
pendinginan cepat ferit proeutektoid akan membentuk struktur
widmanstaten yang berupa pelat-pelat ferrit yang sejajar, yang tumbuh
didalam butir kristal austenit kasar yang akan menurunkan keuletan
atau ketangguhan suatu baja. Pada pendinginan yang agak cepat inti
ferrit proeutektoid tidak tumbuh secara normal menjadi butir-butir
kristal, tetapi akan tumbuh dengan cepat membentuk ferrit berupa
pelat ke arah bidang kristalografi tertentu didalam butir austenit.
2.5.2 Panas Pada Kondisi Non Equilibrium
Hardenability adalah contoh dari cara perlakuan panas pada kondisi
non equilibrium. Hardenability yaitu sifat suatu baja yang menggambarkan
mudah tidaknya suatu baja untuk dikeraskan dengan pembentukan martensit,
hingga mencapai kekerasan

tertentu pada kedalaman tertentu. Pentingnya

hardenability yaitu untuk menentukan laju pendinginan atau media kuens yang
digunakan, memberi informasi kekerasan maksimal yang diperoleh dari baja
pada kulit atau inti pada komoposisi kimia, ukuran sampel, dan jenis media
kuens, menentukan besarnya distribusi dan kedalaman kekerasan, data
hardenability dapat untuk memprediksi pembentukan tegangan tekan dan
tegangan sisa setelah kuens pada bantalan maupun baja tahan lelah.
Hardenability berpengaruh pada kecenderungan retak setelah pengelasan
komponen baja. Suatu baja dengan komposisi kimia sama dan austenit grain
size yang sama bila mengalami pendinginan dengan laju pendinginan yang
sama akan memiliki kekerasan yang sama dan struktunya juga sama, tidak
tergantung pada bentuk dan ukuran benda kerja serta kondisi pendinginan.
2.6

Pengerasan Baja (Sepuh Keras dan Quenching)


Pengerasan baja disebut juga penyepuhan (quenching) atau sering dikatakan

dengan menyepuh baja. Menyepuh yang dimaksud disini adalah memanaskan baja
sampai temperatur tertentu, sampai perubahan fasa yang homogen dan dibiarkan

14

beberapa waktu pada temperatur itu, kemudian didinginkan dengan cepat,


sehingga menimbulkan suatu susunan yang keras yaitu sampai terjadi struktur
yang disebut martensit. Baja dengan zat arang (0,05-0,09%) terdiri atas perlit dan
ferrite yang merupakan butir-butir halus. Baja dengan zat arang (0,9-1,7%) terdiri
atas perlit dan sementit yang merupakan kristal besar dan keras sekali, bentuknya
seperti jarum dan butir-butir sangat kasar. Keadaan itu dimiliki oleh baja yang
keluar dari dapur baja setelah dingin. Dalam keadaan inilah baja dikerjakan lebih
lanjut dengan penempa maupun perkakas potong.
2.7

Pengujian Kekerasan
Kekerasan adalah ketahanan material terhadap deformasi plastik yang

diakibatkan tekanan atau goresan dari benda lain [Amir, 2010]. Sebenarnya,
kekerasan memiliki banyak arti, diantaranya kekerasan dapat diartikan sebagai
suatu bahan yang tahan terhadap goresan, ketahanan material terhadap indentasi,
dan ketahanan material terhadap gesekan serta kemampuan suatu logam untuk
menahan penetrasi permanen dengan alat yang lebih keras. Pengujian kekerasan
dengan menggunakan indentasi (jejak) dapat diketahui nilai kekerasannya. Jika
jejaknya besar, maka logam tersebut bersifat lunak dan jika jejaknya kecil, maka
logam tersebut keras dengan asumsi gaya yang diberikan terhadap logam sama.
Lunak atau kerasnya suatu logam yang kita uji dapat diukur dengan indentor.
Pengujian kekerasan dilakukan dengan menekan sebuah indentor ke permukaan
benda uji. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching),
pantulan ataupun ndentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda
uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan
[Gregorious, 2009]:
1. Metode gores
Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan lanjut,
tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan
oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini
berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini
bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana

15

dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi,
sebagaimana dimiliki oleh intan. Prinsip pengujiannya yaitu bila suatu mineral
mampu digores oleh orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh apatite
(no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan
hal ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa
ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineralmineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar
antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar. Dalam skala
Mohs urutan nilai kekerasan material dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai Kekerasan Mineral
Mineral

Scale Number

Talc

Gypsum

Calcite

Fluorite

Apatite

Orthoclase

Quartz

Topaz

Corundum

Diamond

10

2. Metode elastik/pantul (rebound)


Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat
Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan
berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda
uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.
Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat
pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.
3. Metode Indentasi

16

Tipe pengujian kekerasan material/logam ini adalah dengan mengukur


tahanan plastis dari permukaan suatu material komponen konstruksi mesin
dengan spesimen standar terhadap penetrator. Adapun beberapa bentuk
penetrator atau cara pegetesan ketahanan permukaan yang dikenal adalah :
1) Ball indentation test (Brinell)
2) Pyramida indentation (Vickers)
3) Cone indentation test (Rockwell)
4) Uji kekerasan Mikro
2.7.1

Metode Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode brinell bertujuan untuk menentukan

kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment).
Idealnya, pengujian brinell diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan
Brinnel sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut maka disarankan
menggunakan metode pengujian rockwell ataupun vickers. Angka Kekerasan
brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam
Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas
luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (Bola baja)
biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida
Tungsten. Jika diameter Identor 10 mm maka beban yang digunakan (pada
mesin uji) adalah 3000 N sedang jika diameter Identornya 5 mm maka beban
yang digunakan (pada mesin uji) adalah 750 N. Diameter bola dengan gaya
yang di berikan mempunyai ketentuan, yaitu:
1.

Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang di berikan terlalu
kecil maka akan mengakibatkan bekas lekukan (jejak) yang terjadi
akan terlalu kecil dan mengakibatkan sukar diukur sehingga
memberikan informasi yang salah.

2.

Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang di berikan terlalu
besar makan dapat mengakibatkan diameter bola pada benda yang
di uji besar (jejaknya bola)sehingga mengakibatkan harga
kekerasannya menjadi salah.

17

Pengujian kekerasan brinell menggunakan penumbuk (indentor) yang


terbuat dari bola baja yang diperkeras (atau tungsten carbide). Diameter bola
adalah 10 mm, lihat gambar 2.8 dan beban standar antara 500 dan 3000 kg
dengan peningkatan beban 500 kg. Selama pembebanan, beban ditahan 10
sampai 30 detik. Pemilihan beban tergantung dari kekerasan material, semakin
keras material maka beban yang diterapkan juga semakin besar. [Amir, 2010].

Gambar 2.8 Bentuk indentor Brinell (Callister, 2001)


Pengujian kekerasan pada brinell ini biasa disebut BHN (brinell hardness
number).
.........

.............................. (2.1)

Keterangan :
HB : Angka kekerasan brinell
P

: Beban (kg)

: Diameter indentor (mm)

: diameter indentasi yang diukur (mm)


Ketebalan maksimum spesimen sama dengan indentor, sedangkan jarak

antar penjejakan sama dengan pengujian rockwell. Pengujian ini juga


memerlukan permukaan yang datar dan halus. Pada pengujian brinell akan
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
1. Kehalusan permukaan
2. Letak benda uji pada identor
3. Adanya pengotor pada permukaan
2.7.2

Metode Vickers
Vickers adalah hampir sama dengan uji kekerasan brinell hanya saja

dapat mengukur sekitar 400 VHN. Pengujian kekerasan dengan metode vickers

18

bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan


material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 136 yang
ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi
(koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan angka faktor
0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam
milimeter persegi. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil dibanding
dengan pengujian rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai 1000 gram.

Gambar 2.9 Bentuk indentor Vickers (Callister, 2001)


Rumus untuk kekerasan vickers adalah:

HV
HV

2.8

2 P sin
d

........................................................................... 2.2

1,8544 P
d2

............................................................................ 2.3

Kekerasan bahan
Kekerasan suatu bahan adalah peristilahan yang kabur, yang mempunyai

banyak arti tergantung pada pengalaman pihak-pihak yang terlibat. Namun pada
umumnya,

kekerasan menyatakan ketahanan terhadap deformasi, dan untuk

logam dengan sifat tersebut merupakan ukuran ketahanannya terhadap deformasi


plastik atau deformasi permanen. Untuk orang-orang yang berkecimpung dalam
mekanika pengujian bahan, banyak yang mengartikan kekerasan sebagai ukuran
ketahanan terhadap lekukan. Untuk para insinyur perancang, kekerasan sering

19

diartikan sebagai ukuran kemudahan dan kuantitas khusus yang menunjukan


sesuatu mengenai kekuatan dan perlakukan panas dari suatu logam. Terdapat tiga
jenis umum mengenai ukuran kekerasan, yang tergantung pada cara melakukan
pengujian [Koswara, 1999].
1.

Kekerasan goresan (scratch hardness) atau kekerasan mohs.

2. Kekerasan lekukan (indentation hardness) menurut Brinel, Rockwell,


Vicker, dan Mikrohardness Tuken atau Knoop untuk logam.
3. Kekerasan pantulan (rebound hardness) atau kekerasan dinamik (dynamic
hardness). Untuk logam, hanya kekerasan lekukan yang banyak menarik
perhatian dalam kaitannya dengan bidang rekayasa.
Kekerasan goresan merupakan perhatian utama para ahli mineral. Dengan
mengukur kekerasan, berbagai mineral dan bahan-bahan yang lain, disusun
berdasarkan kemampuan goresan yang satu terhadap yang lain. Kekerasan
goresan diukur dengan skala Mohs. Skala ini terdiri dari atas 10 standar mineral
disusun berdasarkan kemampuannya untuk digores. Tabel 2.1 menunjukkan skala
dari kekerasan mohs. Mineral yang paling lunak pada skala ini adalah talk
(kekerasan goresan 1), sedangkan intan mempunyai kekerasan 10. Kuku jari
mempunyai kekerasan sekitar 2, tembaga yang dilunakkan kekerasannya 3, dan
martensit 7. Skala Mohs tidak cocok untuk logam, karena interval skala pada nilai
kekerasan yang tinggi. Logam yang paling keras mempunyai kekerasan pada skala
Mohs, antara 4 sampai 8. Suatu jenis lain pengukuran kekerasan goresannya
adalah mengukur kedalaman atau lebar goresan pada permukaan benda uji yang
dibuat oleh jarum penggores yang terbuat dari intan dan diberi beban yang
terbatas. Cara ini merupakan metode yang sangat berguna untuk mengukur
kekerasan relatif kandungankandungan mikro, tetapi metode ini tidak
memberikan ketelitian yang besar atau kemampu-ulangan yang tinggi.
Pada pengukuran kekerasan dinamik, biasanya penumbuk dijatuhkan ke
permukaan logam dan kekerasan dinyatakan sebagai energi tumbuknya.
Skeleroskop Shore (shore sceleroscope), yang merupakan contoh paling umum
dari suatu alat penguji kekerasan dinamik, mengukur kekerasan yang dinyatakan
dengan tinggi lekukan atau tinggi pantulan [Koswara, 1999].

20

2.9

Kekerasan Brinell
Uji lekukan yang pertama kali banyak digunakan serta disusun pembakuannya

adalah metode yang diajukan oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Uji kekerasan
Brinell berupa pembentukan lekukan pada permukaan logam dengan memakai
bola baja berdiameter 10 mm dan diberi beban 3000 kg. Untuk logam lunak,
beban dikurangi hingga tinggal 500 kg, untuk menghindarkan jejak yang dalam,
dan untuk bahan yang sangat keras, digunakan paduan karbida tungsten, untuk
memperkecil terjadinya distorsi indentor. Beban diterapkan selama selang waktu
tertentu, biasanya 30 detik, dan diameter lekukan diukur dengan mikroskop daya
rendah, setelah beban tersebut dihilangkan. Kemudian dicari harga rata-rata dari 2
buah pengukuran diameter pada jejak yang berarah tegak lurus, permukaan
dimana lekukan akan dibuat harus relatif halus, bebas dari debu atau kerak.Angka
kekerasan Brinell (BHN) dinyatakan sebagai beban P dibagi luas permukaan
lekuakan. Rumus untuk angka kekerasan tersebut adalah:

...............................................................(2.4)

Dimana: P = beban yang diterapkan (kg)


D = diameter bola (mm)
d = diameter lekukan (mm)
t = kedalaman jejak (mm)
Satuan dari BHN adalah kilogram per meter kuadrat. Akan tetapi, BHN tidak
memenuhi konsep fisika, karena rumus diatas tidak melibatkan tekanan rata-rata
pada permukaan lekukan.
Dari persamaan diatas dilihat bahwa d = D sin . Dengan memasukan
harga ini ke dalam persamaan diatas, akan dihasilkan bentuk persamaan kekerasan
Brinell yang lain, yaitu:
..............................................................................(2.5)

21

Untuk mendapatkan BHN yang sama dengan beban atau diameter bola yang
tidak standar, diperlukan keserupaan lekukan secara geometris. Keserupaan
geometris diperoleh, sejauh besar sudut 2 tidak berubah. Tanpa menjaga P/D2
konstan, yang dalam percobaan sering merepotkan maka BHN akan bervariasi
terhadap beban. Pada daerah dengan beban yang beragam, BHN akan mencapai
harga maksimum pada beban menengah. Oleh karena itu, tidak mungkin
menggunakan beban tunggal untuk mencakup seluruh daerah harga kekerasan
yang terdapat pada logam-logam komersial. Jejak yang relatif besar dari pada
kekerasan Brinell memberikan keuntungan dalam membagikan secara pukul rata
ketidakseragaman lokal, selain itu uji Brinell tidak begitu dipengaruhi oleh
goresan dan kekerasan permukaan dibandingkan dengan uji kekerasan yang lain.
Dilain pihak, jejak Brinell yang besar ukurannya, dapat menghalangi pemakaian
uji tersebut untuk benda uji yang kecil, atau pada bagian yang kritis terhadap
tegangan, dimana lekukan yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan (failure).
2.10 Kekerasan Vickers
Permukaan benda uji ditekan dengan penetrator intan berbentuk piramida.
Dasar piramida berbentuk bujur sangkar dan sudut antara dua bidang miring yang
berhadapan 136. Sudut ini dipilih, karena nilai tersebut mendekati sebagian besar
nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan diameter bola
penumbuk pada uji kekerasan Brinell. Karena bentuk penumbuknya piramid,
maka pengujian ini sering dinamakan uji kekerasan piramidsa intan. Angka
kekerasan piramida intan (DPH), atau angka kekerasan Vickers (VHN atau VPH),
didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas
ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak. DPH dapat
ditentukan dari persamaan berikut:

HVN

2 1,854P ..................................................................(2.6)

2PSin
d2

d2

Dimana : P = Beban yang digunakan (kg)


d = Panjang diagonal rata-rata dari bekas penekanan (mm)
= Sudut antara permukaan intan yang berlawanan (136o)

22

Uji kekerasan Vickers banyak dilakukan pada pekerjaan penelitian, karena


metode tersebut memberikan hasil berupa skala kekerasan yang kontinu, untuk
suatu beban tertentu dan digunakan pada logam yang sangat lunak, yakni DPHnya 5 hingga logam yang sangat keras, dengan DPH 1500. Dengan uji kekerasan
Rockwell, yang atau uji kekerasaan Brinell, biasanya diperlukan perubahan beban
atau penumbuk pada nilai kekerasan tertentu, sehingga pengukuran pada suatu
skala kekerasan yang ekstrem tidak bisa dibandingkan dengan skala kekerasan
yang lain. Karena jejak yang dibuat dengan penumbuk piramida serupa secara
geometris dan tidak terdapat persoalan mengenai ukurannya, maka DPH tidak
tergantung kepada beban. Pada umumnya hal ini dipenuhi, kecuali pada beban
yang sangat ringan. Beban yang biasanya digunakan pada uji Vickers berkisar 1
hingga 120 kg, tergantung kepada kekerasan logam yang diuji.
Hal-hal yang menghalangi keuntungan pemakaian metode Vickers adalah: uji
kekerasan Vickers tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin karena pengujian
tersebut lamban; memerlukan persiapan permukaan benda uji yang hati-hati; dan
terdapat pengaruh kesalahan manusia yang besar pada penentuan panjang
diagonal. Ketelitian pengukuran diagonal bekas penekanaan cara Vickers akan
lebih tinggi dari pada pengukuran diameter bekas penekanaan Brinell. Cara
Vickers dapat digunakan untuk material yang sangat keras.
2.11 Kekerasan Rockwell
Uji kekerasan Rockwell ini paling banyak dipergunakan di Amerika Serikat.
Hal ini disebabkan oleh sifatsifatnya yaitu : cepat, bebas dari kesalahan manusia,
mampu untuk membedakan perbedaan kekerasan yang kecil pada baja yang
diperkeras, dan ukuran lekukannya kecil sehingga bagian yang mendapat
perlakuan panas yang lengkap dapat diuji kekerasannya tanpa menimbulkan
kerusakan. Uji ini menggunakan kedalaman lekukan pada beban yang konstan
sebagai ukuran kekerasan.
Metode pengujian kekerasan Rockwell yaitu mengindentasi material contoh
dengan indentor kerucut intan atau bola baja. indentor ditekan ke material
dibawah beban minor/terkecil pada umumnya 10 kgf. Ketika keseimbangan telah

23

dicapai, suatu indikasi terlihat pada alat, yang mengikuti pergerakan indentor dan
demikian bereaksi terhadap perubahan kedalaman penetrasi oleh indentor, ini
merupakan angka posisi pertama. Beban kedua atau beban utama ditambahkan
tanpa menghilangkan beban awal, sehingga akan meningkatkan kedalaman
penetrasi. Saat keseimbangan kembali tercapai, beban utama dihilangkan tetapi
beban awal masih tetap diberikan. Dengan hilangnya beban utama maka akan
terjadi recovery parsial dan terjadi pengurangan jejak kedalaman. Peningkatan
kedalaman penetrasi akhir sebagai hasil aplikasi ini dan kehilangan beban utama
digunakan untuk menentukan nilai kekerasan Rockwell [Djaprie, 1992].
HR = E e ...............................................................................................(2.7)
Dimana : F0 = beban awal minor (kgf)
F1 = beban tambahan utama (kgf)
F = beban total (kgf)
e = peningkatan kedalaman akhir dari penetrasi dimana
E = konstanta yang bergantung pada indentor,
HR = angka kekerasan Rockwell
(b)

(a)

(c)

Gambar 2.10 Prinsip kerja pengujian kekerasan Rockwell.


Adapun skala kekerasan Rockwell dapat dilihat pada table 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Skala kekerasan Rockwell
Minor Load Major Load Total Load
Scale
A
B

Indenter

F0

F1

Diamond cone
1/16" steel ball

kgf
10
10

kgf
50
90

kgf
60
100

Value of
E
100
130

24

C
D
E
F
G
H
K
L
M
P
R
S
V

Diamond cone
Diamond cone
1/8" steel ball
1/16" steel ball
1/16" steel ball
1/8" steel ball
1/8" steel ball
1/4" steel ball
1/4" steel ball
1/4" steel ball
1/2" steel ball
1/2" steel ball
1/2" steel ball

10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10

140
90
90
50
140
50
140
50
90
140
50
90
140

150
100
100
60
150
60
150
60
100
150
60
100
150

100
100
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130
130

Uji kekerasan Rockwell sangat berguna dan mempunyai kemampuan ulang


(reproducible) asalkan sejumlah kondisi sederhana yang diperlukan dapat
dipenuhi. Sebagian besar hal-hal yang disusun berikut dapat diterapkan dengan
baik pada uji kekerasan yang lain:
1. Penumbuk dan landasan harus bersih dan terpasang dengan baik
2. Permukaan yang akan diuji harus bersih dan kering, halus, dan bebas dari
oksida. Permukaan yang agak kasar biasanya dapat menggunakan uji
Rockwell.
3 Permukaan harus datar dan tegak lurus terhadap penumbuk.
4 Uji untuk permukaan silinder akan memberikan hasil pembacaan yang
rendah, kesalahan yang terjadi tergantung pada lengkungan, beban,
penumbuk, dan kekerasan bahan. Juga telah dipublikasikan koreksi secara
teoritis dan empiris.
5 Tebal benda uji harus sedemikian hingga tidak terjadi gembung pada
permukaan dibaliknya. Dianjurkan agar tebal benda uji 10 kali kedalaman
lekukan. Pengujian dilakukan pada bahan yang tebalnya satu macam.
6 Daerah di antara lekukan-lekukan harus 3 hingga 5 diameter lekukan.
Kecepatan penerapan beban harus dibakukan. Hal ini dilakukan dengan cara
mengatur daspot pada mesin Rockwell.

25

BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Diagram Alir Percobaan


Berikut ini adalah diagram alir pada percobaan Perlakuan Panas dan Uji
Kekerasaan:
Menyiapkan 3 Spesimen Bahan Uji
Memanaskan Tube
Furnace sampai suhu
850

Masukkan

Bahan uji ke dalam furnace

Holding time selama


15 Menit

Quenching
air

Quenching

oli

Non Treatment

Mengamplas Bahan
Uji

Menguji kekerasan di
3
Titik dengan
Menggunakan Rockwell
Data
Pengamatan
Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3.1 Diagram Alir Percobaan

Literatur

26

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat yang Digunakan
1. Tubr furnace
2. Tang penjepit
3. Sarung Tangan Kulit
4. Mesin Uji Kekerasan
5. Stopwatch
6. Media Pendingin
3.2.2 Bahan yang Digunakan
1. 3 Spesimen Benda Uji
2. Amplas
3. Indentor Bola Baja
4. Indentor Kerucut Intan
3.3 Prosedur Percobaan
1. Menyiapkan spesimen sebanyak 3 buah.
2. Memasukkan 2 spesimen ke dalam Tube furnace dan nyalakan furnace.
3. Mengatur suhu hingga 850oC.
4. Melakukan penahanan temperature pemanasan selama 15-30 menit.
5. Specimen pertama dan kedua berurutan didinginkan dengan air dan oli.
6. Menghaluskan permukaan ketiga specimen tersebut dengan grinding
amplas.
7. Membersihkan permukaan benda uji, yaitu baja AISI 1045 yang telah
diberi perlakuan panas dan yang tidak diberi perlakuan panas.
8. Melakukan pengujin kekerasan pada ketiga specimen tersebut.
9. Mengatur pembebanan yang sesuai pada alat uji kekerasan, yaitu untuk
baja AISI 1045 yang telah di heat treatment menggunakan beban 150 kgf
sedangkan yang non heat treatment menggunakan 100 kgf.
10. Memasang indentor yang sesuai dan meletakan benda uji pada tempatnya.
11. Melakukan proses pengujian kekerasan.

27

12. Mencatat hasil yang didapat.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


Setelah melakukan pengujian Heat Treatment ini maka hasil pengujiannya
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1 Data Hasil Pengujian
No. Bahan

Temperatur

Holding Perlakuan Hardness


Heat

AISI
1045

AISI
1045

AISI
1045

850C

850C

15

Treatment

menit

dengan
Heat

36 HRC

menit

dengan

66,5 HRB 69,4 HRB


73,9 HRB

Treatment

43,2 HRC

media Air

40.8 HRC

Tidak

67,2 HRB

mengalami
Heat
treatment

Hardness

VHN

67,8 HRB

media Oli
15

Average

67,8 HRB

40 HRC

67,73
HRB

126

392

122,3

68,2 HRB

4.2 Pembahasan
Diagram TTT atau Isothermal Transformation Diagram (I-T diagram)
merupakan sebuah diagram yang menghubungkan transformasi austenite terhadap
waktu (dalam skala log) dan temperatur. Dalam proses laku panas pada baja,
biasanya pemanasan dilakukan hingga mencapai temperatur austenite, kemudian
ditahan pada temperatur tersebut beberapa saat lalu didinginkan dengan laju
pendinginan tertentu. Struktur mikro yang terjadi setelah pendinginan akan
tergantung pada laju pendinginan. Karenanya sifat mekanik dari baja setelah akhir

28

suatu proses laku panas akan banyak ditentukan oleh laju pendinginan. Proses
transformasi ini dibaca dengan diagram TTT karena kondisi tidak setimbang.
Setiap baja (komposisi penyusun baja yang berlainan) akan mempunyai I-T
diagram sendiri.
Kurva diagram TTT pada gambar 4.1 menunjukkan saat mulainya
transformasi isothermal dan kurva sebelah kanan menunjukkan saat selesainya
transformasi isothermal. Diatas garis A1 austenit dalam keadaan stabil (tidak
terjadi transformasi walaupun waktu penahannya bertambah). Di bawah
temperatur kritis A1 pada daerah di sebelah kiri kurva awal transformasi austenite
tidak stabil (suatu saat ia akan bertransformasi) dan disebelah kanan kurva akhir
transformasi terdapat hasil transformasi isothermal dari austenite, sedang pada
daerah diantara dua kurva tersebut terdapat sisa austenite (yang belum
bertransformasi) dan hasil transformasi isotermalnya. Titik paling kiri dari kurva
awal transformasi disebut hidung (nose) diagram ini. transformasi austenite diatas
nose akan menghasilkan perlit sedangkan di bawah nose akan menghasilkan
bainit. Tetapi bila transformasi berlangsung pada temperature yang lebih rendah
lagi (dibawah garis Ms = Martensite start) akan diperoleh martensit.
Karena austenit kaya akan karbon sedang ferrit sebaliknya maka karbon yang
terperangkap secara difusi akan keluar membentuk sementit pada arah bidang
kristallografi tertentu dari sementit yang terbentuk, struktur ini disebut martensit.
Cara pembentukan martensit dilakukan dengan memanaskan baja sampai
temperatur austenit kemudian didinginkan dengan cepat sampai diatas hidung
diagram TTT dan diatas garis Ms, serta dibiarkan pada temperatur tersebut sampai
transformasi selesai.
Transformasi

dari

austenit

menjadi

martensite

berlangsung

dengan

mengeluarkan sejumlah panas sehingga reaksi eutektoid berlangsung secara


isothermal. Temperatur akan turun lagi bila reaksi eutektoid sudah selesai.
Pada temperatur yang lebih rendah lagi maka sudah tidak lagi ada perubahan
fase pada garis A1 yang terjadi adalah reaksi eutektoid yaitu austenit menjadi
martensite, sedang ferit yang sudah ada (ferrit proeutektoid) tidak mengalami

29

perubahan. Semakin tinggi kadar karbon (dalam range baja hipoeutektoid) maka
jumlah martensitnya akan semakin banyak dibandingkan dengan perlit.
Mekanisme pembentukan martensit bisa langsung dilihat dari diagram
dibawah ini.

Gambar 4.1 Diagram TTT


Pada temperature dibawah garis A1 tidak akan terjadi lagi transformasi dari
austenit menjadi martensite, dimana pada temperature kamar struktur terdiri dari
perlit yang terbungkus jaringan sementit.

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Quenching dengan Kekerasan

30

Dari hasil pengamatan dan dari grafik diatas dapat diliahat bahwa pada
material AISI 1045 dengan Quenching air memiliki nilai kekerasan maksimum
dan nilai material AISI 1045 tanpa perlakuan memiliki kekerasan terendah.
Dua benda uji dari material AISI 1045 yang telah dimasukan kedalam tube
furnance kemudian dilakukan perlakuan yang berbeda. Quenching dilakukan
untuk mendinginkan material yang mengalami pemanasan. Terdapat dua media
quenching yang dilakukan yaitu, air dan oli. Berdasarkan keduaa media tersebut
diketahui tingkat laju pendinginan secara berurutan adalah sebagai berikut, air
dan oli. Hal tersbut dapat terjadi karena pada zat cair, faktor yang mempengaruhi
laju pendinginan adalah kerapatan dan kekentalan dari cairan tersebut. Semakin
rapat maka tingkat kelajuan semakin tinggi. Semakin kental maka tingkat kelajuan
semakin rendah. Air memiliki kerapatan yang lebih tinggi dan tingkat kekentalan
yang lebih rendah dibandingkan oli.
Berdasarkan teori struktur mikro yang terbentuk berdasarkan perlakuan dari
masing-masing quenching menghasilkan struktur mikro yang berbeda-beda. Pada
media air menhasilkan struktur mikro martensit, media oli martensit, udara ferrit
dan non treatment menghasilkan struktur mikro berupa pearlit dan ferrit.
Sifak mekanik yang terbentuk dari ketiga perlakuan berdasarkan pengujian
dengan menggunakan mesin uji kekerasan rockwell dapat diketahui nilai
kekerasan material. Dengan perlakuan quenching air sebesar 392 VHN, oli
sebesar 126 VHN, dan non treatment sebesar 122,3 VHN. Berdasarkan nilai
kekerasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai kekerasan tersebut sesuai
dengan teori pembentukan struktur mikro, bahwa quenching air memiliki struktur
mikro martensit, dan memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan kedua
media lainnya.

31

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disimpulkan dari percobaan Perlakuan Panas dan Uji
Kekerasan ini adalah :
1.

Secara berurutan nilai kekerasan dari empat


sempel yaitu AISI 1045 dengan perlakuan Quenching air sebesar 392

2.

VHN, Quenching oli sebesar 126 VHN dan Non HT sebesar 122,3 VHN.
Baja dengan Quenching air mamiliki nilai
kekerasan terbesar dan tanpa perlakuan memiliki nilai kekerasan
terrendah. Hal tersebut sesuai dengan teori.

5.2 Saran
Adapun saran agar percobaan selanjutnya lebih baik adalah sebagai berikut :
1. Proses pengambilan sempel dari tube furnace dilakukan dengan cepat
agar proses Quenching dapat berjalan baik.
2. Proses pengujian kekerasan dengan mesin uji kekerasan dilakukan dengan
akurat, dimana jarum penunjuk tepat diangka yang diperintahkan.

32

DAFTAR PUSTAKA

[Alhamidi, A].2006. Diktat Perlakuan panas pada logam. Cilegon:Fakultas


Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Avner, S.H., Introduction to Physical Metallurgy, Mc. Graw-Hill, New York,
1964.
Davis, H.E, dan G.E, Troxell, The Testing and Inspection of Engineering
Material, Mc. Graw-Hill, New York, 1964
Lakhtin, Y., ( 1968 ), Engineering Physical Metallurgi, MIR Published, Moscow.
Tim penyusun; Modul Praktikum Material Teknik; Laboratorium Metalurgi.
Jurusan Teknik Metalurgi Fakultas Teknik. 2015. Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa : Cilegon.
http://www.osha.gov/index.html

33

LAMPIRAN A
CONTOH PERHITUNGAN

34

Contoh Perhitungan
1. Baja Aisi 1045 (Quenching Oli) = (67,8 + 66,5+73,9) : 3 = 69,4 HRB
2. Baja Aisi 1045 (Quencing Air)

= (36+43,2+40,8) : 3 = 40 HRC

3. Baja Aisi 1045 (Non-Treatment) = (67,2+67,8+68,2) : 3 = 67,73 HRB


4. Menghitung nilai kekerasan pada logam yang telah diuji kemudian dikonversi

menjadi satuan vickers :


1. Bahan uji quenching Oli
Kekerasan rata-rata = (67,8 + 66,5+73,9) / 3
= 69,4 HRB
Konversi menjadi vickers
X

= 69,4

X1

= 66,7

X2

= 71,2

Y1

= 120

Y2

= 130

126 = y
Jadi 126 VHN
2. Bahan uji quenching Air
Kekerasan rata-rata = (36+43,2+40,8) / 3
= 40 HRC
Konversi menjadi vickers
X

= 40

X1

= 39,8

X2

= 40,8

Y1

= 390

Y2

= 400

392 = y

35

Jadi 392 VHN


3. Bahan uji non HT
Kekerasan rata-rata = (67,2+67,8+68,2) / 3
= 67,73 HRB
Konversi menjadi vickers
X

= 67,73

X1

= 66,7

X2

= 71,2

Y1

= 120

Y2

= 130

122,3= y
Jadi 122,3 VHN

36

LAMPIRAN B
JAWABAN PERTANYAAN DAN TUGAS KHUSUS

37

Jawaban Pertanyaan dan Tugas Khusus.


Pertanyaan :
1.
2.
3.
4.

Gambarkan diagram TTT secara manual beserta penjelasannya!


Sebutkan metode-metode perlakuan panas beserta penjelasannya! (Min.5)
Sebutkan dan jelaskan tipe pengujan kekerasan secara indentasi!
Mangapa pada proses heat treatment harus dilakukan pemanasan sampai

5.

melewati temperature rekristalisasi?


Gambarkan sacara manual struktur mikro pearlite, bainite, dan martensite!

Jawaban :
1. Diagram TTT

Diagram TTT
Diagram TTT (Time, Temperature, dan Transformation) adalah sebuah
gambaran dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma untuk baja paduan
dengan komposisi tertentu. Diagram ini biasanya digunakan untuk menentukan
kapan transformasi mulai dan berakhir pada perlakuan panas yang isothermal
(temperatur konstan) sebelum menjadi campuran Austenit. Ketika Austenit
didinginkan secara perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis,
struktur yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu
transformasi Perlit akan semakin menurun. Struktur mikro dari materialnya

38

berubah dengan pasti bersamaan dengan meningkatnya laju pendinginan. Dengan


memanaskan dan mendinginkan sebuah contoh rangkaian,transformasi austenit
mungkin dapat dicatat.
Diagram TTT menunjukkan kapan transformasi mulai dan berakhir secara
spesifik dan diagram ini juga menunjukkan berapa persen austenit yang
bertransformasi

pada

saat

suhu

yang

dibutuhkan

tercapai.

Peningkatan kekerasan dapat tercapai melalui kecepatan pendinginan dengan


melakukan pendinginan dari suhu yang dinaikkan seperti pendinginan furnace,
pendinginan udara, pendinginan oli, cairan garam, air biasa, dan air asin.
2. Metode-metode perlakuan panas :
a. Annealing
Annealing adalah proses pelunakan, sehingga baja yang keras dapat
dikerjakan melalui pemesinan atau pergerjaan dingin. Hal ini dilakukan dengan
memanaskan baja di atas suhu kritis, dibiarkan sampai suhu merata dan diikuti
dengan pendinginan secara perlahan sambil dijaga agar suhu di bagian luar dan
dan dalam kira-kira sama. Fasa mikrostruktur yang terbentuk adalah perlit.
b. Normalizing
Normalizing adalah proses pemanasan suatu baja yang bertujuan untuk
menghilangkan tegangan dalam dari suatu baja. disamping itu juga bertujuan
untuk mendapatkan susunan baja yang homogen dengan temperatur kritis
maksimum 850

C dan kemudian didinginkan secara perlahan di udara. Fasa

mikrostruktur yang terbentuk adalah austenit.


c. Hardening
Hardening adalah proses pemanasan baja sampai suhu di daerah atau di atas
daerah kritis diikuti dengan pendinginan yang cepat untuk memperoleh struktur
martensit.
d. Karburising
Karburising adalah proses pemanasan baja pada temperatur 825 950 OC
dalam lingkungan yang menyerahkan karbon lalu dibiarkan beberapa lamanya
pada suhu ini, dan kemudian didinginkan. Tujuan dari karburising ini adalah

39

untuk memperoleh lapisan keras di permukaan benda kerja, sedangkan intinya


tetap ulet.
e. Tempering
Tempering adalah proses perlakuan panas terhadap baja yang bertujuan untuk
mendapatkan struktur yang stabil dan lebih ulet dengan jalan memanaskan bahan
yang telah dikeraskan pada temperatur dan waktu yang cocok. Temperatur dan
waktu yang dibutuhkan berbeda tergantung dari sifat dan ukuran bahan, sehingga
kalau dilakukan proses yang tidak cocok untuk suatu bahan, maka tujuan dari
perlakuan panas ini tidak akan tercapai.
f. Nitriding
Nitriding adalah proses pengerasan permukaan, dimana baja dipanaskan
sampai sekitar 510 o C di lingkungan gas amonia selama beberapa waktu. Nitrogen
yang diserap oleh baja akan membentuk nitrida yang keras dan tersebar merata
pada permukaan baja.
g. Flame hardening
Dasar flame hardening (pengerasan nyala) adalah pemanasan yang cepat
dilanjutkan dengan pencelupan permukaan. Tebal lapisan yang mengeras
tergantung pada kemampuan pengerasan bahan, karena selama proses pengerasan
tidak ada penambahan unsur-unsur lainnya. Pemanasan dilakukan dengan nyala
oksi asitilen yang dibiarkan memanasi permukaan logam sampai mencapai suhu
kritis.
h. Induction hardening
Induction hardening (pengerasan induksi) adalah pemanasan pada baja dengan
arus bolak-balik berfrekuensi tinggi (500.000 Hz) yang dilakukan dengan cepat,
kemudian dilanjutkan dengan pencelupan permukaan.Kekerasan yang diperoleh
melalui pengerasan induksi sama dengan pemanasan biasa dan tergantung pada
kadar karbon.
i. Quenching ( pengerasan )
Proses quenching atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam
sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan
kehomogenan ini maka austenit perlu waktu pemanasan yang cukup.Selanjutnya

40

secara cepat baja tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada
kecepatan pendingin yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja. Pada
waktu pendinginan yang cepat pada fase austenit tidak sempat berubah menjadi
ferit atau perlit karena tidak ada kesempatan bagi atom-atom karbon yang telah
larut dalam austenit untuk mengadakan pergerakan difusi dan bentuk sementitoleh
karena itu terjadi fase, lalu yang mertensit, ini berupa fase yang sangat keras dan
bergantung pada keadaan karbon. Fasa mikrostruktur yang terbentuk adalah
austenit.
3. Tipe Pengujian Kekerasan secara Indentasi (Penjajakan/Penekanan):
Tipe pengujian kekerasan material/logam ini adalah dengan mengukur tahanan
plastis dari permukaan suatu material komponen konstruksi mesin dengan
spesimen standar terhadap penetrator. Adapun beberapa bentuk penetrator atau
cara pegetesan ketahanan permukaan yang dikenal adalah :
1) Ball indentation test (Brinell)
Pengujian kekerasan dengan metode brinell bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment).
Idealnya, pengujian brinell diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan
Brinnel sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut maka disarankan
menggunakan metode pengujian rockwell ataupun vickers. Angka Kekerasan
brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam
Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas
luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (Bola baja)
biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida
Tungsten. Jika diameter Identor 10 mm maka beban yang digunakan (pada
mesin uji) adalah 3000 N sedang jika diameter Identornya 5 mm maka beban
yang digunakan (pada mesin uji) adalah 750 N. Diameter bola dengan gaya
yang di berikan mempunyai ketentuan, yaitu:
1. Jika diameter bola terlalu besar dan gaya yang di berikan terlalu
kecil maka akan mengakibatkan bekas lekukan (jejak) yang terjadi

41

akan terlalu kecil dan mengakibatkan sukar diukur sehingga


memberikan informasi yang salah.
2.

Jika diameter bola terlalu kecil dan gaya yang di berikan terlalu
besar makan dapat mengakibatkan diameter bola pada benda yang
di uji besar (jejaknya bola)sehingga mengakibatkan harga
kekerasannya menjadi salah.

Pengujian kekerasan brinell menggunakan penumbuk (indentor) yang


terbuat dari bola baja yang diperkeras (atau tungsten carbide). Diameter bola
adalah 10 mm, lihat gambar 1 dan beban standar antara 500 dan 3000 kg dengan
peningkatan beban 500 kg. Selama pembebanan, beban ditahan 10 sampai 30
detik. Pemilihan beban tergantung dari kekerasan material, semakin keras
material maka beban yang diterapkan juga semakin besar. [Amir, 2010].
2) Pyramida indentation (Vickers)
Vickers adalah hampir sama dengan uji kekerasan brinell hanya saja dapat
mengukur sekitar 400 VHN. Pengujian kekerasan dengan metode vickers
bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan
material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 136 yang
ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien)
dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102
dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter
persegi. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil dibanding dengan
pengujian rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai 1000 gram.
3) Cone indentation test (Rockwell)
Uji kekerasan Rockwell ini paling banyak dipergunakan di Amerika
Serikat. Hal ini disebabkan oleh sifatsifatnya yaitu : cepat, bebas dari
kesalahan manusia, mampu untuk membedakan perbedaan kekerasan yang
kecil pada baja yang diperkeras, dan ukuran lekukannya kecil sehingga bagian
yang mendapat perlakuan panas yang lengkap dapat diuji kekerasannya tanpa
menimbulkan kerusakan. Uji ini menggunakan kedalaman lekukan pada beban
yang konstan sebagai ukuran kekerasan.

42

Metode pengujian kekerasan Rockwell yaitu mengindentasi material


contoh dengan indentor kerucut intan atau bola baja. indentor ditekan ke
material dibawah beban minor/terkecil pada umumnya 10 kgf. Ketika
keseimbangan telah dicapai, suatu indikasi terlihat pada alat, yang mengikuti
pergerakan indentor dan demikian bereaksi terhadap perubahan kedalaman
penetrasi oleh indentor, ini merupakan angka posisi pertama. Beban kedua
atau beban utama ditambahkan tanpa menghilangkan beban awal, sehingga
akan meningkatkan kedalaman penetrasi. Saat

keseimbangan kembali

tercapai, beban utama dihilangkan tetapi beban awal masih tetap diberikan.
Dengan hilangnya beban utama maka akan terjadi recovery parsial dan terjadi
pengurangan jejak kedalaman. Peningkatan kedalaman penetrasi akhir sebagai
hasil aplikasi ini dan kehilangan beban utama digunakan untuk menentukan
nilai kekerasan Rockwell [Djaprie, 1992].
4.

Proses Heat Treatment harus dilakukan pemanasan sampai melewati

temperature rekristalisasi karena Temperatur rekristalisasi yaitu, perubahan


struktur kristal akibat pemanasan pada suhu kritis diamana untuk suhu kritis pada
baja karbon adalah pada 723C, sehingga dapat diartikan lebih lanjut bahwa
temperatur rekristalisasi adalah suatu proses dimana butir logam yang
terdeformasi digantikan oleh butiran baru yang tidak terdeformasi yang intinya
tumbuh sampai butiran asli termasuk didalamnya. Pengerolan dingin adalah suatu
proses pengerolan yang dilakukan dibawah temperatur rekristalisasi. Tujuan
proses rekristalisasi adalah untuk mendapatkan sifat mekanik yang memiliki
kekuatan dan keuletan tertentu sesuai dengan kebutuhan, setelah proses
pengerjaan dingin. Pada fase rekristalisasi ini dilakukan pemanasan kembali
dengan temperatur pemanasan yang lebih tinggi (A medium-temperature
annealing heat treatment), hal ini bertujuan untuk mengeliminasi semua akibat
dari pengerasan regangan yang terjadi (strain hardening) selama pengerjaan
dingin.

Rekristalisasi

dan growth (pertumbuhan).

terjadi

melalui

tahapan nucleaction (pengintian)

43

5. Struktur mikro pearlite, bainite, dan martensit:

a
a.

b.

c.

Pearlite Cementite jauh lebih keras tetapi lebih rapuh dari ferrite. Oleh

karena itu peningkatan fraksi Fe3C akan membuat bahan yang dihasilkan lebih
keras dan kuat. Ketika Fe3C rapuh, terjadi peningkatan isi kandungan, namun
menurunkan keuletan material. Ketebalan lapisan penting untuk sifat mekanis
material. Pearlite halus lebih keras dan lebih kuat dari pearlite kasar.
Pearlite kasar lebih ulet dari pearlite halus, karena pembatasan yang lebih besar
terhadap deformasi plastik dari pearlite halus.
b.

Baja bainitic memiliki struktur lebih halus sehingga lebih kuat dan lebih

keras dari pearlitic. Memiliki kekuatan dan keuletan yang cukup baik.
c.

Baja paduan paling keras dan kuat serta bentuk yang paling rapuh.

Memiliki keuletan rendah diabaikan). Kekerasannya dikendalikan oleh


kandungan C sampai 0,6%wt dari struktur mikro. Sifat ini hasil dari efektivitas
atom interstisial C dalam menghambat gerak dislokasi dan adanya sedikit
sistem slip.
Tugas Khusus
1. Jelaskan standar-standar klasifikasi Baja.
Jawab:
AISI (The American Iron & Steel Institue) memiliki standard yang pada
awalnya diterima luas di Amerika serikat dan Negara lainnya. Tetapi standard
AISI tidak mencakup semua jenis logam/metal, dan tidak begitu informatif
megenai properties beberapa

logam. Kemudian

dua

organisasi

Standard

44

Amerika, ASTM (American Society For Testing & Metal) dan SAE (Society of
Automotive Engineers) mengembangkan sebuah standard untuk logam yaitu
UNS (The Unified Numbering System).
a) AISI/SAE Steel Designation System
SAE (Society of Automotive Engineers) menetapkan standard baja yaitu
SAE steel grades. Ini terdiri dari empat digit yang menjadi repsrenstasi
komposisi kimia. AISI memakai standard dengan system penomoran yang
sama dengan SAE, namun menambahkan huruf untuk menujukan proses
pembuatan baja. Sebagai contoh prefix C untuk open hearth furnace, basic
oxygen furnace (BOF) dan E untuk electric arc furnace.
Sistem penomoran AISI/SAE:

Digit penomoran AISI/SAE.


Dua digit pertama menggambarkan tipe material, yaitu element utama pada
digit pertama dan secondary element pada digit kedua. Dua digit terakhir
adalah kandungan element karbon yang dinyatakan dalam seperseratus persen.
Contoh 1060, artinya 1 untuk baja karbon (carbon steel), 0 untuk
menunjukan plain (tidak ditambahkan sulfur dan phospor). Dua digit terakhir
yaitu 60 adalah kandungan karbon sebesar 0,60 %.

45

AISI/SAE

Tipe

1XXX

Carbon steels

2XXX

Nickel steels

3XXX

Nickel-chromium steels

4XXX

Molybdenum steels

5XXX

Chromium steels

6XXX

Chromium-vanadium steels

7XXX

Tungsten steels
Nickel-chromium-vanadium

8XXX

steels

9XXX

Silicon-manganese steels

Untuk baja karbon, digit kedua adalah:


10XX 0 menunjukan plain carbon
11XX 1 menunjukan resulfurized (ditambahkan sulfur)
12XX 2 menunjukan resulfurized dan rephosporized (ditambahkan sulfur dan
phosphor).
b) UNS Designation System
Bila pada AISI/SAE system penomoran terdiri dari 4 digit, UNS mengunakan 6
digit untuk menggambarkan logam baik dari komposisi kimia, proses
manufaktur, dan perlakuan panas. Digit pertama terdiri dari huruf
menunjukan jenis logam, yaitu:
AXXXXX A untuk aluminum
CXXXXX C untuk copper dan copper alloy
FXXXXX

F untuk cast iron (besi cor)

GXXXXX G untuk baja karbon

46

NXXXXX N untuk nickel dan nickel alloy


SXXXXX S untuk stainlles stell
WXXXXX W untuk welding filler material
ZXXXXX Z untuk zinck dan zinck alloy
Digit kedua sampai digit kelima adalah adaptasi dari sistem penomoran
AISI/SAE. Sedangkan digit terakhir sebagai informasi tambahan untuk proses
perlakuan panas, tempering contohnya, atau proses manufaktur.
Contoh:
UNS G10300
G menunjukan baja karbon
1030 plain carbon steel dengan kandungan karbon 0.30 %
0 digit terakhir informasi tambahan mengenai heat treatment dan proses
manufaktur.
2. Jelaskan perbedaan baja rendah, baja sedang, baja tinggi.
Jawab:
Baja karbon (carbon steel), dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Baja karbon rendah (low carbon steel) adalah baja yang mengandung
karbon kurang dari 0.3%. Sifatnya mudah ditempa dan mudah di mesin.
Penggunaannya:
- 0,05 % - 0,20 % C : automobile bodies, buildings, pipes, chains, rivets,
screws, nails.
- 0,20 % - 0,30 % C : gears, shafts, bolts, forgings, bridges, buildings.
2) Baja karbon sedang (medium carbon steel) yang mengandung karbon
0.3%-0.7%. Kekuatan lebih tinggi daripada baja karbon rendah.
Sifatnya sulit untuk dibengkokkan, dilas, dipotong.
Penggunaan:
- 0,30 % - 0,40 % C : connecting rods, crank pins, axles.
- 0,40 % - 0,50 % C : car axles, crankshafts, rails, boilers, auger bits,

47

screwdrivers.
- 0,50 % - 0,60 % C : hammers dan sledges.
3) Baja karbon tinggi (high carbon steel) kandungan karbon sekitar 0.7%1.3%. Sifatnya sulit dibengkokkan, dilas dan dipotong.
Penggunaan :
- screw drivers, blacksmiths hummers, tables knives, screws, hammers,
vise jaws, knives, drills. tools for turning brass and wood, reamers, tools
for turning hard metals, saws for cutting steel, wire drawing dies, fine
cutters.
3. Gambarkan dan jelaskan diagram fasa Fe-Fe3C.
Diagram Fe-Fe3C yaitu diagram yang menampilkan hubungan antara
temperatur dan kandungan karbon (%C) selama pemanasan lambat. Dari
diagram fasa tersebut dapat diperoleh hasil yaitu berupa informasi penting
yaitu antara lain:
1. Fasa yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan
pendinginan lambat.
2. Temperatur pembekuan dan daerah-daerah pembekuan paduan Fe -C bila
dilakukan pendinginan lambat.
3.Temperatur cair dari masing-masing paduan.
4.Batas-batas kelarutan atau batas kesetimbangan dari unsur karbon fasa
tertentu.
5.Reaksi-reaksi metalurgis yang terjadi.
Besi merupakan salah satu logam yang memiliki sifat allotropi. Sifat
allotropi yang dimiliki besi sendiri ada 3, yaitu :
Delta iron () mampu melarutkan karbon max 0,1% pada 1500 C
Gamma iron () mampu melarutkan karbon max 2 % pada 1130 C
Alpha iron () mampu melarutkan karbon max 0,025% pada 723 C
Transformasi allotropik yang pada besi, Fe() Fe() Fe() terjadi
secara difusi sehingga membutuhkan waktu tertentu pada temperatur konstan
karena reaksi mengeluarkan panas laten.

48

Garis-garis penting dalam diagram Fe-Fe3C


1. Upper critical temperature (temperatur kritis atas), A3 : temperatur
perubahan
allotropi
2. Lower critical temperature (temperatur kritis bawah), A1 : temperatur reaksi
eutectoid
3. Solvus line Acm : menunjukkan bats kelarutan karbon dalam austenite
Diagram kesetimbangan Fe-Fe3C

49

Diagram fasa Fe Fe3C

Reaksi-reaksi

yang

terjadi

pada

Reaksi Peritectic pada temperatur :


S + L S1
+L
Reaksi Eutectic pada temperatur 1130 C :
L S1 + S2
L + Fe3C (ledeburite)
Reaksi Eutectoid pada temperatur 723 C :

diagram

Fe

Fe3C

50

S S1 + S2
+ Fe3C (pearlite)

LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT DAN BAHAN

51

A. Gambar Alat dan Bahan.

Gambar C.1 Amplas

Gambar C.2 3 Spesimen Benda Uji

Gambar C.3 Rockwell

Gambar C.4 Tube Furnace

Gambar C.5 Media Pendingin (Oli-Air)

Gambar C.6 Sarung Tangan Kulit

52

Gambar C.7 Tang Penjepit

Gambar C.8 Indentor

LAMPIRAN D
BLANKO PERCOBAAN

53

Anda mungkin juga menyukai