Kita tak lagi memiliki nama dari batu nisan putih yang terukir lencana perwira tinggal kerangka sisa batu pegunungan yang menempel di setiap lembar alismu. Sedangkan matahari terus mengawasi setiap butir pasir merah yang menggelinding dari puncak kuburmu Di mana lagi akan berdiri ketika panduso merah di ujung langit telah melarikan taringnya dan memekikkan senyuman pada matahari yang putus asa garis kasih tergambar dari lekuk urat nadimu kelembutan birahi terlukis dari senyuman pantaimu dan petir ini kian menggema seperti letusan merapi disiang bolong hingga kata-kataku kian bisu di ujung nafas bidadari lonceng ayat suci dari lidahmu tak mampu menghisap kekelaman mata di sebuah menara tua cerita cinta ini telah usang ketika hanya ruang tamu rumah tua yang tiap kali menangis di pojok-pojok kursi kayu rotan dibawah bingkai-bingkai keabadian tinggal neon 5 watt yang selalu melepaskan senyuman dari sebuah kenangan daun tua yang meranumkan biji permatanya cerita rindu ini telah usang ibu ketika kau kembali pada kuburmu dengan setumpuk asa diujung lencana seorang kesatria seketika peluru melesat dari lidah sang bidadari memberikan sebuah kehidupan yang abadi untuk gubuk tanahmu mengakhiri semua kisah dengan sebuah senyuman senyuman rapuh dari bibirmu yang mekar cerita rindu dan cinta ini telah usang ibu ketika kau tak mampu berwujud untuk lahir kembali ketika malam bukan lagi malam dan siang hanya seharum kamboja di batu nisanmu yang memerah semua telah menjadi asap yang berhenti didepan pintu kamarku tanpa suara SBY , November...
PEREMPUAN MUSAFIR DALAM HUJAN
ketika rembulan tak lagi seperti bidadari dia hanya bertaring, berekor dan meneriakkan sebuah lagu keroncong dari mulut dan perutnya ( legam dan menggeliat di pasungan ) kiranya kita telah hilang dari ingatan seorang musafir yang kelaparan pemakaman yang kita bangunpun tak lagi di tumbuhi daun bergerigi semua koran dan televisi telah menghapus kekhilafan bidadari yang ada hanya iklan dan sepotong roti diatas rambutmu yang memerah derita ini seperti rembulan yang kehausan dan ingin bergelantungan di antara jemariku yang terpisah dari lengan dan gelang kengerian sebutir malam ceceran sunyi yang kau tinggalkan tak mengusik jeritan kereta kelemahan yang terpangku rembulan ingin memindah awan dari putaran es yang sedang membeku ketika sia-sia memeluk tumit dan rasioku Kulihat senyummu terpotong dan menari-nari seperti cicak dalam perut Dan hijau matamu telah menjadi mangsanya ketika kesepian dari Rantai, yang memasungnya dan semakin mencekik Daunan masih basah dan talaspun masih merekatkan tubuhnya pada air yang berdenging ketika ia hanya ingin teriak bangsat tlah meludahi suteraku dan aku hanya tersenyum di balik punggung nisan yang ingin menjadi sunyi seperti bidadari
Sby, Februari
ZAMAN DARI SEBUAH KEDAMAIAN
Kupu kupu malam Bumi Pertiwi ;tiada waktu dari sebuah kesunyian yang mencekam, ketika resah telah menjadi teman dalam setiap jam dan detik. Yang ada hanya udara menghitam yang turun dan setumpuk abu kemunafikan
Telah kutukar sebuah ketenangan dengan jiwa yang kosong ditengah
kegelapan yang bijak. Hanya hitamnya yang resah mencari sebuah jawaban dari kedamaian tanpa beludrunya belang kesucian abadi seorang Putri Ketika senyum terbang bersama awan dan kembali pada jiwa sunyi Semuanya telah kupersembahkan, tubuhku yang rapuh, hancur dari kebiadaban waktu. memerah sebuah keindahan semu Ketika kanvasku mulai menngerakkan jiwa dari kekosongan tak ada lagi yang terusik dari sebuah kadamaian. Sadarilah . . . Ketika jutaan penghuni masih menginginkan sejuknya udara pagi, mengalirnya sebuah parit yang bening dan lembutnya sentuhan kasih sayang bumi. Kami dalam jilatan api, menatap keriuhan dalam gelapnya kepengapan pertiwi Kau tahu bagaimana aku menanam sekuntum melati putih di teras-teras, kau juga tahu kapan aku menyiraminya setiap saat, bahkan kau pun tahu aku sering tidur disisinya dengan kedamaian Tapi kita tak pernah tahu Bila keajaiban yang mencekam telah menenggak sari dan meremas melatiku
hanya torehan darah yang tertinggal, melukis senja yang renta
Dalam tidurku ini aku ingin bermimpi tentang sebuah taman dengan Berjuta melati di punggungku, tentang sebuah rimba dengan sentuhan serulingnya yang merdu atau tentang seekor singa yang tersenyum dan menebar kesucian hatinya pada semua penghuni rimba pertiwi Hanya kedamaian ketika ada di mimpiku Bila resah telah terbang menjadi awan, hanya matahari yang cerah menebar senyum, menelan hujan nan muram di sela damai bumi pertiwi
SBY, Feb.
CERITA KELAHIRAN DARI TAMAN
Kemarin ia memanggil-manggil namamu ibu. Kemarin pula ia telah mengeja sajakmu dengan senyum. Menancapkannya pada rumput-rumput, merapikannya dan kembali ia pandangi huruf demi huruf yang telah kau tulis di tengah tamanmalam itu. Iapun kembali tersenyum . . . Gerimismu makin senja, menerjemahkan titik-titiknya untuk sebuah ketakberdayaan sampai kau tenggelamkan diri pada sepi Ia masih berputar-putar mencari rindu pada kata-katamu. Dari timur ia menuju barat mengikuti kemana darah akan muncul dan menghilang untuk keseribu kalinya. Tapi kini . . . saat aku menunggunya di sini, ia tak pernah lagi menghampiri sajakmu atau mengejanya dengan senyum penuh malu. Ia telah hilang bersama gerimis, dan telah mati bersama musim, mengikuti kemana garis-garis air susumu menggores Senja ini aku sendiri tanpa suara yang memanggil namamu, ibu... tanpa senyum penuh malu dan tanpa sajak yang tereja Aku hanya menemukan sebait kata dimana ia pernah memanggil namamu. mengeja sajakmu dan melukis kereta untuk anak-anakmu. Aku menunggumu dalam senja .
Sby, Juni 2003
PEREMPUAN DI SUDUT RUANG BACA Aku memandangmu dari balik keranda Kau kibaskan rambut panjangmu yang basah Kau usap dengan selembar kain putih Dan kau intip langit yang masih menghitam Hujan tak kunjung reda Tanganmu mulai menelusuri setiap lembar tulisan Kau tusukkan tubuhmu pada sudut ruang baca. Kau tancapkan di atas lembaran kayu Dan matamu mulai mencari kesunyian irisan tinta hitam di bayangan mataku menemukan keraguan, kepenatan dan semusim kahampaan Perempuan sepertimu Hanya mampu menuliskan sebait kata lugas Mencabiknya menjadi gaun-gaun pengantin Dan membakarnya dengan payudara mengental Kau baca setiap bait kematian, kau rangkaikan dengan bunga yang indah, dan kau lingkarkan di atas kepalamu Engkau seperti ratu ratu yang menggelar kertas koran untuk alas tidurnya dan mencari kekuasaan pada mimpi sebuah berita. Perempuan di sudut ruang baca, kau habiskan waktumu bersama gairah yang menggelinjang bersama perhiasan di atas gaunmu hingga kau tak mampu lagi membaca dan mengeja hujan yang telah reda. Perempuan telah tenggelam di sudut ruang baca
Sby, April 2003
TARIAN PERAWAN Gerakmu seperti dendam berputar dari ujung pelangi menuju kematian Lentik jarimu mengutuk perawan bugil yang merobek kemaluannya dengan sejuta keharuman ranum tubuhmu menggugah gairah para malaikat seperti tarian perawan tanpa dosa dan petaka. Menggeliat lelahmu di atas resah. Resah yang kau gambarkan pada butiran pantai dan menghamburkan segala tetesan permata di sudut mata indahmu Tarianmu seperti kematian diam dengan segala kutukan perawan Ketika semua telah berakhir, duniamu hanya kesunyian yang tak pernah kau sentuh dengan api Perawanmu tak lagi berarti ketika gemulaimu menusukkan celurit ke tubuh dan mengayunkan lembaran uang kertas di atas ranjang pendosa Tarianmu telah lelah dengan segala kebohongan Kebohongan yang kau ikatkan pada gelang di tanganmu. Kau undang tangan-tangan nakal Untuk sebuah geliatan percikan malam Kau torehkan tinta merah di atas ranjang untuk kehidupan tanpa akhir Perawan... Tarianmu telah mematikan segala keagungan Keagungan yang tak pernah hadir pada takdir
Sby, Apr 2003
TIGA WANITA Tiga wanita telah hilang dari duniaku Menutup lelah dan mematikan kehidupan Dari cahaya fana Tiga wanita telah menjadi cerita dalam kesunyian Memberikan senyum dan duka Di aliran sungai sebelah rumah Melepaskan penat di balik kursi nenek moyang Aku dan tiga wanita Hanya mampu berucap Tanpa kata-kata Sby, April 03