Anda di halaman 1dari 9

SAJAK-SAJAK DENY TRI ARYANTI

LAGU CINTA UNTUK IBU


Kita tak lagi memiliki nama dari batu nisan putih
yang terukir lencana perwira
tinggal kerangka sisa batu pegunungan yang menempel di setiap
lembar alismu.
Sedangkan matahari terus mengawasi setiap butir
pasir merah yang menggelinding dari puncak kuburmu
Di mana lagi akan berdiri
ketika panduso merah di ujung langit telah melarikan taringnya
dan memekikkan senyuman pada matahari yang putus asa
garis kasih tergambar dari lekuk urat nadimu
kelembutan birahi terlukis dari senyuman pantaimu
dan petir ini kian menggema seperti letusan merapi disiang bolong
hingga kata-kataku kian bisu di ujung nafas bidadari
lonceng ayat suci dari lidahmu tak mampu menghisap kekelaman mata
di sebuah menara tua
cerita cinta ini telah usang
ketika hanya ruang tamu rumah tua yang tiap kali menangis
di pojok-pojok kursi kayu rotan dibawah bingkai-bingkai keabadian
tinggal neon 5 watt yang selalu melepaskan senyuman
dari sebuah kenangan daun tua yang meranumkan biji permatanya
cerita rindu ini telah usang ibu
ketika kau kembali pada kuburmu dengan setumpuk asa
diujung lencana seorang kesatria
seketika peluru melesat dari lidah sang bidadari
memberikan sebuah kehidupan yang abadi untuk gubuk tanahmu
mengakhiri semua kisah dengan sebuah senyuman
senyuman rapuh dari bibirmu yang mekar
cerita rindu dan cinta ini telah usang ibu
ketika kau tak mampu berwujud untuk lahir kembali
ketika malam bukan lagi malam
dan siang hanya seharum kamboja di batu nisanmu yang memerah
semua telah menjadi asap
yang berhenti didepan pintu kamarku
tanpa suara
SBY , November...

PEREMPUAN MUSAFIR DALAM HUJAN


ketika rembulan tak lagi seperti bidadari dia hanya bertaring,
berekor dan meneriakkan sebuah lagu keroncong dari mulut dan
perutnya ( legam dan menggeliat di pasungan )
kiranya kita telah hilang dari ingatan seorang musafir yang kelaparan
pemakaman yang kita bangunpun tak lagi di tumbuhi daun
bergerigi
semua koran dan televisi telah menghapus kekhilafan bidadari
yang ada hanya iklan dan sepotong roti diatas rambutmu yang
memerah
derita ini seperti rembulan yang kehausan dan ingin bergelantungan
di antara jemariku yang terpisah dari lengan dan gelang
kengerian sebutir malam
ceceran sunyi yang kau tinggalkan tak mengusik jeritan kereta
kelemahan yang terpangku rembulan ingin memindah awan dari
putaran es yang sedang membeku
ketika sia-sia memeluk tumit dan rasioku
Kulihat senyummu terpotong dan menari-nari seperti cicak dalam perut
Dan hijau matamu telah menjadi mangsanya ketika kesepian dari
Rantai, yang memasungnya dan semakin mencekik
Daunan masih basah dan talaspun masih merekatkan tubuhnya pada
air yang berdenging ketika ia hanya ingin teriak
bangsat tlah meludahi suteraku
dan aku hanya tersenyum di balik punggung nisan yang ingin
menjadi sunyi
seperti bidadari

Sby, Februari

ZAMAN DARI SEBUAH KEDAMAIAN


Kupu kupu malam
Bumi Pertiwi ;tiada waktu dari sebuah
kesunyian yang mencekam, ketika resah telah menjadi
teman dalam setiap jam dan detik. Yang ada hanya udara
menghitam yang turun dan setumpuk abu kemunafikan

Telah kutukar sebuah ketenangan dengan jiwa yang kosong ditengah


kegelapan yang bijak.
Hanya hitamnya yang resah mencari sebuah jawaban
dari kedamaian tanpa beludrunya belang
kesucian abadi seorang Putri
Ketika senyum terbang bersama awan dan kembali pada jiwa sunyi
Semuanya telah kupersembahkan, tubuhku yang rapuh, hancur dari
kebiadaban waktu.
memerah sebuah keindahan semu
Ketika kanvasku mulai menngerakkan jiwa dari kekosongan tak ada lagi
yang terusik dari sebuah kadamaian.
Sadarilah . . .
Ketika jutaan penghuni masih menginginkan sejuknya udara pagi, mengalirnya
sebuah parit yang bening dan lembutnya sentuhan kasih sayang bumi.
Kami dalam jilatan api, menatap keriuhan dalam gelapnya
kepengapan pertiwi
Kau tahu bagaimana aku menanam sekuntum melati putih di teras-teras,
kau juga tahu kapan aku menyiraminya setiap saat,
bahkan kau pun tahu aku sering tidur disisinya dengan kedamaian
Tapi kita tak pernah tahu
Bila keajaiban yang mencekam telah menenggak sari dan meremas melatiku

hanya torehan darah yang tertinggal, melukis senja yang renta


Dalam tidurku ini aku ingin bermimpi tentang sebuah taman dengan
Berjuta melati di punggungku, tentang sebuah rimba dengan sentuhan
serulingnya yang merdu atau tentang seekor singa yang tersenyum dan menebar
kesucian hatinya pada semua penghuni rimba pertiwi
Hanya kedamaian
ketika ada di mimpiku
Bila resah telah terbang menjadi awan, hanya
matahari yang cerah menebar senyum, menelan hujan
nan muram di sela damai bumi pertiwi

SBY, Feb.

CERITA KELAHIRAN DARI TAMAN


Kemarin ia memanggil-manggil namamu ibu.
Kemarin pula ia telah mengeja sajakmu dengan senyum.
Menancapkannya pada rumput-rumput, merapikannya
dan kembali ia pandangi huruf demi huruf yang telah kau tulis
di tengah tamanmalam itu.
Iapun kembali tersenyum . . .
Gerimismu makin senja,
menerjemahkan titik-titiknya untuk sebuah ketakberdayaan
sampai kau tenggelamkan diri pada sepi
Ia masih berputar-putar mencari rindu pada kata-katamu.
Dari timur ia menuju barat
mengikuti kemana darah akan muncul dan menghilang
untuk keseribu kalinya.
Tapi kini . . .
saat aku menunggunya di sini, ia tak pernah lagi menghampiri sajakmu
atau mengejanya dengan senyum penuh malu.
Ia telah hilang bersama gerimis, dan telah mati bersama musim,
mengikuti kemana garis-garis air susumu menggores
Senja ini aku sendiri tanpa suara yang memanggil namamu, ibu...
tanpa senyum penuh malu dan tanpa sajak yang tereja
Aku hanya menemukan sebait kata
dimana ia pernah memanggil namamu.
mengeja sajakmu dan melukis kereta untuk anak-anakmu.
Aku menunggumu dalam senja .

Sby, Juni 2003


PEREMPUAN DI SUDUT RUANG BACA
Aku memandangmu dari balik keranda
Kau kibaskan rambut panjangmu yang basah
Kau usap dengan selembar kain putih
Dan kau intip langit yang masih menghitam
Hujan tak kunjung reda
Tanganmu mulai menelusuri setiap lembar tulisan
Kau tusukkan tubuhmu pada sudut ruang baca.
Kau tancapkan di atas lembaran kayu
Dan matamu mulai mencari kesunyian
irisan tinta hitam di bayangan mataku
menemukan keraguan, kepenatan dan semusim kahampaan
Perempuan sepertimu
Hanya mampu menuliskan sebait kata lugas
Mencabiknya menjadi gaun-gaun pengantin
Dan membakarnya dengan payudara mengental
Kau baca setiap bait kematian, kau rangkaikan dengan bunga yang indah,
dan kau lingkarkan di atas kepalamu
Engkau seperti ratu
ratu yang menggelar kertas koran untuk alas tidurnya
dan mencari kekuasaan pada mimpi sebuah berita.
Perempuan di sudut ruang baca,
kau habiskan waktumu bersama gairah yang
menggelinjang bersama perhiasan di atas gaunmu
hingga kau tak mampu lagi membaca dan mengeja hujan yang telah reda.
Perempuan telah tenggelam di sudut ruang baca

Sby, April 2003


TARIAN PERAWAN
Gerakmu seperti dendam
berputar dari ujung pelangi menuju kematian
Lentik jarimu mengutuk perawan bugil
yang merobek kemaluannya dengan sejuta keharuman
ranum tubuhmu menggugah gairah para malaikat
seperti tarian perawan tanpa dosa dan petaka.
Menggeliat lelahmu di atas resah.
Resah yang kau gambarkan pada butiran pantai
dan menghamburkan segala tetesan permata di sudut mata indahmu
Tarianmu seperti kematian
diam dengan segala kutukan perawan
Ketika semua telah berakhir, duniamu
hanya kesunyian yang tak pernah kau sentuh dengan api
Perawanmu tak lagi berarti
ketika gemulaimu menusukkan celurit ke tubuh
dan mengayunkan lembaran uang kertas di atas ranjang pendosa
Tarianmu telah lelah dengan segala kebohongan
Kebohongan yang kau ikatkan pada gelang di tanganmu.
Kau undang tangan-tangan nakal
Untuk sebuah geliatan percikan malam
Kau torehkan tinta merah di atas ranjang
untuk kehidupan tanpa akhir
Perawan...
Tarianmu telah mematikan segala keagungan
Keagungan yang tak pernah hadir pada takdir

Sby, Apr 2003


TIGA WANITA
Tiga wanita telah hilang dari duniaku
Menutup lelah dan mematikan kehidupan
Dari cahaya fana
Tiga wanita telah menjadi cerita dalam kesunyian
Memberikan senyum dan duka
Di aliran sungai sebelah rumah
Melepaskan penat di balik kursi nenek moyang
Aku dan tiga wanita
Hanya mampu berucap
Tanpa kata-kata
Sby, April 03

Anda mungkin juga menyukai