Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan masalah yang sangat komplek karena tidak
hanya menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas tetapi juga dapat
menyebabkan kecacatan atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan, gangguan belajar,
kemampuan intelektual yang rendah dan sering terjadi gangguan yang berkaitan dengan
masalah perilaku.1 Bayi dengan berat lahir normal terbukti mempunyai kualitas fisik,
intelegensia maupun mental yang lebih baik dibanding bayi dengan berat lahir kurang,
sebaliknya bayi dengan berat lahir rendah (kurang dari 2500 g) akan mengalami hambatan
perkembangan dan kemunduran pada fungsi intelektualnya. Hal ini karena bayi BBLR
memiliki berat otak yang lebih rendah menunjukkan defisit sel-sel otak sebanyak 8-14% dari
normal, yang merupakan pertanda anak kurang cerdas dari seharusnya.2
Gizi buruk pada ibu, meningkatkan resiko untuk kematian bayi, lahir mati dan
kelahiran BBLR.1 Kehamilan meningkatkan kebutuhan zat besi untuk memenuhi keperluan
massa sel darah merah yang lebih besar dan pembentukan otot tambahan, terutama otot
uterus.3 Meskipun absorpsi zat besi meningkat cukup besar selama kehamilan, namun bila
kehamilan yang satu dengan yang lain memiliki jarak yang cukup dekat dan/atau bila
simpanan besinya rendah, maka asupan zat besi yang cukup hanya dapat dipenuhi lewat
suplementasi.4 Sekitar 45% kematian bayi terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 bulan.
Kematian ini terutama disebabkan oleh tetanus neonatorum dan gangguan perinatal sebagai
akibat kehamilan beresiko tinggi seperti asfiksia, BBLR, dan trauma lahir, yang masingmasing menyebabkan sekitar 20% kematian bayi.1,5
Resiko kematian neonatal dengan BBLR adalah 6,5 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan bayi lahir dengan berat badan cukup. Asia Tenggara telah dilaporkan angka kejadian
BBLR berkisar 20-30% dari jumlah kelahiran. Frekuensi BBLR di negara maju berkisar
1

antara 3,6-10,8%, di negara berkembang berkisar antara 10-43%. Rasio antara negara maju
dan negara berkembang adalah 1:4.1,5
Secara keseluruhan RISKESDAS 2011 masih mencatat beberapa masalah gizi yang
memerlukan perhatian penanggulangannya dengan kerja keras. Angka BBLR masih 11,5%.
Angka tersebut adalah angka rata-rata nasional dengan disparitas yang lebar antar daerah
yang menunjukkan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Misalnya BBLR terendah
(5,8%) di Bali, tertinggi (27%) di Papua.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
2.1.1. Definisi BBLR
BBLR dapat didefinisikan sebagai neonatus atau bayi baru lahir dengan berat lahirnya
kurang dari 2500 g.7 Menurut pengertian yang lain, BBLR adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 g dengan tanpa memperhatikan masa gestasi (umur kehamilan).1
2.1.2. Klasifikasi BBLR
Menurut International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problem Tenth Revision (ICD 10), yang termasuk BBLR adalah bayi berat lahir sangat rendah
(BBLSR)/very low birth-weight (VLBW) dan bayi berat lahir amat sangat rendah
(BBLASR)/extremely low birth-weight (ELBW). BBLR dibedakan menjadi 2 jenis :
1. Prematuritas murni (sesuai masa kehamilan/SMK)
2

Bayi lahir dengan prematuritas murni adalah bayi lahir dengan masa kehamilan
kurang dari 38 minggu dengan berat yang sesuai. Bayi ini berada antara persentil 10 dan
90 pada kurva normal.
2. Bayi kecil masa Kehamilan (KMK)
Bayi KMK adalah bayi dengan berat lahir sampai dengan 2500 g. Umur kehamilan
38 minggu dan terletak dibawah persentil 10.1
WHO membagi umur kehamilan dalam 3 kelompok :
1. Pre-term: <37 minggu lengkap (<259 hari).
2. Term: 37-41 minggu lengkap (259 293 hari)
3. Post-term: 42 minggu lengkap atau lebih (294 hari atau lebih)
Untuk menentukan bayi itu SMK, KMK atau besar menurut usia kehamilan (BMK)
maka umur kehamilan dapat diplot dikurva pertumbuhan dan perkembangan intrauterin dari
Battaglia dan Lubchenco (1967).11
Pada kurva, bayi sesuai untuk masa kehamilan (SMK) terletak diantara persentil 10
dan 90. Pada bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) terletak dibawah persentil 10. Bayi
dengan berat lahir diatas persentil 90 disebut besar untuk masa kehamilan (BMK).1,11

Gambar 2.1.

Kurva pertumbuhan dan perkembangan janin intrauteri


dari Baltaglia dan Lubchenco

2.1.3. Etiologi BBLR


3

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR :1,7


a. Faktor ibu
1. Faktor biologi: usia ibu (17 tahun, 30 tahun), paritas 4, dan jarak kelahiran <18
2.

bulan.
Status gizi ibu: tinggi badan 144 cm, berat badan sewaktu melahirkan 44 kg,
penambahan berat badan <7 kg, lingkar lengan atas (LILA) <23,5 cm, anemia Hb

b.

<10,4 g/dl dan ketebalan jaringan lemak (skinfold) <10 cm.


3. Komplikasi kesehatan: diabetes melitus, hipertensi kronik
4. Komplikasi kebidanan: pre-eklamsia, eklamsia.
Faktor bayi
Jenis kelamin, ras, cacat bawaan, kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini,

kelainan kromosom, dan infeksi dalam kandungan (TORCH).


c. Faktor uterus dan plasenta
Kelainan pembuluh darah (hemangioma), insersi tali pusat yang tidak normal, uterus
bikornis, infark plasenta, transfusi dari kembar satu ke kembar yang lain, sebagian plasenta
lepas.
d. Keadaan sosial ekonomi yang rendah.
e. Tingkah laku: kebiasaan merokok, minum alkohol.
f. Faktor lingkungan: geografis, iklim, budaya.
g. Pemanfaatan pelayanan kesehatan: Antenatal Care (ANC).
2.1.4. Resiko BBLR
1. Resiko jangka pendek
a. Hipotermia (suhu bayi <36,5oC, akan menyebabkan bayi kehilangan energi,
pernafasan terganggu, bayi menjadi sakit bahkan meninggal) sedangkan
hipertermia

(suhu bayi

>37,5oC, dapat

meningkatkan

metabolisme

dan

menyebabkan dehidrasi).
b. Hipoglikemia.
c. Paru belum mengembang.
d. Gangguan pencernaan (mudah kembung karena fungsi usus masih belum cukup

2.

baik).
e. Mudah terkena infeksi (sistem imunitas bayi belum matang).
f. Anemia (bayi kelihatan pucat oleh karena kadar Hb yang rendah).
g. Mudah ikterik.
h. Perdarahan otak.
i. Gangguan jantung.7
Resiko jangka panjang
a. Gangguan pertumbuhan.
b. Gangguan perkembangan.
c. Gangguan penglihatan (retinopati akibat prematur).
4

d. Gangguan pendengaran.
e. Penyakit paru kronik.7
2.1.5. Prognosis BBLR
Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari berat ringannya masalah
perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda masa gestasi/makin rendah berat bayi maka
makin tinggi angka kematian), asfiksia/iskemia otak, sindroma gangguan pernafasan,
perdarahan intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, retrolental fibroplasis, infeksi,
gangguan metabolik (asidosis, hipoglikemia, hiperbilirubinemia).11
2.2. Tablet Zat Besi
Sediaan zat besi oral yang diberikan secara profilaktik berisi salah satu garam besi,
baik dalam bentuk kombinasi dengan asam folat maupun tidak. WHO (1992) mengemukakan
bahwa suplemen 30-60 mg/hari harus diberikan secara profilaktik. Sediaan zat besi yang
banyak digunakan antara lain ferus sulfat, tablet 200 mg yang mengandung 60 mg zat besi;
ferus glukonat, tablet 300 mg yang berisi 35 mg zat besi.4,12

Tabel 2.1. Perbandingan antara Berbagai Formula Zat Besi


Takaran untuk
Kandungan zat besi

mendapatkan 60-65 mg zat

(%)

besi dalam bentuk yang bisa


diserap

Sulfas ferosus/fero
30%

200 mg

20%

300 mg

33%
11,6%

200 mg
600 mg

sulfat (kering)
Sulfas ferosus/fero
sulfat
Fero fumarat
Fero glukonas
2.2.1. Absorpsi

Absorpsi zat besi mengalami peningkatan jika terdapat asam didalam lambung.
Keberadaan asam ini ditingkatkan dengan :4
a. Minum tablet besi dengan makan daging atau ikan yang menstimulasi produksi asam
lambung.
b. Memberikan tablet besi bersama tablet asam askorbat (vitamin C) 200 mg atau
bersama jus jeruk.
c. Memberikan tablet besi bersama alkohol (pada kehamilan tidak dianjurkan).

2.2.2. Efek samping


1. Efek samping gastrointestinal
Suplemen oral zat besi dapat menyebabkan mual, muntah, kram lambung, nyeri ulu
hati dan konstipasi (kadang-kadang diare). Minum tablet zat besi pada saat makan atau segera
sesudah makan dapat mengurangi gejala mual yang menyertainya namun juga dapat
mengurangi jumlah zat besi yang diabsorpsi.4
2.

Defisiensi mikronutrien
Absorpsi zink dan kalsium dapat menurun dengan pemberian tablet zat besi. Zat besi

dapat meningkatkan kebutuhan akan mikronutrien lain dengan menstimulasi pembentukan sel
darah merah yang juga meningkatkan kebutuhan tubuh akan asam folat.4
2.2.3. Interaksi obat
Interaksi obat dengan zat besi ditemukan pada obat anti-hipertensi, seperti metildopa.
Efek anti-hipertensi metildopa akan dihambat oleh zat besi. Pemberian kedua preparat ini
harus dipisah dengan selang waktu dua jam. Makanan seperti telur dan sejumlah produk
sereal yang mengandung fitat dapat mengganggu penyerapan zat besi.4
2.2.4. Preparat lain

Formula zat besi yang lain dapat berupa zat besi dalam bentuk cair (lebih mudah
diserap daripada bentuk tabletnya) dan zat besi parenteral (digunakan pada wanita dengan
kelainan gastrointestinal, misal: kolitis ulseratif).4
2.3. Kebutuhan Zat Besi (Fe) selama Kehamilan
Ekstra zat besi diperlukan pada kehamilan. Kebutuhan zat besi pada kehamilan
dengan janin tunggal adalah 200-600 mg untuk memenuhi peningkatan massa sel darah
merah, 200-370 mg untuk janin yang bergantung pada berat lahirnya, 150-200 mg untuk
kehilangan eksternal, 30-170 mg untuk tali pusat dan plasenta, serta 90-310 mg untuk
menggantikan darah yang hilang saat melahirkan.13
Jumlah sebanyak itu tidak mungkin tercukupi hanya melalui diet. Karena itu
suplementasi zat besi masih perlu sekali diberlakukan, bahkan kepada wanita yang bergizi
baik.4
Penambahan asupan besi, baik lewat makanan dan/atau pemberian suplementasi,
terbukti mampu mencegah penurunan Hb akibat hemodilusi. Tanpa suplementasi (Committee
on Maternal Nutrion menganjurkan suplementasi besi selama trimester II dan III), cadangan
besi dalam tubuh wanita akan habis pada akhir kehamilan. Untuk menjaga agar stok ini tidak
terkuras dan mencegah kekurangan, setiap wanita hamil dianjurkan untuk menelan zat besi
(Fe) sebanyak 30 mg tiap hari. Takaran ini tidak akan terpenuhi hanya melalui makanan, oleh
sebab itu suplemen sebesar 30-60 mg, dimulai pada minggu ke-12 kehamilan yang diteruskan
sampai 3 bulan pascapartum, perlu diberikan tiap hari.4,13
Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004, kebutuhan zat
besi (Fe) untuk ibu hamil Indonesia adalah sebesar 26 mg/hari selama kehamilan trimester I,
35 mg/hari pada trimester II dan kebutuhan zat besi (Fe) semakin meningkat pada trimester
III yaitu sebesar 39 mg/hari.17
Tabel 2.2.

Kebutuhan Mineral Perhari untuk Wanita Dewasa dan Ibu


Hamil
Nutrisi

Kebutuhan

Fe

26 mg/hari
7

Kehamilan
Trimester I

Trimester II + 9 mg
Trimester III + 13 mg

2.4. Fisiologi Kehamilan dan Pengaruh Zat Besi (Fe) terhadap Perkembangan Janin
Perubahan fisiologi pada kehamilan juga meliputi sistem kardiovaskular, yaitu pada
minggu ke-5 cardiac output akan meningkat dan perubahan ini terjadi untuk mengurangi
resistensi vaskular sistemik. Antara minggu ke-10 dan 20 terjadi peningkatan volume plasma
sehingga juga terjadi peningkatan preload. Kapasitas vaskular juga meningkat untuk
memenuhi kebutuhan. Peningkatan estrogen dan progesteron juga menyebabkan terjadinya
vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular perifer.
Volume darah akan meningkat secara progresif mulai minggu ke 6-8 kehamilan dan
mencapai puncaknya pada minggu ke 32-34 dengan perubahan kecil setelah minggu tersebut.
Volume plasma akan meningkat kira-kira 40-45%. Hal ini dipengaruhi oleh aksi progesteron
dan estrogen pada ginjal yang diinisiasi oleh jalur renin-angiotensin dan aldosteron.
Penambahan volume plasma ini sebagian besar berupa plasma dan eritrosit.
Eritropoetin ginjal akan meningkatkan jumlah sel darah merah sebanyak 20-30%, tetapi
tidak sebanding dengan peningkatan volume plasma sehingga akan mengakibatkan
hemodilusi dan penurunan konsentrasi hemoglobin dari 15 g/dl menjadi 12,5 g/dl dan ada 6%
perempuan bisa mencapai dibawah 11 g/dl. Jumlah zat besi yang diabsorpsi dari makanan
dan cadangan dalam tubuh biasanya tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan
sehingga penambahan asupan zat besi dan asam folat dapat mengembalikan kadar
hemoglobin.11
Seorang wanita dewasa sehat mempunyai jumlah total zat besi dalam tubuh sebesar
35004500 mg. Sebanyak 75% dari jumlah ini tersimpan didalam eritrosit dalam bentuk
hemoglobin, 20% terdapat dalam simpanan tubuh, terutama sumsum tulang dan sistem
8

retikuloendotelial sebagai kompleks feritin, dan sisanya 5% disimpan didalam otot dan sistem
enzim, terutama sebagai miohemoglobin.3
Pada orang yang sehat, kehilangan zat besi dari tubuh adalah 1-2 mg perhari. Zat besi
yang hilang ini akan digantikan oleh asupan zat besi. Normalnya, penyerapan zat besi diatur
dengan teliti sehingga jumlah zat besi yang diserap hanya cukup untuk menggantikan zat besi
yang hilang. Tiga diantara sepuluh persen dari asupan gizi setiap harinya akan diserap.
Jumlah zat besi yang diserap akan bergantung pada sejumlah faktor seperti kandungan
makanan, simpanan zat besi didalam tubuh, kecepatan produksi sel darah merah dan apakah
pasien meminum suplemen zat besi atau tidak. Jika simpanan zat besi di dalam tubuhnya
rendah, penyerapan akan meningkat sampai 30% atau bahkan 70% pada kehamilan yang
lanjut ketika zat besi yang diekstrasi oleh sel-sel mukosa usus dengan proporsi yang lebih
besar diangkut lewat mekanisme pembawa kedalam plasma darah. Di dalam plasma, zat besi
akan terikat dengan protein pengangkut, yaitu transferin. Sebagian besar zat besi akan
disimpan dalam sel sebagai feritin. Pengukuran kadar feritin serum menghasilkan suatu
indeks simpanan besi didalam suatu jaringan.4

BAB III
KESIMPULAN
Kehamilan meningkatkan kebutuhan zat besi untuk memenuhi keperluan massa sel
darah merah yang lebih besar dan pembentukan otot tambahan, terutama otot uterus.
Meskipun absorpsi zat besi meningkat cukup besar selama kehamilan, namun bila kehamilan
yang satu dengan yang lain memiliki jarak yang cukup dekat dan/atau bila simpanan besinya
rendah, maka asupan zat besi yang cukup hanya dapat dipenuhi lewat suplementasi.
Ekstra zat besi diperlukan pada kehamilan. Kebutuhan zat besi pada kehamilan
dengan janin tunggal adalah 200-600 mg untuk memenuhi peningkatan massa sel darah
merah, 200-370 mg untuk janin yang bergantung pada berat lahirnya, 150-200 mg untuk
kehilangan eksternal, 30-170 mg untuk tali pusat dan plasenta, serta 90-310 mg untuk
menggantikan darah yang hilang saat melahirkan.
Bayi dengan berat lahir normal terbukti mempunyai kualitas fisik, intelegensia
maupun mental yang lebih baik dibanding bayi dengan berat lahir kurang, sebaliknya bayi
dengan berat lahir rendah (kurang dari 2500 g) akan mengalami hambatan perkembangan dan
kemunduran pada fungsi intelektualnya. Resiko kematian neonatal dengan BBLR adalah 6,5
kali lebih besar bila dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan cukup. Asia
Tenggara telah dilaporkan angka kejadian BBLR berkisar 20-30% dari jumlah kelahiran.
Frekuensi BBLR di negara maju berkisar antara 3,6-10,8%, di negara berkembang berkisar
antara 10-43%.

10

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.
4.
5.
6.

7.
8.

9.

10.
11.
12.

Nurhadi. Faktor Risiko dan Layanan Antenatal terhadap Kejadian


Bayi Berat
Lahir Rendah di BP RSUD Kraton Pekalongan [Tesis].
Semarang: Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2006. [serial online]
2012
diakses
17
november
2012]
Available
from
:
1.
http://id.scribd.com/doc/238096354/NURHADI
Mutalazimah. Hubungan lingkar lengan atas (LILA) dan kadar hemoglobin (Hb) ibu
hamil dengan berat bayi lahir di RSUD dr. Moewardi Surakarta [Skripsi]. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2005. [serial online]
2012
[diakses
17
november
2012]
Available
from
:
3.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/381
Llewellyn D, Jones. Dasar-dasar Obstetri & Ginekologi. Dalam: Suyono J.Y,
penyunting edisi bahasa indonesia. Ed. 6. Jakarta: Hipokrates; 2001: 119-20.
Jordan S. Farmakologi Kebidanan. Dalam: Ester M, penyunting edisi bahasa indonesia.
Jakarta: EGC; 2003. 272-79.
Mochtar R. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Dalam: Lutan D,
editor. Ed. 2. Jakarta: EGC; 1998. 112-16.
DEPKES RI. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia; 2009. [serial online]
2012 diakses 17
november
2012]
Available
from
:
2.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatan-indonesia-2008.pdf
Maryunani A, Nurhayati. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus.
Jakarta: Trans Info Media; 2009. 21-9.
BAPPENAS RI. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan.
Jakarta: BAPPENAS RI; 2012. [serial online]
2012
diakses
17
november
2012]
Available
from
:
4.
http://kgm.bappenas.go.id/document/datadokumen/40DataDokumen.pdf
DEPKES RI. Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS)
kalimantan
tengah 2007. Jakarta: DEPKES RI;2008. [serial online]
2012 diakses 17
november
2012]
Available
from
:
5.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil/Riskesdas/2008.pdf
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi
T, penyunting. Ed. 3. Cet. 9. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2007. 771-84.
Myles. Buku Ajar Bidan. Dalam: Fraser DM, Cooper MA, penyunting. Ed. 14. Jakarta:
EGC; 2009. 330.
Tambunan V. Nutrition During Pregnancy & Lactation. Disampaikan pada Kuliah Gizi
Modul Reproduksi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Palangka Raya:
Kuliah gizi modul Reproduksi, Palangka Raya, September; 2012.

11

Anda mungkin juga menyukai