Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TEORI DAN MODEL KEPEMIMPINAN

DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. Biner Ambarita, M.Pd.
Prof. Dr. Paningkat Siburian, M.Pd

DISUSUN OLEH
Berthon Oktora Nababan
NIM. 8156132061
Suriani Ganumba
NIM. 8156132092

PRODI ADMINISTRASI PENDIDIKAN KONSENTRASI KEPENGAWASAN


PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya
makalah yang berjudul Teori dan Model Kepemimpinan dengan baik dan tepat waktu. Materi
pada makalah ini adalah pembahasan dari materi Mata Kuliah Teori Administrasi dan
Manajemen Pendidikan.
Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas pada mata
kuliah Teori Administrasi dan Manajemen Pendidikan. Materi pada makalah ini diharapkan dapat
memperkaya diri dalam memahami tentang Kepemimpinan di dalam kepengawasan.
Pada kesempatan ini Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah terlibat dan membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain itu Tim Penulis juga
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini.

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kepemimpinan ............................................................................................................4
2.2 Teori Kepemimpinan ................................................................................................5
2.3 Model Kepemimpinan ............................................................................................10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................19
3.2 Saran ....................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................20

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
"Leadership is not about titles, positions, or flow charts. It is about one life
influencing another." John C. Maxwell. Kepemimpinan bukan mengenai pangkat, posisi
atau diagram alur, tetapi mengenai suatu kehidupan yang berdampak bagi orang lain.
Pengawas sekolah adalah guru pegawai negeri sipil yang diangkat dalam jabatan
pengawas sekolah (PP 74 tahun 2008). Pengawas adalah kegiatan pengawas sekolah
dalam menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, evaluasi
hasil pelaksanaan program, dan melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional
guru. Dalam buku kerja pengawas sekolah (2011) disebutkan bahwa pengawas sekolah
yang profesional harus memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik yang harus dimiliki
pengawas sekolah yaitu :
1.
Menampilkan kemampuan pengawas dalam bentuk kinerja.
2.
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
3.
Melaksanakan tugas kepengawasan secara efektif dan efisien.
4.
Memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan.
5.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan.
6.
Mengembangkan metode dan strategi kerja kepengawasan terus menerus.
7.
Memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri.
8.
Memiliki tanggung jawab profesi.
9.
Mematuhi kode etik profesi pengawas.
10.
Memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi profesi kepengawasan
sekolah.
Kepemimpinan pada seorang pengawas sekolah merupakan sesuatu yang mutlak untuk
dimiliki, karena berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab yang harus
dilakukannya. Oleh karena itu seorang pengawas harus dapat menjadi pemimpin bagi
guru dan kepala sekolah yang akan dilayaninya. Tetapi apakah kepemimpinan itu
sebenarnya, bagaimana kepemimpian itu dapat muncul, dan bagaimana para pemimpin di
berbagai organisasi yang ada menampilkan gaya kepeimpinan mereka?. Makalah ini akan
membahas masalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1

Dari Latar Belakang masalah yang diuraikan penulis, banyak permasalahan yang
ditemukan penulis. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Apa itu Kepemimpinan?
2. Bagaimana Teori-teori dalam kepemimpinan?
3. Bagaimana Model-model dalam kepemimpinan?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari Makalah ini adalah:
1. Sebagai penyelesaian tugas Mata Kuliah Teori Administrasi dan Manajemen
Pendidikan.
2. Menjelaskan tentang Teori Kepemimpinan dan Model Kepemimpinan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan telah menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan jika kita menggunakan mesin pencari kata Google, maka penelusuran kata
Kepemimpinan memiliki hasil sekitar 3.100.000 artikel. Sedangkan kata Pemimpin
2

memiliki hasil penelusuran sebanyak 7.940.000. ini merupakan hasil penelusuran yang
sangat fantastis. Hal ini menandakan bahwa topik tentang Pemimpin dan Kepemimpinan
merupakan topik yang banyak dicari orang di dunia maya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kepemimpinan adalah perihal
pemimpin; cara memimpin. Sedangkan dalam Kamus Merriam-Webster kata Leadership
(Kepemimpinan) diterjemahkan sebagai:
1. A position as a leader of a group, organization, etc
2. The time when a person holds the position of leader
3. The power or ability to lead other people.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tampak bahwa defenisi kepemimpinan
sangat berkaitan dengan pemimpin dan cara memimpin, defenisi ini tampaknya sangat
luas untuk ditafsirkan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster Kata
Leadership atau Kepemimpinan lebih dijelaskan lebih terperinci sebagai suatu kekuasaan
atau kemampuan untuk memimpin orang lain. Hal ini senada dengan defenisi
Kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli.
1. Sthepen P. Robins mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan
2. Rhicard L. Daft mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang
yang mengarah pada pencapaian tujuan.
3. R. Terry memberikan defenisi Leadership sebagai Is the activity of influencing people
to strive willingly for mutual objectives.
4. Ricky W. Griffin mengatakan bahwa pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi perilaku orang lain, tanpa harus mengandalkan kekerasan, pemimpin
adalah individu yang diterima orang lain.
Tim penulis buku Perilaku Organisasi (2004) menyimpulkan Kepemimpinan
adalah gaya dan kemampuan seseorang pimpinan dalam memberdayakan (empowering),
memberikan pengarahan (coaching) kepada bawahannya dalam mewujudkan visi,
melaksanakan misi dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dari penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan
(Leadership) adalah segala upaya yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pemimpin)
untuk mempengaruhi orang lain dengan cara memberdayakannya, mengarahkannya
untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
3

2.2 Teori Kepemimpinan


Pada dasarnya kepemimpinan muncul sejak adanya peradaban. Pada awal masa
peradaban, kepemimpinan muncul sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi
(keberadaan) kelompok mereka untuk bertahan hidup. Pemimpin yang diangkat biasanya
adalah mereka yang memiliki fisik yang paling kuat, paling berani, paling cerdas. Sebab
musabab inilah yang mendorong banyak ahli untuk menyatakan teorinya tentang
munculnya pemimpin.
Teori Kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan
mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakannya dalam beberapa segi
antara lain, latar belakang sejarah pemimpin, kepemimpinan muncul sejalan dengan
peradaban dan kepemimpinan diperlukan dalam setiap masa.
Beberapa Teori Kepemimpinan yang ada:
1. Teori Kepemimpinan berdasarkan Watak atau Sifat (Trait Theory)
Sejarah teori dan penelitian kepemimpinan dimulai oleh Bernard yang pada tahun 1926
menyatakan bahwa kepemimpinan bisa dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang
dibawa seseorang sejak lahir (Horner, 1997 : 270). Teori ini dinamakan teori sifat (traits
theory), dengan inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat
atau direkayasa. Indikator dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara
alamiah, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan
serta pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan
bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh terhadap kesuksesan seorang pemimpin,
yaitu kecerdasan, kedewasaan & keluasan hubungan sosial, motivasi diri & dorongan
berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan dari penelitian ini,
sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926, mengarahkan pada premis bahwa
pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner (1997 : 270) menyebutkan bahwa setelah
teori sifat terungkap, maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk
membuktikan validitas teori ini seperti Stogdill pada tahun 1948.
Menurut Stogdill Pemimpin yang berhasil harus memiliki:
a) Capacity (kemampuan)
b) Achievement (prestasi)
c) Responsibilities (tanggung-jawab)
4

d) Status (keadaan yang baik)


e) Participation (partisipasi/ikut serta)
Menurut Judith R. Gordon, karakter yang dimiliki seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan dalam:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Kemampuan Intelektual
Kematangan pribadi
Pendidikan
Status social dan Ekonomi
Human relation
Motivasi intrinsic
Dorongan untuk maju.

Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan jelas
mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan sebuah
tipe kepemimpinan yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut. Bahasan berikutnya adalah mengenai efektivitas
kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh pemimpin agar efektif, bagaimana mereka
mendelegasikan tugas, bagaimana mereka mengkomunikasikan ide dan memotivasi
pengikutnya, bagaimana mereka mencapai target dalam menyelesaikan tugas, dan
bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya menjadi sukses (Wahjono,
2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270) menambahkan bahwa kelemahan lain dari
teori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan
bawahan serta situasi pekerjaan.
2. Teori Kepemimpinan berdasarkan Perilaku (Behavior Theory)
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu
dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya,
bahwa pemimpin itu dibentuk dan diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori
sifat menjadi dasar munculnya teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin
dan Winer pada tahun 1950 dalam Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori
kepemimpinan dengan penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh
pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir. Teori ini dinamakan teori
perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau
mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam
meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Halpin dan Winer pada tahun

1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang sukses atau
mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang pemimpin yang
telah sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak peneliti yang telah
melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini, di antaranya
Mintzberg (1973), McCall, Morrison dan Hannan (1978), McCall dan Segrist (1980),
Kotter (1982), Kurke dan Aldrich (1983), Kanter (1983), Gabarro (1985), dan Kaplan
(1986).
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Michigan yang menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu
(Robbins, 1996 : 41):
a. Consideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja, yang menekankan pada
rasa dan hubungan antar individu pekerja.
b. Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan
pada pekerjaan dalam mencapai tujuan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada
pekerja diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang tinggi dan kepuasan kerja.
Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu
menjelaskan mengenai teori kepemimpinan, yaitu:
a. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan
b. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean
c. Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang
tidak terlalu peduli pada aktivitas karyawan (no leadership)
Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model
kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari universitas Ohio,
Michigan dan Iowa (Horner, 1997 : 271). Blake, Shepard dan Mouton merumuskan dua
dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan Michigan yaitu concern for
people dan concern for output dan dikemudian hari mereka menambahkan dimensi yang
ketiga, yakni fleksibilitas.
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan
berbasis perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat
menjelaskan mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor situasi
pekerjaan seharusnya tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun gaya kepemimpinan
6

yang tepat bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi &
Hadi dalam Rahyuda, 2008 : 12).
3. Teori Kepemimpinan berdasarkan Situasi (Situational Theory)
Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor
situasi pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang
menghububungkan sifat maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan.
Pendekatan ini dinamakan pendekatan situasional yang mengemukakan bahwa efektivitas
kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap
dan persepsi. Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan paling ideal dalam
menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan situasi (Horner, 1997 : 271).
Menurut Horner (1997 : 271), inti dari teori situasional menggambarkan bahwa tipe yang
digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor seperti pemimpin itu sendiri,
pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu mengubah tipe
kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan situasi.
Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah
teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967
(Luthans, 2005 :649). Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja
pegawai yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe
kepemimpinan seorang pemimpin dengan bawahannya serta sejauh mana pemimpin
mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting yang muncul pada model
kepemimpinan kontingensi, yaitu:
a. Leader-member relations (hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin
dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap
pemimpin.
b. Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur
operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.
c. Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti
penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah.
Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton
pada tahun 1973 (Horner, 1997 : 271). Teori yang dinamakan teori normatif VroomYetton ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam
7

berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan
yang dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe
kepemimpinan yang akan dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Selanjutnya House dan Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional
dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52). Teori
yang dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa seorang pemimpin
mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal)
mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan.
Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku pemimpin, yaitu (Wahjono,
2010 : 284):
a. Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana
caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja, dan
memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.
b. Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih
menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah
bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
c. Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan
menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.
d. Pemimpin yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang
menantang, mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang
berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga
apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan, maka pemimpin mampu
mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997 : 271)
mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori
situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori ini
lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya
ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai
konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan
perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai
dengan perubahan situasi pekerjaan.
8

2.3 Model Kepemimpinan


Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas
dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang
kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada
perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers).
Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu
pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan
sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser
pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang
diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti
menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi
tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi
dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi
memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang
mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin.
Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada
kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting
untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen
organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan
disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai
model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan
transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan
watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)


Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti
tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya:
kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam
bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang
membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab,
partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak
konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak
pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja
manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah
dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh
pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara
karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat
signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists
between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation
may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan
didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin
mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan
pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas
antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari
faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan
dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak
kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan
kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi
karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang
10

pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan
juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi
hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan
seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan
kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut
tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk
mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi
kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat
empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi
(structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi
(organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan
karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan
situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model
terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini
tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana
yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah
laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin
dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating
structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan
menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun
interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana
para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini
dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi
menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan
bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan
emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan
penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi
11

ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan


komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku
pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di
atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata
kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang
persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat
dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung
anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua
aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)


Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional.
Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda
membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi
memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara
kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja
pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena
model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan
kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut
Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini
selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah
hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the
task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana
pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk
12

mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugastugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugastugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan
posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh
pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa
memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan
posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan
otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan
pangkat (demotions).
Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas
pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik
situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan
dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan
bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership
(mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk
yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan
keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang
menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan
efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan
internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model
kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian
model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling
efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational
Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara
eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk
13

memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional,


model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam
organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang
pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai
tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri
pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para
pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan
hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model
kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu
memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang
mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,
mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus
menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational
leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared
vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for
compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang
karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi
mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan
untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan
bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut
Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para
bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi
kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan
dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang
dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and

14

Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek


transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness
through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa
kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the
Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal).
Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para
pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang
kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi).
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin
yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan,
mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu
menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual).
Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan
solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru
dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi
individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang
pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan
dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan
pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk
relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang
dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang
sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan
yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi,
dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan

15

konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya


Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip
dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang
digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam
konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman
(1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new
leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin
penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai
kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individuindividu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri
individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses
penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih
baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak
yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini
dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya
perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka
dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai
pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu
menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang
sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani
meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di
berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hypercompetition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan
global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan
sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh
aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan
baru.
16

Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan


yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi
usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan (Leadership) adalah segala upaya yang dilakukan seseorang
(dalam hal ini pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain dengan cara
memberdayakannya, mengarahkannya untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
Dalam usaha memiliki kepemimpinan yang efektif dan berdaya guna
dilakukanlah penelitian yang menghasilkan beberapa teori kepemimpinan yaitu:
1. Teori berdasarkan watak atau sifat (Trait Theory)
2. Teori berdasarkan Perilaku (Behavior Theory)
3. Teori Kepemimpinan berdasarkan Situasi (Situational Theory)
Berdasarkan teori-teori kepemimpinan yang berhasil dirumuskan di atas,
dibentuklah beberapa model kepemimpinan yaitu :
1. Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
2. Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
3. Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
4. Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
5. Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
17

3.2 Saran
Berdasarkan teori dan model kepemimpinan yang telah dipaparkan, kita dapat
mengadaptasi bahkan membuat model kepemimpinan yang baru sesuai dengan setiap
pribadi kita masing-masing, dengan tentu saja menekankan pada pencapaian tujuan
akhir yang terbaik dan berdaya guna untuk kebersamaan akibat dari suatu
kepemimpinan

Kami menyadari dari uraian di atas akan ada hal-hal yang memunculkan
pandangan-pandangan baru. Oleh sebab itu, kami sangat terbuka dengan segala saran
yang tentunya membangun sehingga makalah ini menjadi lebih layak sebagai referensi
kita dalam menjalankan kepemimpinan di masa yang akan datang di Negara kita dengan
cinta sepenuh hati.
Tiada gading yang tak retak karena retaknyalah nilai jualnya mahal. Tiada insan
yang tak khilaf karenanya berilah maaf janganlah maaf dijual mahal. Semoga setiap
perjuangan kita diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, amin.

18

DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, Biner dkk, 2014, Perilaku Organisasi, Penerbit Alfabeta, Bandung
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through
Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers,
New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row,
New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.

19

French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander
(eds.), Group

20

Anda mungkin juga menyukai