Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap individu akan mengalami proses perkembangan secara alami, mulai
dari lahir hingga menjadi dewasa akhir atau lansia. Usia lanjut adalah fase
menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dari adanya perubahan dalam
perjalanan hidup. Sebagaimana diketahui, manusia berkembang dari usia balita,
remaja, dewasa dan lansia yang merupakan tahap akhir kehidupan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2,
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2009).
Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia kronologis atau biologis
menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu antara 45 sampai 59 tahun, lanjut
usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90
tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu > dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Jumlah penduduk lansia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, ini
disebabkan oleh peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang
akan berpengaruh pada peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 % dari jumlah keseluruhan
penduduk di Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553
jiwa (9,77 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia). Pada tahun 2020,
jumlah lansia diprediksikan mencapai 28.882.879 jiwa (11,34 % dari jumlah
keseluruhan penduduk di Indonesia). Jumlah tersebut akan menempatkan Indonesia
pada urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India (Kementrian Kesehatan RI, 2013)
Seiring banyaknya jumlah lansia di Indonesia, maka perlu perhatian khusus
untuk meingkatkan kualitas hidup mereka. Pertambahan usia mengakibatkan
perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataannya, meskipun mereka memiliki
waktu cukup untuk tidur, tetapi terjadi penurunan kualitas tidur (Maryam, dkk, 2008).
Pada usia lanjut terjadi penurunan tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi

mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan tahap 2. Perubahan ini menimbulkan


beberapa efek yaitu : kesulitan untuk mengawali tidur, menurunnya total sleep time,
sleep eficiency, trasient arousal dan bangun terlalu dini (Bliwise and Endeshaw,
2006). Lansia mengalami episode tidur REM yang cenderung memendek, terdapat
penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia hampir
tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang dalam. Seorang lansia lebih sering bangun di
malam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tertidur (Potter & Perry,
2011).
Tidur menjadi kebutuhan setiap manusia dan merupakan suatu siklus yang
rutin setiap harinya (Galimi, 2010). Setelah beraktivitas, manusia membutuhkan
waktu untuk mengembalikan fungsi normal tubuh, salah satunya yaitu tidur. Sebagian
orang mengeluhkan tidak bisa tidur dimalam hari. Kasus ini lebih sering terjadi pada
usia lanjut.
Adapun gangguan masalah tidur yang sering di alami lansia yakni susah tidur
pulas, sering terbangun dimalam hari dan sulit memulai tidur kembali, berkurangnya
waktu tidur malam, semakin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur
(sleep latency), perasaan tidur yang kurang, terbangun cepat dan tidur sekejap pada
siang hari (naps) sering terjadi berulang dan tidak disadari. Jumlah total waktu tidur
normal pada kebutuhan tidur sewajarnya yaitu 6 jam/hari (Potter & Perry, 2011).
Perubahan pola tidur pada lansia didasari oleh berubahnya ritme sirkadian. Hal
ini dikarenakan oleh aspek fisiologis dimana terjadi penurunan sistem endokrin. Salah
satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi norepinephrine
dan serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Dan hal inilah
menyebabkan gangguan tidur.
Fungsi dari sistem organ dari mahluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama
24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonom,
aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah
suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja
dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik (Bliwise and Endeshaw, 2006).
Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron fotoresptor di SCN akan teraktivasi.
SCN akan merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin yang dapat
menimbulkan rasa kantuk (Galimi, 2010). Penurunan fungsi dari SCN berkaitan
dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN
akan menyebabkan terjadinya penurunan ritme sirkadian (Bliwise and Endeshaw,
2006).

Kualitas tidur yang berhubungan dengan adanya insomnia, Rest Legs


Syndrome (RLS) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Colten & Altevogt (2006)
menyampaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur seperti faktor fisik,
psikologis, sosial dan lingkungan. Adanya perubahan pada aspek- aspek tersebut
dapat menyebabkan beberapa gangguan pada respon imun, metabolisme tubuh dan
fungsi kardiovaskular.
Penanganan gangguan tidur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara
farmakologi dan secara non farmakologi. Secara farmakologi yaitu dengan
memberikan obat sedative hiptonik seperti golongan benzodiazepine (ativan, valium,
dan diazepam), (Widya, 2010). Namun, pada lansia terjadi perubahan
farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat dalam tubuh lansia yang
menyebabkan penatalaksanaan dengan farmakologis sangat memberi risiki pada
lansia. Dengan demikian penatalaksanaan secara non farmakologi adalah pilihan
alternative yang lebih aman, yakni dengan cara terapi stimulus control, melakukan
olahraga ringan, berjalan kaki pada pagi hari, berlari- lari kecil, senam atau sekedar
peregangan otot, tetapi relaksasi (Putra, 2011).
Salah satu terapi relaksasi adalah dengan menggunakan air. Hydrotherapy
adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan.
Untuk tujuan ini air bisa digunakan dalam banyak cara dan kemampuannya sudah
diakui sejak dahulu, terutama di kerajaan Yunani, dan kebudayaan Turki juga oleh
masyarakat Eropa dan Tiongkok kuno. Masyarakat umum juga menyadari bahwa
manfaaat air hangat adalah untuk membuat tubuh lebih rileks, menyingkirkan rasa
pegal- pegal dan kaku di otot, dan mengantar agar tidur bisa lebih nyenyak (Sustrani,
Alam, Hadibroto, 2006). Dalam pemaparan Dinkes (2014) air hangat membuat kita
merasa santai, meringankan sakit dan tegang pada otot dan memperlancar peredaran
darah. Maka dari itu, berendam air hangat bisa membantu menghilangkan stress dan
membuat tidur lebih mudah. Suhu air hanat yang dipakai adalah 40oC.
Praktek merendam kaki dengan air hangat adalah salah satu metode perawatan
kesehatan yang populer dikalangan masyarakat Tiongkok. Pengobatan Tradisional
Tiongkok merekomendasikan rendam kaki dengan air hangat setiap hari untuk
mrningkatkan sirkulasi darah dan mengurangi kemungkinan demam. Terapi rendam
kaki dengan air hangat mencapai serangkaian perawatan kesehatan yang efesien
melalui tindakan pemanasan, tindakan mekanis dan tindakan kimia air serta efek
penyembuhan dari uap obat dan medis pengasapan. Dipaparkan juga oleh Raisanen
(2010) mengungkapkan ada enam keuntungan dari air hangat yaitu mengurangi stress,

mendetoksifikasi, membuat tidur nyenyak, merelaksasikan otot dan meredakan sakit


dan nyeri di otot dan sendi, meningkatkan kerja jantung, melawan penyakit dan
meredakan kesesakan.
Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh
manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Karena ada banyak
titik akupuntur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal,
limpa, dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Rendam air hangat pada kaki efektif
digunakan untuk meningkatkan kuantitas tidur pada lansia yang mengalami gangguan
tidur.
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Kurang
tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat menggangu kesehatan fisik maupun
psikis. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda- beda, usia lanjut membutuhkan waktu
tidur 6-7 jam per hari (Hidayat, 2008). Adanya gangguan tidur dapat mengakibatkan
masalah kesehatan seperti gangguan pada metabolisme hormon, kardiovaskular dan
penurunan respon imun. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yakni
berkisar lebih dari 60%. Gangguan tidur pada lansia memiliki dampak serius yakni
mengantuk berlebihan disiang ahri, gangguan atensi dan memori, mood, depresi,
resiko tinggi terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan
kualitas tidur. Untuk itu gangguan tidur pada lansia harus mendapat perhatian dan
penanganan yang serius. Usia lanjut sangat rentan dalam mengahdapi status
kesehatannya dan kemungkinan komplikasi begitu besar. Manajemen pengelolaan
terapi pada lansia harus sangat terkontrol. Kurangnya tidur dapat menimbulkan
masalah yang berarti bagi lansia.
Dari data di atas, tergambar bahwa seseorang dengan usia lanjut mengalami
gangguan tidur yang sangat berarti. Mereka tidak memiliki pengetahuan lebih terkait
dengan gangguan tidur dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap
kualitas tidur dan pengaruh dari merendam kaki dengan air hangat sangat penting
dilakukan sehingga nantinya klien dapat melakukan bagian dari asuhan keperawatan
secara mandiri. Selain itu, perawat juga dapat mempertimbangkan cara ini sebagai
metode alternatif untuk meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Peran perawat dalam
menangani masalah gangguan tidur merupakan hal yang sangat penting karena
banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh gangguan tidur.
Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan salah satu instrumen
yaki, the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk mengidentifikasi tentang
kualitas tidur secara subjektif, durasi tidur, gangguan yang terjadi selama tidur,

kebiasaan waktu mulai tidur, kebiasaan penggunaan obat untuk membantu tidur
(Buysee et al, 2000)
Persentase penduduk usia lanjut di Jawa Barat tahun 2010 adalah 12,4% dan
diproyeksikan menjadi 14,3% pada tahun 2025 (Taslim, 2006). Di Kabupaten Ciamis,
penduduk usia lanjut setiap tahunnya meningkat adalah ...(Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Ciamis).
Kecamatan Lakbok merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten
Ciamis Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2012 jumlah lansia sebanyak.... dan paling
banyak terdapat di Desa Cintaratu (Profil Puskesmas Lakbok, 2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada
lansia.
B. Rumusan Masalah
Prevalensi lansia diperkirakan akan terus meningkat terutama di negaranegara yang sedang berkembang termasuk diantaranya Indonesia. Peningkatan angka
lansia sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perbaikan sosial ekonomi berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat.
Berbagai studi mengenai kualitas tidur pada lanjut usia dan metode
penanganan gangguan tidur pada lanjut usia baik secara farmakologis dan nonfarmakologis sudah dilakukan sebelumnya, namun penanganan secara farmakologis
memiliki efek samping yang sangat beresiko terhadap kesehatan lansia. Metode
relaksasi merupakan terapi yang efektif agar dapat meningkatkan kualitas tidur pada
lansia. Salah satu contoh metode relaksasi yakni dengan merendam kaki
menggunakan air hangat.
Beberapa penelitian terkait dengan masalah tidur dan lansia telah dilakukan,
namun peneliti belum menemukan penelitian yang membahas intervensi alternative
khususnya penggunaan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia,
sehingga menurut peneliti hal tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh
pada kualitas tidur lansia dengan melakukan terapi merendam kaki dengan air hangat
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis?
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengatahui adakah pengaruh setelah perlakuan merendam kaki dengan air
hangat pada kualitas tidur lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten
Ciamis.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia dan jenis kelamin) terhadap
kualitas tidur
b. Mengidentifikasi komponen kualitas tidur (kualitas tidur subyektif, latensi
tidur, lamanya tidur, efesiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,
dan disfungsi di siang hari) pada responden
c. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden sebelum intervensi merendam
kaki dengan air hangat
d. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden setelah intervensi merendam
kaki dengan ai hangat
e. Mengidentifikasi perbedaan rerata skor responden sebelum dan sesudah
intervensi merendam kaki dengan air hangat
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pelayanan Keperawatan
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan lansia dan dapat menjadi landasan dalam melakukan intervensi
guna meningkatkan kualitas tidur pasien
b. Menjadi aspek penting bagi perawat dalam memberikan edukasi pada lansia
dengan menekankan pemenuhan kebutuhan tidur.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan
dalam hal pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia dengan intervensi nonfarmakologis.
3.

Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi acuan proses belajar dalam menerapkan ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan melalui proses pengumpulan data dan
informasi- informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, diteliti, dianalisis dan disusun
dalam sebuah karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat serta menambah
kekayaan intelektual.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Putra Banjar yang bertujuan untuk mengetahui
adakah pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia
di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis. Jenis penelitian ini adalah
penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi pra eksperimen dengan pendekatan
One-Group pre test post test. Intervensi merendam kaki sebelum tidur dilakukan
selama 5 hari berturut- turut. Data yang digunakan adalah data primer dengan metode
pengambilan data melalui pengisian kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Subjek yang diteliti adalah lansia di Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok Kabupaten
Ciamis. Waktu penelitian berkisar dari Januari- Februari 2016.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Definisi Lanjut Usia
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran kemampuankemampuan kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu,
ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru. Kemunduran lain yang
dialami adalah kemunduran fisik antara lain kulit mulai mengendur, timbul
keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan
berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam, dkk, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas
(Nugroho, 2009). Sedangkan WHO menggolongkan lansia berdasarkan usia
kronologis atau biologis menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) yaitu

antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun,
lanjut usia tua (old) yaitu 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu
> dari 90 tahun (Mubarrok, dkk, 2006).
Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawata, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat
menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia
(Maryam, dkk, 2008).
Usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi lima (Maryam, dkk, 2008)
yaitu:
a. Pralansia (Presinilis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial adalahlansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis menyimpilkan bahwa
seseorang di katakan lanjur usia adalah seseorang yang mencapi usia lebih dari
60 tahun dan dikatakan potensial apabila masih produktif yang mampu
memmenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak potensial apabila tidak produktif
yang bergantung kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan lanjut usia sebesar
18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20,54 juta jiwa pada tahun 2009.
Jumlah ini termasuk terbesar ke empat setelah Amerika, India, dan Tiongkok
(BPS, 2012).
Seperti diketahui, Indonesia sekarang berada dalam transisi demografi,
presentasi lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan
datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat atau populasi
muda (1979) menjadi populasi yang lebih tua pada tahun 2020. Pergeseran
ini menurut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain
perlu perhatian lebih dan prioritas untuk penyakit- penyakit pada usia dewasa
dan lansia (Darmojo, 2009).

2. Teori Menua
Penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan
terus menerus, dan berkesinambungan. Pada dasarnya ada dua faktor yang
menyebabkan proses penuaan terjadi, yaitu faktor internal (radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun dan gen) dan faktor eksternal (gaya hidup yang tidak sehat, diet
yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan
kemiskinan), (Stanley & Beare, 2007). Menua (aging) juga merupakan proses
yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secara progresif seiring
waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan
menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2009).
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
biologi, teori psikolohi dan teori spiritual.
a. Teori Biologi
1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas mengakibatkan oksidasi bahan- bahan organik
menyebabkan sel- sel tidak dapat regenerasi (Maryam, dkk,
2008).
2) Teori Genetik dan Mutasi
Menurut teori ini, menua telah tergrogram secara gentik untuk
spesies- spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul- molekul DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam,
dkk, 2008). Teori mutasi somatik menurut teori ini menua
disebabkan oleh kesalahan- kesalahan yang beruntun sepanjang
kehidupan akibat lingkungan yang buruk. Setelah berlangsung
dalam waktu yan cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses
tenskripsi (DNA menjadi RNA) maupun dalam proses translasi
(RNA ke protein atau enzim). Kesalahan tersebut akan
menyebabkan terbentuknya enzim yang salah sehingga
mengakibatkan penurunan fungsional sel (Darmojo, 2009).
3) Teori Immunologi
Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem inum
untukmengahancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah.
Destruksi bagian jaringan yang luas dapat terjadi sebelum respon
dimulai. Disfungsi sistem imun ini diperkirakan menjadi faktor

dalam perkembangan penyakit kronis, seperti kanker, diabetes


dan penyakit kardiovaskuler serta infeksi (Perry & Potter, 2011).
4) Teori Stress
Proses menua terjadi akibat hilangnya sel- sel yang biasa
digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha
dan stress yang menyebabkan sel- sel tubuh telah terpakai
(Maryam, dkk, 2008).
5) Teori Rantai Silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak,
protein, karbihidrat dan asam nukleat. Reaksi kimia ini
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan
hilangnya fungsi (Nugroho, 2008).
b. Teori Psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula
dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.
Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat
menjadi karekteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri
yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi
dengan mudah terhadap nilai- nilai yang ada ditunjang dengan status
sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi
persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses dan merespon
stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari
stimulus yang ada (Maryam, dkk, 2008).
c. Teori Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada
pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi
individu tentang arti kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu
bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir.
Sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan orang dan lingkungan
yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai- nilai dan
pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).

3. Aspek Fisiologik dan Patologik


Dengan makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya
penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ- organnya makin besar
(Darmojo, 2009). Proses ini menyebabkan perubahan- perubahan pada lansia
diantaranya adalah:
a. Perubahan Sistem Panca- indra
Terdapat berbagai perubahan morfologik baik pada mata, telinga,
hidung, syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat degeneratif
ini yang bersifat anatomik fungsional, memberi manifestasi pada morfologi
berbagai organ panca indra tersebut baik pada fungsi melihat, mendenar,
keseimbangan ataupun perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim
bahkan bisa bersifat patologik, misalnya terjadinya ektropion/entropion, ulkus
kornea, galukoma dan katarak pada mata, sampai pada keadaan konfusio
akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga dapat terjadi tuli konduktif,
sindrom keseimbangan (Darmojo, 2009).
b. Perubahan Sistem Gastro-intestinal
Kehilangan gigi penyebab utama adanya peridontal disease, penyebab
lain meliputi kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang buruk, serta
berkurangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali menyebabkan lansia
keleahan pada saat mengunyah makanan. Indra pengecap menurun, adanya
iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indra pengecap ( 80%),
hilangnya sensitifitas syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin, asam
dan pahit sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat
mengakibatkan kondisi defisiensi nutrisi pada lansia.
Esofagus mengalami kemunduran dalam melakukan gerakan
peristaltik, sehingga dapat menyebabkan lansia merasa disfagia, nyeri dada,
muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitifitas rasa lapar menurun dan
waktu menggosokkan lambung menurun. Perubahan pada usus halus termasuk
atropi dari permukaan mukosa, menipisnya lapisan villi, dan berkurangnya
jumlah dari folikel limfatik. Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi
pankreatik serta pengeluaran enzim yang berkurang. Penurunan aktivitas
enzim berhubungan dengan pencernaan lemak. Kemampuan peristaltik usus
melemah sehingga biasanya timbul konstipasi pasa lansia (Darmojo, 2009).
c. Perubahan Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah


menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Darmojo, 2009).
d. Perubahan Sistem Respirasi
Otot- otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktivitas dari silia, paru- paru kehilangan elastisitas. Semua ini
berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan
pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen. Oklusi sebagian atau total
napas atas dapat terjadi, hal ini dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea
(OSA). Disamping itu, terjadi penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik
lain yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada
saluran napas (Darmojo, 2009).
e. Perubahan Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun begitu pula menurunnya aktivitas
tyroid, menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR) juga menurunnya pertukaran
zat dan produksi aldosteron, esterogen dan testosteron. Kematian sel
merupakan hal yang mendominasi pada perubahan sistem endokrin secara
fisiologis, karena kematian sel inilah perubahan sistem endokrin pada lansia
ditemukan bahwa hampir semua produksi hormon berkurang. Salah satu conto
penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi noreepinephrine dan
serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah
yang mengakibatkan gangguan tidur (Darmojo, 2009).
f. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga
menyebabkan pergerakan pinggang, lutut dan jari- jari terbatas, beggitupun
dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan
pergerakan yang lambat, otot- otot dapat mudah menjadi kram dan tremor,
sehingga sering dijumpai sebagai gejala Restless Legs Syndrome (RLS), tetapi
pada otot polos tidak begitu terpengaruh. Dengan bertambahnya usia, proses
berpasangan penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat,
terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya hormon estrogen
(wanita), vitamin D (erutama mereka yang kurang terkena sinar matahari) dan
beberapa hormon lain, misalnya parathormon dan kalsitonin (Darmojo, 2009).
g. Perubahan Sistem Perkemihan

Terjadi perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan. Banyak


yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, eksresi dan reabsorbsi
oleh ginjal, hilangnya protein terus- menerus dari ginjal, penurunan kapasitas
kandung kemih, nokturia, peningkatan inkontinensia urgensi, dan stress pada
wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi
retensi urin dan sulit berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry,
2011).
h. Perubahan Sistem Imun
Sistem imun merupakan mekanisme yang digunakan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh, sebgai perlindungan terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebanyak
30% kematian pada lansia disebabkan oleh penyakit infeksi. Bagian tubuh
yang bertanggung jawab dalam hal penanganan penyakit infeksi dalam tubuh
adalah sistem barier tubuh.
Contoh sistem barier pada tubuh adalah batuk, bersin, permukaan
mukosa, kulit, sel silia, air mata dan pH lambung. Pada lansia mekanisme
pertahanan ini mengalami penurunan kemampuan, hal ini menyebabkan
penurunan kemampuan tubuh dalam menghilangkan bakteri dan virus yang
masuk ke dalam tubuh. Penurunan sensitivitas imun pada lansia berhubungan
dengan penurunan kelenjar- kelenjar imun, seperti kelenjar timus, kelenjar
limfe dan limpa (Fatmah, 2010).
i. Perubahan Sistem Saraf
Berat otak pada lansia umumnya menurun 10-20%. Selain penurunan
berat otak, terjadi juga penebalan meningen, kedalaman giri dan sulci
berkurang pada otak lansia (Darmojo, 2009). Pada lansia resiko sindrom
Parkinson dan demensia tipe Alzeimer disebabkan oleh adanya degenerasi
pigmen sebtansia nigra, kekusutan neurofibriler dan pembentukan badanbadan hinaro. Perubahan patologik pada jaringan saraf sering diikuti berbagai
penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, hipertiroid, hipotiroid yang juga
menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi (Fatmah, 2010).
Perubahan lain yang terjadi pada lansia yakni perubahan kognitif dan
perubahan psikososial (Potter & Perry, 2011).
a. Perubahan Kognitif
Kemampuan kognitif terdiri dari intelektual atau kecerdasan,
ingatan atau konsentrasi, dan bahasa. Pada lansia mengalami penurunan
atau kerusakan umum fungsi intelektual yang biasa disebut dengan

demensia. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan dalam menginat


jangka pendek dan menyimpan informasi baru ke memori jangka panjang
juga menurun. Perubahan kemampuan bahasa juga ikut mengalami
penurunan, misalnya dapat dijumpai adanya Sindrom Wernicke (Potter &
Perry, 2011)
b. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial terus terjadi seiring dengan terjadinya
penuaan. Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa
perubahan biasa terjadi pada mayoritas lansia seperti; pensiun, isolasi
sosial, seksualitas dan kematian. Akibat perubahan ini, lansia dapat
mengalami depresi yang beratnya tergantung pada stressor yang di dapat.
Pada umumnya depresi dapat mengakibatkan gangguan tidur, berat
tidaknya gangguan tidur tergantung dari depresi yang dialaminya (Potter &
Perry, 2011).
B. Tidur
1. Pengertian Tidur
Tidur adalah suatu keadaan yang berulang- ulang, dimana terjadi
perubahan status kesadaran dalam jangka waktu tertentu. Ketika seseorang
mendapat tidur yang cukup, mereka merasa tenaganya telah pulih. Tidur juga
merupakan metode untuk perbaikan dan pemulihan sistem tubuh. Kualitas dan
kuantitas tidur yang tepat dapat memberikan konstribusi terhadap kesehatan yang
optimal (Potter & Perry, 2011).
Menurut Black (2008), tidur merupakan kkeadaan normal yang ditandai
dengan adanya perubahan kesadaran selama tubuh dalam periode istirahat.
Penurunan kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan yang ada di sekitar
juga terjadi pada periode ini, namun individu dapat dibangunkan dari tidurnya
kembali dengan rangsangan dari luar. Tidur merupakan suatu siklus yang
ditandai adanya penurunan kesadaran dan aktivitas fisik dan proses metabolisme
disertai adanya mimpi selama periode tertentu dan berulang.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidur merupakan
keadaan normal dan alamiah. Pada kondisi tidur, terjadi penurunan kesadaran
kesadaran dan aktivitas fisik. Penurunan kemampuan merespon rangsangan dari
sekitar juga terjadi. Keadaan ini terjadi pada periode tertentu dan berulangulang.
2. Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya


hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifan dan
menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Pusat pengaturan tersebut
terdapat pada medula oblongata (Hidayat, 2008). Pengaturan siklus tidur
merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan.
Mekanisme hemeostasis dalam siklus tidur berhubungan dengan aktivitas sel- sel
neuron dalam batang otak serta peran dari neurotransmitter yang diproduksi oleh
hipotalamus (Juddith, 2010).
Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mesenefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neiron dalam Reticular
Activating System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Selain itu, RAS yang dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri
dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Beberpa neurohormon dan
neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur dan terbangun. Produksi yang
dihasilkan oleh dua mekanisme serebral dalam batang otak ini menghasilkan
serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yan bertanggung jawab
terhadap transfer impuls- impuls syaraf ke otak dan juga berperan spesifik dalam
menginduksi rasa kantuk.
Saat tidur terdapat pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang
berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional
(BSR). Sedangkan pada saat bangun bergantung dari keseimbangan impuls yang
diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang
otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR
(Hidayat, 2008). Waktu tidur dikontrol oleh Suprachiasmatic Nucleus (SCN)
yang mengatur irama sikardian. Dalam tubuh serotonin diubah menjadi
melatonin. Melatonin merupakan hormon katekolamin yang diproduksi secara
alami dan dapat membantu irama sirkadian pada siklus tidur bangun (Potter &
Perry, 2011).
Keadaan terjaga dikendalikan oleh neurotransmitter norepinephrine,
sedangkan keadaantidur dikendalikan oleh serotonin yang diubah menjadi
melatonin (Wold, 2008). Katekolamin yang dilepaskan dari neuron- neuron
Reticular Activiting System akan menghasilkan hormon norepinephrine yang
pada umumnya ini akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan
aktivitas. Seseorang dalam keadaan stress atau cemas, kadar hormon ini akan

meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik sehingga
seseorang akan terus terjaga. Menurut Potter dan Perry (2011) seseorang tetap
terjaga atat tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari
pusat yang lebih tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus
bunyi atau cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Orang yang mencoba tertidur
maka aktivasi RAS menurun dan BSR mengambil alih kemudian seseorang bisa
tertidur. Penurunan aktivitas RAS akan menurunkan aktivitas korteks serebral
ditambah dengan peningkatan kadar melatonin yang membuat mengantuk dan
pada akhirnya tertidur. Seseorang akan terbangun dari tidurnya jika ada
rangsangan dari lingkungan yang menstimulasi RAS untuk aktif.
3. Tahap- tahap Tidur Normal
Tidur yang normal dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu periode terjaga
atau bangun, tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur Rapid Eye
Movenment (REM). Tidur NREM dan REM merupakan komponen utama dan
penting dalam mempertahankan fungsi tubuh sehari- hari. Selama NREM
seorang yang tertidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama 90
menit dari siklus tidurnya. Kualitas tidur semakin meninkat dari tahap 1 sampai
tahap 4. Tahap 1 dan 2 merupakan tidur yang dangkal dan seseorang mudah
terbangun, sedangkan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam dan sulit terbangun. Fase
akhir dari tidur yakni REM yang kira- kira lamanya 90 menit (Potter & Perry,
2011).
Pada saat periode NREM, hormon disekresi untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Sedangkan tidur REM merupakan
periode yang aktif dan disertai mimpi. Periode REM yang cukup dapat
berdampak pada proses mengolah informasi, menyimpan memori jangka panjang
dan kemampuan konsentrasi (Caple & Grose, 2011).
4. Siklus Tidur
Siklus tidur normal dimulai dengan tahap pra tidur, yakni perubahan
dari keadaan sadar sampai mengantuk, lamanya sekitar 10- 30 menit.
Selanjutnya, memasuki tahap tidur untuk menyelesaikan 4- 6 tahap dalam siklus
tidur (Potter & Perry, 2011). Adapun siklus tidur sebagai berikut:
a. Periode Terjaga
Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya individu
terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat merasakan rileks
pada periode ini, dan pada akhirnya merasa mengantuk.

b. Periode Tidur NREM (75%)


Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur dalam. Tidur
NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot, penurunan pernapasan,
penurunan aktivitas otak. Selama periode tidur metabolisme meningkat
disertai dengan aliran darah terutama pada daerah otak (Wilson, 2008).
Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat kedalaman
tidur setiap masing- masing tahapnya dengan karakteristik yang berbedabeda. Tahap- tahap periode tidur NREM adalah sebagai berikut:
1) Tahap 1 (5% NREM)
Ditandai dengan mata mulai menutup, perasaan lebih rileks, pikiran
hilang timbul dan merasa seperti melayang, pada tahap ini seseorang
mudah dibangunkan. Tahap ini disebut juga tidur ringan yang ditandai
dengan penurunan aktivitas fisik, tanda- tanda vital dan metabolisme
(Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008)
2) Tahap 2 (45% NREM)
Tahap 2 merupakan periode tidur bersama, adanya peningkatan
relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta masih mudah untuk
dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10- 20 menit (Potter & Perry,
2011; Wilson, 2008).
3) Tahap 3 (12% NREM)
Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan berlangsung
sekitar 15- 30 menit. Kondisi otot pada tahap ini dalam keadaan santai
penuh, tanda vital menurun tetapi tetap teratur. Niasanya pada tahap
ini orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak (Potter & Perry,
2011).
4) Tahap 4 (13% NREM)
Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat sulit
dibangunkan disertai penurunan tanda- tanda vital, berlangsung sekitar
15- 30 menit. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi pada
tahap ini (Potter & Perry, 2011).
c. Periode Tidur Rapid Eye Movement (REM)
Tidur REM umumnya terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur bersama
siklus tidur NREM yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat.
Kelopak mata tertutup, pernapasan lebih cepat, tidak teratur dan dangkal,
denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Tahap ini juga ditandai
dengan penurunan tonus otot dan peningkatan sekresi lambung. Tidur
REM merupakan 20- 25% dari siklus tidur (Potter & Perry, 2011).

Bagian 2. 1 Siklus tidur orang dewasa normal


.............................
5. Fungsi Tidur
Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk periode
terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses mempertahankan fungsi
fisiologis normal. Penggunaan energi sehari- hari perlu diganti dengan periode
istirahat pada waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).
Dalam silkus tidur dikenal tahan REM, tahap ini sangat penting untuk
jaringan otak dan memelihara fungsi ognitif. Tidur REM menyebabkan
perubahan aliran darah ke otak, peningkatan aktivitas korteks, peningkatan
konsumsi oksigen dan pengeluaran ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi
untuk mempertahankan fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan
regulasi hormon. (Potter & Perry, 2011).
6. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mempertahankan tahap tidur REM dan NREM yang
tepat. Tidur yang berkualitas merupakan suatu keadaan tidur yang dijalani
seorang individu dan menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun.
Kualitas tidur mencakup aspek kuantitas dari tidur seperti kepuasan tidur dan
gangguan tidur (Khasanah, 2012).
Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan beberapa
kuisioner. Ada tiga contoh instrumen untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur
antara lain Stanford Sleep Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The
Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk
mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS
lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu.
Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana kuisioner tersebut
mempunyai enam komponen, yaitu: gejala di siang hari, kebugaran setelah tidur,
masalah saat memulai tidur, mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur,
dan kepuasan terhadap tidur. Sedangkan Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur, durasi tidur, efisiensi
tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat tidur, gangguan saat sian hari
dan kualitas tidur subjektif (Buysee, 1989; Smyth, 2012).
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah:
a. Usia

Penuaan menyebabkan perubahan yang dapat mempengaruhi pola


tidur. Pada usia lanjut proporsi waktu yang dihabiskan dalam tidur
tahap 3 dan tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di tidur
ringan tahap 1 meningkat dan tidur menjadi kurang efisien.
Bertambahnya usia juga berhubungan dengan penurunan kualitas tidur
malam, misalnya sekitar 30% individu mengalami insomnia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan irama sirkadian yang mengatur
siklus tidur dan menyebabkan gangguan siklus tidur dan terjaga
(Juddith, Julie & Elizabeth, 2010; Potter & Perry, 2011).
b. Penyakit fisik
Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang diderita,
diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus,
hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri,
ketidaknyamanan fisik atau masalah tidur. Penyakit juga memaksa
seseorang untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti
memperoleh posisi tertentu agar mencegah komplikasi atau dalam
rangka imobolisasi (Potter & Perry, 2011).
c. Obat- obatan dan Zat Tertentu
Beberapa obat- obatan dapat menimbulkan efek samping terhadap
penurunan tidur REM. Hipnotik dapat menggangu tahap III dan IV
tidur NREM, betablocek dapat menyebabkan insomnia dan mimpi
buruk, sedangkan narkotik (misalnya: meperidin hidriklorida dan
morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan
seringnya terjaga di malam hari (Potter & Perry, 2011).
d. Gaya Hidup
Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat
kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang menyebabkan
periode tidur REM lebih pendek. Gaya hidup seseorang yang
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman yang mengandung
kafein, alkohol, dan penggunaan obat- obatan juga dapat menyebabkan
masalah tidur. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi pola
tidur adalah akibat bekerja berat, aktivitas sosial yang larut serta
perubuhan pola makan waktu malam hari (Poteer & Perry, 2011).
e. Stress Emosional
Ansietas dan depresi sering kali menganggu tidur seseorang. Kondisi
ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi

sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus


tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
Stress emosional membuat seseorang menjadi tegang dan seringkali
mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan
seseorang mencoba terlalu keras untuk tidur, sering terbangun selama
siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stress yang berlanjut dapat
menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk. Pensiun, gangguan fisik,
kematian orang yang dicintai dan kehilangan keamanan ekonomi
merupakan contoh situasi yang membuat seseorang untuk cemas dan
depresi (Hardy, 2008; Potter & Perry, 2011).
f. Lingkungan
Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada
kemampuan untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu tidurnya.
Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang.
Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas
tidur. Selain itu, cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi
kemampuan untuk tidur. Seseorang ada yang menyukai tidur dengan
lampu yang dimatikan, remang- remang atau tetap menyala. Suhu yang
panas atau dingin dapat menyebabkan seseorang mengalami
kegelisahan (Potter & Perry, 2011).
g. Asupan Makanan dan Kalori
Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan. Makan
dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga
menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur.
Penggunaan bahan- bahan yang mengandung kafein, nikotin, alkohol
dan xanthine dapat merangsang sistem saraf pusat sehinga berdampak
pada perubahan pola tidur (Potter & Perry, 2011).
7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia
Jumlah tidur total pada umumnya tidak berubah sesuai pertambahan
usia, akan tetapi kualitas tidur pada lansia kebanyakan berubah (Potter & Perry,
2011). Periode REM cenderung memendek dimana terdapat progresif pada tahap
tidur NREM 3 dan NREM 4, bahkan beberapa lansia hampir tidak memiliki
tahap tidur 4 atau disebut tidur dalam. Selama proses penuaan, pola tidur
mengalami perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada umumnya/

dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur, gangguan tidur pada dini
hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta waktu tidur lebih dalam menurun.
Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu tidur dalam
(delta sleep) yang pendek, justru leih panjang pada periode tidur stadium 1 dan 2.
Dari hasil dengan alat Polysomnographic ditemukan lansia mempunyai
penurunan yang signifikan dalam Rapid Eyes Movement (REM) dan Slow Wave
Sleep. Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang
mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap (Darmojo,
2009).
Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam pengeluaran
hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Pada usia lanjut
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Hormon melatonin yang dieksresiksan pada malam hari dan
berhubungan dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).

8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia


Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan
tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Darmojo (2009)
menyatakan bahwa ada 3 gangguan tidur yang digolongkan sebagai gangguan
tidur primer, yakni terdiri atas;
a. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered Breathing).
Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan mengantuk
hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3, yaitu; Upper
Airway Resistance Syndrome (UARS), Obstructive Sleep Apnea (OSA),
Obstructive Hypoventilation Syndrome (OHS). Jenis yang paling banyak
ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi karena oklusi
sebagian atau total saluran napas bagian atas. Hal ini disertai dengan
penurunan tonus otot pernpasan dan jaringan pada cavum oral selama tidur.
b. Sindrom kaki kurang tenang atau Restless Legs Syndrome (RLS) dan
gangguan gerakan tungkai secara periodik atau Periodic Limb Movement
Disorder (PLMD). Restless Legs Syndrome (RLS) ditandai dengan rasa tidak
enak pada kaki yang berlebihan selama malam saat penderita istirahat.
Penderita juga merasa seperti dirayapi semut atau hewan kecil sehingga
menyebabkan penderita menggerakan kakinya, atau berjalan guna
menghilangkan rasa tidak enak tersebut. Sedangkan gangguan tungkai yang

periodik atau juga disebut Periodic Limb Movement Disorder (PLMD),


mungkin menyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri sendiri.
Biasanya ditandai gerakan yang tiba- tiba dan berulang contohnya gerakan
menendang, lamanya sekitar 20- 40 detik. Dengan adanya kondisi seperti ini,
penderita biasanya mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur
dan tidur tidak nyenyak.
c. Gangguan perilaku Rapid Eyes Movement (REM). Gangguan ini sangat
jarang terjadi, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari
gangguan ini adalah disinhibisi transmisi aktivasi motorik saat bermimpi.
Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur.

9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur


Ada dua cara dalam hal penatalaksanaan gangguan tidur, yaitu secara
famakologis dan non- farmakologis.
a. Farmakologis
Dalam penatalaksanaan farmakologis, hanya ada beberapa yang
efektif untuk menangani gangguan tidur pada lanjut usia.
1) Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder
(PLMD) dapat diberikan obat anti parkinson carbidopa- levodopa (formula
25- 100 mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat akan tidur.
Pergolide dapat juga digunakan dengan dosis awal sangat rendah (0,05 mg) 2
jam sebelum tidur. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua gangguan
tidur ini adalah benzodiazepine 1 kali saat akan tidur atau codeine atau
oxycodone (Darmojo, 2009).
2) REM Behaviour Disorder (RBD) dapat diberikan obat golongan
benzodiazepine kerja lama seperti klonasepam saat akan tidur sekali sehari
(Darmojo, 2009).
b. Non- Farmakologis
Penanganan secara non- farmakologi sangat beragam macamnya,
tergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami. Pada kasus Obstructive
Sleep Apnea (OSA) dapat dilakukan posisi tidur miring, dan aktivitas/
olahraga untuk penurunan berat badan. Lain halnya dengan kasus Restless
Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder (PLMD),

merendam kaki tungkai atas dengan air hangat serta olahraga ringan (jalan
kaki) yang dikerjakan teratur dapat menghilangkan gejala kedua gangguan
tidur ini (Darmojo, 2009).
Terapi non- farmakologis yang lainnya adalah terapi komplementer.
Terapi komplementer ini bersifat terapi pengobatan alamiah diantaranya
adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi,
terapi tertawa, akupuntur, akupresur, aromaterpai, refleksologi dan
hidroterapi (sudoyo, 2006). Salah satu terapi komplementer yang dapat
direkomendasikan untuk mengatasi gangguan tidur adalah dengan
Hydoteraphy. Teknik yang digunakan adalah memanfaatkan air untuk
menyembuhkan dan merendakan berbagai macam penyakit ringan dan iar
juga bisa digunakan dalam sejumlah cara yang berbeda (Sulaiman, 2009).
Manfaat Hydoteraphy khususnya penggunaan air hangat adalah membantu
merangsang sirkulasi darah, serta menyegarkan tubuh. Hal ini berakibat pada
efek peningkatan relaksasi (Handoyo, 2014).
C. Hydroteraphy
1. Pengertian
Hydroteraphy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan
meringankan berbagai keluhan. Untuk itu, air dapat digunakan dalam berbagai
cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu (Sustrani, dkk, 2006).
Hydroteraphy juga merupakan metode terapi dengan pendekatan lowtech yang
mengandalkan pada respon- respon tubuh terhadap air.
The National Center on Physical Activity and Disability (2009)
menyatakan bahwa hydroteraphy adalah aplikasi eksternal yang menggunakan
air, baik untuk efek tekanan atau sebagai sarana menerapkan energi fisik untuk
jaringan. Hydroteraphy diindikasikan untuk gangguan sensori, Range of Motion
atau ROM yang terbatas, kelelahan, nyeri, masalah respirasi, masalah sirkulasi,
depresi, penyakit jantung dan obesity. Hal- hal tersebut dapat mengakibatkan
gangguan tidur. Hydroteraphy juga merupakan sejumlah latihan fisik dengan
berendam di dalam air hangat. Bentuk terapi fisik ini dapat membantu seseorang
untuk mengurangi berbagai keluhan, salah satunya dengan merendam kaki.
Kehangatan air membantu mengeendurkan otot dan mengurangi nyeri, hal inilah
yang menimbulkan rasa rileks pada tubuh (Arnot, 2009).
2. Jenis- jenis Hydroteraphy

Anda mungkin juga menyukai