Anda di halaman 1dari 4

KUPON

MAKAN MTA

Siang tadi saya ke sebuah Mall yang konon terbesar di Indonesia yang terletak di bilangan Slipi/Tomang
bersama keluarga, setelah seminggu meninggalkan mereka untuk memberikan pelatihan Licensed
Practitioner of NLP di Yogyakarta yang luar biasa sukses.
Saat masuk foodcourt, saya segera disadarkan bahwa sistem pembelian harus memakai kupon uanguangan yang dibeli di loket. Seingat saya, emang sudah lama sekali Mall ini memberlakukan sistem ini
untuk mengelola footcourt mereka. Tentunya ada ada alasan tertentu yang mereka miliki sehingga
memutuskan menggunakan cara ini. Mungkin saja ini adalah cara untuk mengontrol agar omset setiap
counter dapat diketahui dengan pasti dan tidak terjadi manipulasi jumlah pembelian dan komisi.
Beberapa Mall memang memberlakukan sistem bagi hasil dan bukan sistem sewa ruang murni. Dengan
cara bagi hasil ini, maka jika untung dinikmati bersama, rugi juga demikian halnya.
Well, sebagai seorang praktisi NLP, tentunya kita tidak akan melewatkan kesempatan melakukan
information gathering dan getol dalam mengamati perilaku dengan attitude ingin tahu. Di Mall ini,
saya memutuskan untuk menyalurkan hasrat mengamati perilaku pembeli yang ada di foodcourt ini,
tentunya mengamati menggunakan keilmuan NLP. Saya tahu Anda penasaran bagaimana cara meninjau
struktur proses perilaku dari kacamata NLP.

Loket Penukaran Uang
Loket ini terletak di dekat pintu masuk, terdiri dari 2 loket : loket penukaran dan loket refund. Kedua
loket ini berada dalam bilik yang sama hanya beda lobang untuk penukaran saja.
Karena kedatangan kami adalah saat makan siang, jadi harus antri melalui barisan yang dipisahkan tali
(seperti di bank) saat menukarkan uang asli menjadi kupon uang ini. Yang menarik adalah, di bagian
loket penukaran uang ada 3 orang kasir, sedangkan di loket refund kupon hanya ada 1 orang kasir.
Secara cepat, ini mengirimkan pesan bawah sadar pada saya bahwa menukarkan uang menjadi
kupon lebih mudah dan cepat, dibandingkan dengan menukarkan kupon menjadi uang kembali
(refund).
Jadi boleh dibilang, sudah terjadi suatu seeding (pembenihan) ide di kepala saya, bahwa nanti setelah
selesai makan danmau refund, akan diperlukan waktu antri yang lebih lama. Tentunya seeding ini
berjalan sempurna tidak saja bagi saya, namun bagi seluruh pengunjung Lha jelas-jelas, antrian refund
terlihat lebih lambat prosesnya karena cuma dilayani satu orang.
Karena manusia pada umumnya malas untuk mendapatkan kesulitan, dan cenderung mencari
kemudahan, maka di bawah sadar sudah terjadi suatu keputusan saat itu juga. Kira-kira keputusan itu

berbunyi mendingan uangnya dihabisin untuk jajan, daripada entar capek-capek antri lama untuk
nukar lagi. Well, suatu proses seeding yang luar biasa.
Tentu saja, saya tidak menuduh bahwa Mall ini memang sengaja melakukan hal ini, saya hanya
menganalisis gejala ini dari sudut pandang NLP saja.

Meta Program
Situasi di atas itu terpotret struktur proses-nya dengan suatu tools NLP yang bernama Meta-Program
Arah Motivasi. Yakni, bahwa manusia akan cenderung mengejar kenikmatan/keuntungan (moving
toward), dan menghindari kesulitan/kerugian (moving away). Jadi melihat antrian panjang layanan
refund (yang hanya dilayani satu orang kasir) akan memicu perasaan ingin menghindari itu. Sekaligus
pada saat yang sama, akan muncul perasaan mendingan menghabiskan uang untuk makanan karena
makan /minum tentunya lebih menyenangkan daripada antri Ya khan?
Well, kemudian dengan mudah diamati juga bahwa pecahan kupon uang (seperti monopoli) yang
tersedia adalah terdiri dari Rp 500,-, Rp 1.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-. Nah hebatnya, setiap orang
yang menukar uang, cenderung menukarkan pecahan uang berkisar Rp 50.000,- dan Rp 100.000,-
Hanya sedikit sekali yang menukar Rp 20.000,- doang. Kalaupun ada yang menukar Rp 20.000,- itu
karena ia menambah dari besaran Rp 50.000,- atau Rp 100.000,- .
Nah apa artinya ini?
Luar biasa sekali Entah, benarkah pemilik Mall ini sudah memperhitungkan ini semua atau belum?
Yang jelas pada saat seseorang menukarkan sejumlah uang dengan nilai tertentu, sebenarnya ia sudah
mengambil keputusan untuk menghabiskan uangnya setidaknya- dalam nominal yang mendekati angka
rupiah yang ditukarnya itu. Jadi jika seseorang menukarkan Rp 100.000,- maka ia sudah melakukan
proses self budget calibration, dan ia tanpa sadar kemudian memutuskan akan menghabiskan uang
sekitar Rp 100.000,- ini.
Nah, ketika proses menukarkan uang itu, jumlah rupiah yang ditukarkan ini dengan cepat menjelma
menjadi keputusan kuota jajan-nya. Dan pada saat yang sama, ia tengah disuguhi pemandangan antri
refund yang panjang dan lama! Klop, maka seperti otomatis, ini makin mempermudah si calon pembeli
meyakini untuk menghabiskan saja uangnya untuk jajan di dalam. Lha daripada repot ngantri lagi.
Ck ck ck
Jika dilihat secara proses time-line, maka jelas-jelas secara cerdik pengelola sudah
memindahkan/memajukan proses keputusan membeli pada saat mereka belum secara aktuil membeli
produk. Jadi proses keputusan membeli didisain agar dilakukan dalam suasana yang lebih mudah.

Jadi nantinya saat proses membelanjakan kupon uang itu, hanyalah proses rekonfirmasi saja, bukan lagi
proses decision making, karena keputusan kuota berapa budget / jumlah yang akan dihabiskan SUDAH
DILAKUKAN saat menukarkan uang di loket.
Nah, inilah yang sangat menarik Bahwa orang dibawa pada proses mengambil keputusan membeli
tanpa mereka menyadari bahwa mereka sudah mengambil keputusan membeli. Secara struktur proses
ini adalah luar biasa bukan main! Secara content dan etika, silahkan Anda sendiri yang menilainya!

Memfasilitasi Proses Dis-association
Selesai menukar uang, saya berkeliling mencari counter yang cocok, sambil mengamati sejumlah
pembeli termasuk. Karena mereka cuma membawa uang-uang-an (seperti monopoli itu), terlihat jelas
ada suatu perilaku yang mencerminkan perasaan yang kubawa bukanlah uang.
Karena seperti merasa bukan membawa uang, maka muncul rasa lebih mudah untuk melepaskannya,
bahkan terasa seperti bermain-main Jadi, menghabiskan -lebih banyak- akan terasa enteng saja,
kontras saat dibandingkan dengan penggunaan uang beneran.
Peristiwa di atas secara struktur proses adalah suatu kondisi disassociation. Yakni kondisi dimana
pembeli ter-disassociate dari proses perasaan mengeluarkan uang, karena yang dipakai bukan uang
asli, jadi terasa lebih enteng.
Disassociation, merupakan proses yang membuat suatu perasaan kuat lekat menjadi terasa kendor,
menjadi terasa lebih enteng. Nah, jika kita dibuat masuk dalam proses disassicoation dalam
pengeluaran uang, maka mengeluarkan uang akan menjadi sangat enteng. Persis seperti para
karyawan/pejabat yang merasa enteng saat mengeluarkan pengeluaran / budgeting, karena yang
mereka keluarkan bukanlah uang mereka sendiri
Nah, sebenarnya efek dis-association ini juga sudah terjadi saat penukaran uang. Proses penukaran uang
membuat orang mengalami disassosiation dalam merasakan lepasnya uang darinya. Karena dalam
menukar ini, feeling yang di-generate adalah menukar, bukan membeli. Akibatnya kekritisan pikiran
akan harga produk tidak akan muncul di sini. Kira-kira di kepala pembeli berkecamuk pemikiran seperti
ini Lha wong saya belum membeli kok, cuma menukar saja, ngapain dipikirkan terlalu rumit.
Bandingkan, jika Anda langsung membeli, maka sensitivitas tehadap kuota yang dihabiskan akan lebih
terasa penting untuk dihitung masak-masak Di sinilah terjadi disassociation! Hanya menukar, bukan
membeli!
Jadi, insight apa saja yang Anda temukan dalam tulisan di atas?
Jadi, selain itu. apa lagi yang dapat dilakukan seorang lulusan Licensed Practitioner of NLP dalam
memotret suatu struktur perilaku?

Well, kiranya tulisan ini memperkaya pemahaman kita semua tentang bagaimana NLP memodel
sesuatu

Anda mungkin juga menyukai